BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG I.1.1 Problematika Sekitar Masalah Kemiskinan Periode setelah zaman kemerdekaan (1945) merupakan sebuah babakan baru bagi rakyat Indonesia dalam melanjutkan sejarah hidupnya sebagai satu bangsa yang hadir di tengah-tengah bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam menjalani periode itu, dilakukan upaya pembentukan identitas menjadi bangsa yang mandiri yang berlangsung sejalan dengan proses pembangunan yang mencakup pembangunan fisik dan manusianya. Namun dalam proses tersebut, pembangunan yang bertujuan mensejahterakan rakyat ternyata tidak dilakukan secara adil dan merata. Kenyataan ini terbukti dengan masih banyak wilayah atau pulau di Nusantara yang tidak tersentuh upaya pembangunan Nasional sehingga berdampak pada proses pemberdayaan dan pengembangan masyarakat yang sangat lambat. Rasa terabaikan dan kekecewaan dari masyarakat di berbagai tempat akhirnya memicu reaksi dan gejolak politik sehingga merongrong stabilitas keamanan Nasional. Akibatnya, di sana-sini muncul gerakan separatis yang mengusung ideologi kemerdekaan dan bahkan diperparah dengan munculnya konflik-konflik besar yang berskala Nasional seperti yang terjadi di Aceh, Ambon dan Poso. Selain ketimpangan dalam skala Nasional, skala yang lebih kecil seperti lingkup propinsi, kabupaten, kecamatan dan desa ternyata ikut terbawa dalam arus
praktek ketidakadilan. Ketimpangan dan diskriminasi pembangunan memaksa masyarakat yang terabaikan harus berjuang dengan beratnya aktifitas sosial dan ekonomi yang harus dilakukan secara tradisional yang mengandalkan tenaga manusia sepenuhnya. Sungguh ironis, bahwa kemiskinan dan penderitaan dialami sebagian masyarakat Indonesia di tengah-tengah kehidupan kemewahan yang hanya dinikmati sebagian masyarakat yang lain sebangsa dan setanah airnya. Jurang perbedaan antara yang kaya dan miskin semakin melebar, sebab yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Pada zaman Orde Baru, proyek pembangunan Nasional dipusatkan pada wilayah atau pulau tertentu saja, misalnya pulau Jawa, sehingga wilayah-wilayah lain tidak menikmati karya pembangunan tersebut. Akibatnya, gelombang migrasi mulai bergerak ke arah wilayah-wilayah yang mengalami pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Gelombang migrasi penduduk dari tahun ke tahun semakin meningkat utamanya bergerak ke daerah-daerah perkotaan, daerah industri dan daerah pertanian yang subur. Hal yang sama terjadi pada masyakarat Toraja yang mengalami gelombang migrasi penduduk menuju ke titik-titik yang potensial itu dan yang banyak menyediakan peluang kerja demi memperbaiki kesejahteraan. Bahkan migrasi itu pun telah berskala Internasional, khususnya bergerak ke negara-negara asing seperti Malaysia dan Hongkong. Alasan utama masyarakat Toraja terdorong mengalami
gerakan migrasi yang begitu tinggi adalah untuk memperoleh pendidikan dan ekonomi yang lebih baik, namun utamanya adalah alasan ekonomi.1 Perekonomian di Tana Toraja dipandang tidak mampu mensejahterakan masyarakat oleh karena Tana Toraja merupakan daerah pegunungan yang cukup sulit untuk dikelola. Kenyataan pergumulan perekonomian yang sulit itu, umumnya lebih menonjol dialami oleh warga petani yang bermukim di daerah pedesaan. Situasi sulit tersebut, semakin diperparah dengan tingkat pendidikan yang rendah, skill yang rendah dan minimnya fasilitas-fasilitas seperti prasarana pelayanan kesehatan, penerangan listrik (PLN) dan air bersih. Situasi ini setidaknya menggambarkan bahwa persoalaan ekonomi dan kemiskinan merupakan tantangan hidup masyarakat di Toraja. Situasi ini menjadikan masyarakat menjadi frustrasi dan memilih untuk mengadu nasib menjadi perantau di daerah lain. Dalam kenyataanya, tidak sedikit dari masyarakat migran Toraja yang berhasil memperbaiki perekonomiannya di tanah rantau, namun tidak demikian dengan masyarakat yang masih tinggal di Tana Toraja. Di tengah-tengah kondisi kemiskinan yang dialami sebagian warga di Toraja, pengaruh globalisasi telah tak terhindarkan yang terjadi melalui mobilisasi masyarakat migran Toraja dari perantauan, pariwisata, dan media elektronik Radio dan Televisi. Pengaruh globalisasi tersebut berwajah ganda yaitu bersifat positif dan negatif. Dampak positif terlihat seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan pola hidup yang semakin lebih baik, namun juga terjadi ketegangan antara kehidupan tradisional dengan kehidupan modern. Masyarakat pedesaan terancam dalam bentuk
1
Edwin de Jong, Living with the Dead, The Economic Culture in the Torajan Highlands, Indonesia (Nijemegen: Penulis, 2008), 115.
krisis identitas yang mengarah pada sifat individualisme, materialisme dan konsumerisme.2 Namun, menarik untuk memperhatikan pendapat Zakaria J. Ngelow bahwa persoalan krusial yang dialami oleh masyarakat Toraja bukan terutama masalah krisis budaya dalam arti melemahnya nilai-nilai komunal tradisional yang digantikan dengan individualisme dan kebebasan moral serta menguatanya penyimpangan ritualritual adat menjadi ajang adu gengsi, melainkan masalah pembangunan Nasional Indonesia Era Suharto yang berjalan secara tidak adil.3 Ngelow mengarisbawahi bahwa Orde Baru telah menciptakan struktur sosial poilitik yang tidak adil yang menyebabkan penderitaan masyarakat dan yang masih melekat hingga sekarang ini. Situasi dalam pemaparan di atas kembali mengingatkan pada penyebab kemiskinan yang dipikirkan oleh Gustavo Gutierrez yang membedakannya dalam dua faktor yaitu kemiskinan individual dan kemiskinan struktural. Kemiskinan individual adalah kemiskinan disebabkan dari dalam diri orang miskin sendiri seperti malas, tidak kreatif, tidak kompetitif dan tidak disiplin. Jenis kemiskinan ini bisa diatasi dengan pendidikan, pembinaan, dll. Sementara kemiskinan stuktural disebabkan oleh faktor dari luar seperti ketidakadilan, penindasan, dan penghisapan.4 Gutierrez mengidentifikasi kemiskinan di Amerika Latin sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh faktor dari luar (kemiskinan struktural), karena itu upaya penyelesaiannya adalah
2 Ery Lebang, ”Identitas Komunitas Kristen dalam Tantangan,” dalam Martin L. Sinaga dkk. (pny.), Misilogi Kontekstual: Th. Kobong dan Pergulatan Kekristenan Lokal di Indonesia (Jakarta: STT Jakarta, 2004), 26. 3 Zakaria J. Ngelow, ”Teologi Tongkonan, Apresiasi Kritis Terhadap Kontekstualisasi Dr. Th. Kobong,” dalam Martin L. Sinaga dkk. (pny.), Misilogi Kontekstual: Th. Kobong dan Pergulatan Kekristenan Lokal di Indonesia (Jakarta: STT Jakarta, 2004), 64. 4 Martin Chen, Teologi Gustavo Gutierrez (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 52.
tindakan politis.5 Namun bagi penulis, nampaknya penyebab kemiskinan di Toraja lebih kompleks, sehingga kedua faktor tersebut perlu diperhatikan. Penulis menduga bahwa ada keterkaitan erat antara faktor struktural dan faktor individual dan keterkaitan terwujud dalam relasi yang saling mempengaruhi. Artinya, bila struktur tidak sehat maka akan menyebabkan individu-individu menjadi tidak sehat dan demikian pula bila individu-individu tidak sehat maka akan mendukung terciptanya struktur yang tidak sehat pula. Selain pertimbangan pada kedua faktor tersebut, hal lain yang penting untuk diperhatikan pada masyarakat Toraja adalah fenomena populernya ritual adat yang memakan biaya yang mahal yang harus dipenuhi oleh masyarakat Toraja sebagai bagian dari sistem kebudayaan yang dipelihara. Warga Toraja sendiri adalah warga yang mayoritas beragama Kristen yang merupakan buah dari penginjilan lembaga misi Gereformeerde Zendingsbond (GZB) dari Belanda. Konversi religius masyarakat Toraja yang awalnya adalah penganut agama kosmik “Aluk Todolo” berpindah ke dalam agama metakosmik “Kristen” dan yang mencapai puncaknya pada tahun 1950-1960 melalui terjadinya pembaptisan massal. Pembaptisan massal terjadi sebagai dampak dari gejolak politik yaitu pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang berideologi negara Islam dan berekspansi ke Tana Toraja dengan menggandeng misi islamisasi. Masyarakat Toraja yang kebanyakan masih menganut Aluk Todolo diperhadapkan pada pilihan antara masuk Islam atau menjadi Kristen. Pada akhirnya
5
Gustavo Gutierrez, The Power of the Poor in History (New York: Orbis Book, 1979), 44-45.
masyarakat Toraja lebih memilih agama Kristen oleh karena kekristenan dipandang lebih cocok dengan karakter dan kebiasaan masyarakat Toraja.6 Jika melihat situasi Tana Toraja sebagaimana yang digambarkan di atas, dan kenyataan bahwa agama Kristen adalah bagian integral dari Tana Toraja dan merupakan agama mayoritas dianut oleh masyarakat Toraja, maka pertanyaan penting yang muncul adalah bagaimanakah Gereja di Toraja merespon keadaan permasalahan kemiskinan dalam konteksnya? Permasalahan kemiskinan di Toraja nampaknya tidak mudah untuk diselesaikan oleh karena selain terkait dengan struktur sosial yang tidak adil yang telah mendarah daging dalam tatanan sosial politik di Indonesia baik aras nasional, regional maupun lokal, persoalan di sekitar masalah krisis kebudayaan juga merupakan hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
I.1.2. Berteologi Kontekstual Berteologi kontekstual merupakan inti dari penulisan ini, yaitu suatu upaya berteologi untuk respon pengalaman dan pergumulan manusia yang aktual pada zamannya.7 Th. Kobong telah meletakkan dasar berteologi kontekstual di Toraja untuk menjadikan gereja mengakar dalam kebudayaannya. Memang terdapat persoalan bahwa metode kontekstualisasi Kobong dipandang bukan murni usaha teologi kontekstual namun adalah suatu upaya mengkontekstualkan teologi,8 namun
6
Y.A. Sarira, Benih yang Tubuh IV, (Rantepo: Pusbang Gereja Toraja,1997) 47-50. Stephen B. Bevans, Models of Contextual Theology (New York: Orbis Book, 1994), 1. 8 Zakaria J. Ngelow, ”Teologi Tongkonan ...” 56. Kontekstualisasi teologi adalah upaya mengungkapakan kebenaran Injil ke dalam atau memalui konteks kebudayaan yang partikular yang berlangsung melalui proses satu arah. Usaha ini mengandung prinsip bahwa kebenaran Injil adalah universal yang perlu diungkapkan dan difungsikan dalam konteks tertentu yang lebih sempit. Sedangkan teologi kontekstual adalah upaya menemukan kebenaran Injil dalam setiap konteks 7
demikian karya Kobong tetap bermanfaat dalam membangun kesadaran para teolog Gereja Toraja untuk memikirkan ulang makna kehadiran gereja di Toraja. Dari karya Kobong ini, Eri Lebang menyoroti tiga konteks aktual masyarakat Toraja yang perlu disikapi oleh gereja yaitu, masyarakat tradisional (Toraja dan kebudayaannya), Islam dan modernisasi/globalisasi.9 Modernisasi perlu diperhatikan secara serius karena berkaitan langsung dengan masalah krisi identitas dan pengaruhnya yang telah meresap ke dalam kehidupan masyarakat Toraja. Hubungan dengan Islam, menurut Zakaria J. Ngelow, juga merupakan persoalan yang kontekstual dalam kehidupan masayarakat Toraja di Toraja dan masyarakat migran Toraja di luar Toraja. Warga Toraja secara tidak sadar seringkali memunculkan kecemburuan sosial utamanya dari warga Muslim terhadap kesuksesan yang mereka peroleh di tanah rantau. Situasi diperparah dengan sikap eksklusif dari masyarakat Toraja yang notabene mayoritas beragama Kristen. Salah satu bukti nyata adalah konflik masyarakat Toraja dengan penduduk Luwuk yang beragama Islam telah menelan banyak korban harta maupun nyawa.10 Kasus ini merupakan contoh kongkret dari kegagalan masayarakat Toraja merespon lingkungan sosial di mana mereka hadir, hidup dan bersosialisasi.11
kebudayaan dan perubahan sosial dari masyarakat di tempat dan zaman tertentu. Upaya ini berlangsung melalui proses timbal balik/dua arah karena didasari atas pemahaman bahwa Injil tidaklah universal dalam arti adanya sutu kebenaran yang sudah jadi dan tertutup, melainkan dalam arti relevansinya menjawab atau menghakimi kenyataan kehidupan yang berbeda-beda di setiap tempat dan masa. Injil mendapat wujudnya dalam kepelbagaian aktualitas kehidupan pada konteks yang partikular. 9 Ery Lebang, ”Identitas Komunitas Kristen dalam Tantangan...,” 28. 10 Zakaria J. Ngelow, ”Teologi Tongkonan...”, 64. 11 Konteks Toraja dan Islam juga mendesak, namun topik ini merupakan poin khusus yang membutuhkan konsentrasi pembahan tersendiri. Namun demikian, akan terdapat titik temu dengan topik kemiskinan dalam bab III dari tulisan ini dalam kaitannya dengan tugas tanggung jawab orang Kristen terhadap sesamanya.
Upaya yang telah dilakukan oleh para teolog senior Gereja Toraja (Th. Kobong, Eri Lebang dan Zakaria J. Ngelow) dapat menjadi titik berangkat untuk masuk dalam usaha berteologi kontekstual di Toraja. Sayangnya, tidak banyak teolog yang memperhatikan konteks modernisasi dan persoalan hubungan dengan agama lain. Di samping masalah-masalah tersebut di atas, bagi penulis masalah kemiskinan sesungguhnya juga merupakan agenda besar teologi kontekstual di Toraja yang perlu mendapat perhatian secara serius. Nampakanya karya teolog kontekstual Asia, Aloysius Pieris, yang menyadarkan kita tentang dua permasalahan pokok yang mendesak di Asia: kemiskinan yang parah dan religiositas yang plural, belum dimanfaatkan dalam pergumulan teologi kontekstual di Toraja.12 Animo upaya berteologi kontekstual di Toraja sekarang ini lebih banyak difokuskan pada krisis persoalan adat dan kebudayaan di Toraja. Kedua konteks yang telah disebutkan di atas: modernisasi dan relasi dengan Islam, masih menjadi topik sampingan dan topik kemiskinan lebih diabaikan lagi. Kondisi ini mendorong penulis untuk mempertanyakan ulang: apakah usaha teologi kontekstual yang dilakukan di Toraja mampu membawa Gereja Toraja menghayati teladan Kristus yang telah hadir dan berkarya dalam dunia ini dan yang telah mengajak umat-Nya untuk menjadi gereja yang mewartakan kabar sukacita? Teologi Pembebasan Amerika Latin membuka mata kita terhadap adanya hubungan erat antara kemiskinan dan ketidakadilan struktural. Pesan utama yang disampaikan bahwa terpeliharanya kemiskinan dalam konteks Amerika Latin
12
Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 75-76. Lihat juga E.G. Singgih, Berteologi dalam Konteks (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 200.
disebakan oleh struktur yang diciptakan oleh pemegang kekuasaan yang menyebabkan masyarakat kecil yang miskin dan tak berdaya terus menerus berada dalam lingkaran kemiskinannya. Peluang untuk mengembangkan kehidupan menjadi lebih baik adalah sebuah impian yang selalu terbendung oleh tembok-tembok dari sistem kekuasaan yang tidak mudah untuk diruntuhkan. Dalam menggumuli persoalan kemiskinan di Toraja, ideologi pembebasan Gutierrez akan menjadi inspirasi tulisan ini. Demikian pula ide Pieris mengenai religiositas plural dan perhatian terhadap masalah kemiskinan turut berperan penting didalamnya. Kedua pemikiran ini akan menjadi kerangka dalam merumuskan telogi kontekstual untuk masalah kemiskinan Toraja. Pokok utama sebagai upaya memerdekaan kaum miskin di Toraja akan diwujudkan dalam ide preferential option for and with the poor yang bermakna suatu komitment bersolidaritas dengan dan mendahulukan kaum yang menderita karena kemiskinan dan ketertindasan. Komitmen bersolidaritas ini merupakan tindakan kesetiaan kepada Injil Yesus Kristus.13 R. Mc Afee Brown dalam kajiannya tentang Liberation Theology menyimpulkan bahwa inti dari Liberation Theology adalah “pesan pembebasan”.14 Oleh karena itu, apapun itu dan dari sektor mana pun, penyebab-penyebab yang memiskinkan harus dilawan, entah itu faktor dari luar maupun dari dalam
13
Gustavo Gutierrez, “The Task and Content of Liberation Theology”, dalam Christoper Rowland (edt.) The Cambridge Companion to Liberation Theology (United Kingdom: Cambridge University Press, 1999), 27. 14 Robert Mc Afee Brown, Gustavo Gutierrez, An Introduction to Liberation Theology (New York: Orbis Book, 1990), 11-21.
masayarakat itu sendiri. Persoalan struktur yang tidak adil dan persoalan kultural yang menindas merupakan lawan dari Liberation Theology.15 Upaya berteologi kontekstual di Toraja akan dilakukan melalui proses konfirmasi dan konfrontasi, yaitu tidak melulu menyalahkan tetapi juga mengkonfirmasi nilai-nilai dan kekuatan-kekuatan yang bercampur-baur dalam tatanan kehidupan sosial dan kultur masyarakat Toraja.16 Selanjutnya diupayakan usaha untuk mengurangi dan menghilangkan hal-hal yang menghambat dan mengembangkan hal-hal yang mendukung pencapaian keadilan sosial bagi masyarakat.17
I.2. BATASAN MASALAH Karya tulis ini membatasi permasalahan kemiskinan dalam konteks pedesaan di Tana Toraja dengan pertimbangan bahwa fenomena kemiskinan di Toraja lebih menonjol di daerah pedesaan dan yang seringkali luput dari perhatian berbagai pihak termasuk Pemerintah dan Gereja. Selain itu, permasalahan kemiskinan dalam konteks pedesaan di Toraja memiliki keunikan bila dikaitkan dengan masalah kebudayaan Toraja khususnya tradisi ritual korban. Fenomena kemiskinan dapat diidentifikasi di berbagai tempat di Toraja, namun penulis hanya memilih dua lokasi sebagai sampel yaitu dusun Perangian dan dusun Dumbia yang terletak di wilayah Kecamatan Rindingallo, Kabupaten Tana 15
Robert Mc Afee Brown, Liberation Theology, An Introductory Guide, (Louisville, Kentucky: John Knox Press, 1993), 61-63. 16 Lihat E.G. Singgih dalam pandangannya tentang lima tipologi Niebuhr dalam E.G. Singgih, Berteologi dalam Konteks…,, 40. 17 J.B. Banawiratma, 10 Agenda Transformatif (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 24.
Toraja. Alasan pemilihan kedua lokasi menjadi objek penelitian adalah karena dari seluruh lokasi yang ada di wilayah Rindingallo, kedua dusun ini dikenal sebagai dusun yang paling miskin dengan persentase tingkat pendidikan yang rendah. Kedua lokasi ini merupakan wilayah yang masih terisolasi karena belum dijangkau sarana transportasi yang memadai, namun sekaligu memperlihatkan ironi tradisi pelaksanaan upacara adat yang menggunakan biaya yang mahal.18
I.3. RUMUSAN MASALAH 1. Siapa kaum miskin dalam masyarakat Dumbia dan Perangian dan kemiskinan macam apa yang mereka alami? 2. Mengapa mereka mengalami kemiskinan seperti itu dan faktor-faktor apa yang menyebabkan mereka miskin? 3. Teologi kontekstual model apa yang harus dibangun dalam merespon kenyataan kemiskinan ini? I.4. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengidentifikasi siapa yang menjadi kaum miskin di Dumbia dan Perangian dan bagaimana bentuk kemiskinan yang mereka alami. 2. Menggali faktor-faktor yang menjadikan warga menjadi miskin dalam lokasi tersebut.
18
Informasi dari Pdt. Simon Palamba’ (Pendeta Gereja Toraja Jemaat Bulu Manuk, Sekertaris Klasis Pangala’ dan sekaligus menjadi anggota pengurus PNPM Mandiri), Wawancara 10 Agustus. 2008. Informasi ini dilegitimasi oleh PJS Camat Rindingallo, Yohanes Dengen, SE. Wawancara 26, Desember 2008.
3. Membangun sebuah teologi kontekstual yang akan menjadi pedoman dalam upaya membebaskan warga Dumbia dan Perangian dari kemiskinan.
I.5. HIPOTESIS Berdasarkan penguraian di atas, maka penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Kaum miskin di Perangian dan Dumbia adalah kaum petani yang adalah rakyat biasa. 2. Kemiskinan di Dumbia dan Perangian berakar dalam persoalan ketidakadilan struktural dan pelaksanaan ritual adat yang boros. 3. Gereja di Toraja belum memiliki suatu teologi yang memadai dalam merespon persoalan kemiskinan di Dumbia dan Perangian dan dalam konteks masyarakat Toraja secara umum.
I.6. METODE PENELITIAN Fokus penelitian adalah realitas kemiskinan dalam kait-mengait dengan bidang kehidupan yang mencakup ekonomi, politik, sosial-budaya dan religius. Dan untuk memperoleh data yang objektif dan mendalam, maka penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif, penulis memanfaatkan data-data yang tersedia di lembaga-lembaga kedua lembang/desa dan kecamatan dan dikolaborasikan dengan hasil penelitian mandiri penulis. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui observasi, live in dan wawancara. Pendekatan kualitatif lebih dominan dalam peneilitian ini karena beberapa pertimbangan yaitu: pertama: pendekatan kualitatif dapat menyelesaikan masalah jika
berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menciptakan hubungan yang langsung antara peneliti dan yang diteliti; ketiga, metode ini lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh pola-pola nilai yang dihadapi.19 Penelitian kualitatif ini menekankan proses dan makna yang tidak secara ketat diukur dari segi jumlah, intensitas dan frekwensinya tetapi menekankan realitas yang disusun secara sosial, hubungan antara peneliti dan yang diteliti dan pembatasan situasional yang membentuk penelitian.20 Penelitian ini mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menekankan pada bagaimana realitas sosial tercipta melalui observasi dan wawancara. Dan wawancara akan dilakukan secara kreatif dan mendalam yang akan dituntun dengan pertanyaan-pertanyaan seperti apa, mengapa dan bagaimana? Dalam proses itu pula, diupayakan suasana keterbukaan. Narasumber dipilih dari masyarakat yang mengalami kemiskinan dan pihak-pihak yang terkait yang dipastikan dapat memberikan informasi yang layak dan memadai. Mereka dipilih dari masyarakat biasa, kaum perempuan, anak-anak, tua-tua adat, tokoh masyarakat, guru, majelis gereja (pendeta dan penatua), pemerintah (kepala desa dan camat).
19
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1991), 5. Andreas B. Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2004), 62.
20
I.7. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I. Pendahuluan Bagian pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, hipotesis, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II. Dumbia dan Perangian: Potret dan Analisis Merupakan deskripsi kehidupan ekonomi, politik, sosial-budaya dan religius Dumbia dan Perangian, yang menyorot kaitannya dengan fenomena kemiskinan. Selanjutnya data dianalisis dengan memperhatikan faktor-faktor yang terkait sebagai penyebab masalah kemiskinan itu. Bab III. Berteologi dalam Konteks Kemiskinan di Toraja Bagian ini terdiri dari respon keprihatinan iman terhadap hasil kesimpulan persoalan kemiskinan, dan pada akhirnya akan membangun karya teologi kontekstual terhadap persoalan kemiskinan yang terjadi dalam konteks Dumbia dan Perangian. Bab IV. Penutup Merupakan kesimpulan seluruh pembahasan dalam bab-bab sebelumnya.