BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Manusia memiliki kecenderungan untuk bersosialisasi antara yang satu dengan yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini, manusia membuat suatu kelompok dimana terdapat hubungan yang erat diantara mereka yang hidup dalam bermasyarakat. Atas dasar ini manusia disebut sebagai zoon politicon. Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu melakukan berbagai interaksi yang menimbulkan suatu akibat. Dalam usaha melindungi masyarakat dari gangguan pelaku pelanggar norma-norma sosial yang ada, maka salah satu sarana untuk menanggulanginya adalah dengan hukum pidana. Hukum pidana adalah hukum yang bersifat represif, hukum yang mempunyai sanksi istimewa, hukum ini tak kenal kompromi, walupun si korban tindak pidana sudah memaafkan atau tidak dituntut namun hukum pidana itu bersifat tegas, hukum harus ditegakkan dan pelaku harus ditindak.1 Kebutuhan masyarakat atas hukum pidana semakin nyata, dan untuk keperluan itu oleh para ahli hukum pidana telah dipikirkan agar hukum pidana berlaku adil sehingga timbulah bentuk-bentuk hukum pidana yang dirumuskan dalam undang-undang dan Kitab Undang-undang (kodifikasi).
1
M. Faal, Penyaringan perkara pidana oleh Kepolisian (Diskresi Kepolisian), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, h. 4.
1
Hal ini tidak berarti hukum pidana yang ada di setiap negara di dunia berbentuk undang-undang dan kodifikasi. Dalam masyarakat itu sendiri terdapat suatu aturan baik peraturan yang timbul dengan sendirinya selama proses sosialisasi itu berlangsung, maupun aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat itu sendiri. Sikap tindak dalam melakukan setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tidak selamanya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Adapun tindakan yang melanggar aturan atau peraturan hukum pidana tersebut dapat disebut dengan tindak pidana. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar akan mendapatkan sanksi yang jelas dan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana / KUHP. Dari jenis tindak pidana dalam KUHP terdapat jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila ada suatu pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan - kejahatan yang hanya dituntut atas dasar pengaduan. Pengaduan merupakan hak dari korban untuk diadakan penuntutan atau tidak dilakukan penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam perkara delik aduan diberikan jangka waktu pencabutan perkara yang diatur dalam
Pasal
75
KUHP.
Hal
ini
dilakukan agar
korban
dapat
mempertimbangkan dengan melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi korban apabila perkara tersebut tetap dilanjutkan atau tidak, diadakanya delik aduan adalah untuk melindungi pihak yang dirugikan dan memberikan 2
kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat. Dalam rangka mengatur sikap manusia agar tidak mengganggu, merampas dan melanggar hak-hak orang lain, maka dibuatlah aturan pidana agar orang-orang yang melakukan kejahatan dapat dikenai sanksi atau hukuman untuk mewujudkan ketentraman, keamanan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Salah satu tindak pidana yang sering dilakukan oleh seseorang adalah tindak pidana penggelapan (verduistering) sebagaimana yang diatur dalam Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan Pasal 377 KUHP. Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini sangat sering di jumpai dikehidupan sehari-hari. Himpitan ekonomi dengan gaya hidup yang semakin tinggi menjadi faktor terjadinya tindak pidana penggelapan, Yang dinamakan penggelapan adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Perkara penggelapan merupakan suatu delik atau tindak pidana biasa dan bukan delik aduan. Menurut R. Tresna, istilah pengaduan (klacht) tidak sama artinya dengan pelaporan (aangfte), bedanya adalah:2 1.
2.
Pelaporan dapat diajukan terhadap segala perbuatan pidana, sedangkan pengaduan hanya mengenai kejahatan-kejahatan, di mana adanya pengaduan itu menjadi syarat. Setiap orang dapat melaporkan sesuatu kejadian, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.
2
R. Tresna. Azas-azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan Pidana yang Penting, Bulan Bintang, Jakarta, 2006, h. 45.
3
3.
Pelaporan tidak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutan pidana, pengaduan di dalam hal-hal kejahatan tertentu sebaiknya merupakan syarat untuk mengadakan penuntutan. Penggelapan bukan termasuk dalam delik aduan, maka walaupun
barang yang digelapkan telah dikembalikan, hal itu tidak dapat menjadi alasan penghapusan hak penuntutan/peniadaan penuntutan atas delik tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Bab VIII Buku I (Pasal 76 s/d Pasal 85) KUHP tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana. Walaupun barang yang gelapkan telah dikembalikan oleh yang bersangkutan, dia tetap dapat dituntut dengan pasal penggelapan. Namun, dengan adanya iktikad baik si pelaku, apabila ada perjanjian perdamaian, hal itu dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan saat perkara tersebut diperiksa di pengadilan. Salah satu fungsi hukum pidana adalah sebagai alat atau sarana terhadap penyelesaian problematika. Kebijakan hukum pidana sebagai suatu upaya untuk menanggulangi kejahatan dan mensejahterahkan masyarakat, maka berbagai bentuk kebijakan dilakukan untuk mengatur masyarakat dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada tujuan yang lebih luas. Perkara tindak pidana penggelapan kususnya di unit III Penyidikan Sat Reskrim Polrestabes Semarang periode Januari 2014 sampai dengan Agustus 2014 laporan yang masuk mencapai 30 laporan, dari angka tersebut 6 diantaranya pelapor menghendaki proses penyidikanya di tangguhkan dengan
pertimbangan
kedua
belah
pihak
yang
berperkara
telah
menyelesaikan kerugian materiel yang dialami oleh pelapor dan kedua belah 4
telah saling memaafkan, sedangkan sisa perkara-perkara tersebut masih dalam tahap penyelidikan dengan berbagai macam hambatan dan di limpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum. Perkara tindak pidana penggelapan yang laporannya dicabut oleh pelapor dan menghendaki penyelesaian secara damai cepat ditindak lanjuti oleh Penyidik, menurut Penyidik hal itu merupakan penilaian positif karena beban perkara yang ditangani juga berkurang begitu juga dengan perkara yang tidak ada penyelesaian secara damai yang harus ditindak lanjuti sampai berkas perkaranya dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum selama tidak terdapat hambatan-hambatan dalam prosesnya cepat direspon karena keterbatasan waktu yang telah diatur dalam undang-undang. Perkara tindak pidana penggelapan yang ditangani di Polrestabes sampai berlanjut dan dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum pada umumnya karena pelaku tidak sanggup dan tidak bisa menghadirkan kembali kerugian yang dialami oleh pelapor/korban, sebab lain karena korban menghendaki pembelajaran hukum kepada pelakunya. Contoh perkara
tindak
pidana
penggelapan
yang
menghendaki
prosesnya
ditangguhkan dibawah ini : ANDI adalah teman dekat JOHAN yang sudah lama bekerja sama dalam usaha jual beli Mobil, suatu ketika ANDI mendapat kepercayaan untuk menjualkan 1 unit Toyota Avanza milik JOHAN dengan kesepakatan harga Rp.150.000.000. dalam waktu tidak lama ANDI berhasil menjualkan mobil tersebut dengan harga sesuai permintaan JOHAN, namun ANDI mengalami suatu musibah anaknya sakit dan di Opname pada salah satu rumah sakit, karena ANDI tidak mempunyai uang untuk biaya anaknya tersebut maka timbulah niat untuk menggunakan Rp.50.000.000. atau sebagian uang hasil penjualan mobil tanpa sepengetahuan JOHAN, dan uang tersebut digunakan untuk biaya anaknya, di lain waktu JOHAN bertanya tentang mobilnya tersebut dan ANDI menerangkan bahwa 5
benar mobil sudah laku terjual dengan kesepakatan harga Rp. 150.000.000. namun uang hasil penjualanya sebagian digunakan oleh ANDI dan ANDI berjanji dalam waktu satu minggu uang yang digunakan tersebut akan dikembalikan karena dengan alasan tersebut diterima JOHAN, setelah satu minggu JOHAN menagih kepada ANDI tentang uang yang digunakan tersebut namun ANDI tidak bisa mengembalikanya sehingga oleh JOHAN dilaporkan kepada Kepolisian, setelah diproses oleh kepolisian dilakukan penyelidikan dan penyidikan terbukti perbuatan ANDI cukup bukti dan memenuhi unsur pasal 372 KUHP dan dilakukan penahanan, dalam perjalanan waktu ANDI dan keluarganya berupaya untuk dapat mengembalikan uang yang digunakan tersebut kepada JOHAN, maka kerugian JOHAN telah dikembalikan sehingga JOHAN memohon kepada kepolisian untuk mencabut laporan dengan alasan bahwa uangnya telah dikembalikan dan ia menuangkan dalam pernyataan bahwa permasalahan tersebut telah dimaafkan sehingga JOHAN meminta agar proses hukumnya selesai ditingkat kepolisian saja dan tidak dilanjutkan sampai ke Kejaksaan maupun Pengadilan, dengan berbagai pertimbangan sehingga kepolisian menangguhkan proses penyidikan yang sudah berlangsung, walaupun perkara/kasus tersebut bukan delik aduan. Dari perkara/kasus diatas walaupun pihak korban/pelapor telah berdamai dan mengajukan permohonan pencabutan laporan, kepolisian tidak mempunyai dasar atau landasan hukum untuk menghentikan proses penyidikan tersebut sampai ketahap penuntutan di kejaksaan dan mendapat putusan hukum tetap di pengadilan jika tujuan hukum untuk mencari suatu kepastian, namun jika hukum bertujuan untuk mendapatkan keadilan dan kemanfaatan atas pencabutan laporan kepolisian membutuhkan sarat adminstrasi yang mendukung pemufakatan kedua belah pihak antara pihak pelapor maupun terlapor yang diketahui oleh pihak ketiga contoh keluarga para pihak, RT, RW ataupun pihak kelurahan bahwa perkara/kasus tersebut telah di selesaikan secara damai, saling memaafkan dan tidak saling menuntut dikemudian hari, dan pihak terlapor menyadari perbuatanya tersebut melanggar hukum dengan ancaman pidana empat tahun, sehingga 6
dapat
dipertimbangkan
oleh
kepolisian
dampak
baik
buruknya,
memperhatikan situasi masyarakat setempat, apabila perkara/kasus tersebut di tangguhkan prosesnya, karena tugas pokok kepolisian sebagai pelindung, pengayom dan pelayanan masyarakat selain penegakan hukum juga memelihara
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat,
berdasarkan
pertimbangan tersebut sehingga prosesnya di tangguhkan. Lebih lanjut adanya paradigma baru dalam proses penegakan hukum pidana yang disebut dengan pendekatan “Restorative Justice” atau “Keadilan Restoratif”. Pendekatan ini dinilai menawarkan solusi lebih efektif karena bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat guna memperbaiki perbuatan/akibat perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki tata kehidupan bermasyarakat. Berbicara soal penegakan hukum adanya keharusan menjalankan hukum sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri dan dapat memprioritaskan ketiga tujuan hukum ini tanpa ada yang di kecualikan, sehingga tercipta suatu keadaan yang aman. Hal ini berlaku juga bagi Kepolisan Republik Indonesia sebagaimana yang di amanahkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, yakni dalam Pasal 13 tentang tugas dan wewenang Polri. Pada dasarnya kehadiran dan tugas Polisi tak lepas dari permasalahan dan tindak Pidana, Polisi dapat menjadi pengayom dan pelindung masyarakat juga dapat memberikan rasa nyaman dalam masyarakat menjalankan aktifitas manusia sebagai subjek hukum. 7
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa hukum pidana tidak mengenal adanya kompromi, namun pada kenyataannya ada beberapa perkara pidana itu diselesaikan langsung oleh polisi tanpa melalui jaksa maupun pengadilan. Perkara-perkara tersebut pada umumnya berupa jenis tindak pidana ringan dan dikarenakan si korban mau menerima permohonan maaf dari si pelaku dimana penyelesaiannya dengan cara berdamai. Dengan adanya wewenang polisi yang sangat besar bisa mengarah ke perbuatan kesewenang-wenangan atau diskriminasi. Oleh karena itu perlu landasan moral dan etika serta pengawasan-pengawasan. Terdapat berbagai kasus yang menggambarkan tindakan para aparat penegak hukum tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya. Tetapi penegak hukum dalam hal ini polisi masih ada yang bertindak bijak dalam memutuskan perkara pidana, terutama tindak pidana penggelapan. Maka dalam thesis ini penulis ingin membahas proses penyelesaian perkara tindak pidana penggelapan yang memperlihatkan kewenangan polisi dalam menyelesaikan perkara tidak hanya berdasarkan aturan hukum formal yang berlaku,
tapi
juga
menggunakan
pendekatan
keadilan
restoratif,
sebagaimana pengaturan ketentuan-ketentuan hukumnya memberikan keadilan lebih baik untuk pelaku maupun korban dan keluarga korban. Berdasarkan latar belakang yang terurai sebelumnya, maka disusunlah thesis ini dengan judul “Penyelesaian perkara tindak pidana Penggelapan dengan pendekatan Restoratif Justice “ (Studi Penelitian di Polrestabes Semarang).
8
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan
uraian
latar
belakang
tersebut,
maka
penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut : Apa yang menjadi landasan hukum dalam Penyelesaian perkara tindak pidana penggelapan dengan pendekatan Restoratif Justice di Polrestabes Semarang?
C.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis Penyelesaian perkara tindak pidana penggelapan dengan pendekatan Restoratif Justice di Polrestabes Semarang.
D.
Manfaat Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, sebagai berikut :
1.
Manfaat Teoritis : Dengan adanya penelitian ini penulis berharap semoga dapat mengembangkan pengetahuan dalam bidang hukum dan menjadi bahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang tentu lebih mendalam lagi, khususnya dalam proses Penyelesaian Perkara tindak pidana penggelapan dengan pendekatan Restoratif Justice.
2.
Manfaat Praktis : Dengan adanya penelitian ini diharapkan 9
a) Memberi manfaat bagi institusi untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berfikir dan cara bertindak dalam mengambil keputusan guna mewujudkan tujuan hukum. b) Memberikan masukan kepada masyarakat agar lebih mengerti dan memahami masalah dan hambatan apa yang dihadapi bila terjadi peristiwa penggelapan dalam kehidupan sehari-hari.
E.
Kerangka Pemikiran Untuk memahami apa itu delik aduan, sebaiknya memahami pengertian dari kata atau peristilahan “delik” itu sendiri, karena untuk pengertian tentang delik aduan berpijak pada defenisi dan pendapat ahli tentang itu, tetapi haruslah lebih dahulu kita arahkan titik pandang dan titik perhatian kita pada satu pertanyaan yaitu apa itu delik ? Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaar feit. Terjemahan lain untuk kata strafbaar feit adalah peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, perbuatan yang dapat dihukum dan pelanggaran pidana. Masih belum didapat satu sinonim dan/atau terjemahan kata yang terpola dan diakui secara umum untuk peristilahan Strafbaar feit ini. Masing-masing sarjana menyampaikan pengertian dan pernyataan yang berbeda pula. Kesalahan adalah keadaan bathin (psikis) dari orang yang melakukan perbuatan itu serta hubungan antara keadaan bathin itu dengan perbuatan yang dilakukan sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatannya itu. Keadaan bathin (psikis) dari orang yang melakukan perbuatan itu, dalam 10
Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana merupakan soal yang lazim disebut masalah kemampuan bertanggung jawab, sedangkan hubungan antara keadaan bathin itu dengan perbuatan yang dilakukan merupakan masalah kesengajaan, kealfaan, serta alasan pemaaf, sehingga mampu bertanggung jawab. Dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menegaskan: Barang siapa dengan sengaja melawan hukum memiliki barang sesuatu atau seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Lamintang (dalam Tongat) mengemukakan penjelasannya mengenai tindak pidana penggelapan yaitu:3 Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam BAB XXIV KUHP lebih tepat disebut sebagai tindak pidana penyalahgunaan hak” atau “penyalahgunaan kepercayaan”. Sebab, inti dan tindak pidana yang diatur dalam BAB XXIV KUHP tersebut adalah “penyalahgunaan hak” atau “penyalahgunaan kepercayaan”. Karena dengan penyebutan tersebut maka akan lebih memudahkan bagi setiap orang untuk mengetahui perbuatan apa yang sebenarnya dilarang dan diancam pidana dalam ketentuan tersebut. Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP.4 1) Penggelapan biasa Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. 2) Penggelapan Ringan 3
Tongat, Hukum Pidana Materiil. UMM Press, Malang, 2006, h. 57. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 29, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2011, h. 132. 4
11
Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal 373 KUHP. 3) Penggelapan dengan Pemberatan Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah (Pasal 374 KUHP). 4) Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP). Dasar hukum yang dijadikan landasan atau pedoman dalam penelitian ini adalah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73), Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Peraturan Kepala Kepolisian RI No.: 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan perkara Pidana di Lingkungan Kepolisisan Negara Republik Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, Kepolisian berada di tengah-tengah masyarakat, setiap detik, setiap jam, setiap hari. Selain bertugas sebagai penegak hukum (law enforcement) dan pemelihara ketertiban (order maintenance), Polisi juga bertugas sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat. Sebagai penegak hukum, tugas Kepolisian
senantiasa
bersinggungan
dengan
kehidupan
sosial
kemasyarakatan yang akan selalu memungkinkan terjadi benturan-benturan yang
berakibat
memunculkan
persepsi
masyarakat
yang
kurang
menguntungkan bagi aparat kepolisian. Dalam pelaksanaan tugasnya kadang kala
polisi
harus
mengambil
tindakan-tindakan
yang
merupakan
kewenangannya untuk memelihara keamanan dan ketertiban itu sendiri. 12
Namun demikian beberapa pihak memandang bahwa tindakan Kepolisian yang dilakukan rentan untuk menimbulkan arogansi dan tindakan kesewenang-wenangan dari aparat kepolisian itu sendiri, yang justru akan memperburuk citra kepolisian. Oleh karena itu, diperlukan suatu pertimbangan-pertimbangan dan langkah-langkah agar diskresi Kepolisian dapat dijalankan dengan baik dan benar dimata hukum serta nantinya dapat mencapai tujuan terpeliharanya keamananan dan ketertiban di tengah masyarakat. Roescoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam, mengartikan diskresi kepolisian yaitu: an authority conferred by law to act in certain condition or situation; in accordance with official’s or an official agency’s own considered judgement and conscience. It is an idea of morals, belonging to the twilight zone between law and morals. (diskresi kepolisian adalah suatu tindakan pihak yang berwenang untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri).5 Jadi, diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Dalam praktik penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, masih banyak aparat kepolisian yang ragu untuk menggunakan Diskresi ini, terutama dalam penanganan kasus pidana. Padahal, Pasal 18 Undangundang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan peluang pada aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi.
5
R. Abdussalam, Hukum Kepolisian sebagai hukum positif dalam disiplin hukum, 1997, h. 25-26.
13
Selengkapnya Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik menyebutkan: (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan: Yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum. Pentingnya peranan penegak hukum dalam memberantas suatu tindak pidana adalah berdasarkan konsep sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system. Oleh Frakfuther, Pound. Moley dan Warner membentuk National Commision on Crime and Criminal Justice yang bertujuan untuk menyusun suatu mekanisme administrasi peradilan pidana yang mendukung tujuan pencegahan dan pemberantasan kejahatan.6 Konsep Restorative Justice pada dasarnya mengandung ukuran keadilan yang tidak lagi mengacu pada teori pembalasan yang setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan
kepada
korban
dan
6
mensyaratkan
pelaku
untuk
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, 2001, h. 9.
14
bertanggungjawab,
dengan
bantuan keluarga
dan
masyarakat
bila
diperlukan. Mengapa diperlukan pendekatan restorative justice? Jawabannya karena sistem peradilan pidana yang selama ini dianut hakikatnya lebih mengedepankan keadilan retributive (pembalasan) dan restitutive (ganti rugi), serta memberikan wewenang yang sangat besar kepada Negara dan/atau mendelegasikan kepada Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, dan Hakim) untuk menyelesaikan seluruh perkara pidana. Hal ini pada tataran empirisnya ternyata dinilai kurang memuaskan. Sebab pelaku dan korbannya tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan versi keadilan yang mereka inginkan. Karena itu tidak mengherankan apabila suatu tindak pidana yang seharusnya dapat diselesaikan melalui kesepakatan antara para pihak, senantiasa harus di bawa ke pengadilan, sehingga menimbulkan kejenuhan perkara di pengadilan. Padahal
melalui
pendekatan
Restorative
Justice
(Keadilan
Restoratif) suatu tindak pidana dapat diselesaikan secara adil dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam
suatu tindak pidana, untuk secara
bersama-sama
mencari
penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula suatu kondisi hubungan antar individu, kelompok, keluarga, dan kemasyarakatan, yang tercederai oleh perbuatan pelaku pidana. Di Indonesia pendekatan Restorative Justice sebenarnya sudah dikenal baik dalam tata kehidupan masyarakat hukum adat, komunitas 15
keagamaan maupun hubungan kemasyarakatan lainnya dengan cara mendamaikan pihak korban dan pelaku pidana, dengan atau tanpa melibatkan institusi kepolisian ataupun kejaksaan. Dari berbagai asas dan model pendekatan restorative justice, proses dialog antara pelaku dengan korban merupakan modal dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat mengungkapkan apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginankeinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui proses dialog juga pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari kesalahannya dan menerima tanggungjawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau pelaksanaannya. Dalam konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai media komunikasi yang menjadi modal utama penyelenggaraan lembaga mediasi. Keseluruhan proses itulah yang dapat ditemui baik dalam model penyelenggaraan restorative justice seperti : 1.
Victim Offender Mediation (VOM : Mediasi antara pelaku dengan korban) ialah suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator dan fasilitator dalam pertemuan tersebut.
2.
Conferencing adalah suatu forum yang sama dengan VOM, namun dalam bentuk ini terdapat perbedaan yaitu pelibatan penyelesaian bukan 16
hanya melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak langsung (secondary victim), seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. Adapun alasan pelibatan para pihak tersebut adalah karena mereka mungkin terkena dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak pidana yang terjadi atau mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan kepentingan akan hasil dari musyawarah serta mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengupayakan keberhasilan proses dan tujuan akhirnya. 3.
Circles, ialah suatu model penerapan restorative justice yang pelibatannya paling luas dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum yang bukan hanya korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan perkara tersebut. Ketiga model pendekatan restoratif justice tersebut pada dasarnya
merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi dari model dialog yang merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan mufakat. Dari nilai dasar inilah restorative justice sebagai implementasi dari nilai dasar yang ada dalam masyarakat Indonesia memiliki fondasi nilai yang kuat. Akan tetapi penyelesaian model ini belum memiliki justifikasi perundangundangan yang jelas.
17
F.
METODE PENELITIAN Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.7 Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.8 Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1.
Jenis Penelitian Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada penelitian
ini
penulis
menggunakan
jenis
penelitian
yuridis
empiris/socio legal. Pendekatan yuridis empiris adalah menelaah hukum dalam kenyataan dengan mengadakan penelitian di lapangan untuk melihat fakta-fakta yang berkaitan dengan tindak pidana penggelapan di Polrestabes Semarang. Dengan demikian, diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut. Jadi penelitian yuridis empiris disebut juga studi hukum terhadap norma/aturan (law in books) dan dalam aksi/tindakan (Law in Action), dimana penelitian ini ingin mengkaji tentang penyelesaian tindak pidana penggelapan dalam kewenangan polisi. Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian empiris, maka terdapat beberapa pendekatan penelitian
7
Soerjono Soekanto dan Sri Mumuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, h. 1. 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, h. 42.
18
hukum antara lain pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan filosofis .9 Dari beberapa pendekatan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statue approach) yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Peraturan Kepala Kepolisian RI No.: 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian NegaraRepublik Indonesia, dan pendekatan komparatif (comparative approach). 2.
Metode Pendekatan Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum dilingkungan masyarakat, Dikarenakan dalam penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian hukum empiris dapat di katakan sebagai penelitian sosiologis, yang diambil dari faktafakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.10
3.
Bahan Hukum Untuk
memperoleh
data
dalam
penyusunan
tesis
ini
menggunakan sumber data sekunder. Data ini didapat dengan melakukan penelitian bahan kepustakaan, dan didukung atau dilengkapi dengan data-data yang diperoleh melalui wawancara. Studi kepustakaan
9
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, h. 93. http://idtesis.com diakses 8 juli 2016
10
19
dilakukan melalui tahap-tahap identifikasi pustaka sumber data, identifikasi bahan hukum yang diperlukan dan inventarisasi bahan hukum (data) yang diperlukan tersebut. Data sekunder dibagi atas beberapa bahan hukum, yaitu : 1) Bahan Hukum Primer, berupa Undang-undang, meliputi : a)
Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP).
b) Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). c)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
d) Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. e)
Data Penanganan perkara di Polrestabes semarang (Iptu Slamet Widodo, Penyidik pada Unit II Sat Reskrim Polrestabes Semarang).
2) Bahan Hukum Sekunder. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian, berupa buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Seperti Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 20
Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
3) Bahan Hukum Tersier yaitu kamus hukum, dan kamus Bahasa Indonesia. Sumber data lain, selain data sekunder, penulis juga menggunakan data primer, yaitu wawancara dengan Pejabat yang berkompeten. 4.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan cara : Studi Kepustakaan. Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder. Dalam studi kepustakaan ini dilakukan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Dalam hal ini peneliti memperoleh data kepustakaan dari buku-buku atau literatur lainnya.
5.
Analisis Data Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian. Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Bahan-bahan
hukum
yang telah
terkumpul
selanjutnya
dianalisis guna mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang telah ditentukan.
21