BAB I PENDAHULUAN
A. Pendahuluan Hukum agama yang sahih dan pikiran yang sehat mengakui perkawinan sebagai suatu hal yang suci dan kebisaan yang baik dan mulia. Jika diukur dengan neraca keagamaan, perkawinan menjadi dinding yang kuat, yang memelihara manusia dari dosa-dosa disebabkan oleh nafsu seksual di jalan yang haram.1 Pernikahan adalah landasan bangunan, dan kedudukan keluarga sangatlah penting dalam pandangan al-Qur'an, berdasarkan banyaknya ayat yang berbicara tentang hubungan pernikahan, hubungan orang tua dengan anak, dan hubungan antar keluarga. Mempunyai anak dan mengasuhnya dengan baik sangat diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan spesies manusia. Hubungan pernikahan dan hubungan keluarga memberikan fondasi bagi lahirnya generasi-generasi yang akan datang.2 Apabila dua orang pria dan wanita terikat dalam perkawinan, keduanya akan hidup nyaman dan tentram dua sejoli, hidup sebagaimana suami isteri dengan hak dan kewajiban bersama membangun suatu rumah tangga yang sejahtera, saling tolong-menolong, saling kasih dan mencintai. Apabila akad itu telah dilangsungkan maka landasan kukuh untuk berpijak
1
H.S. M. Nasruddin Latif, Ilmu Perkawinan Seputar Keluarga dan Rumah Tangga, Bandung : Pustaka Hidayat, 2001, hlm. 4 2 Lynn Wilcox, Women and the Holy Qur’an : A Sufi Perspektive, (tarj.) Dictia“ Wacana dan al-Qur'an dalam Perspektif Sufi”, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998, hlm. 125.
1
2
dalam membangun suatu keluarga sejahtera telah terpancang, sehingga tercapailah suatu kelurga sejahtera, aman dan tentram.3 Islam menganjurkan perkawinan mengandung manfaat baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat pada umumnya. Di antara manfaat perkawinan adalah bahwa perkawinan dapat menentramkan jiwa, menahan emosi, menutup pandangan dari segala yang dilarang Allah dan untuk menjaga kasih sayang suami isteri yang dihalalkan Allah.4 Sesuai dengan firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 21 :
ﻞ َﺑ ْﻴ َﻨﻜُﻢ َ ﺟ َﻌ َ ﺴ ُﻜﻨُﻮا إِﻟَ ْﻴﻬَﺎ َو ْ ﺴ ُﻜ ْﻢ َأ ْزوَاﺟًﺎ ﻟﱢ َﺘ ِ ﻦ أَﻧ ُﻔ ْ ﻖ َﻟﻜُﻢ ﱢﻣ َ ﺧَﻠ َ ن ْ ﻦ ﺁﻳَﺎ ِﺗ ِﻪ َأ ْ َو ِﻣ (٢١ : ن )اﻟﺮوم َ ت ﱢﻟ َﻘ ْﻮ ٍم َﻳ َﺘ َﻔ ﱠﻜﺮُو ٍ ﻚ ﻟَﺂ َﻳﺎ َ ن ﻓِﻲ َذِﻟ ﺣ َﻤ ًﺔ ِإ ﱠ ْ ﱠﻣ َﻮ ﱠد ًة َو َر Artinya : Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri. Supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda bagi kaum yang berfikir. (Q. S. ar-Rum : 21).5 Perkawinan merupakan ikatan yang kuat “ mitsaqan ghalidhan” antara pria dan wanita untuk selamanya. Oleh karena itu tujuan perkawinan adalah membentuk tatanan yang diliputi rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Tujuan tersebut dapat kita lihat dalam Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 bab I Pasal 1, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin
3
Kaelany HD, Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan, Jakarta: Bumi Aksara, 2000,
hlm. 141.
4
H. S. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah, (tarj.) Agus Salim, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Pustaka, 1998, hlm. 16. 5 Departeman Agama RI, al-Qur'an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1998, hlm. 644.
3
antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.6 Perkawinan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan) sebab kalau tidak dengan nikah tentu anak tidak berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggungjawab atasnya. Dari perkawinan itu akan melahirkan keturunan yang sah dalam masyarakat, kemudian keturunan tersebut akan membangun rumah tangga yang baru dan keluarga yang baru. Tidak diragukan bahwa perzinaan merupakan bahaya terburuk dalam perkembangan hidup manusia, betapa tidak, dan bagaimana akibatnya jika perzinaan itu merajalela dalam masyarakat, akan bertebaran manusia-manusia yang lahir dari pasangan pria dan wanita zina. Terlahir keturunan yang tidak sah, lalu muncul lagi masalah-masalah rumit yang berkaitan dengan masalah keluarga, masalah waris, masalah perwalian, pemeliharaan anak, dan sebagainya. Karena itulah, Islam menggariskan suatu aturan akad nikah untuk menghalalkan
pergaulan
pria
dan
wanita,
yang
sekaligus
dapat
menyelamatkan pasangan tersebut dari kebinasaan hawa nafsunya.7
ﻗﺎل ﻟﻨﺎ رﺱﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ: ﻋﻦ ﻋﺒﺪاﷲ ﻗﺎل.ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ج َﻓِﺈﱠﻧ ُﻪ ْ ع ِﻣ ْﻨ ُﻜ ُﻢ ا ْﻟ َﺒﺎ َء َة َﻓ ْﻠ َﻴ َﺘ َﺰ ﱠو َ ﻄﺎ َ ﺱ َﺘ ْ ﻦا ِ ب َﻣ ِ ﺸ َﺒﺎ ﺸ َﺮ اﻟ ﱠ َ ﻳَﺎ َﻣ ْﻌ: اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠﻢ ﺼ ْﻮ ِم َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻟ ُﻪ ﻄ ْﻊ َﻓ َﻌَﻠ ْﻴ ِﻪ ِﺑﺎﻟ ﱠ ِ ﺴ َﺘ ْ ﻦ َﻟ ْﻢ َﻳ ْ ج َو َﻣ ِ ﻦ ِﻟ ْﻠ َﻔ ْﺮ ُﺼ َ ﺣ ْ ﺼ ِﺮ َوَأ َ ﺾ ِﻟ ْﻠ َﺒ ﻏ ﱡ َ َأ 8 (ﺟﺎ ٌء )رواﻩ ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ َ ِو 6
Redaksi Sinar Grafika, UU Pokok Perkawinan, Jakarta : Sinar Grafika, 2000, hlm. 1 Kaelani Ahmad, loc. cit. 8 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. II, Lebanon: Dar al-Kitab al-Alamiyah, t.th., hlm. 7
1019
4
Artinya : “Dari Abdurrahman bin Yazid dari Abdullah berkata : Telah bersabda kepada kita Rasulullah Saw Wahai generasi muda, barang siapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan, kalau belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa akan menjadi perisai baginya.” (H.R Bukhari Muslim). Dengan perkawinan terjaga dan terpeliharalah perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan. Alangkah malang nasib wanita yang menyia-nyiakan kecantikannya waktu muda dengan berfoya-foya dan bergaul bebas tanpa batas. Kemudian setelah habis manis sepah dibuang maka wanita itu tinggal seorang diri, tidak ada suami yang memeliharanya dan tidak ada anak yang menyayanginya.9 Suatu kenyataan yang harus diingat ialah bahwa dengan perkawinan, dapat dicapai pembagian kerja yang logis dan harmonis antara suami dan isteri guna ketentraman jiwa dan kebahagiaan hidup. Semua orang dapat melihat atau merasakan bahwa manusia sebagai pribadi bukanlah makhluk yang lengkap, yang dapat berdiri sendiri. Organisme cucu Adam tidak bisa berfungsi dengan sempurna jika makhluk lain yang membantunya. Nyata bahwa perkawinan adalah jalan yang wajar untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia. Pemenuhan kebutuhan jasmani jika dialirkan pada saluran yang halal, niscaya tidak mangandung perasaan bersalah atau dosa dilakukan di jalan yang haram.10 Ayat tentang poligami dibolehkan dengan bersyarat, pada surat anNisa ayat 3, secara lebih khusus merujuk pada keadilan yang harus dilakukan 9
Kaelany HD, op. cit, hlm. 143 H. S. M., Nasruddin Latif, op. cit., hlm. 17
10
5
kepada anak-anak yatim. Ayat ini diturunkan segera setelah perang Uhud ketika masyarakat muslim dibebankan dengan banyaknya anak yatim serta tawanan perang, maka perlakuan itu diatur dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. Para ulama dan fuqaha telah menetapkan persyaratan bila seorang ingin menikahi lebih dari seorang isteri : -
Dia harus memiliki kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan dengan bertambahnya isteri yang dinikahi
-
Dia harus memperlakukan semua isterinya itu dengan adil. Setiap isteri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya.11
Sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 3 :
ﻦ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎء َ ب َﻟﻜُﻢ ﱢﻣ َ ﺴﻄُﻮ ْا ﻓِﻲ ا ْﻟ َﻴﺘَﺎﻣَﻰ ﻓَﺎﻧ ِﻜﺤُﻮ ْا ﻣَﺎ ﻃَﺎ ِ ﻻ ُﺗ ْﻘ ﺧ ْﻔ ُﺘ ْﻢ َأ ﱠ ِ ن ْ َوِإ ﺖ َأ ْﻳﻤَﺎ ُﻧ ُﻜ ْﻢ ْ ﺣ َﺪ ًة َأ ْو ﻣَﺎ َﻣَﻠ َﻜ ِ ﻻ َﺗ ْﻌ ِﺪﻟُﻮْا َﻓﻮَا ﺧ ْﻔ ُﺘ ْﻢ َأ ﱠ ِ ن ْ ع َﻓِﺈ َ ث َو ُرﺑَﺎ َ ﻼ َ ﻣَ ْﺜﻨَﻰ َو ُﺛ (٣ : ﻻ َﺗﻌُﻮﻟُﻮْا )اﻟﻨﺴﺎء ﻚ َأ ْدﻧَﻰ َأ ﱠ َ َذِﻟ Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terahdap (hakhak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” ( Q. S. an-Nisa ayat 3).12 Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa asas perkawinan dalam Islam pun adalah monogami. Kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isteri terpenuhi. Namun demikian,
14
11
Abdurrahman I. Doi, Perkawinan dan Syari’at Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm.
12
Departemen Agama RI, op. Cit., hlm. 115
6
hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami atau beristeri dapat dipenuhi dengan baik.13 Dalam kitab Abu Daud dari harits bin Qais, berkata :
ﻓﺬآﺮت ذﻟﻚ ﻟﻠﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰاﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠﻢ,أﺱﻠﻤﺖ وﻋﻨﺪى ﺛﻤﺎن ﻧﺴﻮة 14 .أﺧﺘﺮ ﻣﻨﻬﻦ أرﺑﻌﺎ: ﻓﻘﺎل Artinya : “saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isetri saya, lalu saya menceritakan kepada Nabi Saw”. maka sabda beliau “ maka pilihlah empat orang di antara mereka”. Sebelum perkawinan dilangsungkan terkadang ada syarat-syarat yang disepakati oleh kedua mempelai atau dari pihak orang tua mempelai yang tujuannya demi kebaikan calon mempelai, karena untuk membina rumah tangga selanjutnya. Di dalam kitab-kitab fiqh telah membahas mengenai syarat-syarat tersebut. Adapun pengertian syarat dalam perkawinan ialah :
اﻟﺸﺮوط ﻓﻰ اﻟﺰواج هﻲ ﻣﺎ ﻳﺸﺘﺮﻃﻪ أﺣﺪ اﻟﺰوﺟﻴﻦ ﻋﻠﻰ اﻻﺧﺮ ﻣﻤﺎ ﻓﻴﻪ 15 ﻏﺮض Artinya : “Sesuatu yang disyaratkan oleh salah satu mempelai atas suatu yang lain, yang mana sesuatu itu memang dikehendaki adanya tujuan “. Ada akad nikah yang dikaitkan dengan beberapa syarat, ada syarat yang sesuai dengan tujuan akad dan ada pula yang berlawanan dengan tujuan akad. Ada syarat yang manfaatnya kembali kepada pihak perempuan, dan ada pula
170.
13
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hlm.
14
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (tarj.), Muh. Thalib, Bandung: al-Ma’arif, 1997, hlm. 150. Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam, juz, VII, Beirut : Dar al-Fikr, 1997, hlm. 53
15
7
yang dilarang oleh syara’ masing-masing syarat itu mempunyai hukum tersendiri.16 Ulama fiqh sepakat bahwa syarat yang sesuai dengan tujuan akad harus dipenuhi oleh kedua mempelai. Misalnya syarat akan mempergauli isteri dengan baik, pakaian, tempat tinggal dan akan minta izin pada suami apabila isteri bepergian dan syarat lain yang sifatnya tidak menyeleweng dari hukum Allah. Mereka juga sepakat tentang melarang syarat yang tidak sesuai dengan tujuan akad, misalnya syarat bahwa suami tidak akan memberikan nafkah kepada isteri, tidak akan memberi maskawin atau isteri harus memberi nafkah kepada suami atau isteri hanya akan dipergauli pada siang hari, tidak malam hari atau syarat lain yang bertentangan dengan tujuan akad. Akan tetapi, ulama fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat yang tidak sejalan tetapi tidak berlawanan dengan tujuan akad. Artinya syarat tersebut memang bermanfaat bagi salah satu calon mempelai, misalnya syarat bahwa isteri tidak akan diusir dari rumah atau kampungnya, tidak berpergian bersama (isteri), tidak akan kawin lagi dan sebagainya.17 Menurut
sebagian
ulama
Hanafiyah
dan
Syafi’iyah
bahwa
perkawinannya sah tetapi syarat itu sia-sia, tidak mengikat, suami tidak wajib memenuhi janjinya,18 mereka beralasan dengan hadits :
آﻞ ﺵﺮط ﺧﻠﻒ آﺘﺎب اﷲ ﻓﻬﻮ ﺑﺎﻃﻞ و: ﻋﻦ ﻋﻤﺮ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ 19 ( )رواﻩ ﺑﺨﺎرى. ان ﺵﺘﺮط ﻣﺎﺋﺔ ﺵﺮط 16
H. S. A. Al-Hamdani, op. cit., hlm. 59 Wahbah al-Zuhaily, op. cit., hlm. 34 18 H. S. A. Al-Hamdani, op. cit., hlm. 33 17
8
Artinya : “Dari Umar r.a : Semua syarat yang tidak sesuai dengan kitabulllah maka syarat itu batal meskipun seratus syarat”. Mereka berpendapat bahwa syarat-syarat di atas bukan dari kitab Allah, karena syari’at tidak menghendakinya dan syarat tersebut tidak akan menambahkan kebaikan akad dan tujuan akad.20
ﻋﻦ ﻋﻤﺮوﺑﻦ ﻋﻮف اﻟﻤﺰﻧﻲ رﺿﻰاﷲ ﻋﻨﻪ أن رﺱﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮن ﻋﻠﻰ ﺵﺮوﻃﻬﻢ اﻻ ﺵﺮﻃﺎ اﺣﻞ ﺣﺮاﻣﺎ أو: ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠﻢ ﻗﺎل 21( )رواﻩ ﺗﺮﻣﺬى و ﺻﺤﺢ.ﺣﺮم ﺣﻼﻻ Artinya :
Dari Umar bin Auf al-Mazani r.a bahwa Sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda : “Orang Islam itu terikat dengan syarat yang mereka buat, kecuali syarat menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. (HR. Turmudzi dan hadits ini Shahih)
Mereka
berpendapat
bahwa
syarat-syarat
di
atas
dianggap
mengharamkan yang halal, seperti kawin lagi (poligami) dan bepergian kedua hal itu adalah halal.٢٢ Sebagian ulama lainnya. Hambaliyah mewajibkan dipenuhinya syarasyarat terhadap wanita. Apabila tidak dipenuhi maka perkawinanya dapat difasakhkan.23 Mereka beralasan dengan hadits Nabi :
إن: ﻗﺎل رﺱﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺱﻠﻢ: ﻋﻦ ﻋﻘﺒﺔ ﺑﻦ ﻋﺎﻣﺮ ﻗﺎل 24 ( أﺣﻖ اﻟﺸﺮط أن ﻳﻮﻓﻰ ﺑﻪ ﻣﺎ اﺱﺘﺤﻠﻠﺘﻢ ﺑﻪ اﻟﻔﺮوج )رواﻩ اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ
19
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1992,
hlm. 251.
20
H. S. A. Al-Hamdani, op. cit., hlm. 34. Ismail al-Kahlani, Subu al-Salam, juz III, Semarang: Toha Putra, hlm. 59. 22 Sayid Sabiq, op, cit, hlm. 72 23 Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz. VII, Dar al-Kutb al-Alamiyah, hlm. 448. 24 Imam Muslim, op. cit., hlm. 1036. 21
9
Artinya : Dari Uqbah bin Amir telah berkata : telah berabda Rasulullah Saw : Syarat yang lebih patut untuk dipenuhi yaitu perjanjian yang menyebabkan halalnya kehormata perempuan. (HR Riwayat Bukhari dan Muslim dari Uqbah bin Amir). Pendapat yang mangatakan kalau syarat tidak berpoligami dalam akad nikah dianggap mengharamkan yang halal terbantah, sebab syarat itu tidak mengharamkan yang halal tetapi memberikan pilihan bagi si perempuan untuk minta fasakh apabila syarat itu tidak dipenuhi.25 Dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkajinya dalam sebuah skripsi, khususnya mengenai masalah ”Analisis Terhadap Pendapat Ibnu Qudamah Tentang Perjanjian Untuk Tidak Berpoligami Dalam Akad Nikah”. B. Permasalahan Berpijak pada latar belakang masalah di atas, ada beberapa pokok permasalahan
yang
hendak
dikembangkan
dan
dicari
pangkal
penyelesaiannya, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana metode istinbath hukum yang digunakan oleh Ibnu Qudamah tentang perjanjian untuk tidak berpoligami dengan perempuan lain dalam akad nikah ? 2. Bagaimana pendapat Ibnu Qudamah tentang perjanjian untuk tidak berpoligami dalam akad nikah dalam perspektif keadilan gender ? C. Tujuan Penulisan Skripsi
25
Ibnu Qudamah, loc. cit.
10
Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis. 1. Untuk mengetahui metode istinbath hukum yang digunakan Ibnu Qudamah tentang perjanjian untuk tidak berpoligami dalam akad nikah. 2. Untuk mengetahui perjanjian tersebut kaitanya dengan keadilan gender. D. Telaah Pustaka Di dalam kitab al-Mughni karangan Ibnu Qudamah, disebutkan bahwa ada syarat yang manfaatnya kembali kepada isteri, maka syarat itu harus dipenuhi oleh suami, misalnya isteri tidak akan diusir dari kampungnya atau negaranya, tidak bepergian bersama isteri, tidak akan kawin lagi dan tidak akan menyakitinya. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi suami, maka perempuan (isteri) dapat minta fasakh terhadap suaminya.26 Sayyid Sabiq berpendapat : “membolehkan si isteri menuntut pasakh apabila suami melanggar perjanjian tersebut”
ﻓﻠﻮ ﺵﺮﻃﺖ اﻟﺰوﺟﺔ ﻓﻰ ﻋﻘﺪ اﻟﺰواج ﻋﻠﻰ زوﺟﻬﺎ اﻻ ﻳﺘﺰوﺟﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺻﺢ اﻟﺸﺮط وﻟﺰم وآﺎن ﻟﻬﺎ ﺣﻖ ﻓﺴﺦ اﻟﺰواج اذاﻟﻢ ﻳﻒ ﻟﻬﺎ اﻟﺸﺮط Artinya : Apabila seorang isteri mensyaratkan pada waktu akad nikah agar suaminya tidak kawin lagi (memadunya), maka syarat itu sah dan mengikat, dan berhak menuntut fasakh nikah apabila suami melanggar perjanjian itu.27 Menurut Ibnu Taimiyah di dalam kitab al-Ikhtiyat al-Fiqhiyah berpendapat bahwa sebagai berikut :
26 27
Ibid. Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 169
11
Apabila pihak suami memberikan syarat kepada pihak isteri dalam akad nikah atau mereka sepakat sebelum akad, agar isteri tidak pindah dari rumahnya atau negaranya atau suami tidak akan kawin lagi, maka isteri berhak meminta talaknya, maka syarat seperti itu sah.28 Tengku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy bependapat kepada keharusan memenuhi segala syarat yang manfaatnya kepada si wanita sehingga dia mau dinikahi dan jika tidak dipenuhi, maka si wanita boleh menfasahkan penikahan itu.29 Ibnu Rusyd berkata sebabnya terjadi perselisihan, ialah berlawanan nash yang umum dengan nash yang khusus, nash yang umum ialah nash yang mengatakan bahwa segala syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, batal. Sedangkan nash yang khusus ialah nash yang menandaskan, bahwa syarat yang paling berhak dipenuhi ialah syarat yang dilakukan untuk memperoleh keridhaan wanita yang dinikahi. Kedua hadits ini shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Namun demikian menurut paham yang mashur dalam kalangan ulama ushul fiqh, ialah mempergunakan khusus dan mengalahkan yang umum, yaitu memenuhi syarat-syarat yang disyaratkan itu.30 Dalam skripsi Dzikron Mashadi (2198049) yang berjudul “Studi Analisis Pendapat Imam al-Sairazy dalam Kitab al-Muhadzab tentang Perjanjian untuk tidak Melakukan hubungan Biologis (Wath’i)” Membahas tentang perjanjian untuk tidak melakukan hubungan biologis (wath’i) apabila 28
Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah, al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah, Beirut Libanon: Daar alKutub al-Ilmiyah, 1995, hlm. 183. 29 Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum VII, Jakarta; Yayasan Tengku Muhammad ash-Shiddieqy, 2001, hlm. 92 30 Ibid.,hlm. 93
12
syaratnya datang dari pihak laki-laki (suami), akad nikahnya sah. Sebaliknya syarat itu datang dari perempuan, maka akadnya batal. E. Metode Penulisan Skripsi Agar penulisan skripsi ini memenuhi kriteria karya ilmiah yang mengarah pada pokok kajian serta sesuai dengan tujuan penulisan skripsi ini, penulis ingin menggunakan metode pendekatan sebagai berikut : 1. Metode Mengumpulkan Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis mengadakan “library research” yaitu sebuah riset kepustakaan.31 Dalam hal ini penulis menggunakan kajian terhadap bukubuku dan kitab-kitab yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Adapun data primer diperoleh dengan kitab karangan Ibnu Qudamah yaitu al-Mughni dan al-Muqni’. Sedangkan data skunder di dukung dengan buku-buku, kitab-kitab dan sumber lainnya. 2. Metode Pengolahan Data Agar data menghasilkan data yang baik dan kesimpulan baik pula, maka data yang terkumpul akan penulis analisa dengan menggunakan metode analisis sebagai berikut : a. Metode Deskriptif Metode deskriptif digunakan untuk menghimpun data aktual, mengartikan sebagai kegiatan pengumpulan data dengan melukiskan
31
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, jilid 1, Yogyakarta: Andi Offset, 1993, hlm. 93
13
sebagaimana adanya, tidak diiringi dengan ulasan atau pandangan atau analisis dari penulis.32 Metode ini penulis pergunakan untuk memahami pendapat dan istinbath hukum Ibnu Qudamah tentang perjanjian untuk tidak berpoligami dalam aqad nikah. b. Metode Komparasi Penelitian komparasi akan dapat menemukan persamaanpersamaan dan perbedaan tentang benda, tentang orang, tentang prosedur, kerja, tentang ide-ide, kritik terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ide atau suatu prosedur kerja.33 Metode ini penulis akan membandingkan pendapat Ibnu Qudamah dengan pengertian dan dasar hukum poligami dan pendapat ulama lain tentang hal yang sama. Baik yang dekat dengan atau yang berbeda, penulis akan mengfokuskan pada bab VI. c. Metode Content Analisis Suatu analisis data atau pegolahan secara ilmiah tentang isi dari sebuah pesan suatu komunikasi. Metode ini penulis pergunakan untuk menganalisis data yang telah disajikan, yang akhirnya terdapat suatu kesimpulan.34 F. Sistematika Penulisan Skripsi 32
Wardi Bahtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 60 33 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Bina Aksara, 1986, hlm. 196. 34 Anton Baker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Semarang: Kanisius, t.th, hlm. 69
14
Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, yang terbagi dalam beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut : BAB I Pendahuluan : dalam bab ini penulis menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penulisan skripsi dan sistematika penulisan skripsi. BAB II Ketentuan umum tentang Nikah dan Poligami : dalam bab ini memuat tentang pengertian dan dasar hukum nikah, tujuan nikah, rukun dan syarat nikah, perjanjian dalam nikah, pengertian dan dasar hukum poligami, hikmah poligami. BAB III Pendapat Ibnu Qudamah tentang perjanjian untuk tidak berpoligami dalam akad nikah : terdiri dari biografi dan karya Ibnu Qudamah, pendapat dan dasar hukum Ibnu Qudamah tentang perjanjian untuk tidak berpoligami dalam akad nikah. BAB IV Analisis pendapat Ibnu Qudamah tentang perjanjian untuk tidak berpoligami dalam akad nikah : terdiri dari analisis pendapat dan dasar hukum Ibnu Qudamah tentang perjanjian untuk tidak berpoligami dalam akad nikah, analisis tentang perjanjian untuk tidak berpoligami dalam akad nikah dalam pespektif keadilan gender. BAB V Penutup Kesimpulan, saran-saran, penutup