1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian utama pada anak di negara sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak usia dibawah 5 tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah bayi (WHO, 2003) Depkes RI (2000) dalam Asrun (2006) menyatakan bahwa World Health Organization (WHO) memperkirakan di negara berkembang angka kematian balita karena ISPA di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%20% pertahun pada golongan usia balita. Di Indonesia ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian bayi dan Balita. Dari data Depkes RI (2003), ISPA menempati urutan pertama dari 10 penyebab penyakit utama di Rumah Sakit Indonesia yaitu sebanyak 8,5%. Penyakit ini juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Tercatat sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30 % kunjungan berobat di bagian rawat jalan serta rawat inap Rumah Sakit disebabkan oleh ISPA (Susanto, 2009). Penderita ISPA pada balita di Provinsi Aceh, sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, berturut–turut adalah 13,5 %, 15,3 %, 7,58 %. Penderita ISPA pada balita di Kota Banda Aceh tahun 2008 adalah 450 jiwa. Bila
2
dilihat pencapaian target penemuan penderita ISPA pada Balita baru mencapai 7,58 % dari jumlah 41.780 target penderita (Profil Kesehatan Provinsi Aceh, 2009). Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA yang dapat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian akibat ISPA, antara lain jenis kelamin laki-laki, umur di bawah 2 bulan, tidak mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, defisiensi vitamin A, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tingkat pengetahuan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah (Syair, 2009). Memiliki anak yang sehat, kuat dan cerdas adalah dambaan setiap orang tua. Kunci untuk mendapatkan anak yang sehat adalah pemberian ASI selama 2 tahun, termasuk pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan. ASI merupakan makanan bayi yang tidak dapat digantikan oleh apapun, bahkan oleh susu formula yang paling hebat dan mahal sekalipun, karena kandungan gizinya yang tinggi. Meskipun ASI sudah terbukti memiliki banyak manfaat bagi anak dan keluarga, namun pemberian ASI masih kurang diperhatikan (Roesli Utami, 2000) Depkes RI (2009) dalam Agussalim (2011) menyatakan bahwa Menurut WHO beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA dan kematian ISPA adalah malnutrisi, pemberian ASI kurang cukup, imunisasi tidak lengkap, defisiensi vitamin A, BBLR, umur muda, kepadatan hunian,
3
udara dingin, jumlah kuman yang banyak ditenggorokan, terpapar polusi udara oleh asap rokok, gas beracun dan lain-lain. Menurut hasil penelitian Agussalim (2011) , menyatakan bahwa dengan pengetahuan yang baik maka ibu akan dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan balitanya khususnya dalam pencegahan penyakit ISPA. Lebih lanjut menurut Notoatmodjo (2003), menyatakan pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermadiate impact) dari pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh kepada meningkatnya indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan. Pada tahun 2011 penderita ISPA di provinsi Aceh mencapai 43.628 kasus, data dari Rumah Sakit BLUD Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh didapat data jumlah kasus ISPA dari bulan Januari sampai bulan Desember 2012 diperoleh kunjungan ISPA sebanyak 1812 jiwa (66,06%) dari 2743 jiwa total seluruh kunjungan di Poli Anak. Dari total kunjungan ISPA tersebut 86,2% (1562 jiwa) adalah Balita dan terdapat 74,8% (1169 jiwa) yang berusia 2-5 tahun. Jumlah kasus ISPA dari bulan Januari sampai dengan April 2013 diperoleh kunjungan ISPA sebanyak 593 jiwa (68,7%) dari total seluruh kunjungan di poli anak sebanyak 862 jiwa, dari total kunjungan ISPA tersebut terdapat 371 jiwa (62,5%) balita dan terdapat 256 jiwa (69%) yang berusia 25 tahun.
4
Dari hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan Juli 2013 di ruang poli anak Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh dari 17 ibu yang membawa anaknya untuk berobat, 7 diantaranya masih kurang memahami tentang penyakit ISPA, ibu-ibu tersebut masih menganggap bahwa ISPA adalah penyakit yang biasa dan lazim diderita oleh anak balita,6 ibu diantaranya tidak memberikan ASI sampai usia anak mencapai 2 tahun dikarenakan faktor pekerjaan diluar rumah dan ASI mereka sedikit sehingga harus ditambah dengan susu formula serta kurang memahami cara menyusui yang benar Hal inilah yang mendasari peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu dan Pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada balita di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Adakah hubungan tingkat pengetahuan ibu dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013?"
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013.
5
2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013. b. Untuk mengetahui hubungan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Tempat Penelitian Diharapkan dapat memberikan informasi tambahan dan gambaran kepada petugas tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun. 2. Pendidikan Kebidanan Sebagai referensi, sumber bahan bacaan dan bahan pengajaran terutama yang berkaitan dengan hubungan tingkat pengetahuan ibu dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun 3. Bagi peneliti Merupakan
suatu
pengalaman
yang
sangat
berharga
dalam
mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dan menambah wawasan pengetahuan dalam hal cara-cara menyusun Skripsi.
6
4. Bagi Responden Diharapkan dapat memberikan informasi bagi ibu-ibu mengenai pengetahuan tentang penyakit ISPA dan pentingnya pemberian ASI sampai usia 2 tahun.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang ISPA 1. Definisi ISPA ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Penyakit ini menyerang salah satu atau lebih dari saluran pernafasan mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Depkes RI, 2001). Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Syair, 2009). Depkes RI (2002) menyebutkan ISPA adalah penyakit infeksi saluran pernapasan yang bersifat akut dengan adanya batuk, pilek, serak, demam, baik disertai maupun tidak disertai napas cepat atau sesak napas, yang berlangsung sampai 14 hari. Selanjutnya Depkes RI (2002) juga menyebutkan kriteria objektif : a. Menderita
: Bila hasil diagnosa dokter atau paramedis terlatih
pada catatan medis menunjukkan balita menderita ISPA. b. Tidak menderita : Bila hasil diagnosa dokter atau paramedis terlatih pada catatan medis menunjukkan balita tidak menderita ISPA.
8
2. Klasifikasi penyakit Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok yaitu umur kurang dari 2 bulan dan umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun (Depkes, 2002). Klasifikasi pneumonia berat didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran pernapasan disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (fast breathing) dimana frekuensi napas 60 kali permenit atau lebih, dan atau adanya tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing) (Depkes, 2002). Bukan pneumonia
apabila ditandai dengan napas cepat tetapi
tidak disertai tarikan dinding dada ke dalam. Bukan pneumonia mencakup kelompok penderita dengan batuk pilek biasa yang tidak ditemukan adanya gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (Depkes, 2002). Penentuan klasifikasi dan tingkat kegawatan ini dilakukan setelah penilaian tanda dan gejala yang diklasifikasi berdasarkan kelompok keluhan atau tingkat kegawatan (Hidayat, 2008).
9
Klasifikasi Pneumonia ini menutut Hidayat (2008) dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut: a. Pneumonia berat, apabila ada tanda bahaya umum, tarikan dinding dada ke dalam, dan adanya stirdor (ngorok), mengi berat. Tanda bahaya penyakit yang sangat berat: tidak dapat minum, kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit untuk bangun dan kurang gizi berat. b. Adanya Pneumonia apabila ditemukan pada frekuensi nafas yang sangat cepat (50 kali per menit atau lebih jika anak berusia 2 tahun hingga 12 bulan; 40 kali per menit jika anak berusia 1 hingga 5 tahun) dan tanpa penarikan dada c. Klasifikasi batuk bukan Pneumonia apabila tidak ada Pneumonia, tanpa tarikan nafas, tidak ada nafas cepat dan hanya keluhan batuk
3. Tanda dan Gejala Menurut Depkes RI (2007) menyatakan begitu virus muncul dam berkembang biak, anak akan mengalami beberapa gejala dan tanda yang mudah dikenali: a. Hidung ingusan (pertama kali ingusnya jernih, kemudian kental dan sedikit berwarna). b. Bersin-bersin. c. Demam ringan (38,3 – 38,9 ⁰C), khususnya pada malam hari. d. Penurunan nafsu makan.
10
e. Mata merah f. Nyeri tenggorok dan mungkin sulit menelan. g. Batuk. h. Peka rangsang yang hilang timbul. i. Pembesaran kelenjar yang ringan. Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati. Usia Balita adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di negara berkembang (Dinkes, 2009). Batuk pada anak biasanya menunjukkan ISPA dan kadang-kadang penyakit paru. Sebagian besar penyakit pada anak-anak adalah infeksi, sebagian besar infeksi virus. ISPA digunakan untuk mendeskripsikan flu. Gejalanya adalah batuk, anoreksia dan demam. Pada bayi obstruksi hidung dapat menyebabkan sulit makan. Penyakit ini dapat mencetus kejang demam dan serangan asma dan kadang merupakan prekursor demam spesifik akut terutama campak atau Bronkiolitis (Roesli, 2000). Kejang demam adalah suatu kejang yang terjadi pada usia antara 3 bulan hingga 5 tahun yang berkaitan dengan demam tanpa adanya infeksi intrakranial atau penyebab yang jelas (Roesli, 2000).
11
Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA (P2 ISPA) kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, ditandai dengan adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya peningkatan frekuensi napas (napas cepat) sesuai golongan umur (Depkes, 2002). Selanjutnya Depkes RI (2002) juga menyebutkan ada beberapa tanda klinis yang dapat menyertai anak dengan batuk yang dikelompokkan sebagai tanda bahaya : 1) Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor (ngorok), wheezing (bunyi napas), demam. 2) Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor (ngorok)
4. Penyebab Terjadinya ISPA Pilek/Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dapat disebabkan oleh virus, yaitu substansi sangat kecil penyebab infeksi (lebih kecil dari bakteri). Bersin atau batuk dapat menularkan virus secara langsung dari orang yang satu ke yang lainnya (Behrman et al, 2000) Etiologi ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia, diantaranya bakteri Stavilococcus dan Streptococcus serta virus Influenza dan Sinsitialvirus yang akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan atas, sehingga terjadi peradangan yang disertai demam. Infeksi
12
dapat menjalar ke paru–paru dan menyebabkan pernafasan terhambat, kekurangan oksigen yang dihirup, sehingga menyebabkan kejang, bahkan jika tidak segera mendapat pertolongan akan menyebabkan kematian (Avicenna, 2009). Menurut Depkes RI (2002) Virus juga dapat menyebar secara tidak langsung, dengan cara sebagai berikut: a. Seorang anak yang terinfeksi virus akan batuk-batuk, bersin, atau memegang-megang hidungnya, memindahkan beberapa partikel virus ke tangannya. b. Kemudian dia akan menyentuhkan tangannya pada anak yang sehat. c. Anak yang sehat ini menempelkan tangannya yang baru terkontaminasi ke hidungnya sendiri, sehingga kuman menetap disana dan tumbuh serta berkembang biak pada hidung atau tenggorok. Ini akan menyebabkan munculnya gejala pilek. d. Siklus ini kemudian berulang dengan sendirinya, dengan cara virus berpindah dari anak yang baru saja terinfeksi ke anak yang rentan dan seterusnya .
5. Faktor Risiko ISPA Menurut Ditjen PPM dan PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar (2007), berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat ISPA adalah: a. jenis kelamin laki-laki
13
b. umur di bawah 2 bulan c. tidak mendapat ASI memadai d. polusi udara e. kepadatan tempat tinggal f. imunisasi tidak memadai g. defisiensi vitamin A h. tingkat sosial ekonomi rendah i. gizi kurang j. berat badan lahir rendah k. tingkat pengetahuan ibu rendah l. tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah
6. Penatalaksanaan Penderita ISPA Menurut Depkes RI (2007) Kriteria yang digunakan untuk pola tatalaksana penderita ISPA pada balita adalah balita dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas. Pola tata laksana penderita pneumonia terdiri dari 4 bagian yaitu : a. Pemeriksaan Pemeriksaan dilakukan untuk mengidentifikasi gejala yang ada pada penderita. b. Penentuan ada tidaknya tanda bahaya
14
Anak harus segera dibawa ke Puskesmas atau petugas kesehatan terlatih jika ada tanda-tanda berikut: 1) Anak bernafas lebih cepat dari biasanya. (a) Untuk anak berumur kurang dari 2 bulan: 60 kali per menit atau lebih. (b) Untuk anak umur 2 - 12 bulan: 50 kali per menit atau lebih. (c) Untuk anak umur 12 bulan sampai 5 tahun: 40 kali per menit atau lebih. 2) Anak mengalami kesulitan bernafas atau sesak nafas. 3) Dada bagian bawah tertarik ke dalam pada waktu anak menarik nafas atau tampak pada gerakan perut naik turun. 4) Anak terserang batuk selama lebih dari dua minggu. 5) Anak tidak dapat menyusu atau minum. 6) Anak sering muntah-muntah c. Tindakan dan Pengobatan Anak-anak yang batuk, pilek, ingusan atau sakit tenggorokan yang nafasnya normal dapat dirawat di rumah dan mungkin sembuh tanpa obat. Mereka harus dijaga agar tetap hangat tetapi tidak berlebihan dan diberi makan dan minum yang banyak. Jika anak demam tinggi sebaiknya dikompres dengan air yang tidak terlalu dingin. Obat-obatan hanya diberikan atas petunjuk dokter atau petugas kesehatan (WHO. 2003)
15
Hidung anak yang pilek atau batuk harus sering dibersihkan, terutama sebelum anak makan atau tidur. Udara yang lembab memudahkan pernafasan dan akan sangat membantu bila anak tersebut menghirup hawa dari semangkuk air hangat (WHO. 2003) Anak yang masih menyusu dan terkena batuk atau pilek harus tetap diberi ASI. Pemberian ASI membantu memerangi penyakit yang penting bagi pertumbuhan anak. Jika anak tidak dapat menyusu, maka ASI diperas kedalam mangkuk yang bersih untuk disuapkan kepada anak (WHO. 2003) Anak-anak yang tidak diberi ASI harus sering diberi makan atau minum sedikit demi sedikit. Jika sudah sembuh, anak tersebut harus tetap diberi makanan tambahan setiap hari sekurang-kurangnya dalam seminggu. Anak belum dianggap pulih sebelum berat badannya kembali sama seperti sebelum sakit. Batuk dan pilek mudah menular. Orang yang sedang menderita batuk atau pilek harus menjauhkan diri dari anak-anak (WHO. 2003) Vitamin A membantu melindungi anak terhadap serangan batuk, pilek dan penyakit saluran pernafasan lainnya serta dapat mempercepat penyembuhan. Vitamin A terdapat pada ASI, hati, minyak kelapa, ikan, susu, telur, jeruk dan buah-buahan berwarna kuning, serta sayur-sayuran berwarna hijau. Suplemen vitamin A dapat juga diminta di Puskesmas. Paracetamol akan membantu menurunkan demam dan menghilangkan rasa tidak nyaman (Roesli 2000).
16
Pada umumnya batuk-batuk, pilek, sakit tenggorokan dan ingusan sembuh tanpa diobati. Tetapi kadang-kadang penyakit tersebut pertanda Pneumonia yang memerlukan antibiotik. Pemberian obat antibiotik pada anak yang menderita pnemonia harus sesuai dengan petunjuk dokter atau petugas kesehatan. Antibiotik harus diberikan sampai habis pada anak (Afrida, 2007). Pada penderita umur kurang dari 2 bulan yang terdiagnosa pneumonia berat, harus segera dibawa ke sarana rujukan dan diberi antibiotik 1 dosis. Pada penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia dapat dilakukan perawatan di rumah, pemberian antibiotik selama 5 hari, pengontrolan dalam 2 hari atau lebih cepat bila penderita memburuk, serta pengobatan demam dan yang ada (Syair, 2009). Menurut WHO (2003) Perawatan di rumah terhadap anak yang menderita infeksi saluran pernafasan akut, meliputi : 1) Pemberian makanan yang cukup selama sakit dan menambah jumlahnya setelah sembuh untuk menggantikan penurunan berat badan selama sakit. Melanjutkan pemberian makan akan membantu mencegah terjadinya kekurangan gizi. Hilangnya nafsu makan sering terjadi selama infeksi pernafasan akut. Usahakan agar makan sedikit dan sering. Jika anak menderita demam, menurunkan suhu tubuhnya dapat membantu anak untuk makan. Idealnya, makanan
17
yang diberikan selama infeksi pernafasan akut sebaiknya memiliki kandungan gizi dalam jumlah banyak dan kalori yang relatif besar. 2) Bersihkan hidung tersumbat oleh mukus yang kering atau tebal, teteskan air bergaram ke dalam hidung atau gunakan lintingan kapas basah untuk membantu melunakkan mukus. Nasihati ibu untuk tidak membeli obat tetes hidung, hal ini dapat membahayakan. 3) Anak yang mengalami infeksi pernafasan kehilangan cairan lebih banyak dari pada biasanya, khususnya jika mengalami demam. Doronglah anak untuk mendapatkan cairan tambahan yang akan membantu mencegah terjadinya dehidrasi. Pemberian cairan dengan minum lebih banyak dan meningkatkan pemberian ASI. 4) Pemberian obat pereda batuk dengan ramuan yang aman dan sederhana, seperti teh dengan gula dan sirup batuk buatan sendiri. Selanjutnya menurut WHO (2003) Anjuran terpenting pada perawatan dirumah adalah perhatikan tanda-tanda berikut dan membawa anak kembali segera kepetugas kesehatan apabila: a) Bernafas menjadi sulit b) Pernafasan menjadi cepat c) Anak tidak dapat minum d) Kondisi anak memburuk Penderita umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun yang terdiagnosa pneumonia berat harus segera dikirim ke sarana
18
rujukan, diberi antibiotik 1 dosis serta analgetik sebagai penurun demam dan wheezing yang ada. Penderita yang diberi antibiotik, pemeriksaan harus kembali dilakukan dalam 2 hari. Jika keadaan penderita membaik, pemberian antibiotik dapat diteruskan. Jika keadaan penderita tidak berubah, antibiotik harus diganti atau penderita dikirim ke sarana rujukan. Jika keadaan penderita memburuk, harus segera dikirim ke sarana rujukan. Banyak anak yang terkena pnemonia meninggal karena orang tua atau ibu tidak sadar akan seriusnya penyakit tersebut dan penderita harus segera dibawa ke Puskesmas. Kematian anak karena pnemonia dapat dicegah jika: a) Orang tua dan pengasuh anak memahami bahwa nafas yang terengah-engah dan sesak adalah tanda bahaya dan perlu seegera meminta pertolongan petugas kesehatan. b) Orang tua dan pengasuh anak harus tahu kemana meminta pertolongan. c) Pelayanan kesehatan dan antibiotik yang harganya terjangkau selalu tersedia
Selanjutnya WHO (2003) juga menyebutkan Pengobatan dikelompokkan menjadi: 1. Pnemonia berat a. Rujuk segera kerumah sakit
19
b. Berikan antibiotik dosis awal c. Obati demam jika ada d. Obati mengi jika ada, (jika rujukan tidak memungkinkan, obati dengan antibiotik dan pantau dengan ketat 2. Pnemonia a. Obati ibu untuk memberi perawatan di rumah b. Berikan antibiotik c. Obati demam dan mengi jika ada d. Nasihati ibu agar kembali dalam 2 hari untuk penilaian ulang atau kembali lebih awal jika kondisi anak memburuk 3. Bukan pnemonia; batuk atau pilek a. Jika batuk lebih dari 30 hari rujuklah untuk dilakukan penilaian b. Nilai dan obati masalah telinga atau nyeri tenggorokan, mengi dan demam jika ada
d. Pencegahan ISPA Arifin (2009), dalam artikelnya menyebutkan keadaan gizi dan keadaan lingkungan merupakan hal yang penting bagi pencegahan ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah ISPA adalah: 1) Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik (a) Bayi harus disusui sampai usia dua tahun karena ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi.
20
(b) Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya. (c) Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung gizi cukup yaitu mengandung cukup protein (zat putih telur), karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. (d) Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang mahal. Protein misalnya dapat di peroleh dari tempe dan tahu, karbohidrat dari nasi atau jagung, lemak dari kelapa atau minyak sedangkan vitamin dan mineral dari sayuran,dan buah-buahan. (e) Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk mengetahui apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan perlu diperiksa apakah ada penyakit yang menghambat pertumbuhan 2) Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisasi Agar anak memperoleh kekebalan dalam tubuhnya anak perlu mendapatkan imunisasi yaitu DPT (Depkes RI, 2002). Imunisasi DPT salah satunya dimaksudkan untuk mencegah penyakit Pertusis yang salah satu gejalanya adalah infeksi saluran nafas 3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan penyakit ISPA, sebaliknya perilaku yang tidak mencerminkan hidup sehat akan menimbulkan berbagai penyakit.
21
Perilaku ini dapat dilakukan melalui upaya memperhatikan rumah sehat, desa sehat dan lingkungan sehat 4) Pengobatan segera Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang tua tidak memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada tenggorokan, misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung vetsin atau rasa gurih, bahan pewarna, pengawet dan makanan yang terlalu manis. Anak yang terserang ISPA, harus segera dibawa ke dokter Jika bayi anda berusia dibawah tiga bulan, pencegahan terbaik terhadap ISPA adalah menjaganyan jauh dari orang–orang yang sedang ISPA. Hal ini khususnya berlaku selama musim hujan, di saat banyak virus yang menyebabkan ISPA bersikulasi dalam jumlah besar. Virus yang menyebabkan penyakit ringan pada anak yang lebih besar atau orang dewasa dapat menyebabkan penyakit serius pada seorang bayi (Afrida, 2007) Jika anak dalam penitipan harian dan sedang menderita ISPA, anjurkan pada guru-gurunya untuk menjauhkan anak sebisa mungkin dari anak-anak lain sampai gejalanya menghilang. Hal ini akan mencegah anak menularkan infeksi ke yang lain sama seperti jika anak akan berkontak dengan anak-anak yang menderita ISPA dan orang tua dapat menjauhkannnya dari mereka (Afrida, 2007)
22
B. Tinjauan tentang pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indranya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan (beliefe), takhayul (superstitions) dan penerangan-penerangan yang keliru (misinformations) (Soekanto, 2003). Sedangkan menurut A. Aziz Alimul Hidayat (2004) Pengetahuan merupakan sesuatu yang ada dalam pikiran manusia. Menurut Taufik (2007), pengetahuan merupakan penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan lain sebagainya). Mubarak (2007) mengungkapkan pengetahuan adalah merupakan hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat kembali kejadian yang pernah dialami baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan ini terjadi setelah orang melakukan kontak atau pengamatan terhadap suatu objek tertentu. Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan penggunaan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana selalu dapat diperiksa dan ditelaah dengan kritis. Tujuan ilmu pengetahuan adalah lebih mengetahui dan mendalami segala segi kehidupan (Soekanto, 2003).
23
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Notoatmodjo (2003), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru) di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu: a. Awarenes (Kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). b. Interest (Merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tertentu, di sini sikap subjek sudah mulai timbul. c.
Evaluation (Menimbang-nimbang) terhadap baik buruknya stimulus terhadap bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik sekali.
d. Trial (Mencoba), dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. e. Adoption (Adopsi), dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas. (Notoatmodjo, 2007).
24
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan memberikan seperangkat alat tes/kuesioner tentang object pengetahuan yang mau diukur, selanjutnya dilakukan penilaian dimana setiap jawaban benar dari masing-masing pertanyaan diberi nilai 1 dan jika salah diberi nilai 0 (Notoatmodjo, 2007). Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu : a. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. b. Memahami (comprehension) Memahami
diartikan
sebagai
suatu
kemampuan
untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
25
c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan
bagian-bagian
di
dalam
suatu
bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
26
f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaianpenilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada
C. Tinjauan tentang ASI Air Susu Ibu (ASI) merupakan satu-satunya makanan tunggal paling sempurna bagi bayi hingga berusia 6 bulan. ASI cukup mengandung seluruh zat gizi yang di butuhkan bayi. Selain itu, secara alamiah ASI dibekali enzim pencernaan bayi usia mudah mencerna dan menyerap gizi ASI. Dilain pihak, sistem pencernaan bayi usia dini belum memiliki cukup enzim pencernaan makanan (Arief, 2009). Menyusui merupakan kewajiban bagi setiap ibu yang telah melahirkan bayi. Menyusui juga merupakan wujud kasih sayang yang diberikan seorang ibu kepada bayinya. Dengan menyusui berarti ibu sudah memberikan hal yang sangat berharga kepada bayinya karena ASI adalah satu-satunya makanan yang dibutuhkan oleh si kecil dan ASI merupakan makanan pertama, utama dan terbaik bagi bayi, yang bersifat alamiah (Moody, 2006). Arief
(2009) menyatakan bahwa ASI juga akan menurunkan
kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi telinga, batuk, pilek dan penyakit alergi. Bayi yang mendapat ASI ternyata akan lebih sehat dan lebih jarang sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI.
27
Meskipun khasiat ASI begitu besar dalam hal menurunkan mortalitas dan morbiditas bayi, namun tidak banyak ibu yang mau atau bersedia memberikan ASI. Seperti masa modern saat ini, sebagian ibu muda merasa enggan menyusui anaknya, sebenarnya gejala tersebut sudah membudaya sekian lama, terutama dikota-kota besar. Semula hal itu dilakukan oleh para ibu muda di Eropa dan Amerika pada awal abad ke 20. Tindakan ini menyebabkan anak mudah terserang penyakit, karena daya tahan tubuhnya lemah. Sedangkan para ahli menyatakan bahwa manfaat ASI akan meningkat jika bayi hanya diberi ASI saja selama enam bulan pertama kehidupan yang didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup, pertumbuhan dan perkembangan bayi. (Roesli, 2000). Menurut Moody (2006), Air Susu Ibu merupakan makanan alamiah untuk bayi, ASI mengandung nutrisi-nutrisi dasar dan elemen dengan jumlah yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan serta meningkatkan daya tahan tubuh bayi. Menurut Arief (2009), ASI memiliki keunggulan dari beberapa aspek, diantaranya aspek imonologi, yaitu: 1. ASI mengandung zat anti infeksi, bersih, dan bebas kontaminasi. 2. Imunologlobin A (IgA) dalam kolostrum atau ASI kadarnya cukup tinggi. Sekretori IgA tidak diserap, tetapi dapat melumpuh bakteri patongen Ecoli dan berbagai virus pada saluran pencernaan. 3. Laktoferin yaitu sejenis protein yang merupakan komponen zat kekebalan yang mengikat zat besi disaluaran pencernaan.
28
4. Lysosim, enzim yang melindungi bayi terhadap bakteri (Ecoli dan Salmonela) dan virus. Jumlah lisosim dalam ASI 300 kali lebih dari pada susu sapi. 5. Sel darah merah pada ASI pada 2 minggu lebih dari 4000 sel mil. Terdiri atas 3 macam, yaitu Brochus-Asociated Lympocity Tissue (BALT) anti saluran pernapasan, dan Mammary Asociated Lympocyte Tissue (MALT) anti body jaringan payudara ibu. 6. Faktor
bifidus,
menunjang
sejenis
pertumbuhan
karbohidrat
yang
Lactobacillus
mengandung
Bifidus,
bakteri
nitrogen, menjaga
keasaman flora usus bayi dan berguna untuk menghambat bakteri yang merugikan. 7. Menurut Arief (2009) ada beberapa jenis vitamin yang terkandung dalam ASI yaitu antara lain ; Vitamin A, Karotin, Vitamin D, Vitamin K, Vitamin E, Vitamin C (asam askorbat), biotin, kolin, Asam folat, Inositol, asam nikotinat (niasin), aam panthotenat, pridoksin (vitamin B3), riboflavin (B2), thiamin (B1), dan siasokolamin (vitamin B12).
D. Kerangka Teoritis Menurut Ditjen PPM dan PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar (2007) berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat ISPA adalah jenis kelamin laki-laki, umur di bawah 2 bulan, tidak mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, defisiensi vitamin A, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tingkat pengetahuan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan
29
kesehatan rendah, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah. Berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat ISPA adalah umur di bawah 2 bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tingkat pengetahuan ibu rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, imunisasi yang tidak memadai, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah (Syair, 2009). Menurut Moody (2006), Air Susu Ibu merupakan makanan alamiah untuk bayi, ASI mengandung nutrisi-nutrisi dasar dan elemen dengan jumlah yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan serta meningkatkan daya tahan tubuh bayi. Arief (2009) menyatakan bahwa ASI juga akan menurunkan kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi telinga, batuk, pilek dan penyakit alergi. Bayi yang mendapat ASI ternyata akan lebih sehat dan lebih jarang sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI. Menurut WHO beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA dan kematian
ISPA adalah malnutrisi, pemberian ASI kurang cukup,
imunisasi tidak lengkap, defisiensi vitamin A, BBLR, umur muda, kepadatan hunian, udara dingin, jumlah kuman yang banyak ditenggorokan, terpapar polusi udara oleh asap rokok, gas beracun dan lain-lain (Depkes RI, 2009) Menurut penelitian Abdullah (2003) dalam Agussalim (2011), faktor resiko terjadinya ISPA pada balita adalah berat badan lahir (BBL), status gizi,
30
pemberian ASI, pendidikan ibu, kepadatan hunian, keadaan ventilasi, asap pembakaran, asap rokok dan letak dapur.
Menurut Ditjen PPM dan PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar (2007) jenis kelamin laki-laki umur di bawah 2 bulan tidak mendapat ASI memadai polusi udara kepadatan tempat tinggal imunisasi tidak memadai defisiensi vitamin A tingkat sosial ekonomi rendah gizi kurang, berat badan lahir rendah tingkat pengetahuan ibu rendah tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah.
Menurut Depkes RI (2009) Pemberian ASI kurang cukup Malnutrisi imunisasi tidak lengkap defisiensi vitamin A, BBLR umur muda kepadatan hunian udara dingin, jumlah kuman yang banyak ditenggorokan terpapar polusi udara oleh asap rokok gas beracun
Kejadian ISPA
Menurut Arief (2009) Tidak mendapat ASI memadai
Menurut Abdullah (2003) dalam Agussalim (2011) Pemberian ASI kurang berat badan lahir (BBL), status gizi pendidikan ibu kepadatan hunian keadaan ventilasi asap pembakaran asap rokok letak dapur.
Menurut Syair (2009) - umur di bawah 2 bulan, - tingkat sosial ekonomi rendah, - gizi kurang, - berat badan lahir rendah, - tingkat pengetahuan ibu rendah, - tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, - imunisasi yang tidak memadai, - menderita penyakit kronis, dan - aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah.
Gambar 2.1 Kerangka Teoritis
31
E. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian ini dikembangkan berdasarkan konsep menurut Ditjen PPM dan PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar (2007), dan Syair (2009) tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu yang rendah dengan kejadian ISPA pada anak. Dan berdasarkan konsep Ditjen PPM dan PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar (2007), Arief (2009), Depkes RI (2009), Abdullah (2003) dalam Agussalim (2011) tentang berbagai faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat ISPA salah satunya adalah tidak mendapat ASI memadai. Berdasarkan pola pemikiran di atas maka dibuatlah kerangka konsep variabel yang diteliti sebagai berikut :
Variabel Independen
Tingkat Pengetahuan Ibu
Variabel Dependen
Kejadian ISPA pada Anak Usia 2-5 tahun
Pemberian ASI
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
32
F. Hipotesis Penelitian a. Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013. b. Ada hubungan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013
G. Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional dan Metode Pengukuran Terhadap Variabel Penelitian No 1
2
Variabel Penelitian
Definisi Operasional
Kejadian ISPA pada anak usia 25 tahun
Suatu penyakit infeksi saluran pernafasan yang bersifat akut yang diderita anak usia 25 tahun dengan ditandai adanya batuk, pilek, serak, demam, baik disertai sesak nafas maupun tidak.
Tingkat pengetahuan ibu
Segala sesuatu yang diketahui ibu tentang ISPA pada anak usia 2-5 tahun.
Cara Ukur
Alat Ukur
Variabel Dependen Dengan melihat diagnosa Kuesioner dokter: - Menderita: bila hasil diagnosa dokter atau paramedik terlatih pada catatan medis menunjukkan Balita menderita ISPA. - Tidak menderita : bila hasil diagnosa dokter atau paramedic terlatih pada catatan medis menunjukkan Balita menderita ISPA Variabel Independen Wawancara dengan Kuesioner menggunakan kuesioner berisi 15 pertanyaan dengan kriteria: - Tinggi: : jika x ≥ 8,61 - Rendah : jika x < 8,61
Hasil Ukur -
-
Skala Ukur
Menderita ISPA Tidak menderita ISPA
Ordinal
Tinggi Rendah
Ordinal
33
3
Pemberian ASI
Tindakan ibu memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada bayinya dari umur 0 – 2 tahun.
Wawancara dengan menggunakan kuesioner dengan kriteria: - Cukup : jika ibu memberikan ASI kepada bayi sampai umur 2 tahun. - Tidak cukup: jika ibu tidak memberikan ASI kepada bayi sampai umur 2 tahun
Kuesioner
-
Cukup Tidak cukup
Ordinal
34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Desain Penelitian Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain crosssectional yaitu mengukur variabel dependen dan variabel independen secara bersamaan. Studi cross-sectional digunakan untuk mengetahui hubungan antara suatu penyakit dan variabel atau karakteristik yang terdapat di masyarakat pada suatu saat tertentu (Chandra, 2008). Desain cross-sectional dilakukan untuk melihat hubungan pengetahuan ibu dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh tahun 2013.
B. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki anak usia 2-5 tahun yang berobat ke poli anak Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh pada bulan Januari sampai dengan April tahun 2013 berjumlah 256 orang. 2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang memiliki anak usia 2-5 tahun yang berobat ke poli anak Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013. Teknik pengambilan sampel dengan accidental sampling yaitu sampel yang tersedia atau kebetulan ada pada
35
saat peneliti melakukan pengumpulan data selama 10 hari. Perhitungan besar
sampel
dilakukan
dengan
menggunakan
rumus
Slovin
(Notoadmodjo, 2007), sebagai berikut : n= Keterangan: N : Besar Populasi n : Besar sampel d : Tingkat Kepercayaan/Ketetapan yang di inginkan n
=
N 1 N (d 2 )
Keterangan: N
=
besar populasi
n
=
besar sampel
d
=
tingkat kepercayaan / ketetapan yang di inginkan (0,10).
Maka berdasarkan rumus Slovin di atas, didapat jumlah sampel untuk penelitian ini berjumlah : n
=
256 1 256(0,012 )
n
=
256 1 2,56
n
=
256 3,56
n
=
71,9
n
=
72 sampel
36
Sehingga besar sampel yang di ambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 72 sampel. Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ibu yang mempunyai balita usia 2 sampai 5 tahun. 2. Bersedia menjadi responden. 3. Dapat berkomunikasi dengan baik. 4. Dapat membaca dan menulis.
C. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan Desember 2013. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 26 November sampai dengan 5 Desember 2013
D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data 1. Jenis pengumpulan data Data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung di lokasi penelitian menggunakan kuesioner dengan metode wawancara.
37
2. Instrumen Penelitian Penelitian ini mengumpulkan data primer yang didapati langsung dari ibu-ibu yang memiliki anak usia 2-5 tahun menggunakan kuesioner dengan jumlah keseluruhan 17 pertanyaan yang terdiri dari : a. Satu pertanyaan tentang pemberian ASI dalam bentuk checklist b. Satu pertanyaan tentang kejadian ISPA c. Lima belas pertanyaan tentang pengetahuan dengan option jawaban pilihan a, b, c dan d, untuk jawaban benar diberi skor 1, jika tidak diberi skor 0. Dengan kriteria Tinggi apabila x ≥ 8,61 , rendah apabila x < 8,61.
E. Pengolahan Data dan Analisa Data 1. Pengolahan Data Menurut Budiarto (2002) setelah dilakukan pengungumpulan data, maka selanjutnya data tersebut diolah dengan cara sebagai berikut : a. Editing yaitu melakukan pengecekan terhadap hasil pengisian angket yang meliputi kelengkapan identitas dan jawaban yang diberikan oleh responden. b. Coding yaitu memberi kode jawaban secara angka atau kode tertentu sehingga lebih mudah dan sederhana. c. Transfering yaitu memindahakan jawaban responden kedalam berntuk tabel.
38
d. Tabulating yaitu mengelompokkan responden berdasarkan kategori yang telah dibuat untuk variabel yang diukur dan ditampilkan kedalam bentuk tabel.
2. Analisa Data a. Analisis Univariat Menurut Budiarto (2002) Menggambarkan distribusi frekuensi dan persentase masing - masing variabel yang diteliti. Selanjutnya data yang ditampilkan dalam bentuk tabel dan narasi.
P
f 100% n
Keterangan: P : Persentase f : Frekwensi Teramati n : Jumlah Responden Sedangkan Untuk menghitung rata-rata digunakan rumus :
x=
x n
Keterangan :
x = Mean (rata-rata) ∑ = Jumlah n = Jumlah responden x = Nilai responden
39
b. Analisis Bivariat Analisa bivariat merupakan analisis hasil dari variabel bebas yang diduga mempunyai hubungan dengan variabel terikat. Untuk menguji
hipotesa
yang
dilakukan
analisa
statistik
dengan
menggunakan uji data chi-square pada tingkat kemaknaannya 95% (α = 0,05), sehingga dapat diketahui ada tidaknya hubungan yang bermakna secara statistik dengan menggunakan program komputer SPSS for window. Melalui uji chi-square test (X²) berupa tabel kontingen 2x2 untuk memperoleh hubungan yang signifikan antara variabel-variabel dengan menggunakan rumus: X²
Σ
=
[{o - e}] e
Jika salah satu dari tabel terdapat nilai e ≤ 5, maka rumusnya: X²
=
Σ
[{o - e} – 0,5]² e
Keterangan: X² = Statistik Chi-Squere o
= Nilai pengamatan
e
= Nilai yang diharapkan (Arikunto, 2006) Melalui perhitungan uji chi-square test selanjutnya ditarik pada
kesimpulan dengan kriteria sebagai berikut : 1. Jika nilai p < α maka Ha diterima, berarti ada hubungan antara variabel dependen dengan independen.
40
2. Jika nilai p ≥ α maka Ha ditolak, berarti tidak ada hubungan antara variabel dependen dengan independen. Aturan yang berlaku pada uji chi-square adalah sebagai berikut ( Hastono, 2001 ): 1. Bila pada tabel 2x2 dijumpai nilai E (harapan) kurang dari 5, maka hasil yang dibaca di Fisher Exact. 2. Bila pada tabel 2x2, dan tidak dijumpai nilai E kurang dari 5, maka hasil yang dibaca di Continuity Correction. 3. Bila tabelnya lebih dari 2x2, misalnya 2x3, 3x3 dan sebagainya, maka hasil yang dibaca di Pearson Chi-square
41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Pemerintah Aceh yang dibentuk berdasarkan Qanun (Perda) Pemerintah Aceh Nomor 5 Tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Ibu dan Anak Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, selanjutnya dengan Qanun Nomor 5 Tahun 2007 terjadi perubahan nomenklatur menjadi Rumah Sakit Ibu dan Anak Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. RSIA Pemerintah Aceh adalah rumah sakit dengan tipe B khusus, kapasitas tempat tidur 98 TT, berdiri pada areal seluas 9.307 m² dengan luas bangunan 8.575 m². Sesuai dengan fungsinya RSIA Pemerintah Aceh bertugas
menyelenggarakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
khususnya kesehatan ibu dan anak dengan jenis pelayanan sebagai berikut : 1. Pelayanan Medik : pelayanan gawat darurat, pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap, kamar bedah, rawat intensif, penunjang medik. 2. Rawat Jalan : pelayanan dokter umum, pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan KB, pelayanan imunisasi. 3.
Rawat Inap : perawatan kebidanan, perawatan penyakit anak, perawatan bedah, perawatan penyakit dalam.
4. Gawat Darurat : pelayanan trauma, pelayanan non trauma, 5. Perawatan Intensif : NICU / PICU, ICU
42
6. Penunjang Medik : patologi klinik, anestesi, radiologi, instalasi farmasi, instalasi gizi, instalasi laundry, instalasi pemeliharaan sarana dan prasarana rumah sakit, ambulance dan kamar jenazah.
B. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 26 November sampai dengan tanggal 05 Desember 2013, dengan jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 72 orang dari
jumlah populasi 256 ibu-ibu yang
memiliki anak usia 2-5 tahun yang berobat ke poli anak Rumah Sakit BLUD Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013. Teknik pengambilan sampel dengan accidental sampling.
1. Analisa Univariat a. Tingkat Pengetahuan Ibu tentang ISPA Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang ISPA Di Rumah Sakit BLUD Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013 No
Tingkat f Pengetahuan 1 Tinggi 30 2 Rendah 42 Jumlah 72 Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2013
% 41,7 58,3 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari 72 responden, terdapat 42 orang (58,3%) berada pada tingkat pengetahuan dengan kategori rendah.
43
b. Pemberian ASI Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pemberian ASI Di Rumah Sakit BLUD Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013 No 1 2
Pemberian ASI Cukup Tidak Cukup Jumlah Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2013
f 34 38 72
% 47,2 52,8 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari 72 responden, terdapat 38 orang (52,8%) berada pada kategori tidak cukup pemberian ASI.
c. Kejadian ISPA pada Anak Usia 2-5 Tahun Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA Pada Anak Usia 2-5 Tahun Di Rumah Sakit BLUD Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013 No 1 2
Kejadian ISPA f Menderita 35 Tidak Menderita 37 Jumlah 72 Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2013
% 48,6 51,4 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari 72 responden, terdapat 37 orang (51,4%) berada pada kategori tidak menderita ISPA.
44
2. Analisa Bivariat a. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun Tabel 4.4 Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA Pada Anak Usia 2-5 Tahun Di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013
Tingkat Pengetahuan Tinggi Rendah
Kejadian ISPA Menderita Tidak Menderita f % f % 10 33,3 20 66,7 25 59,5 17 40,5
Jumlah f 30 42
% 100 100
p
OR
0,050
2,941
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 42 responden yang berpengetahuan rendah terdapat 25 orang (59,5%) yang menderita ISPA dan hanya 17 orang (40,5%) yang tidak menderita ISPA. Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square , didapat nilai p-value 0,050, yang berarti sama dengan α-value (0,05). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013. Dari hasil analis diperoleh nilai OR 2,941 yang berarti bahwa anak usia 25 tahun dengan ibu yang berpengetahuan rendah tentang ISPA memiliki resiko 2,941 kali lebih tinggi untuk terkena ISPA bila dibandingkan dengan anak usia 2-5 tahun dengan ibu yang berpengetahuan tinggi tentang ISPA.
45
b. Hubungan Pemberian ASI dengan Kejadian ISPA Tabel 4.5 Hubungan Pemberian ASI dengan Kejadian ISPA Pada Anak Usia 2-5 Tahun Di Rumah Sakit BLUD Ibu Dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013
Pemberian ASI
Cukup Tidak Cukup
Kejadian ISPA Menderita Tidak Menderita f % f % 8 23,5 26 76,5 27 71,1 11 28,9
Jumlah f 34 38
% 100 100
p
0,000
OR
7,977
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 38 responden yang tidak cukup pemberian ASI terdapat 27 orang (71,1%) yang menderita ISPA dan hanya 11 orang (28,9%) yang tidak menderita ISPA. Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji chi-square, didapat nilai p-value 0,000 yang berarti lebih kecil dari α-value (0,05). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 Tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013. Dari hasil analis diperoleh nilai OR 7,977 yang berarti bahwa anak usia 25 tahun yang tidak cukup pemberian ASI memiliki resiko 7,977 kali lebih tinggi untuk terkena ISPA bila dibandingkan dengan anak usia 2-5 tahun yang cukup diberikan ASI. Secara statistik dapat dilihat bahwa pemberian ASI pada bayi sampai berumur 2 tahun akan mengurangi resiko bayi tersebut untuk terkena ISPA, dengan kata lain, pemberian ASI pada bayi yang tidak sampai berumur 2 tahun akan berdampak pada anak di kemudian hari, seperti resiko terkena ISPA
46
C. Pembahasan 1. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Kejadian ISPA Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara pengetahuan dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun. Hal ini dapat dilihat dari 42 responden dengan pengetahuan rendah hanya
25 responden (59,5%) yang anaknya menderita ISPA dan 17
responden (40,5%) yang tidak menderita ISPA. Dari hasil uji statistic dengan menggunakan uji chi-square , didapat nilai p-value 0,050, yang berarti sama dengan α-value (0,05). Sedangkan perhitungan Odds Ratio didapat hasil OR (2,941). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Agussalim (2011) tentang "Hubungan Pengetahuan, Status Imunisasi Dan Keberadaan Perokok Dalam Rumah Dengan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada Balita Di Puskesmas Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar Tahun 2011"
yaitu penyakit ISPA pada respoden dengan pengetahuan baik
adalah hanya 31,3%, sedangkan pada responden dengan pengetahuan kurang 75,7%. sehingga tidak sesuai
dengan yang dikemukakan oleh
Aggussalim bahwa dengan pengetahuan yang baik maka ibu akan dapat menjaga dan meningkatkan kesehatan balitanya khususnya dalam pencegahan penyakit ISPA. Hal ini juga tidak sejalan dengan teori yang dikemukakan Depkes RI (2002) bahwa Pengetahuan tentang ISPA diharapkan dapat menjadi faktor pendorong bagi masyarakat untuk melakukan pencegahan ISPA
47
dalam tingkatan keluarga. Dengan melakukan pencegahan ISPA maka kemungkinan terjadinya infeksi patogen ISPA pada anak dapat dicegah. Dari hasil penelitian dan paparan beberapa teori di atas dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan ibu tidak berhubungan dengan kesehatan balita, dalam hal ini adalah kejadian ISPA. Sejalan dengan hasil penelitian ini peneliti berasumsi bahwa bukan berarti ibu dengan pengetahuan kurang akan selalu memiliki resiko tinggi terhadap balitanya untuk terkena ISPA, walaupun secara frekwensi
distribusi terbanyak
kejadian ISPA pada kategori menderita berada pada anak usia 2-5 tahun yang memiliki ibu dengan pengetahuan kurang. Namun juga terdapat 17 responden (40,5%) dari 42 responden dengan pengetahuan rendah tetapi anaknya tidak menderita ISPA. Hal ini tidaklah mengherankan jika dilihat dari segi teori seperti pendapat yang dikemukakan oleh Ditjen PPM dan PL Depkes RI (2005) dalam Alkausar (2007) yang menyatakan bahwa banyak faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat ISPA, diantaranya adalah jenis kelamin laki-laki, umur di bawah 2 bulan, tidak mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi tidak memadai, defisiensi vitamin A, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, berat badan lahir rendah, tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah, menderita penyakit kronis dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah. Dari hasil penelitian diatas terdapat 17 responden (40,5%) dengan tingkat pengetahuan rendah tetapi anaknya tidak menderita ISPA hal ini
48
diasumsikan karena pemberian ASI yang cukup sehingga daya tahan tubuh anak terhadap penyakit infeksi lebih tinggi walaupun pengetahuan ibu rendah tentang ISPA. Namun demikian dalam penelitian ini masih dijumpai 33.3% responden dengan pengetahuan tinggi tentang ISPA namun anaknya menderita ISPA hal ini diasumsikan karena adanya faktor lain yang mempengaruhi seperti terpapar polusi udara, asap rokok, pengaruh tempat tinggal yang padat, pemberian ASI yang tidak cukup, sehingga anak dapat dengan mudah terkena penyakit ISPA. Pada responden dengan pengetahuan tinggi terdapat 20 (66,7%) yang tidak menderita ISPA diasumsikan dengan pengetahuan yang tinggi tentang ISPA maka ibu dapat melakukan pencegahan terhadap penyakit ISPA dan setidaknya apabila anak menderita ISPA maka ibu dapat melakukan praktek penanganan dini bagi anaknya yang menderita ISPA sebab bila praktek penanganan ISPA pada tingkat keluarga yang kurang/buruk akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah berat.
2. Hubungan antara Pemberian ASI dengan Kejadian ISPA Berdasarkan
hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
adanya
hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA anak usia 2-5 tahun. Hal ini dapat dilihat dari persentase responden dengan pemberian ASI cukup adalah hanya 23,5% yang anaknya menderita ISPA sedangkan pada responden dengan pemberian ASI tidak cukup yang menderita ISPA sebanyak 71%. Dari hasil uji statistic dengan menggunakan uji chi-square
49
didapat nilai p-value 0,000, yang berarti lebih kecil dari α-value (0,05). Sedangkan perhitungan Odds Ratio didapat hasil OR (7,977) Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Endang Setyowati (2009) dengan judul penelitian ”Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif Dengan Frekuensi Kejadian ISPA Pada Anak Usia
1-2
Tahun
Di
Wilayah
Kerja
Puskesmas
Purwodadi
Kabupaten Purworejo”. Dimana pada penelitian ini didapat bahwa status pemberian ASI pada anak yang mendapat ASI eksklusif sebanyak 12 orang (31,57%) dan untuk frekuensi kejadian ISPA 29 orang (76,31%) jarang terkena ISPA, sehingga hasil dari perhitungan statistik diperoleh nilai signifikasi (P) besarnya 0,037 yang dibandingkan dengan nilai α = 5% dimana nilai P < 0,05, sehingga H0 ditolak, artinya ada hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan frekuensi kejadian ISPA. Penelitian yang dilaksanakan oleh Endang Setyowati membuktikan bahwa pemberian ASI memberikan efek yang tinggi terhadap kejadian ISPA. Hal ini juga sejalan dengan teori Arief (2009) menyatakan bahwa ASI juga akan menurunkan kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi telinga, batuk, pilek dan penyakit alergi. Bayi yang mendapat ASI ternyata akan lebih sehat dan lebih jarang sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI. Menurut Depkes RI (2002) ASI adalah suatu komponen yang paling utama bagi ibu dalam memberikan pemeliharaan yang baik terhadap bayinya, untuk memenuhi pertumbuhan dan perkembangan psikososialnya. Karena sesuatu yang baik tidaklah harus mahal bahkan
50
bisa sebaliknya, terbaik dan termurah yaitu ASI. Karena ASI bisa membuat anak lebih sehat, tapi juga cerdas dan lebih menyesuaikan diri dengan lingkungan. Selain merupakan makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama kehidupannya, ASI juga merupakan sumber nutrisi bagi bayi dan juga sebagai sumber zat anti mikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis membentuk sistem biologis. ASI dapat memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imun kompeten ke permukaan saluran pernafasan atas (Depkes RI, 2002). Berdasarkan hasil penelitian di atas peneliti berasumsi bahwa anak yang cukup pemberian ASI lebih sedikit yang menderita ISPA karena daya tahan tubuh anak dengan pemberian ASI cukup lebih baik dari pada anak yang pemberian ASI tidak cukup karena ASI mengandung anti infeksi yang penting dalam mencegah infeksi saluran pernapasan oleh bakteri dan virus. ASI merupakan makanan utama pada usia 0-2 tahun yang sangat baik dan tidak ada bandingnya, meskipun susu formula termahal dan terbaik tetapi terbukti bahwa ASI memang lebih unggul dibandingkan susu formula karena ASI mengandung zat- zat kekebalan yang tidak dimiliki oleh
susu
formula.
Meskipun
pemberian
ASI
telah
banyak
disosialisasikan, namun tidak sedikit ibu yang belum mengerti dan menganggap remeh hal itu. Hal tersebut menyebabkan anak kehilangan manfaat ASI yang luar biasa bagi pertumbuhannya, ASI mengurangi resiko infeksi. Zat antibodi yang terdapat dalam ASI melindungi bayi dari
51
serangan penyakit infeksi. Meningkatkan daya tahan tubuh, karena ASI mengandung imunoglobulin A sehingga anak tidak mudah terkena ISPA. Namun demikian dalam penelitian ini masih dijumpai 23,5% responden dengan pemberian ASI cukup namun anaknya menderita ISPA hal ini diasumsikan karena adanya faktor lain yang mempengaruhi seperti pengetahuan ibu yang kurang, imunisasi tidak memadai, tingkat sosial ekonomi rendah, gizi kurang, dan tingkat jangkauan pelayanan kesehatan rendah.
52
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai hubungan tingkat pengetahuan ibu dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak usia 2-5 tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013 adalah sebagai berikut : 1. Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA Pada Anak Usia 2-5 Tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013 dengan nilai p-value 0,050. 2. Ada hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA Pada Anak Usia 2-5 Tahun di Rumah Sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh Tahun 2013 dengan nilai p-value 0,000.
B. Saran 1. Bagi Tempat Penelitian Diharapkan bagi petugas kesehatan di Rumah sakit BLUD Ibu dan Anak Pemerintah Aceh untuk lebih meningkatkan penyuluhan-penyuluhan tentang kesehatan terutama yang menyangkut dengan penyakit ISPA dan penyuluhan tentang peningkatan pemberian ASI. serta mempersiapkan ibu-ibu hamil agar nantinya setelah melahirkan dapat memberikan ASI
53
dan melibatkan keluarga dalam mensukseskan pemberian ASI sampai usia 2 tahun. 2. Institusi Pendidikan Diharapkan penelitian ini dapat menambah literatur atau bahan bacaan bagi perpustakaan STIKes U'Budiyah khususnya tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu dan pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada anak. 3. Bagi Peneliti Dengan adanya penelitian ini peneliti dapat lebih meningkatkan lagi konseling kepada ibu hamil tentang manfaat menyusui dan tatalaksananya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir, sampai umur 2 tahun. 4. Bagi Responden Dengan adanya penelitian ini diharapkan kepada ibu-ibu yang memiliki anak usia balita untuk lebih meningkatkan lagi pengetahuan dan pemahamannya tentang penyakit ISPA dan manfaat pemberian ASI sampai anak usia 2 tahun tidak hanya dari tenaga kesehatan tetapi lebih aktif lagi untuk mencari informasi misalnya dari media cetak ataupun elektronik.
54
DAFTAR PUSTAKA Alkausar, 2007, Pengaruh Faktor-Faktor Resiko Terhadap Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Puskesmas Ulee Kareng Kota Banda Aceh Tahun 2007. Banda Aceh: Skripsi, Fakultas Kedokteran Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Syiah Kuala. Arief, 2009, PANDUAN IBU CERDAS-ASI dan Tumbuh Kembang Bayi/DetiCet.1-Yogyakarta: Media Pressindo. Arifin, Yasir, 2009, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Keperawatan. http://httpyasirblogspotcom.blogspot.com/2009/04/infeksi-saluran-
pernafasan-
akut-ispa.html. [10 juni 2013] Avicenna,2009,
ISPA,
Kesehatan
Comments.
http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/429.html?task=view. [17 Juni, 2013]. Afrida L. 2007.Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Rantang Kec. Medan Petisah Kota Medan Tahun 2007. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara,Medan. Agussalim, 2011, Hubungan Pengetahuan, Status Imunisasi Dan Keberadaan Perokok Dalam Rumah Dengan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Ahut Pada Balita Di Puskesmas Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar, Jurnal Ilmiah Stikes U'Budiyah Indonesia Budiarto, 2002, Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta: EGC.
55
Behrman, et al, 2000, Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Editor Samik Wahab. Penerbit buku kedokteran EGC Chandra Budiman, 2008, Metodologi Penelitian Kesehatan. Editor, Fema Solekhah Belawati Depkes R.I., Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan.Jakarta: 2003 _________, Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA.Jakarta: 2001 _________ , Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita, Ditjen PPM-PLP. Jakarta: 2002 _________ , peningkatan kualitas anak, Jakarta: Ditjet PP2PI, 2009, http://www.ppl.depkes.go.id, 2009.[17 Juni, 2013]. Dinkes Prov.Profil Kesehatan Provinsi Aceh, Banda Aceh, 2011. Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008, Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.Jakarta: Salemba Medika Iqbal Mubarak Wahit, dkk, Promosi Kesehatan: Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar dalam Pendidikan, ed. 1. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Moody Jane, Jane Britten, dan Karen Hogg,Menyusui: Cara Mudah, Praktis, dan Nyaman; alih bahasa, Susi Purwoko ;editor edisi bahasa indonesia, Lilian Juwono.-Jakarta : Arcan, 2005. Notoatmodjo Soekidjo, 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. _______________ , 2007, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta: PT.Rineka Cipta,
56
_______________ , 2003, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Panduan Perawatan Untuk Bayi dan Balita, ahli bahasa: Surya Satyanegara, Anton Cahaya Widjaja; editor edisi bahasa Indonesia, Lilian Juwono. Jakarta: Arcan, 2004. Roesli Utami,Mengenal ASI Eksklusif, Jakarta: Trubus Agriwidya, 2000. Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar. Ed. Baru, cet. 36. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003. Susanto, C.E, Pneumonia Pembunuh Utama Balita Indonesia, Medi Indonesia, 2009. http://www.mediaindonesia.com/read/2009/11/02/103538/71/14/. [18 Juni, 2013] Syair, Abdul., Faktor Resiko Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita,Kumpulan Pikiran: Dengan Berfikir Kita Membangun Hidup, 2009. http://syair79.wordpress.com/2009/04/26/faktor-risiko-kejadian- infeksi-saluranpernapasan-akut-ispa-pada-balita/.[29 April, 2013] Taufik, M., Prinsip –Prinsip Promosi Kesehatan Dalam Bidang Keperawatan. Jakarta : CV. Infomedika, 2007. WHO. 2003. Penanganan ISPA Pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara Berkembang. Pedoman Untuk Dokter Dan Petugas Kesehatan Senior. Alih Bahasa: C. Anton Widjaja. Penerbit Buku Kedoteran EGCJakarta.
Lampiran 6
57
KUESIONER HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DAN PEMBERIAN ASI DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA ANAK USIA 2-5 TAHUN DIRUMAH SAKIT BLUD IBU DAN ANAK PEMERINTAH ACEH
A. Diisi oleh peneliti
KODE RESPONDEN
:
TANGGAL WAWANCARA
:
DIAGNOSA
: □ Menderita ISPA □ Tidak Menderita ISPA
B. Berilah tanda chek list (√) pada pilihan yang sesuai. Apakah ibu memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi sampai umur 2 tahun ? □ Ya □ Tidak C. Pengetahuan 1. Seorang anak yang menderita batuk, pilek disertai demam dapat menular secara tidak langsung kepada anak yang sehat melalui: a. Bersin dan batuk b. Pemberian darah bagi orang yang membutuhkan c. Berganti-ganti pakaian d. Melalui sentuhan
2. Apa saja resiko yang menyebabkan meningkatnya penderita batuk, pilek disertai demam ?
58
a. Umur di bawah 2 bulan, tidak mendapat ASI memadai, tingkat pengetahuan ibu rendah, polusi udara dan kepadatan tempat tinggal. b. Keracunan makanan, makanan yang pedas dan terlalu asam. c. Karena adanya timbunan BAB ( Buang Air Besar) yang keras. d. Karena minum air yang tidak dimasak sampai mendidih terlebih dahulu 3. Bagaimana cara pencegahan batuk, pilek disertai demam ? a. Rumah sehat, pengendalian polusi udara, peningkatan gizi pada balita, peningkatan pengetahuan dan perilaku kesehatan. b. Mengubur barang bekas, menguras bak mandi, penyemprotan dan melipat pakaian. c. Mengalirkan air bersih yang tergenang d. Melakukan olah raga setiap hari 4. Jika anak masih menyusu dan terkena batuk, pilek disertai demam, apakah harus tetap diberikan ASI ? a. Tidak perlu b. Harus tetap diberikan c. Pemberian ASI dihentikan pada saat anak sakit dan dilanjutkan ketika anak sembuh. d. Pemberian ASI dilakukan jika anak dapat menghisap 5. Jika anak menderita batuk, pilek disertai demam, kapan dinyatakan anak telah sembuh ? a. Setelah anak diberikan obat selama 3 hari. b. Anak tidak demam lagi. c. Semua gejala telah hilang. d. Semua gejala telah hilang dan berat badan anak sudah kembali sama seperti sebelum sakit.
6. Kapan anak harus segera dibawa ke Puskesmas atau Rumah Sakit ? a. Jika anak bernafas lebih cepat dari biasa dan terserang batuk selama lebih dari 2 minggu b. Jika tubuh anak terasa hangat tiba-tiba c. Jika anak mulai bersin-bersin d. Jika anak batuk-batuk tetapi masih mau makan dan minum
7. Bagaimana cara melakukan perawatan batuk, pilek disertai demam dirumah ? a. Mengatasi panas (demam),mengatasi batuk,pemberian makanan dan minuman serta menjaga kesehatan lingkungan b. Membiarkan saja karena akan sembuh sendiri c. Pemberian makanan sembarangan d. Menbiarkan anak bermain diluar rumah
8. Bagaimana cara mengatasi demam pada anak ?
59
a. b. c. d.
Pemberian paracetamol Pemberian paracetamol dan dikompres Dengan cara dikompres memberikan ramuan tradisional
9. Bagaimana cara pemberian makanan pada anak yang menderita batuk, pilek disertai demam ? a. Berikan makanan jika anak ingin makan b. Berikan makanan yang mengandung minyak c. Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit dan lebih sering dari biasa. d. Berikan makanan yang meningkatkan nafsu makan anak 10. Jika anak positif terserang batuk, pilek disertai demam, makanan bagaimana yang tidak boleh diberikan? a. Makanan yang dapat merangsang sakit pada tenggorokan b. Makanan yang tidak mengandung bahan pewarna c. Memberikan makan yang bergizi d. Berikan madu ½ sendok teh 3x sehari 11. Bagaimana cara mencegah penularan batuk, pilek disertai demam jika anak Anda berada dalam penitipan harian dan anak Anda menderita batuk, pilek disertai demam ? a. Saat anak bersin dan batuk tidak perlu menutup mulut dan hidungnya b. Menganjurkan anak untuk menutup mulut serta hidungnya saat bersin dan batuk. c. Anjurkan pada gurunya untuk membiarkan anak anda seperti biasa d. Anak tidak perlu memakai pakaian yang tebal 12. Kapan virus dan bakteri penyebab batuk, pilek disertai demam bersirkulasi dalam jumlah besar ? a. Pada musim kemarau b. Pada musim hujan c. Pada musim diare d. Pada lingkungan yang padat penduduk
13. Yang merupakan tanda bahaya pada penderita batuk, pilek disertai demam adalah: a. Anak tidak bisa minum dan terdengar suara seperti ngorok,anak demam atau dingin, kesadaran menurun dan kejang serta mengalami kesulitan bernafas b. Anak masih bisa minum c. Anak tidak demam d. Anak masih bisa bernafas
14. Bagaimana cara memberikan kompres yang benar ? a. Menggunakan handuk kecil dan air b. Anak dikompres dengan air es
60
c. Menggunakan kain bersih dan celupkan kedalam air hangat d. Kompres pada kening anak 15. Jika bayi Anda berusia 3 bulan, pencegahan terbaik terhadap batuk, pilek disertai demam yang dapat Anda lakukan adalah ? a. Menjaganya jauh dari orang-orang yang sedang batuk, pilek disertai demam dan tetap berikan Asi b. Memberikan imunisasi agar terhindar dari batuk, pilek disertai demam c. Tidak memberikan ASI dan suplemen vitamin A d. Menghindari anak terkena hujan atau terik matahari
Lampiran 7
KUNCI JAWABAN
1. A 2. A 3. A 4. B 5. D 6. A 7. A 8. B 9. C
61
10. A 11. B 12. B 13. A 14. C 15. A