BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Pluralitas agama di Indonesia adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari dan dipungkiri. Pluralitaas merupakan fakta sosiologis yang harus dijunjung tinggi, dihormati dan terus dipertahankan. Sebab, karena ada pengakuan keberagaman inilah bangsa Indonesia terbentuk.1 Oleh karena itu, setiap masyarakat menerima kemajemukan sebagaimana adanya, kemudian menumbuhkan sikap bersama yang sehat dalam rangka kemejemukan itu sendiri. Hal ini penting karena kemajemukan itu mempunyai dua dimensi. Dan hal ini juga berlaku bagi kemejemukan dalam agama. Dimensi pertama, kemejemukan agama dapat menjadi potensi integrasi bila masyarakat dapat saling menerima dalam hidup bersama. Dan dimensi kedua, kemejemukan agama berpotensi untuk konflik jika tidak mampu menerima dalam hidup bersama. Oleh karena pluralitas agama adalah sebuah realiatas hidup bersama di negara ini, maka pluralitas telah menjadi identitas bagi bangsa ini. Indonesia sebagai negara yang memiliki konteks pluralitas agama dalam masyarakat, maka gagasan jaminan kebebasan beragama seharusnya menjadi unsur yang sangat fundamental dalam kerangka dasar pengembangan kehidupan beragama.2 Dengan demikian, penting sekali negara melindungi dan menegakan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa diskriminasi bagi setiap warga negara. Kebebasan beragama sendiri dipahami sebagai kebebasan seseorang untuk memilih dan mengungkapkan keyakinan tanpa ditekan atau dideskriditkan atas pilihan tersebut.3
1
Sultan Hamengku Buwono X, Merajut Kembali Ke Indonesiaan Kita (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), 10. 2 Weinata Sairin, Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Bangsa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 164. 3 Hamid Basyaib, Membela Kebebasan: Percakapan Tentang demokrasi Liberal (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), 281.
1
Kebebasan beragama atau berkeyakinan menurut Deklarasi Universal tentang Hakhak Asasi Manusia dalam artikel ke 18 adalah “Setiap orang mempunyai hak kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk beralih agama atau kepercayaan, dan juga kebebasan, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan orang lain, serta baik di depan umum maupun pribadi, untuk memperlihatkan agama atau kepercayaannya, dengan jalan mengajarkan, mempraktekkan, beribadat atau melakukan kewajiban-kewajiban agama”.4 Jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan dipandang sebagai hak asasi universal yang harus dijunjung tinggi. Jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan bagian hak asasi manusia (HAM) yang telah dimufakati dan dideklarasikan dalam konvensi-konvensi internasioanl baik yang terdapat dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) atau Internasional Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan konven Internasional lainnya tentang hak sipil.5 Jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan menurut perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) terbagi dalam dua aspek. Pertama, kebebasan internal (forum internum), pada dasarnya setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agam atau kepercayaan. Kedua, kebebasan eksternal (forum externum) Pada dasarnya setiap orang memiliki kebebasan, secara individu di dalam masyarakat, di muka publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan di dalam pengajaran, pengamalan dan peribadahannya.6 Norma hukum hak asasi manusia (HAM) menyatakan bahwa pemangku kewajiban HAM sepenuhnya tak lain adalah negara, dalam hal ini adalah pemerintah.7 Hal ini berarti bahwa perjuangan untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap individu atau kelompok adalah perjuangan dan tanggung-jawab pemerintah. Pemerintah sebagai pemegang 4
Olaf H Schumann, Dialog Antar Umat Beragama (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2008), 534. Nicola Colbran, Kebebasan Beragama atau berkeyakinan:Seberapa Jauh (Yogyakarta:Kanisius,2010),685-686. 6 Siti Musdah Mulia, Merayakan Kebebasan Beragama, ed. Elza Peldi Taher, (Jakarta: ICRP&KOmpas, 2009), 335. 7 Stanley Adi Prasetyo, Pluralisme, Dialog dan Keadilan (Yogyakarta: Interfidei, 2011), 26. 5
2
dan pemenuh HAM mengemban tiga bentuk tugas. Pertama, pemerintah harus menghormati, kedua, melindungi dan ketiga, pemerintah memenuhi hak asasi manusia tersebut. Pemerintah yang berfungsi sebagai penyelenggara negara semestinya harus berfungsi sebagai penjamin sekaligus penjaga agar hak-hak setiap warga negara tidak ada yang terlanggar. Namun, dalam menjalankan tugas tersebut pemerintah tidak boleh campur tangan dan mengintervensi dalam menentukan hak-hak yang tak dapat ditangguhkan (nonderoggable rights).8 Hal ini dikarenakan, memiliki kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan sesuatu yang dianugerahkan oleh negara atau pemerintah, namun sesuatu yang dimiliki setiap individu dan kelompok agama semata-mata karena mereka manusia. Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini diproklamirkan. Melalui Badan penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) wacana ini sangat hangat diperdebatkan founding fathers, khususnya pada saat merumuskan UUD pasal 29 ayat 2.9 Para pendiri bangsa pada saat merumuskan dasar negara bermufakat “ke-Tuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar negara yang tidak hanya menunjukan bahwa bangsa ini religious, namun adanya pengakuan persamaan dan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.10 Pengakuan jaminan
kebebasan beragama dan
berkeyakinan itu diterjemahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45), UndangUndang (UU) dan peraturan bersama yang dikeluarkan oleh pemerintah. Jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat jelas dan tegas diatur. UUD pasal 28 E ayat 1 dengan jelas menyatakan “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”.11 Dan ditegaskan kembali pada pasal 29 ayat 2 “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya 8
Ibid., 30. Musdah Mulia, Merayakan Kebebasan Beragama, 335. 10 Ida Bagus Gunandha, Agama dan Demokrasi: Kasus Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 10-11. 11 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Bab XA, pasal 28 9
E.
3
dan kepercayaannya itu”.12 UU no 39 yang mengatur tentang hak asasi manusia pada pasal 22 dengan jelas pula menyatakan “setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan keprcayaannya itu dan “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan keprcayaannya itu”. Sesuai dengan amanat UUD’45, hak ini tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapa pun, namun boleh dibatasi oleh undang-undang13. Aturan-aturan dalam UUD’45 dan UU dengan jelas memperlihatkan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan serta beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Paraturan ini menegaskan memberikan jaminan kebebasan beragama, bahwa tidak akan ada diskriminasi dan intimidasi dalam memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dari pemerintah. Pemerintah juga wajib melindungi setiap warga negara dari tindakan diskriminasi dan intimidasi dari individu atau kelompok agama tertentu. Namun pada kenyataannya kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia terus terusik oleh kejadian pelanggaran kebebasan beragama. Berdasarkan catatan dari Wahid Institute terjadi 27 kasus pelanggaran kebebasan beragama sepanjang tahun 2007.14 Sedangkan menurut hasil penelitian dari SETARA Institute terjadi lonjakan kasus pelanggaran kebebasan beragama dari tahu ke tahun di Indonesia. Catatan SETARA Institute, tahun 2010 kasus pelanggaran kebebasan sebanyak 94 kasus. Sementara di 2011, hingga pertengahan tahun pelanggaran kebebasan beragama mencapai 99 kasus. Data pelanggaran kebebasan beragama ini diperoleh dari 13 provinsi yang ada di Indonesia.15 Dan menurut
12
Ibid., Bab XIA, pasal 29 ayat 2. Colbran, Kebebasan Beragama, 684. 14 Musdah Mulia, Merayakan Kebebasan, 352. 15 Aries setiawan & Syahrul Ansyari,Pelanggran Kebebasan Beragama Tinggi.http://life.viva.co.id/news/read/275815-2011--pelanggaran-kebebasan-beragama-tinggi, diakses 12 June 2012. 13
4
catatan Lembaga Advokasi Masyarakat (ELSAM) pada bulan Januari-April telah terjadi 21 kasus pelanggran kebebasan beragama.16 Dalam laporan pengurus Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Wali gereja Indonesia kepada Komnas HAM, sejak tahun 2004-2007 telah terjadi 108 kasus penutupan, penyerangan dan pengerusakan gereja. 17. Akibat meningkatnya kasus pelanggran kebebasan beragama, Indonesia menjadi bahan sorotan sekaligus mendapat peringatan dari dunia internasional dalam menjamin kebebasan beragama.18 Kasus penyerangan jemaat Ahmadiyah di Cekusik, pengerusakan gereja di Temanggung, pencabutan IMB GKI Yasmin Bogor dan kasus pelarangan beribadah jemaat HKBP Filadelfia di Bekasi merupakan beberapa contoh kasus potret pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia.19 Kasus-kasus pelanggran kebebasan beragama tersebut merupakan bukti pemerintah tidak mampu melindung kaum minoritas. Bila melihat contoh-contoh pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia, maka dapat dilihat ada dua bentuk pola kekerasan terhadap agama. Pertama, fenomena penyesatan dan kekerasan terhadap aliran keagamaan atau kepercayaan tertentu dengan alasan agama. Kedua, Kristeninasi dan penutupan rumah ibadah. Kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama menjadi bahan evaluasi bagi bangsa ini dalam menjamin kebebasan beragam di Indonesia. Sebagaimana telah diurailan di muka UUD pasal 29 ayat 2 dengan jelas menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agama atau kepercayaannya. Pasal tersebut mengandung dua aspek yaitu kebebasan berkeyakinan atau 16
Ryan Dagur,Pemerintah Gagal menjamin Kebebasan Beragama. http://www.pgi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=410:pemerintah-gagal-menjaminkebebasan-beragama&catid=95:liputan-pgi&Itemid=486, diakses 12 Juni 2012. 17 Musdah Mulia, Merayakan Kebebasan 352-353. 18 Pemerintah Dicecar PBB Soal Kebebasan Beragama. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fbfb8c8ec50a/pemerintah-dicecar-pbb-soal-kebebasanberagama, diakses 12 June 2012. 19 Pelanggran Kebebasan Beragama Pemerintah Tak mampu Lindungi.http://id.berita.yahoo.com/pelanggaran-kebebasan-beragama-pemerintah-tak-mampu-lindungi135248540.html, diakses 12 june 2012.
5
beragama dan kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaanya. Dengan demikian pasal ini melindungi dua aspek kebebasan beragama yaitu kebebasan spiritual seseorang (forum internum) dan hak untuk mengeluarkan (manifestasi) keberadaan spiritual tersebut serta mempertahankannya di depan public (forum externum).20 Namun pemerintah membuat sebuah peraturan bersama yang membatasi warga negara untuk dapat beribadat menurut agamanya. Persyaratan-persyaratan dalam aturan ini telah membatasi kebebasan penduduk untuk beribadat menurut agamanya.Sebab kebebasan yang disertai persyaratan bukan lagi kebebasan. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 1/BER/MDN/-MAG tahun 1969 di dalamnya mengatur tata cara pendirian rumah ibadah. Aturan tata cara dan persyaratan pendirian rumah ibadah ini sering menjadi pokok permasalahan dalam kebebasan beragama khususnya dalam hal mendirikan rumah ibadat. Sejak semula organisasi keagamaan dalam hal ini PGI (waktu itu DGI) dan KWI (waktu itu MAWI) menolak lahir peraturan ini, karena tidak sesuai dengan atau bahkan bertentangan dengan UUD 1945. Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) beberapa kali menyatakan sikapnya kepada pemerintah untuk meninjau kembali atau bahkan mencabut SKB 2 Menteri tersebut karena melanggar jaminan kebebasan beragama sebagai HAK Asasi Manusia. Pada tahun 2006 pemerintah mengundang para wakil-wakil majelis agama untuk mendiskusikan SKB tersebut terkait dan mempertanyakan apakah peraturan tersebut masih diperlukan.Para wakil-wakil majelis agama memberikan tanggapan dan tidak mencapai kesepakatan sampai pertemuan yang ke sepuluh. Akhirnya pemerintah tetap mempertahankan aturan tersebut dengan merevisi beberapa aturan di dalamnya. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri setelah revisi berubah menjadi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9/2006 dan No.8/2006 yang di dalamnya tetap mengatur tata cara 20
Adi Prasetyo, Pluralisme, Dialog, 34-35.
6
dan persyaratan pendirian rumah ibadat.21 Adapun ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sebagai berikut. Pasal 13 (1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa Pasal 14 (1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratife dan persyaratan teknis bangunan gedung. (2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (Sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3) b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota (3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat. Pasal 15 21
Andreas A Yewangoe,Menyikapi Peraturan Bersama Dua Menteri.http://artikel.sabda.org/menyikapi_peraturan_bersama_dua_menteri, Diakses tanggal 12 June 2012.
7
Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) huruf d merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis. Pasal 16 (1) Permohonan pendirian rumah ibdat sebagaimana imaksud dalam pasal 14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat. (2) Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagimana dimaksud pada ayat (1).22 Agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sacral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan terlarang -kepercayaan dan praktekpraktek yang menyatukan seluruh orang yang menganut dan menyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas yang disebut Gereja.23 Gereja dalam hal ini adalah sebuah komunitas moral yang memiliki kepercayaan bersama terhadap hal-hal yang spesifik.24 Defenisi agama tersebut mengungkapkan hakikat agama sebagai satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipilah dan dibagi. Karena kesatuan hanya bisa didefenisikan jika dihubungkan dengan bagianbagian yang terkandung dalam kesatuan tersebut.25 Jadi tidak dapat menyebut agama tanpa adanya kepercayaan atau tanpa adanya praktek kepercayaan dan orang yang mempraktekkan kepercayaan tersebut.Sebab beragama berarti, menjalankan ajaran, ibadah dan beribadat. Menjamin kebebasan beragama berarti menjamin kebebasan individu atau kelompok untuk mengungkapkan system kepercayaan dalam wujud ritus atau ibadah di ranah pribadi atau publik. Sesuai dengan defenisi agama di atas bahwa hal ini merupakan satu kesatuan
22
Dokumen Permen, http://riau.kemenag.go.id/file/dokumen/perme906.pdf, Diakses 12 june 2012. Emile Durkeim, The Elementary Forms of the Religious Life, diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir dengan judul sejarah Agama (Yogyakarta, IRCISoD, 2003), 80. 24 Ibid., 78. 25 Ibid., 65. 23
8
yang tidak dapat dipisahkan. Pada saat tidak dijaminnya kebebasan untuk individu atau kelompok mengungkapkan sistem kepercayaan dalam wujud ibadah, maka hal ini merupakan pelanggaran kebebasan beragama. Rumah
Ibadah
adalah
tempat
bagi
komunitas
agama
untuk
bersekutu
mengungkapkan kepercayaannya kepada yang Maha Kuasa dalam bentuk ibadah. Untuk beribadah berarti memerlukan rumah ibadah atau tempat ibadah. Setiap agama memiliki rumah ibadah sendiri dan penyebutan dari rumah ibadah juga berbeda-beda.Beribadah merupakan hal yang tidak terpisahkan dari agama. Begitu pula dengan beribadah tidak terpisahkan dari tempat ibadah. Apabila dijamin orang untuk beribadah, maka harus dijamin pula orang mendirikan rumah ibadah. Menjamin kebebasan untuk mendirikan rumah ibadah adalah bagian dari kebebasan beragama. Sedangkan apabila membatasi orang untuk mendirikan rumah ibadah merupakan pelanggaran kebebasan beragama. Ketentuan dan persyaratan-persyaratan dalam peraturan tersebut dengan jelas membatasi pemeluk agama untuk mendirikan rumah ibadah. Hal ini secara tidak langsung upaya untuk membatasi pemeluk agama untuk beribadah menurut agama yang dianutnya. Peraturan ini mengakibatkan hilangnya jaminan kebebasan beragama dan beribadat. Padahal dengan jelas dan tegas dalam konstitusi negara pada pasal 29 ayat 2 bahwa negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri menjadi hambatan dalam kebebasan beragama. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang mengatur pendirian rumah ibadah adalah bentuk pembatasan pendirian rumah ibadah. Tata cara dan syarat-syarat yang ada dalam peraturan tersebut merupakan bentuk intervensi pemerintah membatasi pendirian rumah ibadah yang sekaligus melanggar HAM sebagimana tercantum
9
dalam konstitusi. Oleh karena, setiap pembangunan rumah ibadah harus memenuhi ketentuan dan persyaratan-persyaratan yang diatur dalam peraturan bersama. Berdasarkan dari seluruh paparan di atas, maka penulis hendak meneliti, apa makna pengaturan kebebasan beragama dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri terhadap jaminan kebebasan beragama. Berdasarkan paparan di atas, maka judul yang diajukan oleh penulis ialah Suatu Kajian Kebebasan Beragama Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Menurut Perspektif Kebebasan Beragama Dalam UUD pasal 29 ayat 2. 1.2. BATASAN MASALAH Berdasarkan uraian di atas, maka fokus penelitian ini dibatasi pada makna pengaturan kebebasan beragama dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri terhadap jaminan kebebasan kebebasan beragama yang dikaji menurut perspektif UUD pasal 29 ayat 2. I.3. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang hendak dikemukakan adalah: Apa yang dimaksud makna kebebasan beragama dalam UUD pasal 29 ayat 2? Bagaimana kebebasan beragama dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri dilihat dari perspektif kebebasan beragama UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) I.4. TUJUAN PENELITIAN Dalam penelitian ini penulis ingin: Mendeskripsikan makna kebebasan beragama menurut UUD pasal 29 ayat 2.
10
Mendeskripsikan makna pengaturan kebebasan beragama dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
I.5. MANFAAT PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka manfaat dari penelitian ini adalah:
Untuk menjelaskan pengaruh Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri terhadap jaminan kebebasan beragama di Indonesia
Meminta pemerintah untuk mengevaluasi atau bahkan mencabut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri mengenai tata cara pendirian rumah ibadah apabila terbukti bertentangan dengan UUD 1945.
I.6. METODOLOGI PENELITIAN 1. Metodologi yang dipakai adalah deskriptif. Penulis menggunakan metode deskriptif karena penilitian ini ingin menggambarkan atau melukiskan fakta-fakta tentang masalah yang sedang diselidiki sebagaimana adanya dengan memberikan analisa dan interpretasi tentang arti data itu.26 2. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka. Penulis menggunakan jenis penelitian ini karena penulisan ini bertujuan untuk mengkaji suatu ide tertentu dalam suatu bidang studi. Kajian tersebut dengan menggunakan
informasi atau data dari penelitian
terdahulu yang selanjutnya dianalisi menurut perspektif terntentu.27 I.7. SISTEMATIKA PENULISAN Tulisan ini akan dibuat dalam 5 bab. Bab 1 adalah bagian pendahuluan yang akan memuat latar belakang penulisan, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
26
63.
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Social (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press, 1983), 27
11
manfaat penulisan, metode penulisan, metode penelitian. Dalam bab 2, penulis akan mendeskripsikan kebebasan beragama menurut perspektif UUD pasal 29 ayat 2. Halhal ini menyangkut pembicaraan dan perdebatan pada saat UUD pasal 29 tersebut dirumuskan, latarbelakang para pendiri bangsa merumuskan pasal tersebut dan gagasan-gagasan yang mendasari dirumuskannya pasal tersebut. Pada bab 3 penulis akan membahas kebebasan beragama dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Dalam bab 4 penulis akan menganlisis kebebasan beragama dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri menurut perspektif kebebasan beragama dalam UUD pasal 29 ayat 2. Bab 5 akan berisikan kesimpulan dari keseluruhan isi tulisan ini, serta saran yang dapat membangun, yang berdasar dari tulisan pada bab-bab sebelumnya.
12