BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dipandang sebagai proses yang dinamis yang dipengaruhi oleh sifat bakat seseorang dan pengaruh lingkungan dalam menentukan tingkah laku apa yang akan diaktualisasikan dan dimanifestasi. Bila dalam proses ini hilang dinamikanya disebabkan oleh rusaknya sifat bakat seseorang atau oleh kurangnya stimulasi lingkungan atau oleh hambatan dalam interaksi bakat dan lingkungan, timbulah gangguan dalam perkembangan seseorang (Monks, 2006). Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia Taman Kanak-Kanak dimana anak-anak sudah mulai berinteraksi lebih luas dengan lingkungannya. Untuk berinteraksi dengan lingkungannya, anak membutuhkan kemampuan dalam bersosialisasi sebagai suatu fondasi bagi perkembangan kemampuan anak berinteraksi dengan lingkungannya (Erniwulan, 1998). Pada dasarnya anak, khususnya anak usia sekolah memiliki keinginan yang kuat untuk dapat diterima oleh kelompoknya. Ia akan terus berusaha untuk dapat bergabung dan diakui oleh kelompok sebayanya. Bila anak itu tidak diakui oleh kelompoknya, maka ia akan mencari cara lain untuk dapat diterima dalam kelompok sebaya tersebut (Erniwulan, 1998). Tidak semua anak mampu melakukan interaksi sosial seperti yang diharapkan, dan tidak semua anak mampu berinteraksi dengan kelompoknya secara baik. Hal ini akan menjadi penentu kegagalan dan keberhasilan anak di kemudian hari. Masa di sekolah merupakan masa-masa yang banyak dinanti, masa yang mengesankan sekaligus menyenangkan, baik pada anak-anak, remaja, maupun dewasa, dan mungkin bisa dikatakan bahwa masa-masa paling indah adalah masa-masa di sekolah. Hal ini dikarenakan lingkungan sekolah akan memberikan pengaruh yang sangat besar kepada anak
sebagi individu maupun sebagai mahluk sosial, peraturan sekolah, otoritas guru, disiplin kerja, cara belajar, kebiasaan bergaul, dan macam-macam tuntutan sekolah yang cukup ketat akan memberikan segi-segi keindahan dan kesenangan tersendiri pada anak (Purwanto: 2006) Setiap siswa, pada dasarnya menginginkan situasi yang bisa memotivasinya agar bisa selalu berprestasi dan berkarya di sekolahnya tanpa ada rasa malu dan takut untuk mengaktualisasikan segala sesuatu yang ada pada dirinya. Namun tidak semua siswa bisa mengaktualisasikan potensi yang ada pada dirinya tersebut; teman-teman, guru dan bahkan keluarganya justru menjadi salah satu faktor penyebab hilangnya keberanian mereka untuk mengaktualisasikan potensi-potensi yang ada pada dirinya. Seperti halnya kasus yang telah peneliti temukan pada seorang anak perempuan berusia tujuh tahun yang tidak mampu mengaktualisasikan potensi-potensi yang ada pada dirinya. Anak tersebut tidak memiliki motivasi untuk selalu berprestasi seperti temantemannya, subjek merasa malu dan takut untuk mengaktualisasikan segala sesuatu yang ada pada dirinya. Hal ini terjadi setelah subjek di tertawakan oleh teman-teman subjek saat subjek salah dalam mengerjakan tugas di depan kelas. Sejak saat itu subjek tidak mau lagi tampil di depan kelas hingga saat ini, alasan subjek adalah subjek takut akan ditertawakan oleh temantemannya lagi. Subjek juga berpikir kalau teman-teman subjek tidak menyukai subjek karena subjek tidak seperti teman-temannya yang pintar dan cantik. Dari hasil asesmen terhadap kasus yang dialami subjek, didapat beberapa ciri perilaku sebagai berikut, subjek menarik diri dari lingkungan sosialnya, tidak percaya diri terhadap apa yang dikerjakan, tidak termotivasi untuk belajar dikelas, tidak percaya diri untuk tampil didepan kelas dan nilai-nilai pelajaran subjek disekolah berada di peringkat paling bawah dari teman-temannya. Akhir-akhir ini perilaku subjek saat berada dirumah berubah menjadi lebih agresif, pemberontak dan keras kepala. Selain itu gerakan subjek juga tampak lamban dan lelah serta bahu membungkuk
seperti memiliki beban. Ciri-ciri perilaku ini biasanya terjadi pada anak yang mengalami permasalahan perkembangan yaitu rasa rendah diri atau inferioritas. Perasaan inferioritas bukan suatu pertanda abnormalitas, melainkan justru penyebab segala bentuk penyempurnaan dalam kehidupan manusia. Dari sudut pandang kesehatan mental ada perasaan inferioritas normal seperti rasa tidak lengkap yang merupakan daya pendorong kuat bagi perkembangan manusia. Manusia didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi rasa inferioritasnya dan ditarik oleh hasrat untuk menjadi rasa superior. Ada inferioritas abnormal yaitu perasaan inferioritas yang dilebih-lebihkan oleh kondisi kondisi tertentu dalam keluarga dan masyarakat. Misalnya karena pemanjaan, penolakan anak, kritik berlebihan, yang akan menghasilkan manifestasi perilaku yang abnormal, misalnya berkembang suatu inferiority complex (Hall dkk, 1993). Inferiority complex menunjuk pada perasaan tidak berarti yang sangat kuat dan tidak disadari, merasa tidak aman atau merasa tidak mampu menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi (Chaplin, 2002). Ogden (2001) mengungkapkan bahwa beberapa orang yang menderita inferiority complex secara keseluruhan memperlihatkan bahwa mereka menyandang keluhan-keluhan yang mereka rasakan. Mereka sering terlihat seolah-olah membawa beban yang tak terlihat. Gerakan mereka tampak lelah, bahu mereka yang membungkuk dan mereka menyeret kaki mereka saat mereka berjalan. Beberapa ada yang menyambut dengan senyum tegang di bibir mereka, mereka mengulurkan tangan dengan malu-malu seolah-olah mereka takut kita akan ditolak oleh orang lain. Menurut Ellis, manusia tidak ditakdirkan untuk menjadi korban pengkondisian awal. Manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bisa mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakatnya. Bagaimanapun, manusia dilahirkan dengan kecenderungan untuk mendesakkan pemenuhan keinginan-keinginan, tuntutan-tuntutan, hasrat-hasrat, dan kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Jika tidak segera
mencapai apa yang diinginkannya, manusia mempersalahkan dirinya sendiri ataupun orang lain (Corey, 2007). Ellis (1994) juga menuturkan bahwa perilaku seseorang khususnya konsekuensi emosi; senang, sedih frustasi bukan disebabkan secara langsung oleh peristiwa yang dialami individu. Perasaan-perasaan ini diakibatkan oleh cara berpikir atau sistem kepercayaan seseorang. Peristiwa yang terjadi disekitar kita (seperti sikap orang lain) atau yang dialami individu (kegagalan melaksanakan tugas, misalnya) akan direaksi sesuai dengan sistem keyakinannya (Latipun, 2008). Sistem keyakinan individu berkisar pada dua kemungkinan, yaitu rasional atau tidak rasional. Jika mampu berpikir secara tidak rasional maka tidak akan mengalami hambatan emosional. Menurut Ellis orang yang berkeyakinan rasional akan merekasi peristiwaperistiwa yang dihadapi kemungkinan mampu melakukan sesuatu secara realistik (Latipun, 2008). Sebaliknya jika individu berkeyakinan irasional, dalam menghadapi berbagai peristiwa, akan mengalami hambatan emosional, seperti perasaan cemas manganggap ada bahaya sedang mengancam dan pada akhirnyan akan melakukan atau merekasi peristiwa itu secara tidak realistis. Pada seseorang dapat terjadi di suatu saat dia memiliki pandangan yang rasional dan pada saat yang lain irrasional. Merujuk dari teori yang dikembangkan oleh Albert Ellis mengenai munculnya gangguan pada seseorang yaitu dengan teori A-B-C. Teori A-B-C tentang kepribadian sesuai dengan munculnya inferiority pada subjek sebagai berikut: A adalah keberadaan suatu fakta, dimana sujek ditertawakan oleh teman-temannya saat salah dalam mengerjakan tugas saat subjek tampil di depan kelas. C adalah konsekuensi atau reaksi subjek, subjek bereaksi dengan tidak mau lagi tampil didepan kelas. A (peristiwa yang mengaktifkan) bukan penyebab timbulnya C (konsekuensi emosional). Alih alih, B yaitu keyakinan individu tentang A, yang menjadi penyebab C, yakni reaksi emosional (Corey, 2007).
Reaksi-reaksi emosional dipertahankan oleh putusan-putusan yang tidak logis yang terus menerus diulang oleh individu, seperti halnya yang terjadi pada kasus yang diangkat oleh peneliti adalah keyakinan bahwa “aku tidak mampu dalam mengerjakan tugas yang diberikan” dan “teman-teman ku tidak menyukai aku”. Dari keyakinan-keyakinan tersebut yang membuat subjek pada akhirnya muncul perilaku maladaptif. Hall & Lindzey (1993) menyatakan inferioritas menjadikan manusia didorong oleh kebutuhan untuk mengatasi kekurangan mereka dan ditarik oleh keinginan untuk menonjolkan diri (inferiority to superiority). Inferioritas ini akan menjadi tidak wajar dan sangat merugikan ketika perasaan inferioritas yang ada dibiarkan begitu saja, karena membiarkan rasa inferioritas tersebut akan menenggelamkan individu pada situasi yang semakin terpuruk dan membuat anak semakin merasa kurang, tidak mampu dan tidak berdaya. Perasaan ini bisa menjadi persoalan kepribadian dalam kelas, hal itu dikarenakan adanya perilaku yang maladaptif akibat dari pemikiran yang irasional. Teori cognitive behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian stimulus – kognisi – respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam otak manusia, dimana proses kognitif akan menjadi proses penentu bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak (Oemarjoedi, 2003). Rasa tidak aman dapat dilukiskan sebagai suatu sikap atau keyakinan individu bahwa dia tidak disukai oleh orang-orang, tidak mampu mengerjakan sesuatu dan perasaan tidak aman atau jiwanya terancam. Manifestasi perilaku dari inferioritas ini juga terlihat pada beberapa situasi meskipun seseorang cukup mempunyai kekuatan untuk menyesuaikan diri, masih dapat juga timbul kurang percaya diri pada diri sendiri. Pada seseorang yang kurang dapat menyesuaikan dirinya (maladjustmen person) tampak rasa kurang harga diri pada sebagian besar dari tingkah lakunya. Pada hal-hal yang ekstrem rasa kurang harga diri ini
tampak, bahwa seolah-olah mereka ini selalu dikritik, tidak suka bertemu atau berkenalan dengan orang lain, memproyeksikan ketidakbecusan atau kesalahannya sendiri kepada orang lain (Notosoedirdjo & Latipun, 2005). Melihat besarnya resiko perilaku inferioritas untuk jangka panjnag maka perlu ada penanganan terhadap masalah inferioritas. Sebuah keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan irasional, dimana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku seperti halnya yang dialami oleh subjek, maka terapi cognitive behavior dipilih sebagai alternatif penangan terhadap masalah yang dialami subjek. Terapi kognitif perilaku diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat dan memutuskan kembali. Dengan merubah status pikiran dan perasaannya, subjek diharapkan dapat merubah perilakunya dari negatif menjadi positif (Oemarjoedi, 2003). Penanganan terhadap masalah yang dialami subjek disesuaikan dengan kriteria dan masa perkembangan subjek. Pada kasus ini, subjek penelitian adalah seorang anak berusia tujuh tahun. Dalam psikologi perkembangan anak usia tujuh tahun memasuki akhir masa kanak-kanak dan masa ini seringkali disebut dengan usia bermain, hal ini dikarenakan luasnya minat dan kegiatan bermain (Hurlock, 1980). Oleh karena itu, peneliti merasa bahwa cognitive behavior therapy yang akan di terapkan kepada subjek akan disesuaikan dengan masa perkembangan subjek. Penerapan cognitive behavior therapy akan diterapkan dengan paradigma terapi bermain. Menurut Berlin (dalam Schafer & Reid, 1986: 197) terapi bermain merupakan pengembangan terapi bagi anak-anak yang bermasalah melalui permainan yang digunakan sebagai sarana untuk memahami komunikasi non verbal bagi anak-anak tersebut (misalnya: memahami perasaannya, pikirannya, dan konflik yang sedang dihadapi mereka).
Disamping itu bermain bisa menimbulkan perasaan senang dan gembira bagi anak (Hughes, 1991). Subjek juga akan mengalami proses belajar yang nantinya akan sangat bermanfaat bagi perkembangannya. Selain itu dengan terapi bermain dapat mempengaruhi perkembangan fisik, pengetahuan dan kreativitas serta nilai moral dan tingkah laku sosial yang lebih baik juga mereduksi gejala-gejala gangguan emosional. Di dalam terapi bermain, pendekatan terapi yang akan diberikan kepada subjek dikenal dengan nama cognitive behavior play therapy (CBPT) untuk mengatasi masalah yang dialami oleh klien. CBPT digunakan berdasarkan pada teori-teori perilaku dan kognitif perkembangan emosional dan psikopatologi. CBPT menggabungkan intervensi cognitif dan perilaku dalam paradigma terapi bermain. Konsep dasar CBPT didasarkan pada teori psikopatologi yang luas dan rincian interaksi timbal balik yang rumit antara kognisi, emosi, perilaku dan lingkungan (O’connor & Liza, 1997 ). CBPT adalah adaptasi perkembangan sensitif terapi kognitif dan perilaku. melalui penggunaan kegiatan bermain, terapi dapat dikomunikasikan kepada anak-anak secara tidak langsung. Misalnya, boneka dan boneka hewan dapat digunakan untuk model strategi kognitif seperti melawan keyakinan menyesuaikan diri dan membuat pernyataan positif diri. CBPT telah digunakan untuk mengobati anak-anak menyajikan dengan diagnosa spesifik seperti bisu selektif (Knell, 1993a, 1993b), encopresis (Knell & Moore, 1990; Knell, 1993a) dan fobia (Knell, 1993a), serta anak-anak yang mengalami secara langsung / trauma seperti perceraian (Knell, 1993a) dan pelecehan seksual (Ruma, 1993; Knell & Ruma, 1996). Penelitian ini akan difokuskan dalam hal mereduksi inferioritas subjek saat harus tampil didepan kelas, agar subjek nantinya lebih percaya diri. CBPT digunakan untuk melawan keyakinan-keyakinan negatif yang ada pada subjek agar subjek mampu menyesuaikan diri secara baik dan mampu membuat pernyataan-pernyataan positif terhadap diri sendiri.
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini diberi judul “Cognitive Behavior Play Therapy (CBPT) Dalam Mengatasi Inferioritas Pada Anak Saat Tampil Di Depan Kelas” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah Apakah Cognitive Behavior Play Therapy
(CBPT) efektif dalam
mengatasi inferioritas pada anak saat tampil di depan kelas. C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas Cognitive Behavior Play Therapy (CBPT) dalam mengatasi inferioritas pada anak saat tampil di depan kelas. D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Memberikan informasi tambahan bagi wacana keilmuan bidang psikologi secara umum serta bidang psikologi klinis anak pada khususnya. 2. Secara Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu perubahan perilaku pada subjek dan memberikan informasi kepada keluarga, guru dan juga lingkungan subyek tentang pentingnya memberikan pola pengasuhan dan pendidikan terhadap subyek. b. Penelitian ini dapat memberikan alternatif penanganan terhadap anak untuk mengatasi inferioritas melalui Cognitive Behaviour Play Therapy (CBPT).