BAB I PENDAHULUAN Industri telekomonikasi selular di Indonesia saat ini sudah mulai memasuki tahap baru, di mana persaingan semakin ketat. Di satu sisi, perusahaan operator telekomunikasi selular semakin bertambah banyak, sedangkan di sisi lain laju pertumbuhan jumlah pelanggan cenderung mengalami penurunan.
Gambar 1.1. Pertumbuhan Jumlah Pelanggan Telepon Selular di Indonesia (Silalahi, www.mastel.or.id, 2008) Saat ini di Indonesia telah beroperasi 10 operator telekomunikasi selular, yaitu: •
Telkomsel
•
Indosat
•
Excelcomindo
•
Hutchison CP Telecommunications (HCPT)*
•
Mobile-8
•
Telkom
•
Bakrie Telecom (BTEL)
•
Sinar Mas Telecom (SMART)* 1
•
Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI)*
•
Natrindo Telepon Selular (NTS)*
Dari sepuluh operator tersebut, empat di antaranya (bertanda *) relatif dapat dikategorikan sebagai pendatang baru, dengan masa operasi kurang lebih baru satu tahun. Di sisi pelanggan, teledensitas di Indonesia telah mencapai 42.9%. Tentu saja dengan semakin meningkatnya teledensitas dapat disimpulkan bahwa potensi pertumbuhan juga semakin berkurang.
Gambar 1.2. Teledensitas Telepon Selular di Indonesia (Silalahi, www.mastel.or.id, 2008) Kondisi ini mengakibatkan persaingan yang semakin ketat di antara sesama operator telekomunikasi selular di Indonesia, yang bahkan telah memasuki era price war. Situasi ini tentu saja merugikan bagi perusahaan, karena price war akan memaksa mereka menekan marginal revenue serendah mungkin, dan tentu saja tindakan ini akan berpengaruh pada kinerja finansial perusahaan. Dampak dari persaingan ini akan dirasakan lebih berat oleh operator-operator pendatang baru, yang relatif memiliki basis pelanggan lebih sedikit. Dari sisi economic of scale, 2
operator-operator pendatang baru tersebut akan mengalami kesulitan untuk memperoleh income yang cukup besar untuk menutupi fixed cost dengan marginal revenue yang tipis dan jumlah pelanggan yang sedikit. Untuk dapat menguasai pangsa pasar yang signifikan, operator telekomunikasi selular pendatang baru tersebut perlu melakukan differentiation dari operator-operator lain di industri telekomunikasi selular ini. Hal ini dapat dicapai dengan menciptakan value proposition yang unik, dan menawarkannya pada target yang tepat, berdasar pada segmentasi yang akurat, sehingga dapat terbentuk positioning yang ideal. Tentu saja hal tersebut harus didukung dengan implementasi yang sesuai. PT Hutchison Charoen Pokphand Telecommunications Indonesia (HCPT) sebagai salah satu operator telekomunikasi selular pendatang baru di Indonesia menghadapi masalah persaingan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan penelitian yang komprehensif untuk dapat menemukan solusi yang dapat mengatasi masalah tersebut. 1.1. Sejarah Perusahaan PT Hutchison Charoen Pokphand Telecommunications Indonesia (HCPT) yang telah memiliki ijin usaha sejak tahun 2004 mulai beroperasi secara resmi sejak 30 Maret 2007 sebagai salah satu pemain baru di industri telekomunikasi selular Indonesia dengan mengusung brand “3” (baca: tri). Menurut Presiden Direktur HCPT Rajic Sawhney, “Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar tapi memiliki kendala berupa tarif selular yang mahal bila dibandingkan dengan empat negara di ASEAN.” (telkom.info, 2007). HCPT dengan brand 3 mengguncang industri telekomunikasi selular di Indonesia dengan melakukan terobosan promo marketing dalam debut nya di industri ini, yaitu dengan menetapkan pricing yang sama dengan Esia, salah satu operator telekomunikasi selular berbasis Fixed Wireless Access (FWA) di Indonesia, sebesar Rp 50 per menit. Sebelumnya, layanan operator telekomunikasi selular berbasis FWA dipersepsikan lebih murah
secara
signifikan
bila
dibandingkan
dengan
operator
lainnya.
(www.thejakartapost.com, 2007) 3
Dalam waktu relatif singkat, HCPT dengan brand 3 berhasil meningkatkan pangsa pasarnya hingga mencapai 1.89% dari total pangsa pasar industri telekomunikasi selular di Indonesia (telkom.info, 2008). 1.2. Visi dan Misi Perusahaan Adapun Visi dari HCPT adalah “Memberikan layanan komunikasi hari esok pada masyarakat ini” Misi dari HCPT adalah “Mengoperasikan layanan 2G dan 3G di Indonesia di bawah bendera 3” (www.three.co.id, 2008) 1.3. STRUKTUR KEPEMILIKAN PERUSAHAAN PT HCPT merupakan perusahaan kemitraan antara Hutchison Telecommunications International Ltd (HTIL) dengan saham sebesar 60% dan Charoen Pokphand (CP) dengan saham sebesar 40% (telkom.info, 2007).
Gambar 1.3. Struktur Kepemilikan Perusahaan Hutchison Whampoa Limited (HWL) adalah korporasi internasional yang berkomitmen pada inovasi dan teknologi, berpusat di Hong Kong. HWL beroperasi di 56 negara dengan 230,000 karyawan dan melaporkan turnover sekitar USD 40 milyar per Desember 2007 (www.hutchison-whampoa.com, 2008). 4
Hutchison Port Holdings (HPH) adalah anak perusahaan HWL yang bergerak di bidang usaha pelabuhan dan usaha terkait. HPH beroperasi di 47 pelabuhan yang tersebar di 24 negara. Hutchison Whampoa Properties Limited (HWP) adalah anak perusahaan HWL yang bergerak di bidang usaha properti dan hotel. HWP beroperasi di Hong Kong, China, Inggris dan Bahama. Hutchison Telecommunication International Limited (HTIL) adalah anak perusahaan HWL yang bergerak di industri telekomunikasi. HTIL beroperasi di 15 negara, yaitu Australia, Austria, Denmark, Hong Kong, Ghana, Indonesia, Inggris, Irlandia, Israel, Italy, Makau, Swedia, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam. A S Watson & Co (ASW) adalah anak perusahaan HWL yang bergerak di industri retail dan mengoperasikan lebih dari 7,900 toko retail di 33 negara. Cheung Kong Infrastructure (CKI) adalah anak perusahaan HWL yang bergerak di industri infrastruktur, dengan bidang usaha mencakup transportasi, energi, material infrastruktur, water plant dan usaha terkait. CKI beroperasi di Hong Kong, China, Australia, Inggris dan Kanada. Charoen Pokphand (CP) adalah konglomerasi bisnis terbesar di Thailand. CP memulai usahanya di bidang agrobisnis sejak tahun 1921. Saat ini bidang usaha CP telah mengembangkan usaha ke bidang retail dan telekomunikasi. Pada tahun 2005, CP membukukan profit sebesar 6,747 milyar Baht (wikipedia.org, 2008). Charoen Pokphand Foods Public Company Limited (CPF) adalah anak perusahaan utama dari CP yang bergerak di industri makanan. True Corporation Public Company Limited (True) adalah anak perusahaan CP yang bergerak di industri telekomunikasi selular, internet provider dan cable TV. Charoen Pokphand Meiji (CPM) adalah perusahaan kemitraan antara CP dan Meiji Dairies dari Jepang. CPM bergerak di industri dairies.
5
Charoen Pokphand 7-Eleven (CP7E) adalah perusahaan kemitraan antara CP dan 7Eleven dari Jepang yang bergerak di industri retail. 1.4. Lingkup Bidang Usaha HCPT dengan mengusung brand 3 beroperasi di Indonesia dalam ruang lingkup penyediaan jasa layanan telekomunikasi selular non FWA yang berbasis teknologi 2G dan 3G. 1.5. 3 (tri) Indonesia Unit of analysis dalam projek akhir ini akan meliputi brand 3 dari sisi Strategic Marketing secara komprehensif dan implementasinya di industri telekomunikasi selular di wilayah Bandung dan sekitarnya. Karakteristik dari brand 3 sendiri dapat dipahami dengan mengacu pada website perusahaan: “3 memang nama yang cukup unik untuk sebuah layanan telekomunikasi selular. Merek 3 sendiri diciptakan agar 3 dapat diaplikasikan ke berbagai negara dengan masyarakat yang berbeda. Merek ini harus dapat beradaptasi dengan budaya lokal namun tetap menjaga identitasnya. Karena itulah 3 disebut Three di Inggris, Australia dan Irlandia, Tre di Italia, Drei di Austria dan di Indonesia kami bangga disebut Tri. Jadi apa yang akan membedakan kami dengan yang lain? Jawabannya adalah pengalaman ketika Anda menikmatinya. 3 bukan hanya sekedar nomor, lebih dari sekedar layanan 3G/2G. 3 memberikan layanan-layanan yang menjawab semua yang Anda inginkan. 3 melintasi perbedaan bahasa, budaya dan teknologi, karena 3 membawa perubahan dalam hidup Anda. Dengan karakternya yang unik, 3 membebaskan Anda dari semua limitasi dan mewujudkan keinginan yang mungkin tidak pernah terlintas di pikiran Anda. Jutaan orang di seluruh dunia sudah membuktikannya.” (www.three.co.id, 2008) Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa 3 merupakan brand global yang diaplikasikan ke berbagai negara dan beradaptasi sesuai dengan kondisi di negara tersebut. 6
Di Indonesia, 3 telah menjangkau 75% Pulau Jawa (di mana perekonomian Indonesia berpusat) dan sebagian Pulau Sumatera serta Denpasar dan Nusa Tenggara Barat.
Gambar 1.4. Daerah Jangkauan 3 di Indonesia (www.three.co.id, 2008) 3 memberikan layanan telekomunikasi selular dalam bentuk prepaid dan postpaid, didukung oleh promosi Above The Line (ATL). 3 melakukan diferensiasi dengan pricing strategy, yaitu dengan memulai merombak persepsi perbedaan harga antara operator telekomunikasi selular FWA dan non FWA. Selain itu 3 juga menyediakan satuan minimal pembelian voucher untuk layanan prepaid-nya yang unik dengan kelipatan Rp 100. Sebagai tambahan, 3 juga menyediakan fasilitas Planet 3 yang memberikan berbagai akses mudah bagi konsumen, seperti musik, berita, dan games. 1.6. Isu Bisnis Dalam projek akhir ini, isu bisnis yang akan dibahas hanya meliputi tiga isu yang terkait dengan brand 3 yang meliputi Value Proposition, Market Condition dan Consumer. Ketiga isu tersebut berpengaruh pada isu utama yang sedang dihadapi oleh 3, yaitu mengenai petumbuhan jumlah pelanggan 3 dalam bentuk aktivasi pelanggan baru (activation growth) di wilayah Bandung dan sekitarnya yang tidak mencapai target.
7
Sebagai pendatang baru di industri telekomunikasi selular di Indonesia, 3 harus segera meningkatkan jumlah pelanggannya agar dapat mencapai economic of scale yang memungkinkan tercapainya profit. 1.6.1. Market Condition Product Life Cycle (PLC) dari industri telekomunikasi selular di Indonesia berada pada fase growth, di mana market size terus bertambah yang tentu saja menarik banyak pendatang baru untuk ikut ambil bagian. Akibatnya, kompetisi di industri telekomunikasi selular Indonesia saat ini semakin ketat, dan mulai bergerak ke arah price war, di mana para operator telekomunikasi selular berusaha merebut market share dengan bersaing secara head to head di sisi pricing. Price war, yang pada awalnya dipicu oleh Esia dari BTEL di kategori FWA dan oleh 3 di kategori non FWA ini, tentu saja akan berdampak pada pelaku usaha di industri ini. Price war akan memaksa perusahaan untuk mengurangi marginal revenue, dan bagi pendatang baru seperti 3 yang memiliki market share relatif lebih kecil ini, akan cenderung merugikan. Dengan kondisi market seperti ini, diperlukan diferensiasi agar 3 dapat meningkatkan appeal-nya di benak konsumen sehingga dapat memperoleh market share yang lebih besar. 1.6.2. Value Proposition Value proposition yang ditawarkan oleh 3 pada saat launching, yaitu layanan telekomunikasi selular non FWA dengan biaya yang relatif sama dengan layanan telekomunikasi selular FWA, pada saat ini telah kehilangan signifikasinya karena hampir seluruh operator di industri ini telah ikut menurunkan harga. Segmentation, Targeting dan Positioning (STP) yang dilakukan oleh 3 tidak terfokus. Seperti
yang diungkapkan oleh Prepaid Product Manager 3, Hermansjah Iman
Haryono, “HCPT did not target specific market segments. Our surveillence team found out that most of our customers are students. However, we hope that our products will also be favored by all segments (of the market).” (www.thejakartapost.com, 2007) 8
Sebagai akibatnya, marketing mix yang diimplementasikan oleh 3 juga tidak terfokus, dan cenderung membingungkan pelanggan. 1.6.3. Consumer Awareness dari brand 3 sendiri masih belum cukup tinggi. Brand 3 yang telah cukup dikenal di industri telekomunikasi global ternyata kurang mendapat awareness di Indonesia. Dari 10 orang di Indonesia yang ditanya secara acak, tidak satu pun yang mengasosiasikan 3 sebagai salah satu brand layanan telekomunikasi selular. Konsumen 3 masih belum merasakan brand experience yang bisa mengarahkan konsumen tersebut menjadi evangelist yang akan menjadi viral bagi promosi word of mouth bagi brand 3. Consumer behavior dari konsumen di Indonesia tentu saja memiliki perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan consumer behavior dari negara-negara lain. Brand 3 yang bersifat global akan mengalami hambatan bila tidak melakukan penyesuaian.
9
10