1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pterigium merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan pertumbuhan jaringan fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan dari konjungtiva yang menginvasi bagian superfisial dari kornea (American Academy of Ophthalmology staff, 2011-2012). Pterigium terletak di bagian fisura interpalpebra, lebih sering terdapat di bagian nasal dibandingkan di bagian temporal. Pterigium sering terjadi pada usia 20-30 tahun, lebih banyak pada pria, meningkat sesuai umur, namun mengalami penurunan pada pasien berusia lebih dari 60 tahun (Srinivasan dan Slomovic, 2007). Penelitian yang dilakukan di Barbados, (2008) menemukan angka insiden pterigium adalah 12% atau rata-ratanya 1,3% per tahun. Prevalensi pterigium di Melbourne 2,8% dan di Sydney 7,3%. Frekuensi ini lebih tinggi dibandingkan yang ditemukan di Solomon, yaitu hanya 0,3%. Prevalensi di Asia sendiri dilaporkan lebih tinggi. Di Cina pada populasi orang Mongolia kelompok usia tua, diperoleh angka prevalensi yaitu 17,9%, di Myanmar angka prevalensi pada usia di atas 40 tahun sebanyak 19,6%, dan di Singapura sebanyak 7%. Gazzard dkk., (2002) memperoleh angka prevalensi pterigium di Indonesia adalah 10,0%. Gazzard dkk., (2002) menyebutkan angka prevalensi pterigium di Indonesia sebesar 10%. Erry dkk., (2011), dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, menyebutkan prevalensi pterigium di
1
2
Indonesia yang mengenai ke dua mata 3,2% sedangkan prevalensi pterigium satu mata 1,7%. Prevalensi pterigium di Indonesia tertinggi dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah di DKI Jakarta (0,4%).
Angka
prevalensi pterigium di Bali pada ke dua mata 4,4% sedangkan pterigium pada 1 mata di Bali 2,2%. Pterigium digambarkan sebagai suatu degenerasi elastotik, ditandai dengan jaringan subepitelial yang abnormal, terdiri dari serat kolagen, dan murni merupakan suatu proses yang disebabkan oleh paparan sinar matahari. (Holland dan Mannis, 2002; Detorakis dan Spandidos, 2000). Pada gambaran histopatologi pterigium diketahui pula terjadi suatu proses proliferasi aktif. Pada mikroskop elektron terlihat transformasi fibroblas yang menginvasi permukaan kornea sehingga menyebabkan kerusakan Membran Bowman (Holland dan Mannis, 2002).
Menurut penelitian Livizeanu dkk., (2011) jaringan ikat pterigium
mengandung banyak vaskularisasi daripada epitel konjungtiva normal, terutama pembuluh darah dengan kaliber kecil yang berkelok – kelok dan bercabang. Morfologi pembuluh darah tersebut menandakan adanya proses angiogenesis aktif pada jaringan ikat subepitelial pterigium (Livezeanu dkk., 2011). Etiologi pasti pterigium belum diketahui. Beberapa teori diajukan, namun belum ada satupun yang dapat menjelaskan stimulus spesifik yang menyebabkan pembentukan dan pertumbuhan pterigium (Bradley dkk., 2009). Berbagai penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa paparan dengan ultraviolet (UV) merupakan faktor risiko yang paling bermakna dalam perkembangan pterigium, sehingga mereka yang tinggal semakin dekat dengan daerah ekuator paling rentan
3
mengalami pterigium (Gazzard dkk., 2002). Sejak diketahui bahwa terdapat peningkatan ekspresi p53 pada jaringan pterigium, beberapa peneliti berasumsi bahwa pterigium merupakan tumor yang berhubungan dengan UV (Tsai dkk., 2005). Dushku dan Reid, (1997) menemukan ekspresi p53 tanpa apoptosis pada epitel limbal pterigium, tumor limbal, dan pinguekula. Mutasi p53 menyebabkan produksi berlebihan Tumour Growth Factor-b (TGF-b) melalui jalur p53-RbTGF-b. Sekresi berlebih dari TGF-b menyebabkan peningkatan ekspresi Matrix Metalloproteinase (MMPs) oleh sel pterigium. MMPs merupakan enzim proteolitik yang dapat mendegradasi komponen matriks ekstraseluler. Dushku dkk., (2001) menemukan terdapat peningkatan ekspresi MMPs pada sel pterigium. MMPs terdapat pada epitel pterigium, terutama pada lapisan basal, fibroblas, serat kolagen serta sel endotel vaskuler dan menyebabkan perubahan materi ekstraseluler dan proses degradasi pada pterigium. MMPs terlibat dalam proses angiogenesis dan proliferasi dengan mengeluarkan growth factors matriks ekstraseluler (Dushku dkk., 2001). Gejala pterigium dapat asimtomatis hingga mengganggu penglihatan, (Srinavasan dan Slomovic, 2007). Youngson, (1972) mengklasifikasikan pterigium primer menjadi 4 derajat berdasarkan perluasannya ke kornea. Derajat 1 bila pertumbuhan pterigium hanya terbatas pada limbus kornea, derajat 2 bila pertumbuhan pterigium sudah melewati limbus kornea tapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea, derajat 3 bila pertumbuhan pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi tepi pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter
4
pupil sekitar 3-4 mm) dan derajat 4 bila pertumbuhan pterigium sudah melewati tepi pupil. Tan, (2002), membagi pterigium menjadi 3 tipe berdasarkan terlihat atau tidaknya pembuluh darah episklera, T1 (tipe atrofi) bila pembuluh darah episklera terlihat jelas, T2 (tipe intermediate) bila pembuluh darah episklera terlihat sebagian, dan T3 (tipe fleshy) bila pembuluh darah episklera tidak terlihat seluruhnya. Pembagian tipe menurut Tan ini digunakan untuk menilai derajat keparahan pterigium (Tan, 2002). Apabila menimbulkan keluhan, dan terutama mengganggu penglihatan, pterigium sebaiknya dilakukan eksisi. Penelitian yang dilakukan oleh Rua dkk., (2012) menemukan bahwa penggunaan doxycycline oral dapat mengurangi ukuran pterigium pada pasien kulit putih dan dapat digunakan sebagai terapi gejala pterigium atau untuk menunda eksisi pterigium. Penelitian oleh Cox dkk., (2011) menemukan berkurangnya pembuluh darah baru dan ukuran pterigium pada tikus yang diberikan doxycycline pada air minumnya dibandingkan yang tidak diberikan doxycycline. Doxycycline adalah antibiotik spektrum luas yang sering digunakan untuk terapi penyakit mata, aman serta harga yang terjangkau.
Doxycycline juga
mempunyai efek supresi terhadap aktivitas katalitik oleh berbagai MMPs termasuk gelatinase dan kolagenase, di luar dari efek antimikrobanya (Smith dkk, 1998).
Inhibisi MMPs oleh doxycycline membuktikan bahwa menghentikan
proses katalitik oleh enzim MMPs bermanfaat untuk menghentikan proses biologis sel pterigium. Doxycycline terutama menginhibisi gelatinase yang berperan penting dalam proses pertumbuhan tumor dan angiogenesis, sehingga
5
dengan pemberian doxycyline dapat menginhibisi migrasi sel pterigium dan sel endotel mikrovaskuler (Cox dkk, 2011). Doxycycline merupakan antibiotik spektrum luas dari golongan Tetracycline yang mempunyai efek supresi sebagai chelating agent di luar efek bakteriostatiknya (Smith dkk., 1998). Doxycycline diabsorbsi perlahan secara oral, dan diabsorbsi secara lengkap di duodenum. Konsentrasi tertingginya adalah pada hepar dan traktus digestivus yang merupakan organ ekskresi. Lebih dari 90% doxycycline dieliminasi dari tubuh 72 jam setelah konsumsi. Penggunaan doxycycline dalam jangka waktu lama banyak digunakan pada berbagai penyakit dan saat ini digunakan dalam berbagai penelitian terbaru dengan efek samping yang minimal (Rua dkk., 2012). Holmes dkk, melaporkan efek samping tersering adalah fotosensitivitas, mual dan muntah serta reaksi alergi. Doxycycline juga merupakan obat yang aman karena resiko hepatotoksisitasnya paling rendah dibandingkan obat lain dari golongan tetracycline (Leggat, 2009). Kasus pterigium cukup banyak di Indonesia karena merupakan salah satu negara tropis dengan paparan sinar ultraviolet yang tinggi. Doxycycline dapat dipilih
sebagai
terapi
namun
masih
belum
ada
penelitian
mengenai
penggunaannya di Indonesia. Dari latar belakang tersebut di atas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut ;
6
Apakah pemberian doxycycline 200 mg dapat menghambat pertumbuhan pterigium lebih besar dibandingkan plasebo?
1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum Untuk membuktikan adanya hambatan pertumbuhan pterigium setelah diberikan doxycyline. 1.3.2 Tujuan khusus Untuk membuktikan pemberian doxycyline 200 mg dapat menghambat pertumbuhan pterigium lebih besar dibandingkan plasebo.
1.4 Manfaat Penelitian Dengan mengetahui adanya hambatan pertumbuhan pterigium setelah pemberian doxycycline 200 mg, maka penelitian ini bermanfaat dalam hal : 1.4.1 Manfaat teoritis: 1. Dapat diketahui hubungan antara dosis pemberian doxycycline terhadap hambatan pertumbuhan pterigium. 2. Dapat memberikan solusi penanganan yang optimal pada penderita pterigium. 1.4.2 Manfaat Praktis: 1. Memberikan informasi mengenai pilihan obat yang dapat membantu menangani pasien pterigium sehingga dapat mencegah perkembangan menjadi stadium lanjut
7
2. Memberikan informasi pilihan dosis doxycyline yang dapat diberikan untuk penderita pterigium, sehingga dapat menjadi prosedur standar 3. Alternatif terhadap penanganan penderita pterigium yang tidak memilih tindakan operasi.
8