BAB I PENDAHULUAN I.1
Latar Belakang Feminitas secara umum memiliki definisi sebagai hal yang memiliki sifat
feminin yaitu ciri-ciri yang diidentikkan dengan sifat keperempuanan. Feminitas merujuk pada kualitas kewanitaan menurut konstruksi sosial walaupun perbedaan fisik yang membedakan perempuan dengan laki-laki menjadi satu alasan di sisi lain. Menurut KBBI Edisi Keempat (2008:390), feminitas merupakan sesuatu yang menyangkut perihal perempuan; kefemininan. Feminitas berasal dari kata bahasa Inggris yaitu femininity yang memiliki signifikasi sebagai kualitas menjadi perempuan atau dengan kata lain kualitas keperempuanan. Pada umumnya, sosok perempuan diidentikkan dengan sifat-sifat feminin seperti keibuan, keanggunan, kelembutan, kecantikan, dan lain-lain. Atribut feminin tersebut merupakan anggapan yang berkembang dalam masyarakat tentang figur perempuan ideal. Dengan kata lain, feminitas dibentuk oleh konstruksi sosial mengenai sifat keperempuanan. Sementara itu, definisi femininitas menurut feminis gelombang kedua adalah femininitas dan maskulinitas terbentuk dari reproduksi konsep gender yang tampak dalam masyarakat. Feminisme gelombang kedua menentang apa yang mereka anggap sebagai standar kecantikan pada perempuan. Hal tersebut menghasilkan subordinasi pada perempuan, sehingga perempuan diobjektifikasi
1
serta berkompetisi mengenai estetika feminin yaitu apa yang dianggap cantik dalam masyarakat. “Femininitas adalah satu rangkaian karakteristik yang didefinisi secara kultural, feminisme adalah posisi politik sementara femaleness (yang paling tepat diterjemahkan sebagai “kebetinaan”) adalah hal biologis. Jenis kelamin dan dengan demikian juga “kebetinaan” adalah realitas biologis, dengan demikian segala fakta biologis; mendapat menstruasi, kemampuan untuk melahirkan, menyusui, dapat dianggap sebagai “takdir”- yang kurang lebih tidak dapat diubah. Sementara, femininitas dan gender adalah konstruksi sosial budaya yang diatribusikan kepada perempuan, dan karena konstruksi sosial diciptakan manusia maka femininitas dan gender tidaklah ajeg dan demikian dapat berubah” (Moi via Prabasmoro, 2006:22).
Menurut Kristeva (1941:203), konsep ‘femininitas’ merupakan metafora bacaan dan bagian dari topografi tulisan, dan kedua hal tersebut ditampilkan sebagai alternatif dari metafora atau simbol paternal. Sama halnya dengan femininitas, bahasa juga merupakan sebuah konstruksi sosial. Pilihan kata yang sering dipakai untuk laki-laki dan perempuan berbeda. Misalnya, perempuan diasosiasikan dengan kata sifat manis, menarik, yang jarang disebutkan pada lakilaki. Peran tersebut merupakan konstruksi sosial dan budaya yang merepresentasi kondisi dan situasi masyarakat pengguna bahasa tersebut (Udasmoro, 2009:20). Femininitas dan maskulinitas adalah istilah yang terus-menerus berubah. Menurut Ballaster, Beetham, Frazer, dan Hebron dalam esai A Critical Analysis of Women’s Magazines (via Prabasmoro, 2006:356) bahwa perempuan tidak dapat didefinisi semata-mata dalam ukuran yang negatif; femininitas harus diberikan suatu konteks tertentu. Femininitas yang diungkapkan bersama oleh pelbagai majalah juga berbeda-beda, dari waktu historis satu ke waktu yang lain. Yang terjadi kemudian, selain pergeseran identifikasi, menunjukkan adanya instabilitas
2
dan ketidakberlangsungan atas versi ke-Dirian perempuan yang ditawarkan dalam pelbagai waktu historis suatu majalah (Prabasmoro, 2006:356—357). Karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari direpresentasikan ke dalam wujud tulisan dalam karya sastra. Dalam karya sastra Prancis pada abad ke-19, perempuan digambarkan sebagai sosok yang didominasi laki-laki. Figur perempuan kerap digambarkan sebagai yang kedua. Contoh karya sastra yang berbentuk prosa pada novel realis Madame Bovary (1856) karya Gustave Flaubert (1821-1880), tokoh Emma Bovary digambarkan sebagai perempuan yang terampil mengurus urusan domestik untuk membantu pekerjaan Charles. Sisi feminin Emma Bovary digambarkan melalui penampilan fisik dan karakter feminin; mengenakan gaun, menata rambut, dan berdandan (Flaubert, 2010:70—83). Begitu pula dalam karya sastra yang bergenre puisi, aspek feminin digambarkan secara implisit dengan menggunakan metafora serta kata-kata kiasan. Penggambaran femininitas pada puisi karya Chairil Anwar misalnya pada puisinya yang berjudul “Sajak Putih”. Pada bait pertama di larik ketiga, “Di hitam matamu kembang mawar dan melati” dan keempat “Harum rambutmu mengalun bergelut senda”. Mawar yang biasanya berwarna merah mengiaskan cinta dan melati yang berwarna putih mengiaskan kesucian. Rambut si gadis yang berbau harum terurai saat ia tertawa dan bersenda gurau. Dapat disimpulkan bahwa dalam mata si gadis tampak cinta yang tulus, suasana yang pada waktu itu menyenangkan, dan penuh keindahan. Aspek femininitas pada “Sajak Putih” digambarkan dengan metafora bagian tubuh wanita yaitu mata dan rambut (Pradopo, 2005:189). 3
Pada kesusastraan Prancis, aspek femininitas pada puisi juga banyak ditulis oleh sastrawan Prancis seperti Stephane Mallarmé (1842-1898), Arthur Rimbaud (1854-1891), Paul Verlaine (1844-1896), Louis Aragon (1897-1982) hingga Charles Baudelaire (1821-1867). Misalnya pada puisi karya Louis Aragon yang berjudul “Les Yeux d’Elsa” yang ditulis pada tahun 1942, “Elsa” yang ditulis pada tahun 1959, dan “Le Fou d’Elsa” yang ditulis pada tahun 1963. Puisi-puisi tersebut merupakan puisi yang diinspirasi sosok Elsa Triolet, yang menjadi pasangan Louis Aragon. Begitu pula pada karya Charles Baudelaire dalam kumpulan puisi yang berjudul Les Fleurs du mal yang ditulis pada tahun 1857, pada beberapa puisinya perempuan digambarkan sebagai sosok yang eksotis, bahkan erotis. Erotisme merupakan tema di sebagian tulisan Apollinaire sebagai perwujudan hasrat atau pleasure maskulin (Le frisson esthéthique No 2, 2006:77). Guillaume Apollinaire (1880-1918) merupakan salah satu penyair di abad ke-20 yang berpengaruh pada masanya. Apollinaire disebut sebagai penulis avantgarde karena berhasil menjadi pelopor surealis dan puisi kaligram. Pada awalnya, istilah surealisme dicetuskan pada 1917 menggantikan istilah supernaturalisme yang ia gunakan sebelumnya. Berkat Pablo Picasso, ia terinspirasi untuk menulis “des poèmes-peinture” atau “puisi lukisan”. Ia berhasil memvisualisasikan makna dalam bentuk konkret yaitu puisi kaligram. Istilah Calligrammes yang dicetuskan pada tahun 1918 berhasil menciptakan gaya baru dalam kesusastraan, khususnya sastra Prancis (Sumber,:98). Kata Calligrammes berasal dari penggabungan “calligraphie” dan “ideogramme”, dalam bahasa Yunani kallos berarti indah dan gramma yang berarti 4
huruf. Sebagaimana definisi Calligrammes yang disebutkan oleh Michèle Aquien dalam Dictionnaire de Poétique sebagai berikut: “Apollinaire a donné le nom de Calligrammes (qu’il a forgé en agglutinant ‹‹calligraphie›› et ‹‹idéogramme››; du grec kallos, ‹‹beau›› et gramma ‹‹lettre››) à un recueil de 1918 dans lequel certains poèmes dessinent, par la manière dont sont agencés lettres et mots, le sujet du poème (il a pensé d’abord les appeler ‹‹idéogrammes lyriques››). Il s’agissait pour lui de représenter le poème selon une saisie visuelle instanée, en échappant à la linéarité et en rendant la lisibilité moins immédiate...“1(Aquien, 1993:72—73). “Apollinaire mencetuskan istilah Calligrammes (yang berasal dari gabungan kata “calligraphie” dan “idéogramme”; berasal dari bahasa Yunani kallos, “indah” dan gramma “huruf”) yang terdapat pada satu kumpulan puisi pada tahun 1918 dalam beberapa puisi digambarkan dengan cara menggabungkan huruf-huruf dan kata-kata, subjek puisi (sebelumnya disebut sebagai “idéogrammes lyriques”). Puisi baginya berarti merepresentasi puisi menurut artian visual seketika, terlepas dari linearitas dan dapat langsung terlihat...“ (Aquien, 1993:72—73).
Bahasa yang paling sederhana dari tulisan ialah gambar. Melalui karya sastra, Apollinaire berhasil memvisualisasikan bahasa dalam wujud gambar dengan kata-kata melalui puisi grafis. Puisi-puisinya tersebut sering dikaitkan dengan gaya kubisme pada lukisan Picasso. Apollinaire menulis sejumlah antologi puisi, diantaranya adalah Alcools (1900-1913), Calligrammes (1913-1916), dan Poèmes à Lou (1914-1916). Wilhelm Albert Włodzimiers Apolinary Kostrowicki atau yang lebih dikenal dengan nama Guillaume Apollinaire, lahir di Roma, Italia dari ibu berkebangsaan Polandia (Angelica de Kostrowitzky) pada 25 Agustus 1880. Pada
1
Aquien, Michèle. 1993. Dictionnaire de Poétique. Paris. Librairie Générale Française. page 7273.
5
tahun 1899 ketika berumur 19 tahun, Apollinaire tiba di Paris. Ia memakai nama samaran atau pseudonim Guillaume Apollinaire. Dalam silsilah keluarganya, Apollinaire merupakan nama depan kelima yang diwariskan dari kakeknya (Apollinaris Kostrowicki); lalu karena “Apollinaire” berasal dari nama “Apollon” yaitu dewa cahaya dan puisi dalam mitologi Yunani. Pada 3 Agustus 1914, Jerman menyatakan perang kepada Prancis. Apollinaire yang bukan orang Prancis mendaftarkan diri untuk menjadi tentara namun ditolak oleh tentara Prancis. Apollinaire meninggalkan Paris dan pindah ke Nice. Di kota Prancis Selatan itu, ia menjalin hubungan percintaan dengan Louise de Coligny-Châtillon yang ia sapa dengan sebutan mesra Lou. Apollinaire menulis pernyataan cintanya kepada Louise melalui sajak-sajak “idéogrammes”, yaitu istilah yang ia berikan untuk karya kreasi barunya: yang berarti teks atau puisi yang kata-katanya membentuk suatu gambar atau sebuah karya grafis. Fakta historis menurut artikel yang dimuat pada majalah sastra Prancis, Virgule yang berjudul “Portrait d’un poète: Guillaume APOLLINAIRE” edisi No 127 yang terbit pada Maret 2015 menyatakan bahwa pada November 1914, Apollinaire akhirnya bergabung menjadi tentara Prancis dan pergi ke medan perang. Ia ditugaskan di resimen artileri yang berada di Nîmes. Apollinaire menulis surat-surat dan sajaksajak untuk Lou di waktu luangnya di medan perang. “Poèmes à Lou” (Sajak-sajak untuk Lou) diterbitkan pada tahun 1969 setelah Apollinaire meninggal. Walaupun demikian, Lou sebagai sosok yang pasif, tidak membalas tulisan Apollinaire yang ditujukan kepada Lou, hanya menerimanya tanpa balasan (Virgule, 2015:28). “ Lou ne décourage pas Apollinaire, mais ne lui cède pas non plus : elle le fait languir, se laisse courtiser, accepte les hommages, sans rien
6
donner, pour l’instrant, en retour. ...Le lendemain soir, il voit, devant sa caserne, Lou qui l’attend: elle l’emmène à l’hôtel où elle est descendue, et ils deviennent amants. C’est une passion aussi folle et ardente que brève: Lou repart quelque jours plus tard, et Apollinaire ne la reverra que trois fois, brièvement. La dernière fois en mars 1915: ils mettent fin à leur liaison, mais s’engagent à rester amis, et à s’écrire souvent” (Virgule, 2015:28). “Lou tidak mendukung Apollinare, tidak pula menurutinya: ia membiarkan, menerima karya-karyanya, tanpa balasan. ...Keesokan malamnya, Apollinaire melihat Lou menunggunya di depan asrama tentara: ia mengajak ke hotel dimana mereka saling jatuh cinta. Gairah yang menggebu-gebu yang singkat: Lou pergi beberapa hari setelahnya, dan Apollinaire tidak kembali mengunjunginya sampai tiga kali. Terakhir kali di bulan Maret 1915: mereka mengakhiri hubungan cinta mereka, tetapi tetap berteman, dan sering saling surat-menyurat” (Virgule, 2015:28). Lou tidak memberi respon terhadap karya-karya Apollinaire yang menggunakan dirinya sebagai objek. Lou menerimanya tanpa memberi balasan apapun, dengan kata lain Lou menerima dirinya dijadikan objek seni karena ia pasif/tidak aktif mengomentari atau membalas karya Apollinaire terhadap dirinya. Dengan kata lain, Lou menganggap karya-karya Apollinaire yang ditujukan untuk dirinya merupakan hommage atau ‘ungkapan kekaguman’. Perang dan perasaan cintanya kepada Lou memberinya inspirasi untuk menulis Calligrammes. Beberapa sajak diantaranya betul-betul merupakan gambar kaligram yang disposisi tipografisnya sekaligus juga menunjukkan tema dan pokok bahasan sajak tersebut, dengan kata lain bentuk kaligram tertulis secara eksplisit dalam lirik puisi. Karya-karya Guillaume Apollinaire yang paling terkenal adalah konkretisasi puisi ke dalam grafis yang disebut sebagai calligramme. Calligramme merupakan puisi yang perwujudan grafisnya membentuk sebuah desain sesuai dengan citra atau makna yang dituju dalam puisi tersebut. Penelitian ini menganalisis beberapa puisi dalam bentuk calligramme karya Apollinaire yang
7
terdapat dalam antologi Poèmes à Lou. Puisi-puisi karya Apollinaire yang berbentuk calligramme atau puisi grafis memudahkan pembaca untuk menginterpretasikan makna puisi yang digambarkan secara visual melalui bentukbentuk tertentu. Dalam antologi Poèmes à Lou terdapat 74 puisi, diantaranya lima puisi yang berbentuk idéogrammes lyriques atau yang selanjutnya disebut dengan istilah calligrammes. Kumpulan puisi yang berjudul Poèmes à Lou terbit pada tahun 1955. Kumpulan puisi tersebut sebelumnya berjudul Ombre de Mon Amour yang diterbitkan pada 1947. Tema utama dalam antologi puisi Poèmes à Lou adalah cinta dan kekaguman seorang laki-laki kepada perempuan. Puisi-puisi tersebut ditulis pada waktu dan tempat yang berbeda. Menurut kronologis penulisan puisi-puisi pada antologi Poèmes à Lou, puisi pertama ditulis pada 8 Oktober 1914 dan puisi terakhir ditulis pada 22 September 1915 (bertepatan dengan Perang Dunia I) di beberapa tempat yang berbeda, yakni di Nice, Nîmes, Tarascon, Mourmelon-le Grand, Courmelois dan Secteur des Hurlus. Tema utama pada antologi Poèmes à Lou adalah cinta dan erotisme yang menggambarkan feminitas dalam bentuk-bentuk tertentu yang terinspirasi oleh Lou. Puisi-puisi Guillaume Apollinaire tentang femininitas dalam puisi grafis yang akan diteliti memiliki bentuk-bentuk seperti buah figue, bunga œillet, pipa opium, pohon kelapa, botol kecil (flacon), ikon croix, potret Lou, dan panah digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan aspek feminin pada perempuan. Bentuk-bentuk
yang
digambarkan
melalui
puisi
grafis
tersebut
mencerminkan femininitas perempuan sebagaimana sifat objek yang digambarkan.
8
Bentuk kaligramatik pada puisi menunjukkan femininitas perempuan sebagai objek estetis, diantaranya pada puisi Le Portrait de Lou. Bentuk kaligram pada puisi tersebut menggambarkan postur torso perempuan sebagai perwujudan aspek estetik yang dianggap feminin. Pada salah satu bentuk kaligram yang berbentuk buah fig pada puisi grafis yang berjudul “La mielleuse figue-C’est dans cette fleur-Et puis voici l’engin” menunjukkan bahwa buah fig sebagai representasi objek estetis yang diwujudkan dalam bentuk kaligram. Buah fig yang telah matang sebagai metafora perempuan yang telah dewasa dengan kata lain perempuan yang berusia matang. Buah fig diasosiasikan dengan bibir dan mulut. Dalam hal ini, buah fig menjadi simbol sensualitas perempuan sebagai objek estetis. Sosok perempuan digambarkan dalam bentuk kaligram yang merepresentasikan femininitas sosok Lou. Bentuk kaligram pada puisi merupakan perwujudan objek imajiner menurut perspektif maskulin untuk mendeskripsikan hasrat maskulin terhadap perempuan dengan penggambaran estetis. Pada penelitian ini, lima puisi kaligram pada antologi Poèmes à Lou akan dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan teori semiotika oleh Michael Riffaterre.
I.2
Rumusan Masalah Puisi grafis atau yang disebut sebagai calligrammes atau idéogrammes
lyriques merupakan puisi yang berwujud grafis yang membentuk sebuah ikon yang merujuk pada makna yang dituju dalam puisi. Apollinaire menggambarkan aspek
9
feminin atau femininitas sosok Lou sebagai objek estetis melalui bentuk grafis dalam kaligram berupa buah figue, bunga œillet, pipa opium, pohon kelapa, botol minuman beralkohol, ikon croix, potret Lou, dan panah. Dari latar belakang yang telah disebutkan di awal, maka dapat dirumuskan pertanyaan sebagai berikut: 1.
Bagaimana femininitas Lou digambarkan dalam puisi grafis karya Apollinaire sebagai objek estetis?
2.
Bagaimana perbedaan penggambaran pada bentuk kaligram dengan tulisan dalam puisi grafis karya Apollinaire ?
3.
Dalam konteks apa Apollinaire menggambarkan femininitas sebagai objek estetis dalam puisi grafis melalui bentuk kaligram ?
I.3
Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk mencari keterhubungan makna antara tulisan dan bentuk kaligram dalam puisi grafis karya Apollinaire dalam antologi Poèmes à Lou (Sajak-sajak untuk Lou) serta unsur-unsur pada bentuk kaligram yang menunjukkan femininitas yang menunjukkan sosok Lou sebagai objek estetis. Puisi kaligram dianalisis dengan metode semiotika Michael Riffaterre dan menurut perspektif feminis untuk mengungkapkan aspek femininitas menurut Apollinaire sebagai simbolik maskulin.
10
I.4
Tinjauan Pustaka Guillaume Apollinaire adalah salah satu sastrawan ternama Prancis, oleh
karena itu penelitian mengenai Apollinaire telah banyak dilakukan. Penelusuran mengenai penelitian yang membahas sajak-sajak Apollinaire dan penelitian tentang femininitas dilakukan penulis dalam ruang lingkup Fakultas Ilmu Budaya UGM. Terdapat dua penelitian yang menggunakan karya sajak-sajak Apollinaire sebagai objek material dalam ruang lingkup jurusan sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya UGM, yaitu skripsi yang berjudul “Simbol-simbol Mimesis Dalam Puisipuisi Apollinaire dan Sitor Situmorang” ditulis oleh Novita Dyah P.M (2003, Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada). Skripsi yang ditulis oleh Novita Dyah (2003) merupakan penelitian mengenai kajian komparatif terhadap karya Sitor Situmorang (penyair Indonesia) dan Apollinaire (penyair Prancis). Dalam skripsi tersebut, Novita Dyah (2003) menyimpulkan bahwa kesejajaran hubungan antara sajak Apollinaire dan Sitor Situmorang terdapat pada kesamaan simbol mimesis. Perbedaannya, simbol mimesis Apollinaire terkesan negatif (bernuansa muram) sedangkan Sitor mengartikan simbol mimesis menjadi positif (cerah dan menyenangkan). Perbedaan antara skripsi Novi Dyah (2003) dan penelitian penulis terletak pada objek material dan teori yang digunakan pada penelitian. Penulis menggunakan kaligram pada antologi Poèmes à Lou dan teori semiotika Riffaterre sedangkan Novita Dyah menggunakan teks dari antologi Alcools karya Apollinaire yang dianalisis dengan teori mimetik Plato dan Aristoteles, teori imajinasi material
11
Gaston Bachelard dan teori perbandingan teks Pichois-Rousseau sebagai metode analisis. Selanjutnya pada skripsi “Makna Bentuk Kaligramatik Sajak-sajak Dalam Antologi Calligrammes Karya Guillaume Apollinaire: Sebuah Kajian Semiotika Riffaterrian” oleh Debry Agung N (2013, Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada). Dalam skripsi tersebut Debry Agung (2013) membahas tentang makna bentuk kaligramatik sajak-sajak dalam antologi Calligrammes karya Apollinaire yang dikaji dengan semiotika Riffaterian. Sejumlah puisi yang berbentuk calligramme pada antologi Calligrammes dianalisis dengan teori semiotika Riffaterre untuk diketahui makna kaligramatiknya. Lima buah puisi kaligramatik dipilih sebagai objek penelitian yang masing-masing dikaji dengan pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik, penelusuran matriks, model, dan varian, dan penelusuran hipogram. Agung (2013:123) menyimpulkan bahwa kerumitan transmisi makna kaligramatik dapat teruraikan dengan pendekatan semiotika oleh Michael Riffaterre. Persamaan antara penelitian penulis dengan penelitian Agung (2013) terletak pada objek material yang dianalisis sama-sama berupa puisi yang berbentuk kaligram karya Apollinaire dan metode analisis yaitu teori semiotika Riffaterre. Penulis menggunakan objek material dari antologi Poèmes à Lou sedangkan penelitian Agung menggunakan sajak-sajak dari kumpulan Calligrammes. Pada skripsi Agung tidak disinggung mengenai aspek femininitas yang digambarkan pada puisi berbentuk kaligram, objek material pada skripsi tersebut hanya dianalisis untuk memahami makna kaligramatiknya saja. 12
Penelitian tentang keperempuanan terdapat pada tesis Nova Setyaningrum (2009) yang berjudul “Perempuan dan Keperempuanan: Analisis Posfeminisme Terhadap Celebrity Shopper dan Confessions of A Shopaholic”. Penelitian tersebut bertujuan untuk memberikan penggambaran perempuan dan sifat keperempuanan yang terkonstruksi. Tesis ini membahas tentang nilai-nilai keperempuanan atau feminitas perempuan yang digambarkan dalam novel Chick lit yang dianalisis dengan teori posfeminis oleh Hélène Cixous. Nova mengemukakan beberapa kutipan pada novel yang menunjukkan aspek-aspek keperempuanan pada tokoh perempuan. Penelitian tentang femininitas terdapat pada tesis Eka Susanti (2014) yang berjudul “Femininitas, Maskulinitas, dan Peran Gender dalam Tiga Venus Karya Clara Ng”. Penelitian ini membahas nilai-nilai femininitas dan maskulinitas pada tiga tokoh perempuan (Emily, Lies, dan Juli) dalam novel Tiga Venus. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah teori politik seksual oleh Kate Millet dalam bukunya yang berjudul Sexual Politics. Eka menyimpulkan bahwa pembentukan femininitas dan maskulinitas berkaitan erat dengan dikotomi ranah domestik dan ranah publik. Pada tesis ini Eka juga membahas tentang femininitas, maskulinitas dan peran gender dari sudut pandang Clara Ng sebagai pengarang novel yang diteliti. Pada bagian kesimpulan penelitian ini, Eka menyatakan bahwa Clara Ng mengkritisi konstruksi masyarakat tentang femininitas, maskulinitas dan peran gender yang seolah-olah dianggap sebagai kodrat yang tidak dapat diubah. Novel Tiga Venus merupakan suatu bentuk pembuktian Clara Ng bahwa perempuan mampu mandiri dengan menulis.
13
Berdasarkan pemaparan mengenai tinjauan kepustakaan terdahulu, yang membedakan penelitian yang berjudul “Perempuan Sebagai Objek Estetis dalam Puisi Kaligram Karya Apollinaire dalam Antologi Poèmes à Lou” dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah topik bahasan pada penelitian ini membahas tentang femininitas dalam puisi kaligram yang ditulis oleh laki-laki. Topik tentang gender telah banyak dibahas di sejumlah penelitian sastra, namun yang membedakan penelitian ini adalah objek material yang digunakan yaitu berupa puisi kontemporer yang memiliki bentuk kaligram. Penelitian ini layak dilakukan untuk memperkaya khasanah penelitian ilmu humaniora yang membahas topik tentang femininitas pada puisi, baik puisi konvensional yang berbentuk linear maupun puisi grafis yang memiliki bentuk kaligram sebagai objek material dalam ruang lingkup Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
I.5
Landasan Teori Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda, berasal dari kata bahasa Yunani
“semeiôn” yang berarti tanda. Ferdinand de Saussure menyebut ilmu itu dengan nama semiologi. Semiologi menurut F. de Saussure adalah sebagai ilmu yang mempelajari tanda-tanda di dalam masyarakat, “la science qui étudie la vie dessignées au sein de la vie sociale”. Istilah semiotik dicetuskan oleh Charles Sander Peirce, seorang ahli filsafat Amerika. Kata semiologi dan semiotik kini berada dalam disiplin ilmu yang sama. Bentuk pertama (semiologi) digunakan di Eropa sedangkan kata semiotik dipakai pada masyarakat Anglo-Saxo/Amerika (Guiraud, 1973:5).
14
Pada penelitian ini digunakan teori semiotika oleh Michael Riffaterre untuk menganalisis puisi-puisi kaligram. Teori semiotika digunakan sebagai pendekatan pada analisis penelitian ini karena teori semiotika ini memiliki metode yang efektif untuk mencapai tujuan penelitian. Metode semiotika diterapkan pada puisi-puisi kontemporer yang memiliki bentuk grafis seperti puisi kaligram. Metode Riffaterrian diterapkan dalam analisis penelitian, sehingga dapat ditemukan hubungan makna dan tulisan yang terkandung di dalamnya. Berikut adalah penjelasan mengenai teori semiotika oleh Riffaterre.
I.5.1
Teori Semiotika dan Pemaknaan Puisi Kaligram Buku Semiotics of Poetry oleh Michael Riffaterre merupakan karya
mengenai teori sastra yang menawarkan deskripsi struktur makna pada puisi yang koheren dan sederhana. Riffaterre menyatakan bahwa ada empat hal yang berhubungan dengan analisis tanda-tanda untuk memproduksi makna. Empat hal yang menjadi prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1.
Ketidaklangsungan Ekspresi “...Indirection is produced by displacing, distorting, or creating meaning. Displacing, when the sign shifts from one meaning to another, when one word “stands for” another, as happens with metaphor and metonymy. Distorting, when there is ambiguity, contradiction, or nonsense. Creating, when textual space serves as a principle of organization for making signs out of linguistics items that may not be meaningful otherwise (for instance, symmetry, rhyme, or semantic equivalences between positional homologues in a stanza)” (Riffaterre, 1978:2). “...Ketidaklangsungan disebabkan oleh penggantian, penyimpangan, atau penciptaan arti. Penggantian, ketika tanda menggantikan satu arti ke
15
arti yang lain, ketika satu kata “berarti” yang lain, seperti metafora dan metonimia. Penyimpangan, ketika adanya ambuguitas, kontradiksi, atau non-sense. Penciptaan, ketika ruang tekstual menjadi prinsip kesatuan untuk menciptakan tanda yang secara linguistik tidak mempunyai arti tapi menimbulkan makna dalam karya sastra (seperti simetri, rima, atau ekuivalen semantik antara penempatan homolog dalam stanza)” (Riffaterre, 1978:2). Pertama, Riffaterre mengemukakan bahwa ada satu hal yang tinggal tetap dalam puisi, puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung, yaitu mengatakan suatu hal dan berarti yang lain: “a poem says one thing and means another”. Ketidaklangsungan ekspresi puisi disebabkan oleh tiga hal: (1) displacing of meaning (penggantian arti), (2) distorting of meaning (penyimpangan arti), dan (3) creating of meaning (penciptaan arti) (Pradopo, 2005:12-13). a.
Penggantian arti (displacing of meaning)
Penggantian arti (displacing of meaning) menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan majas atau bahasa kiasan (figurative language) seperti pada metafora (perumpamaan) dan metonimi. Penggantian arti terjadi ketika satu tanda mengalami pergantian arti dari satu arti ke arti yang lain. Metafora dan metonimi merupakan bahasa kiasan yang memiliki makna figuratif. Metafora dan metonimi adalah bahasa kiasan pada umumnya seperti simile (perbandingan), metafora, personifikasi, sinekdoki, dan metonimi. Contoh metafora pada puisi yang berjudul ”Sebuah Kamar” karya Chairil Anwar. Pada baris pertama, “Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia”. Pada baris sajak tersebut terdapat personifikasi dan sinekdoki totem pro parte (keseluruhan untuk sebagian orang). Personifikasi yaitu jendela dikiaskan sebagai orang yang dapat bergerak:
16
menyerahkan kamar, seolah-olah kamar itu dapat diangkat diberikan kepada dunia. Sinekdoki yaitu dunia dapat melihat kamar itu (Pradopo, 2005:192-193). Metafora terdiri dari dua term, yaitu bentuk pokok (principal term) dan bentuk kedua (secondary term). Bentuk pokok disebut tenor menyebutkan hal yang dibandingkan, sedangkan bentuk kedua disebut vehicle adalah hal untuk membandingkan. Metafora implisit (implied metaphor) adalah metafora yang langsung menyebutkan vehicle tanpa menyebutkan tenor. Metafora mati (dead metaphor) adalah metafora yang sudah klise sehingga orang sudah lupa bahwa itu metafora (Pradopo, 2005:66—67). b.
Penyimpangan arti (distorting of meaning)
Penyimpangan arti (distorting of meaning) disebabkan oleh ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra yang berarti ganda (polyinterpretable) menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase atau kalimat. Dengan ambiguitas puisi memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya (Pradopo, 2007:150). Kontradiksi berarti mengandung pertentangan, disebabkan oleh paradoks (berlawanan) atau ironi (menyatakan sesuatu hal secara kebalikan, biasanya untuk menyindir suatu keadaan). Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa rangkaian bunyi. Akan tetapi, nonsense mempunyai makna dalam puisi karena adanya konvensi sastra. Contoh nonsense terdapat pada puisi mantra pada sajak Sutardji Calzoum Bachri (Pradopo,
17
2007:125—128). Pada puisi grafis yang akan dianalisis tidak terdapat unsur yang menyebabkan penyimpangan arti yang berupa ambiguitas, kontradiksi, maupaun nonsense. c.
Penciptaan arti (creating of meaning)
Penciptaan arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti tapi menimbulkan makna dalam karya sastra. Penciptaan arti merupakan organisasi teks di luar linguistik, di antaranya adalah pembaitan, enjambement (ekuivalensi makna (semantik) di antara persamaan posisi dalam bait), persajakan (rima), tipografi (tata huruf), dan homologues (persamaan posisi) (Pradopo, 2007:129). Pada puisi grafis yang memiliki bentuk kaligram, aspek tipografi berperan penting dalam penciptaan arti. Kata-kata dalam puisi tersusun sedemikian rupa hingga menyerupai bentuk tertentu yang menimbulkan penciptaan arti pada puisi grafis. Definisi calligramme dan atau idéogramme lyrics yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang merujuk pada bentuk kaligram pada puisi grafis yang mendukung keterhubungan makna antara bentuk visual dan tulisan sebagai unsur yang membentuk puisi menjadi kesatuan struktur yang utuh. 2.
Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
“... If we are to understand the semiotics of poetry, we must carefully distinguish two levels or stages of reading, ...This first, heuristic reading is also where the first interpretation takes place, since it is during this reading that meaning is apprehended...” (Riffaterre, 1978:5). “...Jika kita ingin memahami semiotika puisi, kita harus teliti membedakan dua tahap pembacaan, ...Pertama, pembacaan heuristik juga 18
dimana interpretasi pertama dilakukan, selama pembacaan tersebut arti interpretasi dipahami... “(Riffaterre, 1978:5).
Kedua, puisi dibaca secara heuristik sesuai dengan konvensi bahasa yaitu berdasarkan sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan heuristik pada puisi menghasilkan arti bahasanya. Pada pembacaan heuristik, untuk memperjelas arti diberi sisipan kata atau sinonim kata-katanya ditulis dalam tanda kurung. Struktur kalimatnya juga disesuaikan dengan kalimat baku (berdasarkan tata bahasa normatif), bila perlu susunannya dibalik untuk memperjelas arti (Pradopo, 2007:136). “The second stage is that of retroactive reading. This is the time for a second interpretation, for the truly hermeneutic reading. ...The maximal effect of retroactive reading, the climax of its function as generator of signifiance, naturally comes at the end of the poem” (Riffaterre, 1978:5— 6). “Tahap kedua adalah pembacaan rekroaktif. Pada tahap ini dilakukan interpretasi kedua, untuk pembacaan hermeneutik yang sebenarnya. ...Hasil maksimal dari pembacaan retroaktif, puncak dari fungsi pembacaan tersebut sebagai pencari makna, biasanya terdapat di akhir puisi” (Riffaterre, 1978:5—6).
Selanjutnya, dilakukan pembacaan retroaktif atau hermeneutik untuk mencari makna (signifiance) berdasarkan konvensi sastra atau pada puisi. Puisi merupakan sistem tanda (semiotik) tingkat kedua yang menggunakan medium bahasa yang merupakan sistem tanda tingkat pertama. Konvensi sastra yang memberikan makna itu diantaranya konvensi ketidaklangsungan ekspresi menurut Riffaterre. Pada pembacaan hermeneutik terdapat proses decoding, yaitu
19
penerimaan pembaca untuk mengungkap makna (signifiance) pada puisi (Pradopo, 2007:137). 3.
Matriks, Model, dan Varian
“The poem results from the transformation of the matrix, a minimal and literal sentence, into a longer, complex, and nonliteral periphrasis. The matrix is hypotetical, being only the grammatical and lexical actualization of a structure. The matrix may be epitomized in one word, in which case the word will not appear in the text. It is always actualized in successive variants; the form of these variants is governed by the first or primary actualization, the model. Matrix, model, and text are variants of the same structure” (Riffaterre, 1978:19). “Hasil puisi dari transformasi matriks, minimal dan kalimat harfiah, menuju yang lebih panjang, kompleks, dan... Matriks bersigat hipotetis, hanya merupakan gramatikal dan aktualisasi leksikal dari struktur. Matriks dapat di... dalam satu kata, dimana kata tersebut tidak muncul dalam teks. Hal tersebut selalu terwujud dalam varian; bentuk dari varian tersebut di... oleh aktualisasi pertama atau pokok yaitu model. Matriks, model, dan teks adalah varian dari struktur yang sama “(Riffaterre, 1978:19).
Ketiga, pencarian matriks (kata kunci) pada puisi untuk pemaknaan lebih lanjut. Sajak merupakan hasil transformasi dari matriks. Matriks ini adalah kata kunci (keyword) dapat berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat, atau kalimat sederhana. Matriks ini “mengarah pada tema”. Matriks tidak tertulis atau tidak
dieksplisitkan
dalam
sajak
(karya
sastra).
Matriks
dan
model
ditransformasikan menjadi “varian-varian”. Varian ini merupakan transformasi model pada setiap satuan tanda: baris atau bait. Varian-varian itu berupa “masalahnya”. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama. Dari matriks, model, dan varian tersebut dapat “diabstraksikan” atau “disimpulkan” tema sajak (Pradopo, 1999 : 77—78).
20
4.
Hipogram
“In either case the production of the poetic sign is determined by hypogrammatic derivation: a word or phrase is poeticized when it refers to (and, if a phrase, patterns itself upon) apreexistent word group. The hypogram is already a system of signs comprising at least a predication, and it may be as large as text. The hypogram may be potential, therefore observable in language, or actual, therefore observable in a previous text. For the poeticity to be activated in the text, the sign referring to a hypogram must also be a variant of that text’s matrix. Otherwise the poetic sign will function only as a stylistically marked lexeme or syntagm.“ (Riffaterre, 1978:23). “Dalam hal lain, produksi tanda puitis ditentukan oleh derivasi hipogramatik: satu kata atau kalimat yang dipuitisasi ketika mengacu pada (dan jika sebuah kalimat, membentuk dirinya sendiri) sekumpulan kata yang tidak ada. Hipogram sudah merupakan sistem tanda terdiri dari paling tidak sebuah dasar, dan dapat sebesar teks. Hipogram dapat berpotensi, sebelumnya terlihat dalam bahasa, atau aktual, yang terdapat di teks sebelumnya. Agar unsur puitis terdapat dalam teks, tanda yang mengacu pada hipogram juga harus merupakan varian dari matriks teks tersebut. Jika tidak, tanda puitis hanya akan berfungsi sebagai penanda stilistik leksim atau sintagma” (Riffaterre, 1978:23).
Keempat, Hipogram menurut Riffaterre adalah teks tertentu yang menjadi latar penciptaan sebuah sajak atau merupakan bentuk intertekstualitas yang melatarbelakangi ditulisnya karya sastra. Karya sastra akan bermakna penuh jika dijajarkan dengan teks lain, yang menjadi latar belakang penciptaan teks sesudahnya. Dalam arti bahwa sajak baru dapat dipahami makna secara sepenuhnya setelah diketahui hubungannya dengan sajak lain yang menjadi latar penciptaannya (Pradopo, 2005:227). Hipogram menurut Riffaterre dibagi menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial adalah hipogram yang terlihat pada teks yang dianalisis, sedangkan hipogram aktual, yaitu ditemukan pada teks lain. Tanda
21
puitis pada teks mengacu pada hipogram yang juga berupa varian pada matriks dari teks tersebut.
I.5.2 Konsep Femininitas dan Objektifikasi Perempuan dari Perspektif Feminisme Perempuan sebagai gender kerap dijadikan objek sebagai pleasure dan desire, diobjektifikasi menjadi sumber kenikmatan bagi laki-laki. Wacana kecantikan dan femininitas perempuan tidak dapat dilepaskan dari konstruksi budaya patriarki yang memberikan kuasa kepada laki-laki untuk memberikan pengakuan atas femininitas perempuan di satu sisi, dan perempuan untuk selalu mencari pengakuan atas femininitasnya dari laki-laki di sisi lain. Konstruksi femininitas dan seksualitas perempuan hadir melalui simbol-simbol maskulinitas yang direpresentasi oleh perempuan yang merupakan objek seksualnya sebagai cara penundukan perempuan dalam kuasa laki-laki (Prabasmoro, 2006:320—322). Dalam hal ini, puisi grafis sebagai objek material memiliki unsur femininitas Lou sebagai perempuan yang menginspirasi Apollinaire untuk menulis puisi tersebut dan merepresentasikan perempuan secara simbolis sebagai objek. Femininitas sebagai gender berkaitan pula dengan lingkup antropologi. Dalam buku yang berjudul Gender and Anthropology karya Frances E. MasciaLees dan Nancy Johnson Black (2000) menyatakan permasalahan mengenai objektivitas pada perempuan. Bahwa ilusi tentang objektivitas dipengaruhi oleh
22
“budaya” yang tidak dapat “dijamah” karena konsep tentang budaya yang problematik. “...Culture, however, is not a thing that can be seen, touched, or bounded. We are led to believe that it is because we reify the concept. That is, we take this conceptual category and treat it as if it is real. We think of culture as an entity with a concrete or material existence that is “out there” and as something we can observe and objectively know if we use the right methods or assumptions...” (Black, 2000:99). “...Budaya bukan merupakan hal yang bisa dilihat, disentuk, atau di... . Kita digiring untuk mempercayai hal tersebut karena kita me... konsep. Dimana, kita menganggap kategori konsep tersebut dan memperlakukannya seolah hal tersebut nyata. Kita menganggap budaya sebagai sebuah entitas dengan konkret atau keberadaan material yang “diluar” dan sebagai sesuatu yang kita dapat teliti dan diketahui secara objektif jika kita menggunakan metode yang benar atau asumsi...” (Black, 2000:99).
Naomi Wolf (2004) dalam bukunya yang berjudul Mitos Kecantikan Kala Kecantikan Menindas Perempuan menyatakan bahwa sepanjang definisi “kecantikan” datang dari luar diri perempuan, kita akan terus dimanipulasi oleh definisi itu sendiri. Mitos kecantikan adalah sebuah fenomena ketika perempuan memiliki anxiety dan perasaan insecure mengenai bagaimana perempuan menilai tubuh mereka, perempuan yang menjadi korban ideologi langsing yang bergulat dengan rasa lapar dan gangguan makan (anorexic). Kecantikan ideal dianggap ideal karena kecantikan itu tidak pernah ada. Tindakan untuk mewujudkan yang ideal itu terletak dalam kesenjangan antara hasrat dan kepuasan (Wolf, 2004:344). Menurut
Wolf
(2004:346),
“femininitas”
adalah
kode
untuk
keperempuanan, ditambah semua hal yang terjadi dalam masyarakat yang bisa dijual. Jika “femininitas” berarti seksualitas perempuan dan sisi-sisinya yang
23
menyenangkan, perempuan tidak pernah kehilangan hal tersebut dan berarti tidak perlu membelinya kembali. Wolf mendefinisi mitos kecantikan sebagai obsesi kesempurnaan fisik yang memenjarakan perempuan dalam harapan, self-hate, dan definisi masyakarat atau social-construct tentang “kecantikan sempurna”. Ideologi tentang “kecantikan” adalah ideologi penghabisan yang mengingatkan pada ideologi femininitas kuno yang menyisakan kekuatan untuk mengendalikan para perempuan generasi kedua hingga tak lagi memiliki hal-hal yang bisa dikontrol. “Kita berada di tengah-tengah pertentangan melawan feminisme yang menggunakan citra kecantikan perempuan sebagai senjata politis untuk menentang kemajuan perempuan. Itulah Mitos Kecantikan. Mitos kecantikan merupakan versi mutakhir dari refleks sosial yang kuat sejak Revolusi Industri. Selepas perempuan dari mistik feminin (feminine mystique) tentang domestisitas, mitos kecantikanlah yang mengambil alih dasar yang hilang ini, dan terus memperluas kekuasaanya sebagai kontrol sosial.” (Wolf, 2004:25—26).
Menurut Wolf (2004:26—27), feminisme memberi kita kekuatan hukum untuk melawan diskriminasi dalam dunia kerja, yang berbasis gender. Para feminis, terinspirasi oleh Friedan, (Betty Friedan, seorang feminis Amerika terkenal yang mendirikan organisasi perempuan NOW (National Organization for Women), -penj.), mendobrak rintangan-rintangan dari para pemasang iklan produk-produk (industri perawatan kulit dan obat diet) dalam majalah populer perempuan yang mempromosikan mistik feminin. Menurut Friedan via Wolf dalam bukunya yang berjudul The Feminine Mystique (1963), konsep femininitas berkaitan dengan relasi kekuasan patriarkal dimana sebagian besar keputusan dimiliki oleh laki-laki.
24
Tong (2009:30—34) dalam bukunya yang berjudul Feminist Thought membahas tentang pemikiran feminis abad ke-20, Friedan, mengenai Equal Rights atau persamaan hak. Melalui bukunya yang berjudul The Feminine Mystique, Friedan membahas tentang domestifikasi perempuan, pernikahan dan motherhood. Sebagai
pendiri
NOW
(National
Organisation
for
Women),
Friedan
memperjuangkan hak perempuan dalam hal kesetaraan gender, kemandirian, dan kualitas androgynous pada perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, kualitas feminin maupun maskulin pada pribadi manusia harus dikembangkan seiring bertambahnya usia. “...Eventually, Friedan claimed that because “human wholeness” is the true “promise of feminism”,” feminists should move beyond a focus on women’s issues (issues related to women’s reproductive and sexual roles, rights, and responsibilities) in order to work with men on “the concrete, practical, everyday problems of living, working and loving as equal persons“ (Tong, 2009:33). “...Friedan menyatakan hal tersebut karena “keseluruhan manusia” adalah “janji feminisme” yang sebenarnya, “feminis harus bergerak melampaui isu wanita (isu yang terkait dengan reproduksi wanita dan peran seksual, hak, dan kewajiban) untuk dapat bekerja dengan laki-laki dalam “konkret, praktik, masalah sehari-hari, bekerja dan mencintai layaknya orang yang setara” (Tong, 2009:33).
Seorang feminis eksistensialis Prancis, Simone de Beauvoir (1949) dalam bukunya yang berjudul Le Deuxième Sexe atau The Second Sex berpendapat bahwa perempuan bukanlah realitas yang ajeg, tetapi lebih merupakan sesuatu yang menjadi, dan dengan demikian harus didefinisi. Seorang perempuan tidak harus menjadi feminin atau dalam hal ini, dia juga tidak harus berjuang melawan femininitasnya. Perempuan dapat menjadi perempuan dengan cara yang
25
diinginkannya sesuai dengan caranya memaknai dan menubuhi tubuhnya. Beauvoir berpendapat bahwa femininitas bukan merupakan takdir seperti biologi perempuan didiktekan kepada kita (Prabasmoro, 2006:57—66). Pada puisi grafis yang menjadi objek material dalam penelitian ini terdapat bentuk kaligramatik yang memiliki keterhubungan makna dengan tulisan yang membentuknya. Puisi tersebut ditulis oleh Apollinaire pada awal abad ke-20, pada masa Perang Dunia I. Perempuan digambarkan dari sudut pandang laki-laki atau male gaze yang menunjukkan ekspresi romantis laki-laki terhadap perempuan.
I.6
Metodologi Penelitian Pada penelitian ini dilakukan beberapa tahapan. Tahap pertama adalah tahap
pembacaan heuristik terhadap puisi dalam antologi Poèmes à Lou sehingga dipilih lima buah puisi grafis dari antologi Poèmes à Lou karya Guillaume Apollinaire sebagai objek material, yaitu: “La mielleuse figue-C’est dans cette fleur-Et puis voici l’engin”, “À Lou Hommage”, “À Madame La Comptesse”, “Portrait de Lou”, dan “Flèche Saignante”. Kedua, dilakukan proses pembacaan hermeneutik pada ketiga puisi grafis di atas, akan ditemukan bentuk-bentuk ketidaklangsungan ekspresi yang menunjukkan femininitas serta interpretasi terhadap bentuk kaligram pada ketiga puisi yang akan dianalisis. Pada pembacaan hermeneutik, dilakukan interpretasi pada puisi grafis dari aspek femininitas yang dihubungkan dengan konsep femininitas menurut pemikiran sejumlah feminis. Tahap selanjutnya adalah mencari matriks, model, dan varian pada puisi kaligram “La mielleuse figue-C’est
26
dans cette fleur-Et puis voici l’engin”, “À Lou Hommage”, dan “À Madame La Comptesse”. Pencarian matriks, model, dan varian tersebut bertujuan untuk mencari kata kunci yang menjadi tema pada puisi. Tahap terakhir adalah penelusuran hipogram atau hubungan intertekstualitas dengan puisi lain dari masing-masing puisi kaligram tersebut. Selain penerapan metode Riffaterian pada puisi yang dianalisis, dilakukan pula analisis mengenai femininitas pada antologi Poèmes à Lou dari beberapa perspektif feminis pada puisi kaligram “Portrait de Lou”, dan “Flèche Saignante”. Aspek femininitas Lou yang terdapat pada puisipuisi kaligram dikaitkan menurut teori feminis mengenai femininitas.
I.7
Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari beberapa bab sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, yang terdiri atas: Latar Belakang, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II yaitu analisis atau pembahasan. Bahasan pokok meliputi aspek femininitas, eksotisme perempuan dan perempuan sebagai simbol pada puisi grafis sebagai objek material. Pada analisis puisi pertama yang berjudul “La mielleuse figue-C’est dans cette fleur-Et puis voici l’engin” mengenai male gaze dan aspek femininitas. Sementara itu, pada puisi kedua yang berjudul “À Lou Hommage” akan dianalisis mengenai topik eksotisme perempuan, sedangkan pada puisi ketiga yang berjudul “À Madame La Comptesse”, topik bahasannya meliputi subordinasi 27
perempuan sebagai simbol. Pembahasan pada bab II menggunakan metode yang terdapat dalam teori semiotika oleh Michael Riffaterre yang mencakup pembacaan heuristik, pembacaan hermeneutik, penelusuran matriks, model, varian dan hipogram. Bab III membahas mengenai konsep femininitas dari perspektif feminis. Terdapat beberapa sub-bab yang membahas mengenai keterhubungan makna bentuk kaligram dan puisi dengan aspek femininitas. Bahasan pada bab ini antara lain: Perempuan sebagai Objek Estetis, Eksploitasi Seksualitas Figur Perempuan, Sensualitas Feminin dan Objek Eksotis, dan Perempuan dalam Sistem Patriarkal. Puisi kaligram yang dibahas pada bab III adalah “Le Portrait de Lou” dan “Flèche Saignante”. Puisi kaligram yang telah dibahas di bab sebelumnya kembali diinterpretasikan dalam bab ini menurut beberapa perspektif feminis seperti: Rosemarie Tong, Betty Friedan, Julia Kristeva, Monique Wittig, Luce Irigaray, Simone de Beauvoir, Judith Butler, Wening Udasmoro, dan Naomi Wolf. Bab IV Kesimpulan, berisi kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, résumé dalam bahasa Prancis, dan dilanjutkan dengan daftar pustaka.
28