BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1996, kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini berjalan selaras dengan orang lain. Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku koping yang efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional
(Videbeck, 2011).
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi mental sejahtera yang memungkinkan hidup harmonis dan produktif sebagai bagian yang utuh dari kualitas hidup seseorang, memperhatikan semua segi kehidupan dengan ciri menyadari sepenuhnya kemampuan dirinya, mampu menghadapi stres kehidupan dengan wajar, mampu bekerja dengan produktif dan memenuhi kebutuhan hidupnya, dapat berperan serta dalam masyarakat, menerima dengan baik apa yang ada pada dirinya dan merasa nyaman bersama dengan orang lain (Keliat & Akemat, 2005). Salah satu gangguan jiwa adalah skizofrenia. Prevalensi skizofrenia adalah 1%, yang berarti bahwa satu orang dari 100 orang akan menderita skizofrenia dalam hidupnya. Di seluruh dunia, muncul 2000 kasus setiap tahun. Di Amerika Serikat >2000 orang menderita skizofrenia (Sadock, I, Kaplan, & Sadock, 2010). Menurut World Health Organization (WHO) (2013) skizofrenia adalah bentuk yang parah dari penyakit mental yang mempengaruhi sekitar 7 per seribu dari
1
2
populasi orang dewasa, terutama pada kelompok usia 15-35 tahun. Meskipun insiden rendah (3-10,000), prevalensinya tinggi disebabkan oleh kronisitas. Skizofrenia diseluruh dunia diderita kira-kira 24 juta orang, setiap tahun, satu juta orang melakukan bunuh diri dan dilaporkan dari 10-20 milyar kasus terdapat usaha untuk bunuh diri. Lebih dari 50 % pasien skizofrenia tidak mendapatkan penanganan. Sembilan puluh persen penderita skizofrenia berada di negara berkembang. Prevalensi penderita skizofrenia antara laki-laki dan perempuan sama. Tetapi, dua jenis kelamin tersebut menunjukkan perbedaan dalam onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset lebih awal daripada perempuan. Usia puncak onset adalah 15-35 tahun, 50% kasus terjadi sebelum usia 25 tahun (Sadock, I, Kaplan, & Sadock, 2010). Bersarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 di Indonesia gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) prevalensinya 0,17 %. Daerah paling banyak pasien gangguan jiwa di Indonesia adalah Di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh yang mencapai 0,27 %. Bali sendiri berada di urutan ke empat dengan prevalensi skizofrenia sebesar 0,23 % (Kemenkes, 2013). Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali terhadap pasien yang terdiagnosa skizofrenia didapatkan data pada bulan juni 2014 pada poli jiwa sebanyak 748 pasien, IGD 75 pasien, dan rawat inap sebanyak 475 pasien. Pada bulan juli 2014 jumlah pasien sebanyak 56 pasien, dan pada ruang IGD jumlahnya tetap yaitu 75 pasien, dan di ruang rawat inap mengalami penurunan sebesar 10 pasien. Pada bulan agustus 2014 terjadi penurunan di ruang poli jiwa yaitu 33 pasien, IGD sebanyak 4 pasien, dan diruang
3
rawat inap mengalami peningkatan sebanyak 40 pasien sehingga jumalah pasien di rawat inap menjadi 503 pasien. Pada Bulan September kejadian skizofrenia mengalami peningkatan di ruang poli jiwa sebanyak 655 pasien dan di IRD 86 pasien, mengalami penurunan di ruang rawat inap dan total jumlah
pasien
sebanyak 487 pasien. Dari data diatas didapatkan kesimpulan bahwa setiap bulannya terjadi fluktuasi pasien dengan skizofrenia. Jumlah paling tinggi pada Bulan Agustus (RSJP Bali, 2014). Skizofrenia adalah gangguan mental jangka panjang dan berat, yang ditandai dengan persepsi psikosis-terdistorsi dari dunia nyata. Orang yang didiagnosis menderita skizofrenia mengalami delusi, halusinasi, bicara tidak teratur, kurangnya emosi, ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain, dan kesulitan yang signifikan dalam menyelesaikan sekolah, memegang pekerjaan, atau hidup secara mandiri. Gangguan ini paling mungkin muncul selama masa remaja atau dewasa awal. Skizofrenia masih belum sepenuhnya dipahami oleh para profesional kesehatan mental atau peneliti medis (Frey, 2009). Dari gejala yang ada paling sering terjadi pada klien dengan skizofrenia adalah halusinasi, dimana sekitar 70 % klien dengan skizofenia mengalami gejala halusinasi. Klien skizofrenia dengan gejala halusinasi akan mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Sesuatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayalan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra stimulus eksteren, bisa dikatakan persepsi yang palsu (Maramis, 2005).
4
Akibat dari halusinasi adalah risiko mencederai diri, orang lain, dan lingkungan. Ini diakibatkan karena klien berada di bawah halusinasinya yang meminta dia untuk melakukan sesuatu hal diluar kesadarannya (Prabowo, 2014). Berdasarkan hal tesebut, maka perlu upaya untuk mengendalikan halusinasi. Salah satu upaya tersebut adalah TAK Stimulasi persepsi. TAK stimulasi persepsi merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai terapi dan kelompok digunakan sebagai target asuhan. TAK stimulasi persepsi ini dapat mengontrol halusinasi yang dilami pada pasien skizoprenia (Isnaeni, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Candra, Rikayanti dan Sudiantara (2014) didapatkan bahwa terapi okupasi aktivitas menggambar berpengaruh secara signifikan terhadap gejala halusinasi. Terapi okupasi aktivitas menggambar adalah suatu hal yang tepat jika diberikan pada klien dengan skizorenia. Sampel yang digunakan sebanyak 30 orang dengan nilai p=0,000, p<0,010, dan didapatkan kesimpulan bahwa terapi okupasi aktivitas menggambar terbanyak dalam katergori sedang yaitu 15 orang (50%). Gejala halusinasi yang dialami pasien skizofrenia setelah diberikan terapi okupasi aktivitas menggambar terbanyak dalam kategori ringan yaitu 21 orang (70%). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sri Utami, Abdul Ghofur, dan Rochdiat (2012) menunjukan bahwa ada pengaruh pemberian TAK stimulasi persepsi terhadap kemampuan mengontrol halusinasi pada klien skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia Provinsi DIY sebelum dan sesudah melaksanaan TAK.
5
Analisi yang digunakan adalah Wilcoxom Signed Rank Test diperoleh nilai Z sebesar -4,53 dengan p-value sebesar (p<0,05) dengan sampel berjumlah 34 sampel. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri Angreani, Lila Novita Sultan, dan Afrida (2012) di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan dalam kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran terhadap responden sebelum dan setelah dilakukannya TAK stimulasi persepsi. Pada penelitian ini statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui frekuensi dan persentase untuk mengetahui perbedaan tingkat kontrol halusinasi sebelum dan sesudah diberikan TAK stimulasi persepsi yaitu dengan uji statistik Wilcoxon Sign Ranks Test. Dari uji ini didaptkan hasil 0,005 yang artinya 0,005 ≤ 0,05, maka H1 diterima. 1.2Rumusan Masalah Apakah pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi dalam mengontrol halusinasi pada klien dengan skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi terhadap kemampuan mengontrol halusinasi pada klien dengan skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
6
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu sebagai berikut: a. Mengidentifikasi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin, umur, dan tingkat pendidikan. b. Mengidentifikasi kemampuan afektif, kognitif, dan psikomotor pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol c. Mengidentifikasi kemampuan mengontrol halusinasi yang di alami oleh klien dengan skizofrenia pada kelompok perlakuan sebelum dan sesudah diberikan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi d. Mengidentifikasi kemampuan mengontrol halusinasi pada kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi e. Menganalisis adanya perbedaan kemampuan mengontrol halusinasi pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. f. Menganalisis adanya pengaruh kemampuan mengontrol halusinasi pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai bahan masukan untuk ilmu pengetahuan dalam penatalaksanaan pasien dengan halusinasi.
7
1.4.2
Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini adalah : 1. Bagi perkembangan Ilmu Keperawatan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan acuan bagi ilmu pengetahuan tentang pengaruh TAK stimulasi persepsi halusinasi. 2. Bagi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Dapat dijadikan sebagai gambaran tentang pengaruh pelaksanaan TAK stimulasi persepsi halusinasi dan diharapkan pelaksanaan TAK menjadi salah satu terapi modalitas rutin dan membudaya di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. 3. Bagi masyarakat. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi bagi masyarakat agar dapat memberikan dukungan sosial kepada keluarga dan pasien halusinasi. 4. Bagi penelitian berikutnya. Sebagai pedoman untuk melakukan riset selanjutnya yang berhubungan dengan pengaruh TAK stimulasi persepsi halusinasi.