BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam tubuh, zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak ditemukan. Terdapat sebanyak 3-5 gram besi dalam tubuh manusia dewasa (Almatsier, 2009). Besi dalam tubuh terdapat pada hemoglobin, myoglobin otot, feritin, hemosiderin, serta transferrin (Geissler & Singh 2011). Kurangnya konsumsi besi, peningkatan kebutuhan, serta kehilangan darah dapat memicu defisiensi besi. Defisiensi besi yang pada tahap lanjut dapat berkembang menjadi anemia. Anemia menimbulkan perubahan fungsional yang mempengaruhi perkembangan kognitif, mekanisme imunitas, dan kapasitas kerja (Abbaspour, Hurrell, & Kelishadi, 2014). Proses donor yang baik diharapkan tidak membahayakan pendonor sehingga pendonor darah dapat kembali mendonorkan darah. Pada proses donor darah, status besi merupakan salah satu faktor pertimbangan untuk meminimalkan efek negatif setelah donor darah. Hal ini juga menjadi salah satu tahap rangkaian dalam donor hemovigilance yang mencakup seluruh proses donor darah demi keamanan darah (Benjamin, 2010). Sehingga kadar hemoglobin ≥ 12,5 mg/dL menjadi syarat dasar yang ditetapkan oleh palang merah Indonesia (PMI) bagi calon pendonor. Selain itu, terdapat pula syarat dasar berat badan minimal 50 kg dan tekanan darah normal. Proses donor darah yang berulang terbukti berhubungan negatif dengan status besi (Mittal et al. 2006; Norashikin et al. 2006). Proses donor darah mengambil darah sebanyak 425-475 ml dari tubuh dan menghilangkan besi
1
dalam tubuh sebesar 225-259 mg besi pada laki-laki dan 206-228 mg pada perempuan. Salah satu cara pemulihan kadar besi tubuh dapat dilakukan melalui asupan makanan dengan jumlah zat besi yang adekuat (Jeremiah & Koate, 2010; Mahida et al, 2008; Mittal et al., 2006). Potensi defisiensi besi dan anemia pada pendonor darah berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan asupan khususnya besi, perbedaan prevalensi defesiensi besi pada wilayah, kehilangan darah ketika menstruasi, frekuensi donor, dan konsumsi suplemen besi (Cançado & Langhi Junior, 2012). Prevalensi defisiensi besi pada pendonor darah yang meningkat juga dapat meningkatkan angka deferral donor darah. Penelitian Charles et al (2010) menunjukkan kadar hemoglobin rendah dan anemia termasuk dalam 10 penyebab deferral donor darah. Pada pendonor rutin, rendahnya hemoglobin dapat disebabkan oleh kurang sempurnanya pemulihan hemoglobin setelah darah didonasikan. Hal ini dapat berdampak pada ketersediaan darah. Di Indonesia, kebutuhan sekitar 4,5 juta kantong darah tidak tercukupi karena angka donasi yang masih berkisar 2,1 juta kantong, dari jumlah tersebut hanya 70% yang berasal dari donor sukarela (Dirjen Bina Upaya Kesehatan, 2012). Kadar hemoglobin dipengaruhi oleh jenis kelamin, jumlah asupan, penyerapan, dan penyimpanan besi dalam tubuh (Rangan et al, 1997). Salah satu cara memulihkan hemoglobin adalah mengantur konsumsi dengan tepat (Mahida, 2008). Zat besi merupakan zat gizi yang banyak berperan dalam mempengaruhi status besi dan hemoglobin. Penyerapan zat besi dalam tubuh dipengaruhi oleh adanya inhibitor berupa fitat, tannin, dan oksalat. Sedangkan zat yang membantu proses penyerapan zat besi adalah vitamin C (Almatsier, 2009).
2
Berdasarkan data tersebut, diperlukan adanya penelitian untuk mengetahui tingkat asupan pada pendonor darah serta hubungan asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status besi. Dengan mengetahui hubungan antara asupan dan status besi, diharapkan dapat menambah pengetahuan untuk meningkatkan hemovigilance bagi pendonor darah.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana hubungan asupan protein dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta? 2. Bagaimana hubungan asupan zat besi dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta? 3. Bagaimana hubungan asupan vitamin C dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta? 4. Bagaimana hubungan asupan inhibitor penyerapan zat besi dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan asupan pendonor darah dan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan asupan protein dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta.
3
b. Mengetahui hubungan asupan zat besi dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta. c. Mengetahui hubungan asupan vitamin C dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta. d. Mengetahui hubungan asupan inhibitor penyerapan zat besi dengan status besi pada pendonor darah di PMI Kota Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Menerapkan ilmu yang telah diperoleh di Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM serta menambah pengetahuan mengenai hubungan antara asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status besi pada pendonor di PMI Kota Yogyakarta. 2. Bagi Masyarakat Sebagai sumber informasi untuk masyarakat khususnya pendonor darah terkait protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi serta status gizi. 3. Bagi Institusi/Pemerintah Sebagai sumber informasi faktor yang berkaitan dengan status besi pendonor darah terutama mengenai pengaruh konsumsi makanan terhadap status besi pendonor baru dan pendonor rutin sehingga dapat menjadi rujukan pembuatan kebijakan dan program edukasi bila dibutuhkan.
4
E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai status besi pada pendonor darah cukup banyak dilakukan. Namun, penelitian yang menghubungankan antara status besi dengan asupan protein, vitamin C, zat besi, dan inhibitor absorpsi zat besi pada pendonor darah jarang dilakukan. Terdapat penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini yaitu, 1. Booth et al (2013) dengan judul Iron Status and Dietary Iron Intake of Female Blood Donors. Booth et al (2013) melaporkan bahwa asupan zat besi pada pendonor rutin lebih tinggi dibanding pendonor darah baru. Sebanyak 85% pendonor rutin dan 79% pendonor baru mengonsumsi zat besi dengan jumlah yang cukup. Akan tetapi, 50% pendonor darah tetap dan 34% donor baru memiliki cadangan besi yang kurang. Dalam penelitiannya, Booth et al (2013) menggunakan hemoglobin dan feritin sebagai indikator status besi. Hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Booth et al (2013) adalah jenis kelamin subjek, instrumen pengukuran konsumsi zat gizi, lokasi penelitian. 2. Khairunnisa (2014) dengan judul hubungan asupan protein, zat besi, vitamin C, dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban “Wira Wredha” Wirogunan, Yogyakarta. Khairunnisa (2014) melaporkan adanya hubungan yang bermakna antara asupan protein dan zat besi dengan status anemia pada lanjut usia di Paguyuban Paguyuban “Wira Wredha” Wirogunan, Yogyakarta. Namun, tidak terdapat hubungan bermakna antara asupan vitamin C dan inhibitor absorpsi zat besi dengan status anemia. Persamaan dengan penelitian ini
5
adalah rancangan penelitian, variable bebas yaitu asupan protein, zat besi, vitamin C, inhibitor absorpsi zat besi, dan variabel terikat yang terkait status besi. Sedangkan hal yang membedakan adalah populasi penelitian dan indikator status besi yang digunakan. 3. Susanti (2006) dengan judul hubungan antara asupan zat besi, protein, vitamin C, dan asam folat dengan kadar hemoglobin ibu hamil di wilayah kerja puskesmas Kokap II Kabupaten Kulon Progo. Penelitian
Susanti
(2006)
menunjukkan
adanya
hubungan
bermakna antara asupan protein, zat besi, dan vitamin C dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil. Sedangkan asam folat dan kadar hemoglobin tidak memiliki hubungan yang bermakna. Kesamaan dengan penelitian ini adalah rancangan penelitian, variabel terikat kadar hemoglobin serta adanya variabel bebas berupa asupan protein, zat besi, dan vitamin C. Perbedaan terletak pada populasi, tambahan variabel bebas, dan pengukuran status besi yang tidak hanya diukur menggunakan kadar hemoglobin. 4. Kadarwati (2005) dengan judul hubungan asupan faktor inhibitor absorpsi zat besi (tannin, fitat, asam oksalat) dangan kadar hemoglobin pada remaja putri di SMA Kota Yogyakarta. Penelitian Kadarwati (2005) menunjukkan semakin tinggi asupan tannin, fitat, dan asam oksalat maka semakin rendah kadar hemoglobin. Namun hubungan bermakna hanya ada antara asupan fitat dan kadar hemoglobin. Kesamaan penelitian terletak pada rancangan penelitian dan beberapa variabel. Hal yang membedakan adalah populasi penelitian dan adanya penambahan variabel.
6
5. Novitasari (2005) dengan judul hubungan antara asupan faktor enhancer absorpsi zat besi (protein dan vitamin C) dengan kadar hemoglobin pada remaja putri di SMA Kota Yogyakarta. Penelitian Novitasari (2005) menunjukkan semakin tinggi asupan protein, semakin tinggi pula kadar hemoglobin. Namun, semakin rendah asupan vitamin C, semakin tinggi kadar hemoglobin. Kesamaan dengan penelitian ini adalah menghubungan faktor enhancer dengan hemoglobin. perbedaan penelitian terletak pada variabel bebas yang tidak hanya menilai asupan faktor enhancer dan subjek penelitian yang berbeda. 6. Tampubolon (2005) dengan judul hubungan asupan zat gizi dengan status besi pada remaja putri SMU di Kabupaten Jayapura. Penelitian menunjukan adanya hubungan antara asupan zat gizi yang terdiri dari protein, vitamin A, vitamin C, asam folat, zat besi, dan zinc. Status besi dinilai dengan kadar hemoglobin dan feritin. Kesamaan penelitian terletak pada variabel tergantung. Sedangkan perbedaan penelitia terletak pada subjek dan variabel bebas yang diangkat dalam penelitian. 7. Ball & Bartlett (1999) dengan judul dietary intake and iron status of Australian vegetarian women. Ball & Bartlett melaporkan konsumsi zat besi pada vegetarian tidak jauh berbeda dengan non vegetarian, namun asupan zat besi heme rendah. Vegetarian memiliki tingkat konsumsi protein yang rendah dengan konsumsi vitamin C yang tinggi. Kadar serum feritin vegetarian berbeda signifikan dengan kadar serum feritin non vegetarian dan tidak terdapat perbedaan signifikan untuk kadar hemoglobin. Kesamaan dengan
7
penelitian ini adalah menghubungkan asupan dengan status besi yang diukur dengan serum feritin dan hemoglobin. Sedangkan perbedaan penelitian terletak pada variabel bebas yang diukur dan subjek penelitian.
8