1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG Masuknya agama Hindu dan Buddha yang berasal dari India, tidak dipungkiri membawa pengaruh besar terhadap bidang arsitektur dan kesenian periode Klasik di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari salah satu bentuk arsitektur dari periode ini yaitu, candi. Selama kurun abad VIII-X M1 pembangunan candi-candi di wilayah Jawa bagian tengah tampaknya cukup intensif. Sebaran candinya dimulai dari bagian utara (Dieng dan Ungaran) berlanjut ke arah selatan di bagian tengah (Wonosobo, Temanggung, Magelang, Boyolali), dan terus berlanjut sampai di bagian selatan (Prambanan dan sekitarnya) (lihat lampiran 1). Pada dasarnya fungsi candi sama seperti bangunan kuil yang ada di India (Soekmono 1974). yaitu sebagai rumah dewa yang dihadirkan di tengah dunia manusia. Secara konseptual candi merupakan representasi gunung kosmik, Meru. Di dalam kosmologi Hinduisme dan Buddhisme Gunung Meru merupakan pusat alam semesta yang dikelilingi tujuh benua dan tujuh lautan (Fisher, 2006: 22; Heine-Geldern, 1942: 16-17; Mabbet, 1983: 66). Para dewa dikisahkan bersemayam di gunung Meru2.
1
Periode ini juga disebut periode Jawa Tengah atau gaya Jawa Tengah (Hardiati, 1994: 4; Tjahjono, 1997: 181). 2 The god’s permanent abode in on the summit of Mount Mahameru, symbolized by the top of Meru (Soekmono, 1995: 14-15).
1
2
Gambar 1 Komponen-Komponen Bangunan Candi Sumber: Atmadi (1994), dengan modifikasi penulis
Sebagai replika Meru, candi merepresentasikan tiga dunia3 (triloka) yang dibagi ke dalam tiga bagian yaitu: kaki, tubuh, dan kepala (Micksic, 2002: 58; Suleiman, 1978: 5). Kaki candi merupakan simbol dunia manusia (bhurloka/kamadhatu). Tubuh candi merupakan simbol dunia yang telah disucikan (bhurvaloka/rupadhatu). Di bagian dalam tubuh candi ditempatkan arca (ikon) dewa yang dipuja. Sementara atap candi merupakan simbol dunia para dewa (svarloka/arupadhatu). Pada umumnya atap candi terdiri dari beberapa tingkatan semakin ke atas semakin mengecil dan diakhiri dengan puncak atap yang dibentuk menjadi hiasan puncak (kemuncak) (lihat gambar 1). 3
Di dalam Buddhisme konsep ini disebut tridhatu, yang terdiri dari: kamadhatu, simbol dunia hasrat; rupadhatu, simbol dunia antara; dan arupadhatu, simbol dari unsur tak berwujud (Tim Penulis, 2016: 21-37) .
3
Hiasan puncak atau kemuncak pada bangunan suci tidak hanya menjadi unsur arsitektur semata, namun juga memiliki arti tersendiri baik secara simbolik maupun kepercayaan dan keagamaan (Soekiman, 1980: 74). Hiasan salib pada kemuncak gereja misalnya, tidak hanya dipahami sebagai simbol kekristenan semata, namun merepresentasikan konsep iman Kristen 4 . Salib merupakan simbol penderitaan dan kekalahan sekaligus simbol keselamatan dan kemenangan (lihat gambar 2.a). Sementara pada masjid-masjid di Jawa, beberapa kemuncak atau mustaka memiliki bentuk stiliran lidah-lidah api (lihat gambar 2.b), seperti tersembur dari puncak gunung. Bentuk hiasan tersebut mengingatkan kembali pada konsep gunung (Meru) 5.
Gambar 2 Hiasan Puncak Bangunan Suci (a) Salib (Gereja) – (b) Stiliran Lidah-Lidah Api (Masjid) Sumber: http://www.archstock.com – Dok. Penulis
Demikian halnya pada bangunan candi, kemuncak memiliki kaitan dengan konsep keagamaan. Kemuncak biasanya digunakan untuk mengenali latar keagamaan suatu candi. Latar keagamaan dapat dikenali 4
Hal ini berkaitan dengan pengorbanan Yesus Kristus yang mati di kayu salib (http://www.bbc.co.uk/religion/religions/christianity/symbols/cross). 5 Meskipun Meru tidak terkait secara langsung dengan simbol keagamaan dalam Islam, namun konsep gunung tidak hilang begitu saja pada masa Islam. Gunung dipandang sebagai tempat yang tinggi, tempat yang paling dekat dengan dunia atas, dihubungkan dengan segala yang mulia (Mangunwijaya, 2003 : 134-135).
4
berdasarkan bentuk kemuncaknya. Kemuncak pada candi Hindu berupa ratna 6 dan kemuncak pada candi Buddha berupa stupa, dan pada beberapa candi di Jawa Timur memiliki kemuncak berupa kubus (Rohyani, 1985: 4; Soekiman, 1980: 75; Soekmono, 1981: 86; Tjahjono, 1997: 182; Suleiman, 1978: 6). Meskipun demikian, di Candi Plaosan Lor yang berlatar Buddha, kemuncak Candi Perwaranya berupa ratna. Sementara itu, berdasarkan kajian tipo-morfologi candi-candi di Jawa, Prajudi (1999: 84) menggunakan istilah mahkota atap untuk menyebut
kemuncak.
Berdasarkan
bentuknya
mahkota
atap
diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu: (1) shikara, (2) stupa, (3) ratna, dan (4) kubus. Berbeda dengan Prajudi, berdasarkan hasil identifikasi Atmadi (1994: 25) terhadap relief di Candi Borobudur terdapat 3 tipe kemuncak pada bangunan berbahan batu (layered stone), yaitu: (1) stupa-shape (stupa); (2) jewel-shape (ratna); dan (sulur-suluran) leaf-shape (sulursuluran) (lihat gambar 3).
Gambar 3 Bentuk-Bentuk Kemuncak Atap di Relief Candi Borobudur (a) stupa-shape, (b) jewel-shape, (c) leaf shape Sumber: Atmadi, 1994 6
Secara harafiah ratna dapat diartikan jewel, gem, treasure (Liebert, 1976: 237).
5
Gambar-gambar bangunan (gambar 3) yang digambar oleh Atmadi berdasarkan relief Borobudur, memiliki beberapa kemiripan dengan bentuk-bentuk candi yang masih ada saat ini. Bentuk-bentuk kemuncak bangunan yang tergambar di relief Borobudur memiliki variasi, demikian juga kemuncak candi-candi abad VIII-X M. Variasi tersebut menarik untuk diteliti mengingat kemuncak tidak hanya menjadi unsur dekoratif pada sebuah bangunan candi, namun juga memiliki kaitan dengan sifat keagamaan candi. Sejauh ini belum terdapat deskripsi khusus yang menjelaskan variasi bentuk kemuncak candi. I.2. RUMUSAN MASALAH Variasi bentuk kemuncak dapat diketahui dengan menguraikan bentuk komponen-komponennya (form of its components). Di dalam penelitian ini, pendekatan ikonografis digunakan untuk mengidentifikasi bentuk
komponen
kemuncak.
Setiap
kemuncak
akan
diuraikan
komponen-komponennya sehingga dapat diketahui formula komponennya. Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah variasi bentuk kemuncak candi-candi periode Jawa Tengah abad VIII-X M? 2. Komponen apa sajakah yang dapat menentukan variasi bentuk kemuncak candi? 3. Adakah faktor yang berpengaruh terhadap variasi bentuk kemuncak candi tersebut?
6
I.3. RUANG LINGKUP PENELITIAN 1. Batasan Kajian Dalam penelitian ini objek yang dikaji adalah bagian hiasan puncak atap candi yang secara umum disebut kemuncak. Kemuncak ialah penutup bagian atap yang berada pada tingkat paling atas (bila dilihat dari luar). Secara teknis kemuncak merupakan bagian yang terletak di atas (meninidih) batu penutup sungkup7. Bagian tersebut yang dibentuk menjadi kemuncak (lihat gambar 4). Oleh karena itu kemuncak tidak hanya bersifat dekoratif, namun juga konstruktif.
Gambar 4 Bagian Kemuncak Contoh pada Bangunan Perwara Candi Sewu (a) Gambar Penampang – (b) Gambar Façade Sumber: Dumarçay dengan modifikasi 7
Disebut juga batu kunci (Ing. key-stone) yang mematikan susunan batu (Dumarçay, 1986 :79). Pada umumnya atap candi dibuat menggunakan struktur corbel vault. Batu disusun saling tumpang tindih dan diakhiri dengan sebuah batu kunci pada puncaknya, sehingga membentuk struktur kuat untuk menahan beban yang berasal dari atas (https://www/britannica.com/technology/corbel).
7
2. Batasan Wilayah Penelitian ini menggunakan batasan wilayah administratif yang berlaku saat ini. Dilihat dari sebaran lokasinya sekarang, candi-candi yang dibangun pada abad VIII-X M berada di wilayah administratif Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta8. Berdasarkan batasan wilayah tersebut, maka candi-candi yang kemuncaknya diteliti tersebar dari wilayah utara sampai wilayah selatan Jawa bagian tengah, meliputi Kompleks Dieng, Kompleks Gedongsongo, Magelang dan sekitarnya di bagian tengah, sampai Prambanan dan sekitarnya di bagian selatan. I.4.TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Berdasarkan
rumusan
masalah
yang
telah
dipaparkan
sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menghasilkan tipologi bentuk kemuncak candi-candi periode Jawa Tengah abad VIII-X M. 2. Mengidentifikasi
latar
keagamaan
candi
berdasarkan
komponen kemuncaknya. 3. Mengetahui
faktor
yang
mempengaruhi
variasi
bentuk
kemuncak candi. Mengingat kemuncak candi merupakan bagian yang rawan mengalami kerusakan, maka penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk dokumentasi sebagai upaya dalam pelestariannya.
8
Candi-candi yang berada di wilayah Jawa Timur diperkirakan berasal dari abad VIII-X M, namun candi-candi di wilayah tersebut sudah tidak memiliki kemuncak.
8
I.5. KEASLIAN PENELITIAN DAN TINJAUAN PUSTAKA Sejauh ini, penelitian arkeologi dengan pendekatan ikonografis lebih banyak membahas tentang arca dan relief. Penelitian yang secara khusus mengkaji kemuncak candi dengan pendekatan ikonografis belum pernah dilakukan sebelumnya. Meskipun demikian, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang secara tidak langsung berkaitan dengan topik penelitian ini. Penelitian yang dimaksud diantaranya ialah sebagai berikut: Penelitian Siti Rohyani (1985) yang berjudul Variasi Bentuk Atap Candi di Jawa Tengah. Di dalam skripsi sarjana mudanya tersebut Rohyani mengkaji variasi bentuk atap candi-candi di Jawa Tengah berdasarkan komponen atap candi, seperti: denah atap, tingkatan atap, hiasan atap, dan kemuncak. Meskipun tidak membahas secara khusus mengenai bentuk kemuncak, Rohyani menyimpulkan kemuncak candi merupakan hiasan pada atap candi yang dipengaruhi oleh sifat keagamaan. Candi yang kemuncaknya berbentuk ratna mempunyai sifat keagamaan Hindu, dan yang kemuncaknya berbentuk stupa mempunyai sifat keagamaan Buddha. M.A. Dhaky (1974) di dalam artikelnya yang berjudul The Ā ā
i ga Finial, membahas ā āśaliṅga (liṅga-shape) yang menjadi
hiasan puncak (stūpi) śikhara. Di dalam tulisannya tersebut Dhaky melakukan perbandingan ā āśaliṅga di India dengan ā āśaliṅga yang terdapat pada beberapa candi di Jawa. Menurut Dhaky, ā āśaliṅga di Jawa cukup menarik karena selain di India elemen ini tidak banyak ditemukan di Asia Tenggara daratan, yang juga mendapat pengaruh India.
9
Penelitian Parmono Atmadi terhadap relief Candi Borobudur (1994) di dalam disertasinya yang berjudul Some Architectural Design Principles of Temples in Java, menyebutkan terdapat tiga bentuk hiasan atap bangunan
berbahan
batu
(layered
stone
structure),
dari
hasil
identifikasinya berdasarkan relief-relief di Candi Borobudur. Ketiga bentuk tersebut adalah: bentuk stupa, bentuk mahkota (jewel-shape), dan bentuk dedaunan (leaf-shape). Selain melakukan identifikasi, Atmadi juga menggambar beberapa bangunan yang terdapat di relief candi Borobudur. Rahadhian Prajudi (1999) dalam tesisnya yang berjudul Kajian Tipo-Morfologi Arsitektur Candi di Jawa mengklasifikasikan bentuk mahkota atap (kemuncak) candi di Jawa menjadi 4 tipe, yaitu: shikara, stupa, ratna, dan kubus. Prajudi memasukkan kemuncak candi Dieng dan Gedong Songo ke dalam tipe shikara, kemuncak candi Prambanan ke dalam tipe ratna, kemuncak candi-candi Buddha ke dalam tipe stupa, dan kemuncak candi-candi Jawa Timur ke dalam tipe kubus. Meskipun Prajudi membuat klasifikasi berdasarkan bentuk mahkota atap, Prajudi tidak mendeskripsikan secara detail mengenai tipe-tipe tersebut. Berbeda sebelumnya. berdasarkan pendekatan
dari
Di
penelitian-penelitian
dalam
penelitian
ini
komponen-komponennnya ikonografis.
Melalui
yang
kemuncak dengan
pendekatan
telah akan
dilakukan diuraikan
menggunakan
tersebut
komponen
kemuncak tidak hanya dilihat sebagai bentuk semata (pendekatan morfologi), namun juga sebagai seperti
a yang dapat memberikan identitas
a yang terdapat pada arca.
10
I.6. METODE PENELITIAN Ikonografi di dalam KBBI didefinisikan sebagai “ilmu yang mempelajari teknik dan seni pembuatan arca” (Tim Penyusun, 2008: 542). Definisi ini tidak salah, karena selama ini di Indonesia khususnya dalam studi arkeologi klasik obyek kajian ikonografi lebih banyak berhubungan dengan arca. Sementara dalam Britanica Encyclopaedia ikonografi didefinisikan
sebagai
“the
science
of
identification,
description,
classification, and interpretation of symbols, themes, and subject matter in the visual arts” (http://www.britannica.com/art/iconography). Merujuk pada definisi tersebut obyek kajian ikonografi tidak terbatas pada arca maupun relief saja, namun juga dapat digunakan untuk mengkaji elemen arsitektur seperti kemuncak, yang dapat dikategorikan sebagai visual art. Di dalam ikonografi dikenal
a, yaitu simbol atau tanda
khusus yang digunakan untuk membedakan ikon satu dengan ikon lainnya (penanda identitas). Pada arca
a menjadi suatu identitas
yang menjadi penanda seorang dewa atau tokoh tertentu (Maulana, 1997: 6). Ketentuan l
a pada arca diatur dalam kitab-kitab keagamaan
(bersifat cannonic). L
a dapat berupa senjata, alat musik, wahana
atau benda-benda lain yang menjadi ciri khas dewa. L
a juga dapat
berupa sikap-sikap tertentu, seperti sikap duduk (āsana) atau sikap tangan (mudrā). Sistem
a pada arca tersebut dapat diterapkan pula
pada kemuncak. Dalam hal ini
a adalah komponen-komponen
kemuncak yang membedakan satu bentuk kemuncak dengan bentuk kemuncak lainnya.
11
Contoh identifikasi l L
a:
a Avalokiteśvara ialah Amitābhabimba, telinga panjang, 3
lingkaran kebahagiaan di leher, dan sikap tangan memberi (terbuka) atau varadamudrā (lihat gambar 5).
Identifikasi
Gambar 5 a pada Arca Avalokiteśvara Dok. Penulis
Komponen kemuncak berbentuk stupa berikut terdiri atas: vedikā, a, dan harmikā. Masing-masing komponen kemuncak tersebut dapat dipandang sebagai l
Identifikasi
a (lihat gambar 6).
Gambar 6 a pada Kemuncak Bentuk Stupa Dok. Penulis
12
Alur yang digunakan dalam mengidentifikasi
a pada
kemuncak stupa (gambar 6), juga dapat diterapkan pada kemuncak bentuk ratna. Berikut dibawah ini adalah alur identifikasi yang digunakan dalam penelitian ini (lihat gambar 7).
Gambar 7 Bagan Alur Identifikasi a pada Kemuncak Dibuat oleh: Penulis
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
deskriptif-analitis
yang
berangkat dari kajian data arkeologi, yaitu kemuncak. Dalam penelitian deskriptif objek penelitian digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang tampak pada saat dilakukan observasi (Nawawi, 2006: 63). Data tersebut selanjutnya digunakan untuk menganalisa gejala-gejala yang tampak. Sementara itu, teknik yang digunakan adalah teknik kualitatif. Oleh karena itu penelitian ini tidak menekankan pada perhitungan angka-angka, melainkan berdasarkan atas asumsi kualitas data (Tanudirdjo, 1989: 36). Adapun
tahapan-tahapan
penelitian
yang
dilakukan
guna
menjawab rumusan masalah yang telah dipaparkan penulis adalah sebagai berikut:
13
1. Pengumpulan Data Pengumpulan data diperoleh melalui pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung dan tidak langsung. Obeservasi langsung dilakukan dengan observarsi di lapangan, sedangkan observasi tidak langsung dilakukan melalui pengamatan foto. Sementara itu untuk menunjang data primer, penulis menggunakan data sekunder melalui studi pustaka. Objek dalam penelitian ini adalah kemuncak candi-candi di wilayah administratif Jawa Tengah dan DIY yang dibangun pada abad VIII-X M. Tidak semua kemuncak yang terdapat pada candi-candi di wilayah tersebut akan dimasukkan sebagai sampel. Dalam pemilihan sampel penulis menggunakan teknik purposive sampling. Dengan teknik ini kemuncak yang dijadikan sebagai sampel disesuaikan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan oleh penulis (Nawawi, 2003: 157). Pemilihan sampel kemuncak dalam penelitian ini didasarakan atas kriteria-kriteria sebagai berikut: a. Kemuncak yang masih berada pada konteks aslinya, yaitu kemuncak yang masih terpasang pada atap candinya, baik candi utama maupun perwara. b. Kemuncak yang dipilih adalah kemuncak yang kondisinya relatif utuh dan komponennya masih dapat diidentifikasi. c. Apabila dalam suatu (situs) candi terdapat lebih dari satu bangunan candi, namun memiliki bentuk kemuncak yang sama atau hampir sama maka akan dipilih salah satu saja.
14
Pengambilan data dilakukan dengan pendokumentasian melalui foto maupun gambar untuk mengidentifikasi komponen-komponennya. 2. Pengolahan Data Dalam tahap ini, pertama-tama yang dilakukan adalah pembuatan kodifikasi. Setiap kemuncak yang menjadi sampel dalam penelitian ini masing-masing diberi kode. Pembuatan kodifikasi ini bertujuan untuk memudahkan dalam tahap analisis data. Format kodifikasi adalah sebagai berikut: a. Nama situs atau nama candi disingkat dengan mengambil, 3 atau 4 huruf depan dan diakhiri dengan titik. b. Di belakang nama situs diberi kode yang menunjukkan posisi candi. Kemuncak candi utama diberi kode utm, dan kemuncak candi perwara diberi kode per. Contoh: Candi utama Gebang menjadi Geb.utm, Candi perwara Ijo menjadi Ijo.per, dan seterusnya Selanjutnya, komponen-komponen kemuncak diidentifikasi dan dideskripsikan berdasarkan l
a dan bentuk komponennya. Panduan
lebih lanjut mengenai deskripsi akan dijelaskan pada BAB III. 3. Analisis Data Tahapan selanjutnya dalam penelitian ini adalah pembuatan tipologi. Tipologi dibuat berdasarkan hasil identifikasi l
a pada
komponen-komponen kemuncak. Pembuatan tipologi pada penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan variasi bentuk kemuncak.
15
Merujuk pada Adams and Adams (2008: 240), prinsip-prinsip dasar tipologi adalah sebagai berikut: “Typologies are developed with reference to a spesific purpose or purposes and it is those purposes that give meaning to the individual types in system. Archaeological typologies can legitimately serve many different purposes and these will affect the way in which types are formulated and used.” “Typologies are therefore developed through the two processes of formulation and selection. The archaeologist first formulates provisional types on the basis of criteria of identity; from these he then selects the types that are useful for his purposes on the basis of criteria of meaning.” Dalam pembuatan tipologi ini penulis menggunakan l
a
sebagai dasar dalam penentuan tipe. Dari beberapa bagian yang terdapat pada kemuncak, bagian puncak mahkota yang l
anya paling mudah
dikenali, karena itu dijadikan sebagai dasar pembuatan tipe utama. Selanjutnya dengan melihat formula komponen (l
a) lainnya, tipe
utama dapat dikembangkan menjadi sub-tipe. 4. Interpretasi Interpretasi merupakan: “... synthesizes the results of data collection, processing, and analysis to meet the original goals of the investigation (Ashmore and Sharer, 2010).” Dalam hal ini tipologi yang telah dibuat dijadikan sebagai dasar interpretasi untuk menjawab rumusan ma salah yang belum terjawab. 5. Kesimpulan Pada bagian akhir, jawaban dari semua rumusan masalah yang telah terjawab akan disimpulkan kembali.