1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan aktivitasnya pada masa lampau berdasarkan peninggalan arkeologis atau Cagar Budaya yang didapatkan secara sistematis (Kasnowihardjo, 2001:5).. Cagar Budaya menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan
Cagar Budaya di
darat dan/ atau di air yang perlu dilestarikan
keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan. Cagar Budaya disebut sumberdaya arkeologi karena merupakan salah satu modal pokok dalam pembangunan bersama-sama dengan sumberdaya lain seperti sumberdaya alam dan sumberdaya binaan. Sumberdaya arkeologi harus dilestarikan agar dapat dimanfaatkan, dan sebaliknya pemanfaatan dilakukan untuk mendukung pelestarian bagi kepentingan masa kini dan masa yang akan datang. Salah satu wujud pemanfaatan sumberdaya arkeologi yang sering dilakukan adalah untuk destinasi wisata, dikarenakan sumberdaya arkeologi tidak saja bermanfaat secara ideologis dan akademis, tetapi juga bermanfaat untuk kepentingan ekonomis. Di sisi lain, menjadikan sumberdaya arkeologi sebagai destinasi wisata berarti juga memberikan kesempatan kepada masyarakat luas
2
untuk
menikmati
dan
mengapresiasi
sumberdaya
arkeologi
tersebut
(Cleere,1989:13). Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir di Eropa dan di banyak negara ada paradigma baru, yaitu perjalanan religius dikemas dalam suatu paket wisata religi. Wisata religi ini dilakukan dengan mengunjungi situs dan bangunan sakral kuna seperti masjid, gereja, pura, makam orang suci atau tokoh keagamaan, dan ke tempat sakral lainnya. Orang datang ke situs sakral tidak hanya bertujuan untuk melakukan ibadah, berziarah, atau meditasi semata, namun mereka dapat belajar tentang sejarah dan kepurbakalaan serta berwisata. Dengan demikian aktivitas beribadah, berziarah, belajar tentang sejarah dan kepurbakalaan pada situs sakral, serta berwisata dapat diklasifikasikan sebagai wisata religi (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan, 2006, II.2-4; Najib, 2008). Penganut berbagai agama di seluruh dunia menganggap penting suatu perjalanan mengunjungi tempat-tempat sakral tiap-tiap agamanya. Sebagai contoh, umat Nasrani menganggap perlu berkunjung ke Basilika Santo Petrus di Vatikan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja-Katholik-Roma).
Umat
Yahudi
mengunjungi Tembok Ratapan (http://ziarahisrael.blogspot.com/2009/11/tembokratapan.html). Umat Hindu di India melakukan perjalanan suci (tirthayatra) di Prayaga, Kashi, dan Gaya, sedangkan umat Hindu Dharma di Bali melakukan tirthayatra di pura-pura gunung dan laut (http://www.islaneaster.com). Umat Budha melakukan perjalanan untuk tapak tilas perjalanan Sang Budha menuju pencerahan,
yaitu
di
Lumbini,
Bodhgaya,
Sarnath,
dan
Kusinara
3
(http://www.religionfacts.com/buddism/places.htm).
Umat Islam yang sudah
mampu secara fisik dan ekonomi maka wajib hukumnya untuk melakukan perjalanan ke tanah suci Mekah dan Madinah di Arab Saudi sebagai salah satu rukun Islam yang disebut haji. Sebagian umat Islam juga mengunjungi makam nabi, aulia, para wali, ulama dan makam tokoh agama Islam lainnya. Mereka yang dimakamkan adalah orang-orang suci, terdekat, dan bahkan kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT), sehingga walaupun sudah wafat pun masih mempunyai kharisma dan masih dihormati. Umat Islam berziarah ke makam mereka untuk mendoakan serta sebagai bentuk rasa syukur atas ketauladanan dan jasa-jasanya dalam mengajarkan agama Islam (Adrisijanti, 2006:22-23). Bangsa Indonesia mempunyai banyak sumberdaya arkeologi masa Islam yang bersifat sakral seperti kompleks makam, masjid, petilasan dan tempat sakral lainnya yang digunakan sebagai destinasi wisata religi. Salah satu kabupaten di Jawa Timur yang cukup banyak mempunyai sumberdaya arkeologi masa Islam sebagai destinasi wisata religi adalah Kabupaten Gresik. Jika dilihat dari peta persebarannya, ada tiga kawasan di Kabupaten Gresik yang mempunyai sumberdaya arkeologi masa Islam sebagai destinasi wisata religi, yaitu kawasan cagar budaya Leran, kawasan cagar budaya Gresik Kota, dan kawasan cagar budaya Giri. Sesuai dengan definisi kawasan cagar budaya dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar, ketiga tempat tersebut disebut dengan
kawasan cagar budaya karena merupakan satuan
geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya
4
berdekatan dan/ atau memperlihatkan tata ruang yang khas. Sumberdaya arkeologi yang terdapat di ketiga kawasan yaitu: 1.
Kawasan
Leran, Kecamatan Manyar mempunyai sumberdaya arkeologi
berupa situs kompleks makam Fatimah Binti Maemun Bin Hibatallah sebagai sumberdaya arkeologi masa Islam tertua di Indonesia, yang dibuktikan dengan angka tahun 475 H atau 1082 M pada nisan makam Fatimah Binti Maemun Bin Hibatallah. 2.
Kawasan Gresik Kota mempunyai sumberdaya arkeologi berupa situs kompleks makam Syeikh Maulana Malik Ibrahim. Pada nsannya disebutkan tanggal, hari, bulan dan angka tahun wafatnya, yaitu hari Senin 12 Rabi’ul Awal tahun 822 Hijriah; situs kompleks makam bupati pertama Gresik yaitu Adipati Pusponegoro sebagai bupati Gresik pertama Bupati Gresik pertama tahun 1695 – 1730; dan situs makam tokoh penyebar agama Islam di Gresik yaitu Raden Santri.
3. Kawasan Giri di Kecamatan Kebomas yang dahulu merupakan kota pusat pemerintahan Giri, tempat tinggal raja, dan pusat pendidikan agama Islam awal di Jawa, mempunyai sumberdaya arkeologi
yaitu
situs kompleks
Masjid Besar Ainul Yaqin Sunan Giri dan makam Sunan Giri (24 Rabiul Awwal 913 H = 1428 S = 1506 M) di Dusun Girigajah, situs kompleks makam Sunan Prapen (1548-1605 M) dan situs Makam Resboyo di Dusun Klangonan, situs kompleks makam Adipati Tanggungboyo di Dusun Karangsono, situs makam Putri Campa di Dusun Kepandean, dan Situs Giri
5
Kedaton (tahun 1408 S atau 1486 M) di Dusun Kedaton yang dahulu sebagai pesantren dan pusat pemerintahan Giri. Salah satu dari ketiga kawasan cagar budaya tersebut di atas yaitu kawasan Giri, merupakan lokasi penelitian. Kawasan Giri dipilih menjadi lokasi penelitian karena kawasan ini merupakan kawasan dengan beberapa sumberdaya arkeologi yang mempunyai nilai penting tinggi. Kawasan Giri dengan sumberdaya arkeologi terlu perlu dikelola dengan benar guna kelestarian dan pemanfaatannya. Adapun yang menjadi objek penelitian adalah tiga kawasan
sumberdaya arkeologi di
Giri, yaitu situs kompleks dan makam Sunan Giri, situs kompleks
makam Sunan Prapen, dan Situs Giri Kedaton. Sumberdaya arkelogi di kawasan Giri tersebut dipilih sebagai objek penelitian karena: pertama, karakteristik sumberdaya arkeologi di kawasan Giri merupakan situs dan benda cagar budaya bersifat sakral yang mempunyai potensi besar untuk destinasi wisata religi, namun kendala yang ada saat ini belum dikelola dengan benar; kedua, ketiga situs arkeologi tersebut dapat digunakan sebagai model pengelolaan sumberdaya arkeologi sakral dan living monument sebagai destinasi wisata religi. Peta persebaran situs arkeologi di Kabupaten Gresik dan peta lokasi penelitian adalah sebagai berikut:
6
Peta 1. Persebaran situs arkeologi di Kabupaten Gresik.
7
Peta 2. Lokasi penelitian yaitu di kawasan Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik.
8
1.2. Permasalahan Pengelolaan sumberdaya arkeologi di kawasan Giri selama ini masih terpusat pada kompleks dan makam Sunan Giri, sehingga secara umum orang hanya mengetahui bahwa sumberdaya arkeologi di Giri untuk destinasi wisata hanyalah kompleks dan makam Sunan Giri saja. Namun demikian, masih ada sumberdaya arkeologi lain yaitu kompleks makam Sunan Prapen dan Situs Giri Kedaton yang tidak kalah nilai pentingnya. Sumberdaya arkeologi dalam satu kawasan
yang masing-masing mempunyai nilai penting tersebut harus dikelola
dengan benar, serta dilandasi oleh prinsip “peddle or perish”, artinya pelestarian terselenggara secara optimal apabila sumberdaya arkeologi yang bersangkutan memiliki nilai penting yang signifikan (Koestoro,1996:2). Pengelolaan sumberdaya arkeologi di kawasan Giri yang tidak benar tersebut terlihat dari belum adanya penataan ruang atau zonasi. Bangunan baru baik permanen maupun semi permanen seperti perkantoran, menara pemancar telepon seluler, dan kios cindera mata didirikan di zona inti yaitu area perlindungan utama untuk menjaga bagian terpenting Cagar Budaya; dan di zona penyangga yaitu area yang melindungi zona inti.
Foto 1. Menara pemancar telepon seluler didirikan di belakang cungkup makam Sunan Giri. (Dokumentasi: Ichwan, 2011)
9
Foto 2. Gapura Naga di kompleks makam Sunan Giri dipakai untuk menggantung dagangan cindera mata Dokumen foto: Ichwan, 2011.
Foto 3. Bangunan masjid baru didirikan di atas teras berundak Situs Giri Kedaton. Dokumen foto: Ichwan, 2011.
10
Pengaturan destinasi wisata dan jumlah pengunjung juga belum dikelola dengan baik. Kunjungan masyarakat dan wisatawan yang hanya ke kompleks makam Sunan Giri telah membawa dampak yang kurang baik. Dari sisi pelestarian, wisatawan yang melebihi kapasitas menyebabkan kerusakan terhadap sumberdaya arkeologi. Jumlah wisatawan yang terlalu berlebihan pada kompleks makam Sunan Giri telah mengurangi kenyamanan berwisata dan kekhusyukan kegiatan religiusnya. Latar belakang permasalahan tersebut di atas sangat menarik untuk diteliti dalam sebuah tesis. Adapun permasalahan yang akan dikaji adalah : 1. Nilai penting apa saja yang terdapat pada sumberdaya arkeologi di kawasan Giri? 2. Bagaimana pengelolaan sumberdaya arkeologi di kawasan Giri sebagai destinasi wisata religi yang sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: A. Mengidentifikasi nilai penting yang dikandung oleh sumberdaya arkeologi di kawasan Giri. Hasil identifikasi nilai penting akan digunakan dalam pembobotan nilai penting dan strategi dalam pengelolaan. B. Memberikan solusi kepada stakeholder dalam mengelola sumberdaya arkeologi di kawasan Giri untuk destinasi wisata religi yang sesuai dengan
11
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya sehingga dapat menjadi model pengelolaan wisata religi.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan membawa manfaat untuk: A. Kalangan akademik Kajian mengenai pengelolaan sumberdaya arkeologi untuk destinasi wisata religi diharapkan dapat memajukan ilmu pengetahuan dan pendidikan di bidang sejarah, kepurbakalaan, dan kepariwisataan guna pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan. B. Pengelola sumberdaya arkeologi di kawasan Giri Bentuk dan konsep pengelolaan sumberdaya arkeologi untuk destinasi wisata religi ini diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu model pengelolaan oleh pengelola baik pemerintah dan masyarakat di Giri, Gresik. C. Masyarakat a.
Masyarakat lokal Masyarakat
lokal
di
kawasan
Giri
dapat
berpartisipasi
dalam
melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya arkeologi untuk kegiatan religius dan meningkatkan kesejahteraan hidup. b.
Wisatawan Wisatawan yang berkunjung ke kawasan Giri dapat menikmati sumberdaya arkeologi yang telah dikelola dengan benar.
12
1.5. Tinjauan Pustaka Giri berperan sebagai pusat pendidikan religius Islam pada abad 15-17 M (Adrisijanti, 1980). Nurhadi (1982) menulis bahwa Giri merupakan sebuah kota pusat pemerintahan dan administrasi, serta tempat tinggal raja. Pemukiman Giri dapat direkontruksi dari nama desa lama (toponim) yang menunjukkan tempat pemukiman berdasarkan status sosial, profesi, dan pembatasan wilayah. Toponim yang menunjukkan pemukiman kelompok masyarakat atas dasar status sosialnya, misalnya: Kedaton, Punggawan, Kemodinan. Toponim yang menunjukkan pemukiman kelompok masyarakat atas dasar profesi, misalnya: Kepandeyan, Kajen, Jraganan. Toponim yang menunjukkan suatu pembatasan wilayah tertentu, misalnya:
Kebonan,
Kebondalem,
Alun-alun,
Pasargede,
Telogojero,
Tambakboyo Perkembangan kota Giri selanjutnya mengalami
pasang surut dan
perubahan pola tata kota karena dipengaruhi oleh kaum agamawan, politik pemerintahan, hingga para pedagang. Masa awal Giri sebagai sebuah kota sangat dipengaruhi oleh konsep keagamaan. Pemukiman berorientasi pada kedaton sebagai pusat pemerintahan, tempat tinggal raja, tempat tinggal Sunan Giri, dan pusat pendidikan agama Islam. Nama-nama dusun di sekitar Giri Kedaton hingga saat menggunakan nama kuno, seperti Kedaton, Punggawan, Kemodinan, Kebonan, Kebondalem, Alun-alun, Pasargede, Telogojero, Tambakboyo. Pada perkembangan selanjutnya tata kota Giri sangat dipengaruhi oleh tokoh pemerintahan dan para pedagang yang telah mengganti kekuatan tokoh agama dan
13
pemerintahan. Pemukiman Giri berorientasi di Girigajah dan Klangonan (Manoppo, 1988). Sunan Giri sangat berperan besar dalam menyebarkan agama Islam dan pemerintahan dengan mendirikan pesantren dan pusat pemerintahan di Giri Kedaton. Dari Giri Kedaton inilah Sunan Giri mempunyai pengaruh cukup besar baik di Jawa maupun luar Jawa. Terbukti banyak kerajaan menjalin hubungan dengan Giri dan para santri dari berbagai daerah di Nusantara seperti Madura, Banjarmasin, Ternate, Tidore, Makassar, Bima datang ke Giri untuk belajar agama Islam. Giri sebagai pusat pemerintahan berakhir pada tahun 1680 M karena dikalahkan oleh Amangkurat II dari kerajaan Mataram di Jawa Tengah yang bekerjasama dengan Belanda (Graaf, 1986; Hajar, 1995). Giri sebagai bekas kota pusat pemerintahan dan pusat pendidikan agama Islam pada abad 15-17 M meninggalkan sumberdaya arkeologi, seperti kompleks makam Sunan Giri, Situs Giri Kedaton, kompleks makam Sunan Prapen, makam Putri Campa, dan makam Tanggungboyo. Masjid Besar Ainul Yaqin Sunan Giri terletak sekitar 30 meter di sebelah timur halaman utama makam Sunan Giri. Masjid Besar Ainul Yaqin Sunan Giri sekarang ini merupakan hasil perbaikan dari Masjid Sunan Giri lama yang dilakukan oleh Sunan Prapen pada tahun 1544 M (Mustopo, 2001). Hartono (1990) menyebutkan
bahwa pendirian makam
Sunan Prapen yang lokasinya masih dekat dengan Sunan Giri, adalah upaya menyamakan kedudukannya sejajar dengan Sunan Giri sebagai tokoh yang berpengaruh baik di bidang keagamaan dan bidang pemerintahan.
14
Triharyantoro selama tiga tahun (2002-2005) telah memimpin penggalian arkeologi dan pemugaran bangunan bekas kedaton dan pesantren Sunan Giri di Situs Giri Kedaton. Fajariyatno (2006) menegaskan bahwa halaman Situs Giri Kedaton dibuat berundak-undak atau berteras-teras. Bagian puncak merupakan pusat orientasi. Tata ruang Situs Giri Kedaton dilatarbelakangi oleh faktor alam yang berkontur lereng, pengaruh tradisi pra Islam, dan faktor fungsional. Gresik sebagai kota pelabuhan telah hadir sekurang-kurangnya sejak abad XIII M, karena letaknya yang strategis maka saat ini pembangunan berkembang
pesat
seiring
dengan
intensitas
pengembangan
wilayah
Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan). Menurut Koestoro (1995) peningkatan intensitas pembangunan fisik di Gresik menghadirkan dampak interaksi terhadap sumberdaya arkeologi, di satu sisi berdampak positif untuk pemanfaatannya, sedangkan di sisi lain berdampak negatif terhadap pelestariannya. Di dalam karya ilmiah yang telah disebutkan di atas belum ada yang mengkaji mengenai pengelolaan sumberdaya arkeologi di kawasan cagar budaya Giri secara komprehensif. Oleh karena itu tema ini cukup penting untuk diteliti dalam sebuah tesis.
1.6. Kerangka Pemikiran Sumberdaya arkeologi harus dikelola dengan benar, menurut UndangUndang republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sumberdaya arkeologi mempunyai karakter khusus yaitu sebagai sumberdaya
15
yang tidak dapat dibuat, diperbaharui, dan diperjualbelikan. Tiga karakter sumberdaya arkeologi yang tidak dimiliki oleh sumberdaya lain yaitu: 1.
Sumberdaya arkeologi sebagai objek penelitian ilmiah, untuk itu perlu penerapan teori dan metode sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penelitian ilmiah tersebut tidak terbatas pada ilmu arkeologi, tetapi juga dari disiplin ilmu lain, seperti teknik arsitektur, teknik sipil, teknik geologi, kimia, biologi, pariwisata, dan sebagainya.
2.
Sumberdaya arkeologi secara fisik mempunyai ciri-ciri seperti langka, rapuh, dan mudah rusak, oleh karenanya memerlukan perhatian khusus seperti perawatan baik dengan metode konservasi maupun preservasi.
3.
Sumberdaya arkeologi merupakan bagian dari jaringan konteks informasi, sehingga dalam pengelolaannya akan melibatkan institusi terkait dan masyarakat (Kasnowihardjo. 2001:61). Sumberdaya arkeologi mempunyai
potensi internal dan eksternal.
Potensi internalnya yaitu sumberdaya arkeologi dapat dikaji dari beberapa sisi seperti arsitektural, historis, geografis, geologis, dan dari disiplin ilmu lain. Potensi lainnya adalah sebagai bukti sejarah, untuk pengembangan ilmu pengetahuan, inspirasi kreatifitas, media pendidikan, simbolis, filosofis, keagamaan, sebagai alat pemersatu
masyarakat dan bangsa dalam upaya
ketahanan nasional, serta untuk kesejahteraan masyarakat. eksternal sumberdaya arkeologi
yaitu sebagai sumberdaya
dimanfaatkan oleh sektor-sektor lain 2001:14-18; 2004:26).
Adapun potensi yang dapat
(Schiffer, 1977:45-46; Kasnowihardjo,
16
Hakekat pengelolaan sumberdaya arkeologi baik pelestarian dan pemanfaatan tidak semata-mata mengelola wujud bendawinya, tetapi yang tidak kalah penting adalah mempertahankan nilai-nilai penting yang terkandung di dalamnya. Usaha menentukan sumberdaya arkeologi itu perlu dikelola atau tidak maka harus dilakukan kajian nilai penting (significance assesement). Kesimpulan kajian nilai penting disebut dengan pernyataan nilai penting (significance statement). Pernyataan nilai penting inilah yang nantinya akan dipakai untuk menentukan bentuk dan cara pengelolaan. Kriteria nilai penting yang dikandung sumberdaya arkeologi merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya yang disempurnakan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yaitu nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (Tanudirjo, 2004:6-9). Pengelolaan sumberdaya arkeologi menurut Fowler yang dikutip oleh Kasnowihardjo (2001) meliputi lima pilar atau unsur manajemen yang harus ditegakkan sehingga visi dan misi manajemen akan jelas dan terwujud, yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing), pelaksanaan (actuating), dan pengontrolan (controlling). Manajemen sumberdaya arkeologi tersebut dapat digambar dalam bentuk diagram sebagai berikut:
17
VISI MANAJEMEN SUMBERDAYA ARKEOLOGI
P E R E N C A N A A N
P E N G O R G A N I S A S I A N
P E N G A R A H A N
P E L A K S A N A A N
P E N G O N T R O L A N
MISI MANAJEMEN SUMBERDAYA ARKEOLOGI
HASIL
Bagan 1 : Visi dan misi manajemen sumberdaya arkeologi. Sumber: Kasnowihardjo (2001:63) dengan modifikasi. Pengelolaan sumberdaya arkeologi harus mempunyai konsep dan strategi guna dapat mewujudkan visi dan misi pengelolaan sumberdaya tersebut. Konsep pengelolaan sumberdaya arkeologi menurut Pearson dan Sullivan yaitu: 1. Identifikasi dan dokumentasi sumberdaya baik sumberdaya arkeologi maupun kawasannya. 2. Penilaian nilai penting. 3. Perencanaan dan pembuatan keputusan berdasarkan nilai penting, peluang dan hambatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi.
18
4. Implementasi dari perencanaan dan kebijakan, dan 5. Evaluasi dan pengawasan. Kelima langkah tersebut harus melibatkan masyarakat (Pearson dan Sullivan, 1995: 8-9) Pengelolaan sumberdaya arkeologi di kawasan Giri dalam penelitian ini merujuk pada konsep yang ditawarkan oleh Pearson dan Sullivan yang disesuaikan dengan tema penelitian yaitu pengelolaan sumberdaya arkeologi untuk destinasi
wisata religi. Sesuai dengan potensi eksternal yaitu sebagai
sumberdaya arkeologi yang dapat dimanfaatkan sektor lain, maka salah satunya adalah dimanfaatkan sebagai destinasi
wisata. Pemanfaatan sumberdaya
arkeologi sebagai destinasi wisata tentunya harus memprioritaskan konsep pelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan (sustainable tourism), yaitu pengelolaan sumberdaya arkeologi dan alam yang terpelihara dengan baik dapat menciptakan nilai tambah yang bermanfaat bagi masyarakat (Ardiwidjaja, 2005:78). Sumberdaya arkeologi di budaya Giri seperti kompleks dan makam Sunan Giri, kompleks makam Sunan Prapen, dan Situs Giri Kedaton merupakan sumberdaya arkeologi yang bersifat sakral dan masih difungsikan untuk kegiatan keagamaan hingga sekarang (living monument). Sesuai dengan karakteristik sumberdaya arkeologi yang bersifat sakral tersebut, maka salah satunya dapat dimanfaatkan untuk destinasi wisata religi. Konsep baru dalam kepariwisataan saat ini yaitu sumberdaya arkeologi yang bersifat sakral seperti masjid, makam, gereja, pura, kuil, dan tempat-tempat
19
sakral lainnya dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata khususnya wisata religi. Dasar pengembangan wisata religi berbasis potensi sumberdaya arkeologi untuk keagamaan adalah Mufakat Pariwisata 21 antara Departeman Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Perwalian Umat Budha Indonesia (WALUBI), Dharma Wanita Pusat, Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) tentang “Pembinaan dan pengembangan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan kepariwisataan Indonesia yang berwawaskan keagamaan” (Sudiono, 2001:14). Konsep pengelolaan sumberdaya arkeologi khususnya situs sakral untuk destinasi wisata religi yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pengembangan Produk Wisata Tahun 2001 menyangkut beberapa aspek, yaitu : 1. Kedalaman interpretasi, yaitu para wisatawan dapat menginterpretasikan sejarah, kepurbakalaan, kekhusyukan beribadah, dan pengalaman berwisata. 2. Penataan ruang dilakukan dengan pemintakatan (zonasi) untuk kepentingan pelestarian dan untuk kegiatan peribadatan. a. Zonasi untuk kepentingan pelestarian mengacu pada Pasal 23
ayat (3)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya
(Dirjen Pengembangan Produk Wisata,
2001:24-25) yang sekarang telah disempurnakan dengan Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
20
Budaya, yaitu zonasi situs terdiri dari zona inti, zona penyangga, zona pengembangan, dan zona penunjang. a)
Zona inti adalah area perlindungan utama untuk menjaga bagian terpenting Cagar Budaya.
b) Zona penyangga adalah arena yang melindungi zona inti. c)
Zona
pengembangan
adalah
arena
yang
diperuntukkan
bagi
pengembangan potensi Cagar Budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan, lanskap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, dan kepariwisataan. d) Zona penunjang adalah area yang diperuntukkan bagi sarana dan prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum. b. Zonasi untuk kegiatan peribadatan terdiri dari
zona peribadatan, zona
transisi, dan zona sosial. a)
Zona peribadatan adalah zona yang menggambarkan fungsi utama dari tempat peribadatan, yakni ruang khusus tempat ibadah yang tidak boleh digunakan sebagai lokasi untuk istirahat semata.
b) Zona transisi adalah zona untuk istirahat, berkumpul dan menyerahkan diri kepada Sang Pencipta dan setelah keluar dari zona peribadatan masih diuji keimanannya. c)
Zona sosial adalah zona setiap orang boleh bercengkerama dan bersenda gurau, biasanya tempat ini dilengkapi dengan nuansa rekreasi.
3.
Pengendalian dampak negatif dari pemanfaatan sumberdaya arkeologi sebagai destinasi wisata religi.
21
4.
Manajemen kunjungan (visitor management)
dapat dilakukan dengan
penghitungan daya dukung fisik destinasi wisata terhadap jumlah wisatawan (physical carring capacity/ PCC) dan diversifikasi destinasi wisata. 5.
Pemberdayaan masyarakat.
6.
Wisata religi dipahami sebagai supply (produk wisata) dan demand (wisatawan) maka diperlukan promosi dan pemasaran (Sudiono, 2001:2238). Panduan pengelolaan sumberdaya arkeologi sebagai destinasi wisata
religi yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pengembangan Produk Pariwisata, Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata di atas senada dengan pendapat Shackly (2001), bahwa pengelolaan situs sakral untuk destinasi wisata religi harus memperhatikan ketentuan pengelolaan dan kualitas pengalaman wisata. Adapun ketentuan-ketentuan pengelolaan sumberdaya arkeologi sebagai destinasi wisata religi menurut Shackley adalah sebagai berikut: 1.
Pengalaman wisata.
2.
Pengendalian dampak negatif wisata seperti kemunduran kualitas, kerusakan, kehancuran, pencurian, vandalisme dan lainnya.
3.
Pengontrolan kapasitas kunjungan dilakukan dengan pengontrolan
daya
dukung fisik destinasi wisata terhadap jumlah wisatawan (physical carrying capacity/ PCC), dan diversifikasi destinasi wisata. 4.
Pengelolaan situs sakral dari tahap perencanaan hingga pengawasan harus melibatkan masyarakat lokal.
22
5.
Pengembangan dan pemanfaatan situs sakral dapat dilakukan dengan promosi, pemasaran, penyelenggaraan festival dan even. Pengelolaan sumberdaya arkeologi sebagai destinasi wisata didukung
pula dengan peraturan dan perundang-undangan, yaitu: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Undang-Undang ini mengatur tentang kepemilikan dan penguasaan, penemuan dan pencarian, register nasional, pelestarian, tugas dan wewenang, pengawasan
dan
penyidikan.
Dalam
kaitannya
dengan
pemanfaatan
sumberdaya arkeologi, pada Pasal 85 ayat 1 disebutkan: Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.
Undang-Undang
ini
mengatur
tentang
prinsip
penyelenggaraan kepariwisataan, pembangunan kepariwisataan, kawasan strategis, usaha pariwisata, hak, kewajiban dan larangan, kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, koordinasi, ketentuan pidana, dan ketentuan lainnya yang berhubungan dengan kepariwisataan di Indonesia. 3. Piagam Burra (The Australia ICOMOS Charter for the Consevation of Place of Cultural Significance/ The Burra Charter). Piagam ini memberikan panduan untuk konservasi dan pengelolaan tempat-tempat yang mempunyai signifikansi budaya atau warisan budaya, memberikan standar pelaksanaan bagi pihakpihak yang memberikan saran, membuat keputusan, atau menangani pekerjaan
23
pada tempat-tempat bersignifikansi budaya, termasuk pemilik, pengelola, dan pengawas (http://www.icomos.org/australia).
1.7. Metode Penelitian Proses penelitian dapat dibagi menjadi beberapa tahap yang meliputi tahap
penentuan lokasi dan objek penelitian, pengumpulan, pengolahan dan
analisis data, serta sintesis. A. Penentuan Lokasi dan Objek Penelitian Alasan pemilihan lokasi dan objek penelitian adalah: pertama, karakteristik sumberdaya arkeologi di kawasan Giri adalah situs sakral yang mempunyai potensi besar untuk destinasi wisata religi, namun saat ini belum dikelola dengan benar; kedua, ketiga situs arkeologi tersebut dapat digunakan sebagai model pengelolaan sumberdaya arkeologi untuk destinasi wisata religi. B. Pengumpulan Data Proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Persiapan pengumpulan data diawali dengan pengurusan perijinan penelitian kepada pihak pengelola sumberdaya arkeologi di kawasan Giri. 2. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi pustaka. a. Observasi dilakukan dengan pengamatan langsung di lokasi objek penelitian guna pendeskripsian, mengetahui kondisi riil, persepsi stakeholder, dan pengelolaan sumberdaya arkeologi di kawasan Giri
24
saat ini. Observasi
dilaksanakan dari tanggal 29 November 2011
sampai dengan 5 Desember 2011 serta didukung pengalaman empiris peneliti ketika bertugas selama lima tahun (202-2005) di kawasan Giri. b. Studi pustaka dilakukan pada buku, jurnal, laporan ilmiah, peta, dan website di internet yang sesuai dengan tema penelitian. c. Wawancara dilakukan secara bebas, terbuka, dan berstruktur kepada stakeholder dengan teknik bola salju guna mengetahui persepsi stakeholder, seperti pemerintah, kalangan akademik, dan masyarakat. Nama-nama narasumber dapat dilihat pada Lampiran 2. 3. Jenis data dalam penelitian ini terdiri data utama dan data pendukung. a. Data utama atau data primer adalah sumber data yang langsung didapatkan oleh peneliti dari hasil observasi dan wawancara. Data utama dari penelitian ini adalah: a) Data kondisi riil dan eksisting. b) Data tanggapan stakeholder yang terdiri dari pemerintah, kalangan akademik, dan masyarakat. b. Data Pendukung atau data sekunder adalah data yang tidak langsung didapatkan di lapangan. Data pendukung didapatkan dari artikel, buku, laporan ilmiah, peta, website/ internet yang sesuai dengan tema penelitian.
25
C. Penalaran Penelitian Penalaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah penalaran induktif, yaitu penalaran yang bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejalagejala khusus untuk kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empiris. Dalam penalaran induktif ini konsep dan definisi operasional dipakai sebagai pengarah dalam penelitian (Tanudirjo, 1988: 34). Fakta-fakta dan gejala-gejala bersifat khusus yang terdapat pada sumberdaya arkeologi di kawasan
cagar budaya Giri akan disimpulkan
secara umum atau generalisasi empiris. Selanjutnya, konsep atau definisi operasional pengelolaan sumberdaya arkeologi untuk destinasi wisata religi dipakai sebagai pengarah dalam penelitian. Hasil penelitian ini diharapkan akan menghasilkan model pengelolaan sumberdaya arkeologi di kawasan Giri untuk destinasi wisata religi dengan benar. D. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif dan kuantitatif. a. Analisis kualitatif yaitu analisis yang tidak menerapkan lambang-lambang angka untuk pengukuran-pengukuran fakta atau gejala yang ada. Teknik ini semata-mata mendasarkan atas asumsi mutu data yang akan dianalisis (Tanudirjo, 1988:33). Analisis kualitatif dalam penelitian ini dilakukan untuk: 1. Pendugaan nilai penting Pendugaan nilai penting (significance assessment) dilakukan untuk
26
mengetahui kandungan nilai penting pada objek penelitian. Pendugaan nilai penting merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Beberapa kriteria yang dipakai sebagai tolok ukur dalam penelitian adalah nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan agama. Pernyataan nilai penting (significance statement) dijadikan dasar untuk merancang pengelolaan sumberdaya arkeologi di kawasan Giri. 2. Analisis SWOT Analisis SWOT dilakukan untuk
mengetahui kemampuan dan
kelemahan, peluang, dan hambatan dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi. Dua faktor utama dalam analisis ini, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang dimiliki sumberdaya arkeologi di kawasan kelemahan (weakness).
Giri akan menghasilkan kekuatan (stength) dan Faktor eksternal
adalah faktor yang tidak
dimiliki oleh sumberdaya arkeologi karena berada di luar dan dimiliki oleh korporasi sistem lain
serta akan memberikan peluang
(oppurtunities) dan hambatan (threats). Analisis ini memberikan suatu pandangan dasar tentang strategi dan taktik yang diperlukan dalam rangka pengelolaan sumberdaya arkeologi di kawasan Giri untuk destinasi wisata religi. 3. Analisis pemetaan potensi konflik Pemetaan potensi konflik dilakukan dengan menggunakan analisis bawang Bombay. Analisis bawang Bombay digunakan untuk penelitian
27
dalam kegiatan resolusi potensi konflik, sebagai salah satu instrumen untuk memahami berbagai posisi, kepentingan, kebutuhan beberapa pihak yang terkait, mencari titik kesamaan, dan selanjutnya digunakan sebagai bahan dalam pembahasan (Fisher, 2001). b. Analisis kuantitatif yaitu analisis yang menggunakan lambang-lambang angka. Analisis kuantitatif
dalam penelitian ini berkenaan dengan
penghitungan jumlah wisatawan terhadap daya dukung fisik atau physical carring capacity (PCC) sumberdaya arkeologi sebagai objek wisata dan kepuasan psikologis dalam berwisata (Setyastuti, 2010:36-37). Guna mengukur tingkat pengetahuan wisata terhadap sejarah cagar budaya, kekhusyukan beribadah, dan kenyamanan berwisata maka dilakukan penyebaran kuesioner. Lokasi penyebaran kuesioner di tiga situs, yakni kompleks makam Sunan Giri, kompleks makam Sunan Prapen, dan Ssitus Giri Kedaton. Karena lokasi penyebaran kuesioner di tiga situs, maka metode sampling yang digunakan adalah sampling menurut area/ kluster atau area/ cluster sampling. Jumlah sampel atau responden di tiap situs sebanyak 100 wisatawan. Jumlah sampel ini dimaksudkan agar didapatkan keakuratan data (Nasution, 2009:94-95). Populasi yang digunakan adalah jumlah kunjungan wisatawan pada bulan November 2011 pada ketiga situs tersebut, yaitu: kompleks makam Sunan Giri : 84.993 wisatawan; kompleks makam Sunan Prapen : 1.124. wisatawan; dan Situs Giri Kedaton : 483 wisatawan (BPCB Mojokerto, 2011).
28
Mengingat kebanyakan wisatawan religi berusia dewasa, maka target grup responden adalah wisatawan berusia dewasa baik laki-laki dan perempuan. Desain dan materi kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 4. E. Sintesa untuk menentukan rekomendasi model pengelolaan dan sumberdaya arkeologi untuk wisata religi Pengelolaan sumberdaya arkeologi di kawasan Giri tidak terlepas dengan peran aktif masyarakat lokal mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengawasan baik secara formal maupun tidak formal. Analisis yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai dasar pijakan dalam melakukan pengelolaan sumberdaya arkeologi untuk wisata religi sesuai dengan prinsipprinsip konservasi yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, Piagam Burra, dan Panduan Pengelolaan Wisata Religi dari Direktorat Jenderal Pariwisata tahun 2001 dan 2006. Secara sederhana tahapan dalam proses penelitian di atas dapat dilihat pada bagan nomor 2.
29
Isu permasalahan
Penentuan permasalahan, tujuan, kerangka pemikiran
Pengumpulan Data Identifikasi sumberdaya arkeologi di kawasan Giri
Pengelolaan sumberdaya arkeologi di kawasan Giri saat ini.
Analisis Nilai penting SWOT Pemetaan potensi konflik
Evaluasi dan rumusan pengelolaan sumberdaya arkeologi di kawasan Giri
Hasil Penelitian Usulan pengelolaan sumberdaya arkeologi di kawasan Giri sebagai destinasi wisata religi yang sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
Bagan 2. Proses penelitian.