BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kran demokrasi terbuka lebar pasca reformasi 1998. Seiring itu pula tidak sedikit orang berpartisipasi dalam mengisi agenda reformasi, salah satunya ialah ikut serta dalam percaturan politik praktis. Sejak pertama kali Pemilu (pemilihan umum) digelar pasca reformasi pada 1999 trah kiai atau dari unsur pemuka agama Islam semakin menampakkan taringnya dalam pertarungan merebut kekuasaan. Tidak hanya di level pusat, di daerah pun tidak sedikit kiai atau dari unsur trah kiai ikut serta berpartisipasi dalam pemilu, baik menduduki jabatan di eksekutif atau legislatif. Kenyataan semacam itu juga terjadi di Madura. Masyarakat Madura mayoritas beragama Islam. Basis ke-Islam-an masyarakat Madura mayoritas berafiliasi pada golongan tradisionalis (baca: NU). Kenyataan itu juga mengambarkan afiliasi pilihan politiknya. Sehingga peranan kiai dalam kancah politik praktis juga sangat besar. Acapkali masyarakat Madura melabuhkan pilihan politiknya sesuai dengan apa yang dititahkan oleh kiai atau tokoh masyarakat setempat. Bagi kebanyakan masyarakat Madura kedudukan kiai sangat tinggi dibanding masyarakat biasa. Hal ini terlihat dari adagium lokal; Bhuppa‟ Bhappu‟‟, Ghuru, Rato (Bapak-Ibu, Guru, dan Pemerintah). Adagium tersebut menjadi struktur (urutan) sosial sikap penghormatan warga di dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Kepercayaan dan ketaatan warga pada
1
agama memiliki garis koherensinya pada ketaatan dan penghormatan kepada sosok kiai (Rozaki, 2004: 87-97). Adagium tersebut tidak hanya termanifestasi dalam kehidupan sosialkemasyarakatan, dalam kehidupan politik pun tidak sedikit masyarakat Madura yang mengkiblatkan pilihannya kepada kiai atau pilihan kiai. Beberapa kali Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) di empat Kabupaten di Madura misalnya, posisi kiai menjadi penting dan sangat diperhatikan. Kepala daerah yang terpilih pasca reformasi menempatkan kiai di posisi penting. Tiga dari empat kepala daerah masing-masing berangkat dari trah kiai atau memiliki hubungan kekerabatan dengan sosok kiai. Sebagai referensi sebut saja misalnya Bupati Bangkalan periode 20132018 dipimpin oleh trah kiai, K. Makmun Ibnu Fuad, yang kebetulan juga putra mahkota bupati sebelumnya yakni KH. R. Fuad Amin Imron. Di Kabupaten Sampang kurang lebih sama, Bupati Sampang periode 2013-2018 juga dipimpin oleh trah kiai, KH. Fannan Hasib. Sementara di Kabupaten Sumenep periode 2010-2015 juga dipimpin oleh salah seorang kiai berpengaruh, KH. A. Busyro Karim. Namun demikian, realitas kepemimpinan daerah yang mayoritas dipimpin oleh kiai atau trah kiai terbantahkan pada Pemilukada di Kabupaten Pamekasan. Pada pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Pamekasan periode 2013-2018
dimenangkan
oleh
Achmad
Syafi‘i.
Pemilukada
yang
dilaksanakan pada 9 Januari 2013 lalu ini menjadi semacam momentum
2
pudarnya kharisma kiai yang selama ini dikenal mempunyai pengaruh kuat dalam masyarakat (khususnya di Madura). Pemilukada Pamekasan yang dilaksanakan pada 9 Januari 2013 lalu mempertarungkan tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati. Masingmasing pasangan tersebut adalah Al-Anwari-Kholil (AHOK) dengan nomor urut 1, KH. Kholilurrahman-Masduki (KOMPAK) dengan nomor urut 2, dan pasangan Achmad Syafi‘i-Kholil Asy‘ari (ASRI) dengan nomor urut 3. Pada pelaksanaan Pemilukada tersebut pasangan nomor urut tiga, Achmad Syafi‘iKholil Asy‘ari (ASRI), dinyatakan memenangkan pertarungan. Pasangan ASRI menang dengan keunggulan suara kurang lebih 45 ribu suara dari pesaing terdekatnya yakni pasangan KOMPAK. Adapun hasil rekapitulasi suara secara keseluruhan, pasangan nomor urut satu Al Anwari-Holil (AHOK) mendapat 6,905 suara (1,49 persen), nomor urut dua KH. Khalilurrahman-Moh Masduki (KOMPAK) memperoleh 205.902 suara (44,45 persen) dan sebanyak 250.336 suara (54,51 persen) diperoleh pasangan nomor urut tiga ASRI (Dokumen Tim Kampanye KOMPAK, 2013). Keunggulan pasangan ASRI atas pasangan KOMPAK menjadi sorotan berbagai pihak. Seakan-akan adagium ‗kiai sebagai sosok panutan dan diikuti‘ terbantahkan. Sebagaimana diketahui publik bahwa calon bupati dari pasangan ASRI merupakan masyarakat biasa tanpa identitas kiai. Sebaliknya pasangan lain, terlebih pasangan nomor urut dua (KOMPAK) merupakan petahana dan calon dari trah kiai. Lebih menarik lagi bila ditelisik lebih jauh
3
Ach. Syafi‘i sebagai calon bupati dari pasangan ASRI merupakan salah satu santri dari keluarga KH. Khalilurrahman. Di sinilah menariknya pertarungan Pemilukada di Kabupaten Pamekasan. Realitas demikian sedikit banyak dapat mengisyaratkan bahwa pertarungan kiai dan santri dalam dunia politik tidak melulu dimenangkan oleh kiai. Khususnya di Madura yang kehidupan kemasyarakatannya masih kental dengan pengaruh ‗sosok‘ kiai, kemenangan ASRI mengindikasikan bahwa trah kiai belumlah final. Bagaimanapun juga sosok kiai yang menjadi ‗landasan hidup‘ masyarakat Madura tidak selamanya memiliki korelasi positif terhadap elektabilitasnya dalam dunia politik. KH. Kholilurrahman sejatinya menjadi satu-satunya calon representasi dari kalangan (elit) kiai. Keluarga Kholilurrahman merupakan keluarga kiai. Dikatakan sebagai representasi politik kiai, karena Keh Kholil (panggilan sehari-hari KH. Kholilurrahman) merupakan pimpinan pondok pesantren Mastratul Huda di Pamekasan. Selain itu ia masih cucu kiai kharismatik asal Probolinggo, almarhum KH. Zaini Mun‘im (pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo). Sebagai sosok kiai yang mempunyai kharisma tentunya dapat memperoleh dukungan masyarakat lebih luas. Tidak hanya itu, sebagian besar kiai kharismatik di Pamekasan secara langsung maupun tidak mendukung pencalonan (kembali) KH. Kholilurrahman. Dari fakta di atas secara garis besar dapat ditarik benang merah bahwa pertarungan politik dalam merebut kekuasan di aras lokal yang melibatkan trah kiai dan santri bukanlah ‗pertarungan‘ biasa. Walaupun pada pemilukada
4
dipertarungkan tiga calon, namun yang lebih menonjol adalah pasangan KOMPAK dan ASRI. Mereka merupakan manifestasi dari tindakan politik masyarakat Pamekasan. Hal yang menjadi titik tolak dari pertarungan tersebut ialah gap (batasan) di mana sosok kiai yang didukung mayoritas kiai di Pamekasan kalah bertanding melawan sosok santri. Di sini tidak hanya membicangkan pengaruh, tapi juga bagaimana strategi politik santri dapat dipilih oleh masyarakat Pamekasan sebagai pemimpin pilihan mereka. Penting kiranya diketengahkan dalam latar belakang penelitian ini bahwa masyarakat Madura secara umum memiliki struktur sosial yang cukup berbeda dengan beberapa masyarakat di daerah manapun di Indonesia. Diakui ataupun tidak, struktur sosial masyarakat Madura hingga kini masih berpatron kepada sosok kiai. Kiai dalam pandangan struktur masyarakat Madura memiliki pengaruh luas dan dominan. Sebut saja misalnya, pemilihan kepala daerah di empat daerah di Madura didominasi oleh kalangan kiai. Pada kasus Pemilukada di Pamekasan secara tidak langsung telah mempresentasikan pertarungan patron dan klien yang sebelumnya memiliki relasi sosial ketergantungan dalam aras sosial-keagamaan, yakni pesantren. Representasi Achmad Syafi‘i sebagai bagian dari klien, telah menorehkan tinta emas perebutan kekuasaan mengalahkan KH. Kholilurrahman atau patron dari unsur kiai yang selama ini dianggap dominan. Di sinilah pentingnya penelitian ini, bagaimana pertarungan patron direpresentasikan oleh KH. Kholilurrahman dan klien dipresentasikan Achmad Syafi‘i
5
memperebutkan kekuasaan dalam kontestasi Pemilukada (pemilihan umum kepala daerah) di Kabupaten Pamekasan. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, setidaknya penulis dapat merumuskan masalah untuk penelitian lebih lanjut. Masalah utama dalam penelitian ini sebagai berikut: Apa makna pertarungan Kiai dan Santri dalam Pemilukada di Kabupaten Pamekasan tahun 2013? Berdasarkan pertanyaan utama ini, selanjutnya dijabarkan ke dalam pertanyaan empiris sebagai berikut: 1. Bagaimana proses pertarungan kiai dan santri dan apa motifnya? 2. Siapa saja basis massa pendukung kiai dan santri dan seperti apa pola mobililisasinya? 3. Bagaimana implikasi pertarungan tersebut terhadap pilihan politik rasional masyarakat Pamekasan? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengkaji lebih dalam tentang fenomena sosial politik yang muncul berkaitan dengan proses Pemilukada di Kabupaten Pamekasan tahun 2013. Dalam kaitan tersebut penting dianalisis sejauh mana proses pertarungan kiai dan santri, siapa saja basis massa pendukungnya, dan bagaimana implikasi pertarungan tersebut terhadap pilihan politik rasional masyarakat Pamekasan. Fokus tujuan penelitian ini terutama mencari makna proses pertarungan perebutan kekuasaan yang melibatkan elemen santri dan kiai.
6
D. Manfaat Penelitian Adapun hasil penelitian ini diharapkan: Menjadi sumbangan khazanah pemikiran bagi warga Pamekasan dan masyarakat secara luas dalam pemahaman mengenai Pemilukada. Secara praksis akan bermanfaat sebagai masukan agar dapat digunakan untuk pertimbangan oleh para pakar, dan para elite politik lokal dalam mengambil kebijakan. Untuk dimanfaatkan dalam kajian-kajian yang lebih spesifik dan belum terungkap dalam penelitian serupa. Secara teoritis dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam kajian pengetahuan khususnya Sosiologi (Politik). E. Tinjauan Pustaka Beberapa referensi di bawah ini ada kaitannya dengan topik persoalan kiai dalam politik. Abdur Rozaki dalam Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai Rezim Kembar di Madura (Pustaka Marwah: 2004). Dalam buku ini Rozaki mengurai relasi kuasa kiai dengan blater dari sisi sosio kultural dan ekonomi politik. Secara garis besar Rozaki menemukan relasi kuasa dalam sosial, ekonomi, dan politik di Madura. Bahwa dalam tatanan relasi kultural masyarakat Madura, elit kiai dan blater memiliki pengaruh kuat di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat Madura yang memiliki relasi kultural terbuka memandang dua sosok tersebut tidak hanya memiliki kedudukan tertinggi dalam struktur masyarakat, namun juga pilihan politik dan pengarusutamaan relasi ekonomi cenderung menempatkan dua
7
sosok tersebut sebagai ―penentu kebijakan‖ sosial masyarakat. Kasarnya ialah apa yang dilakukan kiai dan blater lebih banyak menjadi pertimbangan utama masyarakat dalam menentukan persoalan kehidupan sehari-hari. Namun demikian pada penelitian selanjutnya, Rozaki menemukan kajian lebih komprehensif perihal pilihan politik masyarakat Madura. Dalam Pemilu 2004 di Madura: Pertarungan Ideologi Politik Kiai, Kerabat, dan Uang (IRE Press: 2008), Rozaki menemukan bahwa seiring berjalannya waktu pergeseran pilihan politik masyarakat Madura tidak lagi bertumpu pada pengaruh sosok kiai atau blater yang kharismatik, juga terdapat faktor eksternal yang mempengaruhi. Dalam penelitian tersebut Rozaki menemukan bahwa ideologi politik kiai bukanlah satu-satunya faktor yang mendorong tindakan politik masyarakat Madura. Ada hal-hal lain seperti kekerabatan dan pragmatisme politik yang berbentuk politik uang. Walaupun hampir mirip dengan penelitian yang penulis lakukan, namun sudut pandang yang diketengahkan cukup jelas bagaimana relasi kuasa dibangun tidak hanya berkelindan pada sosok kiai, kekerabatan, atau uang sebagaimana diuraikan Rozaki dalam penelitiannya.
Terdapat
perbedaan
mencolok
yang
penulis
hendak
ketengahkan yang berbeda dengan penelitian Rozaki. Perbedaannya ialah relasi sosial saat ini sudah menempatkan kiai di posisi yang lain. Pergeseran nilai ini penulis coba ketengahkan sebagai kajian akademis. Dua tulisan Rozaki di atas mengamati kiprah politik elit di kalangan masyarakat Madura dengan sudut pandang masyarakat elit. Misalnya dalam
8
Menabur Kharisma Menua Kuasa, Rozaki sedikit banyak menyinggung bahwa relasi kuasa kiai dan blater mempunyai korelasi positif terhadap segala elemen kehidupan masyarakat. Kehidupan yang saling berhubungan tersebut menjadikan elemen sosial yang dominan sebagai kekuatan utama. Tidak jarang misalnya, rezim kembar di Madura tersebut, dapat menggiring masyarakat dalam persoalan isu-isu tertentu. Duet keduanya hingga kini menjadi pondasi kuat dalam struktur masyarakat Madura sebagai tiang pancang kebudayaan. Pada karyanya yang kedua, Rozaki juga tidak sedikit menyinggung persoalan kiai yang aktif dalam berpolitik. Dalam temuan Rozaki, pilihan politik kiai di masyarakat Madura, kini tidak lagi menempatkan sosok kiai sebagai rujukan utama masyarakat dalam pilihan politiknya. Kecenderungan tersebut semakin mengemuka tatkala dinamika politik yang berkembang semakin bersinggungan dengan kekerabatan dan uang. Berbicara prihal politik praktis kiai, tentunya sedikit berbeda bila kiai yang hanya ‗sekedar‘ menjadi vote getter (pendulang suara). Dalam setiap momentum politik, terutama yang mengandalkan mobilisasi massa, seperti Pemilu, para elite politik berlomba-lomba untuk bersilaturahim ke pondokpondok pesantren untuk menggalang dukungan (Nurhasyim dan Ridwan, 2004: XI). Di sinilah peran kiai dimaksudkan sebagai mobilisator. Bila sang calon (politisi) sesuai dengan pilihan kiai, maka secara tidak langsung sang kiai akan memobilisasi pemilih, minimal dalam lingkungan pesantren di mana ia menjadi pengasuh.
9
Praktik politik kiai sebagai mobilisator berbeda dengan kiai sebagai subjek utama. Kiai sebagai subjek ialah kiai yang terjun langsung dalam praktik politik, misalnya dengan menjadi bagian dari pemerintahan, legislatif ataupun eksekutif. Kiai yang demikian ini secara tidak langsung membawa beberapa identitas ke dalam dirinya, sebagai pemuka agama, politisi, dan mobilisator. Inilah kemudian kiprah kiai memiliki elektabilitas tinggi di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat tradisional dan perdesaan. Zamakhsyari Dhofier, dalam bukunya yang berjudul Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (LP3ES: 1982), juga banyak mengulas prihal pandangan hidup kiai dalam berbagai dimensi kehidupan, khususnya bagaimana pengaruh atau kharisma kiai menjadi kuat dalam struktur sosial masyarakat tradisional dan perdesaan. Dhofier menemukan, sebagaimana temuan Rozaki dalam buku pertama, bahwa kiai dengan pesantrennya memiliki relasi kuat terhadap tindakan-tindakan politik, sosial dan keagamaan. Kiai dalam pandangan Dhofier dapat ditempatkan sebagai sosok yang tidak hanya menjadi pemimpin, pun juga sebagai manusia biasa kiai dapat melakukan tindakan normatif di mana posisinya dapat mencederai dirinya bila tidak dapat membawakan diri sendiri dalam lingkungan sosial. Dalam ranah praktis sosial-politik posisi kiai berbeda dengan santri. Kiai sebagai masyarakat dominan acap merekonstruksi posisinya di atas masyarakat lain (santri). Inilah sikap elitis yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Konstruk sosial yang dibangun atau secara alami melekat pada sosok kiai, menempatkan kiai pada bargaining position (posisi tawar) kuat
10
dalam relasi sosial masyarakat. Struktur kiai dan santri yang berkembang di tengah-tengah masyarakat ini sedikit banyak telah menjadi sistem sosial kuat yang tidak dapat terbantahkan. Menurut Dhofier, sistem sosial tersebut pada dasarnya merupakan pelembagaan tradisi yang membentuk struktur khas. Basis massa komunitas kiai dan santri bertumpu pada pesantren dan pedesaan di mana kiai menempati posisi sentral dalam perikehidupan sosialnya. Hal ini menjadikan kepemimpinan kiai di kalangan masyarakat santri mengakar secara kultural. Kiai merupakan kelompok elit secara kultural, sosial, politik maupun ekonomi. Mereka merupakan pengajar agama (preacher) yang rata-rata sekaligus pemilik tanah yang luas (Dhofier, 1982: 35). Selanjutnya fenomena politik kiai dapat pula ditelaah dari skripsi yang ditulis oleh Abdul Waris. Waris menulis karya ilmiah atas analisis kiai ini berjudul “Peran Politik Kiai dalam Pemilukada di Kabupaten Jember Tahun 2005”. Skripsi tersebut membahas tentang fenomena politik kiai di Kabupaten Jember tahun 2005. Masyarakat Jember yang bercorak relijius, kehidupan yang homogen-desa-haus akan petuah dan nasehat dari ulama, terutama dari ulama berkharisma. Kharisma yang dimiliki kiai inilah yang dijadikan sebagi jembatan untuk dapat menggandeng masyarakat. Antusiasme ulama dalam menjunjung tinggi demokrasi dimanifestasikan dalam arena politik lokal seperti pemilihan kepala daerah pada tahun 2005. Seiring dengan itu semua, tentunya juga mempunyai tujuan yang mulia yakni ingin memajukan Jember sebagai Kabupaten yang maju dan makmur. Kharisma
11
kiai sering dijadikan jembatan oleh elit-elit lokal untuk menuai hasil suara yang akan dicapai dalam pemilukada. Studi tentang politik kiai hingga kini semakin meluas. Kiprah kiai dalam politik diteliti dengan menggunakan pelbagai perspektif yang bervariasi. Terutama sekali bagaimana kiai sebagai sosok pemuka agama berperan dominan dalam politik praktis. Dari beberapa sumber penelitian, sosok kiai atau elemen kiai secara fenomenologis menempatkannya dalam ranah dominan. Akan tetapi, studi sosiologis tentang kiai dengan memasukan variabel latar belakang pertarungan kekuasaan antara kiai dan santrinya di daerah, sejauh yang dapat ditemukan, masih belum banyak dilakukan. Analisis pada tulisan ini akan dilakukan berdasarkan pada konsep pertarungan antara patron dan klien. Di mana selama ini patron dan klien memiliki ikatan keterhubungan secara sosial-keagamaan (ruang teologis). Dalam konsep tersebut akan dikemukakan beberapa derivasi yang akan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk menggarisbawahi peran kiai dalam politik praktis. Tidak hanya itu bagaimana pula perilaku kiai dan murid, sebagai bagian terpisah dalam struktur sosial, menjadi kajian menarik sebuah fenomena politik. Fenomena perebutan kekuasan oleh elit lokal kiai dan santri di Pamekasan, sebagaimana diangkat dalam penelitian ini misalnya, merupakan perebutan kekuasaan yang tidak hanya memperhatikan strategi politik semata. Lebih dari itu sumber relasi sosial dan pengejewantahan pemberdayaan kepada masyarakat merupakan kajian menarik dalam melihat kekuasaan kiai
12
dalam ranah politik. Mengamati proses interrelasi konfik antara kiai dan santri menuju tampuk kekuasaan dengan melibatkan struktur masyarakat biasa. Antara santri dan kiai terdapat sebuah pola relasi emosional layaknya tradisi feodal, tetapi tanpa struktur dan tingkatan politis yang sofistikatif seperti galibnya tradisi serupa dalam pemerintahan kerajaan. Kiai dan keluarganya memiliki posisi sosial dan kultural yang tinggi dibanding kebanyakan kaum santri. Menurut Nur Syam sebagaimana diulas Kacung Marijan (1992: 35) dalam bukunya Quo Vadis NU, tradisi tersebut bertumpu pada tiga pilar utama. Pila-pilar tersebut terdiri dari basis massa yang merupakan pola struktur sosial, basis ulama yang merepresentasikan struktur kepemimpinan serta basis tradisi yang secara kultural menjadi semacam sistem budaya yang mengikat visi keilmuan maupun berbagai etiket keislaman yang mereka anut. Dari berbagai referensi yang telah disebutkan di atas, penulis hendak mencari benang merah prihal sejauh mana pertarungan KH. Kholilurrahman sebagai patron dan Achmad Syafi‘i sebagai klien pada pemilukada Kabupaten Pemekasan di dalam relasi sosial-keagamaan (kiai dan santri). Tidak hanya itu, hal menarik lainnya ialah bagaimana upaya klien dalam merebut kuasa tahta di Pamekasan dan melakukan metamorfosis sebagai patron baru dalam struktur politik. Hal ini menarik diteliti sebagai sebuah kajian komprehensif prihal pertarungan politik kiai dan santrinya dalam perebutan kekuasan di aras lokal. Di sinilah perbedaan penelitian ini dilakukan daripada penelitian
13
yang pernah ada. Penulis hendak menguraikan lebih mendalam prihal pertarungan politik, motif, dan implikasi tindakan politik mereka baik yang bersifat ‗terselubung‘ atau terang-terangan. F. Kerangka Konseptual Fenomena kiai dalam politik memang menjadi salah satu hal yang layak diperbincangkan. Hal ini beralasan karena kiai dalam setiap kehidupan sosialnya kerap kali bersinggungan dengan realitas kehidupan sosial berbangsa dan bernegara. Di sinilah penting kiranya menjabarkan secara terperinci dalam penelitian ini prihal sepak terjang kiai dalam ranah politik praktis. Tidak hanya berhenti pada sepak terjang kiai. Dinamika politik yang terjadi di Kabupaten Pamekasan pada 2013 lalu yang melibatkan sosok kiai dan sosok santri menarik diulas sebagai sebuah paradigma baru dalam dinamika politik lokal. Bahwa otoritas keagamaan, dalam hal ini kiai, dewasa ini tidak lagi menjadi sebuah dogma bagi jalan hidup masyarakat bersosial dan berpolitik. Dalam paradigma konflik, pertarungan KH. Kholilurrahman sebagai kiai dan Achmad Syafi‘i sebagai santri dalam Pemilukada di Kabupaten Pamekasan tahun 2013 merupakan bagian dari konflik elit (memiliki latar belakang keagamaan kuat atau pesantren) yang hendak saling berlomba-lomba menjadi orang nomor satu di Kabupaten Pamekasan. Sebagai elemen masyarakat elit, kiai dan santri di sini mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Di mana komponen (elemen) yang satu berusaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi
14
kepentingannya atau memperoleh kepentingan sebesar-besarnya untuk memenangkan kompetisi politik. Fenomena pertarungan politik dalam level aras lokal tersebut menjadi menarik bila dijabarkan dan dianalisa dari sudut pandang patron klien dan teori konflik. Sedangkan efek sosial-politik yang ditimbulkan keduanya dapat ditarik dalam ranah tindakan sosial untuk kemudian menjadi pertimbangan atau preferensi pemilih. Tiga irisan tersebut diperlukan sebagai sebuah paradigma yang hendak mengamati fenomena sosial-politik dari sudut pandang berbeda. Potensi konflik muncul disebabkan persaingan antar tokoh. Potensi tersebut terlihat dalam perebutan kekuasaan di pemilukada Pamekasan. Dalam kacamata Scott, perebutan kekuasan di aras lokal antara kiai dan santri tersebut tidak ubahnya perebutan antar patron dan klien. Dalam politik lokal patron klien (patron-client) acap menjadi soalan utama antara dua kelompok ―dominan‖ dan ―tidak dominan‖. Patron-klien, sebagaimana disebutkan Scott dalam analisisnya prihal moral petani dan perlawanan kaum petani, lebih banyak menempatkan hubungan hirarkis antara dua elemen yang memiliki ikatan dan ―persahabatan instrumental‖ dimana seseorang dengan status sosial-ekonomi lebih mapan (tinggi) memiliki kecenderungan mempengaruhi terhadap seseorang atau kelompok yang dianggapnya lebih rendah (klien). Sebaliknya klien memberikan garansi terhadap kebutuhan patron dalam berbagai persoalan sesuai kapasitas klien. Termasuk memberikan pelayanan jasa pribadi terhadap patronnya. Scott kemudian memberikan gambaran umum prihal arus patron-
15
klien. Ciri-cira arus patron-klien pada pertarungan politik kiai dan santri diantaranya ialah; adanya tindakan subsistensi dari kiai terhadap santri dimana kiai memiliki kans lebih tinggi dalam status sosial-politik. Selain itu patron secara bertahap memberikan perlindungan dan pengaruh terhadap klien. Sedangkan arus klien ke patron memiliki tanggung jawab sosialkeagamaan seorang santri yang ―patuh‖ terhadap kiainya. Bahkan tidak jarang klien yang melekat pada setiap pribadi orang Madura menempatkan patron lebih tinggi dan lebih mudah diatur dan diikuti perintahnya. Hubungan ―simbiosis‖ patron klien yang terjadi di Madura antara kiai dansantri secara garis besar dapat dimaknai sebagai sebuh sinergi. Kedua elemen memiliki norma yang diyakini oleh setiap warga Madura sebagai elit keagamaan yang memiliki hubungan ketersinambungan. Hubungan ini adalah berlaku wajar karena pada dasarnya hubungan sosial adalah hubungan antar posisi atau status dimana masing-masing membawa perannya masing-masing. Menurut M. Hefni, hubungan patron klien di Madura terjadi sejak masa kerajaan yang pernah memerintah di empat kabupaten di Madura. Sebelum abad ke-19, hubungan patron klien di Madura terjadi dalam dua kelas utama, yaitu kelas penguasa (patron) dan kelas petani (klien). Kelas penguasa adalah kelas yang menguasai sumbersumber ekonomi dan memiliki kekuasaan politik. Sedangkan kelas petani adalah kelas yang memiliki tenaga kerja untuk ―dijual‖ kepada kelas penguasa. Keduanya dihubungkan oleh suatu sistem upeti yang berupa percaton atau sistem apanage (2009: 19-20). Seiring terbukanya kran
16
informasi dan bergesernya kepemilikan ekonomi, hubungan patron klien tidak hanya berada pada posisi seseorang di dalam jabatan ekonomi atau politik. Kini hubungan patron klien dapat pula terlihat pada praktik sosial-keagamaan antara kiai dan santri dimana kiai memiliki modal sosial dan pemahaman keagaman yang tinggi daripada santri dimana kiai memiliki peran signifikan dalam setiap pilihan sikap sosial dan perikehidupan santri (terjadi hampir di seluruh wilayah di Madura). Pada kasus pemilukada di Kabupaten Pamekasan, kecenderungan patron menguasai peta politik (lokal) terjadi salah satunya melakukan efektifitas sistem politik di daerah bersangkutan. Dalam banyak kasus, sebut saja misalnya dalam penelitian James Scott (1972) dengan kasus di beberapa negara di Asia Tenggara, kekuasan patron semakin besar dengan menanamkan legitimasi kekuasaan. Otonomi daerah yang berkembang juga tidak lepas dari patron-klien. Patron cenderung mendominasi pada setiap level otonomi daerah. Bahkan klien yang hendak masuk dalam dominasi tersebut melakukan ―kerjasama‖ dengan patron. In most agrarian settings, substantial local autonomy tends to favor the growth of local power monopolies by officials or landed gentry. The larger a patron's clientele and the more dependent on him they are, the greater his latent capacity to organize group action. In the typical agrarian patron-client setting this capacity to mobilize a follow-ing is crucial in the competition among patrons for regional preeminence. (Scott: 1972: 93-94)
Semakin besar ketergantungan klien dan semakin bergantung pada patron, semakin besar pula kapasitas laten dalam mengatur tindakan patron terhadap tindakan klien. Scott mengamati bahwa relasi sosial patron klien
17
merupakan struktur khas di beberapa negara agraria, di mana klien acap memiliki ketergantungan secara sosial-ekonomi terhadap patron. Lebih dari itu, pada tahap selanjutnya dapat ditemukan hubungan-hubungan pribadi atau kelompok dalam struktur patron klien memiliki asas saling menguntungkan satu sama lain. Dalam pandangan Scott seperti disitir Safruddin Bustam Layn (2008: 43), patron klien dapat berbentuk individu ataupun kelompok. Dalam hubungan ini sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, di mana terdapat seseorang dengan status sosial ekonomi lebih tinggi (patron) yang pada gilirannya memberi balasan dukungan dan bantuan kepada seseorang yang status sosial ekonominya rendah (klien). Scott mengatakan: The patron-client relationship-an exchange relationship between rolesmay be defined as a special case of dyadic (two-person) ties involving a largely instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection or benefits, or both, for a person of lower status (client) who, for his part, reciprocates by offering general support and assistance, including personal services, to the patron. (Scott: 1972: 92)
Hubungan patron klien memiliki hubungan pertukaran antara dua peran yang berbeda. Ikatan tersebut dapat berupa hubungan ―persahabatan‖ instrumental di mana sebagian besar individu atau kelompok sosial ekonomi yang lebih tinggi statusnya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya untuk memberikan perlindungan atau memberikan manfaat kepada kelompok yang lebih rendah statusnya (klien). Arus patronase dalam pandangan Scott dapat terjadi bila unsur-unsur yang melekat dalam relasi sosial masyarakat saling menggantungkan atau tidak lebih dari relasi simbiosis mutualisme. Namun bedanya, patron
18
memiliki kecenderungan lebih kuat untuk menguasai atau mengarahkan klien dalam tindakan tertentu. Agar hubungan patronase berjalan mulus, menurut Scott (1972) sebagaimana dikutip Layn (2008: 44), diperlukan beberapa unsur, unsur pertama yaitu bahwa apa yang diberikan oleh satu pihak adalah merupakan sesuatu yang berharga di mata pihak lain, baik berupa pemberian barang ataupun jasa, dan beragam bentuk pemberian. Unsur kedua yaitu adanya unsur timbal balik, di mana pihak yang menerima bantuan merasa mempunyai suatu kewajiban untuk membalas pemberian tersebut. Hubungan patronase perlu didukung oleh norma-norma masyarakat yang memberikan peluang kepada klien untuk melakukan penawaran, artinya apabila satu pihak merasa dirugikan, maka dia dapat menarik diri dari hubungan tersebut tanpa adanya dikenai sanksi apapun. Hubungan patron klien tidak hanya dapat berlangsung dalam dinamika hubungan sosial-politik antara dua orang atau kelompok. Mengamati struktur masyarakat Madura yang cenderung patrimonial, terutama dalam relasi sosial-keagamaan (hierarkis teologis), patron klien juga terjadi. Seorang kiai yang memiliki struktur sosial lebih tinggi dalam dinamika masyarakat Madura dapat dikelompokkan sebagai patron, sementara santri yang memiliki relasi dan ketergantungan kuat terhadap sosok kiai dapat dimanifestasikan sebagai klien. Dalam hubungan tersebut penelitian ini menganalisa patron klien kiai dan santri dalam struktur sosial-keagamaan. Sementara itu pemilukada
di
Kabupaten
Pamekasan
melibatkan
keduanya
yang
termanifestasi dari struktur patron dan klien. Dalam pertarungan politik di
19
pemilukada Kabupaten Pamekasan klien melakukan perlawanan (vis a vis) terhadap sosok yang sebelumnya menjadi patron. Menggunakan analisa konflik Coser, patron klien dalam politik lokal di Kabupaten Pamekasan seolah menisbikan ketergantungan keduanya. Paradigma teori konflik dalam penelitian ini mengacu pada konfliknya Lewis A. Coser. Coser memandang bahwa realitas sosial memiliki konflik yang saling berkelindan dan berhubungan. Tidak hanya itu, konflik yang selama ini negatif, kiranya dapat diuraikan dalam pandangan positif. Di sinilah safety valve (katup penyelemat) penting diketengahkan dalam paradigma konflik sosial-politik antara kiai (patron) dan santri (klien). Dalam pandangan Coser, konflik dapat menjadi proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Begitupula dalam konflik politik. Konflik politik dimaksudkan sebagai sebuah perebutan kekuasan yang berlandaskan pada sebuah komunitas, misalnya dalam struktur masyarakat terkecil hingga masyarakat elit (baca: trah kiai). Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua kelompok atau lebih. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya. Katup penyelamat atau safety valve sebagaimana menjadi nilai dasar konflik ala Coser ini ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. ―Katup penyelamat‖ membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan
20
seluruh struktur. Dalam safety valve, konflik membantu menjembatani kepentingan krusial dalam kelompok yang sedang kacau. Tidak hanya itu, konflik terbuka lebih umum terjadi pada hubungan-hubungan sosial yang parsial daripada hubungan-hubungan yang personal dan intim. Coser berpendapat bahwa konflik adalah sebuah perjuangan mengenai nilai atau tuntutan atas status, kekuasaan, dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencederai, atau melenyapkan lawan. Secara garis besar dalam karyanya The Sociology of Social Conflict (1973), Coser menjelaskan konflik-konflik spesifik seperti struggle, fights, strikes, campaign, and wars. Konflik sosial, dalam hal ini konflik politics of interest (politik kepentingan), muncul sebagai sebuah rangkaian dinamika sosial yang berkesinambungan. Dalam hal ini ialah bagaimana politics of interest tersebut muncul, proses kemunculan konflik, jalan keluar, skala konflik, dan hasil akhir. Coser (sebagaimana dikatakan Jaworski, 1991: 87) berpandangan bahwa konflik bisa jadi mempersolid kelompok yang terskturktur longgar. Dalam masyarakat yang sedang mengalami disintegrasi, konflik dengan masyarakat lain dapat memulihkan inti integratif tersebut. Selain itu, stressing konflik ala Coser juga dapat memainkan peran komunikatif. Sebelum terjadi konflik, beberapa kelompok mungkin tidak yakin akan posisi lawan mereka, namun akibat dari konflik, posisi dan batas-batas antarkelompok sering kali menjadi jelas. Konflik juga memungkinkan berbagai pihak memperoleh gagasan yang lebih baik tentang kekuatan mereka dan mungkin saja
21
meningkatkan persahabatan atau akomodasi secara damai (Ritzer dan Goodman, terj, 2004: 286-287). Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihakpihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup penyelamat ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Di sinilah kiranya penting untuk dianalisa bahwa pertarungan kiai dan santri dalam Pemilukada di Kabupaten Pamekasan tidak dapat memunculkan konflik secara serius atau bisa dikatakan berada di posisi chaos (kacau) atau disintegratif. Dalam dinamika politik, katup penyelamat penting diketengahkan sebagai pisau analisa untuk mengkategorikan konflik kepentingan ke dalam beberapa irisan yang saling berhubungan. Tidak hanya itu katup penyelamat sebagaimana dicetuskan Coser, dalam dinamika politik dapat meluruhkan pelbagai crash atau gesekan sosial yang rentan konflik fisik. Katup penyelamat ini dimaksudkan sebagai sebuah tindakan sosial dari beberapa elit politik, khususnya dalam struktur masyarakat Madura, yang saling berkompetisi menuju kekuasaan. Dalam penelitian ini kiranya hendak dilihat seperti apa katup penyelamat konflik politik kiai dan santri berkembang di tengah-tengah masyarakat di mana dominasi dua elemen tersebut sama-sama kuat. Bagaimana pula sosok santri merebut kekuasaan tanpa perlawanan dari elit lain yang dianggap menjadi simbol masyarakat (tradisional). Dalam penelitian ini juga diperhatikan
22
bagaimana struktur masyarakat, sebagai sebuah elemen pembentuk, mengurangi tekanan-tekanan sosial yang ditimbulkan dari potensi konflik. Sebagai pelengkap dua teori tersebut akan dianalisis pula preferensi pemilih berdasarkan tindakan sosial mereka. Tindakan sosial perlu dikaji sebagai sebuah praktik sosial-politik. Bagaimana faktor dominasi antara dua elemen kai dan santri memengaruhi pemilih berdasarkan faktor keberpihakan. Tipe tindakan sosial (pilihan) politik masyarakat Kabupaten Pamekasan yang akan diteliti mengerucut pada beberapa tindakan Weberian; pertama, tindakan rasional instrumental. Dalam Pemilukada di Kabupaten Pamekasan akan ditelaah bagaimana masyarakat dan elit menjadikan instrumen atas identitas dirinya sebagai sebuah instrumen tindakan sosial. Dalam paradigma ini juga hendak dilihat cara dan tujuan tindakan dari aspek sosio-politis yang ditimbulkan oleh sosok kiai sebagai sumber elit dan santri sebagai elemen pelengkap. Kedua, tindakan rasional berorientasi nilai. Hal ini kiranya mengacu pada tindakan sosial yang dilakukan oleh kiai dan santri dalam dinamika politik lokal di Kabupaten Pamekasan. Bagaimana santri misalnya, yang notabene sebagai masyarakat menengah dapat merebut momentum kekuasaan di Pemilukada. Tujuan dan nilai seperti apa yang berkembang menjadi titik tolak dalam paradigma ini. Ketiga, tindakan tradisional. Tindakan tradisional yang hendak dipotret kiranya berjibaku pada elemen atau kebiasaan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa pilihan politik masyarakat acap bergantung pada pilihan
23
politik kiai. Di sini kiranya dapat diulas panjang lebar bagaimana masyarakat tradisional yang menjadikan petuah kiai sebagai pilihan politik masyarakat dan bagaimana kini setelah trah kiai tidak lagi memimpin. Tidak hanya itu, faktor kebiasaan dalam pola pikir dan tindakan masyarakat dapat menjadi temuan dalam tindakan tradisional. Keempat, tindakan efektif. Sumber tindakan ini kiranya dapat mengcover tindakan-tindakan yang berangkat dari emosi atau perasaan dari masyarakat atas pilihan-pilihan politiknya. Selanjutnya sejauh mana relevansi kognitif tindakan tanpa refleksi atau perencanaan dasar menjadi semacam pilihan terburuk. G. Metode Penelitian Metode
merupakan
cara
yang
teratur
serta
sistematis
untuk
melaksanakan sesuatu. Terutama dalam sebuah karya ilmiah, agar lebih terarah dan rasional diperlukan sebuah metode yang sesuai dengan objek penelitian, karena metode ini berfungsi sebagai cara mengerjakan sesuatu dalam upaya untuk mengarahkan sebuah penelitian supaya mendapat hasil yang optimal dengan data-data yang akurat (Anwar, 1999: 34). Untuk memenuhi standar penelitian penulis menggunakan beberapa tahapan metode. Selain itu sebelum melakukan penelitian lapangan, penulis terlebih dahulu melakukan prelimenary research (pengamatan sebelum melakukan penelitian) sebagai perbandingan atau sebagai pengetahuan dasar dalam memetakan persoalan di lapangan penelitian. Setelah dirasa cukup kemudian penulis membuat draf penelitian dan membuat rancanangan motode
24
penelitian. Berikut metode yang digunakan penulis dalam memperoleh data hingga selanjutnya menganalisisnya menjadi sebuah karya ilmiah. 1. Lokasi dan Setting Penelitian Lokasi penelitian ini ialah di Kabupaten Pamekasan. Kabupaten Pamekasan sendiri merupakan satu dari empat daerah kabupaten yang tersebar di pulau Madura, Jawa Timur. Setelah mengetahui Pemekasan secara geografis, selanjutnya penulis mengamati beberapa wilayah yang sebaran penduduk dan alamnya mempuni sebagai syarat penelitian yang penulis tetapkan terlebih dahulu. Untuk memenuhi unsur ilmiah, lokasi penelitian yang penulis lakukan membagi wilayah Pamekasan menjadi beberapa bagian bergantung pada kondisi keberagamaan masyarakat Pamekasan, yakni pesantren. Setelah dipetakan kemudian penulis mengambil area penelitian yang memiliki potensi keberagamaan dan kecenderungan sebagai masyarakat rasional dan masyarakat tradisional diantaranya beberapa desa di bagian selatan Pamekasan, di bagian utara Pamekasan, dan di wilayah perkotaan dan pinggir kota. Durasi penelitian ini hingga selesai menjadi tulisan utuh dimulai sejak bulan Juli 2013 hingga Juli 2014 dengan rincian sebagai berikut; Seminar Proposal pada Juli 2013, maping lapangan dan prelieminary research pada bulan Agustus-September 2013, turun lapangan dan menggali data dilakukan pada bulan September-Desember 2013, analisa dan penulisan hasil penelitian dilakukan pada bulan Desember 2013-Februari 2014, dan
25
finishing hasil penelitian dilakukan pada bulan Juli 2014. Sedangkan setting penelitian dalam penelitian ini ialah mengamati dan menelaah fenomena Pemilukada di Kabupaten Pamekasan yang berlangsung pada tanggal 9 Januari 2013 dalam konteks pertarungan politik KH. Kholilurrahman sebagai sosok kiai dan Achmad Syafi‘i sebagai sosok santri. 2. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelian lapangan (field research) tentang Pemilukada di Kabupaten Pamekasan tahun 2013 yang melibatkan kiai dan santri secara langsung maupun tidak dalam prosesnya. Dalam kaitan penelitian ini, metode yang akan digunakan ialah metode penelitian kualitatif. Dengan menggunakan metode tersebut diharapkan dapat dihasilkan sebuah kesimpulan analisis deskriptif terkait pertarungan, motif, dan implikasi politik kiai dan santri dalam pertarungan politik. Melalui penelitian kualitatif diskriptif ini, penulis hendak memfokuskan diri pada perhatian
dengan
berbagai
metode,
yang
mencakup
pendekatan
fenomenologis. Sebagaimana disebutkan oleh Norman dan Lincoln (terj. Dariyatno, dkk. 1999: 1-2), bahwa penelitian kualitatif deskriptif ialah upaya mendekatkan subjek dan objek peneliti dalam rangkaian interpretatifnaturalistik. Yang berarti bahwa para peneliti kualitatif harus mempelajari benda-benda di dalam konteks alaminya, berupaya untuk memahami, atau
26
menafsirkan fenomena dilihat dari sisi makna yang dilekatkan manusia (peneliti) kepadanya. Konsep fenomenologis sebagai salah satu wadah dalam ilmu metode kualitatif hendak menjelaskan dinamika sosial yang saling berkelindan. Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainoai, yang berarti ‗menampak‘ dan phainomenon merujuk pada ‗yang menampak‘. Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak dapat berdiri sendiri, karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran yang lebih lanjut. Tokoh-tokoh fenomenologi ini diantaranya Edmund Husserl, Alfred Schutz dan Peter. L Berger dan lainnya. Fenomenologi dalam penelitian ini mengacu pada Schutz, di mana konsep fenomenologi terapannya merupakan konsep yang dilahirkan dari konsep femenologi transendental-nya Husserl dengan konsep verstehen yang merupakan pemikiran orisinil dari Marx Weber. Jika Husserl hanya memandang filsafat fenomenologi (transendental) sebagai metode analisis yang digunakan untuk mengkaji ‗sesuatu yang muncul‘, mengkaji fenomena yang terjadi di sekitar kita. Tetapi Schutz melihat secara jelas implikasi sosiologisnya di dalam analisis ilmu pengetahuan, berbagai gagasan dan kesadaran. Schutz tidak hanya menjelaskan dunia sosial semata, melainkan m enjelaskan berbagai hal mendasar dari konsep ilmu pengetahuan serta berbagai model teoritis dari realitas yang ada. Konsep realitas tertinggi yang coba dibangun oleh Schutz bisa dikatakan sebagai indikasi atau anasir dari sebuah konsep dunia keseharian
27
yang memiliki sifat intersubjektif. Realitas demikian oleh Schutz disebut sebagai the life world. Menurut Schutz ada enam karakteristik yang sangat mendasar dari the life world, yaitu pertama, wide-awakeness (ada unsur dari kesadaran yang berarti sadar sepenuhnya). Kedua, reality (orang yakin akan eksistensi dunia). Ketiga, dalam dunia keseharian orang-orang berinteraksi. Keempat, pengalaman dari seseorang merupakan totalitas dari pengalaman dia sendiri. Kelima, dunia intersubjektif dicirikan terjadinya komunikasi dan tindakan sosial. Keenam, adanya perspektif waktu dalam masyarakat (Schutz dan Luckman, 1973: 57). Fenomenologi menerobos fenomena agar dapat mengetahui makna hakikat terdalam dari fenomena tersebut dan kemudian mendapatkan hakikatnya. Dalam kasus pertarungan politik kiai dan santri dalam dinamika pemilukada di Kabupaten Pamekasan ini hendak dipotret terjadinya fenoma pergeseran patron-klien kiai dan santri yang sebelumnya memiliki hubungan dalam ranah sosial-keagamaan. Selain itu pertarungan politik kiai dan santri ini hendak diamati bagaimana konflik kepentingan politik antara dua arus tersebut tidak melahirkan konflik kekerasan dan pengaruhnya pada prefensi pemilih rasional. Jenis penelitian ini akan dijadikan ukuran secara kualitatif. 3. Metode Pengambilan Data Dalam pengumpulan data yang berkaitan dengan judul penelitian ini, penulis menggunakan tiga teknik, teknik yang utama yakni wawancara, adapun observasi, dokumentasi, dan triangulasi data digunakan sebagai
28
tehnik pelengkap. Pertama, wawancara. Sebelum melakukan tindakan pengambilan data (wawancara), penulis terlebih dahulu membuat tahapan dengan cara memilih kriteria terlebih dahulu narasumber yang hendak diwawancarai. Narasumber terbagi menjadi dua, narasumber primer dan sekunder. Kriteria narasumber primer diantaranya ialah; 1. Perwakilan elemen kiai dan santri yang bertarung dalam pemilukada Pamekasan tahun 2013; 2. Elemen elit partai politik atau tim sukses masing-masing pengusung masing-masing calon; dan 3. Perwakilan elemen masyarakat dari kalangan elit pesantren. Sedangkan narasumber sekunder diantaranya ialah; masyarakat Pamekasan dan atau pemilih aktif. Ketiga elemen tersebut dipilih secara acak dengan melihat sebaran masyarakat di tiga wilayah di Pamekasan (sebalah selatan, utara, dan perkotaan) dengan masing-masing 5 orang narasumber sesuai kriteria paling unggul dan keaktifan dalam mengikuti dinamika pertarungan pemilukada di Pamekasan tahun 2013. Tiga wilayah tersebut ialah Kecamatan Waru dan Kecamatan Batumarmar yang berada di daerah utara Pamekasan, Kecamatan Pademawu
dan Kota di daerah selatan, dan Kecamatan
Pakong di daerah tengah Kabupaten Pamekasan. Daerah tersebut sengaja dipilih setelah mempertimbangkan keseimbangan populasi, sebaran penduduk, keberagaman penduduk, dan juga mewakili penduduk Pamekasan secara garis besar yang berlatarbelakang petani dan nelayan. Kedua, observasi. Selain menggunakan metode wawancara penulis juga melakukan telaah lapangan atau observasi. Observasi yang dilakukan
29
ialah pengamatan langsung, baik sebelum pelaksanaan pemilukada Pamekasan (prelimeniary research) dan pasca pelaksanaan pemilukada Pamekasan. Lokasi observasi sebagaimana disebutkan di atas ialah daerah bagian selatan Pamekasan, bagian utara Pamekasan, dan bagian perkotaan atau pinggiran kota. Hal ini bertujuan sebagai sebuah analisis demi tujuan-tujuan ilmiah, baik yang terjadi sebelum pelaksanaan Pemilukada maupun setelahnya. Obeservasi yang dilakukan berupa pengamatan di beberapa tempat di ruang publik seperti halnya lapangan umum dan tempat penyelenggaraan kegiatan kampanye lainnya, baik yang bersifat dialogis ataupun monologis. Selain ruang publik observasi juga dilakukan di beberapa kediaman kiai dan tokoh masyarakat Pamekasan. Keempat, dokumentasi. Di samping wawancara dan observasi, penulis juga melakukan check and cross-check data dari pelbagai dokumentasi yang ada untuk ditemukan keseimbangan informasi (balanced). Dokumen-dokumen berupa, catatan, biografi kedua tokoh KH. Kholilurrahman dan Achmad Syafi‘i, surat kabar online ataupun cetak yang terbit di Madura, jurnal, dan buku-buku yang dipandang penting dan berkaitan dengan percaturan dinamika Pemilukada Kabupaten Pamekasan tahun 2013. Kelima, triangulasi data. Setelah melakukan tahapan penggalian data dengan melakukan wawancara, observasi, dan dokumentasi penulis juga melakukan metode triangulasi data. Metode triangulasi data digunakan
30
dengan menggunakan dan memanfaatkan beragam sumber
yang
berhubungan dengan pemilukada di Kabupaten Pamekasan. Data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya apabila digali dari beberapa sumber data yang berbeda. Triangulasi data yang penulis gunakan tidak hanya pada satu jenis sumber data (informan), tetapi beberapa informan atau narasumber yang digunakan perlu diusahakan posisinya dari kelompok atau tingkatan yang berbeda-beda. Teknik triangulasi sumber data sebagaimana dikatakan Sutopo (2006: 165), dapat pula dilakukan dengan menggali informasi dari sumber-sumber data yang berbeda jenisnya, misalnya narasumber tertentu, dari kondisi tertentu, dari aktivitas yang menggambarkan perilaku orang, atau dari sumber yang berupa catatan atau arsip dan dokumen. 4. Analisis Data Penelitian
ini
merupakan sebuah penelitian
dengan sebuah
pendekatan kualitatif. Pada penelitian ini digunakan beberapa langkahlangkah analisis data kualitatif yang meliputi; 1. Reduksi data, 2. Penyajian data, dan 3. Kesimpulan dan verifikasi. Pertama, Reduksi data dilakukan dengan cara pemilihan tentang relevan tidaknya antara data dengan tujuan penelitian. Informasi dari lapangan sebagai bahan mentah diringkas, disusun lebih sistematis, serta ditonjolkan
pokok-pokok
yang
penting
sehingga
lebih
mudah
dikendalikan. Langkahnya ialah memetakan dan mensingkronkan jawaban narasumber dengan pertanyaan yang diajukan, misalnya pertanyaan yang
31
bertujuan mendapatkan jawaban prihal motif akan dipilah jawaban yang sesuai sebagai bahan analisa. Bila jawaban tidak sesuai atau melenceng dari pertanyaan, maka jawaban tersebut disimpan sebagai perbandingan atau triangulasi data. Kedua,
Penyajian data digunakan untuk
melihat gambaran
keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari gambaran keseluruhan. Pada tahap ini penulis berupaya mengklasifikasikan dan menyajikan data sesuai dengan pokok permasalahan yang diawali dengan pengkodean pada setiap sub pokok permasalahan. Pengkodean berisi informasi-informasi, baik dari sumber primer dan sekunder, yang memiliki hubungan dengan latar, topik dan subjek penelitian. Langkah ini kemudian dilakukan dengan cara mencocokkan teori yang dipakai dan temuan data di lapangan. Pengkodean atau pengelompokan ini dilakukan untuk memilah jawaban yang sama atau hampir sama antar satu narasumber dan narasumber yang lain dalam kesatuan pertanyaan yang sama. Dalam penyajian data, data (hasil wawancara) dari narasumber dan dokumen lain dikelompokkan menjadi beberapa data sekunder dan primer yang berhubungan dengan topik penelitian. Setelah mensinkronkan data atau jawaban yang diberikan narasumber
dan
mengkelompokkannya
menjadi
beberapa
bagian,
kemudian data (baik tertulis atau tidak tertulis) dan jawaban narasumber disajikan sesuai dengan resume masalah dan teori yang dipakai. Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi data dimaksudkan untuk mencari makna data yang dikumpulkan dengan mencari hubungan,
32
persamaan, atau perbedaan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan jalan membandingkan kesesuaian pernyataan dari subyek penelitian dengan makna yang terkandung dengan konsep-konsep dasar dalam penelitian ini. Sedangkan verifikasi dimaksudkan agar penilaian tentang kesesuaian data dengan maksud yang terkandung dalam konsep-konsep dasar dalam penelitian ini lebih tepat, komprehensif, dan objektif. Penarikan kesimpulan dan verifikasi dilakukan setelah membandingkan data yang dipilih sesuai dengan topik penelitian, kemudian data yang telah dikelompokkan sesuai tinggi rendahnya jawaban narasumber dianalisa dengan metodologi dan menggabungkan dengan sumber lain yang relevan. Misalnya data wawancara dari sumber kiai dan santri dianalisis sesuai metode yang digunakan dalam penelitian ini. Selain penyesuaian dengan metode, data yang telah dianalisis tersebut disesuaikan lagi (diverifikasi) dengan data dari sumber lain yang relevan untuk menjadi sebuah tulisan utuh.
33