BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kematian anak merupakan salah satu indikator untuk kesehatan anak dan kesejahteraan keluarga. Setelah era Millenium Development Goals (MDGs) berakhir pada tahun 2015, seluruh pimpinan negara di dunia menyepakati sebuah kerangka kerja baru yang disebut The Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satu target dan komitmen baru yang disepakati untuk menurunkan angka kematian anak di dunia yakni menurunkan angka kematian neonatal hingga dibawah 12 kematian per 1000 kelahiran hidup (UNICEF, 2015). Masa neonatal merupakan waktu yang sangat rentan untuk kelangsungan hidup anak. Kematian neonatal menjadi penting karena proporsi kematian neonatal meningkat 5-15% di seluruh dunia selama 25 tahun terakhir dan mendominasi dari jumlah kematian anak di bawah usia lima tahun. Secara global, sekitar 130 juta kelahiran terjadi setiap tahun, diantaranya 303.000 kematian ibu, 2,6 juta bayi lahir mati dan 2,7 juta bayi meninggal dalam periode neonatal. Tahun 2015, World Health Organization (WHO) mencatat 5,9 juta (43 per 1000 kelahiran hidup) anak meninggal sebelum usia
lima tahun dan sebanyak 2,7 juta bayi
diantaranya meninggal selama 28 hari pertama kehidupan. Sekitar 6 juta kematian anak di dunia di bawah usia lima tahun, kematian neonatal menjadi penyebab utama sebesar 45% atau 19 kematian per kelahiran
hidup (WHO, 2016). Diperkirakan kematian neonatal di dunia akan terus meningkat pada tahun 2016 hingga tahun 2030, dimana sekitar setengah dari 69 juta kematian anak akan terjadi selama periode neonatal. Hal ini dapat disimpulkan bahwa jumlah kematian neonatal dari tahun 2015 yakni sebesar 45% akan meningkat menjadi 52% pada tahun 2030 (UNICEF, 2015). Kematian neonatal masih menjadi tantangan besar di wilayah Asia Tenggara. Meskipun mengalami peningkatan signifikan, belum semua negara di wilayah tersebut dapat mencapai target ke-4 MDGs yakni sebanyak 2.682.000 kematian neonatal atau 19 kematian per kelahiran hidup secara global pada tahun 2015, wilayah Asia Tenggara menduduki peringkat kedua setelah wilayah Afrika yakni sebesar 894.000 kematian neonatal atau 13 per 1000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dari tahun 1990, kematian neonatal di wilayah Asia Tenggara pada tahun 2015 mengami penurunan sebesar 52%. Akan tetapi, penurunan angka kematian neonatal lebih lambat dibandingkan kematian post-neonatal dibawah usia lima tahun (1-59 bulan) yaitu 52% dan 61%. Selain itu, kematian neonatal berkontribusi besar dalam kematian anak dibawah usia lima tahun yaitu sebanyak 52% di wilayah Asia Tenggara (UNICEF, 2015). Kematian bayi baru lahir (neonatal) masih menjadi permasalahan kesehatan. Angka kematian bayi di Indonesia sebesar 32/1000 kelahiran hidup dan kematian neonatal 19/1000 kelahiran hidup (BPS, dkk, 2013). Saat ini. Ketika era MDGs telah berakhir, pada tahun 2015 negara-negara di dunia menyetujui kerangka kerja baru yang dinamakan The Sustainable
2
Development Goals (SDGs), dimana mempunyai satu target dalam menurunkan angka kematian anak yaitu berusaha menurunkan angka kematian neonatal setidaknya sampai 12/1000 kelahiran hidup (Bappenas, 2016). Angka kematian neonatal di Jawa Tengah tahun 2014 sebesar 7,52/1000 kelahiran hidup. Angka kematian neonatal tertinggi di Jawa Tengah berada di Kabupaten Grobogan sebesar 14/1000 kelahiran hidup, dan yang terendah di Kota Surakarta sebesar 3,17/1000 kelahiran hidup, (Dinkes Jateng, 2014). Kabupaten Boyolali termasuk memiliki angka kematian neonatal yang tergolong tinggi. Pada tahun 2014 Kabupaten Boyolali masuk dalam 10 besar angka kematian neonatal se provinsi Jawa Tengah dengan jumlah kematian neonatal sebesar 8,91/1000 kelahiran hidup. Data DKK Boyolali yang di peroleh melalui survei pendahuluan, pada tahun 2015 angka kematian neonatal di Kabupaten Boyolali sebesar 6,12/1000 kelahiran hidup, sedangkan tahun 2016 sampai bulan September mengalami kenaikan angka kematian neonatal sebesar 6,70/1000 kelahiran hidup (Dinkes Boyolali, 2016). Ada beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya kematian
neonatal, antara lain kelahiran prematur, paritas, BBLR, asfiksia, kelainan konginetal, paparan asap rokok, tempat persalinan, komplikasi persalinan, jenis kelamin bayi, akses ke tempat pelayanan kesehatan, gizi ibu dan bayi, anemia, hipotermia, kelahiran kembar, riwayat aborsi, konsumsi zatzat adiktif, penolong persalinan dan juga obesitas pada ibu hamil. Angka
3
kematian neonatal yang disebabkan karena prematur sebesar 413.000 atau 30% dari total kematian neonatal pada tahun 2000-2003 di Asia (WHO, 2005). Menurut BAPENAS (2010), terdapat korelasi yang positif antara jumlah dan jarak kelahiran dengan peluang terjadinya kematian, angka kematian neonatal akan turun seiring bertambahnya interval kelahiran. Semakin tinggi persentase ibu dengan pemeriksaan kehamilan yang adekuat dan jumlah kelahiran ditolong oleh tenaga kesehatan profesional maka makin rendah angka kematian bayi dan balita. Tempat persalinan diketahui secara statistik berhubungan erat dengan risiko kematian neonatal. Bagi bayi yang dilahirkan di rumah dan dibantu oleh seorang dukun memiliki 6 kali berisiko kematian enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan di fasilitas kesehatan (Abdullah, 2015). Berdasarkan
penelitian
Noorhalimah
(2015),
neonatus
yang
persalinannya dibantu oleh tenaga non kesehatan berisiko kematian tinggi, (p = 0.000). Sejalan dengan penelitian Priyadi, dkk (2006), penolong persalinan (p = 0,044) berhubungan dengan kematian neonatal. Sedangkan menurut Siti (2014), diketahui tidak ada hubungan antara penolong persalinan dengan kematian neonatal (p = 0,548). Persalinan yang dibantu oleh tenaga non kesehatan berisiko tinggi menyebabkan kematian neonatal. Hal ini disebabkan, persalinan yang dibantu oleh tenaga non kesehatan tidak menggunakan bantuan alat-alat medis yang aman, serta tidak terlatih dan hanya mengandalkan ilmu tradisional yang diwariskan.
4
Penelitian Nugraha dkk (2008), diperoleh hasil bahwa persentase bayi yang mati pada usia neonatal dari ibu dengan paritas 0 dan 4 persentasenya lebih besar (75,86%) dari bayi yang hidup pada ibu yang berparitas sama (27,59) (p = 0,0006). Sedangkan menurut Juliana (2009), Paritas
tidak berpengaruh terhadap kematian neonatal
(p = 0,525).
Seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai risiko mengalami kematian neonatal yang lebih tinggi. Menurut Efriza (2007), risiko kematian neonatal dini yang besar pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan paritas 1 disebabkan oleh kekakuan jaringan panggul serta pengetahuan tentang perawatan kehamilan dan persalinan yang rendah. Pada ibu dengan paritas >4, kematian neonatal dini dapat disebabkan oleh kemunduran elastisitas jaringan yang sudah berulang kali berkontraksi pada saat persalinan sehingga membatasi kemampuan menghentikan pendarahan. Berdasarkan penelitian Juliana (2009), diperoleh hasil bahwa kelahiran prematur (p = 0,001) menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan kematian neonatal. Sedangkan menurut penelitian Nur mukmin (2016), kelahiran prematur bukan merupakan faktor risiko kematian neonatal dengan nilai (p = 0,760). Bayi yang lahir kurang bulan sangat berisiko mengalami kematian neonatal, hal ini bisa disebabkan oleh kondisi bayi yang belum bisa menjalankan fungsi organ dengan sempurna, dan juga bayi yang lahir dalam kondisi kurang bulan sangat berisiko mengalami berat lahir rendah, yang mana merupakan penyebab utama kematian neonatal.
5
Berdasarkan penelitian Abdullah (2015), diperoleh hasil bahwa tempat persalinan (p = 0,000), terdapat hubungan dengan kematian neonatal. Namun tidak sejalan dengan hasil penelitian Mafticha E (2016), yang menyatakan bahwa tempat persalinan tidak berhubungan dengan kematian neonatal (p = 0,070). Persalinan yang dilakukan di fasilitas non pelayanan kesehatan, sangat berisiko tinggi, karena kurangnya bantuan alat-alat medis serta tidak ada tenaga ahli dalam membantu persalinan. Capaian angka kematian bayi di Kabupaten Boyolali cukup tinggi sebesar 12/1000 kelahiran hidup, dan memberi kontribusi terhadap tingginya angka kematian bayi di Provinsi Jawa Tengah. Angka kematian neonatal di Kabupaten Boyolali dari tahun 2015 sampai tahun 2016 mengalami peningkatan, dan dikhawatirkan akan terus terjadi peningkatan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis faktor risiko kematian neonatal di Kabupaten Boyolali tahun 2016. Kelahiran prematur, status paritas ibu, penolong persalinan dan
dimungkinkan akan menjadi salah
satu faktor yang dapat menyebabkan kematian neonatal B. Rumusan Masalah Faktor risiko
apakah yang berhubungan dengan kematian
neonatal di Kabupaten Boyolali tahun 2016 ?
6
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menganalisis faktor risiko yang berhubungan dengan kematian neonatal di Kabupaten Boyolali tahun 2016. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan angka paritas, jumlah kelahiran prematur, penolong persalinan dan tempat persalinan di Kabupaten Boyolali tahun 2016. b. Menganalisis hubungan kelahiran prematur dengan kematian neonatal di Kabupaten Boyolali tahun 2016. c. Menganalisis hubungan penolong persalinan dengan kematian neonatal di Kabupaten Boyolali tahun 2016. d. Menganalisis hubungan paritas dengan kematian neonatal di Kabupaten Boyolali tahun 2016. e. Menganalisis hubungan tempat persalinan dengan kematian neonatal di Kabupaten Boyolali tahun 2016.
7
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Instansi Penelitian ini dapat memberikan informasi dan masukan untuk selalu meningkatkan pelayanan kesehatan guna mengurangi, atau mencegah
kematian
neonatal,
sehingga
dapat
menekan
atau
menurunkan angka kematian neonatal 2. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat secara umum, serta keluarga secara khusus tentang faktor risiko yang berhubungan dengan kematian neonatal. 3. Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar dan acuan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian tentang kematian neonatal secara mendalam.
8