BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan salah satu agama yang berisi kaidah hidup yang memuat tuntunan yang jelas dan lengkap mengenai aspek kehidupan manusia baik spiritual maupun material. Agama islam terdiri dari tiga unsure pokok yaitu iman, islam dan ikhsan. Walaupun memiliki pengertian yang berbeda-beda, ketiga unsure pokok tersebut saling berkaitan satu sama lain. Bagi seorang muslim, keimanan harus diyakini dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dengan perbuatan sehari-hari. Ditopang juga dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Salah satu contoh keimanan seorang muslim terhadap Allah yaitu dengan penggunaan jilbab bagi muslim wanita. Jilbab merupakan salah satu identitas agama islam yang wajib diterapkan bagi wanita muslimah di seluruh dunia. Penggunaan jilbab tersebut terlihat dalam beberapa surat Al-Quran yang mewajibkan kaum muslim wanita untuk menggunakan jilbab di dalam kehidupan sehari-hari, dalam kondisi maupun situasi apapun. Seperti dalam beberapa hadist serta surat-surat Al-Quran seperti dalam Surat Al-Ahzab ayat 591. Secara garis besar, jilbab yang sering dikenal sebagai kerudung ini dalam bahasa Arab berarti penutup dan pembatas. Penutup dan pembatas sesuatu dari segala tindakan dan interaksi antar sesama manusia, khususnya antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan kerudung diartikan sebagai kain panjang yang 1
Nina Surtiretna et al., Anggun Berjilbab (Penerbit Al-Bayan: Bandung, 1995) hal. 52.
1
menutupi bagian lengan, leher sampai dada tanpa menutupi bagian muka. Selain itu, kerudung juga dimaksudkan untuk melindungi perhiasan-perhiasan yang melekat di sekitar leher dan telinga para perempuan2. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa jika seorang wanita menggunakan jilbab, berarti wanita tersebut dipastikan berkerudung dan sebaliknya, wanita yang berkerudung belum tentu berjilbab. Penggunaan jilbab diwajibkan oleh islam agar seorang wanita dapat dikatakan merdeka karena para perempuan dapat melakukan berbagai kegiatan tanpa ada rasa khawatir dan takut dari segala hal yang menganggu, terutama lakilaki yang memiliki keinginan jahat. Jilbab juga digunakan sebagai ciri khas dan identitas yang membedakan wanita muslim dengan wanita non-muslim. Di negara islam, penggunaan kerudung atau jilbab bukanlah hal yang aneh dan tabu karena dapat dipastikan mayoritas masyarakat di negara tersebut adalah muslim dan setiap wanita muslimnya menggunakan jilbab dengan kesadaran sendiri. Mulai dari masyarakat elit sampai masyarakat sipil sekalipun. Sedangkan bagi negara non-muslim, penggunaan kerudung atau jilbab masih dianggap sebagai hal yang aneh dan tabu oleh sebagian orang. Bahkan di beberapa negara non-muslim penggunaan jilbab dilarang keras oleh pemerintah dengan alasanalasan tertentu dan dengan menggunakan kebijakan atau aturan pelarangan jilbab. Negara- negara tersebut dikenal sebagai negara sekuler. Negara seculer adalah negara dengan bangsa-bangsa baru yang loyalitasnya dibangun dari rasa kewarganegaraan dan nasionalisme yang tinggi. Menurut Thomas Jeferson, sekuler merupakan istilah yang dipakai negara untuk 2
Ibid, hal. 72.
2
memisahkan antara gereja dan negara. Sedangkan menurut Hasbullah Bakry, negara secular merupakan negara yang menganut paham pemisahan secara tegas antara agama dan negara. Negara sekuler dicirikan sebagai 1) negara yang memisahkan unsure pemerintahan dari ideology-ideologi keagamaan, 2) ekspansi kekuasaan oleh struktur pemerintah dalam
bidang social dan ekonomi yang
awalnya dikuasai oleh stuktur keagamaan, 3) penilaian silang (transvaluation) atas kultur politik guna menekankan tujuan-tujuan keduniawian agar dapat dicapai manusia, 4) kekuasaan pemerintah terhadap kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan dan struktur eklesiastik3. Gagasan akan legitimasi negara yang berakar pada kehendak rakyat dan tidak berkaitan dengan unsure-unsur religious apapun adalah pandangan utama yang dianut oleh bangsa-bangsa negara sekuler4. Tidak hanya aspek social, politik dan negara yang terlepas dari unsure keagaamaan, namun aspek kulturalpun turut dilepaskan dari unsure keagamaan oleh negaranegara sekuler. Dengan memisahkan unsure-unsur sosial dan agama tersebut, negara sekuler dapat menghindari adanya hambatan-hambatan yang dapat merusak tujuan politik negara. Karena hambatan-hambatan tersebut sebagian besar diselesaikan melalui perundang-undangan yang dibuat dan diterima oleh para elit pemerintahan di negara tersebut. Sehingga kekuatan politik negara dapat berjalan tanpa dicampuri oleh nilai-nilai keagamaan dan komunitas tradisional. Perancis merupakan salah satu negara sekuler yang dengan tegas memisahkan permasalahan politik, social dan ekonominya dengan permasalahan 3
Donald Eugene Smith, Agama Di Tengah Sekulerisasi Politik (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985) hal. 91 4 Mark Juergensmeyer, Menentang Negara Sekular Kebangkitan Global Nasionalisme Religius, (Bandung: Mizan Pustaka, 1998) hal. 23
3
keagamaan. Perancis memilih menjadi negara sekuler dengan cara tidak memihak dan mengutamakan salah satu dari keyakinan-keyakinan yang ada di dunia agar tercipta kerukunan bagi masyarkatnya. Pemerintah Perancis juga tidak akan mengatur masalah-masalah keagamaan bagi masyarakatnya. Perancis akan membebaskan warga negaranya untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya karena hal tersebut telah menjadi permasalahan individu dan bukan permasalahan negara. Walaupun begitu, sebagai negara, Perancis masih tetap melindungi kebebasan beragama serta hak-hak masyarakatnya. Paham sekularisme Perancis terkandung dalam Undang-Undang Laicite yang terdapat dalam Konstitusi 1905. Undang Undang ini mengatur tentang pemisahan unsure kenegaraan dengan unsure keagamaan. Undang-Undang Laicite ini muncul karena adanya konflik yang berkepanjangan antar agama yang ingin mempertahankan kekuasaannya serta pengaruhnya dan elit-elit nasionalisme yang tidak menginginkan adanya unsure keagamaan dalam bidang politik dan kenegaraan. Menurut Sekjen Dewan Muslim Prancis (French Council for The Muslim Faith), Dr. Aslam Timol, pengesahan UU Laicite di Perancis ini lebih didasarkan pada kekhawatiran masyarakat Prancis tentang akan kembalinya terjadi konflik antar beragama yang terjadi antara tahun 1500 sampai 1905. Selama empat abad tersebut, Perancis terus-menerus diguncang konflik antaragama, baik katolik, protestan, maupun yahudi. Sehingga sejak konflik
4
tersebut, pemerintah Perancis mengunakan paham sekularisme sebagai landasan pemerintahannya5. Perancis merupakan salah satu negara secular yang melarang pemakaian jilbab di tempat umum sejak tahun 2004. Pelarangan penggunaan jibab tersebut bahkan menjadi keputusan politik dan diterapkan dalam undang-undang negara tersebut. Bagi negara sekuler, seperti Perancis penggunaan jilbab dianggap sebagai sesuatu yang dapat merusak sekuleritas di negara tersebut. Sebagai negara bebas, mereka tidak akan menerima sesuatu identitas keagamaan yang dianggap terlalu mencolok dan dapat mengundang perhatian di masyarakat karena akan menimbulkan aksi kekerasan dan membahayakan masyrakat di negara sekuler tersebut. Selain itu, negara-negara tersebut menentang penggunaan jilbab karena jibab dianggap tidak cocok dengan budaya negara mereka dan dianggap sebagai bentuk kemunduran suatu bangsa dan negara. Menurut Bruce Lawrence, kaum fundamentalis islam dianggap sebagai konsep global dari revolusi agama yang dapat melawan ideologi sekuler. Bahkan menurut Jacques Chirac, Presiden Perancis tahun 1995-2007, pemakaian jilbab dianggap sebagai bentuk agresi yang sulit diterima oleh masyarakat sekuler karena symbol agama islam tersebut tidak sesuai dan bertentangan dengan
nilai sekularisme yang dianut oleh negara
Perancis (Republika, 5 Maret 2004)6.
A. Syafril Mubah, “Larangan Pemakaian Simbol Agama di Prancis: Antara Penegakan Sekularisme dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia” diakses dari http://www.asafril.com/2009/02/larangan-pemakaian-simbol-agama-di.html 5
6
Ibid
5
Undang-undang pelarangan penggunaan jilbab sebenarnya sudah terjadi sejak pemerintahan Presiden Francois Mitterand pada tahun 1989. Pada tahun tersebut terdapat kasus mengenai tiga gadis yang dikeluarkan dari sekolah karena menggunakan jilbab. Namun, pemerintah Perancis atau dewan negara (Conseil d’État) akhirnya menoleransi ketiga gadis itu ketika terdapat beberapa respon dari masyarakat internasional yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah Perancis tersebut. Lalu pada tahun 2004, kebijakan pelarangan kerudung ini kembali disahkan dan menyebabkan ketidakadilan dan diskriminasi bagi wanita muslim di Perancis. Pelarangan jilbab di Perancis terhadap masyarakat muslim tidaklah pandang bulu, hampir seluruh kalangan masyarakat muslim Perancis, baik bekerja di institusi pemerintahan maupun swasta terkena dampak dari kebijakan pelarangan jilbab ini. Bahkan anak kecil serta gadis-gadis yang masih duduk di bangku sekolahanpun juga merasakan dampak pelarangan kerudung tersebut. Banyak muslim wanita yang harus rela kehilangan pekerjaan karena menggunakan jilbab. Adapula pekerja muslim yang harus membayar denda puluhan hingga ratusan euro karena pemakaian atribut keislaman tersebut. Bahkan pada tahun 2011, pemerintah Perancis telah mengesahkan peraturan yang memberlakukan denda dan hukuman penjara bagi para muslim wanita yang menggunakan jilbab di tempat umum. Sedangkan bagi pelajar-pelajar muslim wanita, mereka harus rela dikeluarkan dari sekolah karena menggunakan jilbab. Pada tahun 2013, dikeluarkanlah piagam sekularisasi untuk sekolah negeri di Perancis. Jika dilihat 6
dalam salah satu pasalnya, pelarangan jilbab oleh para pelajar muslim wanita sangat bertolak belakang dengan piagam ini. Karena dalam salah satu pasalnya, yaitu pasal 9, piagam ini menjelaskan mengenai ”Sekularisme menyiratkan penolakan terhadap semua kekerasan dan semua diskriminasi, menjamin kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, dan didasarkan pada budaya saling menghormati atas pemahaman yang lain”7. Pasal tersebut secara tegas mengatakan bahwa setiap pelajar diberi kebebasan berekspresi dalam beragama dan memakai atribut keagamaan tanpa adanya larangan dari pihak sekolah maupun negara. Namun pada kenyataannya, masih banyak pelajar muslim wanita yang diabaikan hak-haknya dalam mengenyam pendidikan karena menggunakan jilbab. Sebagai minoritas di negara sekuler, kaum muslim wanita yang menggunakan jilbab sering mengalami diskriminasi social dan hokum. Diskriminasi hokum terbukti dengan pengesahan undang-undang pelarangan pemakaian kerudung yang dilakukan oleh pemerintah sehingga mempersempit ruang gerak dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan diskriminasi social terbukti dengan perlakuan kasar dan tidak adil dari masyarakat sekitar. Sehingga wanita muslim di Perancis kurang mendapatkan perlakuan yang layak di masyarakat. Seperti dibahas diatas, di beberapa instansi dan perusahaan di Perancis, muslimah di Perancis harus rela melepaskan identitas agama islam tersebut agar bisa melanjutkan kehidupannya. Bahkan masyarakat muslim Perancis yang memakai kerudung rawan di pecat dari pekerjaan baik itu pekerjaan dalam instansi pemerintah maupaun sector swasta karena hukum Perancis sangat 7
http://www.eramuslim.com/berita/dunia-islam/perancis-menetapkan-sekularisme-di-sekolahdan-kembali-melarang-penggunaan-jilbabcadar.
7
menjunjung tinggi nilai sekularisme dan melarang karyawan-karyawan muslim wanita mengenakan simbol-simbol keagamaan di sekolah-sekolah umum, kantor layanan kesejahteraan atau fasilitas pemerintah lainnya. Selain itu, dalam penggunaan fasilitas-fasilitas umum mereka juga sering diabaikan hak-haknya. Dengan begitu, wanita muslim Perancis dapat dikatakan sebagai korban dari pelanggaran hak asasi manusia, baik oleh negara maupun oleh masyarakat. Pengesahan kebijakan pelarangan jilbab di negara Perancis terhadap wanita muslim menimbulkan berbagai reaksi di kancah domestic maupun internasional baik yang pro maupun yang kontra. Menurut lembaga survey Perancis, BVA (Brulé Ville et Associés), terdapat sekitar
86% masyarakat
Perancis setuju dengan kebijakan larangan penggunaan kerudung. Sedangkan pihak-pihak yang kontra terhadap kebijakan larangan penggunaan jilbab sendiri terdiri dari beberapa lembaga atau organisasi local maupun internasional. Misalnya adalah French Council for The Muslim Faith atau Conseil Français Du Culte Musulman (CFCM). Organisasi ini merupakan salah satu organisasi muslim yang berada dibawah otoritas kekuasaan pemerintah. CFCM berperan sebagai penyedia keperluan atau fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat muslim Perancis. Selain itu, dalam CFCM juga memiliki peran politis yaitu sebagai jembatan yang dapat menjembatani kepentingan atau tuntutan-tuntutan masyrakat muslim Perancis di kursi pemerintahan secara efektif. Lalu bagaimanakah upaya CFCM ini sendiri terhadap kebijakan pelarang jilbab di Perancis?
8
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, pokok permasalahan yang akan penulis bahas adalah “Bagaimana upaya Conseil Français Du Culte Musulman (CFCM) atau Dewan Agama Islam Perancis dalam menyelesaikan problem Larangan Pemakaian Jilbab 2004 dan 2011 Di Perancis?”
C. Kerangka Pemikiran/ Teori Yang Digunakan 1. Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. HAM di dasarkan pada prinsip bahwa manusia itu dimana-mana sama dan setara dalam mendapatkan hak-haknya. HAM dimaksudkan agar manusia dapat saling menghargai dan menghormati antar manusia lainnya, sehingga tercipta kedamaian antar umat manusia di didunia. Dalam pasal 1 Universal Declaration of Human Right 1948, berbunyi “All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”8. Jelas dikatakan bahwa setiap manusia di dunia dilahirkan bebas dan memiliki hak dan martabat yang sama sehingga tidak logis jika ada seorang individu yang mengambil dan menyalahgunakan hak asasi individu lainnya. Ketika hak-hak manusia disalahgunakan, diinjak-injak, disepelekan, dan dilanggar, maka akan muncul tuntutan pemulihannya 8
https://www.dpr.go.id/kajian/Pemajuan-dan-Perlindungan-Hak-Asasi-Manusia-Dalam-KonteksHubungan-Internasional-dan-Indonesia-2008.pdf
9
yaitu dalam bentuk hukuman yang akan di berikan kepada pelaku penyalahgunaan hak asasi manusia. Tuntutan tersebut diterapkan sesuai dengan aturan dan hokum-hukum yang tercantum dalam undang-undanag di masing-masing negara. Hak-hak yang dimiliki setiap individu meliputi hak hidup, kebebasan dan property. Konsep hak asasi manusia diatas tersebut tidak bisa dipisahkan dengan analisa para pemikir besar pada abad 18 dan abad 19. Analisa-analisa pemikir besar ini menjadi salah satu factor yang mendasari munculnya Declaration Of Human Right 1948. Pada abad ke-18, hak asasi manusia diartikan sebagai hak yang diberikan kepada Tuhan sebagai konsekuensi manusia adalah ciptaan Tuhan Yang maha Esa dan hak-hak tersebut bersifat kodrati. Hak-hak yang dimiliki manusia tersebut bersifat alamiah dan kemudian hak tersebut dibawa kedalam kehidupan bermasyarakat. Dalam ruang lingkup bermasyarakat, hak asasi manusia ini tetap bersifat otonom dan berdaulat meskipun diatur dibawah nilai-nilai atau norma institusi negara atau pemerintahan. Jadi, pada abad ini, hak asasi manusia mulai mementingkan kepentingan dan kemerdekaan individu didalam bermasyarakat. Hal ini juga sebagai cermin dari adanya system pemerintahan diktator dan otoriter yang mana penguasa tidak menjamin hak asasi manusia setiap individu masyarakatnya sebagaimana mestinya, tetapi selalu mengontrol dan mengekang setiap pergerakan individunya. Sedangkan pada abad ke 19, hak asasi manusia lebih dipahami memiliki fungsi social. Pengaruh paham sosialisme menjadikan kepentingan
10
kelompok harus lebih diutamakan daripada kepentingan individu. Mereka memahami setiap individu tidak bisa hidup sendiri-sendiri, mereka harus hidup bermasyarakat dan berkelompok. Hal itu didasari karena adanya persamaan tujuan dan kepentingan sehingga menjadikan hak-hak individu mengandung unsure-unsur social dan persamaan di depan hokum. Menurut Mahatma Gandhi, terdapat lima hak asasi social yang memperoleh pengakuan yang sah serta mendapat pengakuan, yaitu hak terbebas dari tindakan kejahatan (freedom from violence), hak bebas kemiskinan (freedom from wants), hak terbebas dari eksploitasi (freedom exploitation), hak terbebas dari pelanggaran dan dipermalukan (freedom from violation and dishonor), dan hak terbebas dari kematian dini dan penyakit (freedom from early dead and desease). Lalu konsep hak asasi manusia pada abad ke 20, tersurat dalam piagam Declaration of Human Right 1948. Pada konsep HAM abad ini menggabungkan kebebasan individu dan kesejahteraan social, juga menggabungkan peran pemerintah dan individu dalam usaha untuk memajukan kesejahteraan manusia bersama. Tak hanya itu, hak asasi manusia tidak hanya terbatas pada hak politik dan sipil saja, tetapi juga termasuk dalam hak ekonomi, social dan cultural. Dalam Konvensi Internasional PBB tentang hak-hak social dan politik yang telah diratifikasi dalam UU no 12 tahun 2005 tentang hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, dalam pasal 18 dijelaskan mengenai kebebasan
setiap
orang
yang
berhak
menentukan
agama
dan
11
kepercayaannya masing-masing mencakup menjalankan segala ajaran, kegiatan dan pengamalan dari agama yang dianut. Dapat dilihat pemakaian jilbab merupakan salah satu aspek dari kebebasan beragama. Kebebasan individu ini seharusnya tidak dicampuri dengan adanya pihak lain, baik individu lain maupun pemerintah. Namun, kenyataannya, hak kebebasan beragama di Perancis ini tidak ditoleransi hanya karena prinsip negara sekuler yang memandang adil terhadap semua keyakinan, termasuk identitas keyakinan tersebut. Negara masih toleran terhadap identitas keagamaan yang dianggap masih dalam batas normal, tetapi tidak bagi identitas yang terlalu mencolok dan menimbulkan reaksi di masyarakat. Dengan adanya UU pelarangan jilbab di Perancis, wanita muslim di Perancis sudah dilanggar haknya. Selain itu, mereka juga diperlakukan secara tidak adil dan diskriminatis baik oleh pemerintah maupun masyarakat local. 2. Negosiasi Menurut Herb Cohen, negosiasi merupakan penggunaan informasi dan kekuatan untuk memperngaruhi sikap dalam suatu “jaringan ketegangan” 9. Dengan kekuatan dan informasi tersebut, seseorang dapat menggerakan orang lain untuk rela melakukan sesuatu yang diinginkan dan mencapai kata sepakat diantara keduabelah pihak. Selain kedua unsure diatas, negosiasi juga memerlukan “waktu” yang digunakan sebagai alat untuk menekan ataupun mendesak pihak lain.
9
Herb Cohen, negosiasi, (Jakarta: PT Pantja Simpati, 1986) hal. 14
12
Negosiasi dapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu a. menyetujui bagaimana membagi sebuah sumber yang terbatas, b. menciptakan sesuatu yang baru dimana kedua belah pihak akan melakukan dengan cara mereka sendiri, c. menyelesaikan masalah atau perselisihan diantara kedua belah pihak10. Dalam bukunya yagn berjudul Negosiasi, Roy Lewicki, Bruce Barry dan David Saunders memahami negosiasi sebagai proses dimana dua atau lebih
pihak
berusaha
menyelesaikan
kepentingan
mereka
ynag
bertentangan. Menurut mereka, dalam setiap negosiasi entah dalam konteks individu, kelompok ataupun negara sekalipun pasti memiliki karakteristik yang sama. Karakteristik-karakteristik tersebut meliputi: a. adanya dua atau lebih pihak yang bertentangan dan melakukan negosiasi, b. terdapat konflik atau kebutuhan, kepentingan, keinginan dari setiap pihak-pihak yang berangkutan, c. para pihak bernegosiasi dengan sungguh-sungguh, artinya masing-masing pihak yakin akan dapat mencapai kepentingan yang mereka inginan melalui negosiasi daripada harus merima dan memberikan kepentingan tersebut secara sukarela kepada pihak lawan, d. kedua belah pihak saling melakukan kompromi atau tawar menawar untuk menggoyahkan tekad pihak lawan, e. kedua belah pihak lebih menyukai negosiasi daripada mengalahkan secara terbuka walaupun pihak satu lebih mendominasi pihak lainnya sehingga
10
Roy J, Lewicki, et al., Negosiasi (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2012), hal. 3
13
jika jika perselisihan belum selesai, mereka memerlukan pihak ketiga untuk membentu menyelesaikan permasalahan tersebut. 3. Kelompok Kepentingan Kelompok Kepentingan atau Interest Group merupakan sebuah asosiasi individual atau organisasi yang mencoba untuk mempengaruhi kebijakan publik dengan cara lobbying dengan para anggota di pemerintahan11. Kelompok kepentingan dapat secara langsung atau tidak langsung memakai
professional
lobbyists
dalam
mempengaruhi
keputusan
legislative tersebut dengan cara langsung berkomunikasi dengan pemerintah, berpartisipasi dalam dengar pendapat, menyusun laporan mengenai isu-isu tertentu dan melalui penyampaian pendapat-pendapat di media-media12. Namun, keberhasilan kelompok kepentingan dalam mempengaruhi kebijakan publik tetap tergantung dari seberapa banyak power yang dimiliki oleh kelompok kepentingan tersebut dan juga tergantung pada keingingan untuk mengopreasikan kelompok kepentingan biasanya berfokus pada suatu program atau isu13. Dengan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Perancis, umat muslim Perancis, khususnya wanita muslim Perancis tidak dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat mendukung kehidupan seharihari seperti bekerja dan sekolah. Mereka tidak mendapatkan fasilitas dan sarana-sarana pengganti yang dilakukan untuk mendukung kebutuhan
“Influence of interest groups on policy-making”, diakses dari http://www.u4.no/publications/influence-of-interest-groups-on-policy-making/downloadasset/2892 12 ibid 13 ibid 11
14
hidup sehari-hari. Bahkan para wanita muslim tersebut harus rela melakukan aktivitas-aktivitasnya didalam rumah agar terhindar dari sikap diskriminasi masyarakat setempat. Hal ini tentu membuat prihatin beberapa kelompok ataupun organisasi-organisasi pro islam baik local maupun local. Untuk itu, French Council For The Muslim Faith atau Conseil Français Du Culte Musulman (CFCM), sebagai salah satu kelompok kepentingan di Perancis berusaha untuk mempengaruhi atau melobby pemerintah mengenai isu pelarangan kerudung pada 2004 dan 2011. Upaya ini dilakukan sebagai langkah untuk mengembalikan hakhak wanita muslim Perancis tersebut agar wanita muslim Perancis dipandang sama sebagai warga Perancis lainnya tanpa adanya sikap diskriminasi ataupun pengasingan dari masyarakat dan pemerintah. selain itu, CFCM juga bernegosiasi dengan pemerintah untuk mencari titik tengah dalam penegakan isu ini.
D. Hipotesa Berdasarkan rumusan masalah diatas, hipotesa penelitian ini adalah Conseil Français Du Culte Musulman (CFCM) dalam menolak UU Pelarangan Jilbab di Perancis dan mengusulkan atau memberikan tuntutan kepada pemerintah Perancis agar mengubah atau merevisi UUD tersebut supaya masyarakat muslim Perancis bisa mendapatkan kembali hak-haknya sebagai warga negara dan sebagai umat muslim.
15
E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang ingin penulis capai adalah : a. Mengetahui tentang Dewan Agama Islam Perancis (CFCM). b. Mengetahui tentang peran dan kontribusi CFCM bagi masyarakat muslim Perancis. c. Mengetahui reaksi CFCM terhadap kebijakan pelarangan jilbab di Perancis.
F. Metode Penelitian Jenis Penelitian pada skripsi ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan
penelitian
yang
tidak
menggunakan
model-model
matematik, angka, statistik atau komputer. Proses penelitian kualitatif dimulai dengan menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir dalam penelitiannya. Menurut Bogdan dan Taylor, metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan Kirk dan Miller mengartikan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bergantung pada pengamatan dan analisa.
G. Sistematika Penulisan Sistematika Penulisan dibagi menjadi lima bab. Dalam setiap babnya berisi keterangan singkat mengenai pembahasan yang akan dibahas mengenai 16
skripsi ini sehingga penyusunan skripsi dapat dilakukan dengan mudah dan sistematis. Berikut uraian singkat dari bab I hingga bab V : BAB I :
berisi tentang pendahuluan, yang terdiri dari, latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka dasar pemikiran, hipotesa, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II :
berisi tentang Conseil Français Du Culte Musulman (CFCM) beserta tujuan, latar belakang terbentuknya CFCM, stuktur politik dan system pemilu CFCM, serta peran dan kontribusinya terhadap masyarakat muslim Perancis.
BAB III :
berisi tentang problematika masyarakat muslim di Perancis dan sejarah pelarangan jilbab di Perancis dari awal pelarangan hingga diputuskan menjadi UU Pelarangan Jilbab pada tahun 2004 dan 2011.
BAB IV :
berisi tentang upaya Conseil Français Du Culte Musulman (CFCM) terhadap kebijakan pelarangan Jilbab di Perancis dan reaksi organisasi internasional mengenai isu tersebut.
BAB V :
berisi kesimpulan yang merupakan rangkuman-rangkuman dari pembahasan ataupun penjelasan yang telah dipaparkan pada babbab sebelumnya.
17