BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Kepolisian merupakan salah satu institusi Negara sebagai lapisan terdepan
penjaga masyarakat, haruslah terdepan pula mempertahankan integritas moral, dan dengan landasan moral seyogyanya hukum ditegakkan.Polisi sebagai penegak hukum sebagai bagian dari tugas pokoknya. Sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya yang cukup berat dan cenderung tugasnya yang dilaksanakan dilapangan dilakukan secara individu serta dia dituntut untuk mampu mengambil keputusan secara perorangan dalam menghadapi situasi yang nyata Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lebih menitikberatkan pada fungsi pelayanan masyarakat dan sesuai Konvensi Internasional yang menyangkut fungsi-fungsi kepolisian ialah bagian dari fungsi pemerintahan yang bertugas menyelenggarakan dan menciptakan keamanan didalam negeri. Penegakan hukum dalam hubungan dengan tugas polisi adalah penegakan hukum pidana.Tugas polisi senantiasa diukur dengan upaya menciptakan keamanan masyarakat bukan rasa keadilan individu perorangan Pengambilan keputusan yang dilakukan polisi menyangkut masalah ketertiban dan keamanan masyarakat yang erat kaitannya denagan hak asasi manusia.Terkadang ada bebarpa anggota oknum polisi yang keliru dalam mengambil keputusan guna mencegah sesuatu masalah, akibatnya ada anggota
1
2
masyarakat tertentu merasa dilanggar hak-haknya dan memberikan tanggapan negatif pada polisi.Sehingga berbagai pertanyaan timbul di kalangan masyarakat mengapa polisi menggunakan kekerasan, tidak tanggap, kurang melindungi, dan mengayomi masyarakat.Kondisi tersebut dilatarbelakangi oleh bagaimana pelaksanaan penegakan hukum di lapangan, khususnya tindakan kepolisian di tempat kejadian perkara yang dpat diukur dari standar kualitas kemampuan profesi Kepolisian ataupun ketidakmampuan institusi Kepolisian melaksanakan tugasnya di bidang penegakan hokum. Lembaga Kepolisian dinilai oleh masyarakat dalam menghadapi pelaku-pelaku kejahatan sering menggunakan tindakan kekerasan yang tidak jarang menimbulkan korban jiwa masyarakat. Dalam setiap melakukan tindakan Polisi mempunyai kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri hal ini sering disalahgunakan oleh oknum anggota Kepolisian.Kewenagan ini tertulis di dalam pasal 18 ayat (1) UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia berisi: “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilainnya sendiri” Pasal ini dapat disebut dengan kewenanangan diskresi, dalam penerapan di lapangan biasanya Polisi melakukan tindakan tembak ditempat terhadap tersangka.Pada dasarnya pemberlakuan tembak ditempat terhadap tersangka bersifat situasional, yaitu berdassarkan pada prinsip proposionalitas dalam penanggulangan kekerasan dan senjata api harus diterapkan pada saat keadaan tertentu. Polisi dalam menangani kasus yang bersifat individual, sehingga
3
diperlukan tindakan individual pula.Berdasarkan karakter profesi yang seperti itu.Kepolisian memberlakukan prinsip atau asas diskresi.Dibawah prinsip ini seorang polisi boleh dan dapat mengambil keputusan dan tindakan sendiri, berdasarkan pertimbangan individual.Contohnya: untuk melakukan penembakan terhadap musuh “dalam operasi Polisi, menembak bertujuan untuk, melimpuhkan musuh, dimana musuh adalah tindakan kejahatan”. Seorang Polisi yang sedang melakukan operasi dapat memutuskan sendiri, apakah ia perlu menembak atau tidak. Setelah ia memutuskan “menarik pelatuk” atau “tidak menarik pelatuk” maka anggota polisi yang bersangkutan akan mempertanggungjawabkan keputusannya kepada atasannya. Menurut Sutanto dalam bukunya Menejemen Investigasi berpendapat: “Penerapan atas asas diskresi tidak semudah teori, terutama berkaitan dengan pertanggungjawaban pasca tindakan.Seorang Polisi yang mengambil keputusan
untuk
menembak
seseorang
tersangka
kemudian
harus
mempertanggung jawabkan keputusan itu kepada atasannya dan ia harus dapat memberikan alasannya mengapaperlu menembak tersangka.Tetapi mungki saja terjadi hal yang sebaliknya, yaitu jika seorang polisi tidak melakukan penembakan dan ternyata tersangka lolos dari pengejaran atau dalam situasi lain dimana ia tidak menembak, padahal seorang penjahat mengancam nyawa orang lain dengan senjata, dalam hal ini, ia tetap harus mempertanggung jawabkan keputusan mengapa ia tidak menarik pelatuk senjatanya”.1 Adapun pengertian diskresi Kepolisian menurut Thomas J. Aaron adalah
1
Sutano, Manajemen Investigasi, Pensil 324, Jakarta 2008,hlm. 75.
4
Suatu wewenang yang diberikan kepada Polisi, untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu yang membutuhkan pertimbangan sendiri dan masalah moral, serta terletak dalam garis batas antara hukum dan moral”2 Tindakan Polisi dalam aplikasi empiris adalah salah satu bentuk putusan Polisi dari menterjemahkan Undang-Undang, kemudian diterapkan di lapangan dalam tindakan nyata adalah salah satu realitas hukum.Lain lagi dengan polisi dibidang reserse yaitu bagian penegakan hukum dibidang kriminal, hal-halyang tidak diinginkan secara akal sehat ditemui di lapangan yang menuntut Polisi segera bertindak, pilihan tindakan sepenuhnya ditangan Polisi sebagai pengambil kebijakan dengan menimbang-nimbang kebijakan yang tepat sesuai dengan kekuasaan diskresi-fungsional Kepolisian yang diberikan kepada Polisi. Prosedur penggunaan senjata api secara formal telah diatur. Namun, apakah dalam pelaksanaannya telah sesuai dengan ketentuan tersebut dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku Tentu dalam prosedur formal menjadi standar operasional prosedur dalam pelaksanaan tugas Kepolisian, akan tetapi kebijakan di lapangan sangat menentukan apa yang dilakukan oleh seorang Polisi. Sebab, selain kebijakan formal ada kebijakan informal di Satuan kerja Polri, umpamanya yang bersifat situasional.Yaitu penggunaan senjata api serta eksekusi tanpa proses hukum semestinya. Misalnya perintah “Tembak Di tempat” terhadap pelanggar hukum pada setiap hari raya nasional.Juga perintah serupa ditujukan pada para pelaku tindak pidana residivis yang tertembak atau sadis dalam melakukan kejahatannya
2
Sitompul, Beberapa Tugas dan Peranan Polri, CV Wanthy Jaya, Jakarta 2000,hlm. 2.
5
Maka dari itu penulis beranggapan perlu untuk melakukan penelitian dalam
bentuk
skripsi
yang
berjudul
“KEBIJAKAN
PELAKSANAAN
TINDAKAN TEMBAK DI TEMPAT YANG DIMILIKI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA”
B.
IDENTIFIKASI MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis
mengidentifikasikan masalah yang diteliti: 1. Bagaimana prosedur tentang pengambilan suatu keputusan tembak di tempat terhadap pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang Kepolisian? 2. Upaya apakah yang dapat dilakukan untuk mengontrol tindakan tembak di tempat agar tidak bertentangan Hak Asasi Manusia?
C.
TUJUAN PENELITIAN 1. Ingin mengetahui dan mengkaji bagaimana pengambilan suatu keputusan tembak di tempat terhadap pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang Kepolisian? 2. Ingin mengetahui dan mengkaji Upaya apakah yang dapat dilakukan untuk
mengontrol
tindakan
tembakan
bertentangan Hak Asasi Manusia?
D.
KEGUNAAN PENELITIAN 1. Secara Teoretis
di
tempat
agar
tidak
6
a. Memberikan masukan dan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu hukum dan mendalami tugas dan kewenangan polisi. b. Dapat dijadikan sebagai referensi awal untuk menalaah lebih dalam lagi makna, pemberlakuan dan ketentuan dari tembak di tempat oleh Kepolisian serta aturan yang mengaturnya. 2. Secara Praktis a. Bagi pemerintah dalam hal instansi yang terkait dalam hasil penelitian ini menjadi masukan dan sumbangan pemikiran kepada pihak yang berwenang di dalam menerapkan hukum. b. Bagi masyarakan untuk meningkatkan kesadaran mengenai arti pentingnya mematuhi hukum sehingga fungsi dan tujuan hukum dapat tercapai. Pada sudut pandang lainnya untuk lebih mengenal, memahami, dan mempelajari lebih mengenai ketentuan-ketentuan hukum tembak di tempat oleh Kepolisian.
E.
KERANGKA PEMIKIRAN Asas kepastian hukum tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 alinea
keempat tentang keadilan sosial.Undang-Undang Dasar 1945 dalam tata urutan peraturan hukum di Indonesia, merupakan peraturan hokum tertinggi yang menjadi dasar bagi peraturan-peraturan yang di bawahnya.Dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum (rechtstaat).Di mana Negara hukum adalah Negara penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum dan menempatkan hukum
7
sebagai hal yang tertinggi.Menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa Negara hukum semua alat-alat perlengkapan dari Negara, khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam tindaknya baik terhadap para warga Negara maupun dalam Negara saling berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku dan semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Dalam sistem hukum Indonesia, suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau perilaku melanggar hukum pidana apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada menentukan bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana.Hal ini berkenaan dengan berlakunya asas legalitas sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.Bunyi pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut, yaitu:3 Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas ketentuan pidana dalam Undang-Undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu Semangat pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut telah ditegaskan oleh pasal 28-1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan dengan demikian memperoleh jaminan secara konstitusional Lengkapnya bunyi pasal 28-1 ayat (1) adalah sebagai berikut:4 Hak untuk hidup, hak untuk disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar 3
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1996, hlm. 27. Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers Cetakan kedua, Jakarta, 2007, hlm. 26. 4
8
hokum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Salah satu tugas polisi adalah menegakkan hukum yang di dalam banyak penerapan hokum atau Undang-Undang.Dalam kenyataannya banyak ketentuan Undang-undang yang di dalam penerapannya di lapangan membutuhkan diskresi Kepolisian, hal ini disebabkan karena situasi dan keadaan yang dihadapi oleh polisi di lapangan sangat berbeda. Misalnya pasal 5 ayat 1.a butir ke-4 KUHAP yang menyatakan sebagai berikut: Karena kewajibannya (setiap anggota polisi) mempunyai wewenang untuk mengadakan tindakan yang menurut hukum yang bertanggungjawab. Adapun batasan dari pasal 5 ayat 1 tentang tindakan, yaitu: 1. Tidak bertentangan dengan aturan hukum. 2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan. 3. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. 4. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa. 5. Menghormati Hak Asasi Manusia. Tindakan-tindakan yang dilakukan sebelum meningkat
pada taraf
penggunaan senjata api lebih dulu dilakukan pengawasan polisi di mana dilakukan untuk melihat pada sasaran sampai sejauh mana pelanggaran hokum telah dilakukan oleh seseorang atau sekelompok, kemudian polisi tersebut meberikan
9
peringatan dan anjuran di mana diberikan kepada seseorang atau sekelompok apabila diketahui akan terjadi suatu pelanggaran hukum yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Penggunaan kekerasan senjata api dalam tugas polisi merupakan tindakan paling terakhir, apabila penggunaan kekerasan dengan suara keras dan penggunaan kekerasan dengan tenaga jasmani tidak berhasil untuk mengatasi ancaman yang dapat menyerang anggota polisi tersebut dan masyarakat. Penggunaan kekerasan dengan senjata api oleh anggota polisi harus terlebih dahulu memperhatikan asas-asas sebagai berikut: 1. Asas Legalitas Asas legalitas adalah setiap tindakan polisi harus didasarkan pada peraturan perundang undangan (asas legalitas ini berlaku pula terhadap penggunaan ketentuan Senjata Api oleh polisi di mana penggunaannya harus berdasarkan Undang-Undang).5 2. Asas Plichtmigheid (asas kewajiban) Menurut Oemar Seno Adji asas kewajiban setipa tindakan Polisi harus berdasarkan pada kewenangan hukum yang diberikan kepada Polisi yang bersangkutan, dan didasarkan kepada kewajiban Polisi untuk bertindak mengatasi gangguan Kamtibnas yang sedang terjadi, berdasarkan penilaian dari Anggota Polisi yang bersangkutan, dengan asas ini memeperkenankan Polisi mengambil langkah dan tindakan dalam keadaan terpaksa, untuk mengatasi gangguan atau keamanan dan ketertiban umum.6
5 6
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 37. Sitompul, Op.Cit,hlm 93
10
3. Asas Keseimbangan Asas Keseimbangan adalah ada ada keseimbangan antara kepentingan hukum yang dibela dengan kepentingan hukum yang dilanggar7 Melakukan kekerasan fisik secara etis dalam perpolisian didasarkan pada satu prinsip, yaitu proporsionalitas.Menurut prinsip ini, pertama-tama petugas kepolisian harus bertanya kepada dirinya sendiri, tujuan apa yang ingin ia capai dalm sebuah situasi dan metode apa yang ingin digunakan untuk mencapai tujuan tersebut, dimana Polisi hanya menggunakan kekuatan secukupnya saja.8 Oleh karena itu setiap anggota Polisi harus memperlakukan setiap orang yang dihadapinya tidak bersalah secara sopan, hormat dan profesional Selain itu setiap anggota Polisi tidak boleh sama sekali menggunakan alat-alat yang penggunaannya dibatasi untuk menghukum tersangka, dimana alat-alat tersebut hanya digunakan jika memang diperlukan, seperti mencegah unuk tersangka melarikan diri. Berdasarkan prinsip-prinsip Dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh petugas Kepolisian terdapat beberapa tahapan yang harus dipenuhi oleh Polisi dalam menggunakan senjata api yaitu:9 1. Cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu 2. Kekerasan dipakai hanya bila sangat diperlukan 7
Ibid,hlm. 97. Ibid,hlm. 68. 9 Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia, Buku Panduan Tentang Hak Asasi Manusia Untuk Anggota Polri, Jakarta, 2006, hlm. 92. 8
11
3. Kekerasan dipakai hanya untuk penegakan hokum yang sah 4. Tidak ada pengecualian atau alas an apapun yang dibolehkan untuk menggunakan kekerasan yang tidak berdasarkan hokum 5. Penggunaan kekerasan harus selalu proporsional dengan tujuannya (yang sesuai dengan hukum) 6. Harus ada pembatasan dalam penggunaan kekerasan 7. Kerusakan dan luka-luka harus dikurangi 8. Harus tersedia berbagai jenis alat yang dipakai dalam berbagai penggunaan kekerasan yang beragam 9. Semua petugas harus dilatih dalam menggunakan berbagai peralatan yang dipakai dalam berbagai penggunaan kekerasan yang beragam 10. Semua petugas harus dilatih tentang menggunakan cara-cara tanpa kekerasan
F.
METODE PENELITIAN Metode merupakan prosedur atau cara untuk mengetahui atau menjalankan
sesuatu
melalui
langkah-langkah
yang
sistematis,
sedangkan
penelitian
merupakan usaha yang terorganisir dan sitematis untuk menyelidiki suatu masalah yang spesifik dan membutuhkan solusi, dengan kata lain keseluruhan proses yang dilakukan untuk memecahkan masalah, sehingga jika disimpulkan metode penelitian dapat diartikan sebagai suatu cara atau prosedur yang dilakukan secara sistematis yang bertujuan untuk menyelidiki suatu masalah serta untuk memecahkan guna mendapatkan kebenaran objek yang diteliti.
12
1. Spesifikasi Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan spesifikasi Penelitian Deskriptif Analitis, sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto: “Penelitian yang bersifat Deskriptif Analitis, dimaksudkan untuk memberikan data setiliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala tertentu.Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa, agar dapat memperkuat teori-teori lama atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru”10 Penelitian Deskritif Analitis dimaksudkan untuk menggambarkan data seteliti mungkin tentang pelaksanaan kewenangan tembak ditempat oleh petugas Kepolisian terhadap tersangka dilihat dari aspek Hukum Acara Pidana dan Hak Asasi Manusia, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk menganalisis identifikasi masalah yang peneliti paparkan 2. Metode Pendekatan Metode Pendekatan yang peneliti gunakan adalah metode pendekatan Yuridis Normatif, karena merupakan data sekunder tentang tindakan kewenangan tembak ditempat oleh petugas kepolisian terhadap tersangka yang terjadi di Indonesia dilihat dari perspektif Hukum Acara Pidana dan Hak Asasi Manusia yang ditunjang oleh data primer. 3. Tahapan Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini merupakan penelitian Normatif, sehingga dalam penelitian ini data yang paling utama yang digunakan adalah data sekunder (data yang sudah jadi)
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 10.
13
Berkenaan dengan digunakannya penekatan yuridis normatif, maka penelitian yang dilakukan ada dua tahap yaitu: a. Penelitian Kepustakaan Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji data sekunder berupa: Bahan-bahan hukum primer, yaitu beberapa Undang-undang diantaranya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia. b. Penelitian Lapangan Penelitian Lapangan adalah suatu cara memperoleh data yang bersifat primer.Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk menunjang dan melengkapi data skunder, dengan cara melakukan pencarian dan pengumpulan data di Kepolisian Negara Republik Indonesia Derah Jawa Barat Wilayah Cirebon Kota, dengan cara wawancara dengan petugas kepolisian Polres Cirebon Kota bagian Reskrim mengenai persoalan yang sedang diteliti oleh penulis.
14
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara studi kepustakaan dan mengumpulkan data, baik yang ada dalam litelatur maupun perundang-undangan yang berlaku, setelah data tersebut terkumpul maka data tersebut diolah dan apakah satu aturan bertentangan dengan aturan lainnya atau tidak baik dalam hal pasal demi pasal ataupun asas demi asas. Kemudian dilakukan teknik pengumpulan data dengan cara wawancara berdasarkan kasus yang ada dengan pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti. 5. Alat Pengumpulan Data a. Studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari materi-materi bacaan berupa buku-buku karangan ilmiah, dan peraturan Perundangundangan yang berlaku. b.
Penelitian lapangan yaitu pengumpulan data dengan cara mendapatkan instrument yuridis dari instansi terkait serta pengumpulan bahan-bahan dan data-data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas guna menunjang pembahasan masalah.
6. Analisis Data Analisis Data dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara sisitematis dan konsisten terhadap geajala-gejala tertentu.11 Dalam penelitian ini, data analisis secara Yurudis Kualitatif.Digunakan karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif terhadap masalah yang berkaitan mengenai masalh kewenangan tembak ditempat oleh petugas Kepolisian terhadap tersangka. Dalam
11
Soerjono Soekamto, Kesadaran dan Kepatuhan Hukum, Rajawali, jakarata 1982, hlm. 37.
15
analisis data ini penulis telah memeperoleh data literature, perundang-undangan, kasus tembak ditempat oleh petugas Kepolisian terhadap tersangka dan hasil wawancara dari petugas kepolisian Polres Cirebon Kota mengenai masalah kewenangan tembak ditempat.Kemudian data tersebut diolah antara kasus yang telah terjadi dan ditangani oleh petugas kepolisian (Polres Cirebon Kota) dengan peraturan pearundang-undangan yang ada apakah dalam kasus tersebut telah sesuai dalam pelaksanaannya dengan perundang-undangan. 7. Lokasi Penelitian a. Perpustakaan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, Jalan terusan Pemuda No. 01 A b. Instansi/Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Barat Wilayah Polres Cirbon Kota, Jalan Veteran No. 05 Cirebon