BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Dalam persaingan bebas antar bangsa di era globalisasi ini, sumber daya manusia memegang peran utama dalam menentukan kedudukan suatu bangsa. Pendidikan , merupakan kata kunci dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak didik untuk dapat mengatasi
masalah
yang
ditemukan
saat
ia
dewasa.
Pendidik
harus
memperkirakan kemampuan apa saja yang harus dikuasai dan diperlukan dimasa depan anak, paling tidak dalam 10 hingga 20 tahun kedepan. Pada saat ini, karena pesatnya kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi,
sulit bagi pendidik
untuk meramalkan kebutuhan anak dimasa depan. Kompleksitas permasalahan dalam keterbukaan batas batas antar negara menyebabkan persaingan yang keras bagi generasi yang akan datang. Hal ini sejalan dengan pendapat Shahib ( 2005: 18) sebagai berikut : Terdapat beberapa hal yang harus dihadapi dimasa depan, yaitu heterogenitas karena mobilisasi manusia yang tinggi, kompleksitas dan komprehensivitas yang meningkat membutuhkan kemampuan memecahkan masalah dari berbagai sudut pandang dan komprehensif, dunia tanpa sekat (borderless) karena kebebasan arus informasi dan komunikasi, inovasi untuk menghasilkan produk yang bersaing, dan hubungan timbal balik antar negara meningkat.
Dalam abad ke 21, yang diwarnai oleh paham post-modernisme, kreativitas merupakan hal yang amat penting, bahkan Craft lebih jauh menyatakan ”...
1
Kreativitas adalah nilai utama dari postmodernisme ” (Craft, 2000:244). Keterbatasan sumber daya alam yang tak terbaharui dapat menimbulkan masalah bagi kelangsungan hidup manusia dan menuntut umat manusia untuk selalu berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa sepenuhnya tergantung pada sumber alam. Munandar (2004:7)
beranggapan ”... berkurangnya persediaan
sumber alam, menuntut adaptasi secara kreatif dan pemecahan masalah yang imajinatif.” Kreativitas diperlukan untuk mengantisipasi berbagai hal yang bersifat chaos, satu aksi dapat menimbulkan
banyak reaksi,
keadaan begitu cepat
berubah tanpa dapat diprediksi secara akurat. Gagne, bahkan menyebutkan bahwa kemampuan memecahkan masalah adalah tujuan utama pendidikan ”... The capability of problem solving is, naturally, a major aim of the educational process.” (Gagne, 1992: 64) Kreativitas merupakan kemampuan fungsi luhur (higher function) dari otak manusia yang membedakannya dengan binatang. Manusia mampu menemukan alat dan perkakas dengan daya kreativitasnya untuk mempermudahnya mengatasi permasalahan hidup. Kemampuan menemukan alat ini dimiliki oleh setiap manusia bahkan sejak usia anak-anak. Anak berusia tiga tahun telah memiliki kemampuan untuk menggunakan dan memanfaatkan alat untuk mempermudah pekerjaannya. Selain tuntutan globalisasi, Munandar beranggapan bahwa ”... kreativitas penting dikembangkan, karena dengan berkreasi orang dapat mengaktualisasikan dirinya yang merupakan puncak piramida kebutuhan diri dari Maslow.” (Munandar,2004:18)
Pada kenyataannya, saat ini pengembangan sikap kreatif
2
pada anak didik, masih kurang mendapat perhatian dalam pelaksanaan program pendidikan. Pendidikan , bahkan lebih banyak menekankan pada kemampuan berpikir logis, penalaran, ingatan, pengetahuan. Setiap orang mampu menjadi kreatif, begitu pula kemampuan kreativitas bangsa Indonesia seharusnya setara dengan bangsa lain. Tidak banyak data penelitian yang menyebutkan atau menyimpulkan bagaimana tingkat kreativitas bangsa Indonesia. Hal ini karena tidak banyak studi berbasis populasi yang dilakukan di Indonesia dan beragamnya definisi, batasan serta cara pengukuran kreativitas. Dilain pihak, untuk mengukur kreativitas masih terdapat beberapa pandangan yang bersifat kontroversi. Bagi sebagian pakar, mengukur kreativitas bagaikan sebuah paradoks, karena salah satu prinsip kreativitas adalah kemampuan untuk berpikir divergen yang sulit diukur dengan suatu alat ukur yang terstandarisasi. Beberapa fenomena dapat dikatakan mengindikasikan rendahnya tingkat kreativitas bangsa Indonesia, antara lain rendahnya penghargaan pada hak kekayaan intelektual, kecenderungan untuk meniru dan mengikuti produk ciptaan orang lain, maraknya pembajakan baik hasil karya seni maupun komersial. Rendahnya tingkat kreativitas ini juga ditemukan pada dunia pendidikan di setiap tingkatan. Kasus plagiarisme pada karya tulis ditemukan pada tingkat sarjana S-1 hingga tingkat S-3. Tidak banyak hasil penelitian ataupun penulisan karya ilmiah, menggambarkan masih rendahnya tingkat kreativitas yang menyebabkan perguruan tinggi di Indonesia tidak mendapat peringkat yang memadai bahkan ditingkat Asia.
3
Bangsa Indonesia juga masih menjadi bangsa konsumen (consumptive society), pengguna hasil produksi dari negara lain dan bukan bangsa produsen (productive society). Hal ini diperberat dengan perasaan inferior dan anggapan bahwa hasil karya bangsa lain terutama negara maju lebih baik dari karya sendiri. Dalam bahasa yang senada, Shahib mengatakan ”... kemampuan inovasi bangsa Indonesia masih rendah dan penting untuk menanamkan rasa bangga untuk berkreasi dan malu jika meniru sejak awal pendidikan.” (Shahib,2005;81) Dalam masyarakat yang bersifat konsumtif, ditengarai kemampuan kreativitas juga rendah karena sifat konsumtif tidak memerlukan kemampuan menciptakan atau menghasilkan suatu produksi baik barang maupun jasa. Sifat konsumtif ini berlawanan dengan sifat produktif, yang biasanya ditunjukkan oleh suatu masyarakat yang mau belajar dari kekurangan dan memiliki kemauan untuk mencapai kemajuan dengan belajar. Masyarakat yang belajar (Learning society) adalah masyarakat yang mampu mengenali kelemahan dan kekurangannya serta berkehendak untuk memperbaiki keadaan tersebut. Sifat ini sesuai dengan sifat kreatif yang pada dasarnya merupakan suatu sifat dan sikap untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Pendidikan untuk menunjang kreativitas di Indonesia saat ini juga belum merata dari segi kualitas dan kuantitas. Hal ini diakibatkan beberapa kendala, antara lain letak
dan keadaan
geografis
Indonesia.
Keadaan
tersebut
mengakibatkan kesulitan secara umum untuk meningkatkan mutu pendidikan termasuk pendidikan kreativitas, seperti dinyatakan oleh Shahib :” ... Sumber daya manusia Indonesia berada pada rangking yang cukup rendah diantara negara lain
4
bahkan ditingkat Asia Tenggara”. (Shahib,2005;89). Data dari UNDP tahun 2000 juga
menilai
bahwa
SDM
Indonesia
tidak
kreatif
dan
kompetitif.
(Shahib,2005;74). Dalam suatu penelitian menggunakan perangkat tes TCT-DP dari Jellen dari Utah Amerika Serikat dan Urban dari Universitas Hannover Jerman yang dilakukan di 8 negara termasuk 50 anak SD dari Jakarta Indonesia (dilakukan oleh Utami Munandar, 1985), anak Indonesia mencapai skor kreativitas paling rendah. Beberapa penelitian mendukung pendapat bahwa anak-anak di Indonesia cenderung pasif dan kurang inisiatif serta kreativitas. Beberapa penelitian dari tingkat SD hingga mahasiswa menjelaskan belum memadainya tingkat kreativitas pada anak didik. Tjahyo dalam observasinya pada 88 murid SD kelas VI (11-12 tahun) di Salatiga mendapatkan bahwa ”... kreativitas siswa kurang, dan tampak hanya mengulang atau menyalin tugas, jarang bertanya dan berpendapat pada suatu pernyataan, tidak memiliki suatu ide jawaban yang baru”. (Tjahyo ,1987) Fibriyanti menemukan bahwa ”... tingkat kreativitas dan keberanian siswa kelas VII dalam mengajukan gagasan atau tanggapan masih rendah baik dari segi kuantitas maupun keaslian.”(Fibriyanti,2006)
Solihah, menemukan bahwa :”...
rata-rata nilai kreativitas berpikir siswa , pada sebuah SMA di Bandung, pada tes awal tergolong rendah.(Solihah ,2006).
Kusmaedi, mendapatkan hasil tes
kreativitas pada peserta latih keolahragaan ”... secara umum belum sesuai dengan yang
diharapkan
dan
perlu
membuat
model
model
pelatihan
untuk
mengembangkan kreativitas pelatih.” (Kusmaedi ,2006)
5
Rendahnya kreativitas Indonesia mungkin terjadi karena berbagai hal yang berkaitan dengan sejarah perjalanan bangsa. Akibat penjajahan oleh bangsa lain, bangsa Indonesia menjadi cenderung bergantung pada orang lain, bersifat pasif, inferior dan banyak menunggu perintah dari orang lain. Suatu ide baru atau sifat inisiatif dan terbuka dapat dianggap sebagai ancaman bagi bangsa penjajah. Hal ini diperkuat dengan sifat dasar bangsa Indonesia yang patrialistik dan feodalistik, sehingga apapun yang akan dilakukan selalu cenderung menunggu inisiatif dari atas (Top-Down) . Hal ini juga sejalan dengan pandangan Sukmadinata yang mengidentifikasi beberapa hal yang menghambat proses berpikir kreatif, yaitu ”... hambatan dalam diri siswa, pembatasan karena aturan dan tuntutan, sikap pasif, menerima, tidak mau bertanya, takut berbuat salah, mengabaikan intuisi, tidak ada waktu mengembangkan hal baru”. (Sukmadinata,2004 :182) Dalam berbagai hal kreativitas di Indonesia sebenarnya tetap hidup bahkan sangat kuat. Menurut Tabrani terdapat perbedaan bangsa Timur dan Barat “... bangsa Timur memiliki kelebihan dalam kreativitas karena kreativitas bekerja dalam ambang antara sadar – tak sadar, bahasa rupa dan banyak menggunakan tenaga atau energi dalam, yang merupakan keunggulan bangsa Timur”. (Tabrani ,2000:39)
Demikian pula bangsa Indonesia yang tergolong bangsa Timur
seharusnya memiliki keunggulan tersebut. Dapat kita lihat berkembangnya berbagai karya seni dan tradisi yang canggih yang merupakan suatu karya penciptaan berdasarkan kreativitas. Dalam keadaan sebagai bangsa yang dijajah oleh bangsa lain, kreativitas bangsa Indonesia disalurkan pada proses berkesenian, karena hal ini tidak secara langsung bersentuhan dan memiliki akibat politis
6
praktis sehingga relatif luput dari pengawasan dari sistem pemerintahan yang tidak memberi ruang bagi inisiatif dari bawah. Pada keadaan darurat keterbatasan, atau genting sangat mungkin timbul kreativitas manusia untuk mengatasi masalah. Hal ini memang sesuai dengan sifat dasar kreativitas yang merupakan suatu sikap yang timbul akibat adanya masalah dalam kehidupan dan upaya untuk mengatasinya (Problem Solving). Dalam suasana persaingan global, sifat kreativitas yang muncul saat keadaan terpojok dan terdesak tidak akan menguntungkan suatu bangsa. Bangsa Indonesia diharapkan mampu mengembangkan kreativitas dalam setiap situasi. Harus ditanamkan bahwa suasana persaingan dan kompetisi global ini merupakan suatu ancaman yang akan berakibat serius dan menyebabkan bangsa Indonesia kembali terjajah dalam bentuk lain jika tidak memiliki kemampuan kreativitas yang menghasilkan suatu produk yang kompetitif dan inovatif. Masih terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah seorang kreatif dilahirkan (nature) atau diciptakan (nurture). Cameron (Sukmadinata,1992:181) berpendapat bahwa ‘ ... kreativitas adalah suatu keteraturan alamiah dari kehidupan.’
Pada dasarnya, selain bakat, sifat kreatif dapat dikembangkan
melalui pembelajaran, dengan asumsi bahwa setiap manusia dikaruniai kemampuan untuk memecahkan masalah kehidupan yang dialaminya. Pada saat ini pandangan yang menyatakan bahwa kreativitas adalah anugrah yang hanya diberikan pada orang-orang tertentu dan merupakan bakat yang diturunkan, sudah tidak banyak dianut. Pada dasarnya setiap orang mempunyai sifat kreatif yang merupakan karunia dasar bagi manusia untuk menjadi kalifah dimuka bumi ini.
7
Kreativitas merupakan hasil belajar dan dapat dipelajari serta dikembangkan oleh pendidikan yang sesuai (Razik, T.A, 1973: 157, Sukmadinata,1992:181, Lee, K.H, 2005: 194-199, Prieto,M.D et al, 2006: 277-290). Sistem pendidikan di Indonesia sendiri ternyata belum mendukung atau belum memberikan iklim yang baik bagi perkembangan kreativitas. Kebanyakan kurikulum disusun berdasarkan instruksi dari atas dan bersifat Top-Down . Selain bersifat Top-Down, metode pembelajaran banyak yang masih berpusat pada guru (Teacher Centered), seperti hasil pengamatan Wati pada siswa SMP kelas 1 ”... pembelajaran menulis belum mengoptimalkan kemampuan siswa untuk menulis, tetapi masih didominasi oleh guru dengan metode ceramah dan tanya jawab.” (Wati, 2006). Syariful pada penelitiannya pada guru pendidikan Teknologi Dasar pada jenjang pendidikan SLTP, menyimpulkan ”... akibat lebih menekankan keterampilan tentang teknologi dasar , berdampak negatif pada perkembangan pola fikir dan kreativitas anak dalam mengatasi masalah teknologi dasar.” (Syariful, 2004) Sya’baniah, pada penelitian proses pembelajaran seni tari pada sebuah SD di Bandung menemukan proses belajar yang belum mengarahkan siswa menjadi aktif dan kreatif, sehingga dikatakan ”... pembelajaran kurang berkesan dan tidak lebih sebagai banking concept of education.” (Sya’baniah ,2007). Sistem kurikulum yang digunakan saat ini, yang memberikan kewenangan kepada satuan pendidikan untuk menyusun sendiri kurikulumnya, sebenarnya memberikan ruang bagi berkembangnya kreativitas, namun mengingat pada saat ini kemampuan guru dalam pemahaman kreativitas yang belum memadai, maka
8
kemungkinan prinsip pembelajaran kreativitas tersebut diabaikan. Dengan waktu persiapan yang minim, ada kecenderungan guru untuk membuat kurikulum sesuai kurikulum sebelumnya atau bahkan mencontoh kurikulum dari sekolah lain yang telah siap. Pengembangan kemampuan kreativitas pada anak tentunya sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam mengembangkan suasana dan kondisi yang optimal bagi
terbentuknya kreativitas. Pembelajaran yang kreatif dari
seorang guru yang kreatif diyakini mampu pula meningkatkan kreativitas anak. Kreatifitas guru dalam mengajar tentu bukan berarti dominasi guru terhadap proses belajar dan mengajar. Dominasi guru di kelas, pada gilirannya akan mematikan iklim dan suasana yang dapat membangun keikutsertaan dan partisipasi aktif anak dalam proses pendidikan. Anak akan cenderung pasif , tidak mau dan tidak mampu mengemukakan pendapatnya. Nuraini mendapatkan dari penelitiannya pada anak TK bahwa ”... sikap kreatif anak tidak muncul karena dominasi guru yang kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan eksplorasi hasil pengalamannya”. (Nuraini ,2000)
Kreatifitas guru
tentunya dibutuhkan untuk mengembangkan sifat kreatif anak. Kemampuan guru untuk
mencari
dan
berinovasi
dalam
pelaksanaan
pembelajaran,
akan
meningkatkan rasa ingin tahu anak karena banyaknya unsur kejutan. Pada kenyataannya, kreativitas guru dalam melaksanakan proses pembelajaran masih rendah. Rampengan menemukan ”... kreativitas guru-guru IPA pada SMP negeri sekotamadya Manado masih rendah, kurang kemandiriannya, sangat terikat pada peraturan, kurang menunjukkan daya cipta dan inovasi”. (Rampengan ,1986).
9
Pendapat ini didukung hasil penelitian Supardan yang menyatakan bahwa ”... secara umum kreativitas guru sejarah dalam pembelajarannya masih jauh dari tingkatan yang diharapkan.” (Supardan, 2000) Evaluasi mengenai bagaimana pembelajaran
yang kondusif bagi
kreativitas sangat penting untuk dilakukan, namun bagaimana cara melakukan sistem evaluasi yang tepat untuk menilai kreativitas anak, masih sulit ditentukan. Kesulitan melakukan evaluasi, lebih karena definisi kreativitas yang beragam, sehingga tolok ukur apakah seorang adalah kreatif menjadi sulit pula ditentukan. Sistem evaluasi saat ini yang berupa ujian nasional sebagai tolok ukur kelulusan siswa juga tidak sesuai dengan sistem pendidikan bagi kreativitas. Kreativitas mensyaratkan kemampuan berpikir divergen yang tidak pernah secara langsung menilai apakah suatu pendapat salah atau benar, karena pada hakikatnya kebaruan dan originalitas jawabanlah yang diutamakan. Sementara sistem evaluasi dengan pilihan ganda memaksa siswa untuk memilih hanya salah satu jawaban yang benar. Bahkan sebagian pihak lebih mengutamakan untuk mencapai hasil ujian sesuai target walaupun dengan cara cara yang tidak kreatif seperti perjokian, pembocoran jawaban dan lainnya. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan sikap kreatif, antara lain sifat individual siswa, pengaruh lingkungan, orang tua, guru, masyarakat, metode pembelajaran, media pembelajaran. Secara umum, banyak hal yang menunjang terbentuknya sikap kreatif belum mendapat perhatian dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Ruindungan
mengatakan bahwa “...
perhatian formal dalam KBM di SMU cenderung memberi penekanan pada
10
pengembangan kemampuan berfikir konvergen dan kurang perhatian kepada upaya mengembangkan kemampuan berfikir divergen, dan kreatif.” (Ruindungan ,1996).
Rusdiana, pada penelitian pada kelompok bermain, mengidentifikasi
beberapa hal yang dapat menunjang kreativitas antara lain sikap guru atau tutor, strategi mengajar, pengaturan fisik kelas, sarana pembelajaran, teman, orangtua, namun
tidak tersedia memadai untuk anak sehingga menghambat kreativitas
anak. Rusdiana juga mendapatkan bahwa “... pemahaman orangtua dan guru pada konsep pendidikan kreativitas masih rendah” (Rusdiana,2005), sementara penelitian Efendi mengatakan bahwa “... orang tua belum memiliki pengetahuan tentang arti pentingnya alat permainan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.” (Efendi ,2006) Terdapat temuan menarik dari beberapa hasil penelitian yang sebaliknya menunjukkan bahwa tingkat kreativitas pada anak TK relatif baik, Tabrani bahkan mengatakan bahwa kreativitas berkembang pada kelompok manusia yang tidak memiliki batas imajinasi. (Tabrani,2000:41)
Secara lebih lugas Tabrani bahkan
mengatakan “... tingkat kreativitas amat tinggi pada anak usia dini, seniman, dan orang tidak waras.” Pendapat Tabrani sesuai dengan Craft juga berpendapat bahwa “... proses pendidikan justru dapat ”membunuh” kreativitas karena sistem pendidikan yang penuh keteraturan, perlahan tapi pasti, menurunkan kemampuan kreativitas sejalan dengan makin tingginya pendidikan.” (Craft,2004:8). Pada dasarnya, kreativitas yang tinggi pada kelompok anak-anak dan orang tidak waras, lebih merupakan bentuk kebebasan berekspresi tanpa takut akan adanya kesalahan, karena nilai salah dan benar pada kelompok tersebut sangat samar atau
11
bahkan tidak dikenal. Anak berani mencoba, karena tidak takut melakukan kesalahan, tidak menyadari adanya bahaya atau konsekuensi dari suatu tindakan dan sikap. Pendidikan yang juga menanamkan nilai nilai kebenaran, pada dasarnya bertentangan dengan kondisi tersebut, sehingga dikatakan dapat menghambat atau bahkan mematikan kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat. Terdapat kontradiksi bahwa ada pendapat yang mengatakan kreativitas dapat ditingkatkan melalui pendidikan, namun ada pula yang berpendapat bahwa pendidikan justru mengerdilkan kreativitas. Gammage (Craft,2000:5) berpendapat bahwa ‘... pendidikan ternyata lebih tertarik dan fokus dalam ”membuat jawaban” dan bukan ”membuat pertanyaan” . Perlu suatu keseimbangan antara kebebasan berekspresi dengan penanaman nilai nilai dan kesepakatan norma dan aturan dalam hidup bermasyarakat. Bagaimanakah sistem atau metode pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kreativitas ? Secara umum dikatakan bahwa pendidikan dengan pendekatan berpusat pada siswa (student/learner centered) yang memberikan ruang bagi pengembangan pola berpikir divergen adalah yang paling dapat diharapkan dapat meningkatkan kreativitas anak. Pengembangan kreativitas bukan hanya membutuhkan suatu ruang fisik, namun juga membutuhkan ”ruang” non-fisik , sehingga kreativitas seseorang dapat berkembang . Syarat ”ruang” tersebut adalah membolehkan dan tidak menabukan kesalahan, menganjurkan eksperimen, bersifat terbuka, dan berani mengambil risiko, suasana yang menyenangkan. Peran pendidik, orangtua, lingkungan amat penting artinya untuk menyediakan suasana yang kondusif bagi pertumbuhan sifat
12
kreatif anak. Intervensi terlalu awal dari pendidik biasanya lebih banyak mengecilkan hati daripada membesarkan hati anak didik. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Craft bahwa ” ... memberikan komentar pada hasil pekerjaan anak, bahkan komentar positif sekalipun, lebih banyak berperan menghambat kreativitas daripada membantu berkembangnya sikap kreatif.” (Craft, 2000 :219). Banyak
penelitian
yang telah
dilakukan
membahas
cara untuk
meningkatkan kreativitas. Lalemi, melakukan suatu metode pelatihan imajinasi yang terdiri dari enam sesi pada anak kelas dua dan enam. Dari hasil penelitiannya, didapatkan bahwa metode ini dapat meningkatkan kreativitas anak yang dilihat dari hasil TTCT (Torrance Test of Creativity Thinking) (Lalemi ,1991). Norton, pada disertasinya, mengatakan bahwa ”... dengan melakukan teknik pengajaran divergen pada mahasiswa,
dapat meningkatkan kreativitas
yang diukur dengan TTCT.” (Norton ,2006).
Longo, menyatakan bahwa ”...
Inquiry learning promotes creativity by increasing motivation, wonderment, and curiosity” (Longo, 2010:57). Hubungan antara kecerdasan (IQ) dengan kreativitas masih menjadi diskusi, seperti didapatkan oleh Olatoye (2007 : 179) dari penelitiannya pada 460 siswa sekolah menengah di Nigeria, mendapatkan bahwa ”... tingkat IQ seorang anak berkorelasi dengan tingkat kreativitas”. Pendapat lain justru mengatakan hal yang sebaliknya, bahwa tidak ada korelasi langsung antara kreativitas dengan tingkat kecerdasan. Dari studi literatur, didapatkan pula penelitian di Indonesia yang telah dilakukan mengenai kreatifitas, antara lain adalah
(1) Metode Pelatihan
Ketrampilan Kreatif dari Kurniati (Kurniati,2004) yang menguji pengaruh
13
pelatihan kreatif untuk meningkatkan kreativitas pada 21 orang mahasiswa tingkat akhir dan freshgraduate.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa ”... metode
pelatihan ketrampilan kreatif ini efektif dalam meningkatkan kreativitas subyek penelitian” . dan (2) Model Siklus Belajar (Learning Cycle) dari Fibriyanti, dalam penelitian tindakan kelasnya pada 33 siswa kelas VII, menggunakan model siklus belajar yang menyarankan agar ”... proses pembelajaran melibatkan siswa dalam kegiatan belajar yang aktif melakukan asimilasi, akomodasi, dan organisasi ke dalam struktur kognitif.” (Fibriyanti,2004) Beberapa hal memegang peranan penting pada proses kreatif dan kreativitas, yaitu daya cipta, imajinasi, dan kecerdasan. Kata kunci tersebut secara spesifik berkaitan erat dengan fungsi otak yaitu kemampuan daya cipta dan imajinasi yang merupakan fungsi otak kanan, sedangkan kecerdasan (inteligensia) merupakan fungsi otak secara umum baik otak kanan maupun kiri. Pada prinsipnya pembelajaran kreativitas tidak terlepas dari peranan kerja fisiologis otak. Kreatif adalah proses kerja otak berdasarkan hasil belajar sebelumnya. Kerja otak yang optimal membutuhkan “ruang” yang mendukung, antara lain adalah suasana psikologis. Suasana emosi yang menyenangkan akan mempermudah otak untuk belajar dan merekam dalam memori setiap pengalaman yang dialaminya. Pengalaman yang telah didapat sebelumnya memperkaya wawasan otak dan membuka kemungkinan lebih luas terjadinya proses kreatif. Gribov, mengatakan bahwa ”... kemampuan kreativitas memiliki dasar Neuropsikologis yang penting dan berkaitan dengan asimetri fungsional hemisfer otak (Brain Hemispheric Functions Asymmetry).”
14
Otak bekerja secara paralel dalam arti bahwa berbagai stimulasi dapat diterima dan diolah secara langsung bahkan dapat memperkuat fungsi sinaps mendukung pentingnya stimulasi multipel dalam upaya meningkatkan hasil pembelajaran. (Thomas, 2007 :5)
Berbagai stimulasi sensorik yang diterima
secara paralel tersebut dapat memperkuat jika dilakukan dalam harmoni dan bukan disharmoni yang saling melemahkan. Teori multiple intelligences dari Gardner, mengenai beberapa jenis kecerdasan pada manusia turut mendukung teori pembelajaran berbasis otak. (Miller, 2009 :658) . Berbagai pendapat tersebut tentunya mendukung suatu asumsi bahwa pembelajaran berbasis otak yang mengutamakan fungsi otak mempunyai peranan yang amat penting dalam pengembangan kreativitas. (Gribov, 2001 : 70) Selain aspek fisiologis
kerja otak, kreativitas juga dipengaruhi oleh
banyak faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal.
Rhodes
(Munandar, 2004 : 20) secara spesifik menyebutkan empat faktor (4P kreativitas) yang berperan dalam pengembangan kreativitas, yaitu ‘... (1) Person atau pribadi kreatif, (2) Process, yaitu proses kreatif, (3) Press, dorongan faktor eksternal dari lingkungan dan pribadi, serta (4) Product, yaitu kegiatan yang menghasilkan produk yang kreatif . Pendidikan, termasuk pendidikan kreativitas, merupakan suatu kebutuhan yang harus dimulai sejak awal , bahkan beberapa pakar mengatakan sejak dimulainya konsepsi, yang merupakan usia emas (Golden Age) dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Mengabaikan perhatian pada
15
pendidikan anak usia dini dapat menyebabkan ketertinggalan dalam upaya membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Nasional tahun 2006, jumlah penduduk usia dini di Indonesia adalah sekitar 28 juta anak dan hanya sekitar 10,5 juta anak yang mengikuti atau tergabung dalam satuan atau lembaga PAUD yang berjumlah 230.129 buah. Dari data tersebut diketahui hanya sekitar sepertiga anak yang mengikuti satuan atau lembaga PAUD. Tujuan pembinaan anak usia dini , sesuai Sisdiknas, adalah membantu peningkatan pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak . Diharapkan anak akan memiliki kesiapan yang lebih baik dalam mengikuti tahapan pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Terdapat banyak hambatan dalam pendidikan anak usia dini di Indonesia, yaitu keadaan sosio-ekonomi yang lemah, kualitas asuhan rendah karena tingkat pendidikan ibu rendah, kualitas PAUD rendah karena 99% adalah PAUD swasta yang berbiaya tinggi sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat, program intervensi orangtua rendah, kuantitas PAUD rendah, hanya mencakup 12,61 % anak usia TK, dan kualitas guru PAUD yang masih rendah. (Suyanto , 2005:231) Pemerintah Indonesia sendiri telah memberikan perhatian yang besar pada pendidikan bagi anak usia dini. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengenai Pendidikan Anak Usia Dini pada pasal 1 ayat 14 menyatakan : Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan
16
dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Kreativitas harus dikembangkan sejak usia dini, karena pada saat inilah secara naluriah, anak mempunyai keinginan kuat untuk selalu mencoba hal yang baru. Pertumbuhan dan perkembangan anak termasuk sistem saraf amat pesat pada usia dini. Program pendidikan serta lingkungan yang tidak mendukung, akan menghambat bahkan menghentikan kemampuan kreativitas seorang anak. Dibutuhkan suatu program pembelajaran untuk meningkatkan kreativitas manusia Indonesia yang harus dimulai sejak usia dini. Pendidikan anak usia dini tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan kemampuan anak yang merupakan bagian penting dari kerja sistem saraf terutama otak. Hingga saat ini banyak atau sebagian besar teori teori pembelajaran lebih berkembang melalui disiplin ilmu Psikologi. Bagaimana anak belajar dan memperoleh kepandaian banyak diterangkan oleh teori psikologi. Bidang ilmu saraf (neuroscience) sendiri masih banyak tertinggal dalam menyumbangkan hasil hasil penelitiannya untuk memajukan teori teroi pembelajaran
bahkan
sebagian
menganggap
bahwa
kesenjangan
antara
neuroscience dan bidang pembelajaran praktis Upaya memahami bagaimana fungsi otak bekerja untuk dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan hasil pembelajaran secara optimal mulai banyak dikembangkan. Istilah Brain-based Learning mulai digunakan serta dipelajari secara lebih luas dan menjadi topik utama dalam era baru saat ini. Banyak studi hasil penelitian dalam neuro-science yang mulai dimanfaatkan untuk mengembangkan konsep konsep dalam bidang
17
pendidikan teoretis dan praktis. Telah lama diketahui bahwa usia terbaik untuk belajar adalah saat awal masa kanak kanak, yang disebut neuroscientists sebagai windows of opportunity. Kelompok usia dini merupakan usia emas bagi perkembangan manusia, karena pada masa inilah terjadi suatu pengembangan, pengayaan, penguatan jalur interaksi antar neuron yang amat pesat dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Menyadari masih kurangnya kemampuan kreativitas di Indonesia, pentingnya pengembangan kreativitas sejak usia dini, dan keterkaitan yang erat antara sistem kerja otak dengan pendidikan, maka dirasakan perlu untuk mengembangkan suatu program pembelajaran berbasis otak yang dapat meningkatkan kreativitas pada anak usia dini.
B. RUMUSAN DAN BATASAN MASALAH PENELITIAN 1. Rumusan Masalah Dikaitkan dengan kemampuan kreativitas manusia Indonesia yang diduga masih rendah, dibutuhkan suatu upaya pembelajaran yang dapat meningkatkan kreativitas tersebut. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya kreativitas pada sistem pembelajaran. Sukmadinata, berpendapat bahwa dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan kreativitas harus diperhatikan : individu siswa, lingkungan, instrumen, dan proses pembelajaran sehingga dihasilkan suatu keluaran yaitu kreativitas. Sukmadinata mengidentifikasi bahwa Raw Input (siswa) dapat dikategorikan kedalam faktor fisik, termasuk faktor genetik, dan psikis baik karakteristik permanen maupun temporer.(Sukmadinata,2004:183)
18
Secara lebih sistematis dan sederhana, pendapat Sukmadinata dapat dilihat dalam gambar 1.1. Instrumental Input : - Kebijakan - Guru - Sarana - Media
Raw Input (Siswa) a. Faktor Fisik : - Genetik - Inteligensia - Kesehatan b. Faktor Psikis - Emosi - Mood - Minat
Program / Proses Pembelajaran - Perencanaan - Pelaksanaan - Evaluasi
Output :
KREATIVITAS
Environmental Input : - Teman sebaya - Orangtua - Masyarakat - Adat istiadat - Sosial budaya - Pemerintah
Gambar 1.1. Proses Pendidikan Untuk Meningkatkan Kreativitas (Sukmadinata, 2004)
Beberapa peneliti mengidentifikasi berbagai faktor lain yang berpengaruh pada kreativitas. Penelitian banyak dilakukan melibatkan berbagai disiplin ilmu, baik dari sudut pandang psikologis (perilaku manusia) juga dari sudut pandang biologis (fisik manusia). Secara umum dikatakan bahwa faktor yang berpengaruh adalah faktor internal manusia dan faktor eksternal termasuk lingkungan. Menurut Tabrani pada manusia terdapat suatu rangkaian proses belajar-berpikir-kreasi-imaginasimemori, yang secara serempak merupakan kerja sama semua indera secara
19
integral. Hasil proses integrasi ini adalah kreasi, suatu integrasi antara stimuli luar dan dalam. (Tabrani, 2000:4) Hal serupa dapat dipertimbangkan berdasarkan pendapat Rhodes (Munandar,2004:20) , bahwa proses kreativitas dapat dijelaskan seperti pada gambar 1.2. PERSON : INTERNAL STIMULATION
PROCESS
PRODUCT
PRESS : EXTERNAL STIMULATION
Gambar 1.2. Faktor yang Mempengaruhi Kreativitas. Csikszenmihalyi (Sanders, 2001, dan Alenizi, 2008 : 11), mengajukan suatu pandangan mengenai sistem yang membentuk kreativitas (Gambar 1.3)
Gambar 1.3. Sistem kreativitas (Csikszenmihalyi)
20
2. Batasan Masalah Dari berbagai faktor yang mempengaruhi kreativitas anak, penelitian ini akan memfokuskan diri pada faktor stimulasi eksternal yang dibutuhkan untuk dapat meningkatkan sinaps antar sel otak (neuron), sehingga dimungkinkan suatu peningkatan kreativitas pada anak usia dini. Saat ini diketahui bahwa kurikulum pada sekolah sekolah bagi anak usia dini, disadari atau tidak, telah mengadopsi sebagian teori mengenai pembelajaran berbasis otak
antara lain bahwa setiap anak memiliki suatu kekhususan dan
membutuhkan pendekatan pembelajaran yang berbeda-beda. Program pembelajaran
yang memperhatikan prinsip belajar otak
diharapkan dapat mengoptimalkan potensi perkembangan anak terutama dalam hal kreativitas,
namun hingga saat ini bentuk baku program pembelajaran
berbasis otak , khususnya di Indonesia, belum didapatkan. Dibutuhkan suatu program pembelajaran berbasis otak yang dapat dikembangkan dan dapat meningkatkan
kreativitas
anak
yang optimal
dengan
melakukan
suatu
pengukuran-pengukuran terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak yang dipantau melalui parameter tumbuh-kembang anak.
21
C. PERTANYAAN PENELITIAN Dari permasalahan yang diuraikan sebelumnya, diajukan suatu pertanyaan utama yaitu : “ Program pembelajaran bagaimanakah yang dapat meningkatkan kreativitas pada anak usia dini ? “ Pertanyaan dan masalah utama yang telah diidentifikasikan kemudian dikembangkan dan selanjutnya dapat dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian yang lebih spesifik, yaitu : 1. Bagaimanakah program pembelajaran yang dilaksanakan saat ini untuk dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini sesuai potensinya ? 2. Bagaimanakah rancangan atau desain program pembelajaran berbasis otak yang dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini sesuai potensinya ? 3. Bagaimanakah implementasi program pembelajaran berbasis otak yang dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini sesuai potensinya ? 4. Bagaimanakah sistem evaluasi program pembelajaran berbasis otak pada anak usia dini ? 5. Bagaimana hasil pengembangan, faktor pendukung dan penghambat program pembelajaran berbasis otak pada perkembangan kreativitas anak usia dini ?
22
D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum : Menghasilkan suatu program pembelajaran yang dapat meningkatkan kreativitas pada anak usia dini.
Tujuan Khusus : Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah : -
Mengkaji program pembelajaran yang sudah dilaksanakan untuk meningkatkan kreativitas anak usia dini.
-
Menghasilkan suatu rancangan atau desain program pembelajaran berbasis otak yang dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini.
-
Menemukan implementasi program pembelajaran berbasis otak yang dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini.
-
Menemukan evaluasi program pembelajaran berbasis otak pada anak usia dini.
-
Menemukan faktor pendukung dan penghambat pogram pembelajaran berbasis otak pada kreativitas anak usia dini.
-
Menemukan keunggulan dan kelemahan program pembelajaran berbasis otak.
23
2. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis Dari penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan suatu prinsip prinsip bagi pengembangan pembelajaran berbasis otak yang dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kurikulum pendidikan anak usia dini yang berkaitan erat dengan pengembangan ilmu saraf.
Manfaat Praktis -
Menghasilkan suatu program pembelajaran berbasis otak yang dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini.
-
Meningkatkan
pemahaman
dan
pengetahuan
masyarakat
umum
khususnya para orang-tua mengenai pendidikan pada anak usia dini. -
Menjadi masukan bagi orangtua untuk dapat ikut menciptakan suasana dan lingkungan yang menyokong kreativitas anak.
-
Menjadi masukan bagi guru untuk menyusun dan melaksanakan pembelajaran bagi anak usia dini yang dapat meningkatkan kreativitas anak melalui pendidikan berbasis otak.
-
Menjadi masukan bagi penyelenggara pendidikan dan pemangku kepentingan pendidikan anak usia dini untuk dapat meningkatkan kreativitas.
24
E. DEFINISI OPERASIONAL
Pembelajaran berbasis otak adalah pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran sesuai fungsi kerja otak dengan mengutamakan stimulasi multisensorik, stimulasi hemisfer otak secara bilateral, suasana (emosi) dan lingkungan pembelajaran.
Anak Usia Dini adalah anak anak dengan usia antara 3 – 6 tahun. Pada penelitian ini subyek penelitian adalah anak kelas TK A (usia 4-5 tahun) yang terdapat pada taman kanak-kanak di kota Bandung.
Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.
Indikator kreativitas adalah 10 sikap yang ditunjukkan oleh anak berdasarkan ciri kreativitas menurut Renzuli (1971) yaitu rasa ingin tahu yang luas dan mendalam,
sering mengajukan pertanyaan yang baik,
banyak memberikan gagasan atau usul, bebas menyatakan pendapat, memiliki rasa keindahan yang dalam, menonjol dalam salah satu bidang seni, mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang, memiliki rasa humor, memiliki daya imajinasi, dan orisinal dalam ungkapan, gagasan, dan pemecahan masalah.
Tes pengukuran untuk menilai kreativitas adalah adaptasi Skala Penilaian Anak Berbakat dari Renzuli (1971), khusus subskala ciri kreativitas yang
25
disusun oleh Munandar ( Munandar, 2004:71).. Tes pengamatan dilakukan oleh satu orang pengamat tanpa keterlibatan pengamat pada kegiatan pembelajaran berbasis otak (Blind observer)
F. METODE PENELITIAN Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan metode Penelitian dan Pengembangan (Research & Development) menurut Borg & Gall. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket, kuesioner, wawancara, observasi non-partisipatif, dan alat tes kreativitas menurut Renzulli.
G. LOKASI DAN SUBYEK PENELITIAN 1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah Taman Kanak Kanak di Kota Bandung. 2. Subyek Penelitian Subyek Penelitian adalah murid Taman Kanak Kanak (TK A)..
26