BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam perekonomian Islam dikenal ada beberapa faktor produksi. Salah satu faktor yang paling dominan adalah tanah. Karena begitu pentingnya, Ibn Hazm sebagaimana yang dikutip Ra'anna, menyatakan bahwa Islam tidak mengakui hak milik absolut terhadap faktor-faktor yang berkaitan dengan produksi, tetapi setiap individu memiliki hak menggunakannya untuk kebutuhan pribadi dan kepentingan bersama.1 Walaupun Islam tidak mengakui hak milik absolut, tetapi Islam membolehkan individu memiliki tanah sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah dan sahabat. Artinya, dalam memanfaatkan tanah seorang muslim tidak hanya melihat kepentingan dirinya saja. Melainkan juga memperhatikan ketentuan orang lain. Pengolahan tanah ini bisa dilakukan dengan berbagai cara. Cara pertama adalah si pemilik mengerjakan pengolahan tanahnya sendiri. Kedua, ia menyerahkan tanah kepada pihak lain untuk mengolahnya. Bentuk pengolahan pertama relatif tidak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebab itu merupakan bentuk asal dan awal pengolahan tanah. Mengolah sendiri di sini
1
Irfan Mahmud Ra'anna, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khaththab, terj, Mansuruddin Djoley (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), 13.
1
2
tidak berarti seluruh kegiatan pengolahan harus dilakukan sendiri secara teknis dan fisik oleh pemilik tanah, tetapi ia dapat membayar para pekerja untuk mengolah tanah itu2. Bentuk pengolahan kedua yaitu menyerahkan kepada pihak lain, dapat dilakukan dengan dua cara yakni dengan imbalan dan cuma-cuma. Cara pertama dapat berupa penyerahan sejumlah uang tertentu yang biasa disebut sewa tetap ataupun dengan cara menyerahkan bagian beberapa persen dari hasil atau keuntungan selanjutnya biasa disebut dengan bagi hasil3. Dalam hal sewa tanah untuk pemanfaatan di luar pertanian, misalnya untuk industri, perumahan, atau perdagangan, jumhur ulama membolehkannya. Tetapi sewa tanah untuk pemanfaatan pertanian telah menimbulkan perbedaan pendapat. Pada dasarnya perbedaan ini terbagi menjadi dua, yaitu yang membolehkan sewa tanah dan yang tidak membolehkan sewa tanah4. Di antara ulama yang membolehkan antara lain: Imam al-Shâfi’î, Imâm Mâlik, Imâm Ahmad as-Sauri, al-Laisi, Abu Yûsuf, Muhammad, pengikut Abû Hanîfah, Abu Laila, al-Auzai, Rabiah, Said Ibn Musayyab dan Jama`ah. Imâm Mâlik membolehkan pemberian sewa itu baik berupa bahan makanan atau yang lainnya5. Demikin juga Imam al-Shâfi’î membolehkan dengan syarat pembayaran sewa tersebut dengan emas, uang atau bahan makanan atau selain itu selama 2
M.B. Hendri Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islam (Yogyakarta: EKONOSIA, 2003), 196. Ibid. 4 Ibid. 5 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muqtasid (ttp: Syirkah an-Nur Asia, t.t.), II: 3
179.
3
sebanding dengan jumlah yang ditentukan secara pasti6. Rabiah dan Said Ibn Musayyab membolehkan dengan syarat pembayaran sewa tanah tersebut dengan dinar atau dirham. Sedang Imam al-Sauri, al-Laisi, Muhammad, Pengikut Abu Hanîfah, Ibn Abi Laila, al-Auzai dan Jama`ah membolehkan menyewakan tanah pertanian dengan pembayaran yang tidak disyaratkan7. Alasan yang tidak membolehkan sewa menyewa lahan pertanian adalah karena di dalam perbuatan tersebut terdapat kesamaran, pemilik tanah memperoleh keuntungan pasti dari hasil sewa. Sementara pihak penyewa berada dalam keadaan untung-untungan, boleh jadi berhasil dan boleh jadi gagal karena tertimpa bencana8. Sedang Yûsuf al-Qardâwî, seorang ulama yang ternama, berpendapat bahwa menyewakan tanah dengan uang hukumnya haram. Namun ia membolehkan sewa tanah dengan sistem muzâra’ah karena menurut beliau ini telah dilakukan Nabi bersama para penduduk Khaybar dan dilanjutkan oleh para Khulafaur Rashidin sesudahnya9. Pada kenyataannya, Indonesia adalah negara agraris, sehingga secara tidak langsung sebagian masyarakatnya bersentuhan dengan pertanian. Ini menjadikan masalah sewa tanah bukanlah hal yang sepele karena menyangkut kemaslahatan
6
Muhammad bin Idris al-Shâfi’î, al-Umm IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), 227. Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Jilid 4, 179. 8 Hamzah Ya’qub, Kode Etik Dagang Menurut Hukum Islam (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), 322. 9 Yûsuf al-Qardâwî, Halal Haram Dalam Islam, terj, Wahid Ahmadi (Solo: Era Intermedia, 2001), 402-403. 7
4
orang banyak. Jadi sewa tanah pertanian yang bagaimanakah yang bisa diterapkan di Indonesia yang lebih memberikan keadilan kepada pihak pemilik tanah dan penyewa tanah? Pendapat Yûsuf al-Qardâwî ini layak dikaji karena tidak sedikit yang membolehkan sewa tanah pertanian dengan uang. Sedangkan Qardâwî sendiri melarang hal tersebut, alasan apakah yang membuat Qardâwî berpendapat demikian? Qardâwî adalah tokoh terkenal dengan berbagai karyanya yang diterbitkan dalam berbagai cetakan, sehingga ia telah banyak berpengaruh terhadap muslimin di Indonesia. Oleh sebab itu, penulis mencoba mengangkat permasalahan tersebut dan membahasnya dalam bentuk skripsi dengan judul SEWA TANAH PERTANIAN MENURUT YÛSUF AL-QARDÂWÎ.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat diambil beberapa rumusan pokok masalah yang diharapkan menjadikan penelitian ini lebih fokus dan terarah, yaitu rumusannya sebagai berikut: 1. Bagaimana pendapat Yûsuf al-Qardâwî tentang sewa tetap tanah pertanian dengan uang? 2. Bagaimana
relevansi
keindonesiaan?
pendapat
Yûsuf
al-Qardâwî
dalam
konteks
5
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mencakup dua hal, yaitu: 1. Menjelaskan pendapat Yûsuf al-Qardâwî tentang sewa tetap tanah pertanian dengan uang. 2. Menjelaskan
relevansi
pendapat
Yûsuf
al-Qardâwî
dalam
konteks
keindonesiaan?.
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis sebagai sumbangan wawasan ilmu pengetahuan Islam, khususnya tentang konsep sewa tanah dalam pandangan Yûsuf al-Qardâwî secara khusus. 2. Sedangkan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi pembahasan tentang sewa tanah pertanian. 3. Bagi penulis sebagai tambahan wacana pengetahuan mengenai pendapat Yûsuf al-Qardâwî tentang sewa tanah pertanian.
E. Metode Penelitian Adapun metode yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah sebagai berikut:
6
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library reseach), yaitu kegiatan
mendalami,
mencermati,
menelaah
dan
mengidentifikasi
pengetahuan kemudian memaparkan hasil kajian pustaka tersebut sebagai sumber data utama, berupa buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas10. Yakni dengan cara menelaah buku atau karya yang berkaitan dengan sewa tanah menurut Yûsuf al-Qardâwî, baik yang ditulis sendiri maupun oleh orang lain. 2. Pendekatan Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis. Deskriptif adalah metode yang menggunakan pencarian fakta untuk menguraikan sesuatu dengan interprestasi yang tepat. Sedangkan analisis adalah menguraikan sesuatu dengan tepat dan terarah.11 Dengan metode deskriftif, pemikiran Yûsuf alQardâwî tentang sewa tanah diuraikan secara jelas. Sedangkan analisis digunakan dalam menelaah pandangan Yûsuf al-Qardâwî dan konsepnya. 3. Metode Pengumpulan Data Karena jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka, maka metode pengumpulan data yang lebih tepat digunakan adalah metode dokumentasi, yaitu mencari data yang berupa catatan atau tulisan, surat kabar, majalah atau jurnal dan sebagainya yang diperoleh dari sumber data primer dan sekunder12. 10
Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), 489. Moh. Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghali Indonesia, 1990), 63. 12 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 234. 11
7
4. Sumber Data a. Sumber Primer 1. Yûsuf al-Qardâwî, al-Halâl wa al-Harâm fi al-Islam. 2. Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muqtasid. b. Data Sekunder 1. Ibn Mas’ud, Fiqh Madzhab Shâfi’î 2. Yûsuf al-Qardâwî, Norma dan Etika Ekonomi Islam 3. Yûsuf al-Qardâwî, Konsep Islam Solusi Utama bagi Umat 4. Sayyid Qutlab, Keadilan Islam Sosial dalam Islam 5. Sayyid Sâbiq, Fiqh Sunnah 6. Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqh Empat Madzhab 7. M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam 8. Ghufron Al-Mas’adi, Fiqih Mu`amalah Kontekstual 9. Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu`amalah. 5. Teknik Pengolahan Data Dalam pengolahan data, penulis menggunakan metode analisis interaktif, yaitu proses analisa yang mencakup tahapan-tahapan tertentu, di mana satu sama lain terkait13, yaitu:
13
Mattew B, Miles A dan Michael Hubberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta: UI Pres, 1992), 15-20.
8
a. Pengumpulan Data Yaitu proses penghimpunan data dari literatur-literatur yang sesuai dengan obyek pembahasan14. Dalam hal ini, penulis mengumpulkan datadata tentang sewa tanah terkait dengan pandapat-pendapat dari beberapa perbedaan dan dasar-dasar yang dijadikan hujjah. b. Editing Data Yaitu
proses
pemilihan,
pemusatan
perhatian
pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari data yang telah terkumpul15. c. Penyajian Data Yaitu menyajikan sekumpulan data yang telah tersusun yang memungkinkan adanya penarikan kesimpulan16. Dalam aplikasinya penulis berusaha untuk menampilkan data yang telah diperoleh dari penelitian yakni data-data tentang pendapat Yûsuf al-Qardâwî tentang sewa tanah sekaligus menganalisanya untuk membuat kesimpulan. d. Menarik kesimpulan /Verifikasi. 6. Analisis Data Untuk menganalisa data yang telah terkumpul dalam rangka mempermudah pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan memaparkan sedetail mungkin pendapat Yusuf al14
Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), 39. Mattew B, Miles A dan Michael Hubberman, Analisis, 16. 16 Ibid., 17. 15
9
Qardlawi dalam sewa tanah dengan uang dan relevansinya dalam konteks ke-Indonesiaan sehingga diperoleh sebuah kesimpulan.
F. Sistematika Pembahasan Dalam penulisan skripsi ini, penyusun menggunakan pokok-pokok bahasan secara sistematis yang terdiri dari lima bab dan setiap bab terdiri dari sub-sub sebagai rincian. Adapun sistematika pembahasan adalah sebagai berikut: Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan metode penelitian serta sistematika pembahasan, sehingga dapat menjadi acuan pembahasan pada babbab selanjutnya. Bab kedua berisi deskripsi umum tentang sewa tanah, yaitu pengertian tentang sewa tanah, rukun sewa, syarat-syarat sah, macam-macam dan pendapat para ulama tentang sewa tanah. Dengan bahasan ini, diharapkan dapat memberikan gambaran tentang sewa tanah sebagai landasan teori dan kerangka berpikir dalam melakukan analisa. Bab ketiga berisi biografi tokoh yang dibahas yaitu Yûsuf al-Qardâwî mulai dari kelahiran, asal usul, pendidikan, perjuangan dan karirnya. Setelah itu dilanjutkan dengan
karya-karya serta pemikirannya. Kemudian
dibahas
pandangan Yûsuf al-Qardâwî sendiri tentang sewa tanah dan bagaimana konsep yang dikehendaki olehnya. Pada pembahasan ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang persoalan pada rumusan masalah yang ada.
10
Bab keempat berisi analisa terhadap pandangan Yûsuf al-Qardâwî tentang sewa tetap tanah pertanian dengan uang dan relevansi pandangan beliau dalam konteks Indonesia. Bab kelima berisi paparan kesimpulan dan saran. Pada bab ini akan dipaparkan jawaban dari permasalahan yang dibahas. Sehingga memberikan sebuah penjelasan singkat dari rumusan masalah yang telah dibahas.
11
BAB II SEWA TANAH DALAM ISLAM
A. Pengertian Sewa Tanah Sewa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, secara istilah adalah pemakaian sesuatu dengan membayar uang17. Di dalam Bahasa Arab sewa menyewa disebut dengan ijârah, al-ijârah berasal dari kata al-ajru yang berarti
al-`iwad (pengganti)18. Sewa menyewa tanah dalam literatur fiqh sering disebut kirâ al-ardi atau al-kirâ (اءMNO )اisim masdar dari (يMNQ
يM)آ19
yang berarti
sewa tanah. Kirâ semakna dengan ijar yang artinya sewa. Menurut Azhar Basyir, pengertian ijârah secara bahasa adalah balasan20. Sedangkan menurut istilah, Basyir mendefinisikan ijârah sebagai suatu perjanjian tentang pemakaian dan pemungutan hasil atau manfaat suatu benda, binatang atau tenaga manusia21. Menurut Sayyid Sâbiq, ijârah menurut shara`, berarti suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Sedangkan menurut Mâlikiyah, kirâ` mempunyai makna yang sama dengan
ijârah hanya saja kirâ` adalah sebutan untuk pengambilan manfaat barang pada 17
W.J.S. Purwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1976), 23. 18
Sayyid Sâbiq, Fiqh Sunnah III (Beirut: Dar al Fikr, 1983), 15. Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 1245. 20 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijârah, Syirkah (Bandung: alMa’arif, 1997), 24. 21 Ibid. 19
12
semua benda tetap seperti tanah atau rumah22. Sementara Wahbah al-Zuhaily mengartikan ijârah sebagai jual beli manfaat (ZSTUVOا
WXY)
baik secara bahasa
maupun istilah23. Setelah melihat beberapa definisi tentang ijârah, sewa tanah atau yang biasa disebut kirâ` al-ardi dapat diartikan sebagai perjanjian untuk mendapatkan manfaat dari tanah dengan jalan penggatian. Untuk mendapatkan manfaat dari tanah yang disewa, seseorang harus mengolah tanah itu terlebih dahulu, yaitu melalui pertanian. Jadi dalam sewa tanah seorang penyewa tidak bisa secara langsung memperoleh manfaat dari tanah tersebut. Sewa tanah dapat berarti nilai surplus sebidang tanah yang tersisa setelah dikurangi biaya penggarapanya. Dengan kata lain sewa tanah adalah surplus di atas biaya pengolahan (Afzalur Rahman menyebut sewa tanah dengan istilah rente ekonomi (Economi Rent).24 Dari definisi yang diberikan Afzalur Rahman ini, dapat disimpulkan bahwa biaya sewa akan diberikan jika ada surplus atau kelebihan dari biaya pengolahan. Jadi jika tidak ada surplus maka penyewa atau petani tidak wajib memberikan biaya sewa.
B. Rukun dan Syarat-Syarat Sewa 22
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala Madhahib al Arba’ah III (Mesir: Maktabah alBukhriyah al-Kubr, tt), 96. 23 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu IV (Mesir: Matba’ah Mustafa alBani al-Halabi wa Auladuh, 1992), 28. 24 Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Juz. II, Terj. Soeroyo Nastangin (Yogyakarta: P.T. Dhana Bhakti Wakaf, 1995), 177.
13
Menurut Wahbah al-Zuhaily ijârah itu seperti akad jual beli, maka harus terpenuhi pula rukun-rukun dan syaratnya seperti jual beli25. Kirâ` atau sewa menyewa benda tidak bergerak seperti tanah, rumah dan sebagainya, rukun dan syarat-syaratnya seperti ijârah. Menurut fuqaha`, rukun ijârah itu meliputi: 1. `Aqidani, yaitu mu`ajjir (orang yang menyewakan) dan musta`jir (penyewa) 2. Sighat, yaitu ijab dan qabul atau kesepakatan antara kedua belah pihak 3. Ujrah (upah sewa) 4. Manfaat26 Abdur Rahman al-Jaziri mengutip pendapat ulama` Hanafiah yang yang menyatakan bahwa rukun ijârah itu adalah ijâb dan qabûl yang menunjukkan akad ijârah, maka ijâb dan qabûl itu hanya sebagai istilah, maka sah juga ucapan atau lafad yang dengan ucapan itu tujuan dari orang yang mengadakan perjanjian dapat dimengerti, yang demikian itu aman dalam semua perjanjian karena yang dijadikan ijâb dan qabûl adalah yang dapat dipahami oleh orangorang yang mengadakan peranjian.27 Artinya yang terpenting dari pendapat itu adalah kesepakatan itu samasama dimengerti oleh kedua belah pihak walaupun tidak harus jelas menyebutkan perjanjiannya. Adapun syarat sahnya ijârah yaitu:
25 26 27
Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam, IV, 729. Al-Jaziri, al-Fiqh `ala Madhahib al-Arba’ah III, 95. Ibid.
14
1. Adanya kerelaan di antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, maka tidak sah jika salah satu pihak dipaksa. Berdasarkan firman Allah
_ َر ًةmَvjِ ن َ ْfmُNjَ ْ َأنk ^ ِإp ِq ِ _َrOْ _ِY ْdNُ Uَ Xْ Yَ ْdNُ Oََاfgْ ا َأfُhْ ُآijَ k َ اfُUgَ ءَاl َ Qْ ]ِ O^َ_ اaQb َ_َأQ (٢٩ :{_ءUO )ا.ْdNُ Uxg ض ٍ َاMjَ ْlw َ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan batil kecuali dengan perniagaaan yang berlaku atas dasar suka sama suka”. 28
jalan
2. Mengetahui manfaat barang yang diperjanjikan dengan sempurna untuk menghindari terjadinya perselisihan, sehingga harus diketahui kejelasan bendanya, dan sifat-sifatnya, seperti rumah berukuran besar, berpagar, atau sifat-sifat lain yang menunnjukan pada obyeknya, juga mengenai lamanya sewa seperti satu bulan atau satu tahun, sesuai dengan kesepakatan. 3
Hendaknya yang dijadikan obyek perjanjian dapat dimanfaatkan menurut ukuran dan fungsinya serta tidak bertentangan dengan ketentuan syara` misalnya untuk perjudian.
4
Dapat
diserahkan
sesuatu
yang
disewakan
itu
berikut
kegunaanya
(manfaatnya) maka tidak sah jika menyewakan hewan yang terlepas yang tidak bisa diambil manfaatnya atau menyewakan rumah yang belum jadi. 5
Bahwa manfaat adalah hal yang mubah bukan hal yang diharamkan, maka tidak boleh menyewakan barang yang haram atau dengan tujuan yang diharamkan seperti untuk perjudian29.
28
1989).
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra,
15
6
Bahwa imbalan itu harus berbentuk harta yang mempunyai nilai, jelas, diketahui dengan baik dengan menyaksikan atau menginformasikan ciricirinya. Hal ini dilakukan untuk menghindari perselisihan.
7
Mu`ajjir dan musta`jir harus sudah mumayyiz, berakal, sehat dan tidak berada di bawah pengampuan, maka perjanjian yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang belum bisa membedakan maka hukumnya tidak sah.
8
Mu`ajjir adalah pemilik barang sewa, walinya atau orang yang menerima wasiat untuk bertindak sebagai wali.
9
Lamanya waktu sewa dalam memanfaatkan barang harus jelas misalnya satu tahun atau satu bulan sesuai dengan kesepakatan.
10 Harga sewa yang harus dibayar ditentukan jumlahnya, jika berupa uang maka ditentukan jumlahnya atau besarnya, bila berupa laninya maka ditentukan kadarnya30.
C. Obyek Sewa Perjanjian sewa menyewa adalah bentuk perjanjian menggunakan manfaat imbalan, karena pada dasarnya sewa menyewa adalah bentuk perjanjian di mana salah satu pihak menyerahkan manfaat sesuatu dan pihak lain menyerahkan upah atas manfaat yang disewanya. Sayyid Sâbiq menjelaskan bahwa objek sewa menyewa dapat berupa manfaat dari: 29 30
Sâbiq, Fiqh Sunnah, 200-201. Basyir, Hukum Islam, 27.
16
1. Barang/benda (ain): seperti rumah, tanah, kendaraan, atau binatang 2. Orang atau jasa (amal): seperti penjahit, pekerja bangunan, desainer atau jasa sejenisnya. Adapun manfaat orang terdiri dari: a. Ajir Khas, yaitu orang yang disewa dalam jangka waktu tertentu pada orang tertentu. b. Ajir Musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih dari satu orang dimana mereka secara bersama-sama memanfaatkannya pada ajir
musytarak ini.31 Jadi mereka tidak terikat untuk bekerja pada satu orang tertentu. Obyek sewa menyewa adalah manfaat, di mana dalam menggunakan manfaat tersebut tidak menjadikan hilang atau berubahnya obyek sewa, maka tidak sah menyewakan makanan untuk dimakan sehingga menyebabkan habisnya benda sewa, karena dalam perjanjian sewa menyewa adalah perjanjian pemilikan manfaat bukanlah perjanjian untuk memiliki benda sewa.32
Menurut Wahbah al-Zuhaily, manfaat suatu benda adalah manfaat umum yang sudah diketahui dan terhindar dari perselisihan, penipuan, dan yang menjadi obyek adalah hal yang mubah yang tidak dilarang oleh syara’.33 Dengan
31 32 33
Sâbiq, Fiqh Sunnah, 203. Ibid., Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam, 736.
17
demikian, manfaat benda yang disewakan haruslah diketahui dengan jelas agar tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan atau tertipu. Benda yang dijadikan obyek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Benda yang suci, maka benda yang najis tidak diperbolehkan disewakan. Atau benda yang dilarang digunakan oleh shara’ karena mempunyai tujuan yang bertentangan dengan shara’ misalnya menyewakan rumah untuk tempat perjudian. 2. Benda tersebut milik sendiri (milik orang yang menyewakan), atau yang diwakilkan atau diberikan wasiat, maka tidak diperbolehkan menyewakan barang yang bukan miliknya. 3. Benda itu dapat diketahui dengan jelas sifat, bentuk maupun kadarnya. Dengan demikian maka diharapkan tidak akan ada penyesalan di kemudian hari, selain itu penyewa tidak merasa tertipu. 4. Sesuatu yang dapat dimanfaatkan (memiliki manfaat) 5. Benda itu dapat diserahkan terimakan, maka obyek telah ada ketika dilakukan perjanjian dan ini tidak berlaku terhadap benda yang belum ada. 6. Benda yang menjadi obyek sewa harus ada pada saat perjanjian itu diadakan. Barang belum ada tidak dapat menjadi obyek sewa karena akibat perjanjian itu tidak mungkin bergantung pada sesuatu yang belum ada.34
34
Sâbiq, Fiqh Sunnah, 203.
18
D. Macam dan Bentuk Sewa Tanah Dalam menyewa tanah pertanian, penyewa (petani) dapat membayar biaya sewa dengan dua kemungkinan, yaitu dengan uang tunai atau dengan sisa hasil yang diperolehnya dari pengolahan tanah itu.35 Pembayaran secara tunai biasa disebut dengan sistem sewa tetap, karena penyewa tetap membayar jumlah biaya yang sama apapun hasil yang diperoleh setelah panen. Sedangakan cara yang kedua sering disebut dengan bagi hasil, karena petani akan membayar biaya sewa kepada tuan tanah dengan melihat hasil yang diperoleh setelah panen sesuai dengan kesepakatan pembagian. 1. Sistem sewa tetap Dalam sistem sewa tetap atau yang biasa disebut dengan sewa, biaya sewa bersifat tetap, tidak bergantung pada hasil produktivitas tanah yang diolah tersebut. Jadi hasil panen menjadi hak dari penyewa tanah sebagaimana resiko kegagalan panen juga sepenuhnya menjadi tanggungan penyewa.36 Dengan demikian, pemilik tanah hanya mendapatkan uang sewa dari tanah miliknya, tanpa biasa menikmati hasil panen. Dalam bentuk pengolahan ini, petani bekerja lebih sungguh-sungguh karena hasil kerjanya akan tetap menjadi bagiannya. Ia hanya harus membayar sejumlah uang yang ditetapkan kepada pemilik tanah. Mereka juga akan berusaha memperoleh hasil panen yang lebih banyak dan bernilai
35
Rahman, Doktrin, 260. M.B. Hendri Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami (Yogyakarta: Ekosiana, 2003), 194. 36
19
mahal selama tahun tersebut. Semua itu merupakan usaha-usaha yang memungkinkan adanya peningkatan lahan yang permanen.37 Dengan sistem pengolahan ini bisa jadi hasil yang dicapai saat panen bisa lebih banyak dan melimpah jika dibandingkan dengan sistem bagi hasil, karena petani akan lebih bersungguh-sungguh agar ia tidak memperoleh kerugian dengan biaya sewa yang harus ia bayar. 2. Sistem sewa bagi hasil Apabila tanah disewakan dengan sistem bagi hasil, maka di sini pemilik tanah akan berbagi hasil dan resiko atas panenan tanah dengan penyewa tanah, misalnya setengah, sepertiga, seperempat, atau berapa saja berdasarkan perjanjian yang disepakati bersama. Jadi pada saat dilakukan penyewaan tanah antara dua pihak ini hanya bersepakat tentang porsi bagi hasilnya, sedang secara nyata hasil yang diperoleh baru diketahui setelah panen dilakukan.38 Apabila tanah pertanian yang disewakan dengan sistem bagi hasil, maka ini disebut dengan muzâra’ah (Zw|ارg) dan jika sebidang kebun yang disewakan dengan sistem yang sama maka disebut dengan
musâqah (Z}_{g).39 E. Pendapat Ulama` Tentang Sewa Tanah
37 38 39
Rahman, Doktrin II, 289. Anto, Pengantar, 197. Ibid.,
20
Secara umum ada dua pendapat para ulama’ tentang sewa tanah untuk pertanian yaitu antara mereka yang membolehkan sewa tanah dan mereka yang tidak memperbolehkan sewa tanah. Pandangan yang membolehkan sewa tanah dapat dipecah lagi menjadi: a. Pandangan pertama yaitu sewa tanah lebih baik didasarkan pada sistem bagi hasil, bukan sistem sewa tetap. b. Pandangan yang kedua yaitu sewa tanah lebih baik dilakukan dengan sewa tetap, sebab pada dasarnya tanah dapat dianalogikan (qiyas) seperti kekayaan lainnya. c. Pandangan ketiga yaitu sewa tanah dapat dilakukan dengan sewa tetap maupun sewa dengan sistem bagi hasil.40 1. Kontroversi Sistem Bagi Hasil Sistem bagi hasil disebut dengan muzâraah apabila dilakukan atas tanah pertanian dan disebut musâqah apabila dilakukan atas perkebunan. Dari segi istilah, sistem bagi hasil ini sebenarnya tidak tepat jika disebut sewa tetapi lebih tepat disebut kerja sama pengolahan tanah.41 Tidak tepat disebut sewa karena biaya sewa biasanya sudah ditetapkan di awal perjanjian sedangkan hasil sistem ini diketahui setelah masa sewa akan atau sudah berakhir. Dalam pengolahan seperti ini, tuan tanah menerima bagian tertentu yang telah ditetapkan dari hasil produksi, bisa setengah, sepertiga, seperempat dari petani berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian dan 40 41
Ibid., 196-197. Ibid.
21
umumnya pembayaran diberikan dalam bentuk hasil bumi. Sistem inilah yang dijalankan pada masa Rasulullah SAW, yaitu ketika beliau memberikan tanah di Khaybar kepada orang Yahudi dengan sistem bagi hasil seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
جMQ_mg MmY MmrX
pm اهpmg_w dh وXhw اh~ ل اfأن ر 42
. او زرعMV lg _aUg
Artinya: Sesungguhnya Rasulullah SAW. berbagi hasil dengan penduduk
Khaybar dengan sebagian dari hasil panen tanaman atau buahbuahan. Di kalangan ahli Fiqh Islam terdapat perbedaan tentang keabsahan sistem bagi hasil dalam pengolahan tanah. Sebagian mereka menganggap bahwa
kesepakatan
bagi
hasil
sama
dengan
persekutuan
dalam
perdagangan. Oleh karena itu diperbolehkan, sementara sebagian lainnya menolak sistem tersebut karena dianggap terlalu berat dan bersifat menindas. Dan masih ada lagi yang menganggap boleh dengan syarat-syarat tertentu:43 a. Pendukung Sistem Bagi Hasil Kebanyakan para ulama` mendukung sistem bagi hasil, misalnya madhab Hanafi, Muhammad bin Sirin, Abdurrahman al-Jaziri dan Maulana Maududi. Mereka berpendapat bahwa sistem bagi hasil lebih dekat kepada keadilan dibandingkan dengan sistem sewa tetap.44 Sistem ini
42 43 44
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. II (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 57. Rahman, Dokrin II, 262. Ibid., 272-278.
22
pada hakikatnya sama dengan mudârabah biasa, di mana ia adalah perjanjian kerja sama (partnership) antara pemilik tanah dan penyewa tanah. Pemilik tanah adalah sâhib al-mal (pemilik harta) karena memberi kontribusi tanah (dianalogikan dengan uang), sementara penggarap atau penyewa adalah mudarib (pengelola harta) karena ia memberi kontribusi wira usaha atau tenaga.45 M.
Umer
Chapra,
seorang
ahli
ekonomi
Islam
modern,
berpendapat bahwa seorang petani atau penyewa yang tidak bertanah kedudukannya sangat lemah, dan kemungkinan akan demikian untuk jangka waktu yang cukup lama, meskipun telah diberlakukan pembatasan ukuran kepemilikan tanah, kontrak sewa tanah pertanian akan tetap menjadi sumber ketidakadilan dan kemiskinan jika ongkos sewa terlalu tinggi, sementara hasilnya tidak pasti.46 Oleh karena itu perlu untuk mereformasi syarat perjanjian sewa tanah yang bertujuan untuk menegakkan keadilan antara tuan tanah dan penyewa. Lebih jauh ia menambahkan bahwa pemerintah bisa saja melarang kontak perjanjian sewa tanah pertanian secara temporer atau mengulas secukupnya, jika diperlukan untuk mewujudkan maqâsid dan memenuhi kepentingan rakyat banyak.47 Dengan demikian diharapkan para penyewa dan pemilik tanah sama-sama terlibat dalam memperoleh keuntungan ataupun
45
Anto, Pengantar, 197. M. Umer Chapra, Islam and Economic Challenge (Herndan USA: The Islamic Foundation and The International Institute of Islamic Thought, 1995), 267. 47 Ibid. 46
23
kerugian dalam penggarapan lahan pertanian. Sehingga akan lebih fair bagi keduanya. Chapra tidak secara tegas melarang sewa tetap, tetapi ia cenderung untuk memakai sistem yang tidak merugikan salah satu pihak terutama penyewa tanah. b. Penentang Sistem Bagi Hasil Ada
kelompok
pemikiran
lain
dalam
hukum
Islam
yang
menganggap sistem bagi hasil dalam pertanian sebagai sesuatu yang tidak sah dan haram. Pendapat semacam ini diberikan oleh para sahabat dan ahli Fiqh Islam yang terkenal. Menurut Rafi’ bin Khadij, keluarganya pernah membeli tanah dan memberikannya untuk digarap dengan sistem bagi hasil. Suatu hari salah seorang pamannya menemuinya dan mengatakan
bahwa
Rasulullah
SAW.
telah
melarang
mereka
menyerahakan tanah persewaan dan bagi hasil dengan mengambil sepertiga atau seperempat atau suatu ketentuan jumlah.48 Terhadap larangan tentang muzâra’ah yang dikemukakan oleh Rafi’ bin Khudaij telah dibantah oleh Zaid bin Tsabit r.a. dan ia menyatakan bahwa sesungguhnya larangan dari Nabi itu adalah untuk meleraikan
pertengkaran.
Kemudian
ia
berkata
“semoga
Allah
mengmpuni Rafi’, aku dan Allah lebih mengetahui hadîth ini dari
48
Rahman, Doktrin II, 279.
24
padanya”.49 Sesungguhnya ada dua orang Anshar yang saling bertengkar dan datang Nabi SAW. Dan kemudian beliau bersabda:
واMmNj m mOf} Wm راWV{m |ا رعmVOوا اMmNj m dNi إن آ_ن ه]ا 50
|ارعVOا
Artinya: Jika ini yang menjadi perdebatan kalian, maka janganlah kamu
menyewakan tanahmu. Maka Rafi’ mendengar perkataan: “janganlah menyewakan tanah kalian”. Imam Abû Hanîfah menentang sistem bagi hasil baik dalam pengolahan bidang pertanian maupun dalam perkebunan. Dikatakan dalam “Hidayah” bahwa muzâra’ah dan masâqâh kedua-duanya terlarang menurut Abû Hanîfah.51 Tetapi Abû Hanîfah membolehkan muzâra’ah jika alat pertanian dan benihnya dari pemilik tanah dan penyewa, maka dengan demikian penyewa telah menyewa tanah dengan biaya tertentu yaitu minimal dari alat pertanian dan benih yang telah ia berikan, selain itu petani bisa memperoleh bagian dari hasil pertanian dengan kerelaan dari keduanya.52 Nampaknya Abû Hanîfah melarang sistem ini karena adanya kelompok masyarakat baru yang berwatak parasit, yang mengeksploitir dan mengambil keuntungan secara tidak adil dari hasil tersebut. 2. Kontroversi Sewa Tetap a. Pendukung Sewa Tetap 49 50 51 52
Sâbiq, Fiqh Sunnah III, 192. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz IX (Semarang: al-Syifa’, 1993), 238. Rahman, Doktrin II, 283. Al-Jaziri, Kitab `ala Madhahib al Arba’ah III, 3.
25
Sebenarnya hanya sedikit dari para ulama’ yang menentang sewa tanah dengan sistem sewa tetap atau tunai karena kebanyakan para ulama’ mendukung atau memperbolehkan sistem ini. Walaupun demikian, mereka tetap mempunyai perbedaan pendapat tentang bagaimana cara pembayaran sewa atas tanah tersebut. Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa mereka membolehkan kirâ bagi tanah, karena kirâ adalah sama dengan ijârah hanya saja dikhususkan kepada benda tak bergerak. Menurut Sayyid Sâbiq, sewa tanah diperbolehkan dengan syarat penyewa menjelaskan apa yang akan ia lakukan atas tanah tersebut atau dengan kata lain ia harus menjelaskan tentang tanaman yang ditanam. Dalam hal ini ia mengatakan: “Jika tidak dijelaskan tentang tanaman apa
yang akan ditanam, maka sewanya menjadi rusak kecuali pemilik tanah mengiznkan penyewa untuk menanami apa aja yang ia suka.”53 Rabi’ah dan Sayyid bin Musayyab berpendapat bahwa boleh menyewakan tanah asal pembayarannya harus dengan dinar atau dirham.54 Atau dengan kata lain pembayarannya harus dengan uang. Sedangkan Malik dan sebagian besar pengikutnya mengatakan bahwa boleh
menyewakan
tanah
dengan
syarat
pembayarannya
selain
makanan.55 Imam al-Shâfi`î mempunyai pendapat lain, menurutnya sewa
53 54 55
Sâbiq, Fiqh III, 207. Rusyd, Bidayah II, 179. Ibid.
26
tanah boleh dilakukan dengan apa saja baik itu makanan dan lainnya, asalkan saja itu bukan hasil dari tanah yang diolah tersebut.56 b. Penentang Sistem Sewa Tetap Di antara ulama’ yang tidak setuju dengan sistem sewa tetap tanah pertanian ini adalah dengan alasan bahwa sistem ini mengandung unsur ketidakadilan dan cenderung merugikan pihak pengelola. Ulama’ yang tidak memperbolehkan sistem ini adalah mereka yang mengatakan bahwa sewa tanah lebih baik didasarkan dengan sistem bagi hasil, antara lain adalah Muhammad bin Sirrin, Abdurrahman Al-Jaziri Umer Chapra dan termasuk di sini adalah Yusuf al-Qardawi. Dalam pemikiran ekonomi muslim kontemporer, kontroversi sewa tetap berkaitan dengan karakteristik tanah yang tidak sama, dan ini persis dengan barang-barang lain yang dapat disewakan, sehingga sewa sebagai harga atas pengolahan tanah dapat dipertanyakan. Tanah pada dasarnya berbeda dengan bentuk-bentuk aset lain yang dapat disewakan seperti kendaraan, rumah dan lain-lain. Perbedaan ini antara lain: 1) Sewa untuk aset-aset seperti ini lahir karena adanya berbagai biaya yang diperlukan untuk pengadaan aset-aset ini, sementara tanah pada dasarnya adalah anugerah langsung dari Allah. Dengan kata lain, tanah diperoleh manusia secara gratis.
56
Muhamad bin Idris al-Shafi’i, al-Umm (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 14.
27
2) Aset-aset ini mengalami depresiasi sehingga adanya sewa adalah untuk menutup depresiasi ini, sementara tanah tidak mengalami depresiasi.57 Namun demikian pemikir ekonomi Islam kontemporer seperti Afzalur Rahman, Mannan, dan Junaid seperti yang dikutip oleh Anto berpendapat bahwa sewa tanah dapat dilakukan baik dengan sewa tetap maupun bagi hasil. Mereka mengakui adanya hadîth Rasulullah yang memperbolehkan
sistem
tertentu,
memperbolehkan
kedua
sistem
tersebut, dan juga melarangnya. Hadîth-hadîth yang melarang sistem bagi hasil dan sewa tetap ini bahkan seringkali dipahami sebagai larangan untuk sewa tanah dengan sistem apapun. Antara berbagai hadîth ini nampaknya saling bertentangan sehingga membingungkan. Untuk itu mereka mencoba untuk menemukan substansi hadîth-hadîth dengan mempelajari konteks dan situasi kondisi yang melatarbelakangi suatu hadîth. Mereka juga untuk mengaitkan misi utama ajaran Islam, khususnya yang berhubungan dengan perekonomian.58 3. Penentang Sewa Tanah Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya menjelaskan bahwa tanah dilarang dijadikan alat investasi, seperti halnya rumah, kendaraan, dan
57 58
Anto, Pengantar, 200. Ibid.
28
lainnya. Menyewa tanah pertanian haram hukumya menurut shara’ dengan pengharaman yang umumnya tanpa pembatas.59 Dalam Sahih Bukhari bahwa Rasulullah bersabda:
{ ارVXh Y_ا
_ _ن اaUVXO_اوaw|رXh ارضO _ آlg Artinya: “Barang siapa yang mempunyai tanah maka tanamilah sendiri atau
berikanlah kepada saudaramu dan jika ia menolak maka tahanlah tanah tersebut”. Pendapat lainnya diungkapkan oleh Taqiyududdin an-Nabhani yang mengatakan bahwa seorang pemilik tanah secara mutlak tidak boleh menyewakan tanahnya untuk pertanian, baik pemiliknya memiliki lahannya dan kegunaanya sekaligus ataupun hanya memiliki kegunaannya saja, artinya tanah tersebut status usriah maupun kharijiyah, baik sewanya berupa uang ataupun
yang lainya. Hal ini tidak diperbolehkan karena semua itu
merupakan bentuk ijârah. Padahal menurutnya menyewakan tanah untuk petanian secara mutlak hukumnya haram.60 Ia mendasarkan pendapatnya pada hadîth yang diriwayatkan oleh Bukhari di atas, Muslim dan juga anNasâi disebutkan:
لfm_رQ _mUh} رضkاء اM آlw dh وXhw اh~ ال اf رa _mUوآ,k _لlXO_Y _aQMN _U}_ل وآ,k }_لO اlg _هMNjا إذا 61
59
._ا
_كaUg_اواawازر,k {_} }_لO اWXYMO اhw _VY _aQMN
Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam (Bangil: al-Izzah, 2001), 68. Taqiyududin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 145. 61 An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’I, Juz. VII (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 36. 60
29
Artinya: Rasulullah melarang sewa tanah, kami berkata:”wahai Rasulullah!
Bagaimana jika kami menyewakan tanah dengan upah biji-bijian?” beliau berkata,”jangan!”. Kami berkata, “bagaimana jika kami menyewakannya dengan memetak tanah?”. Beliau berkata: ”jangan”. “Bagaimana jika kami menyewakan dengan hasil di musim bunga yang airnya mengalir?” Beliau berkata,”jangan”! Tanamilah sendiri atau kau serahkan kepada saudaramu!”. Hadîth ini menunjukkan adanya larangan Rasulullah terhadap penyewaan tanah. Larangan tersebut, meski hanya menunjukkan adanya perintah untuk meninggalkannya, namun ternyata di sana ada qarînah (indikasi) yang menjelaskan adanya larangan yang tegas.62 Di dalam hadîth yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i, terlihat Rasulullah melarang terus menerus apa yang dilakukan oleh
para sahabat dengan
mengatakan “jangan” berkali-kali. Pengulangan ini menunjukkan adanya
ta’kid (penegasan). Di dalam Bahasa Arab, ta’kid adakalanya dengan lafad yang diulang pemakaiannya dan adakalanya dengan makna.63 Mengenai Rasulullah yang pernah menyewakan tanah Khaybar dengan separo, itu tidak termasuk dalam pembahasn ini. Karena itu berupa rimba belantara, bukan berupa tanah bersih. Jadi apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. terhadap tanah Khaybar itu tidak termasuk dalam menyewakan tanah melainkan mengaliri dengan pembagian hasil buahnya untuk menyirami tanah.64
62 63 64
An-Nabhani, Membangun, 16. Ibid. Ibid., 147.
30
BAB III PEMIKIRAN YÛSUF QARDÂWÎ TENTANG SEWA TANAH PERTANIAN
A. Biografi Yûsuf al-Qardâwî 1. Kelahiran dan Pendidikan Yûsuf al-Qardâwî Kapasitas keilmuan Qardâwî sesungguhnya tidak lepas dari latar belakang pendidikan dan keluarganya. Dilahirkan dari keluarga sederhana pada 1926 di desa Shaft Turab, provinsi Manovia, Mesir, sejak kecil ia tidak pernah lepas dari pendidikan keagamaan.65 Ia dikenal sebagai seorang ulama kontemporer yang ahli dalam bidang hukum Islam, dan mantan dekan Fakultas Syariah Universitas Qatar. Nama lengkapnya ialah Muhammad Yûsuf al-Qardâwî . Ia berasal dari keluarga yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketika berusia 2 tahun, ayahnya meninggal dunia. Sebagai anak yatim, ia diasuh oleh pamannya. Ia mendapat perhatian yang cukup besar dari pamannya, sehingga ia menganggapnya sebagai orang tuanya sendiri. Seperti keluarganya sendiri, keluarga pamannya pun taat menjalankan agama Islam. Tidak heran kalau Yûsuf Qardâwî menjadi seorang yang kuat beragama. 65
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam Dari Abu Bakr sampai Nasr dan Qardhawi (Bandung: Mizan Media Utama, 2003), 360.
31
Ketika berusia 5 tahun, ia dididik menghafal al-Qur’an secara intensif oleh pamannya, dan pada usia 10 tahun ia sudah menghafal seluruh alQur’an dengan fasih. Karena kefasihannya, ditambah dengan kemerduan suaranya, ia sering diminta menjadi imam dalam shalat-shalat jahrîyah (menjaharkan/ mengeraskan bacaan, seperti maghrib, isya’, dan subuh).66 Kecintaannya terhadap lembaga pendidikan Islam ternama, al-Azhar, membuat tekad bulatnya menempuh pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi di lembaga ini. Dia menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan itu, dan selalu menempati ranking pertama. Kecerdasannya telah tampak sejak dia kecil, hingga salah seorang dari gurunya menggelarinya dengan ‘allamâh ( sebuah gelar yang biasanya diberikan kepada seorang yang memiliki ilmu yang sangat luas). Dia meraih ranking kedua untuk tingkat nasional Mesir pada saat kelulusannya di sekolah menengah umum.67 Kecerdasannya juga terbukti ketika ia berhasil menyelesaikan studinya di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar dengan predikat terbaik yang diraihnya pada 1952/1953, kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke jurusan bahasa Arab selama 2 tahun. Di jurusan ini pun ia lulus dengan peringkat pertama di antara 500 mahasiswa. Kemudian ia melanjutkan studinya ke Lembaga Tinggi Riset dan Penelitian Masalah-Masalah Islam dan 66
Abu Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , vol. 5, ed. Abdul Aziz Dahlan (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), 1448. 67 Ishom Talimah, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardâwî, terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), 2-4.
32
Perkembangannya selama 3 tahun. Pada tahun 1960 Yûsuf al-Qardâwî memasuki pascasarjana (Dirâsah al-‘Ulyâ) di Universitas al-Azhar, Kairo. Di fakultas ini ia memilih jurusan Akidah Filsafat. Setelah itu ia melanjutkan studinya ke program doktor dan menulis disertasi berjudul Fiqh al-Zakâh (Fiqh Zakat) yang selesai dalam 2 tahun, terlambat dari yang diperkirakannya semula, karena sejak 1968 sampai 1970 ia ditahan oleh penguasa militer Mesir atas tuduhan mendukung pergerakan Ihwân al-Muslimin (organisasi Islam yang didirikan oleh Shaykh Hassân alBanna (1906-1949) pada tahun 1938 yang bergerak di bidang dakwah, kemudian bergerak di bidang politik). Setelah keluar dari tahanan, ia hijrah ke Daha, Qatar, dan di sana ia bersama-sama dengan teman seangkatannya mendirikan Madrasah Ma’had ad-Dîn (Institut Agama). Madrasah inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Fakultas Syariah Qatar yang kemudian berkembang menjadi Universitas Qatar dengan beberapa Fakultas. Yûsuf alQardâwî sendiri duduk sebagai dekan Fakultas Syariah pada universitas tersebut.68
2. Karir dan Aktivitas Yûsuf al-Qardâwî
68
Abu Aziz, EnsiklopediHukum Islam, 1448.
33
Jabatan struktural yang sudah lama dipegangnya adalah ketua jurusan Studi Islam pada Fakultas Syariah Universitas Qatar. Sebelumnya ia adalah direktur Lembaga Agama Tingkat Sekolah Lanjutan Atas di Qatar. Sebagai seorang warga Negara Qatar dan ulama kontemporer, Yûsuf Qardâwî sangat berjasa dalam usaha mencerdaskan bangsanya melalui berbagai aktivitasnya di bidang pendidikan, baik formal maupun nonformal. Dalam bidang dakwah, ia aktif menyampaikan pesan-pesan keagamaan melalui program khusus radio dan televisi Qatar, antara lain melalui acara mingguan yang diisi dengan tanya jawab tentang keagamaan. Melalui bantuan universitas, lembaga-lembaga keagamaan, dan yayasan-yayasan Islam di dunia Arab, Yûsuf al-Qardâwî sanggup melakukan kunjungan ke beberapa Negara Islam dan non-Islam untuk misi keagamaan. Dalam tugas yang sama, pada tahun 1989 ia sudah pernah ke Indonesia. Dalam berbagai kunjungannya ke negara-negara lain ia aktif mengikuti berbagai kegiatan ilmiah, seperti seminar, muktamar, dan seminar tentang Islam serta hukum Islam. Misalnya seminar hukum Islam di Libya, muktamar I tarîh Islam di Beirut, muktamar internasional I mengenai ekonomi Islam di Mekah, dan muktamar hukum Islam di Riyadh.69
B. Wawasan Keilmuan Yûsuf al-Qardâwî
69
Ibid., 1448-1449.
34
1. Bidang Ilmu Pengetahuan Tulisan dan karangan merupakan salah satu sisi yang paling penting dalam diri Yûsuf al-Qardâwî. Dia seorang alim yang banyak mengarang dan banyak mengoreksi, sebagaimana hal ini pernah diungkap oleh ‘Allâmah Abu al-Hassân al-Nadâwî dalam kitab Rasâil al-‘Ulûm. Buku-buku yang memiliki bobot ilmiah yang sangat tinggi dan memiliki pengaruh besar di dunia Islam, sebagaimana hal ini pernah diucapkan dengan penuh kejujuran oleh ‘Allâmah Shaykh ‘Abd al-‘Azîz Ibn Baz. Yûsuf al-Qardâwî telah mengarang buku-buku keislaman hampir berjumlah 100 buku dengan orisinalitas tersendiri. Karya-karya itu mendapat sambutan yang menggembirakan dari berbagai kalangan di dunia Islam. Oleh sebab itulah buku-bukunya dicetak berulang kali dengan bahasa Arab Dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa yang ada di dunia. Buku-buku karya Yûsuf al-Qardâwî memiliki kelebihan, diantaranya : a. Karya-karyanya
selalu
mendasar
pada
khazanah
keislaman
yang
berdasarkan al-Qur’an dan al-hadîth, dan selalu mengikuti manhâj salaf
al-sâlih. Namun demikian, beliau tidak melupakan zaman saat ia hidup. Dengan demikian, dia telah menggabungkan orisinalitas dan kemodernan sekaligus. b. Selalu menggabung antara ketelitian ilmiah, kedalaman pemikiran dan orientasi perubahan.
35
c. Bebas dari sifat taqlid dan fanatisme madhhab, sebagaimana ia juga terbebas dari pengaruh pemikiran yang diimport, baik dari Barat maupun Timur. d. Karya-karyanya penuh dengan nuansa moderat, tidak sangat longgar dan tidak terlalu kaku. e. Tulisan-tulisannya mudah dibaca dan menarik, satu penulisan yang menandakan bahwa penulisnya adalah seorang alim dan sastrawan yang mahir. f.
Tulisannya selalu menggambarkan konfrontasi bagi semua aliran pemikiran destruktif yang didapat dari luar Islam.
g. Para pembaca karya-karyanya akan sepakat bahwa karya-karya dan tulisannya merupakan gabungan antara ketelitian seorang ahli fiqh, pesona para sastrawan, kehangatan seorang da’i, dan pandangan seorang reformis. Selain buku-buku yang bersifat ilmiah, ia juga memiliki karya sastra, seperti naskah drama yang berjudul “Âlim wa Taghîyah” ( seorang alim dan seorang lalim), yang menggambarkan keistiqamahan Sa’id Ibn Jubair dalam memegang prinsip ketika menghadapi kelaliman al-Hajjaj Ibn Yûsuf alThagafî, kemudian naskah drama prosa dengan judul Yûsuf al- Sâdiq (Yûsuf yang jujur). Selain itu, ia juga menulis dua kumpulan puisi yang berjudul
36
Nafahat wa Lafahat70, dan al-Muslimûn al-Qâdimûn. Kedua kumpulan puisi ini merupakan kumpulan sebagian karyanya yang lama dan yang baru. Semua berisi tentang nasehat dan arahan kaum muslimin. Selain itu ia juga menulis buku-buku bersama-sama dengan penulis lain yang sengaja diminta oleh Kementerian Pendidikan Qatar, khususnya untuk akademi-akademi keagamaan. Buku yang ia tulis lebih dari 20 buku yang dijadikan pegangan oleh pemerintah Qatar dan sekolah-sekolah. Bukubuku yang ditulis oleh Yûsuf al-Qardâwî meliputi tafsir, hadîth, tauhîd, fiqh, masyarakat Islam, bahasan-bahasan keislaman, filsafat akhlaq, dan lainlain.71 2. Bidang Fiqh dan Fatwa Salah satu kontribusi Yûsuf al-Qardâwî yang sangat menonjol adalah dalam bidang fiqh dan fatwa. Tidaklah ia menyampaikan ceramah, menghadiri muktamar atau seminar kecuali akan senantiasa ada pertanyaanpertanyaan mengenai berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah keislaman yang diajukan kepadanya. Dan jawaban-jawaban yang beliau berikan selalu memiliki ciri keilmuan yang kuat, ciri moderat serta sangat memuaskan.72 Yûsuf al-Qardâwî kini telah menjadi salah satu tokoh utama kaum muslimin di seluruh dunia. Siapa saja yang dekat dengan Yûsuf al-Qardâwî, 70
Kumpulan puisi ini ditetapkan sebagai mata pelajaran wajib untuk mahasiswa Fakultas Dakwah Islam di Universitas al-Azhar pada tahun 1942. 71 Ishom Talimah, Manhaj Fiqh,7-8. 72 Ibid., 9.
37
pasti akan mengetahui bagaimana ia sering mengeluh akibat banyak surat dan permintaan fatwa yang ditujukan kepadanya, sedang ia sendiri tidak sanggup untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, karena pertanyaanpertanyaan tersebut membutuhkan perangkat yang lengkap. Dan tidak mungkin
seorang
manusia
mampu
menanganinya,
sebesar
apapun
kemampuannya. Ini semua di samping pertanyaan yang ia jawab secara lisan dalam pertemuan langsung atau dalam beberapa kesempatan lewat hubungan telepon yang dilakukan oleh banyak penanya karena dianggap lebih mudah. Di samping itu ia juga memiliki program tetap di radio dan TV Qatar yang dikhususkan untuk menjawab pertanyaan para pendengar dan pemirsa. Yûsuf al-Qardâwî menjelaskan secara panjang lebar tentang metode atau manhaj yang ia gunakan dalam berfatwa, dalam bukunya yang sangat terkenal yaitu Fatawa Mu’âsirah. 3. Bidang Ekonomi Islam Dari sudut praktis Yûsuf al-Qardâwî merupakan sosok pendukung utama pendiri bank-bank Islam, baik sebelum bank itu berdiri maupun setelahnya dan setelah terjalinnya kerjasama dengan persatuan Internasional bank-bank Islam. Hingga kini ia masih tetap menjadi orang yang sangat antusias
mendukung
bank-bank
Islam,
mengarahkan
gerakannya serta membelanya dengan sepenuh hati.73
73
Ibid., 14-15.
langkah
dan
38
Yûsuf al-Qardâwî menjelaskan mengapa ia membela demikian antusias terhadap bank-bank Islam, dalam kitabnya Bay’ al-Murabahah, ia berkata,” Sesungguhnya kepedulian saya terhadap ekonomi Islam ini merupakan gambaran kepedulian saya terhadap salah satu sisi sharî’ah Islam dan usaha-usaha penerapannya dalam segala lapangan kehidupan serta usaha menjadikannya sebagai pengganti hukum-hukum positif yang ada saat ini. Sebagai penghargaan atas perannya yang sangat besar dalam masalah ini, IDB (Islam Development Bank/ Bank Pembangunan Islam) menetapkan Yusuf al-Qardâwî sebagai pemegang hadiah dari IDB pada tahun 1411 H dalam bidang bank Islam.74
C. Pemikiran Fiqh Dan Karya-karya Yûsuf al-Qardâwî Corak terpenting metodologi Islam Qardâwî adalah taysir (memudahkan) dalam pemahaman dan praktik keagamaan. Baginya, metodologi taysir akan dapat membebaskan diri dari belenggu madhhab tertentu, yang sementara ini dijadikan referensi dari berbagai permasalahan, baik dalam ibadah maupun mu’amalat.
75
Pemikiran Qardâwî dalam bidang keagamaan dan politik banyak diwarnai oleh pemikiran Shaykh Hassân al-Bannâ. Mengenai wawasan ilmiahnya, alQardâwî banyak dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama al-Azhar .
74 75
Ibid. Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam, 361.
39
Walaupun sangat mengagumi tokoh-tokoh dari kalangan Ihwân alMuslimin dan al-Azhar, ia tidak pernah bertaklid kepada mereka begitu saja. Hasil pemikirannya didasarkan pada al-Qur’an, sunnah, dan logika. Akan tetapi, sekalipun bukan dalam bentuk taklid, al-Qardâwî banyak juga menukil dan kadang-kadang menguatkan pendapat ulama fiqh klasik. Hal ini terlihat jelas dalam tulisannya Fiqh al-Zakâh ( Fiqh Zakat). Dalam masalah ijtihâd, menurut Qardâwî seorang ulama yang ahli dalam pemikiran hukum Islam tidak cukup hanya menguasai buku tentang keislaman karya ulama tempo dulu saja, tapi juga membaca dan menelaah buku-buku agama yang ditulis oleh orang non-Islam, serta membaca kritik-kritik pihak lawan Islam Dalam lentera pemikiran dan dakwah Islam, kiprah Yûsuf al-Qardâwî menempati posisi vital dalam pergerakan Islam kontemporer. Waktunya yang dia habiskan untuk berkhidmat kepada Islam, berceramah, menyampaikan masalahmasalah aktual keislaman di berbagai tempat dan negara, menjadikan pengaruh sosok sederhana yang pernah dipenjara pemerintah Mesir ini, sangat besar di berbagai belahan dunia, khususnya dalam pergerakan Islam kontemporer. Melalui karya-karyanya, dia mengilhami kebangkitan Islam modern. Hingga kini, sekitar 125 buku dia tulis, dalam berbagai dimensi keislaman. Sedikitnya ada 13 aspek kategori dalam karya-karya Yûsuf alQardâwî, seperti masalah-masalah; fiqh dan usûl fiqh, ekonomi Islam,‘ulûm alQur’an dan al-Sunnah, akidah dan filsafat, fiqh perilaku, dakwah dan tarbiyah, gerakan dan kebangkitan Islam, penyatuan pemikiran Islam, pengetahuan Islam
40
umum, serial tokoh-tokoh Islam, sastra, dan lainnya. Sebagian dari karyanya itu telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Tercatat, sedikitnya 55 judul buku Yûsuf al-Qardâwî yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.76 Sebagai seorang ilmuwan dan da’i, Qardâwî juga aktif menulis berbagai artikel keagamaan di berbagai media cetak. Dia juga aktif melakukan penelitian tentang Islam di berbagai dunia Islam maupun di luar dunia Islam. Di antara karya-karyanya yang sudah populer di kalangan perguruan tinggi dan pesantren ialah : 1. Bidang fiqh a. Al-Halâl wa al-Harâm fî al-Islam b. Fatawâ Mu’âsirah juz 1, 2, 3 2. Bidang ekonomi Islam a. Fiqh al-Zakâh b. Mushkilâh al-Faqr wa kayfa ‘Alâjaha al-Islam 3. Bidang ‘ulûm al-Qur’an dan sunnah a. As-Sabr wa ‘Ilmu fî al-Qur’an al-Karîm b. Tafsir surat ar-Ra’d 4. Bidang akidah a. Al-Imân wa al-Hayât b. Al-Imân bi al-Qadr
76
Ibid., 363.
41
5. Bidang fiqh perilaku a. Al-Niyât wa al-Ihlâs b. Al-Tawakkal 6. Bidang dakwah dan tarbiyah a. Thaqafât ad-Da’îyah b. Ar-Rasûl wa al-‘Ilm 7. Bidang gerakan dan kebangkitan Islam a. Jayl al-Nasr al-Manshûd b. Ummatunâ bayn al-Qarnayn 8. Bidang penyatuan pemikiran Islam a. Shumûl al-Islâm b. Al-Marji’îyah al-‘Ulyâ fî al-Islâm li al-Qur’an wa al-Sunnah 9. Bidang pengetahuan Islam yang umum a. Al-‘Ibâdah fî al-Islâm b. Al-Islâm hadârat al-Ghad 10. Tentang tokoh-tokoh Islam a. Al-Imâm al-Ghazâlî bayn madhhihi wa naqidihi b. Nisâ’ Mu’minât 11. Bidang sastra a. Nafahat wa Lafahat ( kumpulan puisi) b. Yûsuf al-Siddiq ( naskah drama dalam bentuk prosa)
42
12. Buku-buku kecil tentang kebangkitan Islam a. Al-Dîn fî ‘as al-‘Ilm b. Al-Islâm wa al-Fann.77
D. Pemikiran Yûsuf al-Qardâwî Tentang Sewa Tanah Sewa tanah diperbolehkan oleh banyak fuqaha’. Tetapi sebagian fuqaha’ yang lain melarangnya dengan alasan adanya larangan dari Nabi Muhammad SAW untuk menyewakan tanah dengan memungut upah atau bagian tertentu. Hal ini diriwayatkan oleh dua orang tokoh yang turut dalam perang Badar serta Rafi’ bin Khudaij, Jabir, Abu Said, Abu Hurairah dan Ibn Umar. Mereka semua meriwayatkan dari Nabi SAW. tentang larangan menyewakan tanah dalam segala bentuknya.78 Pendapat mereka ini berdasarkan dalil:
79
|ارعVOاء اM آlw a ل اf ان رQ
lY W راlw
"Dari Rafi' bin Khudaij, Rasulullah melarang menyewakan lahan".
Xhw اh~ ل اf رa : }_لXY اlw Q
lY W راlw وروى 80
.lX_رة ا¡ر¢ إlw dhو
"Diriwayatkan dari Rafi' bin Khudaij dari ayahnya berkata: Rasulullah SAW melarang menyewakan tanah". 77
Ishom Talimah, Manhaj Fiqh, 35. Yûsuf al-Qardâwî, Halal Haram Dalam Islam, terj. Wahid Ahmadi (Solo: Intermedia, 2001), 403. 79 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muqtashid II (ttp: Syirkah an-Nur Asia, tt), 179. 80 Ibid., 78
43
Dan juga hadith dari Jabir
O _ آlg _لdh وXhw ل اf_ رUr
: }_لMY_¢ lw _ءw lw 81
._هM¢£Q k_ وaw|رXO_ اوaw|اXh ارض
Tetapi menurut Yûsuf al-Qardâwî, dapat dikecualikan dari persewaan ini apa yang disebut dengan muzâra’ah, berdasarkan apa yang sudah dilakukan Nabi SAW. bersama para penduduk Khaybar, dan dilanjutkan oleh para Khulafa
al-Rasyidin sesudahnya.82 Qardâwî mengikuti pendapat Ibn Hazm tentang bagaimana ia melarang menyewakan tanah atau yang sering disebut dengan
kira’. Menurut Ibn Hazm, Rasulullah SAW. datang di tengah-tengah masyarakat yang biasa menyewakan tanahnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Rafi’ dan lainnya. Sedang tanah ladang tanpa diragukan lagi sudah biasa disewakan sebelum dan sesudah diutusnya Rasulullah SAW. Kemudian disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Jabir, Abu Hurairah, Abu Said, dua orang peserta perang Badar yang lain dan Ibn Umar, bahwa Rasulullah SAW. melarang kira’ (menyewakan tanah).
Dengan demikian izin melakukan kira’ terdahulu
dibatalkan. Oleh karena itu telah barang siapa beranggapan bahwa penghapusan terhadap kira’ itu telah ditarik kembali dan kepastian penghapusan hukum itu telah batal, maka sesungguhnya dia berdusta karena menyatakan itu tanpa adanya dalil83. Yûsuf al-Qardâwî berpendapat bahwa tidak ada dalil yang membolehkan penyewaan tanah kecuali untuk menyewakan tanah dengan 81
Ibid., Yûsuf al-Qardâwî, Halal dan Haram dalam Islam., Terj. Wakhid Ahmadi (Solo: Era Intermedia, 2001), 403. 83 Ali bin Ahmad bin Hazm, al-Muhalla V (Beirut: Daar al-Fikr, tt), 214. 82
44
memberikan bagian tertentu dari hasilnya (misalnya 1/3 atau ¼), karena telah diriwayatkan secara sah bahwa Rasulullah SAW. melakukan hal itu di Khaybar beberapa tahun sesudah adanya larangan dan hal itu terus berlaku sampai beliau wafat84. Yûsuf al-Qardâwî menguraikan pendapatnya tentang sewa tanah dengan uang dalam beberapa hal yang dilakukan oleh para ulama yang lain: 1. Rasulullah SAW. melarang menyewakan tanah dengan bagian tertentu dari hasilnya, misalnya 24 gantang, 48 gantang, 1 kwintal atau 2 kwintal yang ditetapkan oleh pemilik tanah. Rasulullah juga tidak membolehkan muzâra’ah (menyewakan tanah dengan bagi hasil yang sudah pasti) melainkan dengan pembagian yang masih nisbi (relatif) misalnya ½, ¼, 1/3 dan sebagainya. Atau dengan kata lain pembagian yang dilakukan secara prosentase. Hal itu dimaksudkan
supaya
kedua
belah
pihak
sama-sama
mendapatkan
keuntungan bila tanahnya mengeluarkan hasil dan tidak diserang hama apapun, dan sama-sama merasakan kerugian bila tanaman tersebut diserang hama atau lainnya.85 2. Orang yang menyewakan sesuatu kepada orang lain hanya berhak mendapatkan
upahnya
sebagai
balasan
atas
jasa
menyiapkan
dan
menyediakan sesuatu itu kepada si Penyewa, sekaligus sebagai ganti atas penyusutan nilai barang sedikit demi sedikit karena dipergunakan. Logika ini berlaku untuk peralatan dan jenisnya. Adapun tanah, apa yang dipersiapkan oleh pemilik tanah agar dapat dimanfaatkan oleh penyewa? Ingatlah bahwa 84 85
Qardâwî, Halal Haram, 403. Ibid., 405.
45
yang menyiapkan tanah agar dapat ditanami adalah Allah SWT, bukan pemilik tanah itu. Selain itu, kerusakan apa yang menimpa tanah itu bila ditanami? Tanah tidak mengalami penyusutan nilai dan tidak rusak sebagaimana bangunan atau peralatan pada umumnya86. 3. Seseorang yang menyewa rumah, ia dapat secara langsung memanfaatkan tanpa membutuhkan pekerjaan. Demikian juga jika ia menyewakan suatu jenis alat, ia dapat memanfaatkannya secara langsung. Adapun tanah, ia tidak dapat memanfaatkannya secara langsung, bahkan tidak ada jaminan untuk
pasti
dapat
memanfaatkannya.
Konkritnya,
ketika
seseorang
menyewanya ia tidak dapat memanfaatkannya seperti ketika menyewa rumah yang langsung dapat ditempati. Namun ia harus bekerja keras membanting tulang mengolah tanah itu terlebih dahulu, menanam, lalu merawatnya hingga panen, yang itupun belum tentu mendapatkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Karena itu, menganalogikan penyewaan tanah dengan penyewaan rumah dan sejenisnya adalah analogi yang tidak benar87. 4. Diriwayatkan hadîth yang sahih bahwa Nabi SAW. melarang menjual buahbuahan yang masih ada di pohon atau di kebun sebelum tampak kelayakannya untuk dipanen dan diketahui selamat dari hama dan penyakit. Bila ketentuan ini diperuntukkan bagi orang yang menjual buah-buahan yang telah tampak, namun belum dapat dijamin keselamatannya, mungkin saja 86 87
Ibid. Ibid., 406.
46
terserang hama sehingga tidak matang dengan sempurna, bagaimana halnya dengan tanah gundul yang belum diolah dan belum pula ditaburi benih88. Dalam melarang adanya sewa tanah pertanian dengan uang, Yûsuf al-Qardâwî menganggap cara ini cenderung mendatangkan keadaan di mana kaum yang kuat menindas kaum yang lemah atau dengan kata lain pemilik tanah menindas petani. Lalu di manakah letak kesetaraan? Menurut Yûsuf al-Qardâwî, keadilan tidak dapat ditegakkan kecuali dengan praktek muzâra’ah, di mana keuntungan atau kerugian didapatkan oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi secara adil89. Sedangkan menyewakan tanah dengan uang ini dilarang karena dalam Islam melarang adanya pendapatan dengan cara yang tidak baik demi untuk mewujudkan beberapa tujuan yaitu menegakkan hubungan kemasyarakatan atas dasar keadilan,
persaudaraan dan
memberikan
hak
kepada yang
berhak,
menghindari adanya jurang pemisah antara beberapa tingkatan kelas ekonomi dan mendorong manusia untuk bekerja dan berusaha. Dalam praktek muzâra’ah yang lebih dekat dengan keadilan dan prinsip
syari’at,
karena
di
dalamnya
terdapat
kebersamaan
dalam
keuntungan dan kerugian, mengandung usaha yang memberikan barokah dan kelapangan rizki. Bila ditanyakan, “apakah yang disyari’atkan oleh Allah SWT. dan Rasul-Nya serta dikerjakan oleh para sahabat sehingga dapat dikerjakan pula oleh orang-orang yang mendapat bimbingan Allah agar 88 89
Ibid. Ibid., 407.
47
mendapatkan rizki yang barokah?” Jawabannya adalah “praktek muzâra’ah yang adil, salah satu pihak tidak diistimewakan penghasilannya atas pihak lainnya, bebas dari aturan main yang tidak diajarkan oleh Allah SWT. Aturan main itulah yang selama ini telah menghancurkan negara, merusak jiwa manusia, menahan berkahnya hujan dan menjadikan para pemimpin serta militer terdorong memakan yang haram. Dan bila badan tumbuh dari barang haram, neraka lebih tepat menjadi tempat tinggalnya”. Muzâra’ah yang adil inilah yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di zaman Nabi SAW. dan di masa Khulafa al-Rasyidin. Ini pulalah yang dilakukan oleh keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Uthman, keluarga Ali dan keluarga lainnya dari kalangan kaum Muhajirin. Ini jugalah pendapat para sahabat besar semisal Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Thabit dan lainnya. Itu juga pendapat para ahli hadîth seperti Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rawaih, Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Dawud bin Ali, Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, Abu Bakar Ibn al-Mundir serta Muhammad bin Nashr al-Marwazi. Dan juga merupakan pendapat kebanyakan ulama semisal al-Laits bin Sa’ad, Ibn Abu Laila, Abû Yûsuf, Muhammad Ibn al-Hasan dan lainnya90.
90
Ibid; 408.
48
BAB IV ANALISA PENDAPAT YÛSUF AL-QARDÂWÎ TENTANG SEWA TANAH PERTANIAN
A. Larangan Sewa Tanah Dengan Uang Yûsuf al-Qardâwî melarang menyewakan tanah pertanian dengan uang mendasarkan pada beberapa alasan, yaitu: adanya larangan terhadap hal tersebut (dari beberapa hadîth yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat), sistem ini mengandung unsur ketidakadilan dan kesamaran, dan menurutnya sewa tanah tidak bisa dikiyaskan dengan barang-barang lain yang boleh disewakan seperti rumah, kendaraan dan sebagainya. Dalam pelarangan ini, Yûsuf al-Qardâwî pertama mendasarkan pendapatnya pada hadîth Nabi SAW. Ia berhujjah dengan beberapa hadîth yang menunjukkan adanya larangan terhadap sewa lahan pertanian, yaitu di antaranya:
رضkي اMN_mUآ._mw|درg ZmUQVO اpm اهMm¤_ أآmUآ:_لm} Qm
lY W رdh{mmj وmmO¨_ب ذاmmQ _mmVV _لmm} .رضkاX{mmO V{mmg _mmaUg ZmmX¦_UO_Y رقfmO]ه واO_ اgوا._UXaU.O ذاdh{Qرض وk¨_ب اQ _Vgو.رضkا 91
_ 91 92
92
]ªgfQ lNQ dh
رضkاء اM آlw a dh وXhw اh~ ل اf رa -
Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Juz. II (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 56. Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz. I (Surabaya: Al-Hidayah, tt), 675.
49
Hadîth-hadîth di atas menunjukkan adanya larangan terhadap sewa tanah oleh Rasulullah SAW. dan lafad-lafad dari hadîth tersebut menyatakan secara jelas adanya larangan tersebut, yakni adanya kata larangan “a“. Dengan demikian, dalâlah dalam hadîth ini adalah qath’i yaitu dengan kata-kata yang jelas. Sistem sewa tanah dengan pembayaran uang mengandung unsur ketidakadilan dan kesamaran. Dalam sistem ini, pemilik tanah berada pada posisi yang lebih menguntungkan dari pada pihak penyewa karena ia sudah pasti mendapatkan uang dari biaya sewa tanah. Apapun yang akan terjadi dalam proses pengolahan tanah tidak akan mempengaruhi penghasilannya dan ia tidak menanggung kerugian. Sedang penyewa tanah berada pada posisi yang tidak jelas atau dengan kata lain ia berada pada posisi spekulatif. Ia di hadapkan pada dua pilihan yang tidak pasti, yang mana ia bisa saja mendapatkan keuntungan baik besar maupun kecil atau justru ia mengalami kerugian. Dengan demikian, sewa tanah dengan uang mengandung unsur ketidakadilan karena hanya penyewa tanah saja yang menanggung resiko yang akan terjadi sedang pemilik tanah tidak. Ketidakadilan merupakan salah satu asas maqâsid hukum. Abu Zahrah mengatakan bahwa sesungguhnya Islam berorientasi kepada tiga segi dalam menjalankan hukumnya, yaitu menjadikan manusia mempunyai kebaikan dan tidak mempunyai keburukan terhadap masyarakatnya, menegakkan keadilan dan rahmat dalam masyarakat Islam, dan mewujudkan kemaslahatan bagi umat
50
manusia93. Dengan demikian, dalam menentukan hukum sesuatu harus melihat segi keadilan. Karena keadilan merupakan asas, maka ini harus ada dalam tiap hukum Islam. Bila keadilan tidak ada, maka hukum sesuatu itu menjadi dilarang dari sesuatu yang pada asalnya mubah. Inti dari ijârah adalah pengambilan manfaat dengan memberikan ganti rugi. Di sini, manfaat bisa langsung diperoleh oleh penyewa yang telah membayar biaya sewa. Misalnya saja seorang yang menyewa kendaraan bermotor bisa langsung
menggunakan
kendaraan
tersebut
dan
langsung
memperoleh
manfaatnya. Sedang dalam sewa tanah tidaklah demikian, seseorang yang menyewa tanah tidak bisa langsung memperoleh manfaat dari tanah yang ia sewa. Ia harus berusaha terlebih dahulu untuk mendapat manfaat dari tanah tersebut yang kadang-kadang ia tidak bisa mendapatkannya. Tanah ada bukan karena jerih payah manusia tetapi ia ada karena memang anugerah dari Allah SWT. Berbeda dengan rumah, kendaraan atau barang lain yang dapat disewakan, manusia mengusahakan sesuatu dulu untuk mendirikan rumah atau untuk mendapatkan kendaraan. Manusia harus memperoleh atau menciptakan barang-barang tersebut. Tidak demikian dengan tanah, manusia langsung mendapatkannya tanpa melalui usaha pengolahan. Faktor yang paling menentukan tentang boleh tidaknya salah satu rukun untuk disewakan adalah faktor manfaat. Manfaat adalah salah satu rukun dalam
93
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (tp: Dar al-Fikr al-Arabi, tt), 365-366.
51
ijârah. Oleh karena itu jika manfaat itu tidak ada atau tidak jelas atau tidak memenuhi syarat, maka ijârah itu menjadi rusak dan tidak diperbolehkan. Selain itu sangat sulit untuk menentukan kadar manfaat kadar dalam tanah secara pasti. Kadar kesuburan kadang bisa berubah, tergantung humus yang ada dalam tanah. Kadar humus bisa berubah-ubah sesuai dengan perawatannya. Bisa jadi, tanah diperkirakan subur tetapi tidak bisa menghasilkan apa-apa dan sebaliknya tanah yang biasa kadang-kadang malah menghasilkan hasil yang banyak. Keadaan ini bisa disebabkan oleh faktor tanah itu sendiri ataupun faktor lain seperti keadaan cuaca yang mendukung, adanya musibah atau hama yang menyerang dan tidak cocoknya tanaman dengan tanah. Seorang petani yang menyewa tanah berharap memperoleh manfaat dari tanah tersebut yaitu berupa hasil pertanian yang memadai. Namun bila tanah yang ia sewa tidak menghasilkan apa-apa, maka manakah manfaat yang harus ia peroleh yang sebanding dengan ganti rugi yang telah ia bayar kepada pemilik tanah?. Jadi tanah di sini tidak bisa dikiyaskan dengan barang-barang lain yang diperbolehkan untuk ijârah karena `illat diperbolehkannya ijârah yaitu manfaat, berbeda dengan `illat dalam sewa tanah. `Illat diperbolehkannya ijârah adalah adanya manfaat yang jelas pada suatu barang, misalnya rumah bisa disewakan karena penyewa bisa langsung mendapat manfaatnya setelah membayar uang sewa. Di sini manfaat itu jelas-jelas ada dan bisa dinikmati penyewa. Sedang dalam sewa tanah manfaat itu belum
52
jelas dan belum pasti. Penyewa memang bisa langsung menanami atau mengolah tanah yang ia sewa, tetapi ia belum bisa dipastikan akan mendapatkan sesuatu manfaat pun. Seseorang yang menyewa tanah mengaharapkan adanya keuntungan dari tanah yang ia olah dan ini adalah manfaat yang ia harapkan, sedang ia belum tentu akan memperoleh hasil dari tanah tersebut. Manfaat dalam ijârah berbentuk langsung dan pasti yaitu bisa langsung diperoleh oleh si penyewa, sedang dalam sewa tanah manfaat tersebut tidak secara langsung dan tidak pasti karena penyewa harus mengolah tanah tersebut terlebih dahulu untuk mendapat manfaatnya. Bahkan bisa saja si penyewa malah akan mendapat kerugian tanpa mendapatkan manfaatnya jika hasil panennya buruk. Bisa saja tanah yang disewakan untuk pertanian dikiyaskan dengan uang yang dilarang diambil bunganya. Dalam hal uang yang dilarang untuk diambil bunganya mempunyai `illat ketidakpastian. Uang dijadikan modal oleh seseorang dan ia belum tentu mendapat keuntungan dalam usahanya sehingga dilarang dipungut kelebihan atas pinjaman tersebut. Ini mirip dengan keadaan tanah yang belum tentu memperoleh keuntungan jika diolah untuk pertanian. Di sini tanah dijadikan modal bagi petani untuk mendapat keuntungan. Tanah bukan sesuatu yang ia nikmati manfaatnya secara langsung tetapi itu adalah modal petani untuk mendapatkan hasil pertanian atau panen yang memuaskan. Dengan demikian, ada kesamaan `illat antara hukum asal dan far’u yaitu unsur ketidakpastian dan modal.
53
Dalam menentukan sewa tanah ini, Afzalur Rahman berpendapat bahwa ada dua prinsip yang mendasari penetapan sewa atas tanah yaitu keadilan dan kemurahan hati. Keadilan adalah sewa yang dibebankan kepada petani sesuai dengan kemampuan untuk membayar. Sedangkan kemurahan hati adalah sewa yang hanya akan dipungut ketika yang petani hasilkan melebihi atas kebutuhan mereka94. Dengan adanya dua prinsip dasar ini maka menurut Afzalur Rahman bukanlah sewa tetap, karena bisa saja biaya sewa berubah setelah petani memanen tanamannya. Ia menghendaki konsep sewa yang memperhatikan kemampuan petani, sehingga jika hasil dari petani hanya sedikit tuan tanah hanya boleh mengambilnya sedikit atau bahkan tidak mengambil apapun jika hasilnya buruk. Dua prinsip dasar ini sejalan dengan firman Allah SWT: 95
¦{_نkل واSO_Y dآMgiQ إن ا
Artinya: "Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan" Yang membedakan Islam dengan meterialisme adalah bahwa Islam tidak pernah
memisahkan
ekonomi
dengan
etika
sebagaimana tidak
pernah
memisahkan ilmu dengan akhlak, politik dengan etika dan sebagainya. Islam juga berbeda dengan konsep kapitalisme yang memisahkan akhlak dengan ekonomi. Manusia muslim, individu maupun kelompok-kelompok dalam lapangan ekonomi
178.
94
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam II (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), 177-
95
Q.S. An-Nahl, (9).
54
atau bisnis, di satu sisi diberi kesempatan dengan bebas untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, namun di sisi lain ia terikat dengan iman dan etika sehingga ia tidak bebas mutlak membelanjakan atau menginvestasikan modalnya. Ia terikat dengan akidah dan etika mulia, di samping juga dengan hukum-hukum Islam. Selain bercirikan ketuhanan dan moral, sistem ekonomi Islam juga berkarakter kemanusiaan. Manusia dan faktor kemanusiaan adalah unsur yang utama. Faktor kemanusiaan terdapat dalam sekumpulan etika yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadîth serta tertulis dalam buku-buku klasik yang mencakup etika, kebebasan, keadilan, sikap moderat dan persaudaraan sesama manusia. Bila manusia mengajarkan manusia untuk menjalin kerja sama, tolong menolong dan menjauhkan dari sikap iri, dengki dan dendam96. Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa sewa tanah dengan sistem sewa tetap, ada kecenderungan atau kemungkinan akan adanya salah satu pihak yang merasa tidak dapat keadilan, atau dengan kata lain sewa tanah bisa menyebabkan salah satu pihak terutama penyewa tertindas. Karena itu penyewa tidak bisa mendapat manfaat dari biaya sewa yang telah ia bayar kepada pemilik tanah. Oleh karena itu, sistem ini hendaknya dihindari agar tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan.
96
Ibid., 58.
55
Sewa atau ijârah pada dasarnya adalah mubah untuk dilakukan. Namun, terutama dengan uang atau sistem sewa tetap mengandung unsur kemafsadatan yaitu bisa merugikan pihak penyewa. Sekalipun ini merupakan dugaan yang kuat dan bukan kepastian, tetapi shara’ menekankan untuk berhati-hati (ihtiyât). Oleh karena itu, sewa tanah yang diduga bisa membawa kemadaratan bisa dijadikan dasar untuk melarang sewa tanah. Dan hal ini sesuai dengan kaidah:دد 97
حT¨¦
¯O_¨VO اh¢ hw مg _TVOدرءا
Artinya: Menolak kerusakan harus di dahulukan dari pada menarik kemashlahatan. Apabila seluruh hal yang mengarah atau mengandung kemadaratan dicegah, maka secara tidak langsung kemaslahatan akan terwujud dengan sendirinya. Jika kemadaratan tidak ada, maka kemaslahatan yang tersisa. Dari penjelasan di atas menunjukkan adanya pelarangan sewa tanah dengan uang, namun ini tidak berarti bahwa segala bentuk sewa tanah yang lain juga tidak diperbolehkan. Sewa tanah termasuk dalam hal yang masih diperselisihkan oleh para ulama karena dari hadîth-hadîthnya dan juga terlihat adanya pertentangan. Ada beberapa hadîth yang melarang sewa tanah dan ada juga hadîth yang membolehkannya. Keadaan demikian ini yang disebut dengan Ta’ârud al-adillah. Hadîth-hadîth yang mereka jadikan hujjah mempunyai derajat sama yaitu sahîh, sedang al-Qur’an tidak memberikan penjelasan tentang hukum sewa tanah. 97
Ridho Rokamah, al-Qawaid al-Fiqhiyah (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2006)57.
56
Abu Zahrah berpendapat bahwa tidak ada dua dalil atau lebih yang saling bertentangan karena pertentangan itu sesungguhnya hanya di dhahir saja. Pertentangan terjadi karena adanya mispresepsi terhadap nas-nas tersebut. Sesungguhnya pertentangan hanya terjadi di pikiran para mujtahid98. Sedangkan jika ada hadîth-hadîth sahîh yang saling bertentangan, Yûsuf al-Qardâwî lebih mengutamakan untuk menjam’u wa at-taufîq antara hadîthhadîth tersebut dari pada men-tarjîh atau me-naskh salah satunya. Ini dilakukan dengan mengutamakan hadîth yang lebih banyak yaitu yang berkaitan dengan larangan sewa tanah. Sedang hadîth yang menentang atau memperbolehkan sewa tanah ataupun muzâra’ah, dita’wilkan agar sesuai dengan hadîth yang lainnya. hadîth yang membolehkan sewa tanah dengan emas dan perak di antaranya adalah:
mmh _لmm}.رضkء اMmm آlmmw dhmm وmmXhw اhmm~ ل اfmm رmma 99
Y سiY رقfO]ه واO_Y _gرق؟_ل اfO]ه واO_Y_gا
Namun demikian dengan alasan yang telah di kemukakan di atas, Yûsuf al-Qardâwî melarang sewa tanah dengan uang karena berbagai hal. Ia berusaha mengambil jalan tengah. Yûsuf al-Qardâwî tidak menganggap dalil yang melarang sewa tanah tersebut
berlaku
secara
umum,
tetapi
masih
ada
pengecualian
yaitu
diperbolehkannya sistem muzâra’ah. Ini adalah jalan tengah yang diambilnya dari 98 99
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, 308-309. Imam Muslim, Sahih Muslim, Juz. 1, 675.
57
beberapa pertentangan hadîth Pendapat ini sejalan dengan pendapat Abu Zahrah yang mengatakan bahwa jika memang ada dua nas yang saling bertentangan, maka itu hanya merupakan pertentangan antara ‘amm dan khas. Sehingga salah satu menjadi tahsis bagi yang lain itu memungkinkan. Menurut Yûsuf al-Qardâwî, adanya hadîth yang menceritakan bahwa Nabi melakukan sistem bagi hasil dengan penduduk Khaibar menunjukkan bahwa muzâra’ah tidak dilarang. Ada beberapa hadîth yang menunjukkan kebolehannya, yaitu:
lg _aUg جMvj_g طMY MrX
pg_w dh وhw اp~ rUOأن ا ونMw وMV ´ن وf_V.´ وZµ_g ¢ ازواSQ _نN اوزرعMV 100
.MXS ´و
WYMO¶ واh¤O_Y رضk
] اi dh وXhw اp~ ل اf رlg_ زUآ O _ آlg: _لO ذاdh وXhw اh~ ل اf__ة _م رQ_ذVO_Y _
_ اaUVQ dO _ ا
_ _نaVXh _aw|رQ dO _ _نaw|رXh ارض 101
B. Relevansi Pemikiran Yûsuf al-Qardâwî dalam Konteks Indonesia
100 101
Imam Bukhari, Shahih Bukhari II, 57. Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz. 1, 672.
._aN{VXh
58
Indonesia adalah negara berkembang atau termasuk negara dunia ketiga. Negara dunia ketiga sebagian besar terdiri dari negara-negara agraris. Demikian pula Indonesia adalah negara agraris di mana sebagian besar penduduknya adalah petani. Ini berarti bahwa sebagian besar tanah di Indonesia adalah tanah pertanian. Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak bisa lepas dari pertanian dalam kehidupan sehari-harinya. Walaupun sebagian besar penduduknya adalah petani, bukan berarti setiap orang yang memiliki lahan pertanian adalah petani atau mengolah tanahnya sendiri. Tidak sedikit orang yang memiliki lahan pertanian yang luas, tetapi ia tidak mengolahnya sendiri, melainkan ia berikan kepada orang lain untuk mengolahnya dengan mengganti biaya sewa. Dengan jalan ini, pemilik tanah akan mendapatkan penghasilan yang pasti dari biaya sewa tanpa melakukan jerih payah. Keadaan semacam ini tidak lepas dari budaya nenek moyang bangsa Indonesia tentang feodalisme. Pada zaman dahulu, orang yang memiliki tanah yang luas termasuk pada golongan bangsawan. Mereka adalah masyarakat kelas atas dalam tingkat sosial. Budaya feodalisme itu nampaknya masih membekas dalam masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Jawa khususnya. Walaupun budaya itu tidak begitu jelas seperti pada zaman dahulu, tetapi masih tertanam pada masyarakat. Sebagai akibatnya, orang yang memiliki tanah yang luas akan dihormati oleh kaum awam dan mereka berada pada kelas sosial atas, sehingga
59
tidak jarang ada sebagian orang yang merasa berkuasa karena memiliki lahan yang luas kemudian mereka menindas orang-orang desa yang tidak tahu apa-apa. Dengan adanya keadaan ini, sudah selayaknya untuk mengusahakan agar para tuan tanah tidak menindas para petani yang lemah. Adanya sistem sewa tetap memberikan peluang yang lebih besar kepada para tuan tanah untuk ketidakadilan terhadap para penyewa. Ini dikarenakan penyewa tanah masih berspekulasi untuk mendapatkan hasil dari tanah yang diolahnya. Walaupun kadar kesuburan tanah biasa diperkirakan, tetapi hasil dari tanah tersebut belum bisa ditentukan secara pasti karena ada faktor lain yang bisa mempengaruhinya seperti faktor alam. Demikian, dalam sistem sewa tanah tetap, hanya para penyewa tanah yang menanggung kerugian dari hasil panen, sedang pemilik tanah sudah pasti mendapat untung dari biaya sewa yang dibayar. Biaya sewapun kadang dipungut terlalu tinggi, namun para petani masih nekat untuk menyewa tanah karena mereka membutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan mereka walaupun dalam kenyataannya mereka belum tentu bisa memenuhi semua kebutuhannya. Sebenarnya tidak semua petani merasa tertindas atas keadaan semacam ini, karena tidak sedikit para petani yang beruntung yang bisa memperoleh penghasilan yang lumayan bahkan kadang melimpah untuk memenuhi semua kebutuhan mereka. Meskipun demikian, posisi para penyewa tetap pada posisi yang kurang menguntungkan dibandingkan para petani pemilik tanah. Karena adanya unsur yang bisa menimbulkan ketidakadilan, maka sewa tanah dalam hal sewa dengan biaya yang sudah pasti sebaiknya tidak dilakukan
60
oleh masyarakat Indonesia. Ini disebabkan sewa tanah kurang menguntungkan bagi para petani penyewa karena mereka yang menanggung resiko jika terjadi apa-apa sedangkan tuan tanah hanya menerima upahnya saja. Mereka sebaiknya melakukan dengan cara bagi hasil yaitu pihak pemilik dan penyewa tanah senua memiliki andil dalam mengolah tanah dan keduanya juga menanggung bersamasama atas resiko ataupun keuntungan yang akan didapat kemudian. Dengan demikian, tidak ada pihak-pihak yang merasa mengalami ketidakadilan dalam menjalankan sistem ini. Dengan sistem bagi hasil, hubungan antara pemilik tanah dan penyewa tidak akan ada kesenjangan dan keduanya mempunyai tanggung jawab yang sama. Selanjutnya, akar-akar feodalisme akan terkikis dari para pemilik tanah yang luas tidak akan bertindak seenaknya dengan menindas para petani yang lemah. Dengan kata lain, sistem bagi hasil lebih mengandung keadilan dari pada sewa tanah dengan uang, karena dalam sistem ini petani dan pemilik tanah mempunyai kesempatan dan peluang yang sama dalam memperoleh keuntungan. Walaupun sebagian masyarakat Indonesia bermadhab Shâfi’î sedang Yûsuf al-Qardâwî bermadhab Hanafî, pendapatnya cocok digunakan di Indonesia. Ia tidak terlalu fanatik dengan pendapat Abu Hanîfah. Bahkan kadang-kadang ia berbeda
pendapat
dengan
Abu
Hanîfah,
misalnya
Yûsuf
al-Qardâwî
61
membolehkan muzâra’ah sedangkan Abu Hanîfah melarang sistem ini dan membolehkan sewa tanah dengan sewa tetap102. Masyarakat Indonesia terutama di Jawa sering melakukan bagi hasil yang disebut dengan Maro (1/2), Mrotelu (1/3) dan sebagainya. Ini bertentangan dengan pendapat Imam Shâfi’î yang mengatakan membolehkan sewa tanah dengan pembayaran bahan makanan, dan selain itu ia mensyaratkan pembayaran sewa bukan dari tanah yang disewakan103. Ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya menganut madhab Shâfi’î. Kadang mereka juga menerima madhab lain dalam kehidupan mereka. Dengan demikian, pendapat Yûsuf al-Qardâwî yang melarang sewa tanah dengan uang dan mengajukan sistem muzâra’ah atau bagi hasil cocok untuk ditetapkan di Indonesia. Dengan ini kaum petani penyewa lebih terlindung dan merasa yakin dan terjamin agar tidak tertindas. Namun
demikian
meskipun
sewa
tetap
ini
cenderung
kurang
menguntungkan bahkan dinilai merugikan pihak penyewa, tidak menutup kemungkinan bahwa sistem ini masih berlaku di sebagian masyarakat. Mereka menganggap kerjasama yang mereka lakukan pada tanah pertanian ini lebih baik dan lebih mudah dengan menggunakan sistem sewa tetap, biaya sewa telah ditentukan dari awal perjanjian dengan ketentuan pembagian yang sudah pasti. Penyewa dan pemilik tanah telah mengetahui dari awal berapa jumlah yang harus 102
Lihat Abdurrahman al-Jaziri: Kitab al-Fiqh ‘ala Madhab al-Arba’ah III (Mesir: alMaktabah al-Bukhoriyah al-Kubro, tt), 6-7. 103 Muhammad bin Idris al-Shâfi’î, al-Umm IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 14.
62
diserahkan oleh penyewa sebagai ganti atas manfaat yang diperolehnya, sedangkan pemilik tanah dapat menerima ganti atas jasa sewa menyewa dengan bagian yang pasti pula.
63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan-pembahasan yang telah penyusun paparkan bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa: 1. Yûsuf al-Qardâwî melarang sistem sewa tanah dengan pembayaran uang atau sewa tetap karena sistem ini bertentangan dengan maqâsid al-syari’ah, salah satunya adalah asas keadilan. Sewa tanah dengan uang dilarang karena mengandung unsur ketidakadilan dan kesamaran. 2. Sistem muzâra’ah cocok diterapkan di Indonesia karena memungkinkan hubungan antara pemilik tanah dengan penyewa semakin erat. Selain itu, kemungkinan tertindasnya salah satu pihak juga kecil. Dengan demikian jurang pemisah antara keduanya akan hilang.
B. Saran-Saran 1. Sewa menyewa tanah merupakan salah satu jalan atau cara yang dapat menguntungkan antara pihak-pihak yang berakad karena di dalamnya terdapat unsur tolong menolong, agar pihak penyewa dan yang menyewakan samasama memperoleh keuntungan dari hasil kerjasama itu. Oleh karena itu, jangan sampai ada unsur yang dapat merugikan salah satunya, termasuk dalam
64
hal 'iwadh (pengganti) dalam sewa menyewa itu. Keadilan harus dijadikan dasar dalam kerjasama itu. 2. Sebagai follow-up dari penelitian ini, bagi peneliti selanjutnya bisa mengadakan penelitian tentang pendapat Yûsuf Al-Qardâwî dalam sewa menyewa tanah pertanian dengan pembahasan yang lebih melalui penelitian lapangan.
65
DAFTAR PUSTAKA
Anto, Hendri M.B. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: Ekosiana, 2003. Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1996. ,
Azhar, Bashir Ahmad. Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijârah, Syirkah. Bandung: al-Ma’arif, 1997.
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. tp: Dar al-Fikr al-Arabi, tt. Bukhari Imam. Shahih Bukhari II. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Chapra, Umer M. Islam and Economic Challenge. Herndan USA: The Islamic Pres, 1992. Daud, Abu. Sunan Abu Daud. Juz. IX. Semarang: al-Syifa’, tt. Hadi, Sutrisno. Metodologi Riset. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1977. Harun, Nasroen. Usul Fiqh I. Jakarta: Logos, 1997. Hazm, Ali bin Ahmad. al-Muhalla V. Beirut: Daar al-Fikr, tt. Jaziri Abdurrahman. Fiqh ala Madhahib al Arba’ah III. Mesir: Maktabah alBukhoriyah al-Kubro, tt. Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Usul Fiqh. Kuwait: Dar al-Qalam, 1990. Maliki Abdurrahman. Politik Ekonomi Islam. Bangil: al-Izzah, 2001. Maudûdi, Abul A’la. Dasar-dasar Ekonomi Islam, alih bahasa Abdullah Suhaili. Bandung: al-Ma’arif, 1984. Mathew B, Miles A dan Michael Hubberman. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Pres, 1992.
66
Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997. Mahmud Ra’ana, Irfan. Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khattab, alih bahasa Mansuruddin Djoley. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990. Muslim, Imam. Shahih Muslim. Juz. I. Surabaya: Al-Hidayah, tt. Nabhani, Taqiyududin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti, 1996. Nasa’i, Sunan an-Nasa’I, VII. tk: As-Syifa’, 1993. Nasir Moh, Metode Penelitian. Jakarta: Ghali Indonesia, 1990. Qardâwî, Yûsuf. Al-Qur’an dan al-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam terj. Jakarta: Robbani Press, 1997. , Halal Haram Dalam Islam, terj, Wahid Ahmadi. Solo: Era Intermedia, 2001. , Ijtihad Kontemporer: Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan. Surabaya: Risalah Gusti, 1995. , Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Rahman Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam II, terj. Nastangin dan Suroyo Yogyakarta: P.T. Dhana Bhakti Wakaf, 1995. RI, Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: Toha Putra, 1989. Rusyd Ibn, Bidayah al-Mujtahid, Jilid 4, terj. Imam Ghazali. Jakarta: Pustaka Amani, 1995. , Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muqtashid II. ttp: Syirkah anNur Asia, tt. Shâfi`î, Muhamad bin Idris. al-Umm IV. Beirut: Dar al-Fikr, 1990. Sâbiq, Sayyid. Fiqh Sunnah III. Beirut: Dar al Fikr, 1983. Warson, Munawwir Ahmad. al-Munawwir Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
67
W.J.S. Purwadarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1976. Ya’qub Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Hukum Islam. Bandung: CV. Diponegoro, 1992. Zuhayly, Wahbah. Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu IV. Mesir: Matba’ah Mustafa alBani al-Halabi wa Auladuh, 1992.