BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tanah merupakan salah satu komponen ekosistem yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup umat manusia, dan juga sebagai faktor utama dalam setiap kegiatan pembangunan. Dapat dikemukakan dengan perkataan lain bahwa, tanah sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, karena dengan tanah manusia dapat berpijak, juga dengan tanah manusia dapat hidup dengan cara mengolah atau mendayagunakannya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejalan dengan uraian tersebut, maka dapat dipetik pendapat Gouw Giok Siong1 yang mengatakan bahwa: “tanah sangat erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bahkan bukan hanya dalam kehidupannya, untuk matipun manusia masih memerlukan sebidang tanah.” Refleksi tentang tanah mempunyai makna sangat strategis, karena di dalamnya, terkandung tidak saja aspek fisik tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik, serta pertanahan, keamanan, dan hukum 2 . Oleh karena fungsi tanah mempunyai kedudukan sangat vital dalam kehidupan, manusia dengan tanah memiliki hubungan emosional yang sangat kuat. Konsep tentang pergeseran nilai, yang didorong peningkatan kebutuhan, memunculkan pengalihan fungsi hak atas tanah bukan lagi suatu kemustahilan, 1
Gow Giok Siong, 2000, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Keng Po, Jakarta, hlm.46. F.X.Sumarja, 2012, Problematika Kepemilikan Tanah Bagi Orang Asing-Sebuah Tinjauan Yuridis Filosofis, Indepth Publishing, Bandar Lampung, hlm.V. 2
1
2
termasuk beralihnya kepemilikan kepada orang lain (sekadar tidak menunjuk makna orang asing) sebagai suatu hal yang bersifat lumrah. Hubungan manusia dengan tanah yang kuat menuntut jaminan perlindungan hukum agar manusia dapat melaksanakan hak-haknya secara aman. Kaidah paling mendasar sebagai bentuk perlindungan hukum dan acuan kebijakan pertanahan di Indonesia adalah alinea keempat pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945) yang berbunyi : “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum……”. Dasar fundamental atau sendi-sendi dasar yang terdapat dalam kata „melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia‟, sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945, memiliki makna negara atau pemerintah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melindungi
seluruh
sumber-sumber
kehidupan
bangsa
Indonesia
guna
kesejahteraan seluruh rakyat. Perumusan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah merefleksikan kondisi tersebut. Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan : “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Rumusan di atas bersifat imperatif karena mengandung perintah kepada negara agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang
3
diletakan dalam penguasaan negara, dipergunakan sebesar-besarnya untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Perwujudan pengaturan hubungan antara manusia dengan tanah, sebagai pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang dikenal Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA). Hukum agraria yang baru ini didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum adat, oleh karena hukum adat adalah hukum rakyat Indonesia yang asli3. Dengan demikian hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat termasuk di dalamnya tanah. Hal ini sesuai dengan Bunyi Pasal 5 UUPA yang menyatakan : “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama” . UUPA menciptakan perubahan dalam hukum agraria nasional dengan menghapus dualisme hukum agraria yang tidak mencerminkan adanya kepastian hukum bagi rakyat Indonesia. Jaminan kepastian hukum dalam bidang agraria, khususnya dalam bidang pertanahan menghendaki adanya kepastian tentang : 4
3
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Hlm. 139. 4 Ibid, hlm. 50.
4
1. Hak atas tanahnya. Tanah yang dipunyai dengan hak milik, yang tidak terbatas jangka waktunya, harganya lebih tinggi daripada tanah sewa atau tanah hak guna bangunan. 2. Siapa yang mempunyai tanah. Ini mengenai subjek haknya, kepastian tentang hal ini diperlukan, karena perbuatan-perbuatan mengenai tanah tersebut pada asasnya hanya menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki, jika dilakukan oleh pemiliknya. 3. Tanahnya. Ini mengenai objek haknya, yaitu dimana letaknya, berapa luasnya dan bagaimana batas-batasnya. Kiranya mudah dimengerti bahwa orang menginginkan kepastian juga mengenai hal-hal tersebut. 4. Hukumnya.
Yaitu
menyangkut
aturan-aturan
untuk
mengetahui
wewenang-wewenang dan kewajiban-kewajiban pemiliknya. Menyangkut subjek yang dapat diberikan dan mempunyai hak atas tanah, maka sesuai dengan asas nasionalitas yang tercantum dalam UUPA, ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Dalam penjelasannya dikatakan, hanya Warga Negara Indonesia ( selanjutnya disingkat WNI) saja yang dapat menjadi subjek hak milik selain badan hukum tersebut. Jelas disebutkan bahwa hanya WNI saja, hal ini berarti selain WNI tidak bisa mendapatkan hak milik atas tanah tersebut termasuk Warga Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) yang melakukan kegiatan investasi atau penanaman modal di Indonesia.
5
Ketentuan yang mempertegas penjelasan Pasal 9 ayat (1) mengenai subjek penguasaan hak atas tanah tercantum dalam Pasal 21 UUPA yang menyatakan bahwa : 1. Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. 2. Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. 3. Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa waktu atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik
dan
setelah
berlakunya
undang-undang
ini
kehilangan
kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilang kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. 4. Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing, maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat 3 pasal ini. Dari bunyi Pasal 21 diatas, maka hak milik atas tanah di Indonesia hanya bisa dimiliki oleh WNI saja. Dalam ketentuan UUPA, bentuk-bentuk penguasaan tanah oleh warga negara asing dapat berupa hak pakai dan hak sewa yang diatur di dalam Pasal 42 sub b dan Pasal 45 sub b.
6
Mengenai hak milik atas tanah oleh warga negara asing jelas dilarang oleh negara berdasarkan Pasal 21 UUPA. Mengingat keluasan kewenangan yang terkandung dalam hak milik atas tanah, sementara warga negara asing tidak diperbolehkan memilikinya, banyak cara ditempuh oleh warga negara asing untuk dapat menguasai tanah dengan hak milik di Indonesia. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Untuk menegakan asas nasionalitas, sehingga tanah hak milik tidak jatuh pada pihak asing. Penguasaan tanah oleh WNA tidak bisa dihindari. Hal itu mengingat mobilitas dan jumlah mereka yang masuk ke negara Indonesia terus meningkat pada era globalisasi dewasa ini. Apalagi seiring perubahan politik pada orde baru, banyak tanah justru dikuasai sekelompok pemodal asing 5 kondisi itu tampak dari berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah, seperti kebijakan deregulasi Oktober 1993 yang menyederhanakan proses pemberian Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB)6. WNA yang masuk ke Indonesia, selain mempunyai tujuan wisata, juga berupaya menanamkan modal untuk usaha dengan menguasai tanah. Hal ini terindikasi dengan banyaknya WNA yang menguasai tanah di beberapa tempat di Indonesia, diantaranya di Provinsi Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai daerah tujuan wisata di Indonesia. Selain Bali yang merupakan daerah di Indonesia yang pa;ing banyak di kunjungi oleh WNA, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
5
juga banyak
Gunawan Wiradi, 2001, Prinsip-Prinsip Reforma Agraria Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, hlm.163. 6 Maria S.W. Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Jakarta:buku Kompas, hlm.23.
7
dikunjungi oleh WNA. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa selain untuk tujuan berwisata ke tempat-tempat Indah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), WNA juga berinvestasi atau tinggal sementara di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) . oleh karena itulah banyak dari mereka yang membeli tanah dari WNI. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Yogyakarta Tahun 2012 yang di keluarkan pada tanggal 26 Maret 2012 Jumlah WNA yang tinggal dan menetap di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebanyak 302 orang, yang terdiri dari lakilaki 157 orang dan perempuan 145 orang.7 Kota Yogyakarta terdiri dari 29 orang laki-laki dan 22 orang perempuan. Kabupaten bantul terdiri dari 16 orang laki-laki dan 14 orang perempuan. Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunung Kidul tidak berpenduduk WNA. Kabupaten Sleman terdiri dari 112 orang laki-laki dan 109 orang perempuan8. Sejak Tahun 1953, sebagaimana dikatakan S. Poerwopranoto 9 , bahwa selama larangan menjual tanah kepada orang asing masih ada, sudah tentu orang asing akan mencoba untuk melanggarnya, misalnya dengan jalan mempergunakan perantaraan WNI. Cara yang sering digunakan adalah dengan kedok melakukan jual beli tanah dengan perantaraan WNI atau dengan kata lain atas nama WNI agar tidak menyalahi ketentuan hukum yang berlaku dalam UUPA. Tindakan ini yang maksud agar WNA dapat memiliki tanah secara absolut. Cara ini dikenal dengan nama nominee. 7
https://kependudukanpemdadiy.files.wordpress.com/2010/09/laporan-triwulan-iii-datakependudukan-tahun-2012-provinsi-diy-aksen.pdf, Diakses Tanggal 11 Februari 2015. 8 Ibid 9 S. Poerwopranoto, 1954, Penuntun Tentang Hukum Tanah, Sinar grafika, Jakarta, hlm. 48.
8
Penggunaan nominee yang notabene merupakan bentuk perwujudan adanya suatu perikatan. Dalam Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata) tertulis “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Selanjutnya Pasal 1234 menyebutkan “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu”. Sehingga perikatan sebagai bentuk perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang terlibat. Oleh karena itu, perjanjian merupakan kesepakatan yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terkait di dalamnya. Dalam hukum tanah nasional, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya mengatur bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang berhak untuk memiliki tanah dengan hak milik di wilayah Indonesia. Untuk menyiasati hal tersebut, maka dibuatlah perjanjian nominee antara WNA dengan WNI. Dengan menggunakan perjanjian nominee, WNA dapat memiliki tanah dengan hak milik di Indonesia dengan cara mendaftarkan tanah tersebut atas nama WNI yang ditunjuknya sebagai nominee10. Perwujudan nominee ini ada pada surat perjanjian yang dibuat oleh para pihak, yaitu antara WNA dan WNI sebagai pemberi kuasa yang diciptakan melalui satu paket. Perjanjian itu pada hakikatnya bermaksud untuk memberikan segala kewenangan yang mungkin timbul dalam hubungan hukum antara sesorang dengan tanahnya kepada WNA selaku penerima kuasa untuk bertindak layaknya seorang pemilik yang sebenarnya dari sebidang tanah yang menurut hukum tidak 10
Http/://.google, alternatif kebijaksanaa pengaturan hak atas tanah bagi warga negara asing, di ambil pada tanggal 14 Agustus 2014.
9
dapat dimilikinya (HM atau HGB). Perjanjian dengan menggunakan kuasa semacam itu, dengan menggunakan pihak WNI sebagai nominee merupakan penyelundupan hukum karena substansinya bertentangan dengan UUPA. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis menginterprestasikan bahwa perjanjian nominee sama sekali tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia khususnya dalam hukum perjanjian Indonesia, dan tidak ada pengaturan secara khusus dan tegas, sehingga dapat dikatakan mengandung pengertian yang kosong/norma kosong, karenanya perjanjian nominee dapat dikategorikan sebagai penyelundupan hukum. Dalam perjanjian nominee antara WNA dan WNI terkait kepemilikan tanah ini, tidak dapat dilepas-pisahkan dari peran seorang Notaris/PPAT. Dalam prakteknya,
kebanyakan
WNA
dan
WNI
menggunakan
jasa
seorang
Notaris/PPAT untuk melegalkan perjanjian nominee dan membuat akta-akta yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Akta-akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT tergantung kepada kesepakatan bersama dengan pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan oleh Notaris/PPAT untuk memperkuat dan mengikat kedua belah pihak. Dari uraian di atas maka penulis mengambil judul dalam tulisan ini “ Perjanjian Nominee Sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Oleh Warga Negara Asing Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”.
10
B. Rumusan Masalah Penguasaan tanah oleh warga negara asing sebagai hak milik merupakan pelanggaran
terhadap
UUPA.
Untuk
menghindarinya
maka
dilakukan
penyelundupan hukum dengan melakukan pembelian tanah dengan meminjam nama WNI, sehingga tanah tersebut dapat dikuasai dengan hak milik.
Oleh
karena itu, dalam penelitian ini, penulis merumuskan masalah yang akan diteliti yaitu : 1. Bagaimana keabsahan perjanjian nominee menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata? 2. Bagaimana kekuatan mengikat perjanjian nominee dalam penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing? 3. Bagaimana akibat hukum penguasaan hak milik atas tanah yang dilakukan oleh warga negara asing melalui perjanjian nominee? 4. Bagaimana peran dan tanggung jawab Notaris/PPAT dalam mengeluarkan akta-akta melalui perjanjian nominee?
C. Tujuan Penelitian Berkaitan
dengan
permasalahan
seperti
yang
telah
dirumuskan
sebelumnya, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui keabsahan perjanjian nominee menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
11
2. Untuk mengetahui kekuatan mengikat perjanjian nominee dalam penguasaan hak milik atas tanah oleh WNA. 3. Untuk mengetahui akibat hukum penguasaan hak milik atas tanah yang dilakukan oleh WNA melalui perjanjian nominee. 4. Untuk mengetahui peran dan tanggung jawab Notaris/PPAT dalam mengeluarkan akta-akta melalui perjanjian nominee.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini baik secara praktis maupun teoritis antara lain : 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum, terutama mengenai perjanjian nominee dalam hal penguasaan hak milik atas tanah oleh WNA berdasarkan Kitab UndangUndang Hukum Perdata. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi hukum positif dan memberikan pemikiran untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi WNI yang ingin mengalihkan hak miliknya kepada WNA melalui perjanjian nominee.
E. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini, penulis membatasi beberapa permasalahan terkait dengan penelitian yang dilakukan, sehingga tidak menimbulkan pemahaman yang
12
berbeda tentang konsep yang akan diteliti, dan penelitian menjadi terfokus pada permasalahan yang yang dibatasi. Perjanjian Nominee yang dimaksudkan adalah Perjanjian pinjam nama WNI oleh WNA dengan tujuan untuk menguasai hak milik atas tanah di Indonesia. WNI dan WNA yang menjadi subyek dalam perjanjian ini tidak terikat dalam satu ikatan perkawinan. WNI adalah Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagai warga negara Republik Indonesia. Sedangkan WNA adalah warga negara asing yang menetap di Indonesia yang tidak terdaftar secara resmi sebagai warga negara Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
F. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan, dapat diketahui bahwa belum ada penelitian mengenai Perjanjian Nominee sebagai sarana penguasaan hak milik atas tanah oleh WNA ditinjau dari hukum perjanjian Indonesia. Penelusuran juga dilakukan melalui internet guna mengetahui ada tidaknya penelitian yang serupa namun tidak ditemukan adanya penelitian yang sama. Meski demikian, terdapat beberapa penelitian yang mirip yang pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian tersebut seperti diuraikan berikut : 1.
Tesis atas nama Lucky Suryo Wicaksono, 2014, “Tinjauan Yuridis
Kepastian Hukum Nominee Agrement Kepemilikan Saham Perseroan
13
Terbatas” Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, dengan rumusan masalah : 1) Bagaimana Pembentukan nominee agreement kepemilikan saham Perseroan Terbatas yang digunakan di Indonesia? 2) Bagaimana kedudukan nominee agreement di dalam aturan hukum Indonesia? 3) Bagaimana pertanggungjawaban notaris terkait dengan nominee agreement kepemilikan saham Perseroan Terbatas di Indonesia? 2.
Tesis atas nama G. Agus Permana Putra, 2010, “Wanprestasi Dalam
Penggunaan Nominee Pada Perjanjian Yang Dibuat Dibawah Tangan Berkaitan Dengan Kepemilikan Tanah Di Bali” Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, dengan rumusan masalah : 1) Apakah penggunaan nominee pada perjanjian dibawah tangan sah bila ditinjau dari Undang-Undang Pokok Agraria? 2) Bagaimana akibat hukum apabila warga negara Indonesia wanprestasi dalam penggunaan nominee pada perjanjian yang dibuat dibawah tangan? Penelitian ini membahas tentang Perjanjian nominee sebagai sarana penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Adapun permasalahan yang dibahas mengenai keabsahan perjanjian nominee dalam hukum perjanjian Indonesia, kekuatan mengikat perjanjian nominee tersebut dan akibat hukum penguasaan hak milik atas tanah oleh WNA melalui perjanjian nominee.
14
Dengan demikian terdapat perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Maka penelitian ini dianggap telah memenuhi kaedah keaslian penelitian. Walaupun demikian, bilamana dikemudian hari ditemukan bahwa permasalahan dalam penelitian ini pernah diteliti oleh peneliti lain sebelumnya, maka diharapkan penelitian ini dapat saling melengkapi dengan peneliti lainnya.
G. Landasan Teori Pembahasan masalah dalam penelitian thesis ini, perlu diarahkan dengan menggunakan landasan teoritis yang relevan. Karena itu, yang menjadi fokus utama, yaitu adanya kekosongan hukum/norma kosong dalam pengaturan perjanjian nominee, maka seperti yang dikemukakan oleh seorang filsuf hukum mencari hakikat dari pada hukum. Dia ingin mengetahui apa yang ada dibelakang hukum, mencari apa yang tersembunyi dibelakang hukum, dia menyelidiki kaedah-kaedah hukum sebagai pertimbangan nilai, dasar-dasar hukum sampai dasar-dasar filsafat yang terakhir. Dia berusaha untuk mencapai ”akarnya” dari hukum. 11 Telaah terhadap prinsip hukum dan asas hukum merupakan unsur yang penting
dan
pokok
dari
peraturan
hukum,
bahkan
asas
hukum
merupakan ”jantungnya” peraturan hukum. 12 Pada pokoknya asas hukum berubah
11 12
Soetikno, 2002, Filsafat Hukum ( Bagian I ), Ct. Kesembilan, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 2. Ibid.
15
mengikuti kaedah hukumnya, sedangkan hukum akan berubah mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga terpengaruh oleh waktu dan tempat.13 Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut, sebab sebagai dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. J.J.H.Bruggink 14 berpendapat, pada basis (landasan) suatu sistem kaedahkaedah terdapat kaedah-kaedah penilaian yang fundamental yang dinamakan asasasas hukum. Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh J.J.H. Bruggink menyatakan perihal definisi tentang asas hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim dan seterusnya, sehingga tampak jelas bahwa peranan asas hukum sebagai meta kaedah berkenaan dengan kaedah dalam bentuk sebagai kaedah prilaku. 15 Karena itu, berdasarkan uraian tersebut di atas sangatlah berguna untuk menganalisis berbagai permasalahan berkaitan dengan perjanjian nominee dalam perspektif hukum perjanjian Indonesia ini, agar ditemukan alasan yang lebih kuat untuk menerima perjanjian nominee sebagai sarana penguasaan hak milik atas tanah. Sehubungan dengan penggunaan perjanjian nominee untuk penguasaan hak milik atas tanah oleh WNA ditinjau dari hukum perjanjian Indonesia secara lebih jelas, maka dalam menjawab permasalahan tersebut diatas, dapat dilakukan
13
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum ( Suatu Pengantar ), Cet. Ketiga, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya di sebut Sudikno Mertolusumo I )), hlm. 32. 14 Arief Sidharta, 1996, Refleksi Tentang Hukum ( Terjemahan Rechts Reflection Grondbegrippen Uit de rechtstheori , J.J.H.Briggink ) Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 119. 15 Ibid, hlm. 119 – 120.
16
dengan menggunakan teori16yang pada hakekatnya adalah seperangkap konstruksi (konsep), batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan antar variabel, dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam penelitian ini menggunakan teori-teori yaitu serangkaian spesifikasi yang sistematis yang dapat menghubungkan dan menjawab permasalahan yang timbul. Aliran yang mendasari perlunya penemuan hukum bagi perjanjian nominee, sebagaimana dikemukakan oleh aliran Rechtsvinding (Penemuan Hukum)17. Menurut aliran rechtsvinding, hukum terbentuk dengan beberapa cara, yakni karena Wetgeving (pembentukan undang-undang), karena administrasi atau tata usaha negara, karena Rechtspraak (peradilan), karena kebiasaan atau tradisi yang sudah mengikat masyarakat, dan karena ilmu (wetenschap). 18 Aliran lain yang dapat dipertimbangkan bagi pelaksanaan perjanjian nominee adalah aliran Freie Rechtslehre yang merupakan aliran bebas, dimana hukumnya tidak dibuat oleh badan Legislatif dan menyatakan bahwa hukum terdapat di luar undang-undang. 19 Di dalamnya hakim bebas menentukan dan menciptakan hukum baik dengan melaksanakan undang-undang atau tidak. 20 Mengenai kontrak maupun perjanjian, dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian, yang disebutkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata yaitu : ”suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang
16
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.14. 17 R. Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 89. 18 Ibid, hlm. 90. 19 Ibid, hlm. 88. 20 Ibid, hlm. 89.
17
atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”. Dan ada aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus yang namanya telah diberikan oleh undang-undang, seperti perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam, dan pemberian kuasa. Teori yang terkait dengan pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan sebagai landasan untuk dianalisis, antara lain: Dalam pelaksanaan perjanjian bersumber pada unsur obyektif yaitu undang-undang dan kebiasaan atau kepatutan, unsur subyektif ialah maksud dari perjanjian yang memberi isi tentang sifat dan hubungan berbagai pengertian. Segala sesuatu berlandaskan kepada kejujuran, dan kepatutan (itikad baik) dari masing-masing pihak yang bersangkutan.21 Lebih lanjut dalam membahas perjanjian dimana asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang paling fundamental sebagaimana tertuang dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak ini adalah sebagai refleksi dari tujuan bisnis dalam berbagai sistem ekonomi yang ada di dunia ini, asas ini secara esensial merupakan refleksi tentang hak asasi manusia ( HAM ) bila dilihat dari kacamata hukum. 22 Dalam menjawab masalah daya ikat kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian dapat dipergunakan beberapa teori. Berdasarkan ketentuan Pasal 1342 KUHPerdata, Pasal 1343 KUHPerdata, dan Pasal 1346 KUHPerdata, maka dalam membahas perjanjian pada penelitian ini, akan dipergunakan teori pernyataan yang intinya menyatakan bahwa kalau pernyataan dua orang telah bertemu, maka 21
Zoelfirman, 2003, Kebebasan Berkontrak versusu Hak Asasi Manusia (Analisis Yuridis Hak Ejonomi, Sosial, dan Budaya), Cet. Pertama, UISU Press, Medan, hlm. 23. 22 Ibid, hlm. 27.
18
perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak. Teori kehendak, teori ini pada prinsipnya menyebutkan suatu persetujuan yang tak didasarkan atas suatu kehendak yang benar adalah tidak sah. Teori kepercayaan, teori ini sebenarnya didasarkan atas fiksi kehendak dari para pihak dan fiksi tersebut diterima sebagai dasar, tidak hanya dalam hal-hal di mana kehendak yang sebenarnya tidak ada, tetapi juga dalam hal-hal dimana kehendak itu sebenarnya ada. 23 Juga dalam hal ini, R. Setiawan menentukan adanya tiga teori untuk terjadinya persetujuan, yaitu : 24 1. Teori kehendak yaitu menekankan pada faktor kehendak dan apabila pernyataan tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki maka mereka tidak terikat pada pernyataan tersebut; 2. Teori pernyataan yaitu seseorang terikat pada suatu perjanjian karena ada pernyataan dari para pihak; 3. Teori kepercayaan yaitu kata sepakat terjadi bila pernyataan secara obyektif dapat dipercaya. Dari teori ini dapatlah dikatakan, bahwa seseorang yang telah mengimplementasikan kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian akan mengikat bagi para pihak. Kebebasan berkontrak sebagai hak dapat dilihat dari dua teori yaitu teori kepentingan (interest theories) dan teori tujuan (will theoriest). Berdasarkan teori kepentingan menyebutkan fungsi hak adalah untuk mengembangkan kepentingankepentingan dengan memberi serta melindungi keuntungan. Sedangkan teori 23 24
Ibid. hlm. 23. R. Setiawan, 1999, Pokok – Pokok Hukum Perikatan, Putre A Bardin, Bandung, hlm. 57.
19
keinginan menyebutkan fungsi hak adalah untuk mengembangkan otonomi dan melindungi otoritas, keleluasaan, atau kontrol di sejumlah bidang kehidupan. 25 Berlakunya asas kebebasan berkontrak ternyata dijamin oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menentukan bahwa: ”setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Akan tetapi Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. 26 Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat-syarat yang diinginkan, berlaku bagi para pembuatnya, sama seperti perundang-undangan, bahwa para pihak bebas untuk membuat perjanjian dan menuangkan apa saja dalam isi sebuah perjanjian. Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman 27 mengatakan bahwa dalam perjanjian dikenal adanya perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian Bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi seharihari. Perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII KUHPerdata. Disamping itu ada perjanjian tidak bernama yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. 28 Dalam Pasal 1319 KUHPerdata dikatakan bahwa ”semua persetujuan, baik yang mempunyai nama khusus
25
Ibid, hlm. 24. Suhandoko, 2004, Hukum Perjanjian, Teori, dan Analisa Kasus, Predana Media, Jakarta, hlm. 4. 27 Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), hlm. 19. 28 Ibid. 26
20
maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”. Lebih jauh Salim H.S.29 menyatakan kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kontrak nominaat dan innominaat. Kontrak nominaat merupakan kontrak yang terdapat dan dikenal dalam KUHPerdata. Kontrak innominaat merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup dan berkembang dalam masyarakat. Menurut teori Pengayoman yang dikemukakan oleh Suharjo bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara pasif. 30 Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan dimaksud secara pasif adalah mengupayakan pencegahan atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil. Untuk mewujudkan pengayoman ini termasuk didalamnya, adalah : 31 1. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan; 2. Mewujudkan kedamaian sejati; 3. Mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat, dan 4. Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Kedamaian sejati dapat terwujud apabila masyarakat telah merasakan baik lahir maupun bhatin. Begitu pula dengan ketentraman, dianggap sudah ada apabila
29
Ibid, hlm. 21. Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Predana Media, Jakarta, hlm. 23. 31 Ibid. 30
21
warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung pada kekuatan fisik maupun non fisik belaka. 32 Selain teori di atas, juga digunakan teori hukum alam oleh Grotius 33 sebagai salah satu tokoh yang memaparkan ada empat norma dasar yang terkandung dalam hukum alam, yakni : 1. kita harus menjauhkan diri dari kepunyaan orang lain; 2. kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berada ditangan kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita nikmati; 3. kita harus menepati janji-janji yang kita buat, dan 4. kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita, lagi pula kita harus dihukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan. Konsep pemikiran Grotius mendasari munculnya beberapa teori seperti teori kontrak, teori perbuatan melawan hukum, dan teori hak milik. Berdasarkan landasan teori hukum alam, menempatkan penggunaan tanah yang diberikan oleh negara kepada pemiliknya untuk menggunakan hak tersebut didasarkan dengan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan hukum, ketertiban, dan kesusilaan yang baik. Roscou Pound34 berpendapat bahwa hukum tidak statis, melainkan adalah merupakan suatu proses yang mendapatkan bentuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan dalam keputusan hakim.
Lebih lanjut
Pound
mengemukanan idenya tentang hukum sebagai sarana mengarahkan dan membina masyarakat. Hal ini sangat sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana rekayasa 32
Ibid. W.Friedman, 1990, Teori dan filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 49. 34 Ibid. 33
22
sosial ( social einngeneering ), yaitu ”law as a tool of social einngeneering”, yaitu untuk menghasilkan suatu bentuk masyarakat yang dikehendaki dengan penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat, dengan melibatkan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pembuat hukum, dalam hal ini adalah negara. Berkaitan dengan penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial, dalam arti menuju pada pembangunan hukum yaitu sebagai upaya untuk mengubah suatu tatanan hukum dengan cara perencanaan yang secara sadar dan terarah serta mengacu pada masa depan yang berlandaskan kecenderungan yang nantinya dapat diamati dalam kehidupan sebagai sebuah negara hukum. Dengan demikian pembangunan ataupun pembentukan hukum ini berarti pembaharuan tatanan hukum yaitu sebagai suatu sistem hukum, seperti yang dikemukakan oleh L Friedmann35 dimana mencakup tiga komponen sub sistem hukum, yaitu : Pertama, komponen substansi hukum (legal substance), yaitu disebut juga tata hukum yang terdiri dari tatanan hukum eksternal (peraturan perundang-undangan yang tidak tertulis, termasuk hukum adat dan yurisprudensi), serta tatanan hukum internal (asas-asas hukum), yang melandasi serta mengkoherensikan. Kedua, struktur hukum (legal structure), yaitu bagian-bagian yang bergerak di dalam satu mekanisme yaitu komponen kelembagaan hukum yang terdiri atas berbagai organisasi publik dengan para pejabatnya (Legislatif, Eksekutif, dan Yudicatif). Ke tiga, budaya hukum (legal Culture), yaitu sikap publik, nilai-nilai yang mendorong bekerjanya sistem hukum yang mencakup 35
Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, hal. 193.
23
sikap, perilaku para pejabatnya dan warga masyarakat berkenaan dengan komponen-komponennya. Dari ketiga komponen tersebut di atas, apabila dikaitkan dengan wacana perlindungan dan bentuk perlindungan hukum terhadap penguasaan hak milik atas tanah adalah termasuk pada katagori komponen substansi hukum karena mencakup perangkat kaidah dan perilaku yang teratur guna tercapainya kehidupan bermasyarakat yang baik. Penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolok ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah. 36 Misalnya hak atas tanah yang disebut Hak Milik dalam Pasal 20 UUPA memberi wewenang untuk menggunakan tanah yang dihaki tanpa batas waktu. Hak atas tanah bersumber pada hak menguasai dari negara atas tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik WNI maupun WNA, sekelompok orang secara bersama-sama, dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik. 37 Konsep dasar hak menguasai tanah oleh negara di Indonesia termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi : ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” 36
Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia, sejarah pembentukan UUPA isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hlm. 24. 37 Urip Santoso, 2008, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, Kencana, Jakarta hlm. 87.
24
Menurut Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, hak tertinggi atas tanah adalah bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan. Untuk melaksanakan hak tersebut negara berwenang untuk :38 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; 3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Sedangkan Pasal 4 ayat (1) UUPA menegaskan bahwa : ”Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-bersama dengan orang-orangg lain serta badan-badan hukum.” Menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA tersebut, atas dasar hak menguasai tanah oleh negara, negara berwenang untuk menentukan macam-macam hak atas tanah yang selanjutnya diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA. Pasal 16 ayat (1) UUPA : Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah : 1. Hak Milik; 2. Hak Guna Usaha; 3. Hak Guna Bangunan; 4. Hak Pakai;
38
Ibid.
25
5. Hak Sewa; 6. Hak Membuka Tanah; 7. Hak Memungut Hasil Hutan; 8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebut dalam Pasal 53 UUPA.