BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan mempunyai banyak aspek dan dimensi, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya dan hukum. Suatu bangsa memasuki tahap negara kesejahteraan ditandai dengan berkembangnya hukum yang melindungi pihak yang lemah. Diantara aspek tersebut, pembangunan ekonomi merupakan aspek yang memiliki dimensi yang lebih menonjol dan konkrit karena dampaknya dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang demikian cepat dan maju, menyebabkan banyak regulasi oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menerbitkan kebijakan – kebijakan yang belum dapat dilaksanakan dan berakibat tidak adanya jaminan kepastian hukum yang berkeadilan bagi masyarakat. Kebijakan – kebijakan yang dituangkan dalam peraturan perundang – undangan yang berkenaan untuk perlindungan berbagai pihak tersebut, dengan mengoreksi industrialisasi yang tidak selalu memberikan kebaikan kepada semua golongan masyarakat. Sektor informal telah banyak menerima tenaga kerja yang pindah dari sektor agraris tetapi tidak dapat ditampung oleh sektor industri dan merupakan salah satu motor penggerak ekonomi rakyat. Melalui bidang hukum, sektor ini bisa menjadi formal dalam bentuk usaha – usaha kecil. Berbagai usaha kecil ini dalam tahap berikutnya terkait dengan usaha – usaha besar, yang mengharapkan adanya kerjasama yang saling menguntungkan. Untuk mengembangkan mereka perlu dipikirkan bentuk –
1
2
bentuk perizinan khusus untuk sektor informal, fasilitas hukum dalam hubungannya dengan hak milik, kontrak, dan sebagainya. Keterkaitan usaha besar dengan usaha kecil, bukan berdasarkan atas belas kasihan, tetapi menjadi suatu keharusan dalam negara demokrasi Pancasila berasaskan kekeluargaan. Sektor informal yang paling banyak diminati untuk menunjang perekonomian dengan melakukan jual beli, karena mendapatkan keuntungan yang dapat dimanfaatkan secara langsung. Kegiatan jual beli dalam sejarah suatu bangsa dilakukan pada pasar. Dalam kegiatan jual beli, keberadaan pasar merupakan salah satu hal yang paling penting karena menjadi tempat untuk melakukan kegiatan tersebut selain menjadi salah satu indikator utama kegiatan ekonomi masyarakat di suatu wilayah. Di Indonesia telah lama mengenal pasar sama halnya dengan bangsa – bangsa lain di dunia, yang dikenal lebih dulu dengan nama pasar tradisional. Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia pasar berarti tempat orang berjual beli, sedangkan tradisional dimaknai sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang kepada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun. Berdasarkan arti diatas, maka pasar tradisional adalah tempat orang berjual beli yang berlangsung di suatu tempat berdasarkan kebiasaan. Di Indonesia, keberadaan pasar tradisional bukan melakukan urusan ekonomi tetapi lebih jauh kepada norma, ranah budaya, sekaligus peradaban yang berlangsung sejak lama di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi kerakyatan, pola hubungan ekonomi yang terjadi di pasar tradisional menghasilkan terjalinnya interaksi sosial yang akrab antara pedagang – pembeli, pedagang – pedagang, dan pedagang – pemasok yang merupakan
3
warisan sosial representasi kebutuhan bersosialisasi antar individu. Dengan luas wilayah masing – masing daerah di Indonesia yang sangat luas, pasar tradisional, hanya dapat dilakukan pada satu tempat tertentu untuk melayani satu daerah pedesaan dengan waktu yang terbatas. Akibat jarak dan waktu yang terbatas, menyebabkan timbulnya warung – warung kecil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setiap saat di wilayah lingkungannya masing – masing. Warung – warung kecil tersebut masih tetap keberadaanya pada
beberapa wilayah di
Indonesia sampai sekarang, yang sudah semakin berkurang perkembangannya setiap tahun akibat modernisasi di bidang perekonomian. Pasar dan warung tradisional mempunyai fungsi dan peranan yang tidak hanya sebagai tempat perdagangan tetapi juga sebagai peninggalan kebudayaan yang telah ada sejak masa lalu. Tanpa disadari bahwa pasar dan warung tradisional bukan satu – satunya menjadi tempat bertemunya penjual dan pembeli sebagai pusat perdagangan di masa sekarang, dengan adanya kegiatan usaha konsep asal yang sama dengan pelayanan dan memberikan pilihan yang lebih banyak kepada masyarakat. Semakin banyaknya pusat perdagangan lain seperti pasar modern yang berupa toko modern, supermarket dan pusat perbelanjaan, membuat pasar dan warung tradisional ini terpinggirkan oleh arus modernisasi. Pemenuhan kebutuhan hidup itu merupakan tujuan dari kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan yang dapat memberikan perlindungan kepada keluarga atau dirinya bersamaan dengan pemenuhan kebutuhan yang sama dari masyarakat lainnya. Pembangunan ekonomi tersebut telah menghasilkan banyak kemajuan,
4
antara lain kemajuan hal meningkatnya kesejahteraan rakyat. Tidak menutup kemungkinan bahwa kesejahteraan rakyat yang dimaksud hanya dapat dirasakan oleh kelompok atau golongan tertentu, akibat banyaknya rakyat golongan ekonomi lemah yang merupakan hambatan dan permasalahan tersendiri dalam usaha negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara merata. Kemajuan suatu negara atau masyarakat dapat disebabkan oleh kemajuan negara lain. Dalam konteks yang lebih luas dapat dikatakan bahwa perkembangan ekonomi dunia saat ini bergerak sangat cepat dan dinamis. Arus globalisasi merupakan faktor penggerak kemajuan karena negara – negara saling berhubungan antara satu dengan yang lain yang secara bersama – sama pula meningkatkan pembangunan ekonomi. Menurut William Irwin Thomson,1 bahwa dengan dukungan teknologi dan informasi kecepatan perubahan tidak lagi menghitung abad, tahun, atau bulan, tetapi dapat terjadi setiap hari. Pada dasa warsa terakhir ini atau sering disebut sebagai era globalisasi, batas nonfisik antarnegara semakin sulit untuk membedakannya dan bahkan cenderung tanpa batas atau borderless state. Dampak yang sangat terasa dengan terjadinya globalisasi yakni arus informasi begitu cepat sampai ke masyarakat, yang merupakan pengaruh terhadap cara hidup untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Adanya kesenjangan antara total jumlah penduduk Indonesia yang cukup besar, menjadikan pasar modern melihat peluang untuk membuka kegiatan usaha yang langsung berhadapan dengan masyarakat melakukan kegiatan jual beli dalam bentuk yang lebih kecil melalui jenis toko modern. Kegiatan yang dilakukan 1
Sunaryati Hartono, 1996, Globalisasi dan Perdagangan Bebas, BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, h.12.
5
dengan menjual eceran kepada masyarakat langsung disebut dengan kegiatan usaha retail. Perbedaan antara konsep tradisional dan modern dalam melakukan transaksi jual beli terletak pada penawaran dan harga. Pada pasar atau warung yang bersifat tradisional tempat bertemunya penjual dan pembeli, terjadinya kesepakatan harga dan terjadinya transaksi setelah melalui proses tawar menawar harga, akan tetapi kenyamanan terhadap konsumen tidak menjadi perhatian pada konsep ini. Sedangkan pada pasar atau toko modern, penjual dan konsumen tidak melakukan transaksi secara langsung melainkan konsumen telah disediakan harga yang tertera pada barang – barang yang telah tersedia dan melayani diri sendiri tanpa adanya penawaran yang berakhir dengan transaksi di ruangan yang bersih dengan mengutamakan kenyamanan dalam pelayanan. Kompleksitas ini semakin bertambah manakala dihubungkan dengan pola interaksi kegiatan usaha yang terjalin di masyarakat modern. Implikasi ini telah mengubah wajah perdagangan dan perekonomian dunia menjadi bentuk kegiatan usaha dalam perkampungan global atau business in global village. Kondisi ini dengan tepat digambarkan oleh Daniel Davidson,2 “We are so economically interdependent on one another that so we live in global village”. Globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya ekonomi berbagai negara menjadi seolah – olah tanpa dibatasi oleh kedaulatan negara. Salah satu ciri kegiatan usaha yang paling dominan pada globalisasi ekonomi adalah sifatnya bergerak cepat, baik dalam transaksi maupun pergerakan arus barang dan modal. Hal ini mempengaruhi pula terhadap berbagai peraturan di bidang kegiatan usaha ekonomi yang dengan cepat pula mengalami perubahan. 2
Ibid.
6
Globalisasi ekonomi yang ditandai dengan adanya keterbukaan perekonomian dialami hampir semua negara di dunia saat ini, telah membuat sistem perekonomian menjadi terbuka bebas. Apabila perekonomian didasarkan pada mekanisme pasar, maka akan tercipta suatu keseimbangan atau equilibrium. Di tengah arus globalisasi, kita tidak dapat melupakan kehidupan kenegaraan dimana tiga bidang yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Ketiga bidang itu ialah hukum, ekonomi dan politik. Ekonomi dipengaruhi oleh hukum, hukum dipengaruhi oleh politik, politik dipengaruhi oleh ekonomi, dan begitu pula sebaliknya. Kebutuhan akan sistem hukum, sistem ekonomi, dan sistem politik yang stabil merupakan syarat utama dalam membangun suatu negara yang memiliki perekonomian yang kuat, terlebih lagi bagi negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Konsep hukum menurut Abdulkadir Muhammad,3 “Hukum adalah segala aturan yang menjadi pedoman perilaku setiap orang dalam hubungan hidup bermasyarakat atau bernegara disertai sanksi yang tegas apabila dilanggar”.
Peraturan hukum meliputi dari tingkat yang
tertinggi, yaitu undang – undang dasar sampai tingkat yang terendah, yaitu peraturan daerah tingkat kabupaten/ kota, yang menjadi pedoman perilaku setiap orang maupun pelaku usaha. Kebutuhan akan suatu sistem yang sistematis merupakan kebutuhan yang mendasar bagi suatu negara. Hukum tanpa berjalan di jalur yang berfungsi sebagai pondasi, tidak akan berfungsi dengan baik. Begitupun halnya dengan ekonomi, tanpa adanya dukungan oleh suatu sistem tidak akan dapat mencapai tujuan sesuai dengan harapan. Walaupun bidang 3
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Cet.Rev, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad I), h.1.
7
hukum dan ekonomi merupakan bidang kehidupan yang bersifat mandiri, namun di dalam kenyataannya hukum dan ekonomi terkait sangat erat dan saling mempengaruhi. Hubungan saling terkait ini selalu dapat kita temukan di dalam kehidupan sehari – hari, dalam pergaulan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hukum berfungsi sebagai pedoman mengatur perilaku dan perbuatan orang atau badan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara umum tujuan hukum untuk:4 a. Menciptakan keamanan, ketertiban, dan keteraturan; b. Mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat; c. Menegakkan hukum secara konsisten dan tanpa diskriminasi; serta d. Menghargai dan menghormati hak – hak asasi manusia. Dalam rangka pembangunan ekonomi suatu negara berkembang, hukum harus berperan secara optimal. Agar hukum dapat berjalan dengan optimal, maka diperlukan hukum dalam bentuk yang sistematik. Ini berarti negara berkembang memerlukan suatu sistem hukum yang sistematis. Aspek kelembagaan bagi eksistensi pelaku ekonomi juga memerlukan landasan hukum. Hukum yang memberi landasan kelembagaan usaha sesuai dengan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya akan disingkat UUD 1945 yaitu pelaku usaha swasta, koperasi, Badan Usaha Milik Negara atau BUMN, dan Badan Usaha Milik Daerah atau BUMD, yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang – undangan. Bahwa diperlukan peraturan perundang – undangan yang mengatur bentuk konglomerasi pelaku ekonomi, seperti pelaku 4
Ibid. h. 2.
8
usaha swasta dalam bentuk organisasi jaringan, multinasional dan sebagainya. Aspek kelembagaan pelaku usaha memerlukan landasan hukum yang menegaskan hak dan kewajibannya sebagai entitas bisnis serta ketentuan hukum yang memberi pengaturan pada pengelolaannya. Perkembangan pasar modern dalam negeri bertambah sangat pesat, yang diawali dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 tentang bidang usaha tertutup dan terbuka bagi penanaman modal asing yang selanjutnya akan disingkat dengan Keppres Nomor 96 Tahun 2000. Dalam kebijakan tersebut, usaha perdagangan eceran merupakan salah satu bidang usaha yang terbuka bagi pihak asing. Bagi pedagang besar internasional, kebijakan tersebut jelas merupakan peluang yang sangat menjanjikan, karena Indonesia mempunyai pasar yang sangat potensial. Oleh sebab itulah maka peraturan perundang – undangan mengenai pasar modern dan pasar tradisional yang memberikan landasan hukum bagi pelaku usaha tersebut diatas dengan semakin berkembangnya usaha perdagangan, diterbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern yang selanjutnya akan disingkat dengan Perpres Nomor 112 Tahun 2007. Perpres Nomor 112 Tahun 2007 merupakan pengganti ketentuan mengenai Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan dalam Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 145/ MPP/ 1997 dan Nomor 57 Tahun 1997 yang merupakan peraturan pelaksana terhadap kegiatan pelaku usaha toko modern di Indonesia. Pertimbangan Perpres Nomor 112 Tahun 2007 adalah untuk memberdayakan
9
usaha perdagangan eceran dalam skala kecil dan menengah, usaha perdagangan eceran modern dalam skala besar, maka perlu dikembangkan secara serasi pertumbuhan ekonomi pelaku usaha tersebut diatas, dengan saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Pasal 1 angka 1 Perpres Nomor 112 Tahun 2007 mencantumkan bahwa, “Pasar adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu baik yang disebut pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya”. Sudah ada perubahan pengertian terhadap pasar, yang dikenal sejak jaman dahulu secara normatif dengan diterbitkannya Perpres Nomor 112 Tahun 2007. Mengenai pasar modern dijelaskan pada Pasal 1 angka 5 yaitu, “Toko modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan”. Jadi pasar modern disamakan melalui pengertian toko modern yang dikenal dengan sebutan seperti diatas. Perpres Nomor 112 Tahun 2007, ini untuk mengatur toko modern secara nasional termasuk mengenai kebijakan sistem penjualan dan jenis barang dagangan. Pasal 3 ayat (3) Perpres Nomor 112 Tahun 2007 menegaskan bahwa, Sistem penjualan dan jenis barang dagangan toko modern adalah sebagai berikut: a. Minimarket, Supermarket dan Hypermarket menjual secara eceran barang konsumsi terutama produk makanan dan produk rumah tangga lainnya; b. Department Store menjual secara eceran barang konsumsi utamanya produk sandang dan perlengkapannya dengan penataan barang berdasarkan jenis kelamin dan/ atau tingkat usia konsumen; dan c. Perkulakan menjual secara grosir barang konsumsi.
10
Untuk memberikan kepastian hukum terhadap pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern, Pasal 14 Perpres Nomor 112 tahun 2007 mencantumkan, “ Menteri membuat pedoman tata cara perizinan untuk melakukan usaha pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko modern”. Dengan ketentuan Pasal 14 Perpres Nomor 112 Tahun 2007, menteri perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan yang selanjutnya akan disingkat dengan Permendag Nomor 53/ M-DAG/ PER/ 12/ 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, yang telah diganti dengan Permendag Nomor 70/ M-DAG/ PER/ 12/ 2013. Dengan adanya peraturan perundang – undangan mengenai toko modern, jenis barang dagangan minuman beralkohol sebagai salah satu jenis barang dagangan yang dapat diperjual belikan secara eceran pada toko modern, perlu dibuatkan suatu kebijakan baru setelah adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 42 P/ HUM/ 2012 yang menyatakan Keputusan Presiden yang selanjutnya akan disingkat dengan Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Maka dipandang perlu untuk mengatur kembali pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol sehingga dapat memberikan perlindungan serta menjaga kesehatan, ketertiban dan ketentraman masyarakat dari dampak buruk terhadap penyalahgunaan minuman beralkohol. Untuk itu diterbitkanlah Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.
11 Minimarket sebagai salah satu jenis toko modern merupakan salah satu
tempat yang diperbolehkan untuk menjual minuman beralkohol golongan A sebagai toko pengecer yang dicantumkan pada Pasal 7 ayat (3) Perpres Nomor 74 Tahun 2013 yaitu minuman berallkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan. Sama halnya dengan Perpres Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, menteri perdagangan diberikan mandat untuk membuat kebijakan mengenai pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol yang tercantum pada Pasal 9 Perpres Nomor 74 Tahun 2013. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Perpres Nomor 74 Tahun 2013 tersebut, maka diterbitkan Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman beralkohol. Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014 mencantumkan pada Pasal 1 angka 3 bahwa, ”Perusahaan adalah setiap bentuk usaha perseorangan atau badan usaha yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang melakukan kegiatan usaha perdagangan Minuman Beralkohol”. Sangat jelas diatur bahwa yang dapat melakukan kegiatan usaha perdagangan minuman beralkohol dengan bentuk usaha perseorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum. Untuk toko modern jenis minimarket agar dapat melakukan penjualan minuman beralkohol secara eceran diberikan surat keterangan penjual langsung minuman beralkohol golongan A,
12
yang disingkat SKPL – A yang disebutkan pada Pasal 1 angka 19 Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014. Adanya penghapusan bagi minimarket sebagai penjual langsung minuman beralkohol golongan A melalui Permendag Nomor 06/ M-DAG/ PER/ 1/ 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014, dapat mengganggu perkembangan toko modern jenis minimarket yang semakin berkembang dengan kemandirian bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah mengikuti kegiatan usaha perdagangan yang dikuasai oleh pihak asing melalui jaringan toko modern yang dapat membuat persaingan tidak sehat dan ketidak adilan bagi pelaku usaha minimarket secara mandiri. Perubahan terhadap Pasal 14 ayat (3) Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014 yang mencantumkan minimarket, supermarket, hypermarket, toko pengecer lainnya dapat menjual minuman beralkohol golongan A, menjadi hanya dapat dijual di supermarket dan hypermarket pada Permendag Nomor 06/ M-DAG/ PER/ 1/ 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Permendag Nomor 20/ M-DAG/ PER/ 4/ 2014. Berdasarkan hal tersebut diatas mengingat arti penting UMKM terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia khususnya dalam menjalankan kegiatan usaha untuk mendapatkan keuntungan dengan berasaskan kemandirian dan perlindungan hukum terhadap UMKM maka diperlukannya suatu penelitian hukum yang bersifat normatif untuk mengkaji Permendag Nomor 06 Tahun 2015 dan Perpres Nomor 74 Tahun 2013 dengan menuangkan hasilnya dalam bentuk skripsi dengan judul:
13 “Legalitas Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A Bagi Pelaku
Usaha Toko Modern Minimarket Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015” 1.2. Rumusan Masalah 1. Apakah pengaturan perijinan usaha perdagangan minuman beralkohol golongan A bagi minimarket sesuai dengan Perpres Nomor 74 Tahun 2013 dapat dihapuskan menurut Permendag Nomor 06 Tahun 2015 ? 2. Apakah minimarket yang masih menjual minuman beralkohol golongan A dapat dikenakan sanksi menurut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Dengan melihat rumusan permasalahan diatas, untuk memperoleh hasil yang lebih mendalam pembahasan hanya pada ruang lingkup dari regulasi toko modern jenis minimarket terhadap pengendalian dan pengadaan minuman beralkohol golongan A. Maka dalam penulisan ini terbatas pada kebijakan yang diberikan kepada pelaku usaha besar dalam negeri maupun asing dengan peraturan yang ditetapkan oleh kementerian Perdagangan sebagai penjual eceran minuman beralkohol golongan A. Berkaitan dengan permasalahan yang kedua mengenai perlindungan hukum bagi pelaku usaha, yang masih melakukan kegiatan usaha sebagai pengecer minuman beralkohol golongan A oleh pelaku usaha toko modern jenis minimarket.
14
1.4. Orisinalitas Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 1 (satu) skripsi dan 1 (satu) thesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan “Legalitas Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A Bagi Pelaku Usaha Toko Modern Minimarket Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015”. Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu mewujudkan orisinalitas dari penelitian yang sedang ditulis dengan menampilkan beberapa judul penelitian skripsi dan thesis atau disertasi terdahulu sebagai pembanding.
No. 1.
Judul Skripsi; Hukum
Penulis
Perlindungan Aryo Terhadap
Tradisional Yogyakarta
Di
Rumusan Masalah
Sedayu 1. Bagaimana pengaturan
Pasar (Mahasiswa Fakultas
perlindungan
Kota Hukum, Universitas
terhadap
Menurut Islam
Indonesia,
tradisional
hukum pasar dalam
Peraturan Daerah Nomor 2 Yogyakarta) Tahun
Perda Nomor 2 Tahun
Tahun 2009 Tentang Pasar.
2009 tentang Pasar ?
2011.
2. Bagaimana peran Dinas Pengelolaan Pasar Kota Yogyakarta
dalam
15 membina
dan
melindungi
pedagang
pasar tradisional ? 2.
Thesis;
Proses Ali
Pembentukan
Fikri 1. Bagaimana
Peraturan (Mahasiswa Program
proses
pembentukan
Perda dalam
Daerah
dan
Fungsi Studi Magister Ilmu
saat
Kekuatan
Politik
DPRD Hukum, Universitas
menanggulangi
Kabupaten Dalam Pelarangan Beralkohol.
Indramayu Diponegoro, Pembahasan Semarang) Minuman 2005.
ini
pelarangan Tahun
minuman
beralkohol? 2. Bagaimana
fungsi
kekuatan
politik
DPRD
menanggapi
amanat
rakyat
diembannya
di
yang dalam
pembahasan pelarangan minuman beralkohol?
1.5. Tujuan Penelitian Penelitian ini merupakan karya tulis ilmiah yang wajib dilaksanakan dengan menggunakan kaidah dan metode ilmiah dalam pengembangan ilmu hukum, untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai
16 gejala hukum tertentu.5 Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah: 1.5.1 Tujuan umum 1. Untuk mengetahui secara umum surat izin usaha minuman beralkohol golongan A bagi minimarket sesuai dengan peraturan presiden. 2. Untuk mengetahui secara umum perlindungan hukum terhadap pelaku usaha toko modern jenis minimarket yang masih menjual jenis barang minuman beralkohol golongan A. 1.5.2 Tujuan khusus 1. Untuk lebih memahami secara mendalam mengenai surat izin usaha minuman beralkohol golongan A bagi minimarket sesuai dengan peraturan presiden. 2. Untuk lebih memahami secra mendalam mengenai perlindungan hukum terhadap pelaku usaha toko modern jenis minimarket yang masih menjual jenis barang minuman beralkohol golongan A.
1.6. Manfaat Penelitian Oleh
karena
penelitian
merupakan
suatu
sarana
ilmiah
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, sudah tentu manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
5
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Ed.I, Cet.6, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 35.
17 1.6.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapakan dapat dijadikan bahan kajian atau bahan penelitian lebih lanjut serta sebagai tambahan pengetahuan mengenai pelaku usaha toko modern jenis minimarket. 1.6.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dan dasar pelaksanaan pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol golongan A bagi pengecer, agar mengetahui hak dan kewajiban pemasok maupun pengecer berdasarkan ketentuan – ketentuan dan asas – asas yang berlaku terhadap pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol golongan A.
1.7. Landasan Teoritis Hukum mengatur dan menguasai kehidupan didalam berbangsa dan bernegara. Ilmu hukum mempunyai hakikat interdisipliner. Hakikat ini kita ketahui dari digunakannya berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk membantu menerangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di masyarakat.6 Adanya landasan teoritis sangat diperlukan dalam suatu penulisan karya ilmiah yang bertujuan untuk membantu penelitian dalam menentukan tujuan dan arah penelitian, memilih konsep yang tepat dalam pokok permasalahan yang dikaji. Untuk dapat menjual minuman beralkohol, pelaku usaha wajib memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol yang selanjutnya disingkat disingkat SIUP-MB adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha 6
Satjipto Raharjo, 2012, Ilmu Hukum, Cet.7, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 7.
18
perdagangan khusus minuman beralkohol. Pelaku usaha yang memperdagangkan minuman beralkohol golongan A wajib memiliki SIUP-MB, dan apabila sekaligus sebagai pengecer juga wajib memiliki Surat Keterangan Penjual Langsung Minuman Beralkohol golongan A yang selanjutnya disebut SKPL-A. Bahwa minimarket sebagai pengecer minuman beralkohol golongan A wajib memiliki kedua izin tersebut. Menurut ahli hukum Belanda N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, 7 izin merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang – undang atau peraturan pemerintah untuk keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundang – undangan, pengertian izin dalam arti sempit. Berdasarkan pendapat ini, izin tidak dapat melakukan usaha kecuali diizinkan. Jadi, kegiatan terhadap suatu objek tertentu pada dasarnya dilarang. Seseorang atau badan hukum dapat melakukan usaha atau kegiatan atas objek tersebut jika mendapat dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang mengikatkan perannya dalam kegiatan yang dilakukan oleh orang atau pihak yang bersangkutan. Menurut Prajudi Atmosudirdjo, 8 izin atau vergunning adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh undang – undang. Selanjutnya larangan tersebut diikuti dengan perincian syarat – syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk mendapat izin, disertai dengan penetapan prosedur dan petunjuk pelaksanaan kepada pejabat – pejabat administrasi negara yang bersangkutan. Ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi, yaitu sebagai
7 8
Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya, h.2-3. Ibid.
19
penertib dan sebagai pengatur. Penertib maksudnya agar usaha atau kegiatan tidak bertentangan satu sama lain, sehingga ketertiban dapat terwujud. Adrian Sutedi menyatakan, sebagai pengatur dimaksudkan agar usaha atau kegiatan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukkan.9 Perizinan adalah intsrumen yang manfaatnya ditentukan oleh tujuan dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika perizinan hanya dimaksudkan sebagai sumber pendapatan, akan memberikan dapat negatif atau disinsentif bagi pembangunan. Secara teoretis, perizinan memiliki beberapa fungsi;10 Pertama, sebagai instrumen rekayasa pembangunan. Pemerintah dapat membuat regulasi dan keputusan yang memberikan insentif bagi pertumbuhan sosial ekonomi. Kedua, fungsi keuangan atau budgetering, yaitu menjadi sumber pendapatan bagi negara. Pemberian izin dilakukan dengan kontraprestasi berupa retribusi perizinan. Ketiga, fungsi pengaturan atau reguleren, yaitu menjadi instrumen pengaturan tindakan dan perilaku masyarakat. Adanya penghapusan bagi toko modern jenis minimarket sebagai pengecer jenis barang minuman beralkohol golongan A, dapat menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha minimarket yang tidak memiliki perjanjian distribusi terhadap pengembalian barang yang tidak dapat diperjual belikan. Bagi pelaku usaha toko modern jenis minimarket untuk menjadi pengecer dapat ditunjuk langsung oleh distributor atau pemasok hanya dengan menandatangani pakta integritas penjualan minuman beralkohol golongan A, tanpa membuat perjanjian yang memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Pakta integritas penjualan minuman beralkohol golongan A tersebut merupakan kebijakan dari pemerintah, yang 9
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, h. 193. 10 Ibid. h.198.
20
formatnya sudah diatur melalui lampiran Permendag mengatur tentang sanksi yang akan diberikan kepada pengecer apabila melanggar ketentuan di dalam melakukan penjualan minuman beralkohol golongan A. Pakta integritas tidak mengatur mengenai hak yang bagi pelaku usaha minimarket, hanya kewajiban yang harus dijalankan dalam melakukan penjualan minuman beralkohol golongan A. Jadi, sangat jelas bahwa Pakta integritas bukan perikatan atau perjanjian yang dibuat oleh distributor sebagai pemasok dan pelaku usaha minimarket sebagai penjual eceran minuman beralkohol golongan A. Dalam teori hukum, perjanjian dengan perikatan adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Perbedaannya tersebut sebagai berikut:11 1. Perjanjian a. menimbulkan perikatan atau melahirkan perikatan b. perjanjian lebih konkret daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar c. pada umumnya perjanjian merupakan hubungan hukum bersegi dua, artinya akibat hukum dikehendaki oleh kedua belah pihak. Hal ini bermakna bahwa hak dan kewajiban dapat dipaksakan. Pihak – pihak berjumlah lebih dari atau sama dengan 2 sehingga bukan pernyataan sepihak, dan merupakan perbuatan hukum. sedangkan, 2. Perikatan 11
R.Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Cet.XI, Intermasa, Jakarta, h. 3.
21 a. perikatan adalah isi perjanjian b. perikatan merupakan pengertian yang abstrak c. bersegi satu, hal ini berarti belum tentu menimbulkan akibat hukum karena hak salah satu pihak tidak dapat dituntut, tidak dapat dipaksa pemenuhannya dan merupakan perbuatan hukum biasa.
Dalam mengkaji lebih lanjut mengenai fakta integritas dengan menggolongkannya sebagai perjanjian sepihak dalam tulisan ini, bahwa terdapat beberapa asas – asas yang penting dalam hukum perjanjian yaitu:12 a. Asas kebebasan berkontrak Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam undang – undang. Akan tetapi, kebebasan tersebut dibatsai oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang undang – undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. b. Asas pelengkap Asas ini mempunyai arti bahwa ketentuan undang – undang boleh tidak diikuti apabila pihak – pihak menghendaki dan membuat ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan undang – undang. Asas ini hanya mengenai rumusan hak dan kewajiban para pihak. c. Asas konsensual Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapai kata sepakat (konsensus) antara pihak – pihak mengenai pokok perjanjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. d. Asas obligatoir Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak – pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum mengalihkan hak milik. Hak milik baru beralih apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu melalui penyerahan (levering). Dengan pengertian perusahaan yang tercantum pada Permendag Nomor 20/ MDAG/ PER/ 4/ 2014, bahwa perusahaan adalah setiap bentuk usaha perseorangan 12
Abdulkadir Muhammad I, op.cit, h. 295.
22
atau badan usaha yang dimiliki oleh warga negara Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang melakukan kegiatan usaha perdagangan minuman beralkohol, dalam penelitian ini penulis menggunakan teori – teori badan hukum untuk mengetahui hakikat badan hukum yang mempunyai hak – hak dan kewajiban – kewajiban. Menurut Titik Triwulan Tutik, teori – teori badan hukum sebagai berikut:13 •
•
•
•
•
Teori Fictie Menurut teori ini badan hukum itu semata – semata buatan negara saja. Hanyalah fictie yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti orang. Teori Harta Kekayaan Bertujuan (doel vermogenstheorie) Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Namun teori ini, ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuan tertentu. Teori Organ (Organnen Theory) dari Otto’van Gierke Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek. Tetapi badan hukum adalah suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh – sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat – alat yang ada padanya. Teori Pemilikan Bersama (Propriete Collectief Theory) Propriete Collectief Theory disebut juga Gezammenlijke Eigendoms Theori. Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban orang – orang didalam badan tersebut secara bersama – sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama – sama anggotanya. Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteitsleer Theorie) Teori ini menyatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realiteit, konkret, riil, walaupun tidak bisa diraba, bukan khayal, tetapi merupakan kenyataan yuridis. Teori ini mengutamakan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.
13
Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, h. 45.
23
1.8. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah segala aktifitas seseorang untuk menjawab permasalahan hukum yang bersifat akademik dan praktis, baik yang bersifat asas- asas hukum, norma – norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang berkenaan dengan kenyataan hukum dalam masyarakat.14 Untuk Penelitian ini menggunakan metode yaitu melalui: 1.8.1
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, berawal dari adanya ketidakselarasan dalam norma peraturan perundang – undangan yang menyebabkan peraturan perundang – undangan tersebut menjadi konflik norma. Menurut Peter Mahmud Marzuki,15 “Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip – prinsip hukum, maupun doktrin – doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. ...penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi...”. Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang akan menunjang penelitian ini sebagai karya tulis ilmiah yaitu skripsi.
14 15
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 19. Peter Mahmud Marzuki, 2010, loc.cit.
24
1.8.2
Jenis Pendekatan Dalam penulisan karya tulis ilmiah untuk skripsi ini, dirasakan perlu
untuk menggunakan pendekatan masalah agar tercermin sebagai karya ilmiah. Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conceptual approach) dan pendekatan perundang – undangan (the statute approach). Pendekatan Konseptual dengan menelaah aturan – aturan hukum yang ada terhadap permasalahan toko modern jenis minimarket dalam melakukan kegiatan penjualan minuman beralkoohol golongan A. Pendekatan undang – undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang – undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. 16 Pendekatan analisa konsep hukum digunakan untuk meneliti mengenai konsep daripada perlindungan hukum terhadap pelaku usaha minimarket sedangkan pendekatan perundang – undangan digunakan untuk meneliti ketentuan – ketentuan yang mengatur mengenai toko modern dan minuman beralkohol. 1.8.3 Sumber bahan hukum Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa dalam penelitian hukum normatif bahan – bahan hukum yang dapat digunakan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.17 Peter Mahmud Marzuki menjelaskan sebagai berikut:18 16
Peter Mahmud Marzuki, 2010, op.cit, h. 93. Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13 18 Peter Mahmud Marzuki, op.cit. h.141. 17
25 1. Sumber bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki otoritas, yang terdiri dari perundang – undangan, catatan – catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang – undangan. 2. Sumber bahan hukum sekunder adalah berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen – dokumen resmi meliputi buku – buku teks, kamus – kamus hukum, dan jurnal – jurnal hukum. 3. Sumber bahan hukum tersier adalah merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan sekunder; contohnya adalah ensiklopediam indeks
kumulatif dan seterusnya. 1.8.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Untuk menunjang penelitian penulisan skripsi ini, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi dokumentasi yang difokuskan terhadap bahan – bahan hukum primer maupun bahan – bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan toko modern dan minuman beralkohol.
1.8.5
Teknik Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum Sebelum melakukan pengolahan dan menganalisa, mengumpulkan bahan – bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan selanjutnya melalui metode deskriptif kualitatif, pengolahan data dilakukan dengan menguraikan dan menggambarkan data yang diperoleh dari hasil studi
26 kepustakaan dan studi ketentuan – ketentuan yang mengatur toko modern dan jenis barang yang dapat diperjualbelikan termasuk minuman beralkohol, untuk selanjutnya dibahas dan disajikan secara kualitatif dalam uraian yang mendalam dan sistematis sebagai suatu karya tulis ilmiah yang berbentuk skripsi.