BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pasca jajak pendapat Timor Timur di tahun 1999 meninggalkan banyak luka baik bagi masyarakat Timor Timur maupun Indonesia. Walaupun Pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur tersebut kemudian diadili dan diselesaikan, namun masih terdapat hal yang luput dari permasalahan konflik Timor Timur. Disaat situasi Timor Timur yang carut marut pada saat konflik tersebut, banyak anak-anak Timor Timur kemudian „diselamatkan‟ untuk dipindahkan ke Indonesia dengan berbagai alasan. Ada yang disekolahkan, dimasukkan ke panti asuhan, dibesarkan dan diasuh di Indonesia. Berbagai kalangan turut serta melakukan pemindahan anak-anak tersebut. Tentara Indonesia, masyarakat sipil Timor yang menetap di Indonesia, masyarakat sipil Indonesia, bahkan Soeharto yang pada saat itu sempat menjadi Presiden RI sampai tahun 1998 turut mengasuh beberapa anak Timor Timur dan dibawa ke Indonesia. Indonesia adalah negara yang turut menjadi negara pihak pada CRC (Convention on the Rights of the Child) 1989 atau yang biasa disebut Konvensi Hak Anak. Konvensi tersebut kemudian diratifikasi pada tanggal 5 September 1990 dan dimasukkan dengan sistem hukum nasional melalui
Keppres No. 36 Tahun 1990. Sesuai dengan Pasal 43 dan Pasal 44 Konvensi Hak Anak tersebut dikatakan bahwa dibentuk sebuah Komite Hak Anak yang bermarkas di PBB dan memiliki tugas untuk mengawasi negara-negara pihak dari Konvensi Hak Anak dan menerima laporan atas langkah-langkah yang telah diambil oleh negara-negara pihak untuk memenuhi hak-hak terhadap anak di masing-masing negaranya tersebut. Beberapa kutipan dari pasal-pasal tersebut berbunyi : Article 43 1. For the purpose of examining the progress made by States Parties in achieving the realization of the obligations undertaken in the present Convention, there shall be established a Committee on the Rights of the Child, which shall carry out the functions hereinafter provided. 10. The meetings of the Committee shall normally be held at United Nations Headquarters or at any other convenient place as determined by the Committee. The Committee shall normally meet annually. The duration of the meetings of the Committee shall be determined, and reviewed, if necessary, by a meeting of the States Parties to the present Convention, subject to the approval of the General Assembly. Article 44 1. States Parties undertake to submit to the Committee, through the Secretary-General of the United Nations, reports on the measures they have adopted which give effect to the rights recognized herein and on the progress made on the enjoyment of those rights a. Within two years of the entry into force of the Convention for the State Party concerned; b. Thereafter every five years. 2. Reports made under the present article shall indicate factors and difficulties, if any, affecting the degree of fulfilment of the obligations under the present Convention. Reports shall also contain sufficient information to provide the Committee with a comprehensive understanding of the implementation of the Convention in the country concerned. 3. A State Party which has submitted a comprehensive initial report to the Committee need not, in its subsequent reports submitted in accordance with paragraph 1 (b) of the present article, repeat basic information previously provided. 4. The Committee may request from States Parties further information relevant to the implementation of the Convention.
5. The Committee shall submit to the General Assembly, through the Economic and Social Council, every two years, reports on its activities. 6. States Parties shall make their reports widely available to the public in their own countries.
Dalam setiap laporan Komite Hak Anak Indonesia yang diberikan kepada Komite Hak Anak PBB, pemenuhan hak anak untuk reunifikasi keluarga sesuai dengan amanat Pasal 10 Konvensi Hak Anak dalam hal ini pada kasus konflik anak-anak yang terpisah akibat kasus konflik Timor Timur selalu menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai untuk Indonesia dalam upaya melindungi hak-hak bagi anak. Indonesia
sudah melakukan 3 (tiga) kali laporan periodik
pemenuhan hak anak kepada Komite Hak Anak yakni laporan periodik I, II, dan ke III yang digabung dengan yang ke IV. Pada laporan periodik ke I yang terjadi pada tahun 1992 sampai tahun 1994 Indonesia membuat laporan awal yang menyatakan tidak terdapat permasalahan reunifikasi anak, hal ini juga tidak ada pernyataan mengenai kasus Timor Timur. terlebih anak-anak Timor Timur. Dikatakan pula bahwa Indonesia tidak memiliki pengalaman dalam menangani pengungsi1. Namun kemudian didalam Preliminary Observations dan Addendum Laporan Periodik I Konvensi Hak Anak yang dilakukan oleh Komite Hak Anak PBB menyatakan bahwa Komite Hak Anak menyatakan keprihatinan atas tidak adanya jawaban dari Pemerintah Indonesia terhadap permasalahan
1
Indonesia, Laporan Periodik I : State Party’s Report Convention on the Rights of the Child ,1993, no. 69.
kekerasan anak pada kasus Santa Cruz di Dili tahun 1991. Pada Concluding Observations Laporan Periodik I Konvensi Hak Anak, Komite Hak Anak memberikan pernyataan bahwa Pemerintah Indonesia berjanji tidak akan lagi terjadi kekerasan anak seperti yang terjadi pada kejadian di Dili, namun Komite Hak Anak menyesalkan atas Pemerintah Indonesia yang tidak memberikan langkah efektif terhadap pelanggar hukum yakni militer dan kepolisian Indonesia juga kompensasi terhadap korban anak tersebut.2 Pada Laporan Periodik II Konvensi Hak Anak oleh Indonesia yang terjadi pada tahun 2002 – 2004 permasalahan mengenai anak-anak korban konflik Timor Timur pun diangkat. Kenyataan mengenai permasalahan anak-anak korban konflik Timor Timur inipun menyebabkan didalam State Party’s Report yang diberikan pada tahun 2002 oleh Indonesia kepada Komite Hak Anak PBB menyatakan bahwa pengungsian anakanak Timor Timur inipun menjadi permasalahan yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia terdapat 256.098 penduduk Timor Timur yang mengungsi ke NTT sampai dengan Desember 1999, dengan estimasi 40% dari pengungsi tersebut adalah anak-anak berusia dibawah 18 tahun, hal ini
2
Committee on the Rights of the Child, Laporan Periodik I : Concluding Observations Convention on the Rights of the Child for Indonesia, 1994, no. 15.
berarti terdapat sekitar 102.440 pengungsi anak dari Timor Timur yang ada di Indonesia3. Didalam Concluding Observations Konvensi Hak Anak untuk Indonesia pun Komite Hak Anak PBB menyimpulkan bahwa mereka menyambut baik komitmen Pemerintah Indonesia untuk melakukan upaya reunifikasi anak-anak pengungsi Timor Timur yang terpisah dengan keluarganya. Walaupun sejak tahun 1999 jumlah anak Timor Timur yang dilakukan reunifikasi masih sangat terbatas4, Komite Hak Anak PBB juga merekomendasikan Indonesia untuk segera menyelesaikan pemulangan anak pengungsi Timor Timur yang terpisah dengan keluarganya secara cepat dan aman serta melanjutkan kolaborasi bersama UNHCR untuk menuntaskan permasalahan ini.5 Pada saat terjadi Laporan Periodik ke III dan IV Konvensi Hak Anak oleh Indonesia kepada Komite Hak Anak PBB yang dilakukan sejak tahun 2007 sampai tahun 2014, didalam State Party‟s Report yang diberikan pada tahun 2010 Indonesia mengatakan telah berhasil melakukan upaya reunifikasi terhadap anak-anak Timor Timur yang terpisah dengan orang tua nya6, kemudian Komite Hak Anak memberikan feedback berupa List of Issues yang diberikan pada tahun 2013 dengan
3
Indonesia, Laporan Periodik II : State Party’s Report Convention on the Rights of the Child , 2002, no. 59 dan no. 410 4 Committee on the Rights of the Child, Laporan Periodik II : Concluding Observations Convention on the Rights of the Child for Indonesia, 2004, no. 47. 5 Ibid, no. 48. 6 Indonesia, Laporan Periodik III dan IV : State Party’s Report Convention on the Rights of the Child , 2002, no. 90.
Anak meminta keterangan dan data yang jelas mengenai jumlah anak dari Timor Leste
yang sudah berhasil dilakukan reunifikasi kepada
keluarganya, data tersebut termasuk ada berapa banyak anak yang masih tinggal di Indonesia dan yang belum dikembalikan kepada orang tuanya7. Di dalam salah satu Laporan Periodik III dan IV terdapat 3 (tiga) poin yang tercatat dalam permasalahan reunifikasi keluarga tersebut, yakni8 : a. Selama periode pelaporan ini Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk pemulangan anak-anak dari eks Provinsi Timor Timur untuk penyatuan dengan keluarganya di Negara Timor Leste. Namun demikian upaya yang dilakukan oleh Indonesia belum berhasil memulangkan seluruh pengungsi warga eks Provinsi Timor Timur. Sebagai gambaran data dari Biro Bina Sosial / Sekretariat Satuan Koordinasi Pelaksana dan Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2005 menunjukkan ada 24.524 kepala keluarga atau 104.436 jiwa yang tersebar di 12 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. b. Dari
sejumlah
keluarga
yang
masih
belum
berhasil
dipulangkan, Indonesia mempunyai kewajiban dan tanggung 7
Committee on the Rights of the Child, Laporan Periodik III dan IV : List of Issues Convention on the Rights of the Child for Indonesia, 2013, Part I No. 9. 8 United Nations, Convention on the Rights of the Child, Komite Hak-Hak Anak, Laporan Negara Pihak Sesuai Pasal 44 Konvensi, Laporan Periodik Ketiga dan Keempat Negara Pihak Tahun 2007, Indonesia
jawab
untuk
memberikan
pemenuhan
hak-hak
dan
perlindungan anak-anak pengungsi. Mengingat status hukum anak-anak tersebut masih belum pasti, maka pemenuhan hakhak anak dan perlindungan sulit dilaksanakan. c. Indonesia mendorong UNHCR untuk segera membantu proses penetapan status hukum bagi pengungsi warga eks Provinsi Timor Timur, termasuk anak-anak. Dari beberapa poin tersebut dapat disimpulkan terdapat beberapa permasalahan yang terjadi dalam upaya reunifikasi terhadap anak-anak eks Timor Timur kepada keluarganya di Timor Leste, yakni belum adanya upaya maksimal dari pemerintah Indonesia untuk dapat melaksanakan reunifikasi terhadap anak-anak tersebut dan status anak-anak tersebut yang belum jelas sebagai pengungsi atau tidak, sehingga perlindungan terhadap anak-anak tersebut pun dirasa masih kurang maksimal, terlebih seperti yang diketahui bahwa Indonesia belum meratifikasi Konvensi Status Pengungsi 1951.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang masalah serta uraian faktafakta yang telah dikemukakan diatas, maka terdapat satu permasalahan utama yang perlu dikaji lebih dalam mengenai “Upaya Reunifikasi
terhadap Anak-anak Korban Konflik Timor Timur yang ada di Indonesia berdasarkan Convention on the Rights of the Child” yakni : Bagaimana upaya reunifikasi anak-anak korban konflik Timor Timur tersebut agar dapat kembali ke keluarganya berdasarkan Convention on the Rights of the Child?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan
rumusan
masalah
tersebut,
maka
penulis
melakukan penelitian hukum ini dengan tujuan sebagai berikut: 1. Tujuan objektif Untuk mengetahui secara lebih lanjut bagaimana proses Indonesia dapat melaksanakan upaya reunifikasi bagi anak-anak korban konflik Timor Timur berdasarkan Convention on the Rights of the Child;
2. Tujuan subjektif Penulisan hukum ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk melengkapi persyaratan akademis dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
D.
Manfaat Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam penulisan hukum ini, manfaat-manfaat yang akan diperoleh adalah : 1. Manfaat akademis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu hukum. 2. Manfaat praktis Hasil dari penulisan hukum ini diharapkan dapat menjadi sebuah acuan kepada Pemerintah Indonesia untuk dapat memenuhi kewajiban dalam upaya melaksanakan reunifikasi terhadap anak-anak Timor Timur yang ada di Indonesia.
E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, belum ada penelitian yang mengkaji mengenai Upaya Reunifikasi
terhadap Anak-Anak Korban Konflik Timor Timur yang ada di Indonesia berdasarkan Convention on the Rights of the Child. Namun, penulis menemukan penelitian yang berkaitan dengan Pemindahan Anak Korban Konflik Timor Timur dan Convention on the Rights of the Child, yaitu: 1. Disertasi dengan judul “Making Them Indonesians : Child Transfers Out of East Timor” yang ditulis oleh Helene Van Klinken yang diterbitkan oleh The University of Queensland pada tahun 2008. Disertasi ini ditulis selama 10 tahun dan kemudian dibukukan dan diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia yang berjudul “Anak-anak Tim-Tim di Indonesia : Sebuah Cermin Masa Kelam” yang dicetak oleh PT. Gramedia. Disertasi yang dibukukan ini sangat menarik karena menceritakan bagaimana kisah penulis saat bertugas menjadi relawan pada CAVR (Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste) dan menemukan fakta-fakta mengenai proses pemindahan anak-anak Timor Timur ke Indonesia dari rentang waktu 1975-1999. Letak perbedaannya dengan penulisan hukum yang penulis buat yakni didalam disertasi tersebut hanya memasukkan unsur perpindahan anak-anak Timor Timur ke Indonesia tersebut tanpa membicarakan upaya reunifikasi setelah konflik reda. Sedangkan didalam penulisan hukum ini penulis menyampaikan bagaimana reunifikasi anak-anak korban
konflik Timor Timur tersebut agar dapat dikembalikan kepada orang tuanya. 2. Penulisan
Hukum
(Skripsi)
dengan
judul
“Perlindungan
Pengungsi Anak Timor Leste Menurut Konvensi Hak-Hak Anak 20 Nopember 1989 oleh UNHCR (suatu tinjauan normatif)” yang ditulis oleh Sarah Siti Nuryati, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2008. Penulisan hukum tersebut fokus terhadap permasalahan hak-hak anak pengungsi Timor Leste yang ditinjau secara normative deskriptif dan penanganan pengungsi tersebut difokuskan pada lembaga PBB yakni UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugee). Letak perbedaan dengan penulisan hukum yang penulis buat adalah didalam penulis tidak hanya memasukan peran UNHCR pada upaya reunifikasi anak-anak korban konflik Timor Timur, namun juga stakeholders lainnya yang berperan dalam upaya reunifikasi tersebut. Didalam penulisan hukum yang dibuat saudari Sarah Siti Nuryati juga menjelaskan secara umum perlindungan pengungsi anak Timor Timur sedangkan penulis fokus kepada upaya reunifikasi anak tersebut. 3. Skripsi dengan judul “Peranan UNHCR Dalam Penanganan Pengungsi Timor Leste di Indonesia Pasca Referendum Tahun 1999 (Studi Kasus Pengungsi di Nusa Tenggara Timur)”, yang ditulis oleh Luiza Moniz Da C Faria, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Komputer Indonesia tahun 2011. Skripsi tersebut memiliki fokus terhadap peranan UNHCR sebagai lembaga PBB yang menangani pengungsi terhadap pengungsi Timor Leste di Indonesia yang terjadi pasca referendum 1999 dengan studi kasus bagi pengungsi yang menempati daerah di Nusa Tenggara Timur. Letak perbedaannya dengan penulisan hukum yang penulis buat adalah penulis mengambil peranan dalam penanganan anak-anak yang terpisah dengan keluarganya untuk dilakukan reunifikasi, peranan dalam upaya reunifikasi ini melibatkan banyak sektor tidak hanya UNHCR seperti yang terdapat pada skripsi tersebut serta studi kasusnya tidak terbatas dengan kasus pengungsi di Nusa Tenggara Timur saja. Fokus penelitian dan penulisan hukum “Upaya Reunifikasi terhadap Anak-Anak Korban Konflik Timor Timur yang ada di Indonesia berdasarkan Convention on the Rights of the Child” berbeda dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya. Secara garis besar, penelitian hukum yang dilakukan lebih melihat kepada bagaimana upaya pemerintah yang sudah meratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC) untuk memenuhi kewajiban
atas
reunifikasi
anak-anak
Timor
Timur
yang
dipindahkan ke Indonesia sebagai bagian dari mandat Pasal 9 dan 10 CRC tersebut. Maka dari itu, penulis meyakini bahwa penulisan hukum ini adalah yang pertama kali dilakukan.
F.
Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Umum tentang Reunifikasi Reunifikasi jika ditinjau berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti penyatuan kembali9. Penyatuan kembali ini pun memiliki pengertian yang sangat luas tergantung kepada perspektif reunifikasi tersebut. Jika ditinjau secara umum, penggunaan kata reunifikasi dapat ditemukan dalam beberapa kasus mengenai penyatuan kembali. Seperti contoh reunifikasi yang menyatukan kembali dua negara atau lebih menjadi satu negara induk10, atau dapat pula reunifikasi yang memiliki konteks penyatuan kembali anggota keluarga yang terpisahkan karena berbagai alasan. Secara konteks reunifikasi terhadap hak-hak anak, didalam Convention on the Rights of the Child atau Konvensi Hak Anak, kata reunification terdapat pada Pasal 10 dan Pasal 22 yang berbunyi : Pasal 10 ayat (1) : In accordance with the obligation of States Parties under article 9, paragraph 1, applications by a child or his or her parents to enter or leave a State Party for the purpose of family reunification shall be dealt with by States Parties in a positive, humane and expeditious manner. States Parties shall further ensure that the submission of such a request shall entail no adverse consequences for the applicants and for the members of their family.
9
http://kbbi.web.id/reunifikasi, diakses pada hari Kamis, 7 Agustus 2014 http://id.wikipedia.org/wiki/Reunifikasi, diakses pada hari Kamis, 7 Agustus 2014
10
Pasal 22 ayat (2) : For this purpose, States Parties shall provide, as they consider appropriate, co-operation in any efforts by the United Nations and other competent intergovernmental organizations or non-governmental organizations co-operating with the United Nations to protect and assist such a child and to trace the parents or other members of the family of any refugee child in order to obtain information necessary for reunification with his or her family. In cases where no parents or other members of the family can be found, the child shall be accorded the same protection as any other child permanently or temporarily deprived of his or her family environment for any reason, as set forth in the present Convention Kedua pasal tersebut menjelaskan bahwa negara-negara pihak dari Konvensi Hak Anak memiliki kewajiban untuk melindungi anak-anak dalam hal ini untuk dapat berkumpul bersama dengan orang tua ataupun kerabatnya. Dalam Pasal 9 ayat (1) Konvensi Hak Anak yang menjadi dasar dari Pasal 10 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa naraga-nagara pihak harus menjamin bahwa seorang anak tidak dapat dipisahkan dari orang tuanya, secara bertentangan dengan kemauan mereka. Dalam Pasal 10 ayat (1) tersebut juga dijelaskan bahwa penyatuan kembali atau reunifikasi yang dilakukan oleh negara-negara pihak harus ditangani dengan cara yang positif, manusiawi, dan lancar. Didalam Pasal 22 ayat (2) Konvensi Hak Anak ditekankan bahwa negara-negara pihak harus melakukan usaha untuk membantu anak-anak yang terpisah dengan keluarganya, baik anak-anak yang sudah mendapatkan status pengungsi maupun yang
dianggap sebagai pengungsi11, negara-negara pihak memiliki kewajiban untuk melakukan usaha-usaha reunifikasi tersebut seperti melacak setiap orang tua dan anggota keluarga dan memberikan perlindungan terhadap anak tersebut. Walaupun tidak ada perbedaan perlakuan untuk melakukan reunifikasi baik yang memiliki status pengungsi maupun yang dianggap sebagai pengungsi, namun dalam hal penetapan status tersebut berimplikasi lebih kepada agar pendataan yang lebih baik serta pemenuhan hakhak pengungsi seperti hak untuk tempat tinggal. Ditinjau dari Laporan Periodik ke III dan IV Hak Anak Indonesia kepada Komite Hak Anak PBB12, Indonesia dalam permasalahan reunifikasi anak anak korban konflik Timor Timur yang terjadi tahun 1975 sampai 1999.13 Jika melihat komparasi aturan hukum di negara lain, seperti yang terdapat pada negara Argentina, negara tersebut mengatur secara rigid permasalahan reunifikasi berdasarkan aturan hukum nasionalnya yang menyatakan bahwa batas waktu terpisahnya anak-anak dari orangtuanya diberikan waktu untuk melakukan reunifikasi sampai 90 hari14.
11
Penjelasan lebih komprehensif terdapat pada Pasal 22 ayat (1) yang kemudian dilanjutkan dengan Pasal 22 ayat (2) Konvensi Hak Anak 12 United Nations, Convention on the Rights of the Child, Komite Hak-Hak Anak, Laporan Negara Pihak Sesuai Pasal 9 dan Pasal 10 Konvensi, Laporan Periodik Ketiga dan Keempat Negara Pihak Tahun 2007, Indonesia 13 Wawancara dengan Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono dikediamannya pada Hari Selasa, 2 September 2014 14 National Law of Argentina : 26.061. Article 39, annex. Decree 45/06
Namun dalam negara tersebut yang sudah mengatur secara jelaspun pada implementasinya juga kesulitan untuk menjalani upaya reunifikasi sampai batas waktu 90 hari, karena secara implementasi banyak yang baru dapat dilakukan reunifikasi anakanak kepada orangtuanya secara bertahun-tahun karena berbagai macam alasan15. Hak untuk reunifikasi keluarga terdapat pada beberapa aturan hukum internasional, seperti : a. Universal Declaration of Human Rights (Article 12 dan 16); b. International Covenant on Civil and Political Rights (Article 17 dan 23); c. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Article 2); d. Convention on the Rights of the Child (Article 9 dan 10); e. European Convention on Human Rights (Article 8); f. European Social Charter (Article 16 dan 19); g. International Convention on the protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their families (Article 44); h. Dan lain-lain. 15
Lucia Coler, Family Reunification and adoption in Argentina : in accordance with “The Best Interest of the Child”, International Institute of Social Studies, 2013, hlm. 3
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa permasalahan reunifikasi berhubungan dengan permasalahan pekerja asing, peperangan, xenophobia serta sebagai bagian dari hak dasar manusia16.
2. Tinjauan Umum tentang Convention on the Rights of the Child a. Latar Belakang dan Sejarah Convention on the Rights of the Child Perang Dunia I tidak hanya menyisakan penderitaan terhadap para kombatan maupun pemerintah. Anak-anak turut menjadi korban karena besarnya jumlah anak yang menjadi yatim piatu akibat peperangan. Hal ini pun menyebabkan tergeraknya para aktivis perempuan untuk menyuarakan hakhak anak dan meminta perhatian publik terhadap anak-anak yang menjadi korban perang. Adalah Eglantyne Jebb17, yang merupakan
pendiri
Save
the
Children
kemudian
mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak atau rancangan deklarasi hak anak (Declaration of The Rights of The Child) di tahun 1923 yang kemudian diadopsi oleh 16
Erjona Canaj, Family Reunification in Albania : A Comparative Study in the Context of Albanian Integration in the EU, Mediterranean Journal of Social Sciences Vol 4 No. 6, MCSERSEMAS-Saptenza University of Rome, 2013, hlm. 682 17 Joni, Muhammad dan Tanamas Zulchaina Z, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 29
lembaga Save the Children Fund International Union. 7 (tujuh) gagasan mengenai hak-hak anak, yaitu18 : a. Anak harus dilindungi di luar dari segala pertimbangan mengenai rasa, kebangsaan, dan kepercayaan; b. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga; c. Bagi anak harus disediakan sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal baik material, moral, dan spiritual; d. Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak yang cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar harus diurus atau diberi perumahan; e. Anaklah yang pertama-tama harus mendapatkan bantuan pertolongan pada saat terjadi kesengsaraan; f. Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapat pelatihan
agar
pada
saat
diperlukan
nanti
dapat
dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus dilindungi dari segala bentuk eksploitasi;
18
Ibid.
g. Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian kepada sesama umat. Kemudian di tahun 1924 untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga BangsaBangsa.19 Deklarasi ini juga dikenal sebagai Deklarasi Jenewa. Pada tanggal 10 Desember 1948 setelah Perang Dunia II berakhir, Majelis Umum PBB mengesahkan diterimanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Peristiwa ini kemudian diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Hak Asasi Manusia se-dunia, dalam deklarasi inipun hak untuk anak-anak turut masuk didalamnya. Pada tahun 1959, Majelis Umum PBB mengeluarkan pernyataan mengenai Hak Anak yang merupakan deklarasi internasional kedua bagi hak anak.20 Tahun 1979, Pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah yang menjadi awal dari perumusan Konvensi Hak Anak. Kemudian di tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) disahkan dengan suara bulat oleh 19
W. Eddyono, Supriyadi, 2005, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X : Pengantar Konvensi Hak Anak, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hlm. 2. 20 Ibid.
Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November. Konvensi inipun diratifikasi oleh tiap negara pihak kecuali Somalia dan Amerika Serikat. b. Isi dan Prinsip Umum dari Convention on the Rights of the Child Convention on the Rights of the Child ini terdiri dari 54 pasal, berdasarkan strukturnya konvensi ini terdiri dari 4 (empat) bagian21 yaitu : Preambule atau dapat disebut sebagai mukadimah berisi konteks dari Konvensi ini. Kemudian Bagian Satu yang terdiri dari Pasal 1 sampai Pasal 41 yang mengatur mengenai hak bagi semua anak, Bagian Dua yang terdiri dari Pasal 42 sampai Pasal 45 yang mengatur masalah pemantauan dan pelaksanaan Konvensi, serta Bagian Tiga : Terdiri dari Pasal 46 sampai Pasal 54 yang mengatur masalah pemberlakuan Konvensi. Selain berdasarkan strukturnya, Convention on the Rights of the Child atau Konvensi Hak Anak ini memiliki empat poin dalam pembahasan isinya, yakni (1) Berdasarkan Konvensi Induk Hak Asasi Manusia yang memuat hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya; (2) Sisi untuk wajib melaksanakan Konvensi Hak Anak yaitu negara dan masyarakat; (3) Pembagian Konvensi Hak Anak yaitu : hak atas kelangsungan 21
Ibid.
hidup, hak untuk berkembang, hak atas perlindungan, serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat; (4) Adanya Komite Hak Anak PBB yang bertugas sebagai pengimplementasi Konvensi Hak Anak. Konvensi Hak Anak ini pun memiliki prinsip-prinsip umum22 yang tercantum berdasarkan konvensi itu sendiri, yaitu : 1. Prinsip non diskriminasi Maksud dari prinsip non diskriminasi ini adalah sesuai dengan Pasal 2 Konvensi Hak Anak yang pada intinya mengatakan bahwa negara harus menghormati dan menjamin hak anak tanpa adanya diskriminasi dalam bentuk apapun dengan segala alasan seperti pembedaan ras, agama, suku, dan lainnya. Serta ditekankan pada ayat (2) nya bahwa negara dapat mengambil langkah-langkah untuk menjamin tidak adanya diskriminasi bagi anak tersebut. 2. Prinsip yang terbaik bagi anak Pasal 3 ayat (1) pada Konvensi Hak Anak mengatakan bahwa dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara
atau
administratif,
22
Ibid.
swasta, atau
pengadilan badan
hukum,
legislative,
penguasa
kepentingan-
kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama. 3. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan Prinsip ini masuk kedalam Pasal 6 Konvensi Hak Anak yang dalam ayat (1) nya menyatakan negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiap anak mempunyai hak yang melekat atas kehidupan, dan pada ayat (2) yang menyatakan bahwa negara-negara pihak harus menjamin sampai pada jangkauan
semaksimum
mungkin
ketahanan
dan
perkembangan anak. Hak-hak anak lainnya pun tercantum dalam pasal-pasal yang terdapat pada Konvensi Hak Anak. 4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak Maksud dari prinsip penghargaan terhadap pendapat anak ini adalah negara harus menjamin bagi anak bahwa mereka dapat mengutarakan pendapatnya dan pendapatnya tersebut dihargai. Dalam pengimplimentasiannya dapat berupa didengarnya pendapat anak didalam persidangan pengadilan
bisa
secara
langsung
ataupun
melalui
perwakilannya jika yang dilakukannya karena adanya hal yang mempengaruhi anak tersebut dan disesuaikan dengan hukum acara tiap negara masing-masing. c. Langkah-Langkah Implementasi Umum pada Convention on the Rights of the Child
Konvensi Hak Anak telah memiliki 194 negara pihak baik melalui ratifikasi, acceptance, aksesi, maupun suksesi. Negara-negara yang telah menjadi negara pihak Konvensi Hak Anak ini wajib memenuhi segala ketentuan yang terdapat pada Konvensi Hak Anak terkecuali jika adanya reservasi dari negara pihak tersebut. Setelah negara tersebut menjadi negara pihak bagi Konvensi Hak Anak tersebut, maka harus adanya penyesuaian legislasi nasional dari tiap negara agar ketentuan-ketentuan tersebut menjadi hukum positif dengan dimasukkannya prinsipprinsip dan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Hak Anak tersebut kedalam hukum nasional yang mengikat bagi segala elemen pada tiap negara tersebut. Setelah adanya penyesuaian kepada hukum nasional tersebut, negara harus mengupayakan rumusan strategi nasional untuk anak yang bertujuan agar Konvensi Hak Anak ini dapat berjalan secara menyeluruh bagi negara pihak. Hal ini dapat dicontohkan di negara Indonesia yang membentuk KPAI Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menjadi lembaga yang dibentuk Undang-Undang Perlindungan Anak guna dapat menjalankan dan memantau hak-hak anak untuk dapat berjalan secara baik di negara Indonesia.
Selain itu, implementasi umum dari setelah menjadi negara pihak dari Konvensi Hak Anak adalah dengan penerjemahan resmi Konvesi Hak Anak kedalam bahasa nasional masing-masing negara pihak agar dapat dipahami secara komprehensif bagi tiap warga negara dari negara-negara pihak tersebut. Dan yang menjadi sangat penting adalah implementasi umum menjadi negara pihak dari Konvensi Hak Anak adalah dengan melakukan laporan berkala kepada Komite Hak Anak PBB mengenai pemenuhan anak hak-hak anak di negaranya masing-masing yang disertai kesimpulan dan rekomendasi dari negara pihak masing-masing.
G.
Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian
Penelitian hukum adalah penelitian yang diterapkan atau diberlakukan secara khusus pada ilmu hukum dalam rangka membantu pengembangan ilmu hukum dalam mengungkap suatu kebenaran hukum. Hal ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.23 Penelitian berjudul “Upaya Reunifikasi terhadap Anak-anak Korban Konflik Timor Timur yang ada di Indonesia berdasarkan Convention on the Rights of the Child” dilakukan penulis untuk menjawab rumusan permasalahan yang telah ditentukan. Pada Penulisan Hukum kali ini digunakan penelitian yang bersifat normatif. Penelitian normatif adalah dimana hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas24. Selain itu, untuk melihat bagaimana penerapan atau pelaksanaan dan implementasi dari peraturan perundang-undangan yang menyangkut permasalahannya, dilakukan melalui suatu penelitian lapangan yang dilakukan dengan wawancara, sehingga diperoleh kejelasan tentang hal yang diteliti. Metode tersebut digunakan karena mengingat bahwa penelitian ini mengacu bagaimana peran pemerintah terhadap upaya reunifikasi terhadap anak-anak korban konflik Timor Timur yang ada di Indonesia sehingga harus berhubungan langsung dalam melakukan proses penelitian. Selain itu, karena penelitian ini juga
23
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 43. 24 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, hlm 118.
bersifat empiris, maka perlu dilakukan wawancara yaitu berupa penelitian pada data sekunder sehingga terdapat data sekunder yang mendukung tentang kebenaran data-data primer yang dicari.
2. Jenis Data a. Penelitian Kepustakaan
Penelitian hukum ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan untuk memperoleh data sekunder di bidang hukum. Data sekunder ini mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan
bahan
hukum
tersier.
Kemudian,
untuk
mendukung data kepustakaan maka dilakukan penelitian lapangan yang dapat membantu data-data sekunder terkait dengan penelitian ini.
1) Jenis Data Sekunder a) Bahan-bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim25, yaitu:
Universal Declaration of Human Rights 1948;
United Nations Convention on the Rights of the Child 1989;
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang pengesahan Konvensi tentang Hak-Hak Anak.
25
Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm 141.
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan
informasi
tentang
bahan
primer26.
Bahan/sumber sekunder ini antara lain seperti bukubuku, artikel-artikel, makalah-makalah, jurnal, laporan atau hasil penelitian yang berhubungan dengan objek yang diteliti.27
c) Bahan hukum tersier yaitu segala sumber yang dianggap dapat menunjang penelitian, yakni bahan yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum ini meliputi:
Kamus Besar Bahasa Indonesia;
Pedoman umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Kamus Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia
b. Penelitian Lapangan Penelitian
lapangan
adalah
penelitian
yang
dilakukan dengan cara terjun langsung di lokasi penelitian 26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1983, Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.29. 27 Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 52.
untuk memperoleh data yang berguna dan berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Penelitian lapangan ini terbagi dua, dengan cara mewawancarai narasumber yang berkaitan dengan tema penulisan hukum ini, juga dengan cara pengambilan data didalam beberapa instansi-instansi yang diperlukan. 1) Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di DKI Jakarta. Pemilihan lokasi DKI Jakarta sebagai lokasi penelitian juga dimaksudkan karena narasumber-narasumber serta data yang bisa didapatkan berlokasi di DKI Jakarta. Oleh
sebab
itu,
penelitian,
wawancara,
serta
pengambilan data lebih baik jika dilakukan di DKI Jakarta. 2) Narasumber Penelitian Narasumber adalah pihak yang berkapasitas untuk memberikan keterangan mengenai reunifikasi anak-anak korban konflik Timor Timur yang ada di Indonesia. Narasumber-narasumber tersebut adalah: a. Ibu Meutia Hatta Swasono, selaku Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 20042009 yang pada tahun 2007 silam menjadi ketua
dari perwakilan delegasi Indonesia pada laporan periodik ketiga dan keempat konvensi hak anak kepada komite hak anak PBB. b. Deputi
Perlindungan
Anak
Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia selaku kementerian yang bertanggungjawab dalam pelaporan hasil dari implementasi Konvensi Hak Anak terhadap Komite Hak Anak PBB. c. Direktorat
Kesejahteraan
Sosial
Anak
Kementerian Sosial Republik Indonesia selaku kementerian
yang
mengurus
permasalahan
sosial dimana permasalahan pengungsi anak juga menjadi bagian dari peran Kementerian Sosial tersebut.
3)
Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data yang digunakan yaitu dengan metode wawancara langsung kepada narasumber dengan pedoman wawancara terlebih dahulu. Hasil wawancara dituangkan kedalam buku catatan untuk menulis setiap informasi yang diperoleh dari narasumber.
3. Analisis Hasil Penelitian
Setelah melalui pengumpulan data, analisis data yang digunakan adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan cara mengelompokkan data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian diseleksi menurut kualitas serta kebenarannya. Dalam metode ini, data-data yang dianalisis adalah dengan cara menganalisis menurut isi (content analysis). Dalam menganalisis digunakan dengan cara berpikir metode deduktif dan metode induktif. Masing-masing diuraikan sebagai berikut :
a.
Metode deduktif, yaitu cara berpikir yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.28 Metode ini digunakan untuk mengkaitkan ketentuan dan teori dalam hukum internasional mengenai hak-hak anak dengan aturan hukumnya didalam Indonesia dikaitkan pada upaya reunifikasi terhadap anak-anak korban konflik Timor Timur yang ada di Indonesia;
b.
Metode induktif, yaitu cara berpikir yang bersifat khusus yang kemudian diterapkan pada hal-hal yang
28
Hadi sutrisna, 1989, Metodologi Research, Andi Offset, Yogyakarta, hlm. 34-36
bersifat umum.29 Metode ini memaparkan tentang fakta-fakta mengenai upaya reunifikasi terhadap anakanak korban konflik Timor Timur yang ada di Indonesia
dan
kemudian
melihat
bagaimana
tanggungjawab pemerintah atas pemenuhan hak-hak terhadap anak-anak tersebut sebagai amanah dari Convention on the Rights of the Child.
Metode-metode tersebut kemudian di interpretasikan menggunakan beberapa cara interpretasi. Intepretasi yang akan digunakan yaitu intepretasi gramatikal dan intepretasi sistematis,30 masing-masing diuraikan sebagai berikut :
a. Intepretasi gramatikal, yaitu penafsiran untuk mengetahui
maksud
suatu
ketentuan
hukum
internasional dengan cara menguraikannya sesuai dengan bahasa, susunan kata dan bunyinya dalam hal upaya reunifikasi terhadap anak-anak korban konflik Timor Timur yang ada di Indonesia; b. Intepretasi
sistematis,
yaitu
penafsiran
untuk
mengetahui maksud suatu ketentuan hukum sebagai bagian dari keseluruhan sistem hukum dengan jalan menghubungkannya dengan aspek-aspek lainnya 29 30
Ibid. Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2005, hlm 170-173.
yang dinilai mempunyai hubungan dengan bahan primer maupun bahan sekunder penelitian ini. Dengan kata lain, bahwa intepretasi ini adalah menafsirkan degan menghubungkan bahan-bahan hukum yang diperoleh secara logis.
Setelah semua data terkumpul dan diintepretasikan, maka menghasilkan data yang bersifat deskriptif. Data yang bersifat deskriptif adalah data yang memberikan gambaran yang sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan serta mencapai kejelasan masalah yang dibahas.