BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Institusi pendidikan pada umumnya dan perguruan tinggi pada khususnya merupakan pusat pengembangan manusia yang bersumber daya seutuhnya. Orientasi pranata pendidikan dan pembelajaran seyogyanya tidak semata berorientasi pada kuantitas namun jauh lebih penting dan mendasar adalah kualitas proses pendidikan dan pembelajaran. Oleh karena itu pada hakikatnya diperlukan pengembangan kualitas proses pendidikan dan pembelajaran secara berkelanjutan meluas dalam seluruh ranah dan aspek pembelajaran. Kualitas pendidikan di perguruan tinggi merupakan titik pusat strategi dalam pengembangan sinergik dari empat ranah dalam proses pendidikan yang meliputi ranah otonomi, akuntabilitas, akreditasi dan evaluasi pendidikan untuk dilakukan perbaikan yang berkelanjutan (Hadjar, 2004; Yuwono, 2005). Salahsatu ranah kualitas pendidikan yang penting dan mendesak untuk diperhatikan pengembangannya adalah ranah evaluasi pendidikan karena merupakan inti dan dasar tolok ukur keberhasilan dalam proses pembelajaran. Jika proses pembelajaran tidak optimal, kualitas pendidikan dan pembelajaran akan menurun sehingga mempengaruhi citra perguruan tinggi di tengah masyarakat. Pada penelitian ini dicoba untuk meninjau kembali proses penyelesaian Skripsi yang selama ini merupakan salah-satu faktor penghambat terutama dalam 1
2
ketepatan waktu penyelesaian Skripsi dan jaminan mutu Skripsi. Hal ini berakibat pada penumpukan jumlah mahasiswa menjelang akhir masa studi karena tidak berimbang antara jumlah mahasiswa yang diterima dan lulus tepat waktu. Oleh karena itu perlu segera dilakukan penelusuran terhadap faktor penyebab dan perbaikan terhadap proses bimbingan Skripsi khususnya dalam ketepatan waktu penyelesaian Skripsi dan kualitas pembelajaran Skripsi mahasiswa secara menyeluruh di Fakultas XY (Perguruan Tinggi Universitas X FakultasY). Penyusunan
Skripsi
bertujuan
untuk
meningkatkan
kompetensi
keterampilan berpikir mahasiswa guna dapat: (1) meningkatkan kemampuan logika berpikir ilmiah mahasiswa; (2) meningkatkan kemampuan metode penelitian dalam operasionalisasi karya ilmiah; (3) meningkatkan kemampuan berargumentasi secara teoretik; (4) meningkatkan sikap kritis mahasiswa dalam melihat sumbangan yang dapat diberikan oleh disiplin ilmu yang dipelajari terhadap masalah yang lebih luas (Ubaya, 2007). Tugas Skripsi ini memang tepat sekali untuk mengasah dan meningkatkan daya nalar mahasiswa secara komprehensif dan integratif melalui projek penelitian.
Dengan
demikian
mahasiswa
diharapkan
mampu
untuk
mengintegrasikan seluruh pengetahuan yang telah dipelajari sesuai dengan bidang disiplin keilmuan melalui pengalaman praktik penelitian (integrative experience). Persoalannya, mahasiswa belum cukup mampu untuk memadukan pengetahuan dan minat keilmuan mulai dari proses penyusunan proposal Skripsi hingga penelitian dan penyusunan laporan akhir Skripsi karena mahasiswa masih belum cukup berpengalaman (pemula).
3
Hal ini tampak pada saat mahasiswa mengikuti Mata kuliah Penyusunan Proposal Penelitian (PPP) dengan bobot 3 SKS (satuan kredit semester) sebagai prasyarat dengan nilai minimal C sebelum mengikuti Mata kuliah Skripsi dengan bobot 6 SKS. Mata kuliah PPP memang dimaksudkan untuk membantu dan mempermudah mahasiswa mampu menyusun proposal Skripsi yang memadai sehingga diharapkan dapat memperlancar dan mempercepat proses bimbingan Skripsi hingga ujian Skripsi. Pada kenyataannya proposal Skripsi masih dilakukan perbaikan dan bahkan kemungkinan besar diulang penyusunannya dalam proses bimbingan Skripsi. Dengan kata lain proses pembelajaran Mata kuliah PPP juga perlu ditinjau ulang efektivitas dan efisiensinya sehingga proses penyelesaian Skripsi dapat tepat sasaran dan tepat waktu. Faktor efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran pada Mata kuliah PPP berdampak pada luaran proses belajar. Proses bimbingan Skripsi yang semestinya sudah bisa langsung dilanjutkan pada tahap penelitian (pengambilan data), analisis hasil data dan pembahasan, terpaksa membutuhkan waktu tambahan. Padahal waktu penyelesaian Skripsi setelah lulus PPP diprogramkan maksimal satu semester namun kenyataannya sebagian besar mahasiswa menyelesaikan Skripsi lebih dari satu semester. Sebagian besar mahasiswa selama tahun akademik 20072009 tercatat 142 mahasiswa (24,1%) yang menyelesaikan Skripsi 5-7 bulan dan sejumlah 155 mahasiswa (26,3%) yang menyelesaikan Skripsi 11-13 bulan. Dari segi waktu penyelesaian tugas Skripsi pada kurun waktu tahun akademik 2002-2009, data administrasi akademik menunjukkan dari 1800 mahasiswa, 674 mahasiswa (37,44%) selesai dalam waktu 0 – 9 bulan,
4
878 mahasiswa (48,78%) selesai dalam waktu 10 – 19 bulan dan 248 mahasiswa (13,78%) selesai dalam waktu 20 bulan. Pada data ditemukan modus (jumlah tertinggi), 391 mahasiswa (21,6%) yang menyelesaikan tugas Skripsi dalam kurun waktu antara 5 – 7 bulan dan 434 mahasiswa (23,7%) selesai dalam waktu antara 10 – 12 bulan. Idealnya, mahasiswa mampu menyelesaikan Skripsi maksimal selama satu semester (efektif empat bulan). Memang sejak diterapkan Mata kuliah PPP sebagai prasyarat Mata kuliah Skripsi pada tahun akademik 2004-2005, waktu penyelesaian Skripsi relatif lebih cepat (rerata 6 bulan) dan jumlah lulusan mahasiswa peserta Skripsi tiap semester tahun akademik juga meningkat, dari tahun akademik 2002-2003 sebanyak 187 mahasiswa menjadi 299 mahasiswa pada tahun akademik 2006-2007 (meningkat 37,5%). Sementara itu mulai tahun akademik 2007-2008 hingga 2009-2010 jumlah lulusan mahasiswa berangsur menurun (36,5%) dengan rerata 190 mahasiswa tiap tahun seiring dengan jumlah mahasiswa yang diterima juga cenderung menurun. Penundaan waktu penyelesaian Skripsi ternyata juga tampak pada data administrasi akademik mahasiswa yang belum lulus Skripsi. Ditemukan dari 308 mahasiswa yang belum lulus Skripsi sejak proposal disetujui oleh dosen pembimbing dalam kurun waktu tahun akademik 2002 – 2009, 94 mahasiswa (30,53%) sudah
melalui proses bimbingan selama 1 – 9 bulan, 59 mahasiswa
(19,16%) selama 10 – 19 bulan, dan 155 mahasiswa (50,32%) selama 20 bulan bimbingan Skripsi. Hal ini berarti, seluruh mahasiswa yang tercatat ini tergolong terlambat dalam penyelesaian Skripsi karena sudah lebih dari enam bulan.
5
Data tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa mengalami permasalahan dalam penyusunan Skripsi, seperti: (a) penyusunan proposal Skripsi pada Mata kuliah PPP yang belum tuntas dan optimal; (b) timbul kecenderungan gejala kelelahan, kebosanan dan stres akademik mahasiswa pada saat menyusun Skripsi mencapai 72,43%; dan (c) penundaaan penyelesaian tugas belajar, termasuk Skripsi mencapai 92,1% (Tjahjoanggoro, 2007). Fenomena masalah tersebut ditunjang pula dengan beberapa temuan dalam penelitian Skripsi tentang dinamika persoalan penyelesaian Skripsi pada mahasiswa Fakultas XY. Wiwara (2006) dan Minara (2006) melaporkan bahwa 65,7 % mahasiswa mengalami kebosanan dalam penyelesaian Skripsi dan 62,7% mengalami stres akademik. Minara (2006) dan Setioso (2007) melaporkan bahwa 46,2% mahasiswa sering merasakan pusing dan lelah dalam proses penyelesaian Skripsi sehingga mempengaruhi kebugaran dan kesehatan. Dengan demikian kondisi kelelahan, kebosanan dan stres akademik diprediksikan sebagai akibat dari beban kognitif berlebih dalam penyelesaian Skripsi. Sia (2010) menemukan sebanyak 45,4% mahasiswa Fakultas XY menunda menyelesaikan Skripsi dengan alasan: (a) khawatir dosen tidak menyetujui hasil kerja mahasiswa (50,9%); (b) kesulitan menentukan topik yang dikaji dalam penulisan Skripsi (49,1%); (c) mahasiswa disibukkan dengan kegiatan lain yang harus dilakukan (41,4%); (d) kurang komunikasi dengan dosen pembimbing (35,3%); (e) khawatir memperoleh nilai yang tidak memuaskan (65,1%); (f) terbiasa mengerjakan tugas pada menit-menit terakhir (51,3%); (g) terpengaruh oleh
teman-teman
sekelas
yang
belum
mengerjakan
Skripsi
(30,2%);
6
(h)
khawatir
gagal
memenuhi
harapan
diri
mahasiswa
(54,3%);
dan
(i) merasa malas untuk mengerjakan tugas (49,1%). Penundaan waktu dalam penyelesaian Skripsi terutama karena faktor rasio antara dosen pembimbing dan mahasiswa yang besar (1:20) sehingga perhatian mahasiswa dan dosen pembimbing kurang fokus dan intensif. Idealnya, diharapkan rasio berkisar antara 1:5-10 namun rupanya sulit tercapai karena jumlah dosen Pembimbing Skripsi yang masih terbatas (35 dosen) dan kebijakan untuk menambah dosen masih belum memungkinkan, ditambah dengan kesibukan dosen dalam aktivitas tridharma perguruan tinggi dan kegiatan ekstra kampus yang tak terelakkan. Faktor penyebab utama lain adalah beban kognitif yang tinggi sejak penyusunan proposal Skripsi sampai pada proses bimbingan Skripsi sehingga menjadi kendala untuk menyelesaikan Skripsi tepat waktu dan bermutu. Kondisi yang kurang kondusif tersebut menurunkan motivasi mahasiswa untuk menyelesaikan Skripsi secara optimal. Oleh karena itu cara yang tepat untuk mengatasi masalah penyelesaian Skripsi yaitu dilakukan pembaharuan metode bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok. Dengan demikian diharapkan mahasiswa dapat menyelesaikan Skripsi maksimum selama satu semester (efektif empat bulan), kualitas penulisan mencapai standar kompetensi minimal, tingkat kepuasan mahasiswa dan dosen meningkat, keterampilan berpikir mahasiswa meningkat, serta gejala kelelahan, kebosanan dan stres akademik menurun.
7
Sejauh ini ada beberapa dosen pembimbing (kurang lebih 50%) yang sudah menerapkan bimbingan Skripsi secara berkelompok (Thesis Support Group – TSG). Kelebihannya adalah: (a) efisiensi dari segi waktu, tenaga dan pikiran; (b) saling memperkaya wawasan pengetahuan antar mahasiswa dan dosen; (c) saling memotivasi satu sama lain untuk menyelesaikan Skripsi dalam waktu yang bersamaan; (d) mengoptimalkan beban kognitif mahasiswa melalui metode bimbingan yang tepat dan menyenangkan; dan (e) melatih keterampilan komunikasi efektif bagi mahasiswa khususnya dalam interaksi ilmiah. Prinsip ergonomi yang diterapkan pada bimbingan Skripsi berbasis pada pendekatan total dengan menerapkan TTG (tekonologi tepat guna) dan menggunakan pendekatan SHIP (sistemik, holistik, interdisipliner, partisipatori). Implementasi pendekatan ergonomi total dalam penelitian, yaitu: (a) pengaturan jadwal bimbingan Skripsi secara berkelompok secara rutin minimal seminggu sekali dua jam sesuai kesepakatan bersama antara dosen Pembimbing Skripsi dan mahasiswa; (b) penentuan materi dan target bimbingan Skripsi secara berkelompok dengan proses evaluasi pembelajaran yang intensif seminggu sekali; (c) penataan ruang bimbingan Skripsi secara berkelompok yang dirancang sesuai dengan standar pengaturan suhu, cahaya, kebisingan, meja-kursi dan fasilitas pembelajaran yang memadai; (d) metode bimbingan Skripsi yang runtut, mudah dipahami dan menyenangkan serta sesuai dengan daya nalar dan daya tarik mahasiswa; dan (e) menciptakan situasi komunikasi terbuka dan saling percaya antar dosen dan mahasiswa baik untuk kepentingan Skripsi maupun persoalan pribadi.
8
Cara penyelesaian Skripsi yang efisien dan efektif melalui penerapan bimbingan Skripsi secara berkelompok juga didukung dan bersumber dari beberapa hasil penelitian tentang proses penyelesaian Skripsi pada mahasiswa Fakultas XY. Rekomendasi utama dari beberapa hasil penelitian tersebut (Wisnuwardhana, 2000; Zefania, 2003; Kingofong, 2004; Widhaningrum, 2005; Wiwara, 2006; Minara, 2006; Setyawan, 2006; Yustyowati, 2006; Setioso, 2007; Hariyanti, 2008) pada intinya dinyatakan, yaitu untuk dapat meningkatkan intensitas dan kualitas bimbingan Skripsi seyogyanya dilakukan dengan pertemuan rutin secara berkala dan berkelompok. Tujuannya terutama adalah sebagai media untuk berdiskusi dan saling berbagi pengalaman antar mahasiswa agar dapat saling meneguhkan dan memotivasi dalam menyelesaikan Skripsi secara bersama-sama dengan lebih cepat dan tepat. Oleh karena itu dalam penelitian ini dicoba untuk menguji efisiensi dan efektivitas aplikasi bimbingan Skripsi secara berkelompok dengan membandingkan antara pola konvensional dan berbasis ergonomi. Pada penelitian eksperimental ini dicoba untuk menguji rancangan bimbingan Skripsi secara berkelompok berbasis ergonomi, apakah dapat meningkatkan kualitas pembelajaran Skripsi yang lebih baik dibandingkan dengan bimbingan Skripsi secara berkelompok yang konvensional. Pendekatan ergonomi terutama diterapkan untuk mengoptimalkan kualitas pembelajaran Skripsi yang dinilai dari penurunan kelelahan, kebosanan dan stress akademik serta peningkatan keterampilan berpikir dan luaran proses belajar secara menyeluruh dan terpadu khususnya terkait dengan pengaturan bimbingan Skripsi yang lebih
9
efisien dan efektif. Perbaikan bimbingan Skripsi berbasis ergonomi dilakukan mulai dari: (a) proses bimbingan dalam penyusunan proposal Skripsi setelah lulus Mata kuliah PPP; (b) perencanaan penelitian lapangan yang lebih matang dan rinci operasional dengan pemantauan yang intensif; (c) proses bimbingan penulisan laporan penelitian Skripsi dan latihan presentasi dengan diskusi interaktif bersama dosen Pembimbing Skripsi dan beberapa dosen lain serta para mahasiswa hingga siap untuk diujikan; (d) metode pembelajaran Skripsi yang lebih menekankan untuk mengoptimalkan beban kognitif melalui upaya minimalisasi tingkat kesulitan belajar dan memperbaharui cara bimbingan Skripsi yang lebih kooperatif sehingga mahasiswa dan dosen merasa ringan beban belajarnya dan suasana belajar menyenangkan untuk memacu semangat dan motivasi belajar yang lebih tinggi; (e) ditunjang pula dengan fasilitasi konseling kelompok untuk antisipasi dan pencegahan serta membantu mengatasi persoalanpersoalan pribadi yang dialami mahasiswa dan menghambat proses penyelesaian Skripsi, serta (f) penataan ruang bimbingan Skripsi yang lebih memadai dari segi tempat dengan kapasitas 1-10 mahasiswa, fasilitas penunjang (LCD, komputer untuk akses informasi melalui internet, whiteboard, papan memo dan pajang), mikroklimat yang nyaman dari aspek kebisingan, suhu, kelembaban dan cahaya. Aplikasi bimbingan Skripsi berbasis ergonomi seperti yang telah dijabarkan secara garis besar tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang dinilai dari penurunan kelelahan, kebosanan dan stres akademik mahasiswa serta peningkatan keterampilan berpikir dan luaran proses
10
belajar mahasiswa sehingga proses penyelesaian Skripsi dapat dilakukan secara tepat waktu dan bermutu.
1.2 Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang tersebut yang difokuskan pada peningkatan kualitas pembelajaran mahasiswa yang dinilai dari indikator kelelahan, kebosanan dan stres akademik, keterampilan berpikir dan luaran proses belajar dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut: 1) Apakah bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari penurunan kelelahan mahasiswa? 2) Apakah bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari penurunan kebosanan mahasiswa? 3) Apakah bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari penurunan stres akademik mahasiswa? 4) Apakah bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari peningkatan keterampilan berpikir mahasiswa? 5) Apakah bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari peningkatan luaran proses belajar mahasiswa?
11
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui
bimbingan
Skripsi
berbasis
ergonomi
secara
berkelompok
meningkatkan kualitas pembelajaran mahasiswa.
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini sebagai berikut: 1) Mengetahui bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari penurunan kelelahan mahasiswa. 2) Mengetahui bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari penurunan kebosanan mahasiswa. 3) Mengetahui bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari penurunan stres akademik mahasiswa. 4) Mengetahui bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari peningkatan keterampilan berpikir mahasiswa. 5) Mengetahui bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari peningkatan luaran proses belajar mahasiswa.
12
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut: 1) Dimanfaatkan
sebagai
pengembangan
keilmuan
ergonomi
melalui
pemahaman komprehensif multi-interdisipliner yang diterapkan dalam mengatasi masalah khususnya di bidang pendidikan/pembelajaran (ergonomi di bidang pendidikan). 2) Dimanfaatkan sebagai perspektif ergonomi kognitif dan afektif dalam proses pembelajaran yang dikembangkan dan diterapkan dalam upaya peningkatan kualitas manusia yang bersumber daya dan teknologi informasi.
1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut: 1) Dimanfaatkan sebagai acuan di dalam proses bimbingan Skripsi yang mengarah pada upaya peningkatan kualitas pembelajaran. 2) Dimanfaatkan sebagai masukan kepada pihak lembaga guna meningkatkan kualitas proses bimbingan Skripsi yang bermuara pada peningkatan jumlah lulusan dan mempercepat waktu penyusunan Skripsi. 3) Dimanfaatkan sebagai sumber informasi bagi dosen Pembimbing Skripsi sehingga penerapan ergonomi dalam proses bimbingan menjadi suatu keharusan.
13
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ergonomi dalam Pembelajaran Istilah ‘ergonomi’ berasal dari kata dalam bahasa Yunani ‘ergon’ (=kerja) dan ‘nomos’ (=tatacara). Secara harafiah ergonomi dapat diartikan ‘tatacara kerja’. Dalam arti, segala aktivitas yang dilakukan manusia terkait dengan pekerjaan semestinya disesuaikan dengan kondisi fisik dan mental manusia. Selain itu pekerjaan yang dilakukan perlu disesuaikan dengan lingkungan kerjanya. Tujuan utama dari ‘tata cara kerja’ tersebut adalah tercipta kondisi kerja yang ‘nyaman’ secara menyeluruh. Artinya, efisien, nyaman, aman, sehat, efektif, produktif dan profit (disingkat: enasepp) sehingga diharapkan hasil kerjanya optimal dan memuaskan berbagai pihak yang berkepentingan. Demikian pula prinsip ENASE(PP) ini juga berlaku dan tepat diterapkan dalam lingkup pembelajaran (Sutajaya, 2006). Manuaba (1996) mengemukakan definisi bahwa ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menyerasikan alat, cara kerja dan lingkungan pada kemampuan, kebolehan dan batasan manusia agar diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas yang setinggi-tingginya. Selanjutnya
IEA
(International
Ergonomic
mengemukakan definisi ergonomi sebagai berikut: 13
Association)
juga
14
Ergonomi (faktor insani) merupakan disiplin ilmu yang terutama bertujuan untuk memahami interaksi antar manusia dan unsur lain dari sistem, dan merupakan profesi yang menerapkan teori, prinsip, data dan metode untuk merancang agar mengoptimalkan kesejahteraan manusia dan kinerja sistem secara menyeluruh (IEA, 2010). Lebih lanjut IEA mengemukakan tentang batasan profesi ergonom seperti pernyataan berikut ini. Ergonom adalah individu dengan bekal pengetahuan dan keterampilannya melakukan analisis interaksi manusia-sistem dan rancangan sistem untuk mengoptimalkan kesejahteraan manusia dan kinerja sistem secara menyeluruh (IEA, 2010). Prinsip ‘tatacara kerja’ ini sebetulnya bersifat universal, berlaku bagi manusia dalam melakukan aktivitas di mana pun berada, termasuk dalam bidang pendidikan atau khususnya pembelajaran. Manusia harus merupakan fokus sentral dalam konteks perancangan apapun, termasuk dalam proses pembelajaran. Aktivitas belajar sebetulnya juga merupakan aktivitas kerja manusia baik secara fisik maupun mental termasuk dalam konteks lingkungan pembelajaran yang kompleks. Mulai dari aspek jasmani fisiologis indrawi, konsumsi energi, kelelahan, keluhan muskuloskeletal, efek kebosanan hingga terkait dengan proses kerja mental yang bersifat kognitif, afektif dan konatif serta relasi sosial dengan sesama pebelajar. Implikasi dan implementasi dari penerapan ergonomi dapat meluas di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang pembelajaran. Oleh karena itu
15
pengertian harafiah ’ergo’ dalam konteks kerja, dapat diperluas pada aktivitas manusia termasuk dalam konteks belajar. Pada dasarnya segala sesuatu yang terkait dengan aktivitas manusia berarti ergon, kerja dan atau belajar. Bahkan pada hakikatnya dapat ditafsirkan pula bahwa di dalam kerja ada proses belajar, sebaliknya di dalam belajar ada kegiatan kerja, baik secara fisik maupun mental. Dengan demikian hubungan timbal balik antara kerja dan belajar menunjukkan kesatuan yang utuh, saling melengkapi satu-sama lain. Khusus dalam penelitian ini prinsip-prinsip ergonomi diterapkan di lingkungan pendidikan dalam konteks pembelajaran di perguruan tinggi. Adapun bidang kegiatan yang difokuskan dalam penelitian ini adalah terkait dengan proses bimbingan Skripsi. Demikian pula analog dengan aktivitas belajar, sering dilupakan bahwa siswa atau mahasiswa merupakan insan yang mempunyai kemampuan, kebolehan dan keterbatasan tertentu yang seharusnya digunakan sebagai parameter fisiologis terkait dengan kardiovaskular, kemampuan otot, kebutuhan energi (nutrisi) dan faktor psikofisiologis lainnya seperti bosan, malas, emosi, sulit konsentrasi dan lain-lain (Sutajaya, 2006). Berdasarkan pendapat tersebut perlu diterapkan prinsip-prinsip ergonomi dalam
proses
pembelajaran
untuk
meminimalkan
kelelahan,
keluhan
muskuloskeletal dan kebosanan sehingga ketelitian, kecepatan dan konstansi kerja serta kualitas proses pembelajaran dapat ditingkatkan (Sutajaya, 2006). Lebih jauh lagi, prinsip ergonomi diharapkan berorientasi pada azas ENASEPP (efektif, nyaman, aman, sehat, efisien, produktif, profit). Sementara itu prinsip
16
pembelajaran seyogyanya berorientasi pada azas PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, menyenangkan). Tepat sekali apabila prinsip ergonomi dapat dipadukan dan diterapkan dalam proses pembelajaran sehingga kualitas pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Selain itu perlu dikaji pula secara ergonomis aspek lingkungan tempat belajar yang menunjang seperti disain interior ruang belajar yang meliputi desain tempat duduk, meja belajar, penempatan papan tulis dan layar LCD/OHP, pencahayaan, besaran huruf tulisan, tata suara, kebisingan, mikroklimat. Perlu diperhatikan pula disain eksterior kampus yang juga ikut menunjang seperti kondisi selasar, penataan ruang, ketersediaan kantin, ruang pertemuan terbuka, arsitek gedung, makroklimat. Tak kalah penting dan bahkan sering digunakan oleh pebelajar yaitu penggunaan perpustakaan manual dan digital, komputer atau laptop, fasilitas wifi, akses internet dan email, e-learning, handphone. Dengan demikian berarti aktivitas belajar sebetulnya juga cukup kompleks dan perlu mendapatkan perhatian khusus terutama dari segi ergonomi. Hal yang lebih mendasar dalam proses pembelajaran adalah interaksi antara pebelajar dan fasilitator (guru/dosen, asisten). Hal ini terkait dengan aktivitas mental yang meliputi proses kognitif, afektif dan konatif dalam proses psikologi belajar antara pebelajar dan fasilitator. Aktivitas mental dalam proses pembelajaran ini memang tidak kasad mata (intangible) namun dapat dirasakan dan nyata terjadi serta tampak dalam perilaku. Bahkan dalam proses pembelajaran ini aktivitas mental merupakan faktor penentu utama terhadap keberhasilan belajar ditinjau dari aspek luaran proses belajar dan mutu pembelajaran.
17
Kajian dan penelitian mengenai penerapan ergonomi dalam lingkup pembelajaran telah dirintis dan banyak dilakukan secara intensif oleh Sutajaya (2005, 2006) dan Sutajaya & Citrawathi (2007). Selanjutnya Sutajaya (2005) menekankan pada pendekatan SHIP berbasis ergonomi untuk mengurangi kelelahan, keluhan musculoskeletal dan kebosanan serta luaran proses belajar pada mahasiswa. Sutajaya (2006) juga menerbitkan buku pedoman terkait dengan pendekatan ergonomi khususnya dalam bidang pembelajaran. Selain itu Sutajaya bersama Citrawathi (2007) melakukan penelitian terapan dengan pendekatan ergonomi pada proses pembelajaran Mata kuliah tertentu berbasis masalah berbantuan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas perkuliahan dan keterampilan berpikir mahasiswa. Bahasan berikut mengenai ergonomi dalam pembelajaran ini terutama lebih difokuskan pada proses kerja mental dalam proses pembelajaran dengan memperhatikan pula aspek fisiologis serta lingkungan pembelajaran yang menunjang. Diharapkan dengan penataan aktivitas belajar ini luaran proses belajar dan mutu pembelajaran makin meningkat. Melalui aplikasi ergonomi khususnya pada bimbingan Skripsi secara berkelompok diharapkan dapat mengurangi kelelahan, kebosanan, stres akademik, serta meningkatkan keterampilan berpikir mahasiswa (inisiasi, identifikasi, interpretasi, konklusi, integrasi) dan luaran proses belajar (materi penulisan Skripsi, proses bimbingan Skripsi, kualitas pribadi) dalam menyelesaikan tugas Skripsi.
18
2.2 Kualitas dan Ergonomi Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran banyak faktor dan aspek yang perlu dipertimbangkan secara menyeluruh dan saling terkait serta saling berpengaruh satu sama lain. Oleh karena itu manajemen kualitas pembelajaran perlu diimbangi dan diperkuat dengan pendekatan ergonomi. Axelsson (2000) mengemukakan bahwa pada hakikatnya kualitas dan ergonomi saling terkait dan berpengaruh satu sama lain. Pemahaman dan praktik ergonomi dimaksudkan terutama merupakan bangunan pengetahuan mengenai karakteristik, kemampuan dan kebutuhan insani, berperan utama untuk memuaskan manusia sebagai pelanggan, pengguna, pekerja, termasuk pebelajar. Dengan demikian berarti kualitas dan ergonomi merupakan dua pendekatan yang utuh dan terpadu dalam proses perancangan dan pengorganisasian. Ada unsur kesamaan antara kualitas dan ergonomi serta beberapa indikator yang menunjukkan bukti bahwa perancangan ergonomis yang buruk berdampak pada penurunan kualitas. Alhasil, pendekatan kualitas dan ergonomi seyogyanya dipadukan sebagai pendekatan integratif yang efisien dan efektif. Dalam konteks manajemen kualitas, dikenal asumsi bahwa guna mencapai kualitas eksternal yang prima pelanggan internal harus dipuaskan terlebih dahulu (Bergman & Kelfsjo, 1994; Axelsson, 1995; Kristensen & Juhl, 1999). Sementara itu menurut Axelsson (2000), hipotesis yang melandasi asumsi tersebut mudah untuk diuji keabsahannya, yakni jika pekerja menikmati pekerjaannya dan disediakan fasilitas penunjang untuk melakukan pekerjaan dengan baik (kinerja
19
prima), pekerja tersebut kemungkinan besar akan melakukannya dengan lebih baik daripada pekerja berada pada lingkungan kerja yang tidak kondusif. Konsep manajemen kualitas yang modern seperti TQM (Total Quality Management)
dan CI (Continous Improvement), pada prinsipnya menganut
pendekatan yang lebih humanistik (insani) dengan memperhatikan pengembangan manusia dan kehidupan kerja seiring dengan perbaikan kualitas (Axelsson & Bergman, 1999). Konsep kualitas telah dikembangkan jauh melampaui properti fisik produk sebagaimana dikemukakan oleh Oakland (1991) sebagai berikut: ”TQM jauh lebih luas aplikasinya daripada menjamin kualitas produk atau layanan – ini merupakan cara mengelola proses bisnis guna memenuhi kepuasan pelanggan pada setiap tahap, baik secara internal maupun eksternal.” Axelsson (2000) mengemukakan selaras dengan pendekatan kualitas bidang ergonomi telah mengembangkan sejak awal mula fokus pada masalahmasalah fisiologis dan psikologik dalam konteks interaksi manusia-mesin dan proses kognitif. Selanjutnya konsep pendekatan ergonomi makin mengembangkan konsep pendekatan yang jauh lebih holistik dalam konteks organisasi. Menurut Dray (1985) dan Hendrick (1985) pendekatan ergonomi pada era generasi ketiga ini disebut ’makroergonomis’ yang menganut prinsip mendasar bahwa ergonomi seperti teknologi yang lain tidak dapat eksis secara mandiri dari pertimbangan faktor organisasi dan manajemen’ – persis sama dengan konsep TQM (diterjemahkan: Pengendalian Kualitas Terpadu/PKT).
20
Terkait dengan konsep pendekatan kualitas dan ergonomi yang seiring, Axelsson (2000) menunjukkan hubungan paralel antara konsep dan alur proses pendekatan kualitas dan ergonomi pada Gambar 2.1.
KUALITAS Pengawasan/ Inspeksi Kendali/ Kontrol Penjaminan/ Asuransi Perbaikan Bersinambungan
ERGONOMIS
Manajemen Proses
Survei Hubungan Kausal
Pengendalian Kualitas Terpadu Disain Faktor Insani Intervensi Disain SosioTeknikal Makroergonomis
Ranah Konsekuensi
Ranah Aplikasi
Ranah Proses
Prevensi
Progresi
Deteksi
Gambar 2.1 Hubungan paralel antara alur proses pendekatan kualitas dan ergonomi. Dimodifikasi dari Eklund (Axelsson, 2000) Dengan demikian tidak perlu dipertentangkan antara pendekatan kualitas dan ergonomi. Kedua pendekatan ini saling melengkapi dan menjamin keberhasilan
dalam
setiap
proses
tahapan
pengembangan
deteksi
21
(penelusuran/identifikasi), prevensi (pencegahan) dan progresi (peningkatan/ kemajuan). Ibarat dua sisi mata uang dalam satu koin, demikian pula pendekatan kualitas dan ergonomi merupakan kesatuan yang utuh dan terpadu sehingga saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain untuk mencapai kinerja prima dan lingkungan kerja yang kondusif dan konstruktif. Dampak dari pendekatan kualitas dan ergonomi dalam mengatasi masalah tertentu dengan proses perbaikan yang bersinambungan, mendekati hampir semua aspek terkait masalah tersebut dapat diatasi secara menyeluruh, komprehensif dan integratif sehingga dapat menjamin pengembangan kinerja dengan kualitas yang lebih baik secara berkelanjutan (sustainable development). Kriteria kualitas produk dan layanan yang dicapai dengan pendekatan dan disain ergonomi, yakni termaktub dalam akronim ENASEPP: efisien, nyaman, aman, sehat, efektif, produktif, profit (Sutjana, 2000). Dalam arti, disain ergonomi berhasil jika produk dan layanan yang dihasilkan berdayaguna (efisien) dan tepat guna (efektif). Dengan sumber daya yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal guna menghasilkan produk dan layanan yang mudah bagi pengguna dan ramah lingkungan. Disain ergonomi tidak perlu mengandalkan teknologi tinggi dan mahal biayanya. Perlu kearifan untuk memanfaatkan sumber daya setempat yang unik dan spesifik guna mendisain produk dan layanan yang prima. Selain efisien dan efektif, produk dan layanan yang didisain secara ergonomis seyogyanya disesuaikan dengan karakteristik manusia baik secara dan mental, terhindar dari kemungkinan cedera/celaka, kesehatan jasmani dan jiwa terjamin. Lebih jauh daripada itu disain produk dan layanan yang ergonomis
22
hendaknya bersifat produktif (banyak dan variatif serta kreatif dan inovatif) dan profit
(menguntungkan/memuaskan
semua
pihak
yang
berkepentingan/
stakeholders).
2.3 Pendekatan Ergonomi Total Terkait dengan proses pembelajaran Skripsi, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian eksperimental dengan merancang bimbingan Skripsi secara berkelompok yang berbasis pada pendekatan ergonomi kognitif. Model pendekatan pembelajaran yang dipilih adalah PAKEM (Suparlan dkk., 2008) untuk menunjang proses pembelajaran Skripsi sehingga dihasilkan kinerja pembelajaran yang optimal. Dengan mempertimbangkan semua aspek terkait untuk merancang pembelajaran Skripsi secara ergonomis yang lebih menekankan pada pendekatan kognitif berarti disain pembelajaran yang dilakukan sudah menerapkan pendekatan ergonomi total (PET). Konsep PET telah dirintis dan digagas oleh Manuaba sejak tahun 1969 (Manuaba, 1998). Pada awal mulanya Manuaba (1998, 2005a) menganjurkan untuk menggunakan konsep berpikir ‘holistik’ yang dituangkan dalam ergonomi’ untuk menelusuri
‘aspek
dan mengidentifikasi masalah ergonomi di
lingkungan kerja yang meliputi delapan aspek sebagai berikut:
23
1.
Nutrisi/gizi kerja Seberapa besar pekerja sudah mengasup makanan dan minuman sebagai sumber energi selama bekerja, seimbang antara cadangan energi dalam tubuh dan energi kerja.
2.
Pemanfaatan otot Seberapa besar pekerja memanfaatkan tenaga otot untuk melakukan pekerjaan secara optimal dan efisien melalui rancang dan latihan kerja sehingga mengurangi beban kerja yang berlebihan.
3.
Sikap/postur kerja Cara kerja yang kurang tepat dan sering lembur akan mengakibatkan cedera otot dan berdampak negatif pada kesehatan sehingga perlu selalu diperbaiki posisi kepala, tubuh dan kaki disesuaikan dengan aktivitas kerja dan ruang kerja.
4.
Kondisi lingkungan Pengukuran terhadap intensitas panas, cahaya, kebisingan dan vibrasi untuk mencegah kemungkinan cedera fisik dan gangguan mental.
5.
Kondisi waktu Seberapa lama pekerja melakukan aktivitas kerja, pengaturan waktu kerja termasuk istirahat kerja, hari libur, pola giliran kerja agar mengurangi kelelahan dan dampaknya terhadap kesejahteraan lahir-batin pekerja.
6.
Kondisi sosial Seberapa besar pekerja mendapatkan penghargaan terhadap kinerja, pengelolaan sistem kerja dan kualitas interaksi sosial antar pekerja sehingga mampu meningkatkan harga diri dan kepuasan pekerja serta mengurangi tingkat stres psikologik dan menjamin kesehatan akibat kerja.
7.
Kondisi informasi Seberapa banyak dan kualitas informasi yang dibutuhkan pekerja untuk memenuhi standar kinerja yang memuaskan karena jika tuntutan kerja melebihi kapasitas kerja, pekerja akan mengalami gangguan fisik dan mental.
24
8.
Interaksi manusia-mesin Seberapa besar pekerja mampu mengoperasikan, mengendalikan dan bereaksi terhadap mekanisme alat kerja; sebaliknya jika tuntutan penguasaan operasi alat kerja (mesin) melebihi kapasitas pekerja, akibatnya justeru kesehatan pekerja akan terganggu.
Selanjutnya Manuaba melengkapi konsep pendekatan holistik, dengan konsep pendekatan sistemik, interdisipliner dan partisipatori. Ketika Manuaba bertugas di ILO (International Labour Organization) di Geneva pada tahun 1977, Manuaba (1998) menemukan dan mengajukan kembali gagasan mengenai konsep pendekatan Teknologi Tepat Guna/TTG (Appropriate Technology).
Dalam
konsep TTG dikemukakan ada enam kriteria untuk mendisain perbaikan teknologi guna mengatasi persoalan secara ergonomis dengan enam standarisasi sebagai berikut: 1. Teknik
: secara teknis lebih efisien
2. Ekonomi
: secara ekonomis lebih produktif
3. Ergonomi
: secara ergonomis tidak menimbulkan kecelakaan/ penyakit
4. Sosial-budaya : secara sosial-budaya bisa dipertanggungjawabkan 5. Sumber energi : hemat energi 6. Lingkungan
: melestarikan lingkungan
Tepat pada tahun 1999 gagasan awal Manuaba (1998) tentang pendekatan holistik, sistemik, interdisipliner dan partisipatori diakui dan dikukuhkan oleh komunitas pada forum International Tripartite di Geneva, yakni dengan sebutan
25
ilmiah S.H.I.P (sistemik, holistik, interdisipliner dan partisipatori) agar mudah dikenal dan diingat. Tiap strategi pendekatan SHIP (Manuaba, 1998) tersebut dapat dijabarkan dengan pengertian sebagai berikut: 1.
Sistemik Seluruh faktor yang ada dalam sistem atau diasumsikan dapat menimbulkan persoalan harus dirangkum dan dikaji semuanya. Dengan pola pikir dan cara bertindak demikian, diharapkan tidak ada persoalan yang tertinggal atau mungkin muncul tiba-tiba sementara persoalan tersebut sudah ada pada sistem yang sama.
2.
Holistik Semua faktor dan sistem terkait atau yang diasumsikan berkaitan dengan persoalan secara tidak langsung, seyogyanya diselesaikan secara proaktif dan menyeluruh.
3.
Interdisipliner Semua disiplin ilmu dan profesi harus digunakan bersama karena kompleksitas persoalan yang sedang terjadi. Hanya menggunakan penerapan satu displin ilmu dan profesi saja tidak akan berhasil.
4.
Partisipatori Para pekerja dan pengguna harus dilibatkan sedini mungkin dalam proses kerja dan produk yang benar-benar efektif dan efisien untuk memenuhi tuntutan/ kebutuhan.
26
Pengembangan keilmuan ergonomi, sejak tahun 2005 (sebetulnya sudah dirintis pada tahun 1994) Manuaba (2007) mendeklarasikan konsep Pendekatan Ergonomi Total (PET) sebagai himpunan dan sinergi dari konsep pendekatan Aspek Ergonomi, SHIP dan TTG. Konsep PET ini telah teruji melalui penerapan dalam penelitian ergonomi yang dilakukan oleh Manuaba (2003b, 2005abc), para mahasiswa pascasarjana dan doktoral Program Pascasarjana Universitas Udayana Bidang Peminatan Ergonomi hingga sekarang. Konsep PET dapat diterapkan pada semua bidang kegiatan usaha dan kerja, termasuk dalam lingkup pembelajaran. Oleh karena itu kajian ergonomi dalam disain pembelajaran Skripsi yang digunakan dalam penelitian ini selanjutnya adalah penerapan konsep PET termasuk pada perancangan pendekatan pembelajaran PAKEM yang lebih difokuskan pada desain ergonomi kognitif dalam pembelajaran Skripsi bagi mahasiswa tugas Skripsi. Diharapkan dengan penerapan konsep PET, hasil penelitian eksperimental dan kinerja belajar dalam proses pembelajaran Skripsi bagi mahasiswa tugas Skripsi dapat meningkat signifikan secara optimal sehingga berdampak pada peningkatan kinerja pembelajaran secara menyeluruh.
2.4 Pembelajaran Skripsi Strategi pembelajaran yang dimaksudkan adalah terkait dengan strategi manajemen pembelajaran. Dalam arti, bagaimana proses pembelajaran dikelola mulai dari rancangan kurikulum, manajemen kelas hingga penilaian hasil belajar. Dalam penelitian ini strategi pembelajaran dibatasi pada Mata kuliah Skripsi.
27
Pengertian Skripsi menurut Pedoman Mahasiswa 2007-2008 Fakultas XY adalah laporan penelitian ilmiah (research project) yang dibuat dan ditulis dalam format academic writing oleh mahasiswa dalam proses bimbingan dengan tujuan sebagai berikut (Ubaya, 2007): 1. Meningkatkan kemampuan logika berpikir ilmiah mahasiswa. 2. Meningkatkan kemampuan metode penelitian dalam operasionalisasi karya ilmiah. 3. Meningkatkan kemampuan berargumentasi secara teoretik. 4. Meningkatkan sikap kritis mahasiswa dalam melihat sumbangan yang dapat diberikan oleh disiplin ilmu yang dipelajari terhadap masalah yang lebih luas. Hal ini berarti Skripsi adalah semacam latihan penelitian sebagai peneliti pemula (novice) yang mengandalkan pemahaman secara komprehensif terkait dengan kemampuan identifikasi masalah, kajian teoritik, penguasaan metode penelitian, teknik pengolahan data kuantitatif/kualitatif, serta ketajaman analisis dan sintesis. Mahasiswa yang diperkenankan untuk mengikuti Mata kuliah Skripsi adalah mahasiswa yang sudah lulus Mata kuliah Penyusunan Proposal Penelitian (PPP) dan satu Mata kuliah minat laboratorium/bagian. Diharapkan hasil penulisan proposal Skripsi dapat ditindaklanjuti dengan proses bimbingan Skripsi yang bertujuan untuk memantapkan proposal penelitian lalu merencanakan pelaksanaan penelitian sekaligus menerapkannya hingga pengolahan data dan pembahasannya.
28
Tujuan penulisan Skripsi sebagaimana telah dipaparkan adalah untuk memenuhi standar minimal kompetensi tertentu. Dengan demikian standar kompetensi dalam penulisan Skripsi merupakan salah-satu bagian dalam proses pendidikan/pembelajaran.
Secara
menyeluruh
standar
proses
pendidikan/pembelajaran dapat digambarkan kaitannya dengan standar yang lain dalam bagan sebagai berikut (Sanjaya, 2006):
Standar Pengelolaan
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Standar Kualitas Lulusan STANDAR PROSES PENDIDIKAN
Standar Penilaian
Standar Isi Standar Sarana dan Prasarana
Standar Pembiayaan
Gambar 2.2 Bagan Hubungan Antara Standar Proses Pendidikan dengan Standar Lainnya (Sanjaya, 2006)
Dalam konteks pembelajaran Skripsi berbasis ergonomi, pada Gambar 2.2 dijelaskan kompleksitas hubungan antara standar proses pendidikan/pembelajaran dan standar yang lain sebagai sistem yang terintegrasi secara menyeluruh
29
(sistemik dan holistik). Dalam arti, standar proses bimbingan Skripsi secara berkelompok yang berbasis ergonomi tergantung dari standar kualitas mahasiswa dan standar materi pembelajaran yang menunjang. Selanjutnya standar proses bimbingan Skripsi secara berkelompok juga masih mengandalkan standar dosen Pembimbing Skripsi dan tenaga administrasi Skripsi serta standar sarana dan prasarana penunjang yang digunakan. Dengan demikian standar proses bimbingan Skripsi secara berkelompok secara tidak langsung akan menentukan dan mempengaruhi standar penilaian Skripsi yang diharapkan mendekati kriteria objektif. Kompleksitas hubungan standar proses bimbingan Skripsi secara berkelompok berimbas pula pada penentuan standar pengelolaan dan pembiayaan. Selanjutnya kembali pada siklus semula bahwasanya standarisasi pengelolaan dan pembiayaan turut mempengaruhi penentuan standar kualitas mahasiswa dan standar materi bimbingan Skripsi secara berkelompok serta pada akhirnya berpengaruh pula terhadap standar penilaian Skripsi. Bukan hal yang mudah untuk menentukan standar proses bimbingan Skripsi secara berkelompok dan standar yang lain karena sangat relatif dan dinamis serta dilematis. Namun demikian penentuan standar proses bimbingan Skripsi secara berkelompok yang berbasis ergonomi dan standar lain tersebut sangat penting guna mencapai kualitas pembelajaran Skripsi yang optimal. Sebelum dibahas lebih lanjut terkait dengan proses pembelajaran Skripsi, berikut ini dipaparkan terlebih dahulu mengenai hakikat dari tiap standar pembelajaran secara spesifik dalam konteks bimbingan Skripsi secara
30
berkelompok. Sebagaimana diungkapkan oleh Sanjaya (2006), bahwasanya dalam proses pembelajaran perlu ditentukan standar pembelajaran dalam beberapa ranah yang saling terkait satu sama lain untuk dipadukan secara menyeluruh (sistemik dan
holistik)
sehingga
mempengaruhi
hasil
pembelajaran
sebagaimana
diharapkan. Standar dalam proses pembelajaran dinamakan standar proses pembelajaran yang terkait dengan standar pembelajaran lainnya seperti dipaparkan pada Gambar 2.2.
2.4.1 Standar Proses Bimbingan Skripsi Tampak jelas bahwa standar proses bimbingan Skripsi secara berkelompok merupakan fokus utama yang mempengaruhi hasil pembelajaran Skripsi yang diharapkan. Oleh karena itu diperlukan standarisasi dalam proses bimbingan Skripsi secara berkelompok yang berbasis ergonomi. Dalam arti, perlu dikaji lebih dulu melalui evaluasi terhadap proses bimbingan Skripsi yang dilakukan secara individual dan secara berkelompok yang selama ini sudah dilakukan (konvensional) terkait dengan kelebihan dan kelemahan. Bimbingan Skripsi secara individual memang ideal dan efektif karena diharapkan dampingan dosen Pembimbing Skripsi terhadap mahasiswa dapat lebih intensif. Selain itu otonomi mahasiswa terjamin karena bebas untuk berdiskusi dengan dosen Pembimbing Skripsi dan leluasa untuk menentukan jadwal bimbingan Skripsi. Bagi mahasiswa yang rajin dan tekun serta disiplin dalam manajemen waktu, bimbingan Skripsi secara individual ini sangat membantu kecepatan dalam proses penulisan dan penyelesaian Skripsi, terlebih
31
apabila kemampuan intelektual mahasiswa tergolong tinggi. Namun tidak jarang ditemukan pula sebaliknya, mahasiswa tidak rajin dan tidak tekun serta kurang disiplin dalam manajemen waktu, bahkan mungkin ditunjang lagi kondisi dosen Pembimbing Skripsi yang sibuk dengan kegiatan lain sehingga proses bimbingan Skripsi sedikit tersendat dan akhirnya berdampak pada kelambatan waktu dalam penyelesaian Skripsi sebagaimana diharapkan bisa selesai lebih cepat (maksimal 4-6 bulan). Sementara itu pada proses bimbingan Skripsi secara berkelompok yang selama ini sudah dilakukan sifatnya masih insidental (tidak rutin dan konsisten) jika dosen Pembimbing Skripsi menghendaki. Pada umumnya bimbingan Skripsi secara berkelompok hanya dilakukan beberapa kali saja, lalu bimbingan Skripsi secara individual cenderung lebih dominan dilakukan. Persoalannya, waktu yang tersedia dan inisiatif dari dosen Pembimbing Skripsi relatif terbatas, mengingat baik dosen maupun mahasiswa lebih menghendaki kebebasan dan kemandirian. Mahasiswa relatif masih sulit dan belum terampil untuk mengelola waktu secara efisien dan efektif. Selain itu kebutuhan mahasiswa untuk mendapatkan arahan pembelajaran dari dosen Pembimbing Skripsi masih cukup besar, belum bisa mandiri penuh karena masih belum berpengalaman untuk melakukan penulisan ilmiah melalui projek penelitian (novice/pemula). Akibatnya, ketepatan waktu penyelesaian Skripsi sulit untuk terpenuhi dan kualitas pembelajaran Skripsi kurang optimal. Guna memperbaiki proses bimbingan Skripsi yang konvensional pada pembelajaran berkelompok tersebut, penulis mencoba untuk menawarkan
32
alternatif bimbingan Skripsi secara berkelompok yang berbasis ergonomi dengan mempertimbangkan pula standar pembelajaran lain yang menunjang. 2.4.2 Standar Kualitas Mahasiswa dan Standar Materi Bimbingan Skripsi Sebagaimana telah dikemukakan bahwa ada empat kompetensi utama yang minimal dapat dicapai oleh mahasiswa dalam penulisan Skripsi dengan bobot 6 SKS (satuan kredit semester) (Ubaya, 2007), yaitu: (1) meningkatkan kemampuan logika berpikir ilmiah mahasiswa; (2) meningkatkan kemampuan metode penelitian dalam operasionalisasi karya ilmiah; (3) meningkatkan kemampuan berargumentasi secara teoretik; dan (4) meningkatkan sikap kritis mahasiswa dalam melihat sumbangan yang dapat diberikan oleh disiplin ilmu yang dipelajari terhadap masalah yang lebih luas. Hal ini berarti mahasiswa diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berpikir (kemampuan logika, argumentasi teoretik, sikap kritis) yang ditunjang dengan penguasaan metode penelitian ilmiah. Diasumsikan, materi pembelajaran mengenai teori keilmuan (Mata kuliah umum, Mata kuliah dasar umum, Mata kuliah keahlian) ditambah dengan Mata kuliah metodologi penelitian relatif sudah dikuasai semua oleh mahasiswa. Kenyataannya, pada Mata kuliah PPP (Penyusunan Proposal Penelitian) dengan bobot 3 SKS mahasiswa masih mengalami kesulitan khususnya untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah penelitian. Selain itu pengembangan teori sebagai acuan analisis masalah penelitian juga belum dapat dilakukan secara optimal. Selanjutnya, penguasaan terhadap metode penelitian ilmiah baik secara kuantitatif dan kualitatif dalam konteks penelitian Skripsi juga relatif masih lemah
33
(Kingofong, 2004; Hariyanti, 2008). Persoalannya, bukan terutama pada kemampuan mahasiswa namun keterampilan berpikir untuk mengintegrasikan dan menerapkan pengetahuan dalam penelitian Skripsi masih perlu dilatih secara intensif mengingat mahasiswa masih tergolong pemula dalam penulisan dan penelitian Skripsi. Oleh karena itu diperlukan tahapan matrikulasi dan asistensi sebelum penulisan dan penelitian Skripsi. 2.4.3 Standar Dosen Pembimbing Skripsi dan Tenaga Administrasi Skripsi Dalam proses pengajuan proposal Skripsi dilakukan terlebih dahulu prosedur administrasi melalui kepala bidang peminatan (laboratorium) dan dekanat untuk mendapatkan pengesahan proses bimbingan Skripsi dengan menetapkan satu/dua dosen Pembimbing Skripsi. Di Fakultas XYpada tahun akademik 2010-2011 terdapat 15 dosen Pembimbing Skripsi dengan status pangkat/golongan lektor kepala dan guru besar yang memiliki kewenangan untuk membimbing Skripsi mahasiswa secara mandiri dengan kriteria jabatan minimal Asisten Ahli (III/a, S2/Sp.I) atau Lektor (III/c, S1/D-IV) (Dirjen Dikti, 2000). Selain itu terdaftar sejumlah 25 dosen pembimbing I (termasuk dosen Pembimbing Skripsi tunggal/mandiri) dengan status pangkat/golongan lektor, lektor kepala dan guru besar yang bisa dibantu dengan dosen Pembimbing Skripsi II. Tercatat pada tahun akademik 2010-2011 terdapat 204 mahasiswa yang belum lulus Skripsi. Berarti rasio dosen pembimbing dan mahasiswa Skripsi masih berkisar 1 : 8-10 sehingga masih diperlukan bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok agar lebih efisien dan efektif.
34
Rentang masa kerja dosen Pembimbing Skripsi tunggal atau I berkisar antara 6 – 40 tahun. Pengalaman dosen dalam membimbing Skripsi mahasiswa dapat dikatakan sudah cukup memadai sesuai dengan kompetensi masing-masing dosen pembimbing baik dari segi bidang keilmuan dan metode penelitian. Tercatat pada tahun akademik 2004 (Anonim, 2004) sejumlah 15 dosen Pembimbing Skripsi yang berkompeten pada metode penelitian kualitatif dan 21 dosen Pembimbing Skripsi yang berkompeten pada metode penelitian kuantitatif. Sementara itu terbilang sejumlah 219 mahasiswa Skripsi (37,5%) yang berminat pada penerapan metode penelitian kualitatif dan 365 mahasiswa Skripsi (62,5%) yang berminat pada penerapan metode penelitian kualitatif. Namun perlu diketahui bahwa program studi di FAKULTAS XYtergolong monoprogram meski ada pemilahan enam bidang peminatan (psikologi perkembangan, psikologi klinis, psikologi pendidikan, psikologi sosial, psikologi industri dan organisasi, psikologi umum) dan alternatif metode penelitian. Dengan demikian setiap dosen Pembimbing Skripsi memungkinkan untuk membimbing Skripsi mahasiswa selain kompetensi bidang peminatannya sendiri dan penguasaan alternatif metode penelitian. Selain itu perlu diperhatikan prosedur administrasi mulai dari pengajuan proposal Skripsi setelah dinyatakan lulus dari Mata kuliah PPP (Penyusunan Proposal Penelitian) dengan nilai minimum C kepada kepala laboratorium (bidang peminatan), konfirmasi kesediaan kepada dosen Pembimbing Skripsi yang ditunjuk atau disarankan, pengajuan usulan dosen pembimbing definitif kepada dekan untuk disahkan dan diterbitkan surat tugas dosen Pembimbing Skripsi.
35
Setelah proses awal administrasi Skripsi selesai, mahasiswa bersama dosen pembimbing resmi melakukan proses bimbingan Skripsi maksimal dalam dua semester sesuai dengan kebijakan. Jika lebih dari dua semester penulisan Skripsi masih belum selesai, mahasiswa masih diberi kesempatan sesuai dengan kesepakatan bersama antara dosen Pembimbing Skripsi dan dekanat perpanjangan waktu maksimal satu semester. Jika mahasiswa masih belum selesai setelah masa perpanjangan Skripsi satu semester, mahasiswa diminta untuk mengulangi dari pengajuan proposal Skripsi. Setelah disepakati bersama proses penyelesaian Skripsi antara mahasiswa dan dosen Pembimbing Skripsi dengan pengesahan, mahasiswa mengajukan usulan untuk ujian Skripsi kepada kepala laboratorium dan dekan untuk menetapkan tim penguji (empat dosen, termasuk dosen Pembimbing Skripsi) hingga dinyatakan lulus ujian Skripsi dengan nilai akhir paling rendah C. Diharapkan proses administrasi Skripsi yang menunjang juga perlu dipantau sehingga dapat diketahui kemajuannya baik oleh mahasiswa, dosen pembimbing maupun pimpinan Fakultas XY, termasuk kendala yang dialami sehingga dapat segera diatasi. 2.4.4 Standar Sarana dan Prasarana Bimbingan Skripsi Guna menunjang standar proses bimbingan Skripsi masih diperlukan pula standar sarana dan prasarana dalam melaksanakan bimbingan Skripsi. Pada proses bimbingan Skripsi yang konvensional pada pembelajaran berkelompok, fasilitas yang biasanya dibutuhkan adalah proses bimbingan Skripsi antara satu atau beberapa mahasiswa dan dosen Pembimbing Skripsi di ruang laboratorium/bagian
36
peminatan dengan menggunakan fasilitas meja dan kursi yang saling berhadapan satu sama lain. Waktu bimbingan Skripsi disepakati antara dosen Pembimbing Skripsi dan mahasiswa, jadwal bimbingan Skripsi tidak selalu rutin seminggu sekali. Sementara itu pada bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok menggunakan fasilitas ruang kelas, meja dan kursi, papan tulis, tata suara, komputer, LCD projector, layar monitor, lampu, AC. Dilengkapi lagi dengan administrasi pembelajaran seperti misal daftar presensi siswa/mahasiswa, berita acara guru/dosen, diktat/buku, alat peraga, alat tulis, kertas, flip chart. Fasilitas bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok tersebut sebetulnya relatif sama dengan standar pembelajaran di kelas biasa namun ditambah dengan sedikit fasilitas lain seperti meja bundar (round table) untuk diskusi kelompok yang dilengkapi dengan papan flipchart atau whiteboard. Selain itu fasilitas lain yang disediakan adalah komputer dan LCD projector yang akan digunakan untuk tayangan presentasi sekaligus akses informasi melalui internet dan penggunaan software SPSS (Statistical Package for Social Science) sejauh dibutuhkan. Terkait dengan disain ruang bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok tersebut, dirancang pula mikroklimat (standar pengukuran suhu, cahaya dan kebisingan) yang sesuai dengan kondisi di dalam ruangan. Guna menjaga kenyamanan aliran udara dalam ruang kerja/belajar seyogyanya memenuhi beberapa kriteria perbedaan rerata suhu permukaan berkisar tidak lebih dari 2 – 3° Celsius lebih tinggi atau lebih rendah daripada suhu udara. Sementara
37
itu perbedaan suhu antara di dalam dan di luar ruangan seyogyanya tidak lebih dari 4° Celsius (Sutajaya, 2006). Dari segi pencahayaan, Kroemer dan Grandjean (2000) menyarankan derajat iluminasi dalam ruang kerja khususnya untuk melakukan aktivitas membaca dan menulis terkait dengan kegiatan proses belajar yaitu berkisar antara 500 – 700 lux. Selain itu disarankan pula tingkat kebisingan yang moderat di dalam ruang kerja yang cukup besar dan tenang seyogyanya berkisar antara 46 – 52 dB(A) (decibel audio). 2.4.5 Standar Penilaian Proses Bimbingan Skripsi Selama proses bimbingan Skripsi, dosen Pembimbing Skripsi memberikan penilaian pada dua aspek utama yang dijabarkan dalam beberapa sub-aspek dengan rincian sebagai berikut: 1. Materi (bobot penilaian 40% dari dosen Pembimbing Skripsi dan 20% dari dosen penguji) a. Teknik penulisan: Penggunaan kalimat yang logis dan tepat, kerapian, ketelitian, sesuai penulisan pedoman penyusunan Skripsi yang berlaku. b. Perumusan masalah: Kemampuan
untuk
menemukan
permasalahan
dan
merumuskan
pertanyaan penelitian secara logis. c. Kerangka teori: Penggunaan teori yang sesuai dengan topik penelitian dan perkembangan teori yang ada.
38
d. Ketepatan metodologi: Penggunaan metode penelitian yang sesuai dengan jenis penelitian. e. Kedalaman/ketajaman analisis: Pemahaman terhadap data secara kritis dan elaboratif. f. Hasil guna: Sumbangan teoretis dan atau praktis yang diperoleh dari hasil penelitian. 2. Proses (bobot penilaian 20% dari dosen Pembimbing Skripsi) a. Kemandirian: Kemandirian dalam berbagai tahap penelitian. b. Daya juang: Ketahanan dalam menghadapi hambatan selama proses penelitian. c. Pengambilan data: Usaha memperoleh data yang berkualitas. Beberapa kriteria penilaian hasil proses bimbingan Skripsi tersebut sudah memenuhi tujuan penulisan Skripsi, yaitu mampu berpikir logis, berargumentasi teoretis dan bersikap kritis yang ditunjang dengan penguasaan metode penelitian ilmiah yang memadai. Setelah proses bimbingan Skripsi selesai, mahasiswa masih dituntut untuk presentasi dan mempertanggungjawabkan hasil penulisan Skripsi secara lisan di hadapan empat dosen penguji Skripsi yang terdiri atas ketua tim penguji, sekretaris tim penguji, dosen Pembimbing Skripsi I dan II. Hasil penilaian proses bimbingan Skripsi diserahkan kepada sekretaris tim penguji Skripsi sebelum ujian Skripsi dimulai. Selanjutnya ketua dan sekretaris tim penguji Skripsi juga memberikan penilaian terhadap mahasiswa dalam forum
39
ujian Skripsi khususnya pada kriteria satu aspek yang dijabarkan dalam tiga subaspek dengan rincian sebagai berikut: 3. Presentasi (bobot penilaian 20% dari dosen penguji) a. Penyampaian ide dititikberatkan pada kemampuan untuk menyampaikan pemikirannya secara verbal dan visual. b. Ketepatan jawaban dinilai dari kemampuan dalam memberikan dukungan penalaran secara tepat, jelas dan terarah terkait dengan data, teori dan analisis. c. Sikap ilmiah dinilai dari keterbukaan dalam menerima masukan dan pandangan/argumen alternatif. Pada penelitian ini cakupan pengukuran luaran proses belajar Skripsi meliputi tiga aspek utama, yaitu: (1) meteri penulisan (teknik penulisan, perumusan masalah, kerangka teori, ketepatan metodologi, kedalaman/ketajaman analisis, hasil guna), (2) proses bimbingan (kemandirian, daya juang, pengambilan data, sikap ilmiah), dan (3) kualitas pribadi (kecepatan revisi, interpersonal, disiplin janji, kreativitas, kerjasama). Borang penilaian luaran proses belajar bimbingan Skripsi dapat diperiksa pada Lampiran 5. 2.4.6 Standar Pengelolaan dan Standar Pembiayaan Dalam proses bimbingan Skripsi sudah disediakan dua macam borang (formulir) pemantauan proses bimbingan Skripsi yang dibedakan berdasarkan jenis penelitian Skripsi, yaitu: (a) buku pemantauan Skripsi kuantitatif, dan (b) buku pemantauan Skripsi kualitatif. Buku pemantauan Skripsi ini dilakukan bersama antara mahasiswa dan dosen Pembimbing Skripsi sesuai dengan
40
kesepakatan bersama sekaligus digunakan sebagai progress report perkembangan penulisan Skripsi secara substantif. Hal ini berarti buku pemantauan Skripsi terutama berfungsi sebagai pengendali terhadap proses bimbingan Skripsi hingga penyelesaian penulisan Skripsi. Tak dapat dipungkiri pula dalam proses bimbingan Skripsi baik dosen Pembimbing Skripsi maupun mahasiswa kemungkinan bisa disibukkan dengan kegiatan pribadi lain baik yang akademik maupun non-akademik. Faktor ini dapat menjadi salah-satu faktor penghambat terhadap standar pengelolaan proses bimbingan Skripsi sehingga perlu dicermati sebagai variabel kontrol. Faktor penghambat yang dimaksud pada pihak mahasiswa antara lain adalah jumlah Mata kuliah (besaran SKS=satuan kredit semester) yang masih ditempuh bersamaan dengan Mata kuliah Skripsi, aktivitas lain di kampus (asisten mahasiswa, organisasi kemahasiswaan, kepanitiaan), kegiatan lain di luar kampus (bekerja, organisasi kemasyarakatan), kehidupan keluarga (status menikah) serta kondisi kesehatan. Sementara itu faktor penghambat dari pihak dosen Pembimbing Skripsi antara lain jumlah Mata kuliah yang diampu, jumlah mahasiswa bimbingan Skripsi, jabatan struktural yang diemban, kegiatan kepanitiaan temporer, keikutsertaan dalam forum seminar/lokakarya/simposium/konferensi di lingkup lokal/nasional/internasional, praktik profesi dan keilmuan, kehidupan keluarga (status menikah, jumlah tanggungan), kegiatan sosial-kemasyarakatan serta kondisi kesehatan.
41
Faktor penghambat ini pada prinsipnya sulit untuk dikendalikan kecuali dengan mengandalkan manajemen waktu berdasarkan skala prioritas tingkat kepentingan dan kemendesakan. Oleh karena itu faktor penghambat ini bisa dikendalikan secara tidak langsung melalui manajemen waktu khususnya terkait dengan proses bimbingan Skripsi. Secara teknis dapat dilakukan dengan cara penjadwalan bimbingan
Skripsi secara berkala minimal seminggu sekali,
ditambah dengan bimbingan Skripsi melalui e-mail secara insidental sejauh diperlukan. Pada sisi lain soal pembiayaan penelitian Skripsi sepenuhnya dibebankan kepada mahasiswa yang berkepentingan. Dalam arti, bersamaan dengan penulisan proposal Skripsi mahasiswa juga diminta untuk menetapkan anggaran penelitian yang akan dilakukan hingga penyelesaian Skripsi. Biaya penelitian yang dimaksud dapat dirinci mulai tahap persiapan, pelaksanaan hingga penyelesaian Skripsi. Tentu saja biaya penelitian Skripsi tidak termasuk pada biaya UPP (Uang Penyelenggaraan Pendidikan) pada tiap semester yang harus dibayarkan. Akibatnya, jika mahasiswa tidak bisa menyelesaikan Skripsi dalam satu semester tetap diwajibkan untuk membayar UPP pada semester berikutnya. Oleh karena itu ketepatan waktu dalam penyelesaian Skripsi sedikit banyak juga menentukan efisiensi dalam pembiayaan studi secara keseluruhan.
2.5 Bimbingan Skripsi secara Berkelompok Sebagaimana telah dibahas tentang standar proses bimbingan Skripsi bahwasanya bimbingan Skripsi yang selama ini dilakukan sudah secara
42
berkelompok meski masih bersifat insidental dan cenderung lebih dominan secara individual (konvensional). Oleh karena itu guna dapat lebih mengoptimalkan keterampilan berpikir dan luaran proses belajar dalam penelitian ini coba diterapkan bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok. Selain itu diharapkan dengan perlakuan tersebut dapat mengurangi kelelahan, kebosanan dan stres akademik pada mahasiswa. Bimbingan Skripsi dilakukan secara berkelompok terutama dimaksudkan untuk menciptakan situasi kebersamaan dalam satu kelompok kecil sehingga dapat saling memberikan dukungan satu sama lain (social facilitation). Dengan demikian antar insan pebelajar (mahasiswa) yang difasilitasi oleh dosen pembimbing bisa saling belajar baik secara individual, kompetitif sekaligus kooperatif. Prinsip belajar semacam ini berdasarkan pada model pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning) yang dikemukakan oleh Tyson (Creese, 2003) dan disebut 'classroom as learning organisation model' (CALO). Pada model pembelajaran Calo ini para mahasiswa dianggap sebagai insan pebelajar mandiri (manager) yang mampu mengarahkan dan mengelola diri sendiri bersama dalam kelompok belajar yang dinamakan ‘virtual peer learning teams’ (VPLTs) melalui metode refleksi terhadap praktik pengalaman belajar (praksis). Model pembelajaran Calo ini merupakan pengembangan dari teori medan (field theory) Kurt Lewin yang menyatakan bahwa perilaku dipengaruhi dari totalitas situasi individu (Smith, 2001). Dalam teori medan, ‘field’ diartikan sebagai ‘the totality of coexisting facts which are conceived of as mutually
43
interdependent’. Implikasi dari teori medan menunjukkan bahwa perilaku individu pada dasarnya dipengaruhi dari totalitas situasi termasuk situasi sosial dalam kelompok yang menunjukkan hubungan saling ketergantungan satu sama lain. Berdasarkan teori medan tersebut selanjutnya dikembangkan konsep tentang T-group theory atau disebut ‘laboratory method’ (Smith, 2001). Pada awal mulanya kelompok diskusi kecil ini dinamakan ‘basic skill training groups’ yang disingkat
T-group. Terkait dengan model pembelajaran Calo dalam VPLTs
prinsip belajar secara berkelompok ini dikembangkan sebagai metode belajar yang dikenal dengan sebutan cooperative learning atau group learning. Dalam konteks bimbingan Skripsi secara berkelompok dikenal dengan sebutan TSG (Thesis Support Group).
Brown & Ciuffetelli (2009) mengemukakan ada lima prinsip dasar pada penerapan metode cooperative learning, yaitu:
1. Positive Interdependence a. Pebelajar harus terlibat penuh dan berusaha keras dalam kelompok. b. Tiap anggota kelompok memiliki tugas/peran/tanggungjawab masingmasing sehingga harus saling percaya hingga penyelesaian tugas belajar.
2. Face-to-Face Promotive Interaction a. Masing-masing anggota kelompok saling menyatakan keberhasilan belajar.
44
b. Pebelajar saling menjelaskan satu sama lain apa yang sudah atau sedang dipelajari dan saling membantu dengan berbagi pengetahuan dan penyelesaian tugas belajar.
3. Individual Accountability a. Masing-masing pebelajar harus memeragakan (presentasi) pokok materi yang dipelajari. b. Masing-masing pebelajar bertanggungjawab terhadap tugas belajarnya sendiri sehingga dapat mengurangi kemungkinan social loafing (alih beban/tugas/ tanggungjawab).
4. Social Skills a. Melatih keterampilan sosial sehingga proses pembelajaran kooperatif berhasil. b. Termasuk melatih keterampilan komunikasi efektif, interpersonal dan berkelompok untuk diterapkan dalam konteks kepemimpinan, pembuatan putusan, membangun kepercayaan, komunikasi, manajemen konflik.
5. Group Processing Setiap anggota kelompok dan juga kelompok-kelompok belajar harus sering menilai efektivitas dan memutuskan cara memperbaikinya.
Pada prinsipnya dalam penerapan metode pembelajaran kooperatif disyaratkan dua karakteristik utama, yaitu: (a) pebelajar bekerja/belajar bersama
45
untuk mencapai tujuan kelompok belajar, dan (b) keberhasilan tergantung pada proses pembelajaran setiap individu pebelajar.
Menurut Yalom (dalam Smith, 2001) penerapan dari metode pembelajaran T-group secara berkelompok (cooperative learning) berdasarkan teori medan Kurt Lewin menghasilkan empat unsur dasar yang mempengaruhi dinamika kelompok sebagai berikut:
1. Umpan balik: interaksi antar anggota dalam kelompok dan antar kelompok dapat saling memberikan masukan dan saran untuk mengatasi kesenjangan hasil yang diharapkan dan kenyataannya. 2. Pencairan situasi: fasilitator berupaya mendorong pebelajar untuk berubah serta membantu pebelajar untuk mau menerima pembaharuan dalam proses pembelajaran sebagai suatu tantangan baru. 3. Observasi partisipan: pebelajar berperan sebagai pengamat sekaligus partisipan yang terlibat penuh secara emosional dalam proses pembelajaran namun tetap dituntut untuk bersikap objektif. 4. Dukungan kognitif: dukungan informasi melalui pelajaran/perkuliahan, bahan bacaan dan kajian teori bersumber dari proses pembelajaran di kelas secara berkelompok dengan tujuan utama untuk proses fasilitasi, bukan konsultasi.
Prinsip metode kerja/belajar secara berkelompok didukung dengan hasil sigi dari Salas dan Rosen (2008) selama kurun waktu lima puluh tahun terakhir berupa delapan temuan dan lima tantangan. Delapan temuan tersebut adalah: (a) berbagi kognisi dalam kinerja tim, (b) berbagi kognisi bisa diukur, (c) pelatihan
46
tim meningkatkan kerjasama tim dan kinerja tim, (d) paduan ragam lingkungan tugas dapat digunakan sebagai ajang penelitian, (e) kinerja tim bisa dipolakan, (f) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja tim bisa diidentifikasi, (g) teknologi yang terancang dengan baik bisa memperbaiki kinerja tim, (h) kajian tim bersifat multidisiplin. Sementara itu lima tantangan yang perlu dihadapi dan ditindaklanjuti dalam kajian tim kerja/belajar adalah: (a) diperlukan pengukuran yang lebih baik, (b) perlu mempelajari tim yang multikompleks situasional, (c) diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai proses rakitan dinamik dari tim yang adaptif, (d) perlu peningkatan khususnya pada kognisi tim, (e) diperlukan pemahaman tim yang lebih baik dalam konteks multikultural. Secara konseptual rancangan bimbingan Skripsi secara berkelompok memenuhi asas pembelajaran yang dapat meringankan beban kognitif individu sekaligus dapat membantu pula meningkatkan kinerja pembelajaran individu melalui hubungan interdependensi yang intensif dan efektif antar pebelajar dan fasilitator. Berdasarkan hasil penelitian Skripsi mahasiswa tentang variabel penyelesaian tugas Skripsi pada umumnya merekomendasikan bahwa bimbingan Skripsi seyogyanya dilakukan secara berkelompok dengan pertemuan rutin yang terjadwal sebagai ajang diskusi dan berbagi rasa (Wisnuwardhana, 2000; Zefania, 2003; Kingofong, 2004; Widhaningrum, 2005; Wiwara, 2006; Setyawan, 2006; Yustyowati, 2006; Setioso, 2007; Hariyanti, 2008).
47
Dalam
konteks
ergonomi,
rancangan
bimbingan
Skripsi
secara
berkelompok dapat dikatakan termasuk pendekatan ergonomi mikro yang menekankan pada hubungan perilaku antar pebelajar dan fasilitator (humansoftware interface technology) atau lebih dikenal dengan pendekatan ergonomi kognitif khususnya dalam konteks proses pembelajaran. Selain itu juga dilakukan pendekatan ergonomi mikro khususnya terkait dengan kesesuaian antara pebelajar dan ruang bimbingan Skripsi (human-environment interface technology) dan kesesuaian antara pebelajar dengan tugas penulisan dan penelitian Skripsi (human-job interface technology) sebagaimana dikemukakan oleh Hendrick (1985; dalam Alit, 2002).
2.6 Bimbingan Skripsi berbasis Ergonomi secara berkelompok Berdasarkan kajian teori dan konsep
bimbingan Skripsi secara
berkelompok, pada Tabel 2.1 dijabarkan dan dibandingkan secara lebih spesifik dan rinci mengenai bimbingan Skripsi berbasis ergonomi dan konvensional secara berkelompok. Pola bimbingan Skripsi berbasis ergonomi ini akan diterapkan pada penelitian yang akan membandingkan antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan.
48
Tabel 2.1 Perbedaan Bimbingan Skripsi secara Berkelompok pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan BIMBINGAN SKRIPSI SECARA BERKELOMPOK KELOMPOK KONTROL KELOMPOK PERLAKUAN 1. Dari segi waktu dan tempat, 1. Dari segi waktu dan tempat bimbingan Skripsi dilakukan secara bimbingan Skripsi dilakukan berkelompok (3-5 mahasiswa), secara berkelompok (3-5 bertemu seminggu sekali selama lima mahasiswa), bertemu seminggu minggu berturut-turut dalam waktu sekali selama lima minggu 60 menit di ruang bimbingan Skripsi berturut-turut dalam waktu 120 yang sudah ditentukan. menit di ruang bimbingan Skripsi yang sudah ditentukan. 2. Ruang bimbingan Skripsi yang sudah 2. Ruang bimbingan Skripsi yang ditentukan dirancang dengan tata sudah ditentukan dirancang letak kursi dan meja melingkar dan dengan tata letak kursi dan meja saling berhadapan; memenuhi standar melingkar dan saling berhadapan; suhu ruang, kelembaban, memenuhi standar suhu ruang, pencahayaan dan kebisingan untuk kelembaban, pencahayaan dan proses belajar; fasilitas pembelajaran kebisingan untuk proses belajar; disediakan sendiri oleh mahasiswa dilengkapi dengan fasilitas dan dosen pembimbing sesuai dengan pembelajaran (laptop, kebutuhan. whiteboard, program SPSS, online internet/e-mail). 3. Dalam waktu kurang lebih 60 menit, 3. Dalam waktu kurang lebih 120 pada setiap pertemuan dosen menit, pada setiap pertemuan diharapkan untuk memandu dan dosen diharapkan untuk memaparkan penjelasan, serta memandu dan memaparkan melakukan komunikasi yang baik secara menarik serta secara verbal dan non-verbal. mengupayakan untuk tercipta kohesivitas kelompok dengan cara antara lain mendengarkan dan memahami keluhan/kesulitan mahasiswa, banyak memberikan apresiasi (bukan label negatif), melakukan komunikasi yang baik secara verbal dan non-verbal, memberikan motivasi, memberikan rasa nyaman.
49
4. Pada pertemuan awal bimbingan 4. Pada pertemuan awal bimbingan Skripsi dosen melakukan lima Skripsi dosen melakukan lima langkah bimbingan (rincian langkah bimbingan (rincian selengkapnya dapat diperiksa pada selengkapnya dapat diperiksa Lampiran 6) secara formal terkait pada Lampiran 6) secara formal teknis proses penyelesaian penulisan dan informal terkait teknis proses Skripsi. penyelesaian penulisan Skripsi dan kendala pribadi. 5. Pada pertemuan kedua hingga kelima 5. Pada pertemuan kedua hingga bimbingan Skripsi dosen melakukan kelima bimbingan Skripsi dosen dua langkah bimbingan (rincian melakukan dua langkah selengkapnya dapat diperiksa pada bimbingan (rincian selengkapnya Lampiran 6) sampai penulisan Skripsi dapat diperiksa pada Lampiran 6) tuntas. sampai penulisan Skripsi tuntas.
2.7 Potensi Pebelajar Fungsi umpan-balik dari evaluasi pembelajaran terhadap ranah input adalah potensi pebelajar dan fasilitator. Hal ini berarti mengandaikan potensi manusia baik dari segi penginderaan dan motorik, sekaligus kemampuan kognitif, afektif, konatif dan psikomotorik sebagai media pembelajaran dan sumber belajar perlu mendapatkan perhatian khusus guna perbaikan. Banyak faktor yang mempengaruhi potensi manusia dalam proses pembelajaran. Selain faktor internal individu, juga faktor eksternal yang meliputi tugas, kelembagaan dan lingkungan belajar dapat kemungkinan menjadi faktor penyebab terhadap aktualisasi potensi manusia dalam proses pembelajaran. 2.7.1 Tipe Pebelajar Auditif, Visual, Kinestetik Dari segi faktor internal individu, media pembelajaran yang bersifat audiovisual dan kinestetik/motorik perlu disesuaikan dengan potensi pebelajar dari segi
50
kemampuan penginderaan pendengaran dan penglihatan serta gerakan tubuh. Ada tipe pebelajar yang peka (sensitif) terhadap pemahaman materi/bahan ajar cukup melalui pendengaran saja namun ada tipe belajar lain yang cepat belajar jika informasi yang diterima disampaikan melalui penglihatan. Namun ada tipe pebelajar yang merasa lebih senang dan nyaman belajar bila informasi/pesan disampaikan melalui perpaduan indera pendengaran dan penglihatan (audiovisual). Media pembelajaran audio-visual ini rupanya banyak diminati pebelajar dan dampaknya positif dalam proses pembelajaran (Baddeley, 1986; Mousavi et al., 1995). Namun demikian ada tipe pebelajar yang merasa kurang puas dan sulit memahami jika tidak dilakukan dengan gerakan atau melalui aktivitas untuk mengerjakan tugas tertentu yang terkait dengan materi ajar. Dalam arti, pebelajar tipe kinestetik/motorik ini biasanya tidak betah terlalu lama duduk untuk menyerap informasi hanya melalui pendengaran atau penglihatan saja, bahkan media pembelajaran audio-visual sekalipun. Tipe pebelajar kinestetik/motorik ini menghendaki media pembelajaran yang mendorong untuk bergerak dinamik atau mengerjakan tugas tertentu secara mandiri atau berkelompok. 2.7.2 Potensi Mental Pebelajar Menurut Waugh dan Norman (Solso, 2000) alur informasi (stimulus) yang diterima pertama kali diserap melalui proses penginderaan, kemudian diteruskan pada proses kognitif khususnya terkait dengan proses penyimpanan informasi melalui ingatan primer (ingatan jangka pendek – short term memory) dan proses
51
ingatan sekunder (ingatan jangka panjang – long term memory). Alur proses informasi ini dapat diperiksa pada Gambar 2.3 berikut ini.
Latihan/Ulangan
Stimulus
Serapan Inderawi
Ingatan Jangka Pendek
Dialihkan ke serapan permanen Diperbaharui
Ingatan Jangka Panjang
Respon Dilupakan Gambar 2.3 Model Kognitif Waugh dan Norman yang dimodifikasi. Adaptasi dari Waugh dan Norman (Solso, 2000)
Berawal dari stimulus berupa rangsangan informasi yang diserap melalui proses penginderaaan lalu disimpan dalam ingatan jangka pendek. Ada informasi yang dilupakan karena proses seleksi namun ada pula informasi yang terus diingat ulang atau dilatih terus menerus sehingga makin kuat tersimpan dalam ingatan jangka pendek. Lalu, informasi yang tersimpan dalam ingatan jangka pendek yang terus diingat tersebut dialihkan untuk disimpan permanen ke dalam ingatan jangka panjang (Atkinson & Shiffrin, 1968). Manakala informasi diperlukan untuk diingat kembali, informasi yang tersimpan dalam ingatan jangka panjang dialihkan kembali ke ranah ingatan jangka pendek. Sejak informasi disimpan dalam ingatan jangka pendek ataupun
52
setelah informasi disimpan dalam ingatan jangka panjang untuk diperbaharui ke dalam ingatan jangka pendek, selanjutnya dimanfaatkan sebagai sumber informasi untuk melakukan umpan-balik, reaksi atau respon terhadap stimulus (informasi) yang diterima. Demikian seterusnya, respon menjadi stimulus bagi pihak lain yang berinteraksi. Dalam proses pembelajaran, arus informasi timbal-balik dari pebelajar kepada fasilitator atau sebaliknya dari fasilitator kepada pebelajar merupakan proses interaksi pembelajaran. Perlu menjadi catatan dan perhatian bahwasanya tidak setiap/semua informasi dari fasilitator kepada pebelajar bisa diserap secara inderawi, bahkan sekalipun jika informasi sampai disimpan dalam ingatan jangka pendek tidak menjamin semua informasi diterima dalam ingatan jangka panjang. Ada beberapa informasi yang diseleksi lalu dilupakan, namun ada pula informasi yang diserap dan diulang-ulang karena menarik atau kebutuhan sehingga selanjutnya informasi disimpan dalam ingatan jangka panjang. Manakala informasi tersebut dibutuhkan, informasi diperbaharui kembali ke dalam ingatan jangka pendek untuk dinyatakan dan disampaikan kembali. Implikasi dari proses interaksi pembelajaran, perlu disadari bahwasanya setiap pebelajar memiliki kapasitas yang terbatas sesuai dengan minat dan kemampuan, sehingga informasi yang disampaikan oleh fasilitator seyogyanya disesuaikan dengan kapasitas pebelajar dalam menerima informasi. Bukan terutama jumlah atau target informasi yang disampaikan, namun terpenting adalah mutu informasi yang sesuai dengan kebutuhan pebelajar. Selain itu dalam prinsip pembelajaran, bukan terutama apa yang diajarkan namun terpenting adalah apa
53
yang mampu dipelajari pebelajar (Lunandi, 1993). Konsekuensinya, proses pembelajaran berbasis materi bukan terutama berorientasi pada sebanyakbanyaknya informasi yang dapat disampaikan kepada pebelajar namun seberapa banyak informasi yang dapat diserap dan dipelajari oleh pebelajar terlebih bila informasi disimpan dalam ingatan jangka panjang. Lebih baik sedikit informasi yang bermutu sesuai dengan kebutuhan pebelajar daripada banyak informasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan pebelajar sehingga cenderung mudah dilupakan. Ditengarai seringkali terjadi fasilitator terjebak pada kejar target penyampaian materi pembelajaran kepada pebelajar yang sudah ditetapkan dengan batas waktu tertentu, sementara pebelajar sudah merasa jenuh dan tidak bersemangat lagi untuk menerima informasi yang terlalu banyak namun tidak sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya, mutu dan kinerja pembelajaran pebelajar kurang optimal. Wickens (1984) memaparkan model proses informasi dengan lebih rinci dan jelas lagi seperti dipaparkan pada Gambar 2.4 berikut ini. Pada prinsipnya penjelasan model proses informasi pada Gambar 2.3 dan 2.4 adalah sama. Hanya ada beberapa faktor yang dikemukakan secara eksplisit pada Gambar 2.4 yaitu persepsi, putusan dan seleksi respon, eksekusi respon, sumber atensi serta umpan balik. Persepsi yang dimaksud di sini adalah proses penataan dan pemahaman informasi dalam proses kognitif. Dalam proses persepsi sudah termaktub unsur pengertian, interpretasi dan penilaian sehingga sudah dapat dikatakan tergolong dalam proses pembelajaran.
54
Sumber atensi
Serapan indrawi jangka pendek Stimuli Persepsi
Putusan dan seleksi respon
Eksekusi respon
Respon
Kerja ingatan Ingatan jangka panjang
Ingatan
Gambar 2.4 Model Proses Informasi (Wickens, 1991) Selanjutnya seperti sudah dijelaskan sekilas pada Gambar 2.4, tidak setiap/semua informasi yang masuk diterima dalam ingatan karena ada proses seleksi respon terhadap stimulus informasi yang sudah disaring melalui proses persepsi. Dampaknya, hanya beberapa informasi yang disimpan dalam proses penyimpanan informasi melalui ingatan jangka panjang. Setelah melalui proses putusan dan seleksi respon, pebelajar siap melakukan respon dan merespon terhadap informasi yang diterima dan disimpan dalam ingatan jangka panjang. Konkritnya, aktivitas respon pebelajar bisa berupa pertanyaan atau pernyataan untuk meneguhkan kebenaran atas informasi yang diterima sehingga dapat ditindaklanjuti dengan kegiatan atau karya tertentu sesuai dengah materi/bahan ajar. Proses persepsi, putusan dan seleksi respon hingga eksekusi respon dan penyimpanan informasi pada proses kerja ingatan jangka
55
panjang bermuara dari sumber atensi sebagai pusat perhatian. Tanpa atensi (perhatian), kesemua proses tersebut tidak terjadi. Dengan kata lain sumber atensi (perhatian) menjadi faktor utama dan penting dalam proses pembelajaran. Semua respon yang sudah dilakukan dapat menjadi umpan balik untuk proses perbaikan atau pembaharuan informasi yang kemudian diolah kembali sebagai stimulus (informasi) baru yang diproses lebih lanjut seperti semula. Demikian seterusnya proses arus informasi berputar dalam satu siklus secara berkelanjutan. 2.8 Tingkatan Pebelajar Sebelum merancang model pembelajaran, perlu ditetapkan terlebih dahulu proses pembelajaran dirancang bagi pebelajar pemula, lanjut atau ahli. Disain pembelajaran bagi pebelajar pemula (novice) berbeda dengan disain pembelajaran bagi pebelajar lanjut (advance) dan ahli (expert). Ada indikator utama yang membedakan antara pebelajar pemula, lanjut dan ahli, yaitu durasi penyelesaian masalah, tingkat kesalahan dan skemata (Sweller & Cooper, 1985; Sweller, 1988). Pebelajar pemula membutuhkan durasi penyelesaian masalah yang relatif lebih lama serta masih kemungkinan banyak melakukan kesalahan dibandingkan dengan pebelajar lanjut dan ahli. Selain itu pebelajar pemula masih menunjukkan pola berpikir yang parsial dan belum terintegrasi sedangkan pebelajar lanjut dan ahli sudah memiliki skemata (peta kognitif) dalam pola berpikir yang terstruktur, sistematik dan terintegrasi. Dengan demikian disain pembelajaran seyogyanya disesuaikan dengan tingkatan pebelajar. Disain pembelajaran bagi pebelajar
56
pemula seyogyanya dibedakan dengan disain pembelajar bagi pebelajar lanjut dan ahli. Terkait dengan tingkatan pebelajar dalam proses pembelajaran Jonassen et al. (1993) memaparkan diagram tersebut seperti Gambar 2.5. Ranah terstruktur Berbasis keterampilan pemaknaan tulisan
Ranah tak terstruktur Berbasis pengetahuan
Struktur ter-elaborasi Pola skematik Pengetahuan saling terkait
Perolehan Pengetahuan Dasar/Pemula (Introduksi)
Perolehan Pengetahuan Lanjut
Kepakaran/ Keahlian
Praktik/Latihan Umpan-balik
Pemagangan Pembimbingan
Pengalaman
Pembelajaran
Pengalaman
Gambar 2.5 Proses pembelajaran berdasarkan tingkat pebelajar (Jonassen et al., 1993) 2.9 Beban Kognitif Pembelajaran Istilah ‘kognisi’, dari bahasa Latin ‘cognoscere’ yang berarti ‘tahu’ (to know), digunakan secara meluas terkait proses manusia dalam mengolah informasi, menerapkan pengetahuan dan mengubah/memperbaharui pola pikir. Istilah kognitif dipadankan pula dengan aktivitas persepsi dan pengetahuan, sedangkan para ilmuwan kognitif memahaminya sebagai proses mental seperti persepsi, berpikir, mengingat, memahami bahasa, dan belajar (Stillings et al., 1995).
57
Beban kognitif (cognitive load) diartikan sebagai beban pada olah memori (working memory) selama proses penyelesaian masalah, berpikir dan bernalar (termasuk persepsi, ingatan, bahasa dan sebagainya). Sementara itu olah memori (working memory) merupakan bangun teoritik dalam kajian psikologi kognitif yang mengarah pada struktur dan proses yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi sementara waktu (Wikipedia, 2008ab). Sebagaimana telah dikemukakan bahwasanya aktivitas belajar juga identik dengan aktivitas kerja. Dalam arti, aktivitas belajar juga menunjukkan gerakan fisik dan mental seperti dilakukan pada aktivitas kerja. Dalam menyelesaikan tugas pekerja menanggung beban kerja baik secara fisik maupun mental. Demikian pula halnya dalam proses pembelajaran pebelajar juga menanggung beban fisik dan mental. Beban fisik dalam proses pembelajaran diartikan sebagai beban jasmani, seperti energi penginderaan yang diperlukan untuk menyerap informasi sebagai stimulan dan pembuka awal penerimaan informasi. Penginderaan yang dimaksudkan
adalah
mulai
dari
penglihatan,
pendengaran,
pembauan,
pengecapan, dan perabaan (Cooper, 1998). Dalam proses pembelajaran bisa jadi kelima indera (pancaindera) tersebut digunakan seluruhnya. Namun pada umumnya bagi pebelajar yang normal pancainderanya, indera yang paling dominan dan sering digunakan untuk menyerap informasi adalah penglihatan dan pendengaran. Selain itu dalam proses pembelajaran unsur gerakan tubuh (kinestetik) juga sering digunakan untuk melakukan aktivitas belajar. Oleh karena itu beban informasi yang diterima melalui indera penglihatan dan pendengaran
58
serta gerakan tubuh perlu mendapatkan perhatian khusus untuk dipantau dan dikendalikan. Sebagaimana telah dipaparkan dan dijelaskan mengenai bagan proses penyerapan, penerimaan dan pengolahan informasi, setelah diserap melalui penginderaan sebagai beban fisik selanjutnya informasi diserap dan diterima serta diolah melalui proses mental sebagai beban mental. Pengertian ‘mental’ diartikan sebagai potensi kejiwaan manusia yang meliputi potensi kognitif, afektif dan konatif hingga tercermin pada potensi psikomotorik berupa sikap, keterampilan dan perilakuan. Sementara ini bahasan dibatasi pada potensi kognitif pebelajar untuk menyerap, menerima dan mengolah informasi sebagai beban kognitif. Kognisi sendiri diartikan sebagai salah-satu aktivitas mental yang terkait dengan proses pengolahan informasi, menerapkan pengetahuan dan mengubah pola pikir. Secara lebih spesifik para ilmuwan kognitif mengartikan proses kognisi sebagai proses persepsi dan mengetahui, berpikir, mengingat, memahami bahasa dan belajar (Stiling et al., 1995). Pendek kata ‘kognisi’ terkait dengan tindakan mengetahui atau pengetahuan dalam konteks kehidupan sosial dan kultural serta dinamika kelompok pebelajar. Ada informasi yang diserap lalu disimpan sebagai ingatan namun ada kalanya informasi diserap dan diterima sementara waktu lalu dilupakan. Hal ini berarti ada proses seleksi terhadap informasi yang diserap dan diterima sebelum disimpan dalam ingatan. Dalam proses pembelajaran ada tiga tipe ingatan yakni ingatan sensori (penginderaan), kerja ingatan (working memory) dan ingatan jangka panjang
(Cooper, 1998). Fungsi ingatan sensori sebatas pada proses
59
penerimaan stimulan atau informasi melalui proses penginderaan, biasanya hanya berlangsung sekejap. Jika pebelajar berminat dan menaruh perhatian khusus, proses kognisi selanjutnya adalah proses kerja ingatan, dalam arti stimulan atau informasi diserap dalam ingatan jangka pendek. Manakala informasi atau stimulan tersebut sangat melekat pada pebelajar lalu diserap dan disimpan dalam ingatan jangka panjang untuk selalu diperbaharui jika diperlukan. Kapasitas kerja ingatan jangka pendek untuk menyerap dan menyimpan informasi sangat terbatas sedangkan kapasitas kerja ingatan jangka panjang relatif tidak terbatas dalam menyerap dan menyimpan informasi untuk dipadukan. Alur proses ketiga tipe ingatan tersebut dapat digambarkan dengan bagan pada Gambar 2.6. INGATAN SENSORI Digunakan untuk persepsi informasi yang diterima
KERJA INGATAN Informasi Visual
Digunakan untuk memperhatikan informasi. Terbatas kurang dari 9 elemen informasi sesaat.
Prosesor terpisah Informasi Auditori
INGATAN JANGKA PANJANG Digunakan untuk menyimpan permanen seluruh pengetahuan dan keterampilan pada jaringan hirarkik. Kapasitas tidak terbatas.
Gambar 2.6 Proses informasi ranah ingatan sensori, kerja ingatan dan ingatan jangka panjang (Cooper, 1998)
60
Sementara itu beban kognitif diartikan sebagai beban kerja ingatan selama proses penyelesaian masalah, berpikir dan menalar (termasuk persepsi, ingatan, bahasa dan semacamnya). Dengan kata lain beban kognitif merupakan sejumlah aktivitas mental dalam proses kerja ingatan pada suatu kondisi dan waktu tertentu (Cooper, 1998). Sweller (1988, 1994, 1998) mengemukakan teori tentang beban kognitif (Cognitive Load Theory/CLT) bahwasanya pembelajaran yang optimal akan terjadi apabila
beban kerja ingatan (instrinsik dan instruksional) ditekan
serendah-rendahnya sehingga sangat memudahkan perubahan pada ingatan jangka panjang. Implikasi dari teori beban kognitif dapat diterapkan pada pengembangan aktivitas pembelajaran dalam konteks pendidikan/pembelajaran. Seiring dengan pengembangan teori beban kognitif, kemudian ditemukan ada tiga macam beban kognitif , yaitu: a. Beban kognitif intrinsik (intrinsic cognitive load): Tingkat kemudahankesulitan materi pembelajaran yang diserap dan diterima pebelajar. Beban kognitif instrinsik ini bersifat permanen dan inheren dalam materi pembelajaran sesuai dengan tingkat kompleksitas dan daya nalar pebelajar sehingga relatif tidak bisa dimodifikasi (Chandler & Sweller, 1991). Pengetahuan dasar yang dimiliki sebelumnya menentukan keluasan dan kedalaman penerimaan pengetahuan selanjutnya. Proses pembelajaran itu berjenjang sifatnya, makin tinggi jenjang pembelajaran makin tinggi kompleksitas pengetahuannya.
61
b. Beban kognitif instruksional (extraneous cognitive load): Jumlah dan mutu materi pembelajaran yang diserap dan diterima pebelajar ditentukan dari cara guru menyampaikan informasi dengan menggunakan media pembelajaran tertentu yang sesuai (Pollock et al., 2002). Manakala media pembelajaran atau strategi pembelajaran yang diterapkan tidak sesuai dan tidak relevan dengan materi pembelajaran atau informasi
yang
disampaikan, beban kognitif instruksional bagi pebelajar akan meningkat sehingga proses pembelajaran tidak optimal, bahkan bisa cenderung bias (menyimpang). Mengingat beban kognitif instruksional bersumber dari guru yang bersifat fleksibel sehingga memungkinkan untuk dimodifikasi sesuai dengan potensi kognisi pebelajar guna meminimasi bias dan mengoptimasi kinerja pembelajaran. c. Beban kognitif integratif (germane cognitive load): Sejauh mana pebelajar mampu memadukan pengetahuan yang telah diterima sebelumnya sehingga pebelajar menemukan pencerahan dan terbentuk dalam pola berpikir yang makin terstruktur, sistematik dan terpadu serta disimpan dalam ingatan jangka panjang (Sweller et al., 1998). Hal ini berarti pebelajar telah menemukan kunci jawaban dari kemungkinan semua persoalan yang terkait dengan bekal pengetahuan yang dimiliki sehingga pebelajar makin mampu menyelesaikan masalah dengan tepat dan cepat secara otomatik. Proses pembentukan skema pengetahuan (wawasan dan pendalaman pengetahuan yang sudah terpola) merupakan beban kognitif
62
integratif yang dapat diintervensi guna mendorong pebelajar pemula sampai mencapai pebelajar tingkat lanjut atau ahli. Dari ketiga beban kognitif tersebut dapat dirumuskan dalam pola pembelajaran yang dapat menunjang kinerja pembelajaran dengan formula (Chipperfield, 2004) sebagai berikut:
Intrinsik + Instruksional + Integratif = Total Beban Kognitif BKI1 +
BKI2
+ BKI3 =
TBK
Keterangan: BKI1 = Beban Kognitif Intrinsik BKI2 = Beban Kognitif Instruksional BKI3 = Beban Kognitif Integratif TBK = Total Beban Kognitif
Implikasi dari formula beban kognitif dalam proses pembelajaran tersebut, dapat dipaparkan dalam bandingan proporsional terutama antara beban kognitif intrinsik dan beban kognitif instruksional serta kapasitas mental (mental resource) sebagai ambang batas toleransi melalui ilustrasi Gambar 2.7 (Cooper, 1998). Total Beban Kognitif Beban Kognitif
Beban Kognitif
Intrinsik
Instruksional Kapasitas Mental
Gambar 2.7 Bandingan proporsional antara beban kognitif instrinsik yang rendah dan beban kognitif instruksional yang tinggi sebagai total beban kognitif yang tidak melebihi kapasitas mental (Cooper, 1998)
63
Jika beban kognitif intrinsik rendah (materi pembelajaran mudah) memungkinkan pebelajar mampu untuk belajar dengan beban kognitif instruksional yang tinggi (teknik penyampaian bias), sementara total beban kognitif masih kurang dari ambang batas toleransi kapasitas mental, kinerja pembelajaran pebelajar masih bisa optimal meski relatif terbatas karena kurang tantangan (dapat dilihat pada Gambar 2.7).
Total Beban Kognitif Beban Kognitif
Beban Kognitif
Intrinsik
Instruksional Kapasitas Mental
Gambar 2.8
Bandingan proporsional antara beban kognitif instrinsik dan
instruksional yang berimbang sebagai total beban kognitif yang melebihi kapasitas mental (Cooper, 1998)
Jika beban kognitif intrinsik tinggi (materi pembelajaran sulit) sedangkan beban kognitif instruksional juga tinggi (teknik penyampaian bias), sementara total beban kognitif melebihi ambang batas toleransi kapasitas mental, kinerja pembelajaran pebelajar akan menurun (dapat dilihat pada Gambar 2.8). Total Beban Kognitif Beban Kognitif
Beban Kognitif Instruksional
Intrinsik Kapasitas Mental
Gambar 2.9 Bandingan proporsional antara beban kognitif instrinsik yang tinggi dan beban kognitif instruksional yang rendah sebagai total beban kognitif yang tidak melebihi kapasitas mental (Cooper, 1998)
64
Meski beban kognitif intrinsik tinggi (materi pembelajaran sulit) namun jika teknik penyampaian bisa dimodifikasi sehingga memungkinkan pebelajar mampu untuk belajar dengan mudah, sementara total beban kognitif masih kurang dari ambang batas toleransi kapasitas mental, kinerja pembelajaran pebelajar kemungkinan bisa lebih optimal dan imajinasi pebelajar makin berkembang (dapat dilihat pada Gambar 2.9). Pada prinsipnya untuk meningkatkan kinerja pembelajaran, disarankan seyogyanya beban kognitif instruksional dimodifikasi serendah mungkin sehingga ringan dan mudah diterima pebelajar. Sementara itu beban kognitif integratif dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat terus dioptimalkan dengan kapasitas kognitif (penyerapan, penyimpanan, pemaduan informasi) yang tidak terbatas melalui proses pembelajaran dengan metode pembelajaran melalui pengalaman langsung (Sweller et al., 1998). Beban kognitif intrinsik pada dasarnya adalah bawaan dari pebelajar selama menjalani proses pembelajaran. Dengan kata lain, makin terstruktur pola pikir makin berkurang beban kognitif intrinsik sehingga memudahkan pebelajar untuk menerima masukan informasi yang baru, lebih luas dan mendalam. Salahsatu teknik untuk mengurangi beban kognitif intrinsik yakni dengan memberikan semacam introduksi, rekognisi, matrikulasi. Andaikata beban kognitif intrinsik relatif masih sulit untuk dikurangi, perancang pembelajaran dapat melakukan modifikasi terhadap beban kognitif instruksional dan beban kognitif integratif. Sementara itu beban kognitif instruksional merupakan akibat dari distorsi teknik penyampaian informasi kepada pebelajar yang terkadang kurang tepat
65
sehingga kurang bisa diterima dan dipahami dengan baik. Contoh yang tepat dikemukakan oleh Sweller (Kirschner et al., 2006), yakni ada dua kemungkinan cara untuk menjelaskan ‘persegi panjang’ (square) kepada pebelajar, melalui media visual atau verbal. Secara geometris bidang ‘persegi panjang’ merupakan stimulasi visual dan seyogyanya disampaikan melalui media visual. Pada suatu saat guru menjelaskannya secara lisan namun pebelajar hanya sesaat menyimak lalu mengabaikannya. Setelah gambar ‘persegi panjang’ ditunjukkan, pebelajar lebih tertarik dan mudah untuk memahaminya. Berarti, pebelajar rupanya lebih mudah dan mau menyimak penjelasan ‘persegi panjang’ secara visual daripada verbal. Dengan kata lain, media visual lebih efisien, tepat dan mudah dipahami. Ilustrasi tersebut menjelaskan bahwa pebelajar dibebani dengan informasi yang tidak perlu akibat teknik penyampaian yang kurang tepat sehingga meningkatkan beban kognitif instruksional. Mengingat bahwa makin bertambah usia seseorang makin bertambah informasi dan pengalaman. Teori beban kognitif secara meluas dapat digunakan untuk menjelaskan faktor penyebab utama yang membedakan antara pebelajar pemula (novices) dan ahli/pakar (experts). Sudah tidak mengherankan lagi apabila para ahli/pakar mampu menyelesaikan masalah lebih cepat dan sedikit kesalahan daripada pebelajar pemula. Faktor penyebab utamanya adalah kerangka pikir (schemata) pada pebelajar pemula relatif masih terbatas dan belum terbentuk proses pembiasaan (habituasi) yang memungkinkan terjadi tindakan otomasi solusi
profesional
terhadap
persoalan
yang
dihadapi
sesuai
dengan
profesi/keahlian. Jadi, faktor pembedanya adalah skema dan otomasi (Cooper &
66
Sweller, 1987; Cooper, 1990; Kirschner et al., 2006). Gambaran ini dapat menunjukkan bahwa beban kognitif integratif makin berbobot tinggi bilamana proses pemahaman secara komprehensif terhadap informasi membentuk kompetensi andal pada bidang tertentu. Pada prinsipnya implikasi dari teori beban kognitif dalam bimbingan Skripsi adalah terutama untuk menata ulang pengetahuan dan keterampilan dasar pebelajar,
mengurangi
beban kognitif intrinsik dan instruksional
serta
meningkatkan beban kognitif integratif sehingga kualitas pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Berbasis pada pendekatan ergonomi perubahan bimbingan Skripsi yang mengacu pada teori beban kognitif, memungkinkan untuk mengurangi kelelahan, kebosanan dan stres akademik, serta meningkatkan keterampilan berpikir dan luaran proses belajar mahasiswa. 2.10
Prinsip Instruksional Guna mengurangi beban kognitif instruksional, diperlukan pemahaman
mengenai prinsip dasar instruksional untuk merancang proses pembelajaran guna meningkatkan kinerja pembelajaran pebelajar. Adapun beberapa prinsip instruksional yang efisien dan efektif terutama bertujuan untuk menunjang proses pembelajaran sehingga pebelajar dapat menyerap dan menerima informasi dengan beban kognitif instrinsik yang rendah (mudah) dan instruksional yang tepat sesuai materi ajar. Perlu disadari kembali bahwa guru hanya sebagai fasilitator untuk mempermudah pebelajar dalam menyerap dan menerima informasi yang disampaikan. Beberapa prinsip instruksional (Chandler & Sweller, 1992; Sweller et al., 1998) yang perlu diperhatikan dan diterapkan adalah:
67
a.
The goal free effect merupakan alternatif solusi dalam penyelesaian soal/masalah ditentukan secara bebas dari berbagai pendekatan.
b.
The worked example effect menyarankan agar pebelajar belajar dari contoh soal atau studi kasus lalu menyelesaikan masalah yang sebenarnya guna menguji efektivitas pembelajaran.
c.
The split attention effect merupakan materi pembelajaran yang berupa teks dan grafik yang seyogyanya digabungkan supaya kaitan antara komponen teks dan grafik tampak jelas.
d.
The redundancy effect merupakan paparan isi materi pembelajaran yang sama secara simultan yang seyogyanya dihindarkan karena pengulangan materi (redundant) yang tidak perlu.
e.
The modality effect merupakan media pembelajaran yang seyogyanya beragam dan merupakan kombinasi antara paparan visual, auditori atau audio-visual serta kinestetik jika diperlukan.
Diharapkan dengan menerapkan kelima prinsip instruksional tersebut, beban kognitif intrinsik dan instruksional pebelajar untuk menyerap dan menerima informasi makin mudah dan meringankan. Oleh karena itu diperlukan media pembelajaran yang variatif dan kreatif sesuai dengan potensi kognitif dan kapasitas kerja ingatan pebelajar dalam menyerap dan menerima informasi. 2.11
Kualitas Pembelajaran Skripsi Berdasarkan bahasan teoretik mengenai disain pembelajaran khususnya
pada bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok, penulis membatasi pemahaman perihal kualitas pembelajaran Skripsi sebagai ubahan (variabel) utama dalam penelitian ini. Kualitas yang dimaksud adalah paduan kebutuhan antar berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) yang dipenuhi seoptimal mungkin. Dengan
68
demikian kualitas pembelajaran Skripsi dapat diartikan merupakan kondisi pembelajaran yang mencerminkan kebutuhan mahasiswa, dosen, tenaga administrasi dan lembaga pendidikan untuk menyelesaikan tugas Mata kuliah Skripsi dengan bobot 6 SKS minimal tepat waktu dengan mutu penulisan Skripsi yang memuaskan. Bila dijabarkan secara lebih rinci, kualitas pembelajaran Skripsi merupakan kondisi pembelajaran ’nyaman’ yang tercermin pada ranah kelelahan, kebosanan, dan stres akademik mahasiswa yang menurun serta keterampilan berpikir dan luaran proses belajar mahasiswa yang meningkat. Guna mencapai kualitas pembelajaran Skripsi yang optimal, dilakukan penelitian eksperimental dengan menerapkan perlakuan melalui bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok. Berikut ini akan dipaparkan bahasan teoretik terkait dengan rincian tiap ranah kualitas pembelajaran Skripsi yang telah dikemukakan tersebut. Selanjutnya penulis juga akan memaparkan prinsip bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok sebagai perlakuan dan intervensi guna meningkatkan kualitas pembelajaran Skripsi. 2.12
Kelelahan Setiap aktivitas kerja dan belajar pasti akan menimbulkan kelelahan baik
secara fisik maupun mental. Demikian pula halnya dengan proses bimbingan Skripsi yang menyita banyak waktu dan terutama energi mental sehingga dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental sekaligus. Sejauh pemanfaatan energi fisik dan mental dapat dikendalikan secara optimal sesuai dengan kemampuan,
69
kebolehan dan batasan baik dosen maupun mahasiswa, tingkat kelelahan juga dapat dikurangi sehingga tidak sampai mengalami kelelahan kronis atau bahkan gangguan psikosomatik. Hubungan antara kapasitas kerja dan beban kerja (belajar) secara umum dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu (Manuaba, 1996 dan Adiputra, 1998): 1. Faktor eksternal yaitu beban kerja yang berasal dari luar tubuh. Salah-satunya adalah sebagai akibat dari aktivitas yang dilakukan. Beban kerja eksternal dipengaruhi oleh: (a) task yang bersifat fisik seperti: stasiun kerja, sikap kerja, frekuensi kerja, kerja otot dan lain-lain dan yang bersifat kerja mental seperti: kompleksitas pekerjaan, tuntutan dari pekerjaan, tanggung-jawab terhadap pekerjaan, beban moral dan lain-lain; (b) organisasi yaitu menyangkut tentang pengaturan waktu kerja dan istirahat, sistem pengupahan, sistem kerja, tim kerja, kerja bergilir, dan lain-lain; dan (c) lingkungan kerja yang terdiri atas lingkungan fisik (vibrasi, bising, radiasi, dan lain-lain), kimia (bahan beracun, logam berat, bahan karsinogenik, debu metal, dan lain-lain) dan biologi (virus, bakteri, jamur, insekta, binatang pengerat, debu organik, dan lain-lain). 2. Faktor internal yaitu beban kerja yang disebabkan oleh faktor dalam atau bersumber dari tubuh manusia yang terdiri atas: (a) faktor somatik (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, somatotipe, kondisi kesehatan, status gizi, dan lain-lain); dan (b) faktor psikik (motivasi, persepsi, keinginan, emosi, kepuasan, kepercayaan, harga diri, tanggung jawab, dan lain-lain).
70
3. Penekanan kajian faktor pada penelitian ini adalah faktor eksternal (pengaturan waktu dan metode bimbingan Skripsi) dan faktor psikofisiologis (kelelahan, kebosanan, stres akademik). Kroemer dan Grandjean (2000) mengemukakan ada beberapa faktor penyebab kelelahan terutama terkait dengan beban kerja yaitu: (a) intensitas dan durasi aktivitas fisik dan mental, (b) lingkungan: iklim, cahaya, kebisingan, (c) ritme sirkadian, (d) kendala fisik: tanggung-jawab, kekhawatiran, konflik, (e) cedera dan sakit, (f) nutrisi/gizi. Tingkat kelelahan ditentukan dari seberapa besar pengaruh positif atau negatif dari beberapa faktor penyebab tersebut. Tingkat pemulihan kelelahan juga tergantung pada seberapa besar faktor penyebab tersebut dapat dikendalikan dalam batas normal selain beristirahat. Grandjean (1988) dan Sedarmayanti (1996) menyatakan bahwa kelelahan yang berlanjut dapat menyebabkan kelelahan kronis dengan gejala sebagai berikut: 1. Terjadi penurunan kestabilan fisik. 2. Kebugaran berkurang. 3. Gerakan lamban dan cenderung diam. 4. Malas bekerja atau beraktivitas. 5. Rasa sakit yang makin meningkat. Selain itu kelelahan juga menyebabkan gangguan psikosomatik sebagai berikut (Grandjean, 1988 dan Pheasant, 1991): 1. Sakit kepala 2. Pusing-pusing
71
3. Mengantuk 4. Jantung berdebar 5. Keluarnya keringat dingin 6. Nafsu makan berkurang atau hilang 7. Gangguan pencernaan Mengingat bahwa proses bimbingan Skripsi juga dapat mengakibatkan kelelahan fisik dan mental, baik secara kronik maupun psikosomatik, model bimbingan
Skripsi
seyogyanya
dimodifikasi
sehingga
diharapkan
dapat
mengurangi kelelahan. Sutajaya (2006) mengemukakan bahwa pada proses pembelajaran tampaknya beban kerja yang dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal akan saling mempengaruhi sehingga memunculkan perpaduan antara beban kerja fisik dan mental. Beban kerja tersebut diekspresikan melalui perubahan frekuensi denyut nadi yang dapat digunakan sebagai salah-satu data objektif untuk menentukan berat-ringan suatu aktivitas. Namun dari beberapa laporan peneliti tampak bahwa pekerjaan yang didominasi oleh beban kerja mental tidak akan mengubah kategori beban kerja, atau beban kerja tergolong pada kategori ringan (75 – 100 denyut per menit). Kategori beban kerja berdasarkan frekuensi denyut nadi kerja dapat dilihat pada Tabel 2.2. Demikian pula bimbingan Skripsi merupakan kegiatan dalam proses pembelajaran yang lebih menitikberatkan pada beban kerja mental.
72
Tabel 2.2 Kategori Beban Kerja berdasarkan Frekuensi Denyut Nadi Kerja NO.
KATEGORI BEBAN KERJA
1. Sangat ringan 2. Ringan 3. Sedang/Cukup 4. Berat 5. Sangat Berat 6. Ekstrim Sumber: Christensen (1991)
DENYUT NADI KERJA (Denyut per menit) 60 – 74 75 – 99 100 – 124 125 – 149 150 – 174 > 175
Boregowda, et al. (1977) melaporkan bahwa aktivitas yang disertai dengan stres mental dan fisik dapat meningkatkan rerata denyut nadi secara bermakna sebesar 16,80 denyut per menit pada pria dan 18,70 denyut per menit pada wanita (p < 0,01). Namun sebagaimana telah dikemukakan oleh Sutajaya (2006) bahwa beban kerja mental (termasuk beban belajar) tergolong pada kategori ringan maka perlu dilihat pula peningkatan frekuensi dari denyut nadi istirahat ke denyut nadi kerja. Monod dan Garcin (1996) menyatakan bahwa perubahan frekuensi denyut nadi tidak boleh melebihi 35 denyut per menit pada pria dan 30 denyut per menit pada wanita dari denyut nadi istirahat. Adiputra (2003) menyatakan pula bahwa pada beban kerja yang sama, subjek orang Bali telah merespon lebih berat 15% daripada orang Thai dan 30% lebih berat daripada orang Barat. Hal ini berarti kriteria tersebut harus dikurangi 30% dari orang Barat dengan perhitungan sebagai berikut: (a) bagi pria: 35 – (35 x 30%) = 24,5 denyut per menit; dan (b) bagi wanita: 30 – (30 x 30%) = 21 denyut per menit.
73
Artinya, peningkatan denyut nadi dari denyut nadi istirahat ke denyut nadi kerja dengan kategori beban kerja yang sama tidak boleh melebihi 25 denyut nadi per menit bagi pria dan 21 denyut nadi per menit bagi wanita bagi orang Indonesia (representasi orang Bali) karena hidup di daerah tropis dengan temperatur udara dan kelembaban yang tinggi. Mengingat bahwa beban kerja mental (beban belajar) termasuk pada kategori ringan dan peningkatan denyut nadi diperkirakan tidak melampaui batas ambang toleransi pada kriteria orang Indonesia, pengukuran denyut nadi untuk mendeteksi kelelahan tidak dipergunakan dalam penelitian ini. Metode yang dilakukan untuk mengukur kelelahan yang lebih bersifat mental merujuk pada rekomendasi Kroemer dan Grandjean (2000) dan pengukuran alternatif yang akan digunakan dalam penelitian sebagai berikut: 1. Kualitas dan kuantitas hasil kerja/belajar (penilaian hasil kerja/belajar) 2. Persepsi kelelahan subjektif (angket) 3. Frekuensi kedipan mata dengan tes flicker-fusion (tes laboratorium) 4. Tes psikomotorik (tes laboratorium) 5. Tes mental (tes laboratorium) Menurut Kroemer & Grandjean (2000) simtom kelelahan yang perlu dicermati terkait dengan kegiatan pembelajaran sebagai berikut: 1. Ketidakstabilan emosi (sikap dan perilaku agresif) 2. Kecenderungan depresi (bersumber dari kecemasan) 3. Dorongan melemah dan keengganan untuk bekerja/belajar 4. Kemungkinan mengidap penyakit (termasuk psikosomatik)
74
2.13
Kebosanan Selain kelelahan, dosen dan mahasiswa kemungkinan dapat mengalami
kebosanan dalam proses bimbingan Skripsi. Mengingat tingkat kesulitan yang relatif tinggi dan membutuhkan tingkat ketekunan yang tinggi pula dalam proses bimbingan Skripsi, dosen dan mahasiswa kemungkinan besar akan mengalami kejenuhan. Kondisi sosial menyangkut hubungan mahasiswa dengan orang lain baik dengan dosen dan orangtuanya maupun dengan temannya dapat mempengaruhi konsentrasi dan kegiatan belajarnya (Sukmadinata, 2003). Kroemer dan Grandjean (2000) mengemukakan dua faktor utama penyebab kebosanan sebagai berikut: 1. Faktor Eksternal a. Pekerjaan repetitif yang berlangsung lama, meski tidak terlalu sulit namun membuat pelaksana hanya terpaku pada pekerjaan tersebut tanpa sempat memikirkan proses secara menyeluruh. b. Penyeliaan (supervisi) yang monoton dan berlangsung lama serta menuntut pengawasan terus menerus. 2. Faktor Personal a. Orang dalam kondisi lelah b. Pekerja malam yang sulit beradaptasi c. Motivasi rendah dan kurang berminat d. Tingkat pendidikan, pengetahuan dan kemampuan yang tinggi e. Sangat berambisi terhadap pekerjaan yang menantang
75
Sebaliknya faktor penyebab resistensi terhadap kebosanan jika: a. Orang dalam kondisi bugar dan siaga b. Selalu belajar misal pengemudi pemula tidak pernah bosan c. Terlibat penuh dalam pekerjaan karena sesuai dengan kemampuan Menurut Anoraga (1998), jika aktivitas yang dilakukan dalam suasana membosankan akan mengakibatkan: 1. muncul keinginan untuk menghindar dari aktivitas tersebut; 2. selalu merasa tersiksa; 3. gelisah; 4. muncul kelelahan lebih dini; 5. rasa tidak puas; 6. muncul keinginan untuk berpaling ke aktivitas lain; dan 7. konsentrasi berkurang. Oleh karena itu proses bimbingan Skripsi seyogyanya dibagi menjadi dua atau tiga kali pertemuan dalam seminggu pada setiap bimbingan Skripsi. Di tengah-tengah pertemuan seyogyanya diberikan pula waktu istirahat panjang dan atau pendek. Pada setiap kali pertemuan waktu efektif dibatasi antara 100 – 150 menit dengan pola istirahat yang tepat. Kadarusman dan Rachmat (2002) melaporkan bahwa perbaikan rentang waktu istirahat yang semula hanya diberikan sekali selama 60 menit, diubah menjadi dua kali istirahat, yaitu 45 menit istirahat panjang dan 15 menit isitirahat pendek ternyata mampu meningkatkan rerata produksi dari 198,0 menjadi 208,0. Disumsikan bahwa peningkatan produksi tersebut dipengaruhi oleh penurunan
76
rasa malas atau bosan akibat istirahat panjang. Demikian pula jika proses bimbingan Skripsi tidak intensif (pertemuan rutin berkala jarang), justeru peluang untuk menimbulkan rasa malas atau bosan makin tinggi sehingga memungkinkan untuk menunda penyelesaian Skripsi (prokrastinasi) bagi mahasiswa. Oleh karena itu pembagian waktu bimbingan Skripsi secara berkelompok (variasi kegiatan kelompok dan individual) dapat diatur sebagai berikut: 1. Minimal seminggu sekali dilakukan pertemuan rutin secara berkelompok selama minimal dua jam dengan pengaturan waktu istirahat. 2. Dibuat sasaran pembelajaran pada setiap kali pertemuan secara bertahap mulai dari penentuan gagasan awal hingga penulisan proposal penelitian dan penyelesaian Skripsi (Bab I sampai dengan Bab V) berdasarkan rumusan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. 3. Ditetapkan dosen pembimbing definitif mulai dari penulisan proposal penelitian melalui Mata kuliah PPP hingga bimbingan dan ujian Skripsi. 4. Dilakukan kendali sasaran pembelajaran secara individual melalui pertemuan kelompok bersama dosen Pembimbing Skripsi, asisten biro bimbingan Skripsi, atau antar sesama mahasiswa. Adapun instrumen yang digunakan untuk mengukur kebosanan adalah kuesioner dan observasi perilaku selama kegiatan bimbingan Skripsi yang konvensional pada pembelajaran berkelompok dan ergonomis.
77
2.14
Stres Akademik Seperti halnya bekerja, belajar juga dapat menimbulkan stres. Dalam arti,
sebagaimana telah dikemukakan pada butir 2.12.1 (alinea kedua) imbangan antara kapasitas kerja (belajar) dan beban kerja (belajar) yang disebabkan oleh faktor eksternal dan internal dapat menimbulkan kelelahan. Apabila kapasitas lebih besar daripada beban berarti underload sehingga dapat menimbulkan understress. Demikian pula jika beban melebihi kapasitas berarti overload sehingga dapat mengakibatkan overstress. Baik understress maupun overstress merupakan kondisi mental yang tergolong tidak sehat atau lebih tepat disebut distress (Kroemer & Grandjean, 2000). Sementara itu apabila kapasitas berimbang secara proporsional dengan beban, akan berkibat pada kondisi mental yang tergolong sehat. Bahkan lebih jauh lagi apabila individu tergerak dan terdorong untuk mengelola dan mengendalikan stres demi mencapai prestasi dan kematangan pribadi, kondisi mental semacam ini dinamakan eustress (Schuller, dalam Davis & Newstrom, 1985). Dengan kata lain stres pada dasarnya bersifat netral, tergantung pada persepsi individu dan cara mengatasi perilaku stres (coping stress). Persoalannya, apabila tingkat kelelahan dan kebosanan tinggi, ditambah lagi dengan tingkat (di)stress yang tinggi, kondisi fisik dan mental seperti ini tidak kondusif bagi pengembangan belajar mahasiswa khususnya dalam bimbingan Skripsi. Pemahaman mengenai stres baik dalam bekerja dan belajar berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Ada tiga pendekatan pemahaman keilmuan tentang stres, yakni mulai dari sudut pandang teknik dan
78
ergonomi, kedokteran dan fisologi, serta psikologi. Berikut ini paparan pemahaman konsep teoretik mengenai stres serta teknik pengukurannya. 2.14.1 Pengertian Stres Dalam konteks pekerjaan stres termasuk ranah kajian bidang kesehatan dan keselamatan kerja. Setiap manusia dalam melakukan aktivitas pasti mengalami stres dengan tingkat rendah, cukup atau tinggi tergantung dari beban dan tuntutan kerja serta persepsi pekerja. Kendati demikian apabila stres kerja tidak dapat dikelola secara efektif dapat menurunkan motivasi dan produktivitas kerja (kinerja). Sebaliknya jika stres kerja dapat diatasi (coping stress) secara efektif kemungkinan besar justeru dapat meningkatkan motivasi dan produktivitas (kinerja). Asumsi ini berlaku pula pada aktivitas belajar mahasiswa khususnya dalam proses pembelajaran Skripsi. Ada bermacam-macam batasan pengertian mengenai stres, tergantung dari sudut pandang disiplin ilmu terkait. Perbedaan perspektif terhadap pemahaman mengenai stres dapat ditelusuri melalui tiga perspektif keilmuan, yaitu: (1) teknik dan ergonomi, (2) kedokteran dan fisiologi, (3) psikologi (Wilson & Corlett, 1995). Selanjutnya Wilson & Corlett (1995) memaparkan bahasan terkait dengan tiga perspektif keilmuan tentang pemahaman dinamika stres berikut ini. Dari sudut pandang disiplin ilmu teknik dan ergonomi, menurut Cox et al. pemahaman mengenai stres dimaknai sebagai karakteristik stimulus lingkungan kerja yang perlu dihindari/dicegah atau cenderung merugikan, dan faktor lingkungan dianggap sebagai erupakan faktor penyebab utama strain (reaksi dan dampak negatif stres). Bahkan lebih tajam lagi Symonds pada tahun 1947
79
mengemukakan terkait dengan kelainan psikologik yang dialami pekerja, yaitu bahwa stres merupakan kejadian yang menimpa manusia, bukan terjadi dalam dirinya; kejadian tersebut merupakan penyebab bukan semacam simptom. Meskipun Cox & Mackay et al. berpendapat bahwa dampak negatif stres (strain) seringkali dapat dipulihkan namun kenyataannya sulit kembali normal dan cenderung merusak. Sementara sudut pandang dari disiplin ilmu fisiologi yang digagas pertama kali oleh Selye, mendefinisikan stres sebagai kondisi yang tampak dari sindrom spesifik yang meliputi semua perubahan yang nir-spesifik dalam sistem biologik akibat
dari
stimuli
yang
semestinya
dihindari/dicegah
atau
tidak
menyenangkan/merugikan. Dengan kata lain stres merupakan respon terhadap situasi lingkungan yang mengancam atau merusak. Stres dianggap sebagai sindrom respon fisiologis yang umum dan nir-spesifik, serta merupakan ubahan gayut (dependent variable). Lebih jauh lagi Selye mengemukakan bahwa respon stres merupakan aktivasi dari dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem kortikal pituitari-adrenal anterior dan sistem medular simpatetik-adrenal. Selanjutnya Selye secara lebih spesifik dan sistematik menyatakan bahwa respon fisiologis stres menunjukkan tiga fase (trifasik), yaitu: (a) tahap peringatan awal (aktivasi medular simpatetikadrenal), lalu diikuti dengan (2) tahap resistensi (aktivasi kortikal adrenal) yang selanjutnya mengarahkan dalam beberapa kondisi pada (3) tahap akhir habis energi (reaktivasi akhir sistem medular simpatetik-adrenal dan mati). Selye menyebut proses menuju pada kondisi stres tersebut sebagai ‘adaptasi terhadap
80
penyakit’. Kondisi demikian dapat dikatakan paradoks antara keuntungan sesaat dan jangka pendek dari respon fisiologis terhadap stres (mobilisasi energi pada respon perilaku aktif) dan kerugian jangka panjang (risiko meningkat dari penyakit akibat stres). Namun demikian perspektif disiplin ilmu teknik dan fisiologis mengenai pemahaman terhadap makna stres dapat dikatakan tidak memadai terkait dengan data yang diperoleh. Misal, pengaruh kebisingan pada kinerja dan kenyamanan. Perspektif disiplin ilmu teknik beranggapan bahwa kebisingan sebagai faktor stres secara
langsung
dan
pasti
akan
mengakibatkan
penurunan
kinerja,
ketidaknyamanan dan mungkin sakit. Sementara itu menurut Cox dan Melamed et al. faktor kebisingan sebagai stres tidak hanya sekedar ditinjau dari tingkat kebisingan namun pelu dipertimbangkan pula macam kebisingan, perbedaaan individual dan dampak situasional. Bahkan justeru tingkat kebisingan dalam taraf normal bisa mempertahankan tingkat produktivitas (kinerja) pada saat subjek merasa lelah atau mengalami kelelahan. Sedangkan bunyi musik yang keras sengaja diperdengarkan dalam pertemuan masyarakat atau pada saat hajatan. Scott dan Howard juga mendukung pernyataan sanggahan tersebut dan menyatakan bahwa aspek kognitif sebagai faktor penengah juga sangat berpengaruh seperti faktor situasional (konteks) dalam keseluruhan proses stres. Douglas menekankan pula pada pengaruh faktor persepsi terhadap risiko karena bukan pada risiko objektif alami yang merupakan stres namun terutama sangat dipengaruhi oleh simpangan norma kelompok dan budaya setempat.
81
Terkait dengan sudut pandang dari disiplin ilmu fisiologi, Mason menunjukkan
bahwa
ternyata
beberapa
stimulus
fisik
yang
tidak
menyenangkan/merugikan tidak selalu mengakibatkan respon stres sepenuhnya. Selanjutnya Lacey juga menemukan bahwa koefisien korelasi rendah dan tidak konsisten antara komponen fisiologi respon stres dengan sindrom respon stres yang muncul. Rupanya sulit juga untuk membedakan perubahan fisiologi yang mencerminkan stres dan yang bukan stres, terkait dengan waktu kemunculan stresor. Sekarang banyak penelitian yang menyarankan bahwa jika sindrom respon stres terjadi sifatnya spesifik. Ada bukti, misal pembedaan perubahan fisiologi diketahui dari respon katekolamin (yang mencerminkan aktivasi medular simpatetik-adrenal) terhadap situasi stres. Dimsdale dan Moss (1980) mempelajari derajat plasma katekolamin yang menggunakan darah yang mengalir menarik pompa dan pengujian radioenzimatik. Ujicoba telah dilakukan pada 10 dokter muda dalam aktivitas bicara di depan publik. Ditemukan bahwa aktivitasi adrenalin dan noradrenalin meningkat. Aktivasi noradrenalin terkait dengan aktivitas fisik dalam pelaksanaan berbagai tugas, serta dalam menghadapi aduan dan kekecewaan (situasi frustrasi). Sementara itu aktivasi adrenalin lebih terkait dengan perasaan untuk berusaha dan saat mengalami stres. Sutherland dan Cooper (1990) mengemukakan bahwa kelemahan lain dari perspektif disiplin ilmu teknik dan fisiologi yaitu cenderung berpedoman pada paradigma stimulus-respon yang sederhana sehingga cenderung mengabaikan perbedaan individual psikologik terkait dengan proses persepsi dan kognitif yang
82
bisa menunjang. Dengan kata lain pemahamannya terlalu mekanistik dan pasif sehingga tidak memungkinkan untuk menafsirkan karakteristik stimulus pada dimensi psikologik dan fisiologis. Paradigma stimulus-respon ini cenderung mengabaikan interaksi individu dan lingkungan sebagai bagian mendasar dari pendekatan berbasis sistem pada ranah biologi, perilaku dan psikologi. Selain itu Cox dan Cox (1993) juga mengabaikan konteks psikososial dan organisasional terhadap stres kerja. Kritik yang lain pada sudut pandang fisiologi yang telah dikemukakan oleh Selye (1950), yaitu menyatakan harapan yang keliru terhadap hubungan antar penentu stres yang berbeda, dan sangat cenderung medikalisasi stres. Selain itu juga cenderung menyempitkan makna manajemen stres hanya terbatas pada lingkup individu dan respon terhadap stres tidak terkait dengan konteks organisasi di mana problem terjadi/dialami. Salah-satu implikasi dari pemahaman mengenai respon stres ini, cara-cara untuk mengatasi stres yang disarankan (misal relaksasi). Upaya untuk menyempurnakan pendekatan fisiologis ini tidak koheren atau lebih jelas pada penelitian tentang stres atau manajemen stres. Perkembangan istilah ‘good’ stress (eustress) dan ‘bad’ stress (distress) tetap tidak mengentaskan problem
yang
terjadi,
bahkan
menambah
pemaknaan
semantik
yang
membingungkan. Suatu pandangan yang cukup menyesatkan (mitos) yang sering mendapatkan pembenaran dalam pernyataan bahwa ‘beberapa stres itu baik bagimu’. Pemahaman ketiga mengenai stres ditinjau dari sudut pandang disiplin ilmu psikologi yang cenderung lebih menekankan pada model kognitif stres.
83
Pemahaman ini mencoba untuk mengatasi kelemahan pemahaman dari sudut pandang teknik dan fisiologis, sekaligus memaparkan pemahaman baru sebagai suatu kesepakatan yang memadai dari sudut pandang psikologik. Ada dua teori stres yang dominan mempengaruhi pemahaman tentang stres masa kini, yakni interaksional dan transaksional. Teori interaksional lebih terfokus pada
interaksi
struktural
individu
dengan
lingkungan
sedangkan
teori
transaksional lebih terpusat pada proses psikologik yang menunjang interaksi. Teori transaksional terutama terkait dengan penilaian kognitif dan cara mengatasi stres (coping stress). Pemahaman psikologik mengenai stres pada bahasan ini lebih menekankan pada teori transaksional dengan memadukan aspek-aspek yang sangat berguna dari teori interaksional. Konsep pemahaman psikologik mengenai stres dinamakan proses stres yang diawali dengan (a) faktor anteseden (pemicu) dan (b) proses persepsi kognitif yang meningkatkan pengalaman emosional stres, lalu mempertimbangkan pula (c) hubungan antar pengalaman tersebut. 2.14.2 Fenomena psikologik stres Cox (1993) membatasi pemahaman tentang stres sebagai kondisi kognitif yang merupakan bagian proses yang mencerminkan persepsi manusia dan adaptasi terhadap tuntutan lingkungan (kerja). Menurut Lazarus (1966) pemahaman psikologi stres ini menekankan pada penilaian kognitif mengenai situasi dan reaksi terhadap situasi stres dalam konteks penyelesaian masalah. Stres bukan merupakan dimensi lingkungan fisik dan psikososial, dalam arti bukan hanya sebagai beban kerja atau kejadian yang menentukan situasi stres. Demikian pula stres bukan hanya merupakan respon yang kadang berkorelasi dengan stres,
84
seperti mobilisasi fisiologis atau disfungsi kinerja. Rerangka pemahaman psikologik studi mengenai stres terkait dengan manusia normal yang mampu mengatasi (atau gagal mengatasi) masalah yang dihadapi. Lazarus mengemukakan bahwa fokus pemahaman psikologi stres ini merupakan proses penilaian kognitif yang selanjutnya Holroyd dan Lazarus (1982) menegaskan kembali
sebagai ‘proses evaluatif yang menembus
perjumpaan situasional penuh makna’. Selanjutnya Folkman et al. (1980) mengajukan komponen primer dan sekunder pada proses penilaian. Penilaian primer mengandaikan pantauan terus menerus terhadap transaksi manusia dengan lingkungannya (lelaki atau perempuan) yang terpusat pada pertanyaan “Apakah saya mengalami masalah?”. Penilaian kedua tergantung pada rekognisi (pemaknaan ulang) bahwa masalah terjadi dan mengandaikan analisis yang lebih rinci dan menemukan strategi cara mengatasi masalah (coping strategy) yang memungkinkan. Cox
(1987) menyarankan
bahwa proses penilaian ini
mengandaikan pantauan terus menerus paling sedikit pada empat aspek transaksi individu dengan lingkungannya, dan evaluasi sinambungan terhadap imbangan antara keempat aspek transaksi tersebut yang meliputi: 2.14.2.1 Tuntutan pada manusia Tuntutan berupa tindakan atau penyesuaian yang bersifat kognitif, emosional, perilaku atau fisiologis. Terkait dengan lingkungan eksternal (seperti fungsi kerja atau antarmuka rumah/keluarga-kerja) atau lingkungan internal (kebutuhan manusia: material, sosial atau psikologik). Cox (1985) menyatakan bahwa ada beberapa dimensi penting yang mencerminkan tuntutan eksternal
85
(pekerjaan), misal ‘kesenangan/ketidaksenangan’ dan ‘kemudahan/ kesulitan’. Ada batasan waktu untuk memenuhi tuntutan manusia tersebut tergantung tingkat kemendesakan (perilaku tipe A menurut Zyzanski & Jenski (1970)). Derajat tuntutan rupanya bukan faktor utama dalam menentukan pengalaman stres namun terutama ditentukan dari perbedaan antara derajat tuntutan yang dipersepsikan dan persepsi individu terhadap kemampuan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Cox (1993) berpendapat bahwa hubungan antara senjangan dan intensitas pengalaman stres cenderung menunjukkan kurvilinier daripada linier. Dalam ambang batas toleransi stres kemungkinan bisa dalam kondisi beban berlebih (tuntutan > kemampuan) atau beban berkurang (tuntutan < kemampuan), atau kombinasi keduanya. Kemampuan manusia untuk mengatasi ketidakimbangan ini bisa menghambat atau menunjang dengan cara-cara yang berbeda dan terhadap besaran yang berbeda. 2.14.2.2 Kendala untuk mengatasi masalah Kendala-kendala beroperasi sebagai pembatasan atau keterbatasan pada aksi atau pikiran bebas, yang mencerminkan hilang atau kurang bebas dan kurang kendali terhadap tindakan. Kendala bisa bersumber secara eksternal, misal dari tuntutan pekerjaan yang spesifik atau dari aturan organisasi. Bisa juga kendala terkait peran atau mencerminkan kepercayaan dan nilai individual. Pada beberapa kajian pustaka apakah pengaruh tuntutan dan kendala (kebebasan pekerjaan) merupakan faktor tambahan atau penunjang terhadap interaksi senyatanya. Karasek et al. (1981) menyatakan bahwa interaksi senyatanya terjadi, sementara yang lain, misal Warr telah menemukan bukti hanya
86
sebagai pengaruh tambahan yang sederhana. Meski demikian perlu dicatat bahwa tuntutan dan kendala kerja yang tinggi bisa mengakibatkan kondisi berisiko yang tak berimbang terhadap keadaan kesehatan pekerja. 2.14.2.3 Dukungan dari pihak lain dalam mengatasi masalah Dukungan dapat diperoleh dengan cara-cara yang berbeda, pada dasarnya melalui ‘interaksi sosial’: saran dan informasi, bantuan praktik atau memberikan pemahaman dan menyatakan empati. Menurut Cox et al. (1984) dalam hal ini mungkin wanita membutuhkan dan cenderung lebih peka terhadap dukungan sosial daripada pria. 2.14.2.4 Karakteristik pribadi dan sumber mengatasi masalah dengan bekal pengetahuan, perilaku dan keterampilan kognitif dan pola perilaku. Ada banyak cara berbeda yang merupakan sumber manusia mengatasi dapat dikonsepkan, seperti energi, pengetahuan, sikap, pola perilaku (atau kepribadian) dan keterampilan. Konsep tradisional merujuk pada keterampilan psikomotor dan teknik, termasuk keterampilan sosial dan kognitif. Pola sikap dan perilaku sama halnya dengan pengetahuan dan keterampilan pribadi dapat dikembangkan melalui pendidikan formal dan pelatihan serta pengalaman informal otodidak. Beberapa paket elemen sumber tersebut mampu untuk mengubah yang dapat dipengaruhi semacam waktu dalam sehari, kelelahan dan kondisi kesehatan. Perlu dipertimbangkan pula elemen kognitif dan persepsi, mengingat kondisi stres seringkali diartikan sebagai
87
pengalaman emosi negatif manusia, ketidaksenangan dan ketidaknyamanan umum. 2.14.3 Kondisi Anteseden: Bahaya Kerja Sesuai dengan teori stres kontemporer sebagaimana telah dipaparkan (Wilson & Corlett, 1995), situasi yang dialami sebagai stres paling sedikit tampak dari tiga karakteristik sebagai berikut: 1. Individu dihadapkan pada tuntutan dan tekanan yang tidak sesuai dengan karakteristik dan sumber pribadi sehingga sulit untuk mengatasi. 2. Individu mengalami kendala dalam cara untuk melaksanakan pekerjaan dan mengatasi tuntutan pekerjaan: kurang kendali terhadap pekerjaan atau arahan cara mengatasinya. 3. Individu relatif menyendiri dan kurang dukungan dari kolega/rekan kerja, penyelia, teman atau keluarga. Cox & Cox (1993) mengemukakan bahwa tiga karakteristik situasi stres tersebut bisa dinyatakan dan dikombinasikan dalam berbagai cara di tempat kerja dan bisa mempengaruhi berbagai kemungkinan bahaya. Bahaya kerja yang bersumber dari aspek-aspek kerja yang bisa melukai, tergolong aspek fisik (biologik, biomekanik, kimiawi dan radiologik) dan psikososial (fungsi dan budaya organisasi, pengembangan karir, keluasan/kendali putusan, peran dalam organisasi, hubungan interpersonal, antarmuka kerja-rumah, rancangan tugas, beban kerja, jeda/istirahat kerja dan jadwal kerja). Hacker (1991menyatakan bahwa bahaya-bahaya kerja tersebut dapat diartikan terkait dengan lingkup
88
konteks atau isi pekerjaan. Dengan demikian menurut Cox (1993) stres dapat diartikan pula termasuk sebagai bagian dari bahaya kerja yang berdampak terhadap kesehatan kerja: satu mata rantai (Gambar 2.10) antara bahaya dan kesehatan (periksa pada sub-bahasan mengenai ‘Stres dan kesehatan’ berikut ini). Bahaya
Jalur Fisiko-kimiawi (langsung)
Jalur Psiko-fisiologis (mediasi stres)
Kesehatan
Gambar 2.10 Alur proses dari bahaya menuju kesehatan
2.14.4 Cara Mengatasi (Coping) Kesadaran bahwa masalah yang tidak dapat dikelola terjadi bersamaan dengan pengalaman emosional negatif (periksa Daftar Periksa Kemunculan Stres), kemudian secara normal menimbulkan siklus perubahan persepsi dan kognisi (penilaian sekunder), dan fungsi perilaku dan fisiologis (Wilson & Corlett, 1995). Beberapa perubahan tersebut merupakan upaya untuk menguasai masalah atau mengurangi pengalaman stres yang selanjutnya disebut ‘cara mengatasi’ (coping) oleh Lazarus. Cara mengatasi biasanya mencerminkan penyesuaian terhadap situasi atau penyesuaian situasi. Di tempat lain, Cox berpendapat bahwa proses cara mengatasi termasuk dalam rerangka penyelesaian masalah.
89
2.14.5 Perubahan Fisilogik Respon psikologik terhadap stres dapat berdampak pada fungsi fisiologis yang menunjang cara mengatasi minimal dalam jangka pendek, namun bisa mengganggu kesehatan fisik dalam jangka panjang (Wilson & Corlett, 1995). Berdasarkan hasil penelitian fisiologis stres bersumber dari aktivitas dua sistem neuroendokrin yakni sistem medular simpatetik-adrenal dan sistem kortikal pituitari-adrenal sebagaimana telah dijabarkan. Lebih jauh daripada itu dipelajari pula kaitannya dengan dampak pada sistem kekebalan tubuh (imunitas) dan daya kepekaan terhadap pengalaman stres. Bagi kebanyakan orang pada berbagai kesempatan, perubahan semacam ini tidak berimplikasi pada patologi namun beberapa pengalaman dapat bermakna secara etiologik (asal muasal) atau prognostik (prakiraan). 2.14.6 Stres dan Kesehatan Banyak perubahan psikologik dan fisiologis stres berkaitan dengan dampak disfungsi dan ketidaknyamanan (Wilson & Corlett, 1995). Banyak pengalaman stres yang mudah dan bisa pulih kembali meskipun sudah merusak kualitas hidup saat itu, seperti kinerja menurun, persoalan psikologik dan sosial serta kesehatan fisik yang lemah. Gangguan kesehatan akibat pengalaman stres biasanya pada sistem kardiovuskular dan pernafasan (misal penyakit jantung koroner dan asma), sistem imunitas (misal penyakit tulang rematik dan mungkin semacam kanker), sistem pencernaan perut (misal penyakit maag dan radang usus), serta terkait dengan sistem endokrin, otonomik dan otot. Dalam konteks organisasi pengalaman stres bisa berdampak manfaat kerja berkurang, intensitas
90
keluar-masuk pekerja meningkat, kemangkiran dan tidak efisien waktu, kinerja dan produktivitas menurun, aduan klien dan tuntutan kompensasi meningkat. 2.14.7 Pengukuran Stres Berdasarkan pada pemahaman psikologi stres yang mengacu pada pendekatan interaksi antara individu dan lingkungan (kerja) dan pendekatan transaksional dalam proses psikologi, serta perubahan dalam perilaku, fungsi fisiologis dan kesehatan setelah mampu mengatasi, pengukuran stres dilakukan terutama melalui aspek persepsi dan kognisi individu (Wilson & Corlett, 1995). Cox (1985a)
mengemukakan bahwa pengukuran kondisi stres seyogyanya
terutama dilakukan dengan pengukuran laporan diri yang terfokus pada proses penilaian dan pengalaman emosional stres. Dewe (1991) menyarankan untuk menanyakan terlebih dahulu kepada responden (pekerja), apakah ada dan tidak ada tuntutan tertentu dalam lingkungan kerja sehingga perlu dilakukan pula pengukuran frekuensi, durasi dan tingkatan tuntutan tersebut. Selain itu menurut Karasek (1970) dan Warr (1990) perlu ditelusuri pula interaksi antara persepsi seperti tuntutan dengan kendali atau tuntutan dan kontrol dengan dukungan. Sells (1970) dan Cox (1987) berpendapat bahwa cara mengatasi masalah dengan berbagai kombinasi dan ekspresi karakteristik kerja juga perlu untuk dipertimbangkan. 2.14.8 Triangulasi Data Pengukuran stres melalui teknik laporan diri dan pengalaman emosional stres saja tidak cukup (Wilson & Corlett, 1995). Reliabilitas yang diukur berdasarkan struktur internal atau kinerja sepanjang waktu tanpa rujukan dengan
91
data yang lain, pengukuran validitas tidak dapat diperoleh. Oleh karena itu ranah lain diperlukan dan triangulasi merupakan proses yang sangat diperlukan untuk menguji reliabilitas dan/atau validitas pada banyak disiplin ilmu yang berbeda (demikian pula pada pengukuran beban kerja mental). Konsep
triangulasi
dalam
pengukuran
berkaitan
dengan
strategi
menggabungkan posisi tertentu atau menemukan dengan menguji minimal tiga sudut pandang yang berbeda. Derajat persetujuan antara sudut pandang yang berbeda ini memberikan beberapa indikasi temuan reliabilitas dan/atau tergantung pada pengukuran yang digunakan yakni validitas konkuren. Dengan menerapkan prinsip triangulasi, ada tiga ranah yang akan diuji, yaitu (1) anteseden objektif dan subjektif dari pengalaman stres, (2) laporan diri mengenai kondisi stres, dan (3) berbagai perubahan pada perilaku, fisiologi dan kondisi kesehatan yang dikorelasikan dengan anteseden. Pengaruh faktor moderator seperti perbedaan individu dan kelompok bisa diukur. Bailey dan Bhagat (1987) menyarankan pendekatan metode ganda dalam pengukuran stres yang konsisten dengan konsep triangulasi, seperti berimbang antara pengukuran laporan diri, fisiologis dan nir-rintang. Pengukuran nir-rintang berkaitan dengan yang disebut Folger dan Belew (1985) serta Webb et al. (1966) sebagai pengukuran nir-reaktif yang meliputi: jejak fisik (seperti urusan rumahtangga), data arsip (seperti absensi), catatan pribadi (seperti buku harian), dan observasi serta rekaman tersembunyi. Bailey dan Baghat telah menunjukkan bahwa pengukuran nir-rintang seringkali mengubah keaslian perilaku atau respon lain yang diukur.
92
Triangulasi memerlukan bukti yang diperoleh dari tiga ranah, yakni: (1) pemeriksaan terhadap lingkungan kerja (meliputi aspek fisik dan psikososial), (2) survei persepsi pekerja dan reaksi untuk bekerja, dan (3) pengukuran perilaku pekerja perihal untuk bekerja, kondisi fisiologis dan kesehatan. Berikut ini akan dipaparkan mengenai dua alat ukur laporan diri yang telah dikembangkan di Nottingham perihal studi tentang stres kerja, yaitu Daftar Periksa Kemunculan Stres dan Kuesioner Kesejahteraan Umum. Pengukuran perubahan mencakup tiga ranah yakni kondisi perilaku, fisiologi dan kesehatan. Proses yang diukur meliputi rangkaian faktor anteseden – persepsi dan pengalaman (termasuk faktor moderator) – korelasi dan pengaruh. Konsep konstruksi pengukuran secara sederhana terdiri atas rangkaian faktor bahaya kerja – stres – terluka. 2.14.9 Daftar Periksa Kemunculan Stres (DPKS) Pengukuran mengenai suasana hati (mood) sebagai cikal bakal teknik pengukuran stres secara berturut-turut telah dilakukan sekitar tahun 1980 (Wilson & Corlett, 1995) melalui berbagai artikel yang dimuat pada British Journal of Psychology dan di tempat lain yang ditulis oleh beberapa ahli. Sebagian besar penelitian telah menggunakan Daftar Periksa Kemunculan Stres (DPKS) yang dikembangkan oleh Cox dan Mackay (1985), naskah aslinya pertama kali diterbitkan pada British Journal of Social and Clinical Psychology. Konstruksi DKPS yang digunakan adalah teknik analitik faktor pada pengukuran laporan diri tentang suasana hati (mood). Ada 30 kata sifat suasana hati yang menggambarkan perasaan saat kini, terdiri atas dua dimensi perasaan
93
yaitu (a) perasaan tidak senang/senang atau pola hedonik (stres), dan (b) perasaan terbangun/kantuk atau giat (kemunculan). Koefisien reliabilitas belah dua: pada dimensi perasaan kemunculan sebesar 0,82 dan pada stres sebesar 0,80. Berdasarkan konstruksi dua dimensi perasaan tersebut diperoleh empat model kuadran suasana hati: a. Kemunculan tinggi dan stres tinggi (kecemasan) b. Kemunculan tinggi dan stres rendah (bersenang-senang) c. Kemunculan rendah dan stres tinggi (kebosanan) d. Kemunculan rendah dan stres rendah (santai/relaks) 2.14.10
Kuesioner Kesejahteraan Umum (KKU)
Simtom yang diukur meliputi aspek fungsi kognitif, emosional, perilaku dan fisiologis. Skala penilaian simtom terdiri atas skala lima frekuensi nilai (‘tidak pernah’ hingga ‘selalu’) yang dirasakan selama enam bulan terakhir (Wilson & Corlett, 1995). Ada dua faktor penilaian yang meliputi: a. FKU1 (Faktor Kesejahteraan Umum 1): simtom terkait dengan kondisi melelahkan, emosi labil, dan kebingungan kognitif yang disebut ‘usang’. b. FKU2 (Faktor Kesejahteraan Umum 2): simtom terkait dengan perasaan khawatir dan takut, tegang dan tanda-tanda fisik kecemasan yang disebut ‘kencang dan tegang’. Shigemi, et al. (2000) melaporkan bahwa hasil survei di Jepang selama lebih dari setahun menunjukkan bahwa pekerja yang melakukan aktivitasnya
94
dalam situasi stres memunculkan rasa khawatir dan depresi sebesar 27,4% (survei I), 29,3% (survei II) dan 31,7% (survei III). Hasil survei dan amatan menunjukkan bahwa cukup banyak mahasiswa yang mengalami stres dalam proses bimbingan Skripsi, bahkan bagi mahasiswa yang kemampuan dalam pengelolaan emosi dan motivasi kurang baik cenderung mudah mengalami rasa putus asa dan kurang percaya diri (self-efficacy) untuk menyelesaikan tugas Skripsi (Livianto, 1999; Wisnuwardhana, 2000; Zefania, 2003; Kingofong, 2004; Widhaningrum, 2005; Purwiyatie, 2004; Wiwara, 2006; Minara, 2006; Setyawan, 2006; Yustyowati, 2006; Damayanti, 2006; Setioso, 2007; Hariyanti, 2008). Akibatnya, penyelesaian Skripsi tertunda (prokrastinasi) bahkan yang dikhawatirkan mahasiswa berhenti tidak menyelesaikan Skripsi atau menggunakan cara ilegal dengan memanfaatkan jasa joki Skripsi. Menurut Hartanti dan Rahaju (2003), gejala stres dapat berupa tanda-tanda sebagai berikut: 1.
Gejala fisik, dapat berupa munculnya keluhan sakit kepala, gangguan tidur, kelelahan atau energi terkuras, sembelit, diare, peningkatan tekanan darah, ketegangan otot (terutama leher dan bahu), dan penurunan nafsu makan.
2.
Gejala emosional, berupa kecemasan, depresi, perubahan suasana hati, mudah marah, gugup, self-esteem yang rendah, ledakan kemarahan, agresi, apatis, dan frustrasi.
3.
Gejala intelektual, berupa kurang atau sulit berkonsentrasi, mudah lupa, bingung, mental block, kurang perhatian, keterpakuan pada satu ide, melamun
95
yang berlebihan, produktivitas menurun, dan tidak mampu mengambil keputusan. 4.
Gejala interpersonal, berupa pengasingan diri dari rekan sekerja, mendiamkan orang lain, menyalahkan orang lain, kehilangan kepercayaan terhadap orang lain, dan sikap defensif yang berlebihan. Menurut Cox (dalam Gibson et al., 1992) dampak positif stres kerja adalah
peningkatan motivasi diri, peningkatan inspirasi untuk menikmati kehidupan yang lebih baik, dan rangsangan untuk lebih giat bekerja. Lebih lanjut Cox juga menemukan ada lima jenis dampak negatif stres kerja, antara lain: 1. Dampak subjektif (subjective effects), berupa kegelisahan, agresi, kelelahan, kebosanan, kemuraman, depresi, kelesuan, kekecewaan, frustrasi, hilangnya kesabaran, harga diri yang rendah, dan perasaan terasing. 2. Dampak perilaku (behavior effects), berupa mudah terkena kecelakaan, penyalahgunaan obat-obatan, makan atau minum yang berlebihan, dan berperilaku impulsif. 3. Dampak kognitif (cognitive effects), berupa ketidakmampuan mengambil keputusan, kurang konsentrasi, tidak mampu memusatkan perhatian dalam jangka waktu lama, peka terhadap kritik, dan rintangan mental (mental block). 4. Dampak fisiologis (physiological effects), berupa denyut jantung atau tekanan darah naik, mulut kering, dan berkeringat dingin. 5. Dampak keorganisasian (organizational effects), berupa kemangkiran, produktivitas rendah, mengasingkan diri dari rekan sekerja, ketidakpuasan kerja, serta menurunnya komitmen dan loyalitas terhadap organisasi.
96
Menurut Goodman dan LeRoy, stresor yang mempengaruhi mahasiswa dapat dikategorikan sebagai stresor terkait dengan persoalan akademik, finansial, waktu atau kesehatan, dan beban pribadi (Goodman, 1993; LeRoy, 1988 dalam Misra & McKean, 2000). Stres yang difokuskan pada penelitian ini terkait dengan persoalan akademik. Adapun pengertian stres akademik/belajar (academic stress) adalah persepsi mahasiswa terhadap beban informasi pengetahuan yang diperoleh dan persepsi terhadap waktu yang tidak memadai untuk mengembangkan pengetahuan tersebut (Carveth et al., 1996 dalam Misra & McKean, 2000). Instrumen yang digunakan untuk mengukur stres akademik adalah Gadzella's Student-Life Stress Inventory (SLSI) yang dirancang pada tahun 1991 untuk mengungkap persepsi mahasiswa terhadap stres akademik dan reaksi terhadap stres. Ada 51 butir pernyataan (item) yang disusun dengan menggunakan format
skala Likert (1=tidak pernah sama sekali hingga 5=selalu) yang
menggunakan lima kategori stresor akademik (frustrasi, konflik, tekanan, perubahan, dan beban pribadi), dan empat kategori yang mencerminkan reaksi terhadap stresor (fisiologis, emosional, perilakuan, dan kognitif). Tingkat validitas dan reliabilitas SLSI tersebut telah dilaporkan sebelumnya (Gadzella, 1991; Gadzella et al., 1998 dalam Misra & McKean, 2000). Skor semua butir pernyataan dijumlah pada tiap aspek untuk mendapatkan skor total pada sembilan kategori aspek. Konsistensi internal berkisar antara 0,69 – 0,82 pada sembilan kategori dalam penelitian yang telah dilakukan (Misra & McKean, 2000).
97
2.15
Keterampilan Berpikir dalam Pembelajaran Dalam setiap proses pembelajaran pasti dimaksudkan untuk meningkatkan
keterampilan berpikir bagi pebelajar. Dalam konteks penelitian ini, proses bimbingan Skripsi diharapkan juga dapat berperan untuk meningkatkan keterampilan berpikir mahasiswa mulai dari tingkat yang paling dasar hingga tingkat yang paling tinggi seiring dengan tingkat kompleksitas berpikir dalam penyelesaian persoalan. Berikut ini dikemukakan aneka ragam keterampilan berpikir mahasiswa beserta indikator tolok ukur melalui proses bimbingan Skripsi (Wolcott & Lynch, 2001): Tahap Dasar – Keterampilan dasar berpikir terdiri atas pengetahuan dan keterampilan dengan tingkat kompleksitas kognitif terendah, sebagai berikut: a. Mengulangi atau menulis ulang informasi; misal dari buku, catatan dan lainlain. b. Penalaran penyelesaian soal yang benar; misal melakukan perhitungan. Tahap ke-1 – Identifikasi persoalan, informasi yang relevan dan ketidakpastian dengan tingkat kompleksitas kognitif rendah, sebagai berikut: a. Identifikasi persoalan dan pembenaran; peka dan tanggap terhadap ketidakpastian dan ketiadaan alternatif solusi yang tepat. b. Identifikasi informasi yang relevan dan ketidakpastian informasi (termasuk alasan pembanding dan bukti pendukung terhadap beberapa solusi atau simpulan).
98
Tahap ke-2 – Mengembangkan interpretasi dan keterkaitan dengan tingkat kompleksitas kognitif menengah, sebagai berikut: a. Interpretasi informasi. b. Mengenali dan mengendalikan simpangan. c. Mengajukan asumsi dan penalaran terkait sudut pandang alternatif. d. Interpretasi bukti secara kualitatif dari keragaman sudut pandang. e. Organisasi informasi dengan cara yang tepat untuk menelusuri kompleksitas masalah. Tahap ke-3 – Prioritas alternatif dan komunikasi simpulan dengan tingkat kompleksitas kognitif tinggi, sebagai berikut: a. Setelah melalui analisis, mengembangkan dan menggunakan panduan untuk memprioritaskan faktor guna mempertimbangkan dan memilih alternatif solusi. b. Komunikasi secara memadai kepada pemerhati dan disesuaikan dengan situasi kondisi. Tahap ke-4 – Memadukan, memantau, dan kaji ulang strategi penelusuran akar persoalan dengan tingkat kompleksitas kognitif tertinggi, sebagai berikut: a. Menunjukkan dan menjelaskan keterbatasan solusi yang ditetapkan. b. Integrasi keterampilan dalam proses mengumpulkan dan menggunakan informasi guna memantau strategi dan melakukan modifikasi yang tepat. Bila dikaji lebih mendalam tahapan keterampilan berpikir mahasiswa yang dikembangkan dalam pembelajaran khususnya melalui proses bimbingan Skripsi sangat terkait dengan luaran proses belajar. Dengan demikian data mengenai hasil
99
ujian Skripsi dan tingkat keterampilan berpikir saling mendukung satu sama lain, sekaligus dapat digunakan sebagai kriteria kompetensi pembelajaran Skripsi yang diharapkan. Tingkat kompetensi pembelajaran Skripsi mahasiswa dapat diperoleh melalui penilaian hasil ujian Skripsi dan tingkat keterampilan berpikir mahasiswa. Sementara itu Marzano et al. (1988:68) secara rinci juga menguraikan bahwa ada 21 keterampilan berpikir inti (core thinking skills) yang dikelompokkan menjadi delapan kategori yang dapat diteliti atau dikembangkan di kelas (Tabel 2.3). Tabel 2.3 Keterampilan Berpikir Inti KATEGORI
KETERAMPILAN BERPIKIR
A. Keterampilan memfokuskan
1. Merumuskan masalah 2. Merumuskan tujuan 3. Mengamati 4. Merumuskan pertanyaan 5. Mengkode 6. Mengingat 7. Membandingkan 8. Menggolongkan 9. Mengurutkan 10. Menggambarkan 11. Mengidentifikasi atribut dan komponen 12. Mengidentifikasi pola. 13. Mengidentifikasi gagasan utama 14. Mengidentifikasi kesalahan 15. Menginferensi 16. Memprediksi 17. Mengelaborasi 18. Meringkas 19. Merestruktur 20. Membuat kriteria 21. Memverifikasi
B. Keterampilan mengumpulkan Informasi C. Keterampilan mengingat D. Keterampilan mengorganisasi
E. Keterampilan menganalisis
F. Keterampilan menyimpulkan
G. Keterampilan mengintegrasikan H. Keterampilan mengevaluasi Sumber: Sutajaya & Citrawathi (2007).
100
Bila dibandingkan antara kedua konsep tentang keterampilan berpikir tersebut ternyata ada keterkaitan dan kemiripan sehingga memungkinkan untuk dipadukan. Adapun perbandingan konsep keterampilan berpikir yang dimaksud dapat dicermati pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Bandingan Konsep Keterampilan Berpikir TINGKAT KOMPLEKSITAS KOGNITIF A. INISIASI
B. IDENTIFIKASI
C. INTERPRETASI
D. KONKLUSI
KETERAMPILAN BERPIKIR (Wolcott&Lynch) 1. Menghitung 2. Membuat definisi 3. Merinci 4. Menguraikan 5. Menjelaskan alasan 6. Menjelaskan ketidakpastian 7. Mengumpulkan informasi penunjang 8. Menelusuri referensi 9. Wawasan masalah 10.Rujukan pendapat 11.Alternatif solusi 10.Menjelaskan asumsi 11.Analisis bukti pendukung 12.Membandingkan alternatif solusi 13.Implikasi solusi 14.Revisi pola pikir 17.Berargumentasi 18.Fokus masalah dan solusi 19.Perubahan solusi 20.Alternatif argumen 21.Teknik komunikasi
KETERAMPILAN BERPIKIR (Marzano et al.) 1. Mengkode 2. Mengingat 3. Menggambarkan
KATEGORI KETERAMPILAN BERPIKIR A. Keterampilan mengingat
4. Merumuskan masalah 5. Merumuskan tujuan 6. Mengamati 7. Merumuskan pertanyaan
B. Keterampilan memfokuskan C. Keterampilan mengumpulkan
8. Membandingkan 9. Menggolongkan 10.Mengidentifikasi atribut dan komponen 11.Mengidentifikasi pola 12.Mengidentifikasi kesalahan 13.Mengurutkan 14.Mengidentifikasi gagasan utama 15.Menginferensi
D. Keterampilan mengorganisasi E. Keterampilan menganalisis
F. Keterampilan menyimpulkan
101
E. INTEGRASI
22.Keterbatasan solusi 23.Implikasi solusi 24.Prediksi perkembangan solusi 25.Kreasi strategi baru 26.Memantau implikasi solusi 27.Perencanaan strategik
16.Memprediksi 17.Mengelaborasi 18.Merangkum 19.Merestruktur 20.Membuat kriteria 21.Memverifikasi
G. Keterampilan mengintegrasikan H. Keterampilan mengevaluasi
Berdasarkan bandingan dari kedua konsep tentang keterampilan, peneliti melakukan modifikasi untuk disesuaikan dan dikaitkan dengan proses bimbingan Skripsi. Hasil paduan konsep tentang keterampilan berpikir yang digunakan dalam penelitian dipaparkan pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Keterampilan Berpikir (Modifikasi) TINGKAT KOMPLEKSITAS KOGNITIF KETERAMPILAN BERPIKIR A. INISIASI 1. Menghitung 2. Membuat definisi 3. Merinci 4. Menguraikan B. IDENTIFIKASI 5. Merumuskan masalah 6. Merumuskan tujuan 7. Mengumpulkan informasi penunjang 8. Menelusuri referensi 9. Wawasan masalah C. INTERPRETASI 10.Menjelaskan asumsi 11.Analisis bukti pendukung 12.Mengidentifikasi gagasan utama D. KONKLUSI 13.Menginferensi 14.Berargumentasi 15.Perubahan paradigma 16.Teknik komunikasi E. INTEGRASI 17.Memprediksi 18.Mengelaborasi 19.Merangkum 20.Membuat kriteria 21.Memverifikasi
102
Adapun instrumen yang digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir mahasiswa terkait dengan proses bimbingan Skripsi adalah skala penilaian yang dikembangkan berdasarkan paduan antara konsep tahapan keterampilan berpikir (Wolcott & Lynch, 2001) dan perilakuan keterampilan berpikir (Marzano et al., 1988) yang sesuai dengan standar isi dan kompetensi seperti tertera pada Tabel 2.5. Cara penilaian dilakukan pada setiap unsur keterampilan berpikir dengan memberikan salah-satu angka skala penilaian yang berkisar 1 – 10 (rendah sampai dengan tinggi). Skala penilaian keterampilan berpikir selengkapnya dapat diperiksa pada Lampiran 5.
2.16
Luaran Proses Belajar Belum lama berselang KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) diterapkan
dalam sistem pendidikan nasional pada tahun 2002, sekarang orientasi pembelajaran diperbaharui dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang mulai diterapkan pada tahun 2006 (Mulyasa, 2003). Dasar pemikirannya bahwa penyempurnaan kurikulum yang berkelanjutan merupakan keharusan agar sistem pendidikan nasional selalu relevan dan kompetitif (Mulyasa, 2007). Sebagaimana telah digambarkan pada Gambar 2.1 (Sanjaya, 2006) bahwasanya dalam sistem KTSP terdapat rincian ketentuan standar isi dan standar kompetensi untuk melengkapi sistem KBK yang telah berlaku. Berarti sudah ada dua aspek pendidikan yang distandarisasikan secara nasional dari delapan aspek pendidikan yang diusulkan oleh BSPN (Badan Standar Pendidikan Nasional)
103
kepada Mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional) sesuai dengan PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 19 Tahun 2005 (Mulyasa, 2007). Secara definitif KTSP (Mulyasa, 2007) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan UU (Undang-Undang) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada pasal 36 ayat 1 dan 2 sebagai berikut: 1. Pengembangan kurikulum mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional. 2. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. KTSP dimaksudkan merupakan strategi pengembangan kurikulum untuk mewujudkan sekolah yang efektif, produktif dan berprestasi. KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum yang memberikan otonomi luas pada setiap statuan pendidikan, dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar-mengajar di sekolah (Mulyasa, 2007). Dengan demikian luaran proses belajar yang menjadi acuan dalam penelitian ini berdasarkan pada KBK dan KTSP sebagai pelengkap, dan masih dimungkinkan untuk disesuaikan dan diadaptasikan sesuai dengan kondisi sekolah, masyarakat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi yang berkembang sangat pesat bersamaan dengan era globalisasi (Mulyasa, 2007).
104
Sebagai perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar-mengajar, dan pemberdayaan pebelajar, kurikulum berbasis kompetensi (KBK) berorientasi pada (Sutajaya, 2006): 1. hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan 2. keberagaman yang dapat diwujudkan sesuai dengan kebutuhannya. Dalam hal ini penilaian berbasis kelas yang merupakan komponen dari KBK didefinisikan sebagai suatu prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang akurat dan konsisten tentang kompetensi atau hasil belajar siswa serta pernyataan yang jelas mengenai kemajuan siswa sebagai akuntabilitas publik (Rustaman, 2004). Selain itu bila dilihat dari indikator pencapaian kompetensi dasar dalam aspek penyelesaian masalah, maka indikator tersebut sesuai dengan heuristik fasefase penyelesaian masalah oleh Polya adalah (Baroody, 1993 dalam Suharta, 2003): 1.
Mengerti masalah yang terdiri atas: (a) menyatakan masalah dengan kata-kata sendiri; (b) menentukan apa yang diketahui dan apa yang ditanya; dan (c) menentukan informasi apa yang diperlukan.
2.
Membuat rencana yang berupa: (a) gambar; (b) menyelidiki pola; (c) mengorganisasi data dalam daftar, tabel dan pola; (d) menyederhanakan masalah; (e) mengaitkan masalah dengan masalah-masalah yang telah dikenal; (f) menggunakan penalaran logika; dan (g) menerka dan cek.
105
3. Melaksanakan rencana yaitu:”Apakah rencana dapat dikerjakan atau tidak?” 4.
Memeriksa kembali yaitu: (a) memeriksa hasil; (b) memeriksa alasan; (c) menyelidiki cara lain; (d) menginterpretasi ulang masalah; dan (e) menginterpretasi hasil. Ranah penilaian yang dilakukan dalam penelitian ini untuk mengukur
kualitas luaran proses belajar meliputi tiga ranah utama, yaitu: 1.
Materi penulisan Skripsi, meliputi aspek penilaian: teknik penulisan, perumusan
masalah,
kerangka
teori,
ketepatan
metodologi,
kedalaman/ketajaman analisis, hasil guna. 2.
Proses bimbingan Skripsi, meliputi aspek penilaian: kemandirian, daya juang, pengambilan data, sikap ilmiah.
3.
Kualitas pribadi, meliuti aspek penilaian: kecepatan revisi, interpersonal, disiplin janji, kreativitas, kerjasama. Adapun cara penilaiannya adalah melakukan pemantauan berdasarkan
rubrik penilaian yang berisi rincian dari ketiga ranah dan diisi oleh dosen Pembimbing Skripsi dan rekan mahasiswa dalam kelompok bimbingan Skripsi. Selain itu penilaian kualitas luaran proses belajar juga terungkap melalui laporan pribadi dari setiap mahasiswa (self-report) yang bersangkutan. Skor penilaian dapat berupa angka atau tanda centang pada daftar periksa (check-list). Lalu, kedua sumber penilaian tersebut dipadukan untuk dicari nilai yang paling akurat. Format rubrik dan panduan penilaian luaran proses belajar selengkapnya dapat diperiksa pada lampiran 5.
106
2.17
Pendekatan Pembelajaran Guna
menunjang
capaian
dari
proses
pembelajaran
dan
disain
pembelajaran yang telah dibahas tersebut, perlu dilakukan pendekatan pembelajaran yang efisien dan efektif serta kondusif untuk meningkatkan kinerja pembelajaran seoptimal mungkin. Ada satu pendekatan yang paling tepat dan sesuai dengan konsep pengembangan teknologi pembelajaran secara ergonomis ditinjau dari semua aspek pembelajaran (multidimensional), yaitu PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan).
Pendekatan pembelajaran PAKEM (Suparlan dkk., 2008) sebetulnya merupakan pengembangan dari pendekatan SAL (student active learning) yang di Indonesia lebih dikenal dengan pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Pada prinsipnya pendekatan pembelajaran SAL/CBSA ini merupakan perubahan paradigma pembelajaran dari teacher-centered learning (TCL) menjadi studentcentered learning (SCL). Dalam proses pembelajaran seyogyanya lebih cenderung diarahkan terutama pada orientasi ‘murid belajar apa?’, bukan ‘guru mengajar apa?’ atau bukan ‘apa yang diajarkan kepada murid?’ (Lunandi, 1993) Namun kenyataan dalam pelaksanaannya,
konsep pendekatan pembelajaran sebaik
apapun tidak akan bisa efektif bila tidak dirancang secara komprehensif dan menyeluruh.
Pendekatan pembelajaran PAKEM (Suparlan dkk., 2008) merupakan salah-satu implementasi dan implikasi dari program pelatihan nasional yang
107
digagas dan diprakarsai oleh USAIDS yang dinamakan MBE (Managing Basic Education) dan dirancang dalam tiga materi pelatihan pokok, yaitu: a. MBS (Manajemen Berbasis Sekolah): khusus bagi para kepala sekolah dan pengelola pendidikan sekolah. b. PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan): bagi para pendidik dan para pengawas yang akan menyelia teknik edukatif tentang kinerja guru di sekolah. c. PSM (Peran Serta Masyarakat): bagi Komite Sekolah dan tokoh masyarakat yang akan menjadi ujung tombak dalam penggalangan partisipasi masyarakat dalam peningkatan mutu layanan pendidikan. Ketiga materi pokok pelatihan tersebut sebetulnya saling terkait dan menunjang satu sama lain. Namun demikian dalam konteks ini bahasan lebih ditekankan pada pendekatan pembelajaran PAKEM sebagai basis disain pembelajaran yang ergonomis guna meningkatkan kinerja pembelajaran yang optimal khususnya bagi pebelajar. Akronim PAKEM (Suparlan dkk., 2008) memiliki makna pembelajaran yang mendasar dan mendalam untuk diterapkan sebagai pedoman, panduan dan tolok ukur keberhasilan proses pembelajaran. Berikut ini dipaparkan makna dari tiap kata akronim PAKEM, yaitu:
a.
Pembelajaran
: Proses menyerap, menerima dan mengolah informasi untuk
mampu
memahami,
menerapkan,
menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
dan
108
b.
Aktif
: Sikap pebelajar untuk selalu aktif, penuh inisiatif serta mandiri dalam upaya mencari dan menemukan informasi yang diperlukan dalam proses pembelajaran.
c.
Kreatif
: Sikap pebelajar untuk menemukan alternatif solusi dan inovatif
dalam
bersumber dari
menyelesaikan materi
persoalan
pembelajaran
selain
yang sudah
ditetapkan dan dipelajari. d.
Efektif
: Proses pembelajaran yang selaras dengan tujuan, materi, metode, media dan evaluasi pembelajaran yang telah dirancang namun tidak menutup kemungkinan untuk selalu diperbaharui.
e.
Menyenangkan
: Menciptakan suasana pembelajaran bagi pebelajar yang bebas dari rasa takut, leluasa berekspresi dan menikmati proses pembelajaran dengan sukarela dan senang hati (joyful learning).
Karakteristik pendekatan pembelajaran PAKEM (Suparlan dkk., 2008) dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Penyediaan sumber belajar yang beranekaragam selain buku pelajaran. b. Disain skenario pembelajaran dengan berbagai kegiatan belajar yang berbasis pada sumber belajar. c. Hasil kegiatan belajar pebelajar berupa hasil diskusi atau hasil karya pebelajar dipajang di kelas. d. Kegiatan belajar di kelas bervariasi dengan kegiatan mandiri, berpasangan, kelompok kecil (4-5 pebelajar) untuk mengerjakan tugas bersama lalu dipresentasikan di kelas.
109
e. Pengembangan kreativitas dan inovasi melalui kegiatan belajar untuk menyelesaikan tugas secara mandiri, berpasangan, kelompok kecil. f. Pebelajar tampak bersemangat dan merasa senang dengan kegiatan belajar yang dinamik untuk mengaktualisasikan kemampuan dan perasaan secara leluasa. g. Melakukan refleksi terhadap proses pembelajaran yang telah dialami berupa kesan dan pesan yang dinyatakan secara tertulis dan lisan guna perbaikan selanjutnya. Panduan dan pedoman untuk menerapkan pendekatan pembelajaran PAKEM (Suparlan dkk., 2008), yaitu: a. Memahami sifat pebelajar dengan memenuhi kebutuhan rasa ingin tahu dan berimajinasi. b. Mengenal pribadi pebelajar baik mengenai keunggulan dan keterbatasan dari segi kemampuan dan karakteristik pribadi. c. Mendorong pebelajar untuk bersosialisasi dengan sesama pebelajar melalui kegiatan belajar berpasangan dan kelompok kecil. d. Pengembangan kemampun berpikir kritis, kreatif, dan menyelesaikan masalah dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menantang dan menarik.
110
e. Disain ruang pembelajaran dengan pajangan dari hasil kegiatan belajar guna dipakai sebagai rujukan dan inspirasi bagi pebelajar lain atau diri sendiri. f. Memanfaatkan lingkungan fisik, sosial dan budaya sebagai sumber belajar untuk diperagakan di kelas sekaligus sebagai pengalaman langsung dalam pembelajaran. g. Memberikan umpanbalik guna peningkatan kinerja pembelajaran melalui apresiasi (penghargaan) terhadap unggulan karya pebelajar agar lebih percaya diri. h. Mendorong aktivitas fisik dan mental untuk terlibat aktif dalam kegiatan belajar terutama dalam mengemukakan gagasan dan berinteraksi antar pebelajar. Pendekatan pembelajaran PAKEM (Suparlan dkk., 2008) dapat diterapkan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari sekolah tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Dalam konteks bahasan ini, model pendekatan pembelajaran PAKEM lebih difokuskan pada penerapan di jenjang perguruan tinggi, khususnya terkait dengan penyelesaian tugas pembelajaran mahasiswa yaitu Skripsi. Seperti diketahui bahwa Skripsi merupakan salah-satu Mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa sebagai salah-satu prasyarat kelulusan sebagai calon sarjana. Sebetulnya Skripsi bukan merupakan tugas akhir
111
mahasiswa, namun pada kenyataannya mahasiswa menyelesaikan pada akhir masa studi menjelang kelulusan sebagai calon sarjana. Skripsi sebetulnya dimaksudkan untuk melatih mahasiswa dalam melakukan penelitian ilmiah dengan menuliskan laporan serta mempresentasikan untuk diuji sebagai pertanggungjawaban ilmiah. Pada hakikatnya Skripsi merupakan integrasi dari semua mata ajaran yang pernah ditempuh baik dari segi substansi keilmuan dan metodologi penelitian ilmiah. Persoalannya, sebagian
besar mahasiswa
relatif belum
memiliki
pengalaman dalam melakukan penelitian secara mandiri meski pada beberapa Mata kuliah yang ditempuh sebelumnya sudah dilakukan tugas penelitian kecil seperti pembuatan makalah atau survei lapangan. Dengan kata lain dalam pembuatan Skripsi, mahasiswa sebetulnya masih tergolong pebelajar pemula (novice). Sementara itu mahasiswa dituntut untuk memadukan (integrasi) antara substansi keilmuan dan metodologi penelitian dalam melaksanakan tugas pembelajaran Skripsi, mulai dari pembuatan proposal penelitian, pengumpulan data
penelitian
hingga
penyusunan
laporan
penelitian
ilmiah
sampai
dipresentasikan secara lisan di hadapan tim penguji Skripsi, termasuk dosen Pembimbing Skripsi. Meski mahasiswa sudah didampingi dan dibantu oleh dosen Pembimbing Skripsi, namun pada hakikatnya tugas pembelajaran Skripsi dilakukan secara mandiri oleh mahasiswa. Teknologi pembelajaran Skripsi tidak dilakukan di kelas secara berkala minimal seminggu sekali seperti Mata kuliah yang lain namun biasanya dilakukan kegiatan belajar secara mandiri dan bimbingan Skripsi
112
bersama dosen pembimbing di luar kelas dengan pengaturan waktu yang sesuai dengan kesepakatan bersama antara mahasiswa dan dosen serta jadwal bimbingan tidak menentu. Dengan sendirinya mengandalkan mahasiswa bersikap mandiri untuk mengelola tugas pembelajaran serta waktu penyelesaiannya (selfmanagement). Hal ini berarti dalam penyelesaian tugas pembelajaran Skripsi terkandung konsekuensi logik bagi mahasiswa untuk menanggung beban ganda, yaitu (a) integrasi keilmuan, dan (b) keterampilan manajemen diri. Mengingat bahwa beban ganda yang harus ditanggung oleh mahasiswa sebagai pebelajar pemula untuk menyelesaikan tugas pembelajaran Skripsi seringkali berakibat pada waktu penyelesaian yang relatif masih melebihi target waktu minimal (lebih daripada satu semester) dengan bobot 6 SKS (satuan kredit semester). Kondisi pembelajaran Skripsi semacam ini biasanya juga berimbas dan berdampak pada penumpukan mahasiswa yang akan lulus (bottle neck) sehingga menyulitkan dan membebani secara cukup berlebihan bagi mahasiswa, dosen pembimbing, petugas administrasi dan lembaga pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu tugas pembelajaran Skripsi ini seyogyanya juga dikelola dengan lebih tertata rapi dan sistemik sehingga dapat makin meringankan beban fisik dan mental baik bagi mahasiswa tugas Skripsi, dosen Pembimbing Skripsi, petugas administrasi dan lembaga pendidikan. Diharapkan dengan penataan dalam pengelolaan tugas pembelajaran Skripsi yang lebih ergonomis, luaran proses belajar (output) mahasiswa serta hasil belajar (outcome) mahasiswa makin meningkat secara lebih optimal lagi.
113
Luaran proses belajar mahasiswa yang dimaksud dalam konteks penataan tugas pembelajaran Skripsi yang ergonomis terutama adalah waktu penyelesaian (kurang dari 6 bulan dalam satu semester) dan jumlah lulusan serta kualitas penulisan Skripsi dan kepuasan mahasiswa dalam proses pembelajaran Skripsi meningkat. Sementara itu hasil belajar yang terutama diharapkan tercapai dalam proses pembelajaran Skripsi bagi mahasiswa terutama adalah keterampilan berpikir secara ilmiah meningkat guna dipakai sebagai bekal pengetahuan untuk pengembangan keilmuan dalam praktik kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya, bagaimana melakukan rancangan pembelajaran dengan menerapkan model pendekatan pembelajaran PAKEM berbasis ergonomi kognitif khususnya dalam menyelesaikan tugas Skripsi bagi mahasiswa? Berikut ini penulis memaparkan rincian kegiatan belajar bagi mahasiswa tugas Skripsi berdasarkan pendekatan pembelajaran PAKEM yang berbasis pada intervensi ergonomi kognitif yang akan ditindaklanjuti dalam proposal penelitian disertasi. Ada pun subjek penelitian disertasi ini akan difokuskan pada mahasiswa di FakultasX Universitas Y (selanjutnya disingkat Fakultas XY) dengan konsep rancangan penelitian mengenai pembelajaran Skripsi dengan bimbingan secara berkelompok sebagaimana dipaparkan berikut ini. a. Rancangan Penelitian 1) Mahasiswa tugas Skripsi adalah mahasiswa yang telah lulus dari Mata kuliah Penyusunan Proposal Penelitian (PPP) dari tahun angkatan 2004 – 2008.
114
2) Mahasiswa tugas Skripsi telah menerima SK (Surat Keputusan) Dekan tentang Dosen Pembimbing Utama dan Pendamping (jika ada). 3) Mahasiswa tugas Skripsi yang sudah terdaftar diacak menjadi dua kelompok pembelajaran Skripsi, yakni Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol. 4) Kelompok Perlakuan adalah kelompok mahasiswa tugas Skripsi yang menerapkan disain pembelajaran Skripsi dengan pola PAKEM yang berbasis ergonomi kognitif. Kelompok Kontroladalah kelompok mahasiswa tugas Skripsi yang menerapkan disain bimbingan Skripsi yang konvensional pada pembelajaran berkelompok seperti yang telah biasa dilakukan oleh mahasiswa tugas Skripsi dan dosen Pembimbing Skripsi. b. Pendampingan Tugas Skripsi 1) Pola pendampingan dan bimbingan mahasiswa tugas Skripsi pada Kelompok Perlakuan diatur sebagai berikut: a) Mahasiswa tugas Skripsi mengikuti kelas pemantapan proposal penelitian hasil dari proses pembelajaran kelas Mata kuliah PPP dengan program matrikulasi perihal materi terkait topik penelitian Skripsi sejauh diperlukan.
115
b) Mahasiswa tugas Skripsi melakukan lokakarya persiapan dan pelaksanaan penelitian Skripsi untuk koleksi, analisis dan interpretasi data yang diperlukan. c) Mahasiswa tugas Skripsi melakukan lokakarya penulisan laporan penelitian ilmiah berupa Skripsi, sekaligus melakukan latihan presentasi dalam seminar ilmiah mahasiswa untuk persiapan ujian Skripsi. d) Mahasiswa tugas Skripsi melakukan refleksi bersama setelah melaksanakan ujian Skripsi dan melakukan lokakarya perbaikan Skripsi jika diperlukan. 2) Panduan pendampingan dan bimbingan mahasiswa tugas Skripsi selama mengikuti pertemuan kelompok di kelas pembelajaran Skripsi: a) Jadwal pertemuan kelompok dilakukan minimal seminggu sekali dengan mencatat kehadiran mahasiswa. b) Topik pertemuan kelompok disampaikan dan diketahui oleh mahasiswa dan dosen Pembimbing Skripsi minimal seminggu sebelumnya, termasuk penugasan dan persoalan serta kendala yang dihadapi. c) Mahasiswa
tugas
Skripsi
diharapkan
untuk
menempelkan
representasi/cuplikan karya tulis ilmiah dan laporan kemajuan
116
penelitian Skripsi serta memo-memo
di papan pajangan yang
tersedia. d) Dosen Pembimbing Skripsi membuat panduan tertulis tentang standar penulisan dan penelitian Skripsi, serta menyampaikan umpan balik secara tertulis kepada mahasiswa tugas Skripsi. e) Mahasiswa tugas Skripsi didorong untuk lebih aktif dan berinisiatif untuk menyampaikan laporan perkembangan penelitian Skripsi dan saling menanggapi antar mahasiswa pada setiap pertemuan kelompok di kelas, sementara dosen Pembimbing Skripsi hanya berperan sebagai fasilitator untuk mengarahkan saja. f) Mahasiswa
tugas
Skripsi
diberi
kesempatan
pula
untuk
mencurahkan isi hati manakala mengalami hambatan pribadi terkait dengan penyelesaian tugas Skripsi baik secara individual maupun dalam kelompok dengan didampingi oleh dosen Pembimbing Skripsi jika diperlukan. 3) Fasilitas Penunjang Skripsi a) Disediakan satu ruang kelas yang dipakai untuk melakukan pertemuan kelompok mahasiswa tugas Skripsi yang didisain secara ergonomis (mikroklimat: suhu udara, kelembaban, pencahayaan, kebisingan) lengkap dengan meja dan kursi secukupnya (kapasitas 5-10 orang) serta papan tulis (white board) dengan alat tulis.
117
b) Di ruang kelas tersedia minimal satu komputer/laptop, printer, LCD projektor, layar monitor, CCTV, papan pajangan, jam dinding yang digunakan untuk presentasi, akses internet dan analisis data statistik kuantitatif dengan program SPSS serta monitor aktivitas belajar selama pertemuan kelompok, tempelan memo dan penunjuk waktu. c) Jejaring mailing list dirancang pada setiap kelompok mahasiswa tugas Skripsi dan dosen Pembimbing Skripsi untuk melakukan interaksi pembelajaran melalui media komunikasi maya selain tatap muka seminggu sekali. d) Alat pengukuran subjektif dan objektif terkait dengan variabel penelitian yang meliputi: (1) Kuesioner kelelahan secara umum (2) Kuesioner kebosanan dalam proses pembelajaran (3) Inventori stres akademik mahasiswa (4) Skala penilaian keterampilan berpikir dalam proses bimbingan Skripsi (5) Borang penilaian luaran proses belajar proses bimbingan Skripsi
118
4) Pelaksanaan Teknis Administrasi a) Mahasiswa tugas Skripsi mengurus sendiri administrasi pembelajaran Skripsi kepada pejabat dekanat dan kepala bagian serta dosen Pembimbing Skripsi melalui petugas administrasi Skripsi di bagian tata-usaha mulai dari administrasi proposal penelitian, bimbingan Skripsi hingga ujian Skripsi. b) Pembaharuan (update) data base mahasiswa tugas Skripsi seyogyanya dilakukan setiap hari oleh petugas administrasi Skripsi. c) Administrasi
penjadwalan
dan
pembiayaan
penelitian
Skripsi
dilakukan sendiri oleh mahasiswa tugas Skripsi dengan membuat rencana jadwal dan anggaran biaya penelitian Skripsi.
119
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP dan HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Berdasarkan rumusan masalah dan kajian pustaka yang telah dipaparkan, ada beberapa pokok bahasan konsep yang hendak dikaji lebih mendalam pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil survei dan beberapa penelitian tentang penulisan Skripsi di Fakultas XY, masih cukup banyak mahasiswa yang mengalami hambatan sehingga tidak bisa selesai tepat waktu dengan mutu penulisan yang memuaskan. Dampak dari hambatan dalam penulisan Skripsi yakni mahasiswa mengalami kelelahan, kebosanan dan stres akademik sebagai akibat dari beban belajar (beban kognitif) yang cenderung melebihi kapasitas mental sehingga keterampilan berpikir dan luaran proses belajar tidak tercapai secara optimal. 2. Faktor penyebab yang dominan mempengaruhi dampak negatif dalam pembelajaran Skripsi mahasiswa adalah pola pengaturan bimbingan Skripsi yang belum diatur secara optimal baik dari pihak mahasiswa, dosen, tenaga administrasi dan lembaga pendidikan. 3. Mata kuliah PPP (Penyusunan Proposal Penelitian) dengan bobot 3 SKS sudah cukup membantu untuk menghantarkan mahasiswa pada Mata kuliah Skripsi dengan bobot 6 SKS namun rupanya belum dikelola secara optimal khususnya dalam proses bimbingan Skripsi. 119
120
4. Pola bimbingan Skripsi yang selama ini dilakukan masih cukup bervariasi antara bimbingan Skripsi secara individual dan berkelompok sehingga proses bimbingan Skripsi dalam konteks strategi pembelajaran Skripsi belum terstandarisasi. 5. Mata kuliah Skripsi merupakan Mata kuliah yang mengandalkan kemampuan akademik mahasiswa secara komprehensif dan integratif sehingga sudah selayaknya strategi pembelajaran Skripsi perlu diperbaiki dan dikembangkan guna meningkatkan kualitas pembelajaran Skripsi. 6. Bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok dengan asumsi bahwa di dalam bimbingan Skripsi secara berkelompok tetap dilakukan bimbingan Skripsi secara individual dengan menerapkan prinsip pembelajaran kooperatif
melalui program TSG (Thesis Support Group) terkait perihal
akademik dan nir-akademik. 7. Bimbingan Skripsi secara berkelompok menganut pendekatan pembelajaran berdasarkan PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, menyenangkan) sehingga diharapkan tercipta suasana pembelajaran yang meringankan, menyenangkan dan memuaskan mahasiswa, dosen, tenaga administrasi dan lembaga pendidikan. 8. Bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok mengandalkan rumusan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) untuk diterapkan dalam proses bimbingan Skripsi secara berkelompok yang ditunjang dengan fasilitasi dosen pembimbing dan layanan tenaga administrasi serta sarana dan prasarana yang memadai.
121
9. Melalui proses fasilitasi bimbingan Skripsi secara berkelompok, mahasiswa dan dosen dapat saling berinteraksi secara intensif sehingga diharapkan terutama dapat mengurangi beban kognitif intrinsik dan instruksional yang tidak melebihi kapasitas mental guna meningkatkan kemampuan integratif seoptimal mungkin khususnya bagi mahasiswa sebagai peneliti pemula. 10. Rancangan ergonomi dalam proses bimbingan Skripsi secara berkelompok menerapkan pendekatan ergonomi total (PET) yang mencakup pendekatan SHIP (sistemik, holistik, interdisipliner, partisipatori) dan TTG (teknologi tepat guna). 11. Pendekatan SHIP terutama diterapkan dengan: (a) merumuskan SK (Standar Kompetensi) dan KD (Kompetensi Dasar) serta panduan bimbingan Skripsi secara berkelompok dengan pendekatan pembelajaran kooperatif melalui penerapan program TSG, (b) melaksanakan prosedur pemantauan Skripsi secara tepat dan konsisten, (c) melakukan penilaian terhadap materi dan proses bimbingan Skripsi, (d) merancang ruang kelas pembelajaran yang ergonomis khususnya dari aspek intensitas cahaya, suhu ruang dan tingkat kelembaban, (e) menyediakan fasilitas komputer/laptop, LCD projector, layar monitor, CCTV, papan pajangan, jam dinding yang digunakan untuk presentasi, akses internet dan analisis data statistik kuantitatif dengan program SPSS serta monitor aktivitas belajar selama pertemuan kelompok, tempelan memo dan penunjuk waktu, (f) berinteraksi dalam pembelajaran Skripsi secara berkelompok yang beragam dari segi topik, bidang peminatan dan metodologi penelitian, (g) melibatkan mahasiswa, dosen, tenaga administrasi, pimpinan
122
lembaga pendidikan mulai dari perancangan, proses bimbingan Skripsi secara berkelompok hingga penilaian akhir Skripsi. 12. Pendekatan TTG diterapkan berdasarkan aplikasi pendekatan SHIP seperti tersebut pada butir 11 dengan menganut prinsip: (a) secara teknik laik dan dapat dilakukan secara operasional, (b) secara ekonomik hemat dan tidak memerlukan biaya tinggi serta terjangkau, (c) secara ergonomis fasilitasi bimbingan secara berkelompok menurunkan beban belajar dengan cara bimbingan yang mengoptimalkan beban kognitif serta ditunjang sarana dan prasarana yang memadai, (d) secara sosial-budaya bimbingan secara berkelompok
dapat
dimanfaatkan
sebagai
ajang
bersosialisasi
guna
menciptakan iklim budaya akademik yang kondusif, (e) dari segi sumber daya belajar tidak terlalu menguras energi fisik dan mental bahkan meringankan namun optimal dalam pemanfaatan energi pembelajaran, (f) dari aspek lingkungan pembelajaran hanya dibutuhkan ruang bimbingan Skripsi secara berkelompok dan berkala seperti kelas Mata kuliah reguler lainnya sehingga memungkinkan untuk dikembangkan secara berkelanjutan. 13. Diharapkan melalui bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok dapat meningkatkan kualitas pembelajaran Skripsi yang terwujud dapat mengurangi
kelelahan,
kebosanan
dan
stres
akademik
serta
dapat
meningkatkan keterampilan berpikir dan luaran proses belajar yang optimal. 14. Kelelahan, kebosanan dan stres akademik diukur melalui angket yang diisi oleh mahasiswa, sedangkan keterampilan berpikir (kemampuan inisiasi, identifikasi, interpretasi, konklusi, intergrasi) serta luaran proses belajar
123
(penilaian materi penulisan skripsi, proses bimbingan dan kualitas pribadi) diungkap melalui penilaian tim dosen pembimbing. 15. Penelitian
eksperimental
dilakukan
dengan
membandingkan
kualitas
pembelajaran (kelelahan, kebosanan, stres akademik, keterampilan berpikir, luaran proses belajar) akibat pengaruh antara bimbingan Skripsi secara berkelompok yang konvensional dan berbasis ergonomi. 3.2 Kerangka Konsep Berdasarkan uraian konsep tersebut, dapat digambarkan secara komprehensif dan integratif seperti terpapar pada bagan berikut ini.
INSTRUMENTAL INPUT a. Standar Kompetensi (SK) b. Kompetensi Dasar (KD)
RAW INPUT a. Mahasiwa Skripsi, angkatan 2004 – 2008 b. Indeks Prestasi Kumulatif c. Jumlah SKS yang ditempuh d. Dosen Pembimbing Skripsi e. Jumlah mahasiswa bimbingan Skripsi ENVIRONMENTAL INPUT a. Ruang bimbingan Skripsi b. Jadwal bimbingan Skripsi
SHIP a. Rumusan SK dan KD b. Penilaian Skripsi c. Ruang bimbingan Skripsi d. Jadwal bimbingan Skripsi e. Keterlibatan aktif mahasiswa & dosen
PROCESS BIMBINGAN SKRIPSI BERBASIS ERGONOMI SECARA BERKELOMPOK (Thesis Support Group)
1. 2. 3. 4. 5.
OUTPUT KUALITAS PEMBELAJARAN dinilai dari KELELAHAN KEBOSANAN STRES AKADEMIK KETERAMPILAN BERPIKIR LUARAN PROSES BELAJAR
TTG a. Laik & mudah dilakukan b. Biaya terjangkau c. Belajar menyenangkan d. Iklim belajar kondusif e. Beban kognitif optimal f. Inovasi berkelanjutan
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian
124
3.3 Hipotesis Penelitian Bertolak dari kerangka pikir konsep penelitian tersebut dipaparkan lima hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari penurunan kelelahan mahasiswa. 2. Bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari penurunan kebosanan mahasiswa. 3. Bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari penurunan stres akademik mahasiswa. 4. Bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari peningkatan keterampilan berpikir mahasiswa. 5. Bimbingan Skripsi berbasis ergonomi meningkatkan kualitas pembelajaran berkelompok dilihat dari peningkatan luaran proses belajar mahasiswa.
125
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen Rancangan Randomisasi Kelompok Perlakuan Pra-Uji dan Pasca-Uji (Cook & Campbell, 1979; Colton, 1985; Dimitrov & Rumrill, 2003; Hudock, 2005; Pocock, 2008). Berikut ini dipaparkan rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian seperti pada Gambar 4.1. O1
O2
Ra
Rs P
KK
S O3
KP
O4
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Randomisasi Kelompok Perlakuan Pra-Uji dan Pasca-Uji (Randomized Pre- and Post-Test Control Group Design) Keterangan: P S Rs Ra KK KP O1
= = = = = = =
O2
=
O3
=
O4
=
Populasi Sampel random sampling random alokasi Kelompok Kontrol dengan bimbingan Skripsi secara berkelompok yang konvensional Kelompok Perlakuan dengan bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok pendataan kualitas pembelajaran tepat sebelum dimulai bimbingan Skripsi secara berkelompok yang konvensional pendataan kualitas pembelajaran tepat sesudah bimbingan Skripsi secara berkelompok yang konvensional berakhir pendataan kualitas pembelajaran tepat sebelum dimulai bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok pendataan kualitas pembelajaran tepat sesudah bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok berakhir
Catatan: Pendataan kualitas pembelajaran dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan bimbingan Skripsi pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan.
125
126
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Fakultas XY. Adapun waktu penelitian dilaksanakan pada semester gasal tahun 2011-2012 selama lima minggu berturutturut dalam proses bimbingan Skripsi setelah mahasiswa lulus Mata kuliah PPP (Penyusunan Proposal Penelitian).
4.3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada bimbingan Skripsi yang dilakukan secara berkelompok yang konvensional pada Kelompok Kontrol dan berbasis ergonomi pada Kelompok Perlakuan. Fokus penelitian ini terutama lebih diarahkan pada aplikasi ergonomi di bidang pendidikan/pembelajaran khususnya terkait dengan bimbingan Skripsi guna mengurangi (1) kelelahan, (2) kebosanan dan (3) stres akademik serta meningkatkan (4) keterampilan berpikir dan (5) luaran proses belajar pada mahasiswa tugas Skripsi sebagai perwujudan capaian standar kualitas pembelajaran Skripsi. 4.4 Penentuan Sumber Data 4.4.1 Populasi Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas XY yang mengikuti Mata kuliah Skripsi. Tercatat total populasi mahasiswa yang mengikuti Mata kuliah Skripsi pada semester genap 2010-2011 adalah sebanyak 185 mahasiswa (angkatan 2004-2008) dengan 29 dosen Pembimbing Skripsi.
127
4.4.2 Kriteria Eligibilitas 4.4.2.1 Kriteria Inklusi Subjek penelitian adalah mahasiswa peserta Mata kuliah Skripsi di Fakultas XYyang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: 1) Terdaftar sebagai mahasiswa aktif dari angkatan 2004 – 2008 di Fakultas XY. 2) Terdaftar pada KRS (Kartu Rencana Studi) yang sudah mengikuti Mata kuliah PPP dan Skripsi pada semester genap 2010-2011. 3) Berbadan sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. 4) Kesehatan mental mahasiswa normal sesuai dengan surat keterangan psikolog. 5) Bersedia terlibat sebagai subjek dalam penelitian ini yang dibuktikan dengan pengisian informed consent (persetujuan setelah penjelasan).
4.4.2.2 Kriteria Eksklusi Sementara itu kriteria sampel bagi mahasiswa sebagai subjek yang tidak dilibatkan dalam penelitian ini adalah: a. Pernah atau masih mengulang Mata kuliah PPP b. Mengganti dengan pilihan bidang peminatan studi yang lain c. Mengubah topik penelitian Skripsi sesudah lulus dari Mata kuliah PPP d. Mengganti pilihan dosen Pembimbing Skripsi I 4.4.2.3 Kriteria Tidak Dilanjutkan Adapun kriteria tidak dilanjutkan bagi subjek untuk terlibat dalam penelitian ini adalah: 1) Pada saat penelitian mengundurkan diri dari Mata kuliah Skripsi.
128
2) Menderita sakit saat penelitian berlangsung. 3) Karena alasan tertentu mengundurkan diri sebagai subjek penelitian. 4.4.3 Besar Sampel Jumlah sampel yang dipilih secara random dari populasi mahasiswa yang mengikuti Mata kuliah Skripsi (185 mahasiswa) adalah sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam bimbingan Skripsi dari dosen Pembimbing Skripsi. Jumlah subjek mahasiswa yang mengikuti Skripsi ditentukan berdasarkan perhitungan sample size berdasarkan rumus Pocock dengan sampel terpisah berikut ini (Pocock, 2008). 22 n =
(2 - 1) 2
x f (,)
…………………………………. (1)
Keterangan: n = 22 = 2 (2 - 1) = f (,) = =
besar sampel dua kali simpangan baku (standar deviasi) kuadrat selisih rerata (mean) kuadrat antara sesudah dan sebelum perlakuan fungsi (= 0,05; kesalahan tipe I) dan (= 0,10; kesalahan tipe II) 10,5 (Tabel)
Berdasarkan hasil penelitian tentang dinamika proses penyelesaian Skripsi diperoleh sebaran data rerata (mean) dan simpangan baku (standar deviasi) pada beberapa variabel yang diukur seperti tertera pada Tabel 4.1 (Wisnuwardhana, 2001; Zefania, 2003; Kingofong, 2004; Purwiyatie, 2004; Widhaningrum, 2005; Wiwara, 2006; Minara, 2006; Setyawan, 2006; Yustyowati, 2006; Setioso, 2007; Hariyanti, 2008; Damayanti, 2006).
129
Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Jumlah Sampel (n) dengan Estimasi 15% NO. 1. 2. 3. 4. 5.
VARIABEL
1
2
n
Kelelahan Kebosanan Stres Akademik Luaran proses belajar Keterampilan Berpikir
32,83 55,61 24,64 51,39 18,71
27,91 47,27 20,94 59,10 20,98
3,18 3,40 2,63 3,70 1,32
10,86 4,32 13,14 5,99 5,73
Dari hasil perhitungan pada Tabel 4.1 sampel yang paling besar adalah sebesar 13,14. Berhubung estimasi antara 2 - 1 adalah 15% maka jumlah sampel pada tiap kelompok penelitian perlu ditambah 15% sehingga jumlah sampel 13,14 + 1,97 = 15,11 (dibulatkan menjadi 16 subjek untuk tiap kelompok). Dengan demikian jumlah sampel seluruhnya minimal 32 subjek. Berhubung jumlah sampel yang dilibatkan mengacu pada pemilihan sampel secara cluster dan rentang jumlah bimbingan 2-4 mahasiswa, maka jumlah subjek yang dilibatkan pada kelompok kontrol sebanyak 18 mahasiswa dan pada kelompok perlakuan sebanyak 19 mahasiswa. 4.4.4 Teknik Pengambilan Sampel Subjek penelitian yang termasuk kriteria inklusi dipilih secara acak (random) dengan tabel bilangan random. Teknik sampling yang digunakan adalah random sampling untuk menentukan jumlah sampel dari populasi terbatas (mahasiswa kelas Mata kuliah Skripsi) serta alokasi Kelompok Kontrol (tanpa perlakuan) dan Kelompok Perlakuan (dengan perlakuan) pada subjek penelitian. Tahap pertama adalah pengambilan sampel dari total populasi secara acak untuk menentukan jumlah sampel penelitian. Tahap kedua adalah pengambilan sampel
130
dari total sampel penelitian secara acak untuk dialokasikan pada dua kelompok penelitian (Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan) berdasarkan perhitungan standar jumlah sampel yang ditentukan pada tiap kelompok penelitian seperti tertera pada Tabel 4.1. Dari sampel acak 37 mahasiswa tugas Skripsi dialokasikan lagi berdasarkan satu dosen Pembimbing Skripsi, dibagi menjadi dua kelompok subjek penelitian: (1) kelompok mahasiswa dengan bimbingan Skripsi yang konvensional secara berkelompok sebagai Kelompok Kontrol, dan (2) bimbingan
Skripsi
berbasis ergonomi secara berkelompok sebagai Kelompok Perlakuan. 4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel Variabel-variabel pada penelitian ini dapat diidentifikasi dengan klasifikasi variabel sebagai berikut: 1)
Variabel bebas: Bimbingan Skripsi Berbasis Ergononomi secara Berkelompok
2)
Variabel tergantung: Kualitas Pembelajaran yang dinilai dari: (a) Kelelahan, (b) Kebosanan, (c) Stres Akademik, (d) Keterampilan Berpikir, (e) Luaran Proses Belajar
Identifikasi dan klasifikasi variabel penelitian tersebut dapat digambarkan dengan bagan berikut ini: Variabel Bebas: 1.Bimbingan Skripsi yang Konvensional secara Berkelompok 2.Bimbingan Skripsi berbasis Ergonomi secara berkelompok
Gambar 4.2 Hubungan antar variabel
Variabel Tergantung: Kualitas Pembelajaran yang dinilai dari: 1. Kelelahan 2. Kebosanan 3. Stres Akademik 4. Keterampilan berpikir 5. Luaran proses belajar
131
4.5.2 Definisi Operasional Variabel 1. Bimbingan Skripsi berbasis Ergonomi Bimbingan Skripsi yang terdiri atas dua macam, yaitu: (1) kelompok mahasiswa dengan bimbingan Skripsi yang konvensional secara berkelompok sebagai Kelompok Kontrol, dan (2) bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok sebagai Kelompok Perlakuan. Perbedaan pokok antara bimbingan Skripsi
yang
konvensional
dan
berbasis
ergonomi
pada
pembelajaran
berkelompok dapat diperiksa selengkapnya pada Tabel 2.1. Bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok diartikan sebagai rancangan pembelajaran dengan pendekatan ergonomi total yang menerapkan TTG (teknologi tepat guna) berdasarkan enam dimensi yaitu: teknis, ekonomi, ergonomi, sosial-budaya, sumber energi dan kelestarian lingkungan dengan pendekatan SHIP (systemic, holistic, interdisciplinary, participatory). Adapun aspek ergonomi total yang menerapkan TTG dengan pendekatan SHIP dapat dijabarkan secara lebih rinci sebagai berikut: 1. Bimbingan skripsi dilakukan secara berkelompok bagi mahasiswa yang sudah lulus penyusunan proposal penelitian skripsi dan sedang menempuh matakuliah skripsi dengan satu dosen pembimbing skripsi. Hal ini menghemat waktu dan tenaga baik bagi mahasiswa maupun dosen serta proses pembelajaran interaktif dan kooperatif antar mahasiswa dan dosen pembimbing skripsi. Hal ini mudah dilakukan dan tepat guna. 2. Jadwal bimbingan skripsi diatur secara berkala seminggu sekali dengan durasi 60-120 menit di ruang bimbingan skripsi yang sudah disediakan. Pengelolaan
132
waktu bimbingan skripsi secara teratur ini membuat mahasiswa dan dosen saling
mengingatkan
dan
mendorong
mahasiswa
disiplin
untuk
menyelesaikan tugas skripsi tepat waktu atau lebih cepat dengan kualitas penulisan skripsi yang andal. Tempat bimbingan skripsi ditata memenuhi standar kenyamanan dari segi suhu ruang, kelembaban, pencahayaan dan kebisingan. Tata letak meja dan kursi juga diatur melingkar atau U-shape sehingga antar mahasiswa dan dosen bisa saling bertatap muka dan langsung berinteraksi. 3. Proses bimbingan skripsi dilakukan berdasarkan panduan baku yang disusun dengan pendekatan pembelajaran kooperatif yang terstruktur dan terarah terutama untuk mengoptimalkan beban kognitif sehingga dapat menurunkan beban belajar dan meningkatkan kualitas penulisan skripsi. Mampu mendeteksi kendala teknis penulisan dan masalah pribadi yang dihadapi dan dialami mahasiswa dalam penyelesaian skripsi sejak dini dan dapat segera dibantu untuk mengatasi kendala sehingga memperlancar dan mempercepat penyelesaiaan tugas skripsi. Bimbingan Skripsi secara berkelompok dengan pendekatan ergonomi total (paduan pendekatan SHIP dan TTG) dirancang sebagai proses pembelajaran komprehensif terpadu untuk melatih keterampilan mahasiswa dalam kepekaan terhadap masalah, kajian teoretik dan metodologi penelitian ilmiah serta melek informasi dan teknologi (hard skills). Selain itu melalui proses bimbingan Skripsi secara berkelompok mahasiswa dilatih untuk bersikap mandiri, terampil dalam
133
mengelola waktu, presentasi, sosialisasi, berpikir kritis-kreatif-inovatif, perasaan positif dan motivasi konstruktif (soft skills). Bimbingan Skripsi berbasis ergonomi dilakukan secara berkelompok dengan menggunakan metode pembelajaran cooperative learning yang menganut lima prinsip dasar (positive interdependence, face-to-face promotive interaction, individual
accountability,
social
skills,
group
processing)
tepat
untuk
meningkatkan keterampilan akademik (hard skills) dan penunjang akademik (soft skills) mahasiswa. Bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok juga mencakup pemenuhan standar kompetensi mahasiswa dan materi pembelajaran. Selain itu mencakup pula standar kompetensi dosen pembimbing Skripsi, standar sarana dan prasarana pembelajaran hingga penilaian proses pembelajaran. Lebih jauh daripada itu dirancang pula standar pengelolaan dan standar pembiayaan. Perlakuan bimbingan Skripsi berbasis ergonomi secara berkelompok dapat mengoptimalkan beban kognitif pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dengan demikian diharapkan dapat memenuhi kriteria ergonomi dalam proses pembelajaran yakni efisien, nyaman, aman, sehat, efektif, produktif, profit.
2. Kualitas pembelajaran adalah standar hasil proses pembelajaran yang dinilai dari variabel (a) kelelahan, (b) kebosanan, (c) stres akademik, (d) keterampilan berpikir dan (e) luaran proses belajar yang dijabarkan berikut ini. a) Kelelahan adalah persepsi subjektif dan objektif yang dirasakan setelah melakukan aktivitas belajar yang diukur dengan dua alat yaitu: (1) kuesioner
134
dengan 30 butir pernyataan berdasarkan skala Likert (1-5) pada tiap butir pernyataan (Lampiran 2); makin besar nilai skala makin tinggi tingkat kelelahan; kuesioner tersebut mengukur kelelahan secara umum (fisik dan mental) yang diadaptasi dari kuesioner yang dirancang oleh Japan Association of Industrial and Health (Manuaba, 1998); kuesioner ini terdiri atas tiga aspek penilaian, yaitu: pelemahan aktivitas (butir pernyataan 1 – 10), pelemahan motivasi (butir pernyataan 11 – 20), dan kelelahan fisik (butir pernyataan 21 30). b) Kebosanan adalah kesan subjektif mahasiswa pada saat melakukan proses pembelajaran (bimbingan Skripsi) yang menunjukkan tanda-tanda perilaku bosan (boredom) seperti: (1) muncul keinginan untuk menghindar dari aktivitas tersebut, (2) selalu merasa tersiksa, (3) gelisah, (4) muncul kelelahan lebih dini, (5) rasa tidak puas, (6) muncul keinginan untuk berpaling ke aktivitas lain, dan (7) konsentrasi berkurang (Anoraga, 1998). Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner kebosanan berdasarkan skala Likert (1-5) yang dimodifikasi dari kuesioner Anoraga (1998); makin tinggi nilainya berarti makin tinggi tingkat kebosanannya (Lampiran 3). c) Stres Akademik mahasiswa (academic stress) adalah persepsi mahasiswa terhadap beban informasi pengetahuan yang diperoleh dan persepsi terhadap waktu yang tidak memadai untuk mengembangkan pengetahuan tersebut (Carveth, Gesse, & Moss, 1996 dalam Misra & McKean, 2000). Instrumen yang digunakan adalah Gadzella's Student-Life Stress Inventory (SLSI) (1991) yang dirancang untuk mengungkap persepsi mahasiswa terhadap stres
135
akademik dan reaksi terhadap stres. Ada 51 butir pernyataan (item) yang disusun dengan menggunakan format skala Likert (1=tidak pernah sama sekali hingga 5=selalu) yang mengungkap lima kategori stresor akademik (frustrasi, konflik, tekanan, perubahan, dan beban pribadi), dan empat kategori yang mencerminkan reaksi terhadap stresor (fisiologis, emosional, perilakuan, dan kognitif). Makin tinggi nilainya berarti makin tinggi tingkat stress akademik mahasiswa (Lampiran 4). Tingkat validitas dan reliabilitas SLSI tersebut telah dilaporkan sebelumnya (Gadzella, 1991; Gadzella, Masten, & Stacks, 1998 dalam Misra & McKean, 2000). Skor semua butir pernyataan dijumlah pada tiap aspek untuk mendapatkan skor total pada sembilan kategori aspek. Konsistensi internal diperkirakan berkisar antara 0,69 – 0,82 pada sembilan kategori dalam penelitian yang telah dilakukan (Misra & McKean, 2000). d) Keterampilan berpikir mahasiswa adalah potensi kognitif mahasiswa yang berkembang dari (1) keterampilan kognitif dasar (inisiasi dengan tingkat kompleksitas kognitif terendah), (2) keterampilan kognitif tahap ke-1 (identifikasi dengan tingkat kompleksitas kognitif rendah), (3) keterampilan kognitif tahap ke-2 (interpretasi dengan tingkat kompleksitas kognitif menengah), (4) keterampilan kognitif tahap ke-3 (konklusi dengan tingkat kompleksitas kognitif tinggi) sampai (5) keterampilan kognitif tahap ke-4 (integrasi dengan tingkat kompleksitas kognitif tertinggi) seperti dikemukakan oleh Wolcott & Lynch (2001). Rincian perilaku dari tingkat keterampilan berpikir dipadukan dengan konsep keterampilan berpikir inti (core thinking skill) yang terdiri atas 21 perilaku inti keterampilan berpikir yang dikemukakan
136
oleh Marzano et al (1988). Adapun teknik pengukurannya adalah dengan cara melakukan penilaian terhadap 25 perilaku utama keterampilan berpikir selama proses bimbingan Skripsi berlangsung dengan skala penilaian 1-10 (Lampiran 5). Makin tinggi nilai skala berarti makin tinggi tingkat keterampilan berpikir mahasiswa pada tiap tahap keterampilan kognitif. e) Luaran proses belajar adalah luaran dalam proses pembelajaran yang dinilai oleh dosen Pembimbing Skripsi selama proses bimbingan Skripsi berlangsung yang meliputi penilaian pada tiga aspek yaitu: (1) materi penulisan (teknik penulisan, perumusan masalah, kerangka teori, ketepatan metodologi, kedalaman/ketajaman analisis, hasil guna), (2) proses bimbingan (kemandirian, daya juang, pengambilan data, sikap ilmiah) dan (3) kualitas pribadi (kecepatan revisi, interpersonal, disiplin janji, kreativitas, kerjasama) dengan rentang skala nilai 1 – 4 (rendah hingga tinggi) (Lampiran 6). 3. Karakteristik Subjek Penelitian merupakan ciri-ciri subjek dengan penjelasan secara rinci sebagai berikut: a) Angkatan tahun adalah mahasiswa yang terdaftar aktif dan mengikuti Skripsi, mulai dari angkatan tahun 2004 sampai dengan angkatan tahun 2008. b) Indeks prestasi adalah nilai prestasi belajar mahasiswa pada tiap semester yang dihitung secara kumulatif mulai dari semester pertama hingga pada semester yang sedang ditempuh dengan rentang koefisien 2,00 – 4,00. c) Jumlah SKS (satuan kredit semester) adalah jumlah Mata kuliah dengan bobot SKS yang masih ditempuh oleh mahasiswa pada semester gasal 2011 – 2012.
137
d) Dosen Pembimbing Skripsi adalah dosen Pembimbing Skripsi yang memenuhi kualifikasi sebagai dosen Pembimbing Skripsi I dengan kriteria jabatan minimal Asisten Ahli (III/a, S2/Sp.I) atau Lektor (III/c, S1/D-IV). e) Jumlah mahasiswa bimbingan Skripsi adalah jumlah mahasiswa Skripsi yang dibimbing oleh masing-masing dosen Pembimbing Skripsi I setara atau berimbang. Kelima identitas subjek penelitian tersebut
digunakan sebagai
kriteria
pengelompokan subjek secara proporsional dan setara antara Kelompok Kontrol dan Perlakuan.
4.6 Instrumen Penelitian Sebagaimana telah diuraikan pada butir 4.5.2 instrumen penelitian yang akan diujicoba terlebih dahulu sebelum digunakan dalam penelitian eksperimen, meliputi enam macam, yaitu: 1. Kuesioner Kelelahan yang dirancang oleh Japan Association of Industrial and Health dengan modifikasi (Lampiran 2). 2. Kuesioner Kebosanan dengan skala Likert yang dimodifikasi dari kuesioner Anoraga (Lampiran 3). 3. Inventori Stres Akademik Mahasiswa (Student-Life Stress Inventory) yang dirancang oleh Gadzella (1991) dan diterjemahkan oleh peneliti (Lampiran 4). 4. Skala Penilaian Keterampilan Berpikir yang merupakan paduan dan modifikasi dari konsep tentang keterampilan berpikir yang digagas oleh
138
Wolcott & Lynch (2001) dan Marzano et al (1988) yang disusun menjadi 25 keterampilan berpikir (Lampiran 5). 5. Borang Penilaian Luaran Belajar Bimbingan Skripsi (Lampiran 6) sebagai
portofolio penilaian dosen dan self-report bagi mahasiswa dan monitoring bagi dosen Pembimbing Skripsi untuk melakukan penilaian kemajuan langkah proses bimbingan Skripsi dari aspek materi penulisan, proses bimbingan dan kualitas pribadi. 6. Instrumen lain yang digunakan sebagai penunjang untuk mendapatkan biodata adalah angket identitas dan data sekunder yang mengungkap hal-hal sebagai berikut: nama inisial, angkatan tahun, indeks prestasi, jumlah SKS, jenis kelamin, bidang peminatan studi (laboratorium), metode penelitian, status menikah, status pekerjaan, dosen Pembimbing Skripsi, jumlah mahasiswa bimbingan Skripsi. Alat yang digunakan untuk mengukur kondisi ruang bimbingan skripsi adalah thermometer (suhu ruang), hygrometer (kelembaban udara), lux meter (pencahayaan) dan soundlevel meter (kebisingan suara audio). Selain itu data primer dan biodata juga bisa diungkap melalui proses wawancara individual atau kelompok guna melengkapi dan menyempurnakan analisis data kuantitatif.
4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Tahap Persiapan 1. Melakukan randomisasi sampel dari 37 mahasiswa (angkatan 2004 – 2008) yang mengikuti Mata kuliah Skripsi lalu sampel dialokasi ke dalam dua
139
kelompok penelitian, yaitu: (1) kelompok mahasiswa dengan bimbingan Skripsi yang konvensional secara berkelompok sebagai Kelompok Kontrol, dan (2) bimbingan Skripsi secara berkelompok berbasis ergonomi sebagai Kelompok Perlakuan. 2. Melakukan sosialisasi kepada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan atas rencana pelaksanaan penelitian ini, sekaligus dimohon untuk mengisi informed consent sebagai tanda persetujuan setelah penjelasan untuk mendukung dengan rela dan mau terlibat dalam penelitian secara aktif. 3. Mendapatkan surat keterangan kelaikan etik (ethical clearance) dari Komisi Etika Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Sanglah Denpasar. 4.7.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian Sebelum diterapkan bimbingan secara berkelompok yang konvensional dan berbasis ergonomi, mahasiswa dan dosen Pembimbing Skripsi partisipan dari hasil randomisasi sampel dan alokasi dimohon untuk mengisi borang persetujuan setelah penjelasan (informed consent) terhadap praktik penelitian terapan ditunjang dengan surat keterangan kelaikan etik (ethical clearance). Secara garis besar tahap pelaksanaan penelitian pada bimbingan Skripsi yang konvensional dan berbasis ergonomi pada pembelajaran berkelompok dapat diuraikan secara lebih rinci persamaan dan perbedaannya berikut ini.
140
4.7.3 Protokol Penelitian Bimbingan Skripsi Secara Berkelompok Pada Kelompok Kontrol Dan Kelompok Perlakuan: 1. Setelah
randomisasi
dan
alokasi
sampel
penelitian,
peneliti
mengumpulkan subjek penelitian untuk menjelaskan latar belakang penelitian dan mohon kesediaan subjek untuk terlibat aktif dalam proses bimbingan Skripsi secara berkelompok bersama dosen pembimbing Skripsi dengan menandatangani informed consent (persetujuan setelah penjelasan). 2. Peneliti memberikan penjelasan kepada mahasiswa perihal tujuan penelitian dengan metode bimbingan Skripsi secara berkelompok, dimaksudkan agar mahasiswa dapat lulus tepat waktu atau lebih cepat dan hemat biaya studi dengan memenuhi standar mutu akademik sehingga mahasiswa termotivasi. 3. Peneliti minta bantuan dan mohon kesediaan narasumber ahli (expert resource) di bidang pendidikan untuk merancang proses bimbingan Skripsi secara berkelompok dengan pendekatan cooperative learning baik pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan. 4. Peneliti mengundang dosen pembimbing Skripsi pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan secara terpisah, kemudian mohon kesediaan narasumber ahli untuk memberikan penjelasan sekaligus pengarahan kepada dosen pembimbing Skripsi perihal rancangan dan panduan proses bimbingan Skripsi secara berkelompok baik secara lisan dan tertulis (rincian selengkapnya dapat diperiksa pada Lampiran 7). 5. Peneliti menyusun jadwal bimbingan Skripsi secara berkelompok pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan terkait waktu dan tempat selama lima minggu berturut-turut, bimbingan Skripsi seminggu sekali dengan durasi 60 menit pada Kelompok Kontrol dan 120 menit pada Kelompok Perlakuan.
141
6. Peneliti menyiapkan ruang bimbingan Skripsi dengan tata letak meja dan kursi melingkar, saling berhadapan antara dosen pembimbing Skripsi dan mahasiswa; diukur mikroklimat ruangan yang meliputi suhu ruang, kelembaban, pencahayaan dan kebisingan; fasilitas pembelajaran pada Kelompok Kontrol disediakan sendiri oleh mahasiswa dan dosen pembimbing
Skripsi,
sedangkan
fasilitas
pembelajaran
(laptop
mahasiswa, whiteboard, program SPSS dan on line internet/email) pada Kelompok Perlakuan disiapkan oleh peneliti. 7. Peneliti dibantu asisten mahasiswa menyiapkan daftar hadir mahasiswa dan dosen pembimbing Skripsi tiap kelompok pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan, merekam suara dan gambar (melalui cctv) sebagai dokumentasi penelitian. 8. Mahasiswa
dan
dosen
pembimbing
Skripsi
dimohon
untuk
melaksanakan proses bimbingan Skripsi secara berkelompok sesuai dengan panduan bimbingan Skripsi dan jadwal bimbingan Skripsi yang telah disepakati bersama pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan. 9. Pada pertemuan awal tepat sebelum bimbingan Skripsi secara berkelompok dimulai pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan, mahasiswa diminta untuk mengisi angket pengukuran kelelahan, kebosanan dan stres akademik sebagai prauji (pretest). 10. Selanjutnya pada pertemuan pertama bimbingan Skripsi secara berkelompok pada Kelompok Kontrol dilakukan lima langkah bimbingan Skripsi dengan durasi 60 menit dengan pendekatan formal akademik, sementara pada Kelompok Perlakuan dilakukan tujuh langkah bimbingan Skripsi dengan durasi 120 menit dengan pendekatan formal akademik dan informal personal terkait kendala pribadi dalam penulisan dan penyelesaian Skripsi (rincian selengkapnya dapat diperiksa pada Lampiran 7).
142
11. Pada pertemuan kedua hingga kelima bimbingan Skripsi secara berkelompok pada Kelompok Kontrol dilakukan dua langkah bimbingan Skripsi durasi 60 menit dengan pendekatan formal akademik, sementara pada Kelompok Perlakuan dilakukan lima langkah bimbingan Skripsi durasi 120 menit dengan pendekatan formal akademik dan informal personal terkait menjaga dan meningkatkan kohesivitas kelompok, mengatasi kendala pribadi, apresiasi prestasi akademik, komunikasi verbal dan non-verbal, motivasi belajar dan rasa nyaman dalam penulisan dan penyelesaian Skripsi (rincian selengkapnya dapat diperiksa pada Lampiran 7). 12. Setelah lima kali pertemuan seminggu sekali selama lima minggu berturut-turut, peneliti kembali melakukan pengukuran dan meminta mahasiswa untuk mengisi angket kelelahan, kebosanan dan stres akademik. 13. Setelah lima kali pertemuan seminggu sekali selama lima minggu berturut-turut, peneliti mohon kesediaan kepada dosen pembimbing Skripsi untuk melakukan penilaian terhadap mahasiswa yang dibimbing terutama pada keterampilan berpikir dan luaran proses belajar sesuai dengan borang (form) penilaian yang telah dirancang (rincian selengkapnya dapat diperiksa pada Lampiran 5 dan 6). 14. Selanjutnya peneliti melakukan wawancara secara berkelompok pada tiap kelompok bimbingan Skripsi pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan untuk konfirmasi laporan perkembangan penulisan dan penyelesaian Skripsi masing-masing mahasiswa serta evaluasi pelaksanaan proses bimbingan Skripsi secara berkelompok setelah dialami secara individual dan berkelompok. 15. Peneliti merekapitulasi data kelelahan, kebosanan dan stres akademik mahasiwa sebelum dan sesudah perlakuan, serta merekapitulasi data keterampilan berpikir dan luaran proses belajar mahasiswa sesudah perlakuan; selanjutnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas angket
143
penelitian serta uji normalitas lalu analisis data uji beda dengan menggunakan teknik statistik uji T independen.
4.8 Alur Penelitian Berdasarkan pada rancangan penelitian dan protokol penelitian berikut ini dipaparkan alur penelitian secara garis besar seperti pada Gambar 4.3. Sampel N = 37
Kelompok Kontrol 18 Mahasiswa
Kelompok Perlakuan 19 Mahasiswa
Data kualitas pembelajaran sebelum bimbingan Skripsi, dinilai dari: Kelelahan Kebosanan Stres akademik
Tepat sebelum perlakuan
KONDISI SEBELUM PERBAIKAN
Bimbingan Skripsi yang Konvensional pada Kelompok Kontrol
Data kualitas pembelajaran setelah bimbingan Skripsi, dinilai dari: Kelelahan Kebosanan Stres akademik Keterampilan berpikir Luaran proses belajar
Efektif 5 minggu pertemuan tiap minggu sekali, 5 kali pertemuan hingga siap untuk diuji
Tepat sesudah perlakuan
Analisis Gambar 4.3 Alur Penelitian
Data kualitas pembelajaran sebelum bimbingan Skripsi, dinilai dari: Kelelahan Kebosanan Stres akademik
KONDISI SESUDAH PERBAIKAN
Bimbingan Skripsi berbasis Ergonomi pada Kelompok Perlakuan
Data kualitas pembelajaran setelah bimbingan Skripsi, dinilai dari: Kelelahan Kebosanan Stres akademik Keterampilan berpikir Luaran proses belajar
144
4.9 Ruang dan Jadwal Bimbingan Skripsi Selama lima kali tatap muka bimbingan Skripsi dengan pembelajaran berkelompok dilaksanakan di ruang kelas agar mahasiswa dan dosen dapat lebih konsentrasi dan terfokus. Adapun ruang yang digunakan ada empat ruang, yaitu dua ruang berdampingan di gedung C lantai 3 (PC 3.3a&b, selanjutnya disebut Kelas A1&A2) dengan ukuran ruang yang sama: panjang 10,8 meter, lebar 4,9 meter dan tinggi 4,1 meter. Sementara itu dua ruang berdampingan lain yang digunakan adalah ruang pelatihan (training) di samping kantin mahasiwa (RTa&b, selanjutnya disebut Kelas B1&B2) dengan ukuran ruang yang sama: panjang 6,4 meter, lebar 4,8 meter dan tinggi 3,25 meter. Keempat ruang tersebut digunakan untuk bimbingan Skripsi dengan pembelajaran berkelompok yang dilakukan oleh satu dosen Pembimbing Skripsi dan
2 – 4 mahasiswa bimbingan Skripsi dengan didampingi oleh seorang
mahasiswa sebagai asisten dan pengamat proses bimbingan Skripsi. Di ruang Kelas A1&A2 fasilitas meja (lebar 60 cm, panjang 60 cm, tinggi 75 cm) dan kursi sandar (lebar 43 cm, panjang 37 cm, tinggi 94 cm) ditata melingkar; tiap ruang dilengkapi dengan delapan kap lampu masing-masing dua lampu TL 40 watt, enam jendela kaca dengan korden, satu pintu, dua AC 1 PK. Di ruang Kelas B1&B2 fasilitas meja (lebar 60 cm, panjang 80 cm, tinggi 75 cm) dan kursi sandar lipat (lebar 38 cm, panjang 39 cm, tinggi 37 cm) ditata melingkar; tiap ruang dilengkapi dengan dua kap lampu masing-masing dua lampu TL 40 watt, lima jendela kaca, pintu, enam ventilasi, satu AC 1 PK.
145
4.10 Analisis Data 1. Uji deskriptif (rerata, standar deviasi, distribusi frekuensi, histogram) pada data kelelahan, kebosanan dan stres akademik, serta keterampilan berpikir dan luaran proses belajar mahasiswa. 2. Uji normalitas pada data kelelahan, kebosanan dan stres akademik, serta keterampilan berpikir dan luaran proses belajar mahasiswa dengan teknik One Sample Kolmogorov-Smirnov Test. 3. Uji komparasi dengan asumsi bahwa setelah distribusi data tergolong normal selanjutnya digunakan teknik statistik parametrik uji t (t-test) group antara kelompok kontrol dan Kelompok Perlakuan terhadap hasil data kelelahan, kebosanan dan stres akademik, serta keterampilan berpikir dan luaran proses belajar mahasiswa; pada distribusi tidak normal, teknik statistik yang digunakan adalah non-parametrik Mann-Whitney U-test pada data kelelahan, kebosanan dan stres akademik, serta keterampilan berpikir dan luaran proses belajar mahasiswa sebelum dan sesudah perlakuan antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan. Taraf siginifikansi untuk menentukan taraf penerimaan/penolakan H0 adalah p < 0,05 (probability of error). Adapun rumusan hipotesis alternatif (Ha) dapat dijabarkan sebagai berikut: Ha1 : Ada perbedaan tingkat kelelahan mahasiswa antara sebelum dan sesudah bimbingan Skripsi secara berkelompok pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan; tingkat kelelahan mahasiswa lebih rendah sesudah bimbingan Skripsi pada Kelompok Perlakuan daripada kelompok kontrol.
146
Ha2 : Ada perbedaan tingkat kebosanan mahasiswa antara sebelum dan sesudah bimbingan Skripsi secara berkelompok pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan; tingkat kebosanan mahasiswa lebih rendah sesudah bimbingan Skripsi pada Kelompok Perlakuan daripada kelompok kontrol. Ha3 :
Ada perbedaan tingkat stres akademik mahasiswa antara sebelum dan
sesudah bimbingan Skripsi secara berkelompok pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan; tingkat stres akademik mahasiswa lebih rendah sesudah bimbingan Skripsi pada Kelompok Perlakuan daripada kelompok kontrol. Ha4 : Ada perbedaan tingkat keterampilan berpikir mahasiswa sesudah bimbingan Skripsi secara berkelompok pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan; tingkat keterampilan berpikir mahasiswa lebih tinggi sesudah bimbingan Skripsi pada Kelompok Perlakuan daripada kelompok kontrol. Ha5 : Ada perbedaan nilai luaran proses belajar mahasiswa sesudah bimbingan Skripsi secara berkelompok pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan; nilai luaran proses belajar mahasiswa lebih tinggi sesudah bimbingan Skripsi pada Kelompok Perlakuan daripada kelompok kontrol.