BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam upaya untuk lebih memberikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat khususnya di daerah pedesaan, Pemerintah terus menerus melakukan penataan dan pengaturan Desa yang dalam perkembangannya semakin meningkat baik yang menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman , partisipasi masyarakat serta pemerataan pembangunan. Hal tersebut tidak lepas daripada upaya untuk memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.1 Dalam kaitannya dengan susunan dan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah setelah adanya perubahan Undang-Undang Dasar Neghara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pengaturan Desa atau disebut dengan nama lain dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18 ayat (7) yang menegaskan bahwa susunan dan tata cara penyelengaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam undang-undang. Hal ini berarti bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membuka kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Berbagai upaya penataan dan pengaturan Desa dilakukan oleh pemerintah antara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang PokokPokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang nomor 18 Tahun 1965 tentang Desa Praja sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang1
Penjelasan UU nomor 6 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa sampai saat ini Desa berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) dan sekitar 8.000 (delapan ribu} kelurahan.
1
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan terakhir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun peraturan-peraturan ini dianggap belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat, kesenjangan antar wilayah, kemiskinan, sosial budaya serta sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman yang dikhawatirkan dapat mengganggu keutuhan Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu undang-ndang ini kemudian diganti/diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang diundangkan pada Tanggal 15 Januari 2014 dan dicatat pada Lembaran Negara RI Tahun 2014 Nomor 72. Undang-Undang ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (7) meskipun harus merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan. Ada beberapa keistimewaan daripada Undang-undang ini antara lain adanya isue yang berkembang bahwa Desa akan mendapatkan kucuran dana dari pemerintah pusat melalui APBN lebih kurang 1 Milyar per tahun3, adanya penghasilan tetap Kepala Desa yang ditetapkan APBD, kewenangan Kepala Desa mandiri, masa jabatan Kepala Desa bertambah, penghasilan Kepala Desa, Kewenangan Kepala Desa ,
penguatan fungsi BPD, dan
sebagainya. Memang dari sekian banyak undang-undang yang mengatur tentang Desa maka Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini lebih memberikan ruang gerak yang lebih besar kepada Desa untuk mengatur 2
http://kartomedia.blogspoot.com/2014/02/keistimewaan-undang-undang-desaterbaru.html, diunduh pada tanggal 11 Maret 2014 jam 11.37 WIB. Kepala Desa diseluruh Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan penuh dengan sukacita, kecuali daerah Padang Sumatera Barat yang menolak Undang-Undang tersebut. 3 Hal ini bisa kita baca pada Pasal 72 ayat (1) huruf d mengenai sumber pendapatan desa disebutkan alokasi dana desa yang merupakan bagian dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota paling sedikit 10 % dialokasi dana desa setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Menurut Priyo Budi Santoso, wakil Ketua DPR RI, jumlahnya sebesar 10 persen dari dana per daerah wajib diberikan tidak boleh dicuil sedikitpun, kira-kira sekitar 700 juta untuk tiap desa per tahunnya.
2
pembangunan dalam mensejahterakan masyarakatnya. Berbagai peluang dan kesempatan
menjadi
tantangan
bagi
Pemerintah
Desa
bersama
masyarakatnya, baik dalam memperbaiki sistem, menata kelembagaan desa dan meningkatkan kapasitas Pemerintah Desa serta lembaga yang ada di desa. Undang-Undang Desa tersebut setidaknya berisi beberapa kata kunci penting yang membuat desa berbeda dari sebelumnya, baik dilihat dari sisi politik, ekonomi, maupun sosial budaya.4 Meskipun demikian UU Desa ini juga mengandung kekurangan antara lain adanya perbedaan pengertian desa adat menurut UU Desa dengan pengertian desa adat menurut masyarakat desa adat itu sendiri.5 Pengertian desa menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 adalah “Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.6 Semangat local governance (tata kelola pemerintah daerah yang baik) merupakan upaya untuk mensukseskan penyelenggaraan otonomi daerah termasuk otonomi desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa. Secara normatif desentralisasi yang telah melahirkan pemerintah lokal diyakini bisa mendorong good governance, karena ia hendak mendekatkan negara ke masyarakat sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat dan 4
http://www.sangkalairki.net/bedah-peraturan-pelaksanaan-implementasi-uu-desa, diunduh tanggal 11 Maret 2014 jam 11.43 WIB. Dari sisi politik, semakin jelasnya kewenangan yang dimiliki Desa sebagai pertanda tingginya posisi tawar Desa serta perbaikan layanan skala lokal.ditandai dengan menguatkan kehidupan berdemokrasi di tingkat lokal seperti musyawarah desa, kesempatan membentuk dan mengembangkan lembaga kemasyarakatan, transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Dari sisi ekonomi, desa akan mendapatkan alokasi anggaran yang jauh lebih besar dan lebih pasti jumlahnya sebagai konsekuensi dari perluasan kewenangan yang sudah dimilik desa.dari sisi sosial budaya, UU desa mengamanahkan pentingnya melestarikan nilai-nilai budaya dan adat dalam berbagai lini kehidupan , mengakui desa adat yang memiliki kearifan dan tatanan lokal yang harus dihormati, dihargai dan dilestarikan. 5 Daerah Sumatera Barat menolak UU tersebut, karena menurut Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) se-Sumetera Barat UU Desa akan melemahkan eksistensi nagari di Sumbar sebagai satu kesatuan adat, budaya dan sosial ekonomi. 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Jakarta, 2014, hal. 1.
3
mendorong transparansi, akuntabilitas dan responsivitas pemerintah lokal serta mendorong praktek desentralisasi menjadi lebih otentik dan bermakna bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip good governance sebagai sebuah kerangka internalisasi untuk memperkuat otonomi desa. Penerapan good governance ditingkat desa merupakan solusi terhadap bad governance yang ada di desa, karena akan memunculkan kepemimpinan sosial partisipatif, responsif dan demokratis. Di sisi lain elemen-elemen masyarakat juga tidak terlalu bergantung pada pemerintah desa karena akan belajar tentang kemandirian dan kepercayaan pada diri sendiri. Hal ini sesuai dengan tuntutan masyarakat dalam gerakan yang disebut "gerakan ma'syarakat sipil" (civil society movement) yang mengusung cita-cita yaitu bagaimana membuat masyarakat menjadi lebih mampu dan mandiri untuk memenuhi sebagian besar kepentingannya sendiri. Berbagai peluang dan kesempatan menjadi tantangan bagi Pemerintah Desa bersama masyarakatnya, baik dalam memperbaiki sistem, menata kelembagaan desa hingga meningkatkan kapasitas Pemerintah Desa serta lembaga yang ada di desa. Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini berisi beberapa kata kunci penting yang membuat desa berbeda dari undangundang sebelumya baik dilihat dari sisi politik, ekonomi dan sosial budaya7. Dari sisi politik, semakin jelasnya kewenangan yang dimiliki oleh Desa sebagai pertanda tingginya posisi tawar Desa serta perbaikan layanan skala lokal. UU Desa memberikan semangat baru terkait pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat Desa. Menguatnya kehidupan berdemokrasi di tingkat lokal, seperti musyawarah desa, kesempatan bagi masyarakat untuk membentuk dan mengembangkan lembaga kemasyarakatan, berpartisipasi dalam pembangunan desa. Dari sisi ekonomi, desa akan mendapatkan alokasi anggaran yang jauh lebih besar dan lebih pasti jumlahnya sebagai konsekuensi dari perluasan kewenangan yang sudah dimiliki oleh desa. UU Desa melakukan reformasi atas uang masuk desa, selain Alokasi 7
Bayu Sapta Nugraha, http://www.sangkalairki.net/bedah-peraturan-pelaksanaanimplementasi-uu-desa
4
Dana Desa (ADD), desa juga diberikan Dana Desa (DD) yang bersumber dari APBN. Kedua sumber tersebut dengan nyata memperkuat sumber pendapatan APBDesa, sehingga APBDesa yang besar merupakan potensi dan tantangan tersendiri bagi desa. Desa dituntut mampu melakukan tata kelola keuangan yang baik
mulai
dari
perencanaan,
implementasi,
pengawasan,
hingga
pertanggungjawabannya. Dana yang besar sehingga desa memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi ekonomi desa, misalnya mengembangkan BUMDesa. Dari sisi sosial budaya/kultural, UU Desa memberikan pengakuan atas nilai-nilai budaya dan adat istiadat dalam berbagai lini kehidupan untuk dihargai, dihormati dan dilestarikan. Namun dibalik kelebihan dan keistimewaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ada berbagai kekurangan baik dari segi isi (substansi) dan penerapannya. Dari segi substansi misalnya sebelum terbitnya UU ini setiap wilayah memiliki pengertian desa adat yang berbeda-beda misalnya di Bali, pengertian desa adat adalah tempat pelaksanaan ajaran agama dalam spirit takwa, etika dan upacara yang bertalian pada wilayah pawongan (warga/krama desa), palemahan (wilayah desa) dan parahyangan (keyakinan agama). Sedangkan menurut UU Desa, desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat. Demikian juga disebutkan bahwa setiap desa akan mendapatkan dana yang
signifikan besarnya8 yang rawan terjadinya penyelewengan oleh
perangkat desa. Masalah lainnya adanya perbedaan keadaan/kondisi desa yang ada9, dimana ada Desa yang memang sudah mandiri dan sudah mampu 8
http://sosbud.kompasiana.com?2014/03/12/desa-uu-desa-2014-dan-perubahan-sosial. Hebatnya UU Desa 2014 tersebut diikuti dengan sebuah kucuran dana yang sangat besar, yang katakanlah disebut dana pembangunan desa yang besarnya bisa mencapai 1 Milyar per desa. Bisakah dia mendorong justification cost agar masyarakat mampu dan mau mempertimbangkan nya sebagai tahap-tahap dalam perubahan sosial desa ? Jawabannya belum tentu. Model serupa dengan UU Desa 2014 dan uang , sesungguhnya sudah dimulai dengan program PPK (program pengembangan kecamatan) yang dilanjutkan PNPM Mandiri. 9 http://kartonmedia.blogspot.com/2014/02/keistimewaan-undang-undang-desaterbaru.html.
5
menyejahterakan masyarakatnya dengan berbagai cara sebelum adanya UU ini, tetapi ada pula Desa yang tertinggal dan masih belum bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Sehingga dengan dana alokasi yang relatif besar dikuatirkan akan tetap merasa kekurangan bagi desa tertinggal tersebut, dan terjadinya gejala-gejala negatif , karena dana yangbesar itu lebih cepat dibandngkan kemampuan UU Desa mengorganisir dan menginternalisasi pengetahuan dan pranata-pranata baru dalam masyarakat. Demikian juga masa jabatan Kepala Desa selama 6 tahun dan dapat dipilih kembali dalam 3 (tiga) periode secara berturut turut atau tidak, tidak mustahil akan hadir rajaraja kecil di desa ditambah lagi besarnya kewenangan yang diberikan kepadanya. Adanya perbedaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkaitan erat dengan tata kelola yang akan dikerjakan aparat desa di setiap desa. Belum diaturnya keberadaan perempuan minimal 30 persen di perangkat desa sebagai penyaluran aspirasi perempuan, sehingga dikuatirkan perempuan di desa hanya akan dijadikan obyek pengaturan bukan subyek pembangunan menyeluruh di desa. Adapun
tujuan
ditetapkannya
Undang-undang
ini
merupakan
penjabaran dari ketentuan yang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, antara lain : (1) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya ; (2) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum demi mewujudkan keadilan bagi masyarakat ; (3) melestarikan dan memajukan adat, tradisi dan budaya masyarakat desa ; (4) mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat Desa ; (5) membentuk pemerintahan Desa yang profesional, efesien, efektif, terbuka serta brtanggungjawab ; (6) meningkatkan pelayanan publik ; (7) meningkatkan ketahanan sosial budaya ; (8) memajukan perekonomian dan (9) memperkuat masyarakat sebagai subyek pembangunan. Undang-undang ini juga mengatur tentang keuangan dan aset Desa yang dapat menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan dan pengelolaan keuangan Desa (Pasal 71 ayat (2)). Pada Pasal 72 ayat (1) disebutkan bahwa
6
sumber pendapatan Desa antara lain : (a) pendapatan asli Desa, (b) alokasi APBN, (c) bagian dari hasil pajak daerah dan restribusi Kab/Kota, (d) alokasi dana desa dari bagian dana perimbangan yang diterima Kab/Kota, (e) bantuan APBD Provinsi dan APBD Kab/Kota, (f) hibah dan sumbangan pihak ketiga dan (g) pendapatan desa yang sah.10 Dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai upaya peningkatan kesejahteraan bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa itu diatur dalam UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dalam Pasal 66 yang berbunyi sebagai berikut : (1) Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh penghasilan tetap setiap bulan ; (2) Penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana perimbangan dalam Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja
Negara
yang
diterima
oleh
Kabupaten/Kota dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota ; (3) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa menerima tunjangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ; (4) Selain penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa dan perangkat Desa memperoleh jaminan kesehatan dan dapat memperoleh penerimaan lainnya yang sah ; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran penghasilan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ketentuan yang diatur dalam pasal ini mengisyaratkan bahwa terpenuhinya kesejahteraan Kepala Desa dan Perangkat Desa itu merupakan prasyarat keberhasilan para penyelenggara pemerintahan desa itu dalam memimpin desanya. Pada posisi seperti ini para penyelenggara desa menjadi 10
http://tidakadaalamatnya.blogspot.com/2014/07/Undang-Undang-desa.html, diunduh tanggal 28 Nopember 2014, jam 20.37 WIB Dalam penjelasannya disebutkan bahwa setiap desa akan mendapatkan dana alokasi dari APBN paling sedikit 10 % setiap tahunnya, diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 1,2 hingga 1,4 miliar setiap tahunnya. Berdasarkan perhitungan dalam penjelasan UU Desa yaitu 10 % dari dan transfer daerah menurut APBN untuk perangkat desa sebesar Rp. 59,2 trillun, ditambah dengan dana dari APBD sebesar 10 % sekitar Rp. 45,4 trillun, total dana untuk desa adalah Rp. 104,6 trillun yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia.
7
basis berjalannya desentralisasi yang diharapkan mampu menjalankan peran desa sebagai self governing communi dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi dan beban kerja yang menjadi tanggung jawabnya. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka sumber dana dari upaya peningkatan kesejahteraan bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa yaitu berasal dari Anggaran Pandapatan dan Belanja Desa. Upaya untuk mewujudkan Desa yang maju, mandiri dan sejahtera tanpa kehilangan jati diri, yang didasarkan asas pemerintahan yang baik, maka lebih lanjut mengenai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tersebut, dijabarkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Meskipun dalam
peraturan ini lebih dititik beratkan pada Pasal 31 ayat (3), Pasal 40 ayat (4). Pasal 47 ayat (6). Pasal 50 ayat (2), Pasal 53 ayat (4), Pasal 66 ayat (5), Pasal 75 ayat (3), Pasal 77 ayat (3) dan Pasal 118 ayat (6). Sebagai konsekuensi logis dari upaya pemerataan dan peningkatan kesejahteraan dan pembangunan Desa, maka dalam peraturan ini juga menjabarkan lebih lanjut mengenai keuangan dan aset kekayaan Desa antara lain memuat Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari APBD Kabupaten/Kota, sumber pajak daerah dan restribusi daerah. APBD Provinsi atau APBD Kab/Kota ke Desa, sedangkan Dana Desa yang bersumber dari APBN diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kab/Kota yang diberikan kepada Desa sesuai dengan kemampuan keuangan pemerintah daerah yang bersangkutan, sedangkan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota paling sedikit 10 % setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa (ADD). Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 91 menyebutkan bahwa semua pendapatan Desa diterima dan disalurkan melalui rekening kas Desa dan penggunaannya
8
ditetapkan dalam APBDesa melalui Belanja Desa. Adapun belanja desa yang ditetapkan dalam APBDesa (Pasal 100) digunakan dengan ketentuan sebagai berikut (a) paling sedikit 70 % untuk mendanai penyelenggaraan Pemerintah Desa (pembangunan, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa) dan paling banyak 30 % digunakan untuk penghasilan tetap dan tunjangan kepala desa dan perangkat desa, operasional desa, tunjangan dan operasional BPD dan insentif RT dan RW. Namun dalam pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tersebut masih menimbulkan masalah11 terutama ketentuan yang menyangkut penghasilan tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa antara lain ketentuan Pasal 81 ayat (1) yang menyebutkan penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa dianggarkan dalam APBDesa yang bersumber dari Alokasi Dana Desa dengan perhitungan ADD (ayat (2)) yang jumlahnya kurang dari Rp. 500.000.000,- digunakan maksimal sebanyak 60 % atau ADD jumlah Rp. 500 – Rp 700 Juta digunakan maksimal 50 %, atau ADD Rp. 700 – 900 juta digunakan maksimal 40 % atau ADD Rp 900 ke atas digunakan maksimal 30 %. Ketentuan ini yang menjadi masalah, karena pada kenyataannya dilapangan dana alokasi belanja desa yang dianggarkan dalam APBDesa untuk penghasilan kepala desa dan perangkat desa menjadi turun bila dibandingkan dengan penghasilan tetap menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 karena tanah bengkok/lungguh Desa masih bisa dikelola dan menghasilkan, belum lagi untuk biaya operasional, tunjangan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan insentif RT/RW. Belum lagi adanya 11
http://www.ireyogya.org/id/news/pp-43-dan-pp-60tahun-2014, diunduh tanggal 12 Desember 2014, jam. 13.35 WIB. Work Shop Relevansi PP No. 43 Tahun 2014 dan PP No. 60 Tahun 2014 terhadap UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang dilenggarakan IRE Tanggal 11-12 November 2014 di Yogyakarta disebutkan bahwa isi PP No. 43 dan PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa ternyata melebihi perintah yang ada dalam UU Desa dan bahkan banyak pasalpasal yang bertentangan dengan isi UU Desa itu sendiri. Dari sisi keuangan desa jika merujuk PP No. 60 maka Desa hanya mendapatkan dana sisa karena dana desa diletakkan dalam pos cadangan, hal tersebut bertentangan dengan asas rekognisi desa yang diatur dalam konstusi. Demikian juga dari sisi pelembagaan masyarakat desa PP No. 43 justru memberikan ruang prakarsa yang lebih luas kepada negara daripada prakarsa dari masyarakat sebagaimana amanat UU Desa.
9
ketidaksesuaian antara perundang-undangan yang terkait dengan sumber dana untuk penghasilan tetap dan tunjangan Kepala Desa dan perangkat Desa. Disisi
lain
Peraturan
Pemerintah
tersebut
dianggap
kurang
mencerminkan semangat reformasi yang tertuang dalam Undang-Undang Desa itu sendiri, misalnya dalam pengelolaan keuangan desa , pemerintah desa tidak dituntut untuk melaksanakan tanggungjawab horizontal maupun kepadawarganya. Proses akuntabilitas keuangan terlalu vertikal dikhawatirkan melahirkan perilaku rente dari oknum supra desa dan secara politis membangun tunduknya pemerintah desa kepada Bupati. Demikian juga tentang dana Desa, dimana formulasi dana desa tidak memberikan spirit menghambat pemekaran desa yang dikhawatirkan akan terjadi dengan adanya dana desa . Disatu sisi Kepala Desa rawan dituduh menyimpang menghadapi ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 PP Nomor 60 Tahun 2014, dimana dalam Pasal 20 dijelaskan bahwa penggunaan dana desa mengacu RPJM Desa dan DKPDesa sementara Pasal 21 menjelaskan prioritas penggunaan dana desa mengacu pada ketetapan menteri. Permasalahan implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya yang menyangkut alokasi anggaran belanja dari APBDesa untuk penghasilan tetap Kepala Desa dan perangkat desa juga menjadi hambatan dalam pelaksanaannya di Kabupaten Ngawi yang terbagi ke dalam 19 kecamatan dan 213 desa, dan 4 kelurahan. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menelusuri permasalahan tersebut melalui penelitian dalam bentuk tesis dengan judul : “ Implementasi Ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Dalam Upaya Meningkatkan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa di Kabupaten Ngawi “.
10
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka di atas maka perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengapa implementasi ketentuan Pasal 66 dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Dalam Meningkatkan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa di Kabupaten Ngawi belum dapat dilaksanakan dengan baik ? 2. Langkah-langkah apa yang
seharusnya
dilakukan agar supaya
ketentuan mengenai peningkatan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai penyelenggaraan Pemerintahan Desa dalam Undang-Undang
Nomor
6
Tahun
2014
tentang
Desa
dapat
dilaksanakan dengan baik di Kabupaten Ngawi ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan : 1. Mengetahui dan memahami pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa dalam upaya peningkatan penghasilan tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa di Kabupaten Ngawi 2. Memberikan solusi untuk dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 khususnya peningkatan penghasilan tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa di Kabupaten Ngawi .
D. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara luas dan bersinambungan terhadap masyarakat sebagai berikut : 1. Diharapkan penelitian ini bermanfaat sebagai referensi penelitian atau studi dalam bidang hukum, dalam untuk mengetahui secara jelas mengenai hirarki/tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
11
2. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi para pengambil keputusan/kebijakan khususnya di Kabupaten Ngawi dan kabupatenkabupaten di seluruh Indonesia pada umumnya dalam mengambil suatu keputusan/kebijakan
untuk kepentingan bersama, agar mencerminkan
rasa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. 3. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan menambah cakrawala pengetahuan bagi penulis mengenai khasanah hukum di Indonesia terutama di lapangan hukum administrasi negara dan pemerintahan desa.
12