BAB I PENDAHULUAN
A. Judul Strategi Bertahan Kelompok Tani Ternak (Studi Pada Kelompok Ternak Ngudi Mulyo di Dusun Depok, Desa Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta)
B. Alasan Pemilihan Judul Pembangunan di bidang pangan merupakan hal pokok yang harus ditunjang dalam rangka menyejahterakan rakyat. Pembangunan pangan yang ideal membutuhkan pengembangan holistik di dalam sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan. Kebutuhan pangan masyarakat yang meningkat dari waktu ke waktu ditambah dengan kondisi sosial, ekonomi, dan politik negara yang belum stabil mensyaratkan adanya pembangunan terintegritas dari berbagai sektor. Dalam hal ini bukan hanya pemerintah yang dituntut mampu memberikan kebijakan yang baik, namun masyarakat diharapkan dapat melakukan kegiatan produktif. Di Indonesia, salah satu bahan pangan sumber protein yang banyak dikonsumsi masyarakat adalah daging sapi. Meskipun tidak bisa dikatakan murah, permintaan daging sapi setiap tahunnya tidak pernah menurun terlebih di hari-hari besar. Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan kebutuhan daging sapi masyarakat Indonesia mencapai 639.000 ton di tahun 2015. Angka ini naik sekitar
1
8% dari kebutuhan tahun ini sebesar 590.000 ton, sedangkan di 2013 hanya 529.000 ton (diolah dari data BPS). Dalam memenuhi kebutuhan daging sapi, pengembangan kelompok tani ternak menjadi salah satu solusinya. Di lingkup pengembangan kelompok tani ternak mengupayakan peningkatan nilai dan efektifitas kelompok dalam memproduksi sapi potong yang baik. Selain mampu meningkatkan populasi sapi dalam negeri, keberadaan kelompok-kelompok ini memberdayakan masyarakat dengan memberikan peluang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Kenyataannya, produktifitas kelompok ternak harus dihadapkan pada kebijakan tataniaga daging milik pemerintah yang tidak mendukung secara keseluruhan. Berbagai komponen biaya tataniaga seperti retribusi, pungutan liar, susut berat badan ternak selama transportasi, biaya transportasi yang tinggi menyebabkan biaya pemasaran makin tinggi dan mendorong harga daging sapi domestik terus meningkat (Ilham, 2009:212). Hal ini menyebabkan impor daging sapi dari Australia masih terus dilakukan dengan asumsi ganda yaitu untuk memenuhi permintaan daging sapi dan mempertimbangkan harga daging sapi impor lebih murah. Di sisi lain, faktor-faktor internal di dalam kelompok juga tidak selalu mendukung perkembangan ke arah yang lebih maju. Minimnya komunikasi antar anggota, perbedaan persepsi, kurang kuatnya nilai dan norma, hingga munculnya kepentingan-kepentingan pribadi menjadi ancaman keberlanjutan kelompok. Ditambah pemerintah pada saat ini selain memiliki dana terbatas tetapi juga
2
perhatiannya pada sektor peternakan lebih rendah dibandingkan dengan perhatian terhadap tanaman pangan (Yusdja dan Ilham, 2006:35). Dilematika produktifitas kelompok ternak dengan berbagai problematika tersebut membuat keberadaan kelompok ternak menjadi rentan. Meskipun sebagian besar dari mereka mampu bertahan namun kenyataannya tidak diiringi dengan perkembangan maupun keberhasilan yang signifikan. Untuk itu strategi bertahan dan esensi pemberdayaan menjadi hal yang penting dalam mengupayakan keberlanjutan kelompok ternak. Berkaitan dengan uraian diatas, Kelompok Ternak Ngudi Mulyo yang terletak di Dusun Depok, Desa Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu kelompok tani ternak yang mampu bertahan dan berkembang di tengah-tengah dinamika keswadayaan daging sapi. Dilihat dari peluang dan potensi lingkungan yang ada berikut keterbatasan anggota kelompoknya yang sebagian tidak mampu baca tulis dengan lancar, kelompok ini terbukti mampu membawa masyarakat menjadi lebih sejahtera. Sehingga keberhasilan Kelompok Ternak Ngudi Mulyo membuatnya terpilih menjadi kelompok percontohan dan Laboratorium Lapang BPTP Yogyakarta. Melihat dari uraian tersebut menarik untuk meneliti lebih lanjut tentang bagaimana kelompok ini mampu bertahan dan berkembang dari waktu ke waktu, bagaimana peran dan sinergitas pemangku kepentingan lain dala m aktivitas kelompok,
serta
bagaimana
kelompok
ini
mampu
membangun
esensi
pemberdayaan dan respon mereka dalam menghadapi problematika. Untuk itu peneliti mengambil judul penelitian “Strategi Bertahan Kelompok Tani Ternak
3
(Studi Pada Kelompok Ternak Ngudi Mulyo di Dusun Depok, Desa Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta)” dengan mempertimbangkan aspek lain dalam pengambilan judul diantaranya: a. Aktualitas National Intellegence Council, US Intellegence Community (Global Trends 2025 dalam LPIKP, 2014:6) menjelaskan bahwa masalah pangan merupakan salah satu isu strategis yang harus dijawab oleh setiap negara, karena stabilitas nasional dan kemaslahatan rakyat sangat rentan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pada ranah tersebut. Sektor pertanian sebagai sumber pangan, yang mana terdiri dari usaha tani, ternak, dan kebun hingga kini masih dianggap motor penggerak pembangunan masyarakat Indonesia. Sebagai negara agraris, pemerintah banyak mengembangkan pembangunan masyarakat yang berbasiskan sektor pertanian. Hal ini dapat dilihat dari sejarah pembangunan pertanian Indonesia, pemerintah telah banyak mengimplementasikan program kredit untuk petani hingga saat ini, antara lain: (1) Proyek Peningkatan Pendapatan Petani (Departemen Pertanian); (2) Kelompok Usaha Bersama (KUBE); (3) Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UUPKS), binaan BKKBN; (4) Program Penguatan UKM yang dilaksanakan oleh Kementrian Negara Koperasi dan UKM; dan (5) Program-program pemberdayaan masyarakat dengan berbagai bentuk dan strateginya. Walaupun demikian, efektivitas dan keberlanjutan serta peranan program-program tersebut masih jauh dari yang diharapkan (LPIKP, 2014:52). Kuatnya usaha yang dilakukan pemerintah dalam bidang pertanian ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian masih menjadi harapan besar pemerintah
4
untuk membangun masyarakat baik dalam sektor ekonomi ataupun sektor pendukung lainnya. Kebutuhan akan organisasi petani yang kuat merupakan permasalahan yang mendesak untuk ditangani di Indonesia. Selama 32 tahun terakhir, semua organisasi yang populis termasuk organisasi petani telah ditindas. Pemerintah pusat hanya mendukung organisasi petani yang formal namun tidak mempunyai kekuatan (Wahono, 2004:91). Kelompok tani pada dasarnya memiliki peran penting dalam pengelolaan sumberdaya pertanian, khususnya dalam hal suplai bahan makanan masyarakat. Untuk itu pemberdayaan kelompok tani dapat dijadikan penyokong kemandirian dan pembangunan pangan Indonesia kedepannya. Faktanya problematika yang menderu kelompok tani justru tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dan mengabaikan keberlanjutan kelompok. Pada akhirnya mereka membutuhkan strategi tersendiri untuk tetap bertahan dan berkembang. Oleh karena itu penting adanya kajian lebih lanjut yang meneliti tentang strategi bertahan kelompok tani, dimana dalam penelitian kali ini di dilakukan pada kelompok tani ternak sapi. Aktualitas penelitian ini juga melihat wacana tataniaga daging sapi, agroindustri peternakan, program swasembada daging sapi pemerintah, dan pemberdayaan kelompok masyarakat sebagai tren topik yang masih terus berlanjut dalam sepuluh tahun belakangan ini. b. Orisinalitas Orisinalitas atau keaslian merupakan hal yang fundamental dalam sebuah penelitian. Dalam melakukan sebuah penelitian hendaknya hal yang ingin diteliti
5
merupakan hal yang unik dan sekiranya belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Meski begitu tidak menutup kemungkinan bagi peneliti untuk mengkaji hal-hal yang pernah diteliti namun mengedepankan perbedaan dengan penelitian yang sebelumnya. Strategi pengembangan dan pemberdayaan kelompok merupakan fokus penelitian yang sudah banyak dilakukan, khususnya yang berkaitan dengan kelompok tani ternak. Penelitian-penelitian kelompok terdahulu diantaranya tentang kinerja kelompok, dinamika kelompok, strategi pemberdayaan kelompok, peranan kelompok dan peran serta partisipasi anggota kelompok. Namun hingga saat ini belum banyak penelitian yang mengkaji tentang strategi bertahan atau strategi survival kelompok tani ternak. Referensi yang berkaitan dengan fokus penelitian ini pun masih sulit untuk ditemui. Beberapa penelitian yang sedikit bersinggungan peneliti temukan seperti skripsi yang dilakukan oleh Daniel Deny Prasetya, Jurusan Ilmu Sosiatri Fisipol UGM tahun 2009 berjudul “Strategi Pengembangan Usaha Kelompok Peternak Tegal Makmur di Pinginggiran Kota Yogyakarta”. Penelitian milik Daniel ini meneliti tentang strategi pengembangan usaha kelompok peternak Tegal Makmur dalam menghadapi era globalisasi perdagangan. Selain itu penelitian yang lain tentang kelompok ternak adalah milik Siwi Gayatri dkk, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro tahun 2010 dengan judul penelitian “Analisis Mekanisme Pemberdayaan Kelompok Tani Ternak. Studi Kasus: Kelompok Tani Ternak di Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang”. Penelitian ini mengangkat fokus permasalahan tentang mekanisme pemberdayaan masyarakat dan pengaruhnya terhadap performa organisasi di kelompok tani ternak sapi perah di Kecamatan
6
Getasan. Penelitian lainnya adalah skripsi milik Muhammad Aziz Sandriya, Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Universitas Gadjah Mada tahun 2013 berjudul “Kesejahteraan Anggota Kelompok Tani Ternak (Studi di Kelompok Tani Anjani, Desa Tlogoguwo, Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo)”. Penelitian Aziz berfokus pada usaha-usaha yang dilakukan oleh kelompok tani ternak terhadap peningkatan kesejahteraan anggotanya sehingga kelompok tani ternak tersebut dapat bertahan serta aspek kesejahteraan anggota kelompok tani ternak sebagai dampak atas keberadaan kelompok. Ada pula penelitian disertasi milik Sriroso Satmoko, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada tahun 2013 berjudul “Pengaruh Peran Anggota Terhadap Keberlanjutan Kelompok Usaha Peternakan Sapi Potong di Kabupaten Sragen Jawa Tengah”. Penelitian Siroso lebih difokuskan pada masalah peran anggota kelompok peternak sebagai peran tugas, peran pemelihara dan peran penentang dan pengaruhnya terhadap keberlanjutan kelompok usaha peternakan sapi potong. Penelitian yang akan dilakukan walaupun mengandung kesamaan dalam bidang penelitian terdahulu, namun memiliki karakteristik dan fokus yang berbeda. Keaslian penelitian ini terletak pada fokus strategi bertahan kelompok ternak dan upayanya dalam memberdayakan anggotanya. Sedangkan pada penelitian sebelumnya tentang kelompok ternak belum mengkaji tentang upaya bertahan kelompok meskipun beberapa penelitian telah menyinggung sedikit mengenai strategi pengembangan mereka.
7
c. Relevansi dengan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Dalam sebuah penelitian, pengambilan tema sebaiknya relevan dengan bidang ilmu yang peneliti miliki. Hal tersebut tidak terlepas dari background knowledge peneliti yang nantinya mempengaruhi konsep penelitian secara keseluruhan. Sehubungan dengan ilmu yang peneliti pelajari adalah Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), maka tema penelitian setidaknya merupakan bagian dari instrumen pembelajaran yang pernah di dapatkan. Dalam Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), peneliti mempelajari ilmu tentang pembangunan dengan menekankan bagaimana tujuan sosial itu tercapai demi mewujudkan kondisi masyarakat yang sejahtera. Adapun lingkup yang dinaungi Departemen PSdK diantaranya adalah Kebijakan Sosial (Social Policy) dengan fokus kajian tentang upaya negara dalam pemecahan masalah sosial baik aspek preventif maupun pengembangannya melalui pelayanan kesejahteraan sosial; Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment) dengan fokus pada elaborasi konsep dan pendekatan yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas masyarakat agar mandiri dan berkelanjutan dalam mengelola lembaga, sumber daya dan potensi lokal; dan CSR (Corporate Social Responsibility) sebagai respon atas berkembangnya komitmen swasta untuk terlibat aktif menciptakan kesejahteraan masyarakat. Ketiganya memiliki fokus yang berbeda-beda namun saling terintegrasi antara satu dengan lainnya sehingga di dalamnya banyak mengkaji tentang hubungan antar aktor dalam pembangunan sosial (Leaflet Departemen PSdK).
8
Ketahanan kelompok tani ternak merupakan tema yang tidak pernah lekang oleh waktu, dimana erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Indonesia yang masih mengedepankan bidang pertanian. Ada banyak aspek yang dapat dikaji dalam tema ini, tentunya dengan berbagai perspektif dapat melahirkan kajian-kajian esensial yang dapat mendukung keberadaan kelompok tani ternak sebagai salah satu alternatif pengembangan masyarakat. Meski begitu, dalam pembangunan pertanian dan peternakan yang khususnya berfokus pada integritas masyarakat lokal masih dipandang sebagai upaya meningkatan perekonomian secara temporer, sehingga berdampak pada kebertahanan dan keberlanjutan kelompok. Hal ini dapat dilihat sebagai sebuah masalah dalam sebuah pengorganisasian masyarakat sehingga bisa dikategorikan dalam bidang Pemberdayaan Masyarakat atau Community Empowerment. Dimana dalam bidang ini mengkaji tentang kelompok sebagai ikatan dan wadah yang diorganisir dan memiliki tatanan serta tujuan tertentu, termasuk aspek dan faktor yang mempengaruhi keberhasilannya. Oleh karena itu penelitian yang mengusung tema ketahanan kelompok tani ternak ini dapat dikatakan memiliki relevansi dengan ilmu yang peneliti pelajari.
C. Latar Belakang Daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani yang banyak dikonsumsi masyarakat membuat ketersediannya menjadi hal yang harus diperhatikan. Indonesia memiliki kebutuhan daging sapi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan ini dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi keluarga dan semakin bertambahnya angka jumlah
9
penduduk. Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi tersebut harapannya masyarakat mampu mewujudkan hidup yang sejahtera, dimana erat kaitannya dengan pembangunan sumber daya manusia berkualitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerjasama dengan Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo), kebutuhan daging sapi Indonesia tahun 2015 mencapai 640.000 ton. Jumlah ini meningkat 8,5 persen dibandingkan proyeksi tahun 2014 yang sebanyak 590.000 ton, sehingga populasi sapi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging mencapai 3,1 juta ekor pada tahun 2014 dan melonjak menjadi 3,4 juta ekor pada tahun 2015. (www.tribunnews.com diakses pada 11 Juli 2015). Untuk memenuhi kebutuhan daging sapi yang cukup besar, pemerintah Indonesia memiliki beberapa pilihan solusi. Adapun diantaranya memperbaiki kebijakan tataniaga daging sapi dan agroindustri peternakan, melakukan impor daging sapi dari beberapa negara, hingga pengadaan program swasembada daging sapi bagi kelompok tani di daerah berpotensi. Semua upaya yang dilakukan pemerintah tersebut saling terintegrasi dan memiliki dampak ganda antara satu dengan lainnya sehingga membutuhkan keseimbangan yang baik. Dewasa ini struktur industri peternakan untuk semua komoditas ternak domestik sebagian besar (60-80 persen) tetap bertahan dalam bentuk usaha rakyat. Usaha rakyat memiliki ciri-ciri antara lain tingkat pendidikan ternak rendah, pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi konvensional, lokasi ternak menyebar luas, ukuran skala usaha relatif sangat kecil serta pengadaan input utama yaitu HMT (Hijauan Makanan Ternak) yang masih tergantung pada musim,
10
ketersediaan tenaga kerja keluarga, penguasaan lahan HMT yang terbatas, produksi butiran-butiran terbatas dan sebagian tergantung pada impor (Yusdja dan Ilham, 2006:22) Pada dasarnya Indonesia memiliki potensi pengembangan kelompok ternak di daerah pedesaan yang layak dikembangkan sebagai salah satu solusi pemenuhan kebutuhan daging sapi. Ditambah dengan modal dasar masyarakat pedesaan yang umumnya unggul dibidang bertani dan berternak mampu meningkatkan mutu industri peternakan lokal secara signifikan. Sehingga dapat dikatakan pemenuhan kebutuhan daging sapi masyarakat tidak mampu dipisahkan dari peranan kelompok peternak lokal yang membantu pemasokan daging sapi domestik. Terlebih dibandingkan dengan beternak individu, beternak dengan cara mengikuti atau berada dalam sebuah wadah dinilai lebih banyak menuai manfaat khususnya bagi peternak yang memiliki niat untuk berkembang yang tinggi namun keterbatasan modal. Inisiatif peternak-peternak lokal dalam membentuk kelompok ternak memperlihatkan pentingnya kebersamaan dalam upaya mewujudkan pembangunan masyarakat. Menurut Dirjen Bangdes, pembangunan masyarakat pada hakikatnya merupakan proses dinamis yang berkelanjutan dari masyarakat untuk mewujudkan keinginan dan harapan hidup yang sejahtera dengan strategi menghindari kemungkinan tersudutnya masyarakat desa sebagi penanggung ekses dari pembangunan regional/daerah atau nasional. Pengertian tersebut mengandung makna betapa pentingnya inisiatif lokal, pertisipasi masyarakat sebagai bagian dari
11
model-model pembangunan yang dapat menyejahterakan masyarakat desa (Soelaiman, dalam Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003:21). Dengan adanya kelompok ternak, masyarakat yang khususnya berada di pedesaan diberi peluang untuk lebih mandiri dan inovatif. Pemerintah juga dituntut turut andil dalam membina dan mendampingi mereka. Seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 273 Tahun 2007 tentang pedoman pembinaan kelembagaan petani menjelaskan bahwa pembinaan kelompok tani diarahkan pada penerapan sistem agribisnis, peningkatan peranan, peran serta petani dan anggota masyarakat perdesaan lainnya dengan menumbuhkembangkan kerjasama antar petani dan pihak lainnya yang terkait untuk mengembangkan usaha taninya. Selain itu, pembinaan kelompok tani diharapkan dapat membantu menggali potensi, memecahkan masalah usaha tani anggotanya secara lebih efektif dan memudahkan dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok ternak menjadi sarana penting bagi keseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan daging sapi untuk masyarakat. Dengan keberadaan mereka maka pertumbuhan populasi hewan ternak dapat dipantau dan dikembangkan secara efektif. Disisi lain adanya kelompok ternak memberikan wadah para peternak untuk berkembang dan berinovasi. Adanya pembagian tugas, rasa percaya satu sama lain hingga penyelesaian problematika bersama menjadi dinamika tersendiri yang harus dihadapi anggotanya. Terlebih dengan tanggungan hewan ternak sebagai mahluk hidup yang membutuhkan perawatan yang tidak mudah, masyarakat yang bergabung di wadah ini harus memiliki komitmen yang besar. Dengan begitu kelompok ternak memiliki
12
fungsi ganda yaitu dalam menyokong sektor ekonomi anggotanya dan turut andil dalam menjalin hubungan sosial antar individu yang tergabung di dalamnya. Potensi yang dimiliki kelompok ternak untuk terus berkembang tidak terlepas dari unsur pemberdayaan yang dimiliki kelompok tersebut. Mengacu pada pengertian Christenson dan Robinson, pemberdayaan masyarakat adalah proses dimana masyarakat yang tinggal pada lokasi tertentu mengembangkan prakarsa untuk melaksanakan suatu tindakan sosial (dengan atau tanpa intervensi) untuk mengubah situasi ekonomi, sosial, kultural dan atau lingkungan mereka (Soetomo, 2006: 81). Dalam hal ini kelompok ternak dituntut mampu memberdayakan diri melalui potensi yang ada di sekitarnya. Sehingga nantinya akan muncul rasa saling membutuhkan, partisipasi, semangat untuk berkembang, serta kepentingan berintergrasi dengan pihak luar yang berpengaruh pada peningkatan kualitas para peternak. Seiring berjalannya waktu, pembangunan Indonesia kini telah memasuki era pasar bebas, artinya pemerintah akan lebih sering melakukan aktivitas yang melibatkan negara lain seperti impor ekspor. Selain itu dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat cenderung lebih bebas dengan harapan dapat berkembang lebih luas di kancah internasional. Dengan begitu intervensi pemerintah dalam pengembangan industri lokal lambat laun berkurang. Nantinya peran pemerintah dalam pembangunan peternakan hanya akan meliputi aspek pengaturan (regulation), pelayanan (services), penyuluhan (extension) dan penggerak pembangunan (agent of development), sedangkan peran masyarakat atau swasta adalah sebagai subyek, atau pelaku pembangunan mulai bidang sarana
13
produksi, budidaya, penampungan, pengolahan sampai pemasaran (Satmoko, 2014: 2). Dalam hal ini organisasi lokal memiliki peran yang kuat sebagai wadah untuk menunjang kemandirian masyarakat, khususnya bagi yang belum mampu bertindak secara induvidual dan membutuhkan modal yang cukup besar. Sebagai halnya, upaya yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan daging sapi ternyata tidak selamanya berjalan sesuai dengan harapan mereka. Pemerintah yang pada awalnya berupaya keras dalam mendirikan dan membina kelompok-kelompok ternak di daerah dan memberikan bantuan seperti program pengembangan ternak mulai melepaskan kontrol mereka di tengah proses perkembangan industri daging sapi domestik. Dampaknya tidak jarang kelompok yang sudah mulai bertahan namun akhirnya bubar oleh faktor internal maupun eksternal meskipun telah mengetahui kondisi ini pada awal mendirikan ikatan. Terlebih kenyataan bahwa selama ini organisasi maupun asosiasi peternak ditujukan untuk memperkuat posisi tawar mereka dalam tataniaga ternak sapi ternyata masih didominasi oleh sekelompok kecil pengusaha bermodal besar, sedangkan peternak sebagai produsen tidak mempunyai posisi tawar yang kuat dan pengetahuan dan akses pasar yang lemah. Dilema hambatan lain muncul dari kondisi harga daging sapi dipasaran, dimana ditinjau dari perilaku pasar, kuatnya permintaan (excess demand) di dalam negeri mendorong pemerintah bersama pengusaha untuk untuk memenuhi pasokan sapi dan daging secara impor, hal ini dipacu adanya stimulan: (1) harga sangat menarik para importir, (2) kualitas tidak tersaingi produk domestik, (3) kontinuitas pasokan terjamin, (4) konversi pakan ternak impor lebih tinggi, (5) merangsang
14
tumbuhnya industri baru, (6) pemerintah memperoleh insentif berupa pajak bea masuk, serta (7) permintaan industri rumah makan terus meningkat. (Masbulan, 2000: 177). Disisi lain laju permintaan daging sapi yang lebih tinggi dari laju pasokan domestik menyebabkan harga daging sapi domestik terus meningkat, hingga pasokan impor terus makin membesar. Ironinya harga impor yang lebih murah justru menyesuaikan dengan harga domestik yang cenderung naik (Depdag dalam Ilham, 2009:214). Sedangkan dilihat dari faktor sumber daya ternak, pembangunan industri peternakan, terdapat beberapa masalah umum bagi kelompok ternak yang di sebutkan oleh Yusdja dan Ilham dalam sebuah jurnal peternakan. Pertama, ketersediaan HMT dan butiran-butiran, dimana pemerintah memproduksinya secara berlimpah dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia namun sebagian besar terbuang. Kedua, faktor teknologi bibit. Hampir semua jenis ternak domestik tidak mendapat sentuhan teknologi pembibitan yang intensif. Mutu ternak semakin buruk karena ternak yang baik selalu terpilih untuk dipotong. Ketiga, agroindustri peternakan yang mana kebijakan pembangunan agroindustri peternakan selama ini secara umum tidak terkait ke belakang yakni pada budidaya peternakan dalam negeri (Yusdja dan Ilham, 2006:22-24) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu propinsi pendukung utama (1,88%) untuk populasi sapi potong di Pulau Jawa (45,52% populasi sapi potong di Indonesia). Pengembangan potensi peternakan sapi potong di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakata sebagai bagian integral dari pembangunan pertanian, juga dilakukan dengan membentuk kelompok peternak sapi potong
15
(Andarwati,
2012:41).
Pembentukan
kelompok
ini
dimaksudkan
untuk
memambantu masyarakat kurang mampu yang ingin mengembangkan usaha peternakan namun dengan modal terbatas. Tabel 1.1 Populasi Sapi Potong Kabupaten/Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta (dalam satuan: ekor) Kota Kab. Kab. Kulon Kab. Kab. Tahun Yogyakarta Bantul Progo Gunungkidul Sleman 2009 179 52.513 53.961 121.469 54.921 2010 186 55.585 60.814 126.445 47.909 2011 345 79.595 72.536 181.188 51.706 2012 312 84.423 56.491 162.240 54.921 2013 297 50.552 45.595 138.134 38.216 Sumber data Dinas Pertanian D.I. Yogyakarta (diolah) Dalam tabel tersebut terlihat bahwa Kabupaten Bantul memiliki angka populasi sapi potong nomor dua terbesar setelah Kabupaten Gunungkidul. Didukung kondisi geografisnya yang sebagian besar masih berupa pedesaan, kabupaten ini cukup unggul dalam bidang pertanian dan peternakan. Sehingga tidak mengherankan jika hampir di setiap kecamatannya memiliki kelompok tani maupun kelompok ternak. Jumlah kelompok di setiap kecamatan tentunyaberbeda-beda tergantung pada sumberdaya yang ada. Pemerintah daerah juga mewajibkan pelaporan jika ada pembentukan kelompok tani ternak baru. Setelah itu mereka juga diharapkan mendaftarkan diri untuk memperoleh nomor register yang kedepannya berguna untuk distribusi bantuan peternakan. Berikut adalah tabel jumlah kelompok yang telah dan belum memiliki nomor register di Kabupaten Bantul:
16
Tabel 1.2 Tabel Jumlah Register Kelompok Tani Ternak Kabupaten Bantul Tahun 2015 Kecamatan Sudah Belum Total Srandakan 62 59 121 Pundong 25 36 61 Bambanglipuro 37 99 136 Pandak 21 68 89 Bantul 6 29 35 Jetis 42 6 48 Imogiri 42 2 44 Dlingo 14 65 79 Pleret 34 42 76 Piyungan 23 21 44 Banguntapan 47 2 49 Sewon 32 29 61 Kasihan 16 4 20 Pajangan 13 29 42 Sedayu 20 51 71 Total 434 542 976 Sumber: Data Register Kelompok Ternak Kab.Bantul (diolah) Dalam tabel diatas terlihat jumlah kelompok yang belum memiliki nomor registrasi lebih besar daripada yang sudah memiliki. Hal ini dapat diartikan terdapat 542 kelompok yang cenderung lebih rentan dari segi perlindungan pemerintah karena belum memiliki akses penuh untuk bantuan dan pelayanan peternakan. Pencatatan dan akses bantuan peternakan ini dijelaskan oleh Pak Priya sebagai kepala Disperhut Kabupaten Bantul, dimana kelompok ternak yang tidak memiliki nomor register juga berpotensi tidak terlacak. Artinya, seringkali kelompok tidak lagi berkelanjutan atau mati, dan bisa saja tidak berkembang. Kecamatan Pleret menjadi kecamatan yang menarik untuk diteliti terkait dengan peternakan sapi. Kecamatan ini tercatat memiliki 76 kelompok tani ternak dengan komposisi 34 kelompok teregistrasi dan 42 sisanya belum teregistrasi. Selain daerahnya yang masih berbentuk pedesaan, kecamatan ini juga memiliki
17
sentra pengolahan daging sapi dan pengrajin makanan berbahan utama kulit sapi sehingga membuatnya terkenal sebagai salah satu daerah pengelola limbah kulit sapi. Produksi pengolahan ini tentunya membutuhkan asupan sumberdaya peternakan sapi yang tinggi dimana membuat penduduknya banyak memilih profesi sebagai petani. Kelompok Ternak Ngudi Mulyo merupakan salah satu kelompok ternak dari Kecamatan Pleret yang dinilai sukses dalam berproduksi dan menjadi salah satu kelompok ternak terbaik di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelompok ini bertempat di Dusun Depok, Desa Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, dimana mulai berdiri pada 7 Februari 2009 melalui inisiasi masyarakat lokal dengan melihat potensi desa yang tinggi di bidang pertanian dan peternakan. Dengan latar belakang masyarakat Dusun Depok yang sebagian besar warga masyarakatnya adalah petani dengan tingkat kesejahteraan rendah, warga berinisiatif mendirikan sebuah wadah yang dapat menampung rasa dan kebersamaan. Meskipun kelompok ini dianggap telah berdiri selama puluhan tahun lalu oleh pendahulunya, namun belum memiliki badan organisasi yang utuh. Pembentukan kembali kelompok ini dengan harapan dapat mengubah pola pikir, menambah produktifitas, dan meningkatkan kesejahteraan anggotanya sehingga dinamakan “Ngudi Mulyo” yang artinya “mencari kemuliaan”. Pada tahun 2012 kelompok ini mendapatkan peringkat III dalam lomba Kelompok Tani Ternak Sapi DIY. Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta menjadikan Kelompok Ternak Ngudi Mulyo menjadi Laboratorium Lapang untuk Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) sebagai program prioritas milik Kementrian
18
Pertanian. Kegiatan ini sudah dilakukan sejak tahun 2012 dan rencananya akan terus berlanjut hingga tahun 2017. Laboratorium Lapang (LL) BPTP Yogyakarta adalah unit percontohan yang dikelola oleh kelompok peternak sebagai usaha pembibitan dan atau penggemukan sapi potong serta berfungsi sebagai tempat temu lapang, belajar bagi peternak dan praktek menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak sapi (website resmi Litbang Pertanian Yogyakarta, diakses pada 3 Oktober 2015). Dimana pemilihan Laboratorium Lapang (LL) BPTP Yogyakarta mempertimbangkan banyak aspek, tidak hanya merepresentasikan keberhasilan pengembangbiakan sapi saja melainkan keberlanjutan kelompok kedepannya. Hal ini dapat dijadikan bukti kuat kemampuan Kelompok Ternak Ngudi Mulyo dalam kerjasama antar petani dengan lembaga serta masyarakat sekitarnya. Seiring dengan kesuksesan dalam meningkatkan produktifitasnya, Kelompok Ternak Ngudi Mulyo mendapat banyak kesempatan untuk berkembang lebih lanjut. Hingga saat ini mereka sering mendapat panggilan oleh dinas untuk mengisi acara talk show di stasiun televisi lokal hingga mendapat kunjungan dari berbagai institusi. Belakangan ini mereka sedang mengoptimalkan produksi pupuk tani yang harapannya dapat digunakan masyarakat sekitar yang sebagian besar masih bermata pencaharian sebagai petani. Keberhasilan sebuah kelompok ternak untuk mempertahankan dan menjalankan fungsi produktifnya sangat dipengaruhi oleh tujuan, upaya dan norma yang dianut anggotanya. Dengan berbagai capaian Kelompok Ternak Ngudi Mulyo hingga saat ini membuat mereka mampu mengorganisir diri dengan baik.
19
Keberadaannya di Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, DIY memang tidak semerta-merta menjadikan kelompok ini satu-satunya kelompok tani ternak yang aktif. Di Kecamatan Pleret sendiri memiliki beberapa asosiasi dan organisasi ternak kecil maupun ternak besar. Namun diantara mereka ada yang tidak berkembang dan ada pula yang tidak berlanjut. Fuad (dalam Andarwati, 2012:40) mengatakan bahwa, suatu kelompok yang berkembang jika ada upaya perbaikan dan penyempurnaan yang terus menerus dilakukan sehingga suatu kelompok cenderung berubah dari satu pola ke pola lainnya sesuai corak dan kepesatan perubahan itu sendiri. Kemampuan segala macam kelompok tani sebagai wadah yang memberdayakan masyarakat setidaknya memberikan dua manfaat yaitu pada pembangunan pangan negara dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Namun faktanya kendati lembaga kelompok tani telah banyak dibentuk, namun cukup sulit saat ini untuk menemukan kelompok tani yang aktif, dimana anggotanya memanfaatkan lembaga tersebut untuk meningkatkan kinerja usahatani dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Saat ini kondisi sebagian besar kelompok tani dari tahun ke tahun dapat dikatakan belum mengalami perkembangan seperti yang diharapkan atau dapat dikatakan stasioner bahkan menurun. Swastika (2011:371-374) menyebutkan secara empiris gambaran dari kelompok tani tersebut sebagai berikut: (1) sebagian kelas kelompoknya tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, status kelasnya lebih tinggi namun kegiatannya bila diukur dengan skor penilaian ternyata dinamikanya rendah, dan (2) sebagian kelompok tani sudah "bubar" namun masih terdaftar.
20
Persaingan peternak yang mulai mengglobal ditambah kebijakan pemerintah yang belum mampu mendukung industri daging sapi domestik secara optimal membuat dibutuhkannya strategi bertahan kelompok agar mampu menghadapi tantangan pasar dan mampu berkembang secara mandiri. Dalam hal ini faktor internal seperti kemampuan modal sosial yang kuat, interaksi dan kerjasama anggota serta kemampuan membangun jaringan menjadi hal yang sangat penting dalam strategi bertahan kelompok. Selain itu faktor eksternal juga menjadi determinan ketahanan mereka, dimana hubungan dengan masyarakat sekitar dan kerjasama dengan lembaga eksternal berfungsi sebagai jembatan menuju tercapainya tujuan bersama. Oleh karena itu penelitian tentang strategi bertahan kelompok ternak menjadi menarik untuk dilakukan, terlebih kelompok tani ternak yang sangat penting dalam upaya swasembada saging sapi dan pengurangan impor daging sapi kedepannya.
D. Rumusan Masalah Bagaimana strategi Kelompok Ternak Ngudi Mulyo yang terletak di Dusun Depok, Desa Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta dalam mewujudkan ketahanan kelompoknya?
E. Tujuan Penelitian Sebuah penelitian perlu dikemukakan tujuan yang hendak dicapai sehingga memiliki arahan yang jelas. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
21
1.
Mengetahui strategi yang diimplementasikan Kelompok Ternak Ngudi Mulyo untuk bertahan menghadapi hambatan internal dan eksternal kelompok.
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor serta upaya pengelolaan potensi yang berpengaruh dalam mewujudkan ketahanan kelompok tani ternak tersebut, sehingga diharapkan dapat menjadi panutan pengelolaan kelompok tani lainnya.
F. Manfaat Penelitian Sebuah penelitian tentunya diharapkan mampu memberikan manfaat bagi khalayak luas. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi positif ilmu pengetahuan bagi Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Kontribusi yang dimaksud meliputi informasi kajian tentang kelompok tani dan perkembangannya, serta analisis strategi kelompok lokal yang mana dapat digunakan untuk memperkaya pengetahuan akademisi terkait pembangunan sosial khususnya di masyarakat pedesaan. Adapun manfaat bagi lingkup ilmu peneliti diantaranya (1) Pemberdayaan Masyarakat: memberikan sumbangsih dalam pengetahuan tentang kelompok lokal sebagai sarana pemberdayaan; (2) Kebijakan Sosial: dapat digunakan sebagai analisis perbandingan kebijakan di bidang peternakan; dan (3) Corporate Social Responsibility (CSR): memberikan referensi untuk pertimbangan
22
program pemberdayaan dari perusahan dalam mengembangkan kelompok peternak lokal. Manfaat lain adalah sebagai bahan informasi bagi para peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian mengenai strategi bertahan kelompok ternak. 2. Manfaat Praktis Bagi masyarakat khususnya anggota kelompok ternak agar dapat memahami potensi serta sumberdaya kelompok sehingga nantinya kelompok tersebut dapat bertahan dalam menghadapi hambatan internal maupun eksternal. Sedangkan bagi Pemerintah Daerah dan dinas-dinas terkait Kabupaten Bantul diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan kelompok ternak maupun kelompok tani terkait eksistansinya. Selain itu dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan dalam pengembangan kelompok ternak dalam usaha swasembada daging sapi.
G. Tinjauan Pustaka Dalam melakukan analisis dan mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep-konsep diantaranya konsep pengorganisasian masyarakat sebagai kacamata pembangunan masyarakat melalui kelompok atau organisasi lokal, strategi bertahan dalam kelompok, serta tinjauan tentang peternakan dan swasembada daging sapi sebagai tinjauan terhadap kondisi industri peternakan dan upaya pemerintah.
23
1. Pengorganisasian Masyarakat Dalam
mewujudkan
pembangunan
masyarakat
yang
terintegrasi,
masyarakat memiliki hak dan kewajiban untuk mengelola sumberdaya yang mereka miliki. Sebagai individu yang bebas namun memiliki rasa saling ketergantungan, masyarakat memiliki keterbatasan dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Bekerjasama dengan pihak lain sebagai usaha memperkuat diri menjadi pilihan yang menguntungkan. Mereka yang berkumpul sesuai dengan minat dan tujuan masing-masing membentuk ikatan yang seringkali tidak terstruktur. Hal ini menjelaskan bagaimana pengorganisasian masyarakat sebagai jembatan setiap individu untuk mengintergrasikan diri mereka dengan pembangunan yang diharapkan dapat merubah status dan kondisi mereka menjadi lebih baik. Kekuatan masyarakat di sebuah daerah untuk berkembang ke arah kesejahteraan diaktualisasikan melalui organisasi lokal yang berbasis pada sumberdaya daerahnya. Bagi daerah yang sebagian besar masih merupakan wilayah pertanian, masyarakat lebih berpotensi untuk mengembangkan organisasi lokal di bidang pertanian atau peternakan. Adapun organisasi tersebut juga menjadi pelindung bagi anggotanya yang tidak memiliki kekuatan secara mandiri, dimana setiap individu menjadi support system bagi anggota lainnya. Dalam penelitian ini kelompok tani ternak dipandang sebagai wadah masyarakat dengan suatu ikatan dan tujuan. Upaya masyarakat dalam membentuk ikatan kerjasama dalam industri peternakan lokal sebagai usaha meningkatkan kesejahteraan merupakan bentuk dari pengorganisasian masyarakat.
24
Peneliti menggunakan kacamata pengorganisasian masyarakat dalam melihat fenomena yang ada dalam penelitian ini, dimana pembangunan dipandang sebagai proses dan upaya yang dilakukan masyarakat dengan mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Adapun prinsip pengorganisasian masyarakat yang digunakan merujuk pada Beckwith dan Lopez (2011: 5-6), diantaranya: a. People are motivated by their self interest –masyarakat termotivasi dengan minat masing-masing. Mereka merasa memiliki kesamaan minat dan tujuan sehingga mampu mengkondisikan dirinya untuk bergabung dalam wadah tertentu. b. Community organizing is a dynamic process which requires constant attention and effort –pengorganisasian masyarakat adalah sebuah proses dinamis yang mana membutuhkan perhatian dan usaha secara konstan. Hal ini berkaitan dengan pengembangan wadah tersebut. Seiring dengan perkembangan dan pertumbuhannya akan menuai berbagai dinamika dan konflik yang utuh diselesaikan. c. Learn to deal with conflict and confrontation –belajar untuk menghadapi konflik dan konfrontasi. Sebuah kelompok harus memiliki kemampuan bernegoisasi dan mengkonfrontasi sebuah permasalahan agar dapat terus bertahan. d. Every group has to take into account the fundamental definition of an issue –setiap kelompok harus mengambil perhitungan atas definisi fundamental dalam sebuah isu. Dimana masyarakat yang memiliki permasalahan yang sama di sebuah daerah memiliki potensi pengorganisasian lebih besar.
25
Menurut Lao-Tse (dalam Wicaksono dan Darusman, 2001:2), pada dasarnya pengorganisasian masyarakat adalah mengembalikan harkat dan martabat manusia seutuhnya dalam berbagai gagasan dan proses pembangunan. Berdasarkan paradigma Lao-Tse tersebut terdapat intisari pengorganisasian masyarakat dimana mereka dianggap memiliki daya dan upaya untuk membangun kehidupannya sendiri dan memiliki pengetahuan dan kearifan khusus dalam menjalani kehidupannya secara alami. Upaya pembangunan masyarakat akan efektif apabila melibatkan secara aktif seluruh komponen masyarakat sebagai pelaku sekaligus penikmat pembangunan. Masyarakat pada hakikatnya memiliki kemampuan membagi diri sedemikian rupa dalam memenuhi peran-peran pembangunan. Di dalam pengorganisasian masyarakat, untuk melihat dari sudut pandang upaya perubahan dan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai anggota kelompok dapat dilakukan dengan kacamata pendekatan self-help. Pendekatan
self-help
atau
Self-help
Approach
merupakan
pendekatan
pembangunan masyarakat yang mengutamakan sumber-sumber, potensi dan kekuatan dari dalam. Prinsip yang digunakan adalah pembangunan yang bersifat humanis yang megakui manusia sebagai mahluk yang aktif dan kreatif. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa masyarakat sendiri dapat menjadi pelaku yang sangat berarti sekaligus menjadi pengendali proses pembangunan. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya masyarakat mempunyai kemampuan dan potensi untuk berkembang atas kekuatan sendiri (Soetomo, 2006:62). Soetomo juga menjelaskan, setiap warga masyarakat baik dalam kedudukannya sebagai individu maupun dalam kelompok memiliki potensi dan
26
kapasitas yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan. Dalam praktik kehidupan bermasyarakat, peningkatan dan pengembangan kapasitas tersebut akan semakin cepat diperoleh melalui berbagai aktivitas bersama dan kerjasama dalam kelompok untuk memperbaiki kehidupan lingkungan komunitasnya dan dalam menanggapi berbagai tuntutan kehidupan yang selalu berkembang (Soetomo, 2006:63) Berdasarkan tinjauan yang telah diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwasanya masyarakat Dusun Depok, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul telah melakukan upaya mensejahterakan diri mereka melalui pengelolaan sumber daya yang mereka miliki. Dalam hal ini masyarakat memiliki kemampuan di bidang pertanian dan peternakan kemudian menginisiasi sebuah kelompok ternak. Pengorganisasian masyarakat dalam Kelompok Ternak Ngudi Mulyo adalah rangkaian kegiatan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggotanya dengan mengorganisir penugasan anggota secara efektif. Kegiatan ini meliputi efisiensi dan pengelolaan sumberdaya, pemanfaatan modal sosial, penegasan nilai dan moral, komunikasi aktif antar anggota, dan aktivitas lainnya yang mendukung produktivitas kelompok. Di dalamnya juga terdapat peran anggota yang berbedabeda, dimana setiap aktor di dalamnya memiliki tujuan dan wewenang tertentu.
2. Strategi Bertahan Dalam Kelompok Di dalam pengorganisasian masyarakat terdapat berbagai dinamika yang menjadi bagian perjalan perkembangan sebuah organisasi. Pasang surut dan konflik yang berasal dari ekternal maupun internal merupakan proses yang harus dihadapi. Tidak sedikit peluang kegagalan sebuah kelompok masyarakat ketika tidak mampu
27
menangani hambatan dalam dinamika tersebut. Untuk itu diperlukan strategistrategi yang kuat dalam sebuah organisasi untuk terus hidup dan berkembang. Mereka juga membutuhkan strategi untuk bertahan dari segala ancaman maupun kondisi yang dipandang merugikan mereka. Dalam penelitian ini melihat strategi bertahan dalam menghadapi tantangan baik yang berasal dari lingkungan internal maupun eksternal sehingga mampu melanjutkan produktivitas kelompok senagai sebuah organisasi. Pada dasarnya strategi merupakan bagian dari dinamika berproduksi. Dalam sebuah usaha, strategi menjadi hal yang paling dibutuhkan agar mampu mencapai tujuan maupun sebagai upaya menghindari resiko setiap keputusan. Henry Mintzberg (dalam Nickols, 2012:3) menjelaskan penggunaan ‘strategi’ menjadi empat kategori, yaitu: 1. Strategy is a plan, a "how," a means of getting from here to there –strategi adalah sebuah rencana, sebuah cara untuk berpindah dari sebuah tempat ke tempat yang lain. 2. Strategy is a pattern in actions over time –strategi adalah pola dalam melakukan sesuatu dari waktu ke waktu. 3. Strategy is position; that is, it reflects decisions to offer particular products or services in particular markets –strategi adalah posisi; dia merefeksikan keputusan untuk menawarkan produk atau jasa dalam sebuah pasar. 4. Strategy is perspective, that is, vision and direction –strategi adalah perspektif, yang mana merupakan visi dan arah tujuan.
28
Banyak informasi yang menunjukkan bahwa berbagai proses dan mekanisme yang difasilitasi oleh institusi yang tumbuh dalam masyarakat lokal baik yang muncul secara mandiri maupun yang diinisiasi dari luar mengalami maslah dalam hal kontinuitas kegiatannya (Soetomo, 2012: 151). Untuk itu sebuah organisasi maupun institusi lokal membutuhkan sebuah strategi bertahan. Caroline O.N Moser (1998:5) mendefinisikan “survival” atau “bertahan” sebagai kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola berbagai aset yang dimilikinya. Berdasarkan konsep ini Moser telah membuat kerangka analisis yang disebut ‘The Asset Vulnerability Framework’. Meskipun fokus Moser adalah keluarga namun teorinya juga dapat digunakan untuk menganalisis strategi bertahan sebuah organisasi. Dengan melihat keluarga sebagai sebuah kelompok, keduanya memiliki unsur yang relatif sama seperti adanya seorang pemimpin, kepemilikan modal, hingga dinamika problem internal dan eksternal sehingga sama-sama memiliki kepentingan untuk survive. Adapun konsep yang dibentuk Moser meliputi berbagai aset pengelolaan diantaranya, (1) Aset tenaga kerja (labour assets); (2) Aset modal manusia (human capital assets); (3) Aset produktif (productive assets); (4) Aset relasi (relation assets); dan (5) Aset modal sosial (social capital assets). Pengeloaan aset-aset secara optimal dan holistik dipandang mampu membuat mereka aman dari situasi yang sekiranya mengancam proses produksi. Semua pengelolaan aset diatas digunakan peneliti untuk menganalisis trategi bertahan kelompok terhadap hambatan internal, kecuali poin aset relasi (poin keempat) merupakan upaya kelompok untuk bertahan menghadapi hambatan eksternal.
29
Konsep milik Moser diatas dapat dilengkapi dengan konsep bertahan organisasi milik Etzioni, Gross, Yuchtman dan Seashore (dalam Steers 1985: 1617).
Dimana sebuah kelompok atau organisasi agar dapat tetap hidup dan
mempertahankan suatu tingkat stabilitas dalam menghadapi lingkungan luar harus memiliki usaha-usaha, beberapa diantaranya adalah: 1. Mendapatkan sumber daya, dimana organisasi harus mampu bersaing mendapatkan sumberdaya untuk dijadikan masukan bagi kerja organisasi. 2. Produksi/keluaran, sistem organisasi harus dapat menyerahkan barang atau jasa yang disediakannya, secara teratur dan berencana. Dalam hal ini kelompok atau organisasi harus memiliki target dan rencana produksi yang menjadi pedoman kedepannya. 3. Koordinasi rasional, setiap kegiatan harus dikoordinasikan dan dipadukan dengan cara logis dan teratur, yang konsisten dengan tujuan akhir organisasi itu. Dalam koordinasi rasional ini dibutuhkan kepemimpinan yang baik, yang mana mampu membagikan tanggungjawab secara adil dan mengelola unsur-unsur dengan baik. 4. Pembaruan dan penyesuaian organisasi. Adapun dalam perkembangannya setiap wadah pengembangan masyarakat harus mampu beradaptasi dengan perubahan jaman. 5. Keselarasan, karena eratnya saling-hubungan antara suatu organisasi dan lingkungan luarnya, seringkali harus mengikuti norma yang lazim dari lingkungannya. Dalam hal ini mereka harus dapat berjalan selaras dengan nilai yang dianut masyarakat sekitar agar tetap harmoni.
30
6. Kepuasan unsur-unsurnya, baik unsur internal maupun eksternal. Hal terakhir ini menjadi pokok setiap usaha dan membutuhkan strategi yang baik, dimana jangan sampai ada pihak yang bekerja dengan kelompok merasa terugikan. Konsep bertahan organisasi milik Etzioni, Gross, Yuchtman dan Seashore oleh peneliti disintesiskan yang digambarkan oleh bagan berikut: Gambar 1.1 Bagan sintesis Konsep Pengelolaan Aset (Moser) dan Usaha-usaha bertahan organisasi (Etzioni, Gross, Yuchtman dan Seashore)
Sumber: Moser (1998:5) dan Steers (1985: 16-17) Dapat dilihat dari bagan diatas, peneliti menyintesis konsep usaha bertahan organisasi menjadi dukungan pengelolaan aset yang dilakukan sebuah kelompok tani ternak. Peneliti mempertimbangkan usaha-usaha tersebut sebagai penyokong utama strategi ketahanan kelompok. Bagan diatas dijelaskan sebagai berikut (1) Aset tenaga kerja membutuhkan usaha dalam mendapatkan sumberdaya karena di dalamnya terdapat kebutuhan sumber daya manusia sebagai anggota kelompok, (2)
31
Aset modal manusia membutuhkan usaha koordinasi rasional agar anggotanya mampu terkoordinasi dengan baik, (3) Aset produktif membutuhkan usaha alam mendapatkan sumber daya, memiliki produksi/keluaran, serta pembaruan dan penyesuaian organisasi, dimana semua usaha ini memiliki dampak yang besar terhadap kemampuan kelompok untuk mengelola aset produksinya, (4) Aset relasi membutuhkan usaha menciptakan keselarasan dan kepuasan unsur-unsurnya sehingga terbentuklah relasi yang baik dengan pihak lain, (5) Aset mosal sosial, dalam aset ini pendukung utamanya adalah usaha dalam membanhun koordinasi rasional karena mosal sosial mampu teroganisir dengan baik ketika berada dibawah koordinasi yang baik pula.. Dalam penelitian ini fokus yang dikaji adalah strategi bertahan kelompok ternak untuk dapat terus berkembang dan berlanjut ketika dihadapkan dengan keterbatasan sumberdaya maupun problematika eksternal. Untuk itu penting adanya tinjauan tentang pengertian kelompok terlebih dahulu. Ciri-ciri utama sebuah kelompok menurut Mardikanto (dalam Andarwati, 2012:40) yaitu memiliki ikatan yang nyata, interaksi dan interrelasi sesama anggotanya, struktur dan pembagian tugas yang jelas, kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu yang disepakati bersama dan keinginan dan tujuan bersama. Meruntut hal diatas, Cartwright dan Zander (dalam Andarwati, 2012:40) menyebutkan sekurangkurangnya ada tiga kondisi yang memungkinkan pembentukan suatu kelompok, yaitu kelompok yang dibentuk oleh satu orang atau lebih dengan maksud-maksud tertentu; kelompok yang dibentuk secara spontan; dan sekumpulan individu menjadi suatu kelompok karena diperlakukan yang sama oleh orang lain.
32
Sedangkan Abu Huraerah dan Purwanto (2006) menjelaskan beberapa perspektif atau sudut pandang untuk mengkonseptualisasikan kelompok. Beberapa sudut pandang tersebut meliputi pandangan yang mendasarkan pada persepsi, motivasi, tujuan kelompok, organisasi kelompok, interdependensi, dan interaksi. a. Pengertian kelompok berdasarkan Persepsi Dalam hal ini anggota-anggota kelompok tersebut mempersepsi setiap anggota menyadari hubungan mereka dengan anggota lainnya. Seperti dikemukakan Smith (dalam Iskandar dalam Huraerah, 2006:3) bahwa kelompok sosial adalah sebagai satu unit yang terdiri dari sejumlah orang yang memiliki persepsi kolektif, mengenai kesatuan mereka, dan yang memiliki kemampuan untuk bertindak dalam cara yang sama terhadap lingkungan mereka. Bales (dalam Yusuf dalam Huraerah, 2006: 3-4) menjelaskan bahwa kelompok adalah sejumlah individu yang berinteraksi dengan sesamanya secara tatap muka atau serangkaian pertemuan, di mana masing-masing anggota tersebut saling menerima impresi atau persepsi anggota lain dalam suatu waktu tertentu dan menimbulkan pertanyaanpertanyaan kemudian, yang membuat masing-masing anggota bereaksi sebagai reaksi individual. Masing-masing definisi yang diajukan tersebut baik oleh Smith maupun Bales, memandang bahwa para anggota kelompok diterima sebagai anggota kelompok dengan menekankan kriteria/ukuran tertentu, Smith memandang perlunya suatu tindakan penyatuan dari masing-masing anggota terhadap kelompoknya dan ini menurutnya merupakan merupakan suatu kemungkinan. Sedangkan Bales menekankan segi persepsi individu sebagai anggota kelompok saling berinteraksi dan saling menerima antar sesama anggota kelompok.
33
b. Pengertian kelompok berdasarkan motivasi Pandangan ini terjadi karena para ahli mengamati adanya individu-individu yang bergabung dalam satu kelompok, dan mereka merasa yakin bahwa dengan bergabungnya pada satu kelompok, maka kebutuhan yang muncul pada dirinya dapat terpenuhi. Cattell (dalam Iskandar dalam Huraerah, 2006:4) mengatakan bahwa kelompok adalah kumpulan individu yang dalam hubungannya dapat memuaskan kebutuhan satu dengan yang lainnya. Sedangkan Bass (dalam Yusuf dalam Huraerah, 2006:4) memandang kelompok sebagai kumpulan individu yang bereksistensi sebagai kumpulan yang mendorong dan memberi ganjaran pada masing-masing individu. Kedua pendefinisian ini, mengacu pada pemuasan kebutuhan unsur-unsur pengindentifikasian penerimaan sebagai kelompok. c. Pengertian kelompok berdasarkan tujuan Pengertian ini sangat dekat artinya dengan bahasan kelompok yang mendasarkan pada motivasi. Seperti yang dikemukakan Mills (dalam Iskandar, dalam Huraerah, 2006:4) bahwa kelompok adalah suatu unit yang terdiri dari dua orang atau lebih, dan berada pada satu kelompok untuk satu tujuan dan mereka mempertimbangkan bahwa kontaknya mempunyai arti. d. Pengertian kelompok berdasarkan organisasi Pengertian ini lebih mendasarkan pada bahsan sosiologi. Karena sosiologi mempunyai tingkatan analisis yang terkecil adalah kelompok, sedangkan pada psikologi tingkat analisis yang terendah adalah individual. McDavid dan Harari (daam Iskandar dalam Huraerah, 2006:5) mengatakan kelompok adalah suatu sistem yang diorganisasikan pada dua orang atau lebih yang dihubungkan satu
34
dengan lainnya yang mana sistem tersebut menunjukkan fungsi yang sama, memiliki sekumpulan standar (patokan) peran dalam berhubungan antar anggotanya dan memiliki sekumpulan norma yang mengatur fungsi kelompok dan setiap anggotanya e. Pengertian kelompok berdasarkan interdependensi Aspek terpenting dalam hal individu-individu yang berkelompok disebabkan faktor saling ketergantungan satu dengan lainnya. Pengertian kelompok dilihat dari aspek saling ketergantungan (interdependensi) ini adalah dipelopori oleh Kurt Lewin, kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh lain seperti Fiedler, Cartwright dan Zander (dalam Yusuf dalam Huraerah 2006:5). Lewis mengatakan bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam sebuah kelompok sebagai kelompok yang dinamik, yakni menunjukkan saling ketergantungan masing-masing anggota yang direalisasikan dalam persamaan tujuan. Sedangkan Fiedler (dalam Sarwono dalam Huraerah, 2006:5) mengatakan bahwa kelompok adalah serangkaian individu yang mempunyai persamaan-persamaan yang saling berdekatan dan yang terlibat dalam suatu tugas bersama. Jadi anggota-anggota kelompok merasa saling tergantung dalam mencapai suatu tujuan. f. Pengertian kelompok berdasarkan pada interaksi Batasan kelompok dalam tinjauan interaksi diajukan oleh Homans, Bonner, dan Stogdill (dalam Yusuf, dalam Huraerah, 2006:6). Homans menyebutkan, “kita berada dalam kelompok yang terdiri dari orang-orang yang berkomunikasi antara satu dengan lainnya selama ini, dan sedikit orang yang dapat berkomunikasi dengan lainnya langsung, tidak melewati orang kedua tetapi antar muka”. Sedangkan
35
Bonner mengemukakan kelompok adalah sejumlah orang yang berinteraksi dengan sesama lainnya, dan interaksi ini (proses interaksi) membedakan bentuk kelompok bersama dengan kelompok yang lainnya. Sedangkan Stogdill memandang kelompok sebagai sesuatu yang mungkin diberikan sebagai interaksi terbuka dimana mendeterminasi struktur sistem dan successsive interaction exert coegual effects di dalam identitas sistem. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa kelompok adalah sekumpulan orang yang terdiri paling tidak sebanyak dua atau lebih yang melakukan interaksi satu dengan yang lainnya dalam suatu aturan yang saling mempengaruhi pada setiap anggotanya. Dengan demikian, kelompok terjadi karena adanya energi kelompok yang diarahkan pada tujuan kelompok (Huraerah, 2006:6). Adapun penelitian ini berfokus pada subyek penelitian yaitu kelompok ternak, dimana menilik pada tinjauan pustaka yang peneliti temukan, kelompok ternak pada dasarnya merupakan usahatani. Dalam pengertiannya, usahatani adalah sebagian dari permukaan bumi dimana seorang petani, sebuah keluarga tani atau badan usaha lainnya bercocok tanam atau memelihara ternak (Mosher, 1983:52). Selain itu dikutip dari Departemen Pertanian (dalam Lendo, 2014:3), kelompok tani adalah kumpulan petani atau peternak dan pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usahanya. Kartasasmita (dalam Lendo, 2014:3) menyebutkan ciri-ciri kelompok tani diantaranya:
36
a. Anggotanya saling mengenal dengan baik, akrab dan saling percaya mempercayai, b. Mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama dalam berusaha tani, c. Memiliki kesamaan-kesamaan antara lain pemukiman, hamparan usaha tani, jenis usaha tani dan status ekonomi d. Mempunyai pembagian kerja dan tanggung jawab atas dasar kesepakatan bersama baik tertulis maupun tidak tertulis, e. Bersifat non formal. Meruntut dari definisi dan konsep yang telah diungkapkan sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa hal pertama, strategi bertahan adalah segala sesuatu yang dapat dilakukan sebuah individu ataupun sekumpulan individu yang memiliki tujuan mempertahankan eksistensi mereka, atau sedang berupaya meningkatkan kemampuan diri dalam rangka bersaing dengan menggunakan kekuatan sumberdaya dan aset yang dimiliki semaksimal mungkin. Kedua, kelompok ternak merupakan sekumpulan peternak di dalam sebuah ikatan yang saling berinteraksi, terlibat pada kerjasama, bersosialisasi, serta memiliki persamaan-persamaan dan niat dalam mencapai tujuan. Dalam penelitian ini, Kelompok Ternak Ngudi Mulyo dinilai memiliki niat yang kuat dalam mencapai tujuannya dengan melakukan kegiatan aktif dan rutin sehingga mampu menciptakan progres dari waktu ke waktu. Kerjasamanya dengan BPTP Yogyakarta sebagai pihak eksternal terbukti menjembatani mereka dalam berkembang hingga saat ini. Upaya yang dilakukan secara rutin meliputi mengadakan pertemuan membahas progres kelompok, belajar bersama tentang
37
pengembangan bibit hewan ternak yang baik serta berinovasi. Adanya bantuan pihak eksternal dalam kelompok ini juga dinilai mampu memberikan stimulan bagi kelompok baik dalam permodalan ataupun pengembangan produk peternakan.
3. Peternakan dan Swasembada Daging Sapi Kemampuan bertahan kelompok ternak di Indonesia tidak dapat terlepas dari realisasi upaya pemerintah dalam mewujudkan industri peternakan yang mandiri. Negara Indonesia terkenal memiliki daerah yang menunjang potensi pengelolaan sumberdaya alam seperti pertanian dan peternakan namun belum belum dimanfaatkan dengan optimal. Terlebih dalam dunia peternakan, kebutuhan akan sumber protein hewani dalam hewan ternak semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pengertian peternakan menurut Rasyaf (dalam Sandriya, 2013:22-23) adalah kegiatan mengembangbiakkan dan membudidayakan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dan hasil dari kegiatan tersebut. Cara beternak yang dilakukan oleh rakyat atau petani pada umumnya adalah untuk digunakan sebagai kegiatan sambilan disamping kegiatan utama mereka bertani atau jenis pekerjaan yang lain meskipun ada usaha peternakan yang memang dilakukan dengan profesional. Petani sendiri dalam kenyataannya ada yang menggembalakan ternaknya secara individu dan ada pula yang mengikuti kelompok tani dan kelompok ternak. Salah satu komoditas industri peternakan untuk masyarakat adalah daging. Sebagai bahan pangan pokok yang dibutuhkan oleh setiap orang dalam rangka
38
meningkatkan dan mempertahankan kesehatan tubuh, konsumsi daging khususnya daging sapi cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Hal ini disebabkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia seperti yang diekspresikan oleh tingkat pendapatan perkapita yang terus meningkat akan secara langsung merubah pola konsumsi pangan penduduk ke arah protein hewani seperti daging, telur, dan susu. Dengan demikian keadaan tersebut akan juga mengubah struktur permintaan terhadap komoditas ternak, yang selanjutnya akan juga berpengaruh terhadap kebijaksanaan penyediaan pangan, harga, proyeksi permintaan, kemungkinan peralihan kantong produksi ternak ke arah yang lebih spesialisasi, dan juga terhadap kebutuhan ternak itu sendiri seperti penyediaan hijauan pakan dan konsentrat (Soedjana dalam Masbulan, 2000:166). Dirjen Peternakan (2010) menjelaskan, dalam pengembangan ternak sapi potong ada tiga prinsip yang harus dipenuhi yakni (1) menjaga keseimbangan supply-demand daging, (2) prinsip pelestarian dan (3) prinsip mengurangi ketergantungan impor. Penyediaan daging sapi bagi kebutuhan masyarakat perlu dikendalikan agar prinsip pelestarian untuk peningkatan populasi dapat dicapai dan ketergantungan semakin dikurangi. Pembangunan peternakan ditujukan untuk meningkatkan produksi hasil ternak yang sekaligus meningkatkan pendapatan peternak, menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak. Berdasarkan dan mengacu pada visi pembangunan peternakan oleh Departemen Pertanian (2001), maka telah digariskan Misi Pembangunan Peternakan yaitu : 1) memfasilitasi penyediaan pangan asal ternak yang cukup baik
39
secara kuantitas maupun kualitasnya, 2) memberdayakan sumberdaya manusia peternakan agar dapat menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, 3) menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan peternakan, 4) membantu menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis peternakan dan 5) melestarikan serta memanfaatkan sumber-daya alam pendukung peternakan. Sabram dan Basuno menjelaskan, kondisi untuk mencapai keseimbangan antara potensi permintaan dan aktualitas penawaran yang masih cukup besar ini dapat berdampak pada fluktuasi harga yang tidak stabil, inefisiensi tataniaga daging, dan produk ikutan lainnya. Hal ini tampak nyata terutama pada saat-saat tertentu seperti menjelang hari raya idul fitri, natal, tahun baru, serta hari-hari besar lainnya. Disisi lain muncul masalah tentang kualitas daging. Perkembangan selera dan pengetahuan masyarakat dalam pemenuhan gizi yang baik berasal dari daging berkualitas cenderung meningkat. Pemenuhan daging yang berkualitas baru dapat dipenuhi oleh daging yang berasal dari impor. Kalau ini terus berlanjut tanpa ada usaha-usaha perbaikan pada kualitas daging lokal, maka impor daging yang berasal dari luar negeri akan terus berlangsung (Masbulan, 2000:167) Dalam memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi, selain melakukan impor pemerintah juga memiliki program swasembada daging sapi. Konsep swasembada daging sapi adalah terpenuhinya konsumsi daging sapi masyarakat yang berasal dari sumber daya lokal sebesar 90%, sehingga 10% disisakan untuk impor baik sapi bakalan maupun daging. Tetapi konsep ini bukan kebijakan penerapan “kuota” tetapi dengan maksud untuk peningkatan produksi dalam negeri sehingga mencapai 90%. Peningkatan produksi dalam negeri ini akan diiringi pula
40
oleh kebijakan lain yang bersifat teknis maupun ekonomi yang mencakup langkah operasional peningkatan populasi dan produksi dan penjajakan kenaikkan tarif bea masuk
dan langkah-langkah penerapan SPS
(Sanitary Phyto
Sanitary)
(www.ditjennak.pertanian.go.id diakses pada 3 Oktober 2015). Salah satu program swasembada yang aktif hingga saat ini adalah Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) sebagai program prioritas milik Kementrian Pertanian. Program ini dilakukan di banyak provinsi di Indonesia dengan tujuan meningkatkan jumlah populasi sapi potong untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat melalui pendampingan kelompok ternak. Unit pelaksana PSDSK adalah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang dalam pelaksanaan sehari-harinya dikoordinasikan oleh Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP). Keberhasilan program swasembada daging sapi yang menyasar kelompok maupun komunitas peternak bergantung pada kemampuan anggota kelompok tersebut dalam menjalankan program. Kelompok ternak dalam hal ini menjadi peluang besar dalam mewujudkan swasembada daging sapi Indonesia. Sebagai organisasi yang meduduki level dasar di masyarakat, kelompok ternak maupun kelompok tani lainnya berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat. Terlebih mereka muncul dalam bentuk wadah yang diinisiasi oleh warga setempat sehingga ikatan yang dihasilkan lebih membumi sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Untuk itu kebertahanan kelompok ternak menjadi suatu hal yang krusial dengan asumsi pembangunan masyarakat yang dimulai dari grass root cenderung lebih efektif. Hal ini bukan
41
hanya berpengaruh pada sektor ketahanan pangan saja, namun secara tidak langsung berdampak pada sektor ekonomi produktif masyarakat khususnya yang bergerak di bidang pertanian dan peternakan. Untuk itu kelompok lokal bukan lagi menjadi obyek kebijakan pemerintah, namun pentingnya mereka menjadi subyek pembangunan di dasarkan pada fakta inisiatif masyarakat membentuk ikatan kemandirian untuk mendukung ekonomi anggotanya secara mandiri.
42