1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Bahasa yang dipakai oleh suatu masyarakat akan selalu berkembang sejalan
dengan perkembangan kebudayaan dan peradaban bangsa yang memakai dan memiliki bahasa tersebut. Hal ini sesuai dengan salah satu sifat bahasa yaitu dinamis. Kedinamisan bahasa salah satunya dapat ditandai dengan menurunnya intensitas penggunaan kata-kata tertentu dan munculnya kosakata baru. Munculnya kosakata baru dapat disebabkan beberapa hal, salah satunya karena dalam
berinteraksi,
manusia
seringkali
mengungkapkan
sesuatu
hal
dengan kata-kata yang bermakna lain dari kata-kata yang diungkapkannya. Hal ini merupakan wujud dari kreativitas manusia dalam berbahasa untuk memperkaya kosakata. Kreativitas yang merupakan manifestasi dari perkembangan bahasa yang terjadi di masyarakat ini dapat menimbulkan berbagai fenomena kebahasaan. Salah satu fenomena kebahasaan tersebut adalah munculnya perpaduan leksem. Menurut Kridalaksana (1988:19) perpaduan leksem merupakan masalah yang sangat penting dalam bahasa Indonesia. Dalam bidang ini kreatifitas pemakai bahasa menunjukkan peranannya. Karena makin kompleksnya kehidupan masyarakat Bahasa Indonesia, memerlukan ungkapan-ungkapan baru untuk menggambarkan berbagai konsep yang terus bermunculan. Kosakata yang telah ada terkadang tidak cukup untuk mewakili ide-ide yang terus muncul di masyarakat. Oleh sebab itu, diciptakanlah kosakata baru untuk menampung ide-
2
ide tersebut. Kosakata baru ini dibentuk tidak hanya dengan menciptakan kosakata yang memang belum ada dalam bahasa yang bersangkutan, tetapi juga dengan cara mengkombinasikan kosakata yang telah ada sehingga terbentuklah kombinasi kata yang disebut dengan paduan leksem. Namun, pengungkapan konsep dengan perpaduan leksem jauh lebih umum dan lebih mudah daripada dengan penciptaan leksem tunggal yang baru sama sekali. Penciptaan leksem tunggal menuntut daya kreatifitas tinggi, dan bila bahasawan sanggup memunculkan leksem tersebut, ia masih harus menembus benteng konvensi yang tinggi dan tebal supaya ciptaannya itu dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat bahasa (Kridalaksana, 1988:19). Lebih lanjut, Kridalaksana menjelaskan bahwa bahasawan lebih cendrung mempergunakan paduan leksem daripada leksem tunggal, tampak dalam salah satu sektor bahasa Indonesia yang paling kreatif, yakni penciptaan istilah. Tujuh bidang di bawah ini, yakni bidang teknik mesin (hasil kerja Departemen Mesin Institut Teknologi Bandung), bidang anatomi (hasil kerja Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga), bidang pertanian (hasil kerja Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran), bidang geografi (hasil kerja Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia), bidang psikologi (hasil kerja Lembaga Pendidikan dan Pembinaan
Manajemen)
dan
bidang
administrasi
(hasil
kerja
panitia
Pengembangan Bahasa Indonesia), diambil sebagai contoh untuk menjelaskan kenyataan tersebut. Kecendrungan kuat untuk mengambil gabungan leksem lebih daripada leksem tunggal ternyata dari perbandingan 67:33 dalam ketujuh bidang itu.
3
Kridalaksana menggunakan istilah perpaduan leksem sebagai calon kata majemuk. Dalam konsep kata majemuk menurut Kridalaksana sama sekali tidak tersangkut konsep ‘gabungan kata’ karena gabungan kata tidak lain daripada frase. Istilah perpaduan leksem untuk menunjukkan konstruksi yang merupakan hasil perpaduan leksem-leksem tunggal yang dibedakan dari istilah gabungan leksem. Menurutnya gabungan leksem digunakan untuk menunjukkan kontruksi yang belum ditentukan statusnya dan belum diketahui apakah dalam tingkat gramatika gubungan itu akan menjadi kata atau frase (1988:27). Kridalaksana juga membedakan konstruksi sintaksis dan konstruksi asintaksis. Konstruksi sintaksis adalah konstruksi unsur-unsur gramatikal yang sesuai dengan pola-pola sintaksis suatu bahasa yang lazim disebut frase, sedangkan kontruksi asintaksis adalah konstruksi yang tidak sesuai dengan pola-pola sintaksis suatu bahasa atau kontruksi yang tidak berperilaku seperti frase karena komponen-komponennya masing-masing tidak dapat dimodifikasikan. Konstruksi ini lazim dibahas dalam rangka apa yang disebut kata majemuk (1988:30). Dalam bahasa Indonesia istilah-istilah dengan perpaduan leksem, khususnya perpaduan leksem mata relatif banyak ditemukan. Leksem-leksem yang dipadukan dengan leksem mata tersebut adalah leksem-leksem yang sebelumnya sudah ada dalam bahasa Indonesia. Perpaduan leksem mata dalam bahasa Indonesia banyak dihasilkan dari leksem benda-benda yang ada di lingkungan sekitar, baik berupa benda konkret maupun benda abstrak. Hal ini dikarenakan manusia sebagai pemilik bahasa perhubungan atau berinteraksi langsung dengan lingkungan sekitar dan manusia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan itu (Wahab, 1990:147).
4
Perpaduan leksem adalah satuan yang dibentuk dengan menggunakan dua atau lebih satuan yang telah menjadi kesatuan dan memperoleh makna khusus (Lyons, 1977:534). Sementara itu (Kridalaksana, 1988:27) menyebut perpaduan leksem adalah hasil proses penggabungan dua leksem atau lebih yang menjadikannya input bagi proses gramatikal atau menjadikannya satuan yang berstatus kata dalam tingkat gramatika. Kata yang dihasilkan dari perpaduan leksem itu dalam tingkat gramatika disebut kata majemuk. Perhatikan contoh berikut: (i)
Ridwan telah lama menjadi mata telinga Pak Kepsek.
(ii)
Sejak lahir, mata telinga Santi kurang berfungsi dengan baik. Mata telinga pada contoh (i) bermakna ‘orang yang menjadi alat bagi
orang lain untuk mencapai tujuan tertentu’ dan pada contoh (ii) bermakna organ tubuh yang berfungsi melihat dan mendengar. Mata telinga pada contoh (i) adalah gabungan leksem mata dan telinga yang maknanya telah menyimpang dari makna masing-masing unsur pembentuknya atau maknanya tidak bisa ditentukan melalui makna masing-masing unsur pembentuknya. Mata telinga pada contoh (i) itulah yang disebut perpaduan leksem yang dalam tingkat gramatika berstatus sebagai kata yaitu kata majemuk. Sementara itu, mata telinga pada contoh (ii) selain maknanya dapat ditentukan melalui makna masing-masing unsur pembentuknya, kedua unsur tersebut juga dapat dipisahkan dengan menyisipkan sebuah unsur dan misalnya, sehingga menjadi mata dan telinga. Mata telinga pada contoh (ii) itu disebut frase. Berbeda dengan mata telinga pada contoh (ii), mata telinga pada contoh (i) kedua unsurnya tidak dapat disisipi oleh unsur apapun karena kedua unsur tersebut telah membentuk satu kesatuan yang erat, sehingga tidak lagi
5
mengungkapkan makna unsur-unsur itu secara sendiri-sendiri, tetapi memberikan satu makna yang baru. Demikian juga leksem mata yang digunakan oleh pemakai bahasa dapat bergabung dengan berbagai bentuk kata lain yang juga menghasilkan bentuk yang berupa kata majemuk, misalnya leksem mata yang dipadukan dengan leksem air. Gabungan leksem mata dan air dapat menghasilkan perpaduan leksem berupa airmata dan mata air. Kedua bentukan tersebut memiliki makna yang berbeda. Airmata bermakna ‘air yang keluar dari mata’ sedangkan mata air bermakna ‘sumber air yang berasal dari dalam tanah’. Namun tidak semua paduan leksem memiliki makna jika letaknya dipertukarkan. Pada contoh lain misalnya mata hati yang bermakna ‘perasaan dalam hati’, jika letaknya dipertukarkan menjadi hati mata paduan tersebut menjadi tidak memiliki makna. Paduan leksem mata terbentuk dari perpaduan unsur-unsur yang berasal dari berbagai kelas kata seperti nomina, verba, adjektiva, dan numeralia. Posisi mata pada paduan leksem tersebut tidak selalu berada sebelum paduannya tetapi juga dapat berada di posisi setelah paduannya Perhatikan tabel berikut ini: Tabel 1: Contoh posisi leksem mata dan paduannya No
Kelas kata
1. nomina
2. verba
Unsur yang membentuk gunting kaki saksi buah tidur cuci main zina
Paduan Leksem mata yang terbentuk mata gunting mata kaki saksi mata buah mata mata tidur cuci mata main mata zina mata
6
Pada tabel di atas dapat diperhatikan bahwa leksem mata dapat berada di posisi sebelum paduannya maupun setelah paduannya. Oleh karena itu berdasarkan posisinya tersebut struktur paduan leksem mata dapat dikategorikan menjadi dua yaitu paduan leksem mata yang strukturnya berupa mata + unsur lain dan paduan leksem mata yang strukturnya berupa unsur lain + leksem mata. Secara garis besar elemen bahasa terdiri dari dua macam yaitu elemen bentuk dan elemen makna atau yang disebut dengan bentuk dan makna. Bentuk adalah elemen fisik tuturan yaitu dari tuturan terendah sampai tertinggi yang diwujudkan dengan bentuk bunyi, suka kata, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, paragraf dan wacana.
Bentuk-bentuk kebahasaan itu memiliki konsep yang
bersifat mental dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense). Makna adalah konsep abstrak pengalaman manusia, tetapi bukanlah pengalaman orang perorangan (Wijana dan Rohmadi, 2008:9). Menurut Wijana dan Rohmadi (2008:21) bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan konsep dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense) dan konsep ini lazimnya berhubungan dengan sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa yang disebut referen. Makna referensial adalah makna yang secara langsung mengacu pada sesuatu, dapat berupa benda nyata, peristiwa, proses, gejala, cirri, dan sebagainya. Kita dapat memahami bahwa referen mata adalah indra yang berfungsi untuk melihat yang terdapat pada manusia maupun hewan. Tetapi jika mata bergabung dengan unsur lain misalnya mata luka, mata keranjang, saksi mata, dan sebagainya, mata tidak lagi mengacu pada indra penglihatan yang terdapat pada manusia ataupun hewan. Mata luka, mata keranjang, dan saksi mata
7
mengacu pada sesuatu yang lain secara metaforis maupun idiomatis Oleh karena itu paduan leksem mata memiliki referen-referen tertentu sesuai dengan makna dan cirri-cirinya. Perhatikan gambar segitiga semantik di bawah ini Gambar 1: Gambar segitiga semantik paduan leksem mata duitan ‘serakah akan uang’
m-a-t-a-d-u-i-t-a-n
‘sifat’ atau ‘perilaku’
Gambar di atas menunjukkan bahwa antara lambang m-a-t-a-d-u-i-t-a-n dan konsep ‘serakah akan uang’ terdapat hubungan langsung, demikian juga hubungan antara konsep dan referen. Namun, antara lambang m-a-t-a-d-u-i-t-a-n dan referen ‘sifat’ atau ‘perilaku’ tidak berhubungan langsung (digambarkan dengan garis putus-putus). Hal ini karena hubungan itu harus melalui konsep yang berada dalam pikiran manusia. Leksem mata tidak hanya dapat dipadukan dengan leksem tunggal tetapi juga dengan leksem-leksem yang telah mengalami proses gramatikalisasi seperti memasang mata, membuang mata, sebelah mata, semata wayang, dan sebagainya. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa paduan leksem mata menarik untuk diteliti. Banyaknya kombinasi paduan leksem mata yang terdapat dalam bahasa Indonesia memerlukan pengkajian khusus untuk membahas dan menganalisisnya.
8
1.2
Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup penelitian 1.2.1 Rumusan masalah Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu: 1.
Bagaimana konstruksi gramatikal paduan leksem mata?
2.
Bagaimana referen yang dihasilkan paduan leksem mata?
3.
Fitur semantik apa saja yang diambil pada mata sehingga terbentuk paduan leksem mata?
1.2.2 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada masalah paduan leksem mata dalam bahasa Indonesia tanpa melakukan pembandingan dengan paduan leksem mata pada bahasa lain. Paduan leksem mata yang diteliti meliputi paduan leksem yang berbentuk idiom maupun paduan leksem mata yang berbentuk kata majemuk. Penelitian ini juga berkonsentrasi pada pembahasan bentuk konstruksi gramatikal dan referen yang dihasilkannya, serta fitur semantik yang diambil pada mata sehingga terbentuk paduan leksem mata. 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1.
Mendeskripsikan konstruksi gramatikal paduan leksem mata.
2.
Mendeskripsikan referen yang dihasilkan dari paduan leksem mata.
3.
Menjelaskan fitur semantik yang diambil pada mata sehingga terbentuk paduan leksem mata.
9
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian mengenai “Paduan Leksem Mata dalam Bahasa Indonesia” ini
diharapkan dapat memberikan manfaat dari aspek teoritis maupun praktis. 1.4.1 Manfaat Teoritis Adapun manfaat teoritis penelitian ini yaitu berkontribusi pada kajian linguistik khususnya bidang morfologi dan semantik. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan dan pendeskripsian secara mendalam mengenai paduan leksem mata dalam bahasa Indonesia. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini adalah agar pengguna bahasa baik penutur asli maupun penutur asing dapat mengetahui bahwa seiring dengan perkembangan bahasa, perpaduan leksem khususnya paduan leksem mata semakin berkembang sehingga paduan leksem ini dapat digunakan untuk mengungkapkan sesuatu secara ringkas, padat, dan tepat. Bukan tidak mungkin dimasa yang akan datang muncul paduan leksem baru yang salah satu unsurnya adalah leksem mata. 1.5
Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai perpaduan leksem dalam bahasa telah dilakukan oleh
Harimurti Kridalaksana (1988) dalam disertasinya yang berjudul Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. Dalam disertasinya itu Kridalaksana menggunakan istilah perpaduan leksem sebagai calon kata majemuk. Dalam konsep kata majemuk menurut Kridalaksana sama sekali tidak tersangkut konsep ‘gabungan kata’ karena gabungan kata tidak lain daripada frase.
10
Istilah perpaduan leksem untuk menunjukkan konstruksi yang merupakan hasil perpaduan leksem-leksem tunggal yang dibedakan dari istilah gabungan leksem. Menurutnya gabungan leksem digunakan untuk menunjukkan kontruksi yang belum ditentukan statusnya dan belum diketahui apakah dalam tingkat gramatika gubungan itu akan menjadi kata atau frase (1988:27). Kridalaksana juga membedakan konstruksi sintaksis dan konstruksi asintaksis. Konstruksi sintaksis adalah konstruksi unsur-unsur gramatikal yang sesuai dengan pola-pola sintaksis suatu bahasa yang lazim disebut frase, sedangkan kontruksi asintaksis adalah konstruksi yang tidak sesuai dengan pola-pola sintaksis suatu bahasa atau kontruksi yang tidak berperilaku seperti frase karena komponen-komponennya masing-masing tidak dapat dimodifikasikan. Konstruksi ini lazim dibahas dalam rangka apa yang disebut kata majemuk (1988:30). Dalam penelitiannya, Kridalaksana telah mengklasifikasikan paduan leksem menjadi lima golongan, yaitu (1) Paduan leksem subordinatif substantif atau paduan leksem tipe A, (2) Paduan leksem subordinatif atributif atau paduan leksem tipe B, (3) Paduan Leksem koordinatif atau paduan leksem tipe C, (4) Paduan leksem berproleksem atau paduan leksem tipe D, dan (5) Paduan leksem sintetis atau paduan leksem tipe E. Dalam disertasi itu belum dibahas mengenai referen dan fitur-fitur semantik yang diambil pada mata sehingga terbentuk paduan leksem. Selain itu, dalam disertasinya Kridalaksana tidak hanya mengkhususkan perpaduan leksem tertentu saja, tetapi semua perpaduan leksem yang ada dalam bahasa Indonesia. Penelitian lain mengenai paduan leksem dilakukan oleh Farida Nuryanti Ningsih yang meneliti tentang “Perpaduan Leksem Anggota Tubuh dalam Bahasa Indonesia” (2004).
Menurut Farida, perpaduan leksem anggota tubuh adalah
11
perpaduan leksem dalam bahasa Indonesia yang memiliki unsur pembentuk berupa nama-nama organ tubuh, baik semua unsur pembentuknya maupun salah satu unsur pembentuknya saja yang menggunakan nama organ tubuh. Farida menemukan 40 organ tubuh yang digunakan untuk membentuk paduan leksem. Pendeskripsian paduan leksem anggota tubuh ini dilakukan berdasarkan organ tubuh manusia dari atas sampai bawah, baik organ tubuh dalam maupun organ tubuh luar. Berdasarkan letaknya dalam tubuh, nama-nama organ tubuh dikelompokkan menjadi dua, yaitu nama-nama organ tubuh yang terletak dilebih dari satu tempat dan nama-nama organ tubuh yang terletak di lebih dari satu tempat atau bahkan di seluruh tubuh. Berdasarkan proses morfologisnya, perpaduan leksem anggota tubuh menghasilkan kata majemuk simpleks dan kata majemuk kompleks. Dari hasil analisis tentang makna dapat diketahui bahwa selain cirri-cirinya membentuk satu makna baru, ketakterbalikan, ketaktersisipan, dan ketakterluasan, kata majemuk juga mempunyai ciri memiliki satu kategori kata. Meskipun paduan leksem mata juga termasuk ke dalam data penelitian tersebut, namun data mengenai paduan leksem mata tersebut masih terlalu sedikit. Selain itu analisis mengenai konstruksi gramatikal dan makna referen belum dibahas dalam penelitian tersebut. Nurul Hikmayati Saefullah (2009) membahas “Makna Idiomatikal dalam Paduan Leksem Bahasa Prancis”. Menurut Nurul, makna idiomatikal dalam paduan leksem bahasa Prancis berbeda dari makna masing-masing leksem pembentuknya. Hal ini disebabkan oleh adanya makna baru yang terbentuk dari paduan leksem yang sebagian besar berhubungan dengan salah satu makna leksem-leksem pembentuknya secara mandiri. Jumlah paduan leksem berupa
12
idiom yang lebih sedikit daripada semiidiom membuktikan makna masing-masing leksem pembentuk idiom dan semiidiom masih digunakan di dalam pemaknaan paduan leksem tersebut. Dalam proses pemaknaan paduan leksem bahasa Prancis, beberapa idiom dan semi-idiom bergantung sepenuhnya pada konteks kalimat karena tidak ada makna leksikal dari paduan leksem tersebut. Hasil analisis makna membuktikan bahwa relasi makna sinonimi paling banyak digunakan di dalam pemaknaan paduan leksem, meskipun di antaranya ada juga antonimi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa bahasa Prancis lebih banyak menggunakan bentuk semi-idiom daripada idiom dan makna idiomatikal yang terbentuk dari paduan leksem verba dan nomina tidak selalu harus mengacu pada konteks kalimat. Penelitian mengenai leksem mata telah dilakukan oleh Wiwik Darmini (2012) yang dimuat dalam jurnal Stilistika dengan judul “Pemakaian Leksem Mata dalam Bahasa Indonesia”. Penelitian tersebut juga membahas makna leksem mata setelah bergabung dengan satuan lain namun yang dijelaskan hanya makna berdasarkan KBBI, tanpa menjelaskan konstruksi gramatikalnya. Mengenai ketegaran letak leksem mata Darmini menyimpulkan letak leksem mata setelah bertemu dengan satuan lain cenderung memiliki ketegaran artinya tidak dapat dibalik susunannya karena akan mengakibatkan makna lain ataupun tidak berterima dalam bahasa Indonesia. Adapun yang tidak tegar letaknya leksem mata biasanya bergabung dengan bentuk lain untuk membentuk satuan di atas kata yakni dalam tataran sintaksis. Penelitian ini masih bersifat tinjauan awal, oleh karena itu penjelasan yang dipaparkan masih belum komprehensif. Masih banyak aspek-aspek lain yang perlu dijelaskan mengenai paduan leksem mata.
13
Penelitian lain mengenai perpaduan leksem dilakukan oleh Eni Ayuningsih (2013) dengan judul penelitian Pemakaian Perpaduan Leksem Bahasa Indonesia dalam Tabloid NOVA Edisi Juli 2012. Berdasarkan hasil analisis perpaduan leksem pada tabloid Nova edisi Juli 2012 ditemukan 5 tipe paduan leksem yaitu tipe A, B, C, D, dan E. Terdapat 298 data berupa kalimat yang di dalamnya terdapat perpaduan leksem serta 81 data fakta. Tipe A dan tipe B komponenkomponennya berstatus berlainan (subordinatif), tipe C komponen-komponennya berstatus sederajat (koordinatif), D dan E di luar ketiganya. Tipe A (subordinatif substantif) mempunyai kesamaan bahwa semua kompositum merupakan kompositum substantif, dan tidak ada penghubung berupa partikel atau afiks di antara komponennya. Tipe A ditemukan 12 subtipe. Tipe B (kompositum subordinatif atributif) yang sebagian besar bersifat predikat dan maknanya tergantung dari nomina di luar kompositum itu. Tipe B ditemukan 8 subtipe. Tipe C bersifat koordinatif yaitu urutan komponennya tetap dan tidak dapat dibalikkan atau ditukar posisinya. Tipe C ditemukan 6 subtipe. Tipe D disebut kompositum berproleksem yang mencakup gabungan proleksem dan leksem. Salah satu komponennya terikat dengan unsur yang menyertainya. Tipe E disebut kompositum sintetis. Kompositum ini terdiri dari bentuk terikat dan bentuk bebas, Adapun makna yang dikaji adalah makna leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal pada paduan leksem tanpa konteks apapun sedangkan makna gramatikal yang terdapat pada paduan leksem karena proses afiksasi dan komposisi. Herlita Susanti (2014) menulis tesis tentang “Idiom Bahasa Inggris Berunsur Bagian Tubuh Manusia dan Padanannya dalam Bahasa Indonesia”. Menurut analisisnya idiom bahasa Inggris dan bahasa Indonesia mempunyai
14
persamaan dan perbedaan dari segi bentuk, makna, dan pemilihan kata. Perbedaan yang muncul antara idiom bahasa Inggris dan bahasa Indonesia terjadi karena perbedaan budaya antara bahasa Indonesia dan Inggris sehingga mempengaruhi asumsi manusia untuk mengungkapkan satu maksud tertentu. Idiom bahasa Inggris dan bahasa Indonesia mengalami kesamaan dikarenakan anggota-anggota tubuh tersebut mempunyai fungsi yang sama diseluruh dunia. Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan di atas, penelitian mengenai perpaduan leksem mata dalam bahasa Indonesia berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian-penelitian sebelumnya tentang paduan leksem yang dikaji oleh Kridalaksana mencakup semua paduan leksem dalam bahasa Indonesia dan tujuan utamanya adalah mengklasifikasikan tipe-tipe paduan leksem dalam bahasa Indonesia. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan Farida, meskipun lebih spesifik
dari penelitian yang dilakukan
Kridalaksana namun paduan leksem yang diperbandingkan juga masih cukup banyak sehingga analisisnya masih terlalu umum. Selain itu analisis mengenai konstruksi gramatikal serta makna referennya belum dilakukan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat menganalisis paduan leksem mata lebih mendalam sehingga dapat menyempurnakan penelitian sebelumnya. 1.6
Landasan Teori
1.6.1 Leksem Leksem sebagai satuan leksikal dasar yang abstrak, berperan dalam pembentukan leksikon suatu bahasa. Matthew dalam Chaer (2007:2) menyebutkan bahwa dalam kajian linguistik istilah leksem digunakan dalam dua bidang
15
subkajian, yaitu kajian morfologi dan semantik. Dalam kajian morfologi, leksem diartikan sebagai bentuk yang akan menurunkan sebuah atau sejumlah kata. Sedangkan dalam kajian semantik, istilah leksem digunakan untuk mewadahi konsep satuan bahasa yang memiliki satu satuan makna. Jadi, secara semantik yang disebut leksem bisa berupa kata dasar, kata gabung, kata berimbuhan, maupun bentuk-bentuk yang disebut ungkapan/idiom. Morfologi dapat dipandang sebagai subsistem yang berupa proses yang mengolah leksem menjadi kata. Input dalam proses itu ialah leksem sebagai satuan leksikal, sedangkan kata sebagai satuan gramatikal berperan sebagai output. Proses itu dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2: Proses pembentukan kata
leksem
Proses Morfologis
kata
Lyons merumuskan bahwa leksem adalah satuan-satuan yang lebih abstrak yang terdapat dalam bentuk-bentuk infleksi yang berbeda menurut kaidah-kaidah sintaksis yang terlibat dalam membangkitkan kalimat-kalimat. Leksem akan dibedakan notasinya dari kata dengan menggunakan huruf besar. Jadi, kata ortografis cut merealisasikan tiga infleksi yang berbeda (yaitu tiga kata gramatikal yang berbeda) leksem CUT (Lyons, 1968:197). Matthews merumuskan bahwa leksem adalah suatu satuan terkecil (tidak dapat dibagi-bagi lagi menjadi satuan yang lebih kecil) yang abstrak yang terdapat dalam bentuk tunggal, majemuk, atau ubahan (derived) dalam paradigma yang
16
sama yaitu paradigma infleksional (1974:38). Leksem WORK menghasilkan bentuk infleksi yang berbeda yaitu work, works, worked, dan working. Jack Richards dkk (1987:163) (dalam Parera, 1994:117) mengatakan bahwa leksem adalah satuan terkecil dalam sistem makna sebuah bahasa yang dapat dibedakan dari satuan serupa lain. Leksem adalah satuan yang abstrak. Leksem dapat terjadi dalam banyak bentuk-bentuk yang berbeda dalam bentuk lisan dan tulisan dan dipandang sebagai leksem yang sama ketika satuan-satuan itu diinfleksikan. Misalnya, dalam bahasa Inggris semua bentuk infleksi seperti give, gives, given, giving, gave mempunyai leksem yang sama GIVE. 1.6.2 Perpaduan Leksem Perpaduan leksem adalah satuan yang dibentuk dengan menggunakan dua atau lebih satuan yang telah menjadi kesatuan dan memperoleh makna khusus (Lyons, 1977:534). Sementara itu Kridalaksana (1988:27) menyebut perpaduan leksem adalah hasil proses penggabungan dua leksem atau lebih yang menjadikannya input bagi prroses gramatikal atau menjadikannya satuan yang berstatus kata dalam tingkat gramatika. Kata yang dihasilkan dari perpaduan leksem itu dalam tingkat gramatika disebut kata majemuk. Proses terbentuknya paduan leksem dapat dilihat pada bagan berikut ini: Gambar 3: Proses terbentuknya paduan leksem
leksem tunggal
leksem tunggal
perpaduan n
paduan leksem
kata majemuk
17
1.6.3 Teori Segitiga Semantik Ogden dan Richards Sebuah kata memiliki sisi formal dan semantik. Ferdinand de Saussure menggunakan istilah significant dan signifie (Verhaar, 1984:127), sedangkan Ullman (1973) menyebutkan nama (name) dan makna (sense). Hubungan antar kata dan makna ini telah menjadi masalah yang kontroversial dalam filsafat Yunani (Cahyono, 1995:204). Ada dua teori yang bertolak belakang, yaitu teori natural dan teori konvensional. Para penganut teori natural meyakini adanya hubungan antara bentuk dan makna, sedangkan penganut teori konvensional menyanggah adanya hubungan itu, dan berpendapat bahwa bentuk dan makna, semata-mata bersifat semena dan konvensional. Menurut Ogden dan Richards (1923) dalam karya klasik tentang “Teori Semantik Segitiga” yang sampai saat ini masih berpengaruh dalam teori semantik, kaitan antara lambang, citra mental atau konsep, dan referen atau acuan dapat dijelaskan dengan gambar berikut ini:
Gambar 4: Segitiga semantik menurut Ogden dan Richards (b) konsep/citra mental
----------------(a) lambang/symbol (c) referen/acuan
Gambar di atas menunjukkan bahwa antara lambang/simbol dan konsep/citra mental terdapat hubungan langsung, demikian juga hubungan antara konsep dan referen/acuan. Namun, antara lambang dan referen/acuan tidak berhubungan
18
langsung (digambarkan dengan garis putus-putus). Hal ini karena hubungan itu harus melalui konsep yang berada dalam pikiran manusia. Hubungan antara kata dengan maknanya bersifat arbitrer. Artinya tidak ada hubungan wajib antara deretan fonem pembentuk kata dengan maknanya. Namun hubungannya bersifat konvensional, yaitu
disepakati oleh setiap anggota
masyarakat suatu bahasa untuk mematuhi hubungan itu, sebab kalau tidak komunikasi verbal yang dilakukan akan mendapat hambatan (Chaer, 2002:32). 1.6.4 Referen dan Jenis-Jenisnya Referen adalah kenyataan luar bahasa yang bersifat eksternal, tidak ada dalam bahasa. Menurut Wijana dan Rohmadi (2008:21) bentuk kebahasaan memiliki hubungan dengan konsep dalam pikiran manusia yang disebut makna (sense) dan konsep ini lazimnya berhubungan dengan sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa yang disebut referen (referent). Kata ‘lazimnya’ pada kalimat tersebut menunjukkan bahwa tidak semua kata yang memiliki makna memiliki acuan (referen) yang konkret. Wijana (2010:73) membedakan referen menjadi beberapa jenis, yakni referen unik (unique referent) dan referen tak unik (non-unique referent), referen abstrak (abstract referent) dan referen konkret (concrete referent), serta referen terhitung (countable referent) dan referen tak terhitung (uncountable referent). Pada penelitian ini referen yang ditemukan adalah referen unik dan referen tak unik serta referen konkret dan referen abstrak 1.6.4.1 Referen unik dan referen tak unik Referen unik adalah referen yang objeknya tetap (tidak berubah-ubah). Misalnya Gunung Merapi, Danau Toba, Warung Bu Hana, Indonesia, dan
19
sebagainya adalah satuan ekspresi yang memiliki referen unik. Artinya selalu mengacu pada objek tersebut kapanpun digunakan. Untuk mengetahui sesuatu yang diacu orang menggunakan pengetahuan umum dan jarang sekali melibatkan konteks pembicaraan, kecuali ada situasi yang bersifat sangat khusus. Referen tak unik adalah referen yang objeknya berubah-ubah (bervariasi) bila digunakan dalam pemakaian bahasa. 1.6.4.2 Referen konkret dan referen abstrak Menurut Wijana (2010) satuan ekspresi ada yang memiliki acuan yang dapat dipersepsi dengan pancaindra, dapat diraba, dicium, dilihat, dan sebagainya. Satuan buku itu, pulau Jawa, mobil bekas, dan sebagainya adalah satuan yang referennya memiliki sifat seperti ini. Dengan demikian, satuan-satuan ini dikatakan memiliki acuan yang konkret. Sementara itu, ide, keadilan, permasalahan, kecerdasan, pembekuan, dan sebagainya referennya tidak dapat dipersepsi layaknya benda-benda konkret. Oleh karena itu itu, satuan-satuan tersebut dikatakan memiliki referen yang abstrak. 1.6.4.3 Referen terhitung dan tidak terhitung Dalam bahasa Inggris, referen kata benda dapat dibedakan berdasarkan kemungkinan keterhitungannya (countability) sehingga tidak didapatkan kata benda yang dapat dihitung (countable noun) dan kata benda yang tidak dapat dihitung (uncountable noun. Kata-kata benda yang referennya dapat dipisahkan secara tegas (descrete) bersifat tegas di dalam bahasa Inggris. Misalnya, house ‘rumah’, door ‘pintu’, umbrella ‘payung’ dan sebagainya adalah kata benda yang referennya
dapat dihitung. Keterhitungannya biasanya dicirikan dengan
20
mungkinnya kata benda tersebut hadir dengan kata sandang tak tentu a atau an atau secara morfologis diikuti morfem penanda jamak {-s} sehingga ditemukan a house, a door, an umbrella, dan sebagainya. Kata benda yang terhitung ada pula yang bersifat abstrak, seperti an idea, three ideas, atau several opinions. Berbeda dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia tidak menandai kata bendanya seperti itu. Oleh karena itu seringkali tidak diketahui apakah sebuah kata, tunggal atau jamak (Wijana, 2010:75-76). 1.6.5 Metafora Metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan, misalnya kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia (Kridalaksana, 2001:136). Secara linguistik metafora merupakan salah satu wujud daya kreatif bahasa di dalam penerapan makna. Artinya berdasarkan kata-kata tertentu atau satuan lingual tertentu yang telah dikenal maknanya dan berdasarkan kemiripan atau keserupaan dua satuan atau dua pengalaman atau antara dua referen, pemakai bahasa dapat menerapkan secara kreatif makna satuan lingual tertentu (misalnya kata) pada satuan, atau pengalaman, atau referen lain yang memiliki keserupaan tertentu dengan satuan atau pengalaman referen pertama (Subroto, 1991:15) Menurut Ullman (1970:213-220) metafora sangat erat dengan jaringan tutur manusia yakni sebagai faktor utama motivasi, sebagai perabot ekspresi, sebagai saluran emosi yang kuat, sebagai alat untuk mengisi senjang dalam kosakata, dan dalam beberapa peran yang lain. Diantara banyak metafora yang diekspresikan manusia, ada empat kelompok utama yang terjadi dalam berbagai bahasa dan gaya bahasa. Metafora itu adalah:
21
Pertama, Metafora anthromorfis adalah metafora yang membandingkan nama-nama organ tubuh manusia dengan benda-benda tidak bernyawa (Ullmann, 2007:267). Misalnya kata “kaki” di dalam bahasa Indonesia berarti ‘bagian bawah tubuh manusia’. Komponen makna tersebut jika dialihkan ke acuan yang lain akan didapatkan frase yang bermakna metafora seperti kaki gunung, kaki bukit, kaki meja, kaki kursi, dan lain-lain. Kedua, metafora binatang adalah sumber besar lain yang digunakan sebagai metafora. Metafora jenis ini bergerak dalam dua arah utama. Sebagian ditetapkan untuk binatang atau benda tak bernyawa. Misalnya, dalam bahasa Inggris ada tumbuhan dengan nama goat’s-beard ‘jenggot kambing’, dog’s tail ‘ekor anjing’. Dalam bahasa Indonesia ada lidah buaya, kumis kucing, jambu monyet, kuping gajah, dan cocor bebek (Ullmann, 2007:267). Ketiga, metafora dari konkret ke abstrak adalah metafora yang mengalihkan ungkapan-ungkapan yang abstrak menjadi bentuk konkret. Misalnya pada bahasa Inggris, kata light yang bermakna sinar, cahaya; lampu. Sehubungan dengan hal tersebut dalam bahasa Indonesia terdapat pula kata sinar yang bermakna konkret, kemudian dialihkan maknanya menjadi abstrak seperti sinar mata, sinar wajah, hidupnya sedang bersinar, dan lainlain (Ullmann, 2007:269). Keempat, metafora sinaestetik adalah metafora yang didasarkan pada transfer dari satu indra ke indra yang lain. Dari bunyi (dari indra dengar) ke penglihatan, dan sentuhan ke bunyi, dan sebagainya. Hubungan sinaestetik mempunyai hubungan etimologis.
22
1.6.6 Jenis-jenis Makna Ada berbagai jenis makna di dalam bahasa yang secara dikotomis dibedakan menjadi beberapa macam. Penggolongan makna-makna ini dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda. Adapun jenis-jenis makna itu adalah makna leksikal dan makna gramatikal, makna denotatif dan makna konotatif, makna literal dan makna figuratif, serta makna primer dan makna sekunder. Makna leksikal ini merupakan unsur-unsur bahasa sebagai lambang atau peristiwa dan lain sebagainya dan mempunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya (Kridalaksana, 1984:120). Makna leksikal ini bisa juga disebut sebagai makna kata yang ada dalam kamus. Sedangkan makna gramatikal adalah makna yang berubah-ubah sesuai dengan konteks pemakainya. Kata
ini
sudah
mengalami
proses
gramatikalisasi,
baik
pengimbuhan,
pengulangan, ataupun pemajemukan. Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata babi bermakna denotatif ‘sejenis binatang yang biasa diternakan untuk dimanfaatkan dagingnya’. Kata kurus bermakna denotatif ‘keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal. Sedangkan makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh di atas, pada orang yang beragama Islam atau di dalam masyarakat Islam
23
mempunyai konotasi yang negatif, ada rasa atau perasaan tidak enak bila mendengar kata itu. Makna literal adalah makna yang dapat diketahui oleh pemakai bahasa tanpa bantuan konteks sedangkan makna figuratif atau makna kiasan adalah pemakaian kata dengan makna yang tidak sebenarnya (Kridalaksana, 2001:132). Sementara itu menurut Wijana makna figuratif adalah makna yang tidak mengacu kepada referennya yang bersifat konvensional, tetapi disimpangkan kepada referen yang lain untuk berbagai tujuan misalnya etis (moral), estetis (keindahan), insultif (penghinaan), dan sebagainya (1999:9). Dalam makna figuratif ini termasuk di dalamnya adalah makna asosiatif, metafora, dan idiom. Menurut Wijana makna leksikal, makna denotatif, dan makna literal disebut makna primer, yaitu makna yang dapat diketahui oleh pemakai bahasa tanpa bantuan konteks. Sementara itu, makna gramatikal, makna konotatif, dan makna figuratif disebut makna sekunder, yaitu makna yang dapat diketahui oleh pemakai bahasa dengan bantuan konteks. 1.6.7 Fitur Semantik Setiap kata mengandung ciri semantis universal. Misalnya, kata ayam dalam budaya manapun memiliki ciri semantik binatang berkaki dua, bermata dua, berbulu hitam, putih dsb, dapat berjalan ataupun terbang. Ciri semantik bersifat kodrati dan akan terasa ganjil jika ciri itu menyimpang. Misalnya, kalimat Ayam yang hijau muda itu sudah bertelur atau ayam saya berkaki satu menjadi tidak masuk akal karena warna bulu dan jumlah kaki ayam menyimpang dari sifat
24
kodrati ayam. Sebaliknya terasa lumrah jika Ayam jago saya sudah bertaji sebab ayam jago memang lazim bertaji dan taji tumbuh ketika ayam sudah besar. Secara umum, mata memiliki ciri semantik organ tubuh manusia yang berfungsi untuk melihat, berjumlah dua (sepasang), terletak di bawah dahi, berbentuk bulat, dilengkapi dengan alis, bulu mata, dan kelopak mata, dan sebagainya. Berdasarkan cirri-cirinya mata memiliki fitur semantik yang dapat diklasifikasikan menjadi fitur bentuk, fitur fungsi, fitur aktivitas, fitur sifat, dan fitur jumlah.
1.7
Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif karena menggunakan kata-kata atau kalimat dalam suatu struktur yang logis untuk menjelaskan konsep-konsep dalam hubungan satu sama lain (Danandjaja, 1990:96). Penerapan metode kualitatif dilakukan secara deskriptif, dalam konteks penelitian ini data yang dianalisis berbentuk deskriptif fenomena, tidak berupa
angka-angka atau koefisien tentang hubungan
antarvariabel (Aminuddin, 1990:16). Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan tiga tahapan kerja yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Setiap tahapan dalam penelitian ini menggunakan metode dan teknik tertentu. 1.7.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan teknik catat. Peneliti mengumpulkan data dari bahasa tulis dan bahasa lisan. Dari bahasa tulis data diambil dari artikel-artikel di internet, majalah, koran,
25
buku-buku referensi, dan kamus yaitu kamus idiom dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dari bahasa lisan, data diperoleh dengan menyimak penggunaan bahasa yang mengandung unsur perpaduan leksem mata dalam tuturan sehari-hari. Kemudian, data-data yang terkumpul selanjutnya dicatat ke dalam kartu data.
1.7.2 Analisis Data Setelah data terkumpul, kemudian dianalisis dengan beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Mengklasifikasikan
data
untuk
mengetahui
konstruksi
gramatikalnya yang meliputi struktur paduan leksem mata, satuan kebahasaan pembentuknya, kategori kata yang dihasilkan serta ranah semantik unsur pembentuk paduan leksem mata. 2. Menganalisis referen-referen yang terdapat pada paduan leksem mata
dan
mengelompokkannya
berdasarkan referen-referen
tersebut. 3. Menjelaskan fitur-fitur semantik yang terdapat pada mata yang diambil sebagai alasan terbentuknya paduan leksem mata. Selain itu, peneliti juga menggunakan data pustaka dan intuisi kebahasaan sebagai penutur bahasa Indonesia untuk menjelaskan referen-referen yang terdapat pada paduan leksem mata. 1.7.3 Penyajian hasil analisis data Penyajian hasil penelitian dilakukan dengan menggunakan metode informal dan formal. Metode informal adalah metode yang menyajikan
26
hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa, sedangkan metode formal adalah metode yang menyajikan hasil analisis data dengan menggunakan tanda atau lambang-lambang tertentu. Penelitian ini menggunakan banyak data dan contoh untuk menjelaskan makna yang ingin peneliti sampaikan, selain itu juga menggunakan banyak tabel dan gambar yang berfungsi untuk mendeskripsikan data-data yang dimaksudkan. Hasil analisis data pada penelitian ini disajikan dengan metode formal, yaitu penyajian hasil analisis data dengan menggunakan katakata biasa.
1.8
Sistematika Penyajian Hasil penelitian disajikan dengan sistematika sebagai berikut: BAB I Pendahuluan Pada bab ini diuraikan latar belakang masalah yang mendasari dipilihnya topik penelitian ini, pokok-pokok permasalahan yang ingin dibahas serta ruang lingkup penelitiannya, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka yang berisi hasil penelitian terdahulu, metode dan teknik penelitian, serta sistematika penyajian hasil penelitian. BAB II Konstruksi Gramatikal Leksem Mata Bab ini terdiri dari 5 subbab yaitu jumlah unsur pembentuk paduan leksem mata, struktur paduan leksem mata, satuan kebahasaan pembentuk paduan leksem mata, kategori kata yang dihasilkan
27
paduan leksem mata, dan ranah semantik unsur pembentuk paduan leksem mata. BAB III Referen Paduan Leksem Mata. Bab ini terdiri dari 8 subbab yaitu referen orang atau manusia, sifat atau perilaku, perbuatan atau tindakan, bentuk, penyakit, kejadian atau peristiwa, gejala, dan benda BAB IV Fitur Semantik Mata yang Diambil untuk
Membentuk Paduan
Leksem Mata. Bab ini terdiri dari 4 subbab yaitu fitur bentuk, fitur sifat, fitur aktivitas, dan fitur jumlah. BAB VI PENUTUP Berisi kesimpulan dan saran.