BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG Setiap kebudayaan1 sebagai sebuah bentuk peradaban manusia selalu dibangun
atas dasar alur pemikiran dan pengalaman yang berpengaruh pada pola tindakan kelompok masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Budaya tersebut kemudian menjadi sebuah pandangan hidup yang senantiasa mengalami proses perubahan akibat perkembangan intelektual, spiritual dan estetis (Storey, 2003: 2). Upacara merupakan salah satu elemen kebudayaan yang terkait dengan aspek keagamaan, yang di dalam tradisi tersebut terdapat nilai-nilai yang mengandung aspek behavioral dan moral imperative yang tentunya juga bersifat dinamis. Tradisi Baayun Mulud yang dilakukan oleh masyarakat Banua Halat sendiri telah menunjukkan tidak jarang sifat dinamis dalam masyarakat dibangun atas penyatuan dua budaya, yaitu Islam dan tradisi kepercayaan setempat. Dalam masyarakat tradisional yang berbasis pada khasanah lokal, yaitu masyarakat yang cenderung memiliki kemampuan yang sangat lemah dalam
1
Kebudayaan memiliki definisi yang luas dan bervariasi. Bahkan para ahli kebudayaan sendiri tidak menemukan kata sepakat dalam mendefinisikan istilah kebudayaan. Namun demikian, kebudayaan dapat ditelusuri melalui asal kata kebudayaan tersebut untuk memberikan arah pengertian kebudayaan. Mudji Sutrisno (2005: 363), misalnya, menjelaskan bahwa kebudayaan dapat dilihat melalui dua cara yaitu sebagai kata benda dan sebagai kata kerja. Kebudayaan sebagai kata benda berari hasil dari produksi kreatifitas dengan cirinya yang sudah jadi. Kebudayaan sebagai kata kerja berarti ia dilihat sebagai sebuah proses yang melibatkan kreatifitas manusia. Untuk lebih dalam membahas tentang teori-teori kebudayaan, lihat Mudji Sutrsno dan Hendar Putranto (ed.). 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
memproduksi teks2, sarana paling ideal dalam mengekspresikan kebudayaan mereka adalah dengan cara simbolisasi yang biasanya berupa upacara, barang dan bahasa (Ahimsa Putra, 2001: 67). Masyarakat mengekspresikan apa yang menjadi kehendak dalam pemikiran mereka ke dalam tindakan untuk memaknai satu fase kehidupan anggota suatu masyarakat. Upacara dalam hal ini memiliki fungsi sosial untuk selalu mengingatkan manusia tentang eksistensi dan hubungannya dengan lingkungan, yaitu lingkungan sosial yang mengenal agama Islam dan sistem keyakinan setempat. Oleh karena itu, upacara merupakan sumber pengetahuan tentang bagaimana seseorang bertindak dan bersikap terhadap gejala yang diperolehnya melalui proses belajar dari generasi sebelumnya dan kemudian diturunkan pada generasi berikutnya (Abdullah, 2002: 3 – 4). Dalam kajian antropologis, upacara keagamaan, merupakan kegiatan yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat secara berulang-ulang. Oleh karena itu, suatu upacara memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat atau para pemeluk agama tersebut (Koentjaraningrat, 1987: 67 – 68). Para pemeluk agama memang ada yang menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula dari mereka yang hanya melakukan kewajiban secara setengah-setengah saja. Terlepas dari itu semua, mereka paling tidak berada pada suasana keagamaan yang sama, sehingga motivasi yang beragam tadi ikut mendinamiskan upacara keagamaan yang mereka lakukan. Motivasi mereka yang tidak hanya untuk memuja Dewa atau Tuhan, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, atau juga karena menganggap bahwa merayakan upacara keagamaan adalah kewajiban sosial, pada akhirnya menyatu dalam suasana ritual.
2
Teks adalah hasil karya manusia yang tidak hanya merupakan entitas tertulisa tetapi juga entitas yang non-tulisan yang bersumber dari kebudayaan manusia, baik karya individu maupun kelompok masyarakat.
Seperti halnya agama besar lain di dunia, Islam juga memiliki beberapa perayaan besar upacara keagamaan. Salah satu diantara perayaan besar dalam Islam adalah Maulid Nabi.3 Makna Maulid Nabi adalah peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Maulid sebenarnya bukan hari raya Islam. Islam hanya mempunyai dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Meskipun demikian, peringatan kelahiran Nabi selalu disambut antusias oleh umat Islam dengan berbagai momen ritual layaknya hari raya. Upacara Maulid Nabi ini juga mengalami perekembangan yang menarik ketika perayaannya bersentuhan dengan tradisi dari sistem kepercayaan setempat, seperti Baayun Mulud. Ada catatan menarik dari Nico Kaptein (1994), seorang ahli studi Islam dari Universitas Leiden. Dia menulis bahwa Maulid Nabi itu aslinya perayaan kaum Syiah4, muncul pada abad 5 H/ 11 M, pada zaman Fatimiyah. Pada waktu itu, semua proses pelaksanaan perayaan dilakukan oleh penguasa, dilaksanakan pada siang hari dan tidak selalu dilaksanakan pada tanggal Maulid. Acaranya ditandai dengan pembacaan Alquran, ceramah dan persembahan untuk para pejabat. Dengan adanya persembahan ini maka diharapkan oleh masyarakat pada masa itu untuk menjalin hubungan antara penguasa dengan ahlul bait5 (keluarga nabi) untuk memupuk kesetiaan pada Imam atau Khalifah Fatimiyah. Di kalangan Suni, upacara maulid nabi pertama kali diselenggarakan di Suriah oleh Nuruddin pada abad 11M. Ketika dinasti Fatimiyah jatuh, peringatan Maulid dilaksanakan di Mosul, Irak oleh Umar al Malla. Pada abad ke 7 H/13 M Maulid diperingati secara besar-besaran di Irbil, Makkah ketika Muzzaffar ad Din Kokburi
3
Maulid Nabi berasal dari kata Maulid yang alam Bahasa Arab bermakna kelahiran sedangkan Nabi yang dimaksud dalam istilah ini adalah Nabi Muhammad S.A.W. yang merupakan Nabi terakhir menurut ajaran Islam. 4 Lihat Nico Captein (1994), Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW. Leiden: INIS. 5 Istilah ahlul bait secara harfiah bermakna tuan rumah atau orang-orang yang berasal dari rumah di mana tamu berada. Namun istilah ini kemudian berkembang dan mengalami penyempitan makna sehingga yang dimaksud oleh istilah itu adalah keluarga nabi Muhammad S.A.W yang dianggap menjadi penyangga keluarga Nabi Muhammad S.A.W.
berkuasa dan akhirnya perayaaan ini menyebar dan dirayakan di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia. Adapun sejarah masuknya tradisi Maulid ke Indonesia diduga bersamaan dengan proses masuknya Islam ke kawasan ini. Beberapa sumber, seperti yang dijelaskan Salim dalam majalah Gong (2004: 19), menyebutkan bahwa tradisi Maulid berkembang di wilayah Nusantara seiring perkembangan Islamisasi. Di Aceh, misalnya, tradisi peringatan ini dikembangkan setelah ada kontak budaya Islam dengan para saudagar dan ulama dari Arab dan Turki sebelum abad ke 15 M. Di Sulawesi Selatan, setidaknya perayaan maudu lompoa (Maulid Nabi yang Agung) sudah dilakukan seiring dakwah Islam yang dilakukan ulama Aceh keturunan Arab yang bernama Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid al ‘Aidid, pada masa Sultan Alauddin pada abad ke 17 M. Di tanah Jawa tradisi Maulid tidak bisa dipisahkan dengan kerajaan Islam pertama yakni Kerajaan Demak.
Ketika
kerajaan
Islam
Demak
berdiri,
Sunan
Kalijaga
melakukan
kontekstualisasi dan indiginasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan Jawa-Hindu dan di Kalimantan Barat, Zaenuddin Hudi Prasojo (2011: 61) menjelaskan bahwa perayaan maulid Nabi Muhammad S.A.W. juga telah menjadi bagian dari simbol ke-Islam-an anggota kelompok etnis Dayak Katab Kebahan sejak masuknya Islam ke kawasan Melawi tempat mereka bermukim dan mejadi bagian dari kehidupan nenek moyang etnis tersebut.6 Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan merupakan bagian dari masyarakat Muslim Nusantara yang melaksanakan perayaan serupa. Walaupun berbeda dengan 6
Perayaan maulid Nabi Muhammad S.A.W oleh kelompok etnis Dayak Katab Kebahan adalah salah satu aktifitas dari public symbols of Islam seperti halnya masjid, doa dan ibadah lainnya. Praktik-praktik keber-agama-an dan simbol identitas ke-Islam-an pada kelompok etnis Dayak Katab Kebahan bahkan menjadi satu elemen penting pada identitas Dayak Katab Kebahan. Lihat Zaenuddin Hudi Prasojo. 2011. “Indeginious Community Identity wihin Muslim Societies in Indonesia: A Study of Katab Kebahan Dayak in West Borneo.” dalam Oxford Journal of Islamic Studies. Vol. 22. Number 1.
daerah lain di Nusantara, masyarakat Banjar mengekspresikan kecintaan mereka terhadap Nabi dengan menggelar perayaan upacara Baayun Mulud7. Perayaan Baayun Mulud ini merupakan varian dari upacara peringatan maulid Nabi Muhammad S. A.W oleh umat Islam di Indonesia. Perayaan Baayun Mulud pada awalnya adalah sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam sedini mungkin oleh setiap keluarga Muslim yang melahirkan generasi keturunan mereka. Perayaan ini dilakukan dengan maksud agar si anak sejak dini sudah diperkenalkan dengan mesjid dan berharap kelak dewasa anak tersebut cinta kepada masjid. Perayaan ini dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiul Awal, seperti halnya perayaan Maulid Nabi pada masyarakat Muslim di daerah lain di Indonesia. Mengikutkan anak pada acara ini adalah agar sejak dini pula anak diikutkan dalam perayaan menyambut kelahiran Nabi. Para orang tua berharap/berdo’a agar kelak si anak memiliki sifat seperti Nabi. Baayun Mulud adalah salah satu corak/macam dari beranekamacam perayaan Maulid Nabi di wilayah Nusantara8 yang melibatkan seluruh masyarakat Banua Halat baik dari segi tenaga maupun biaya. Penelitian ini menjadi penting dan menarik karena ia tidak hanya melihat aktivitas ritual dari Baayun Mulud, tetapi juga berusaha menjelaskan bagaimana perayaan tersebut menjadi media pertarungan berbagai kepentingan. Beberapa kelompok masyarakat yang terlibat dalam persaingan kepentingan tersebut meliputi masyarakat Banua Halat sebagai kelompok masyarakat yang menjalankan perayaan tersebut, dan 7
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa istilah Baayun Mulud merupakan paduan dari dua kata yang membentuk satu makna. Baayun berasal dari kata ‘ayun’ yang bisa diterjemahkan menjadi ‘melakukan proses ayunan/buaian’ sedangkan asal kata Mulud adalah dari sebutan orang Banjar untuk peristiwa kelahiran (Maulid) Nabi. 8 Istilah nusantara digunakan dalam tulisan ini untuk merujuk pada kawasan yang saat ini menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan beberapa wilayah lain yang memiliki sejarah yang sama dalam konteks kebudayaan Islam pada masa lalu dan bahkan menjadi bagia dari kerajaan pra-Islam yang dikenal sebagai pemersatu wilayah ini yaitu Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu istilah nusantara dapat juga meliputi beberapa kawasan di wilayah Malaysia, Thailand, Philiphina, Timor Leste dan Brunei Darussalam.
kelompok-kelompok lain di wilayah Kalimantan Selatan yang juga terlibat di dalam upacara yang sama. Persaingan antar kelompok masyarakat, yang dalam hal ini menjadi tak terhindarkan, tersebut juga mendorong pergeseran makna atau tujuan awal perayaan tersebut sehingga tidak lagi tunggal tetapi menjadi multi-makna tergantung pada kelompok atau institusi yang terlibat dalam perayaan tersebut. Hal ini sangat terkait dari keragaman motivasi dari peserta upacara Baayun Mulud yang tidak hanya diikuti oleh warga masyarakat Banua Halat tetapi telah melibatkan berbagai masyarakat di sekitarnya. Hal ini penting untuk dipahami karena tradisi Baayun Mulud di Banua Halat tidak hanya melibatkan masyarakat setempat namun juga melibatkan sejumlah warga masyarakat di luar Banua Halat. Banua Halat sebuah kampung yang memiliki arti sebagai “kampung perbatasan”.
Hal ini menandakan bahwa kampung tersebut berada di
perbatasan kultural antara masyarakat Banjar yang telah mengalami proses Islamisasi dan masyarakat Suku Bukit yang masih memeluk agama nenek moyang. Tradisi Baayun Mulud menunjukkan adanya dua pertemuan budaya Islam dan budaya masyarakat Suku Bukit.
B.
RUMUSAN MASALAH Dari paparan pada bagian latar belakang tersebut, penelitian ini difokuskan pada
perayaan Baayun Mulud oleh masyarakat Banua Halat di daerah Tapin. Untuk mempermudah proses penelitian maka persoalan utama dalam penelitian perlu dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian. Pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut antara lain adalah: 1. Mengapa perayaan Baayun Mulud menjadi penting bagi masyarakat Banua Halat dan kelompok lain yang terlibat?
2. Bagaimana keterlibatan dan peran masyarakat Banua Halat dan kelompokkelompok lain dalam perayaan Baayun Mulud? 3. Apa fungsi Baayun Mulud bagi berbagai aktor yang terlibat dalam perayaan Baayun Mulud?
C.
TUJUAN PENELITIAN Studi ini berupaya menyampaikan bagaimana sebuah perayaan dalam hal ini
perayaan Baayun Mulud di Banua Halat mengalami perubahan pemaknaan dari yang tunggal menjadi beragam tafsir makna. Selain itu, studi ini juga berupaya mengungkap kepentingan apa saja yang melatarbelakangi banyaknya pihak yang terlibat dalam pelaksanaan perayaan tersebut. Secara rinci tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Menyediakan penjelasan mengenai alasan-alasan mengapa perayaan Baayun mulud menjadi penting bagi masyarakat Banua Halat dan kelompok lain yang terlibat? 2. Untuk menjelaskan bagaimana keterlibatan dan peran masyarakat Banua Halat dan kelompok-kelompok lain yang terlibat tersebut dalam perayaan Baayun Mulud? 3. Mencari dan menjelaskan tentang apa saja fungsi Baayun Mulud bagi berbagai aktor yang ikut dalam perayaan Baayun Mulud?
D.
TINJAUAN PUSTAKA Masalah perayaan atau upacara tradisi terutama Maulid Nabi bukanlah hal yang
baru dalam ruang penelitian ilmu-ilmu humaniora. Nico Kaptein (1994) dalam
disertasinya yang berjudul “Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW” menjelaskan bahwa perayaan Maulid Nabi merupakan satu dari tiga hari utama Islam (bersama hari raya buka puasa dan hari raya kurban). Yang membedakan dengan kedua hari raya tersebut adalah Maulid Nabi bukan hari raya dan perayaannya tidak ditentukan oleh hukum. Dalam tulisannya, Kaptein lebih menitikberatkan kepada sejarah perayaan Maulid Nabi, pandangan-pandangan ilmuwan Islam mengenai perayaan Maulid Nabi baik yang setuju maupun yang tidak beserta alasan-alasannya terutama dibagian barat dunia Islam dari abad 5 H/11 M sampai 10 H/16 M. Penelitian Kaptein ini dapat menjadi bahan perbandingan dalam melihat sejarah perayaan Baayun Mulud yang juga telah lama dilakukan oleh masyarakat Banua Halat, walaupun penelitian tersebut tidak membahas tentang bentuk perayaan maulid nabi seperti yang dibahas dalam penelitian ini. Kajian tentang perayaan atau upacara keagamaan sebenarnya juga berkaitan dengan hubungan antara tokoh sentral dan pemeluk agama tersebut. Dalam hal hubungan atara keduanya, Annemarie Schimel (1994) melakukan kajian terhadap umat Islam dan kecintaan mereka pada Nabi Muhammad sebagai figur mereka. Ia memaparkan bahwa kaum Muslim memiliki rasa kecintaan yang luar biasa terhadap Nabinya yang terkadang melebihi apapun. Bahkan, kaum Muslim masih dapat membiarkan serangan terhadap keberadaan Allah (misalnya, ada banyak orang ateis dan publikasi-publikasi ateistik, dan masyarakat rasionalistik) tetapi penghinaan terhadap Muhammad akan menyulut kemarahan yang menyala-nyala, walaupun pada kenyataannya sebagian dari mereka termasuk dalam golongan Muslim yang liberal ( 1994: 15). Schimel dalam kajiannya lebih mencurahkan perhatiannya untuk menelaah kecintaan umat Islam terhadap Nabi Muhammad yang diungkapkan melalui puisi-puisi masyarakat Islam termasuk puisi-puisi dalam bahasa klasikal Arab, Persia, Turki Usmaniyah dan sajak-sajak rakyat dalam berbagai bahasa daerah Islam. Kajian ini tidak langsung mengkaji pada perayaan maulid
Nabi Muhammad tetapi dapat bermanfaat sebagai pendukung dalam melihat kecintaan masyarakat Banua Halat terhadap Nabi Muhammad. Oleh karena itu kajian tersebut menjadi penting bagi penelitian ini. Selain berkaitan dengan hubungan antara tokoh dan pemeluk agama, kajian tentang perayaan atau upacara juga berkaitan langsung dengan pemaknaan simbol dan ritual yang terdapat dalam sebuah upacara. Kajian mengenai makna simbol dan ritual dalam upacara atau perayaan hari penting dalam Islam yang penting untuk menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah kajian yang dilakukan oleh Irwan Abdullah (2002) yang berjudul “Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan pada Upacara Gerebek.” Tulisan hasil penelitian ini menekankan pada bagaimana Gunungan yang ternyata merupakan sedekah raja atau sultan kepada sesamanya dan kepada rakyat agar mendapat pahala dari Gusti Allah menjadi sebuah simbol yang memberi makna dan pandangan hidup terutama bagi masyarakat Jawa. Dalam kajian ini Abdullah tidak membahas upacara Gerebeg secara keseluruhan, namun hanya membahas simbol-simbol pada gunungan kakung (laki-laki) karena gunungan kakung digunakan pada tiga upacara Gerebeg yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yaitu Gerebeg Mulud, Gerebeg Puasa dan Gerebeg Besar). Gunungan kakung tersebut digunakan dengan tanpa variasi sedikit pun pada ketiga upacara itu dan gunungan kakung juga dianggap sebagai gunungan yang paling penting di antara gunungan-gunungan yang lainya. Penelitian ini tidak mengkaji pelaksanaan gerebeg mulud secara rinci seperti yang dilakukan dalam penelitian tesis ini tetapi hasil-hasilnya berguna dalam proses analisis makna, terutama pada proses analisis makna perayaan Baayun Mulud bagi para aktor yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, walaupun tidak langsung mengkaji perayaan Baayun Mulud pada masyarakat Banua Halat tetapi kajian yang dilakukan oleh Abdullah ini menjadi penting bagi proses penelitian ini.
Penelitian mengenai budaya Banjar yang merupakan induk dari masyarakat Banua Halat telah dilakukan oleh Alfani Daud (1998) dengan judul “Islam dan Budaya Banjar, Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar.” Kajian ini dengan sangat detail menjelaskan asal muasal suku Banjar, proses daur hidup beserta ritual-ritual yang menyertai proses tersebut dan sistem-sistem kepercayaan yang terdapat di tengah masyarakat suku Banjar baik bersifat religius maupun bersifat magis, dalam tulisannya. Dalam penelitian tersebut Alfani Daud lebih menitikberatkan pada etos budaya Banjar yang tidak bisa dipisahkan dengan Islam walaupun budaya lokal juga mempunyai peranan dalam upacara-upacara ritual yang sering dilakukan oleh masyarakat Banjar. Penelitian tersebut tidak menyentuh perayaan Baayun Mulud yang dilakukan masyaralat Banua Halat seperti yang dilakukan dalam penelitian ini. Namun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Daud ini sangat membantu proses penelitian terutama sebagai rujukan utama untuk mengkaji Islam Banjar secara umum. Penelitian Daud tersebut juga memuat penjelasan ritual perayaan hari penting dalam Islam bagi masyarakat Banjar, tetapi ulasan-ulasan tersebut terlalu singkat dan kurang mendalam. Alfani Daud hanya menjelaskan Baayun Mulud secara singkat sebagai bagian dari ritual masyarakat Banjar dan menyebutkan bahwa selain Baayun Mulud ada ritual Baayun lain di tengah masyarakat suku bangsa Banjar yaitu jenis Baayun yang disebut Baayun Wayang (didahului dengan pertunjukan Wayang Sampir) dan Baayun Topeng (didahului dengan pertunjukan topeng). Penelitian Daud ini dengan demikian merupakan penelitian pendahuluan dari penelitian tesis ini. Buku Wajidi yang berjudul “Akulturasi budaya Banjar di Banua Halat” (2011) menjelaskan bahwa telah terjadi benturan kebudayaan antara Dayak (Kaharingan) dan Banjar (Islam). Pertemuan dua budaya dan agama ini menurut Wajidi sangat jelas terlihat di Banua Halat. Dalam buku ini, Wajidi sedikit menyinggung masalah Baayun Mulud
yang dia anggap sebagai bagian dari akulturasi budaya yang terjadi di Banua Halat (2011: 105). Wajidi lebih melihat bahan material di Banua Halat sebagai media untuk menganalisa telah terjadinya akulturasi budaya, dia sama sekali tidak menyinggung peranan pemerintah maupun partai politik sebagai salah satu penyebab terjadinya akulturasi budaya di Banua Halat. Selain Wajidi, Gazali Usman (2000) juga telah melakukan penelitian tentang Baayun Mulud pada masyarakat Banua Halat, akan tetapi penelitian tersebut hanya difokuskan pada hubungan sebuah masjid yang di dalam komunitas masyarakat Banua Halat saja. Penelitian tersebut berjudul “Tradisi Baayun Maulud 12 Rabiul Awal di Masjid Keramat Banua Halat, Rantau Kabupaten Tapin.” Studi yang dilakukan oleh Gazali Usman ini lebih menitik beratkan pada hubungan masjid keramat yang terdapat di kampung Banua Halat kiri dengan masyarakat yang mendiami daerah Banua Halat kiri. Dalam tulisan ini Usman lebih melihat bagaimana hubungan kekerabatan antara Dayak Meratus dan Banjar Banua Halat yang diikat oleh sebuah legenda antara dua bersaudara hubunganya dengan keberadaan mesjid keramat dan perayaan baayun mulud. Dalam tulisan ini Usman hanya mengkaji perayaan secara lewat saja tidak mencoba mengkaji lebih dalam tentang perayaan ini dan terkesan lebih menitikberatkan kepada nilai nilai magis yang dikeluarkan oleh mesjid tersebut. Penelitian Usman, dengan demikian, sangat membantu penelitian ini karena telah menyinggung pelaksanaan perayaan Baayun Mulud walaupun hanya pada lingkup masjid saja. Penelitian ini berusaha menjawab persoalan yang lebih jauh dengan melibatkan pelaksanaan perayaan upacara tersebut yang tidak hanya dibatasi pada masyarakat Banua Halat tetapi juga kelompok masyarakat lain yang terlibat di dalamnya. Bahkan, penelitian ini juga dimaksudkan untuk menjelaskan keterlibatan peran para aktor dalam perayaan Baayun Mulud.
Selain Gazali Usman, Abbas (1994), bekerja sama dengan Museum Daerah Kalimantan Selatan, melakukan penelitian mengenai Baayun Mulud dengan judul “Upacara Baayun Mulud di Banua Halat Kabupaten Tapin.” Namun dalam penelitian tersebut Abbas memfokuskan kajian atau penelitian pada prosesi perayaan dan makna makna simbolik yang terdapat pada pelengkap perayaan. Penelitian tersebut hanya sebagai sarana infentarisasi kegiatan kesenian dan perayaan untuk menambah koleksi tulisan di museum. Abbas juga tidak mengadakan kajian mendalam mengenai perayaan tersebut sehingga tidak ditemukan bagaimana dan sejauhmana keterlibatan peran atau aktor dalam pelaksanaan perayaan Baayun Mulud. Hal ini sebenarnya bisa dipahami karena penelitian ini sudah lumayan lama dilakukan dimana pada saat itu perayaan Baayun Mulud masih bersifat komunal dan hanya dilaksanakan oleh masyarakat Banua Halat tanpa campur tangan pemerintah sehingga keterlibatan berbagai peran lepas dari pengamatan para peneliti. Penelitian Abbas tersebut, dengan demikian, menjadi penting dalam proses awal penelitian tesis ini. Selain hasil penelitian di atas, beberapa tulisan-tulisan mengenai perayaan Maulid Nabi secara umum maupun Baayun Mulud secara khusus ditemukan dalam bentuk reportase atau ulasan-ulasan di koran-koran dan majalah-majalah kebudayaan, akan tapi tulisan-tulisan tersebut pada umumnya hanya mendiskripsikan secara umum tradisi tersebut, belum mendalam dan sifatnya jurnalistik (Kaptein dalam KITLV, 1993, Rafiq dalam Kandil, 2004, Salim dalam Gong, 2005, Antemas dalam BPost, 2006). Walaupun tidak mendetail dan biasanya hanya berdasarkan opini, tulisan-tulisan koran tersebut sangat membantu penelitian ini, terutama dalam proses pencarian data dan menemukan informan-informan yang mendukung penelitian ini. Akhirnya, kajian-kajian yang telah dijelaskan tersebut menunjukkan bahwa penelitian tesis ini sangat penting karena beberapa alasan. Pertama, penelitian ini adalah
penelitian yang mendalami dan melanjutkan beberapa tulisan tentang perayaan Baayun Mulud yang hanya sepintas karena penelitian-penelitian tersebut tidak dimaksudkan untuk mendalami perayaan Baayun Mulud pada masyarakat Banua Halat. Kedua, penelitian ini berusaha menjelaskan beberapa aspek penting yang belum dilakukan oleh penelitian-penelitian terdahulu yang justru sangat penting untuk memahami lebih jauh keber-Islam-an masyarakat Banua Halat, yaitu meliputi makna perayaan dan fungsifungsi perayaan Baayun Mulud tersebut bagi semua aktor yang terlibat. Ketiga, yang tidak kalah penting adalah bahwa penelitian ini memberikan khazanah baru tentang keragaman makna tentang Baayun Mulud karena banyaknya kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat dalam upacara ini. Baayun Mulud tidak lagi hanya sebatas perayaan keagamaan yang dirayakan hanya oleh masyarakat Banua Halat dan bermakna tunggal tetapi menjadi sebuah arena kontestasi berbagai kelompok masyarakat baik yang bergerak dalam hal keagamaan, ekonomi maupun politik. Baayun Mulud tidak lagi hanya menjadi sarana solidaritas sosial masyarakat yang diakibatkan dari perayaan ritual tetapi ternyata juga terjadi fragmentasi dan konflik kepentingan.
E.
KERANGKA PEMIKIRAN Untuk menjawab pertanyaan-pertanyan yang telah dirumuskan dalam rumusan
masalah, penelitian ini membutuhkan sebuah kerangka teoritik yang diharapkan bisa menjadi acuan dalam proses penelitian. Kerangka teoritik tersebut dimaksudkan untuk memberikan pemahaman tentang perayaan-perayaan keagamaan, khususnya perayaan Baayun Mulud dalam hubungannya dengan kelompok kemasyarakatan yang terlibat dalam perayaan tersebut, yakni masyarakat Banua Halat dan beberapa kelompok masyarakat lain di Kabupaten Tapin. Kerangka teoritik dalam penelitian ini disusun berdasarkan beberapa teori tentang agama dan budaya pada masyarakat.
Max Weber, dalam pembahasan tentang agama dan kelas sosial, tertarik untuk melihat hubungan antara doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia. Dengan kata lain, agama mempengaruhi pandangan hidup manusia terhadap aspek-aspek dalam kehidupan masyarakat seperti ekonomi dan politik (Abdullah, 1997: 91). Weber tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Kajian tentang hubungan antara etika Protestan khususnya sekte Calvinisme dan perkembangan kapitalisme modern, menunjukkan minat Weber tentang hubungan antara etika agama dan kapitalisme. Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul dalam tulisantulisan pendeta sekte Calvinisme dan yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan karakter buruh modern (Weber, 2006: xii). Kajian etika agama seperti ini tidak lagi mempersoalkan benar dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana agama (aspek idealisme) mempengaruhi perilaku sosial manusia. Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris sebagaimana realitas sosial lainnya (Veeger, 1993: 180). Dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, hal-hal empirislah yang menjadi perhatian kajian sosial walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting (Wrong ed, 2003: 210) . Jika agama diperuntukkan bagi kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dengan demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas empiris dari ketuhanan. Dan persoalanpersoalan yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan ketuhanan. Maka
mempelajari realitas manusia, dengan segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan (Agama) dalam realitas empiris (Weber, 2006: 91). Orang boleh saja membuat suatu polarisasi “abangan” dan “santri”. Polarisasi ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa “abangan” atau “santri” adalah uswatun hasanah atau sesuatu yang harus diikuti sebagai way of life yang ideal (Abdullah, 1997: 92). Dari Weber, Bourdieu memperoleh kesadaran tentang pentingnya dominasi dan sistem simbolik dalam kehidupan sosial yang kemudian ditransformasi menjadi sebuah teori yang dikenal nama teori praktik. Teori praktik yang diajukan oleh Bourdieu mencakup habitus, modal, dan ranah (field). Ketiga hal tersebut terkait satu sama lainnya. Secara ringkas, Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan rumus persamaan seperti berikut ini: (Habitus x Modal) + ranah = praktik. Rumus ini mengganti setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal. Bourdieu (1984: vii) mengartikan habitus sebagai “… suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposable disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif....”. Dengan demikian, habitus bisa dikatakan sebagai kebiasaan yang bersifat reflektif dan juga hasil reproduktif dari hubungan sosial yang objektif maupun interpretasi subjektif. Kebiasaan ini dapat dilihat melalui berbagai dimensi, antara lain adalah gaya hidup, emosi, perilaku, kosmologi, dan beberapa aspek lain dalam kehidupan manusia. Habitus beroperasi berdasarkan sebuah logika praktik (logic of practice) yang diatur berdasarkan sistem klasifikasi bawah sadar (seperti maskulin/feminine, baik/buruk dan
trend/kuno.) Penerapan prinsip-prinsip ini dalam bentuk konsumsi budaya dikenal sebagai selera. Capital (modal) yang dimaksudkan adalah meliputi benda-benda material (yang bisa mempunyai nilai simbolis), prestise, status, otoritas, juga selera dan pola konsumsi. Modal juga bisa dikategorikan dalam tiga hal, yaitu: modal ekonomis, modal sosial, dan modal budaya (pengetahuan ttg seni budaya, cita rasa budaya, dan kualifikasi-kualifikasi formal seperti gelar, jabatan dan lainnya. Field (ranah) diartikan Bourdieu sebagai jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individu (1986: 240). Dalam hal ini, ranah bukan ikatan intersubjektif antar individu melainkan semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Ranah merupakan kumpulan sistem terpola dari kekuatan-kekuatan objektif, yaitu hubunganhubungan historis antar posisi-posisi yang terbentuk dalam pola-pola tertentu dari kekuasaan (power). Di samping itu, ranah dipandang sebagai arena pertarungan yang diperjuangkan, ranah dipandang sebagai pasar kompetisi di mana berbagai jenis modal (ekonomi, sosial, politik, kultural, religi) digunakan dan dibagi kepada yang lain. Ranah merupakan wilayah kehidupan sosial yang sangat kompleks, atau dengan kata lain mengisi ruang sosial. Ruang sosial mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Konsep ini menganalogikan realitas sebagai sebuah ruang dan pemahamannya menggunakan pendekatan topologi. Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu (trajektori kehidupan) dengan serangkaian ranah tempat orang-orang berebut berbagai bentuk modal.
Perumpamaan dari teori praktik dalam kehidupan adalah menonton teater, sebenarnya menonton adalah suatu aktivitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan makna. Penonton adalah pencipta kreatif makna. Mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual tetapi mereka juga melakukannya berdasarkan atas kompetensi kultural yang dimiliki sebelumnya yang dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial. Chris Barker (2005:281) mengatakan bahwa teks membawa berbagai makna, dan hanya sedikit makna yang dapat diambil oleh penonton. Memang, penonton yang terbentuk dengan cara yang berbeda akan mengerjakan makna tekstual secara berbeda pula. Penonton dikonsepsikan sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengegtahuan luas, bukan produk dari teks yang terstruktur. Sehubungan dengan kenyataan bahwa menonton pertunjukan selalu berkaitan dengan identitas dan selera, seseorang tidak menutup kemungkinan akan datang menonton hanya gara-gara yang melakukan aksi pertunjukan adalah temannya, atau diajak nonton oleh kelompok temannya, hanya sekedar ingin menunjukkan bahwa ia adalah satu identitas dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, serta memiliki selera yang sama. Menonton seni pertunjukan adalah sebuah tindakan atau praktik individu/kelompok dengan membawa berbagai bentuk modal yang dimilikinya dalam ranah seni pertunjukan, yang pada akhirnya secara tidak disadari menjadi habitus yang melekat pada diri seseorang/kelompok. Kenyataan ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Harymawan (1993:196-197) yang menguraikan secara umum alasanalasan mengapa masyarakat datang untuk menonton (khususnya teater). Alasan-alasan yang dimaksudkan oleh Harymawan adalah Hasrat Dasar Kemanusiaan dan Kesamaan Pendorong.
Kembali kepada penjelasan ranah, sebagai sebuah arena pertarungan, ranah juga berfungsi untuk pertukaran modal-modal yang dimiliki agen dan juga sebagai arena untuk memperebutkan posisi objektif. Kemudian Bourdieu menjelaskan bahwa modal yang memiliki nilai paling tinggi untuk dipertukarkan adalah modal simbolik. Modal ini menjadi paling baik untuk dipertukarkan karena kemampuannya mendefinisikan, merepresentasikan melalui kekuatan simbolik untuk kemudian memperoleh keuntungan pada berbagai macam hal. Sedangkan perebutan posisi objektif di dalam ranah diistilahkan Bourdieu sebagai pertarungan simbolik (symbolic struggle) yang merupakan pertarungan antara agen yang memiliki posisi dominan dengan agen yang memiliki posisi di bawahnya dalam suatu ranah, dimana keduanya memproduksi wacana yang dapat memperkuat posisi objektifnya dan memperlemah posisi subjektif agen lainnya. Wacana yang diproduksi agen tersebut dalam istilah Bourdieu dinamakan dengan doxa, yaitu wacana dominan yang memiliki keabsahan dalam suatu ranah dan didukung oleh agen yang dominan. Dalam pertarungan simbolik, di mana agen saling memproduksi wacana, maka agen yang memiliki posisi objektif lebih tinggi akan memproduksi orthodoxa sedangkan agen yang berada pada posisi objektif lebih rendah akan memproduksi heterodoxa yang keberadaannya menentang doxa. Mengacu pada pemahaman di atas, kajian ini difokuskan pada konsep yang disampaikan Bourdieu mengenai field, habitus dan capital untuk melihat perayaan Baayun Mulud. Dalam perayaan Baayun Mulud, penerapan teori Bourdieu sebagai berikut. Yang menjadi habitus dalam perayaan Baayun Mulud adalah aktor-aktor yang terlibat dalam perayaan dengan konsep dan pemaknaan masing-masing aktor mengenai Baayun Mulud. Modal (capital) menjadi sesuatu yang signifikan, yang melatarbelakangi keterlibatan aktor-aktor dalam perayaan Baayun Mulud seperti modal politik, modal ekonomi, modal sosial, modal kultural dan modal simbolis. Yang menjadi arena (field)
untuk berkontestasi antar aktor dengan modal yang mereka miliki adalah perayaan Baayun Mulud itu sendiri, ketika ketiga unsur tersebut berbaur dalam satu perayaan maka yang terjadi adalah perayaan Baayun Mulud seperti yang kita saksikan sekarang, berbagai aktor dengan pemaknaan mereka sendiri dengan berbagai modal yang mereka miliki bertemu dalam satu kegiatan/perayaan yang bernama Baayun Mulud, pertarungan antar aktor/kelompok tersebut bisa dirasakan namun tidak fulgar dilakukan tetapi saling mengakomodir dan memfasilitasi, ini yang disebut oleh Bourdieu dengan istilah praktik. Perayaan Baayun Mulud tidak lagi dilihat sebatas sebuah perayaan keagamaan tetapi tergantung kelompok mana yang memaknai sebuah perayaan tersebut. Baayun Mulud menjadi sebuah ranah (kontestasi) berbagai kepentingan dari beberapa kelompok masyarakat. Perayaan Baayun Mulud menjadi milik semua kelompok sehingga tinggal kelompok mana yang memiliki kekuatan baik dalam hal modal (capital) maupun akses di tengah masyarakat sehingga mereka menjadi kelompok dominan dalam perayaan Baayun Mulud. Penelitian ini tidak membahas agama yang berkenaan dengan sesuatu yang sakral dan profan tetapi lebih melihat dan menjawab hubungan doktrin agama dengan aktivitas duniawi manusia dalam sebuah wadah yaitu perayaan Baayun Mulud. Penelitian ini pada tataran selanjutmya mencoba memahami dan menjelaskan bagaimana sehingga perayaan ini memegang peranan penting yang tidak saja bagi masyarakat Banua Halat sebagai pemilik perayaan tetapi juga membentuk kelompok-kelompok dengan kepentingan yang berbeda-beda yang secara dinamis berkontestasi.
F.
METODE PENELITIAN Obyek yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini adalah aktivitas
sekelompok masyarakat dalam merayakan kelahiran Nabi atau Maulid Nabi dalam hubungannya dengan bagaimana relasi sosial budaya terjaga akibat adanya perayaan tersebut. Oleh karena itu, metode yang digunakan adalah metode penelitian budaya dengan jenis penelitian kualitatif, penelitian etnografis merupakan prosedur penelitian yang berdasarkan situasi yang wajar atau natural setting (Nasution, 2003: 9). 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini terletak di kampung Banua Halat sekitar 2 Km dari ibukota Kabupaten dan sekitar 140 Km dari ibukota Propinsi Kalimantan Selatan. Lokasi ini saya pilih sebagai tempat penelitian karena di kampung inilah perayaan Baayun Mulud dilaksanakan secara rutin setahun sekali yaitu setiap tanggal 12 Rabiul Awal dari penanggalan Hijriyah. Walaupun daerah lain di Kalimantan Selatan juga merayakan Baayun Mulud tetapi dipilihnya Banua Halat karena masyarakat Banua Halat menyakini bahwa merekalah pemilik perayaan Baayun Mulud, hal itu diamini oleh masyarakat Kalimantan Selatan secara umum bahwa pemilik perayaan ini adalah masyarakat Banua Halat sedangkan di tempat lain hanyalah meniru perayaan tersebut. Masyarakat Banua Halat termasuk Muslim yang taat melaksanakan ibadah, keberadaan mesjid tua keramat di daerah Banua Halat menjadi pelengkap ketaatan masyarakatnya. 2. Penentuan Informan Informan kunci dalam penelitian ini adalah beberapa tokoh masyarakat Banua Halat yang tinggal di kampung tersebut, informan yang dpilih rata-rata berumur 60 tahun, hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa umur 60-an memiliki kenangan yang lebih mengenai penyelenggaraan perayaan dan juga terlibat secara tidak langsung dalam
perubahan-perubahan yang terjadi dalam penyelenggaraan perayaan. Tidak semua informan bersedia memberikan informasi, salah satu informan tidak mau diwawancarai karena menganggap saya sebagai antek-antek (saya juga bingung apa yang dimaksud dengan antek-antek di sini), yang mencoba menggali informasi mengenai kehidupan mereka. Ketika hal ini saya tanyakan ke informan lain, saya mendapat informasi bahwa ada beberapa tokoh di wilayah Banua Halat susah diwawancarai karena merasa diukur pengetahuan agamanya. Untuk menambah informasi mengenai perayaan Baayun Mulud, aparat pemerintahan yang berhubungan dengan penyelenggaraan perayaan serta beberapa tokoh yang konsern melestarikan permasalahan perayaan kedaerahan. Untuk yang satu ini hampir tidak ada kendala yang berarti, sebaliknya saya mendapat informasi yang banyak dan support yang luarbiasa. 3. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan terlibat dan wawancara mendalam (in-depth interview). Penggunaan metode ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan apa yang disebut Sobary dengan istilah “ideal” dan “riil”(1999: 23). Partisipasi observasi mengarah pada usaha untuk mengungkapkan latar belakang suatu masalah atau individu secara menyeluruh dan utuh (Maleong, 1999: 3). Metode pertama adalah turun ke lapangan dan melibatkan diri dalam setiap aktivitas keseharian masyarakat Banua Halat. Metode observasi digunakan untuk mendapatkan data terkait dengan pemahaman masyarakat mengenai perayaan Baayun Mulud serta kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan di luar persiapan penyelenggaraan perayaan. Saya mengikuti dan memperhatikan perayaan ini sebanyak 3 kali perayaan atau tepatnya 12 Rabiul Awal 1428 H/1 April 2007 M, 12 Rabiul Awal 1429 H/20 Maret 2008
M dan 12 Rabiul Awal 1430 H/ 9 Maret 2009. namun, penelitian yang mendalam dan menggali data berlangsung selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai bulan Mei tahun 2009. Pada awal turun kelapangan, muncul kekhawatiran akan ada penolakan dari penduduk untuk memberikan informasi tentang keseharian mereka karena di samping saya sebagai orang asing juga hal tersebut adalah masalah “dapur” dan tidak lazim untuk diceritakan kepada orang lain. Beruntung saya memiliki kenalan yang mengizinkan saya untuk tinggal di rumahnya dan kebetulan pula ayah dari kenalan saya tersebut seorang tokoh yang dituakan (pensiunan tentara) di kampung Banua Halat sehingga sedikit mempermudah adaptasi saya dan membuka informasi yang saya cari, walaupun ada beberapa informan yang tidak mau saya wawancarai dengan alasan yang sudah saya sebutkan diatas. Selain data yang diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam, sebagian data yang terkumpul juga diperoleh melalui obrolan-obrolan masyarakat dengan informan dan informan pendukung pada waktu santai baik di warung kopi maupun di tempat lainnya. Selain itu, sebagian data yang lain juga diperoleh melalui diskusi-diskusi dan wawancara yang tidak terstruktur untuk mendapatkan jawaban dari beberapa pertanyaan yang membutuhkan pendalaman-pendalaman. Sebagai catatan penting, berdasarkan sumber-sumber data yang didapatkan pada masa observasi awal dilapangan, penelitian ini dilakukan dengan teknik-teknik pengumpulan data yang telah dijelaskan sebelumnya secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan penelitian dan sesuai dengan sumber data, tempat dan waktu serta konteks yang ada (Clandinin dan Connelly, 1994: 425).
Data lainnya yang diperoleh dalam penelitian ini juga merupakan data pendukung yang diperoleh pada saat perayaan berlangsung maupun sebelum dan sesudah perayaan. Data dari perayaan berupa prosesi dan berupa foto-foto berlangsungnya perayaan serta dokumen-dokumen kepanitiaan perayaan Baayun Mulud. Data di luar perayaan berupa berita di koran-koran dan majalah-majalah daerah seperti Banjarmasin Post, Radar Banjar dan Buletin Kandil. Media internet juga digunakan dalam penelitian ini untuk mendukung informasi yang dibutuhkan. Dari internet pula didapatkan ulasan yang mendukung mengenai perayaan ini, baik berupa artikel maupun makalah tentang studi-studi yang dilakukan oleh sejarawan maupun para pengamat kebudayaan. Selanjutnya, hasil penelitian ini dituangkan dalam tesis dengan sistematika penulisan yang berbentuk bab-bab yang berurutan. Bab I, memberikan penjelasan awal tentang perayaan Baayun Mulud hubungannya dengan bagaimana perayaan baayun mulud bisa membentuk relasi sosial budaya. Bab II, mencoba menggambarkan dan menjelaskan tentang Banua Halat sebagai sebuah perkampungan tua di pesisir sungai Tapin serta mejelaskan asal usul tradisi Baayun Mulud di masyarakat Banua Halat. Bab III, mencoba memaparkan kebiasaan masyarakat Banjar secara umum, seperti apa pelaksanaan perayaan Baayun Mulud di masyarakat Banua Halat serta sejauh mana perubahan yang terjadi dalam perayaan Baayun Mulud di Banua Halat. Bab IV, mencoba menjelaskan bagaimana sebuah perayaan Baayun Mulud yang pada awalnya hanya sebagai media untuk mengikat kekerabatan antar warga Banua Halat kemudian menjadi media kontestasi sosial, ekonomi, agama, tradisi dan politik di antara beberapa kelompok masyarakat. Pada bab terakhir atau Bab V pada tesis ini disajikan kesimpulan yang merupakan temuan-temuan dari penelitian ini. Bab ini juga memuat saran dan rekomendasi.