BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. 1 Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang bekelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, material spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 2 Anak dalam proses pertumbuhan dan pencarian jati dirinya, tidak jarang di jumpai adanya penyimpangan sikap perilaku di kalangan anak yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam masyarakat dan pola pikir mereka yang masih labil. Bahkan lebih jauh lagi, terdapat anak yang melanggar hukum dalam bentuk tindak pidana sehingga perbuatan tersebut tidak hanya merugikan diri sendiri bahkan
1
Mukaddimah Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. http://eprints.unsri.ac.id/.../Pertimbangan_Hakim_Dalam_Menjatuhkan_Put..., Jum’at, 24 Februari 2012. 2
diakses
orang lain. Salah satu perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah penyalahgunaan narkotika. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 3 Di satu sisi narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian serta pengawasan yang ketat dan seksama. 4 Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya. Undang-Undang Narkotika hanya melarang penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud. 5 Keadaan yang demikian ini dalam tataran empirisnya, penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi jauh dari pada itu, dijadikan ajang bisnis yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini berimbas
3
Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya, (Esensi : Surabaya, 2009), hlm.7. 5 Lihat Pasal 11 dan 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi narkotika kepada industri farmasi tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Serta lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan dan menggunakan narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapat izin menteri. 4
pada rusaknya fisik maupun psikis mental pemakai narkotika khususnya generasi muda. 6 Anak yang terlibat dalam penyalahgunaan narkotika tentunya tidak muncul dengan tiba-tiba, melainkan melalui proses pertimbangan dari organisasi-organisasi kejahatan atau sindikat peredaran narkotika, dimana kejahatan tersebut memang menjanjikan keuntungan yang menggiurkan. Dalam perkembangan masyarakat belakangan ini terdapat beberapa hal yang kian mendorong akselerasi merajalelanya organisai-organisasi kejahatan atau sindikat peredaran narkotika tersebut untuk memperluas jaringan dan bergerak melintasi negara atau bersifat internasional, utamanya yang menyangkut adanya kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi sehingga memudahkan mobilitas manusia keseluruhan dunia, disamping itu karena keuntungan yang menjanjikan tersebut berpengaruh terhadap upaya organisasiorganisasi kejahatan atau sindikat peredaran narkotika untuk memasuki kesemua wilayah dunia dan semua lapisan masyarakat, hal tersebut semakin dipacu akibat adanya perubahan-perubahan: 7 1) Permintaan yang kuat dan dalam jumlah yang besar dari pasar gelap atas barang-barang terlarang, termasuk narkotika; 2) Kemajuan perdagangan bebas; 3) Mudahnya dan lancarnya transportasi; 4) Kemajuan dan perkembangan komunikasi yang semakin canggih. Penyalahgunaan Narkotika adalah realitas yang ditemui di dalam masyarakat. Secara nasional, merebaknya penyalahgunaan narkotika (yang dalam hal ini sebagai pengguna) tidak saja dilakukan oleh orang dewasa, tetapi anak-anak yang masih menjalani pendidikan baik pendidikan tinggi, menengah bahkan pendidikan dasar-pun tidak luput terlibat dalam penyalahgunaan. Bahkan jumlahnya cukup menghawatirkan, berikut ini dikemukakan hasil studi dokumentasi di POLRESTA Medan tentang penyalahgunaan narkotika,
yang dapat diperhatikan pada tabel
berikut ini : 6
http://yisandispa.blogspot.com/2011/08/tinjauan-hukum-pidana-terhadap.html, diakses Jum’at, 24 Februari 2012. 7 Kusno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh Anak, ( Malang: UMM Press, 2009), hlm.67.
Tabel. 1 Pelaku Tindak Pidana Narkoba Sejajaran POLRESTA Berdasarkan Pendidikan Tersangka 2010-2012 No.
Tahun
1. 2. 3.
2010 2011 2012 JUMLAH
SD 123 105 16 244
Pendidikan SMP SMA 438 672 295 692 66 135 799 1.499
Jumlah PT 39 40 8 87
1.272 1.132 225 2.629
Ket : Januari – Maret 2012 Sumber : Kepolisian Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resort Kota Medan. Berdasarkan tabel. 1 di atas, dapat dilihat bahwa Pelaku tindak pidana narkoba sejajaran POLRESTA sesuai dengan pendidikan tersangka tingkat yang paling tinggi dalam melakukan penyalahgunaan narkoba banyak dilakukan oleh tersangka yang berpendidikan menengah atas. Dimana pada tahun 2010 jumlah pelaku tindak pidana narkoba yang dilakukan oleh tersangka yang berpendidikan menengah atas adalah 672 orang dan meningkat pada tahun 2011 menjadi 692 orang. Sedangkan pada tahun 2012 sejak Januari hingga Maret dalam rentang waktu 3 (bulan) jumlah pelaku telah mencapai 135 orang. Keterlibatan
anak
dalam
penyalahgunaan
narkotika
semakin
memprihatinkan, keprihatinan pada keterlibatan anak dalam penyalahgunaan narkotika bertolak dari yang seharusnya, yaitu anak merupakan generasi penerus bangsa yang masih membutuhkan perlindungan karena ketidakmampuan yang
melekat pada dirinya. Berikut ini dikemukakan studi dokumentasi di POLRESTA Medan tentang penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak berdasarkan usia tersangka. Tabel. 2 Pelaku Tindak Pidana Narkoba Sejajaran POLRESTA Berdasarkan Usia Tersangka 2010-2012 No. 1. 2. 3. 4. 5.
usia < 15 16-19 20-24 25-29 > 30 Jumlah
2010 8 83 208 335 638 1272
Tahun 2011 5 60 191 242 634 1132
Jumlah 2012 1 14 32 49 129 225
14 157 431 626 1401 2629
Ket : Januari- Maret 2012 Sumber : Kepolisian Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resort Kota Medan. Pada Tabel. 2 di atas terlihat bahwa keterlibatan anak dalam penyalahgunaan narkoba cukup menghawatirkan. Dalam paparan kasus narkoba sebagai hasil pengungkapan yang dilakukan oleh jajaran Satuan Reserse narkoba, diketahui didalamnya terdapat kelompok anak-anak yang terlibat dan menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika, ini terlihat dari usia < 15 tahun dan usia 16-19 tahun dimana intensitasnya cenderung tidak berubah, paling hanya jumlahnya yang menurun sedikit dari kasus yang telah terjadi. Sumatera utara, khususnya di wilayah hukum Polresta Medan dapat dilihat jumlah kasus narkotika yang terjadi dari tahun 2010-2012 pada tabel berikut:
Tabel. 3 Kasus Narkotika Sejajaran POLRESTA Medan 2010-2012 NARKOTIKA No
Tahun JTP JPTP Ganja
1 2 3
2010 976 2011 903 2012 188 Jumlah 2067
Putaw
Shabu
ecstasy
Edar Pakai Edar Pakai Edar Pakai Edar 902 200 268 1 180 591 5 948 93 185 4 2 199 611 19 198 26 59 20 102 12 2048 319 512 4 3 399 1304 36
Pakai 4 13 2 19
Sumber : Kepolisian Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resort Kota Medan. Pada tabel. 3 diatas terlihat, jenis narkotika yang paling banyak dilakukan penyalahgunaan adalah narkotika jenis shabu-shabu. Dimana pada tahun 2011 penyalahgunaan narkotika jenis shabu-shabu meningkat dengan jumlah 611 kasus sedangkan pada tahun 2010 jumlah penyalahgunaan narkotika jenis shabu-shabu berjumlah 591 kasus. Sedangkan, pada tahun 2012 terhitung dari bulan Januari hingga Maret jumlah kasus yang telah terjadi sebanyak 102 kasus. Jumlah narapidana narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIA Medan cenderung mengalami peningkatan disebabkan karena kasus yang ditempatkan di lembaga pemasyarakatan tersebut bukan hanya dari Poltabes MS tetapi juga dari Poldasu dan pindahan dari lembaga pemasyarakatan yang ada di
daerah wilayah hukum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Peningkatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel.4 Jumlah Tahanan/Narapidana Narkotika Pria Anak Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Anak Medan No. 1. 2.
Penghuni Tahanan Narapidana Jumlah
2010 138 227 365
Tahun 2011 164 266 420
Jumlah 2012 46 180 216
348 673 1021
Sumber : Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Anak Medan Memperhatikan pada tabel. 4 di atas, yang datanya diambil dari Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II A Medan, menunjukkan bahwa terhadap anak penyalahgunaan Narkotika yang sebelumnya diproses melalui proses peradilan pidana anak, kenyataannya hakim dalam memberi putusan adalah berupa sanksi penjara yang diberikan sebagai reaksi terhadap anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika. Artinya, hal tersebut bertentangan dengan semangat untuk mengedepankan pemberian hak Rehabilitasi, 8 terhadap penyalahgunaan narkotika terutama si pelakunya adalah anak, dibandingkan dengan putusan yang bersifat kelembagaan
8
Lihat Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Berdasarkan Pasal 1 angka 16 dan 17 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan sedangkan rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
apalagi putusan itu berupa putusan penjara. Sementara disadari bahwa pidana penjara yang tidak sedikit menimbulkan dampak negatif bagi narapidana anak, akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Hak rehabilitasi itu sendiri memang telah diatur secara normatif di dalam Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 Tentang narkotika. Putusan pengadilan, dari segi hukum merupakan tempat terakhir bagi pencari kebenaran dan merupakan suatu landasan terakhir dalam suatu penegakan hukum materiil. Maka dari itulah hakim merupakan penegak hukum yang dapat mengadili suatu perkara sesuai dengan law in book, 9 ataupun sesuai hati nurani diluar dari undang-undang yang mengaturnya hingga mencapai tahap akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Badan peradilan merupakan salah satu yang memegang peranan penting dalam Negara hukum yang menganut pembagian/pemisahan kekuasaan. Kekuasaan inilah yang pada akhirnya akan menentukan hukumnya. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. 10 Hakim dalam proses persidangan berkedudukan sebagai pemimpin. Kedudukan ini memberi hak untuk mengatur jalannya persidangan dan mengambil tindakan ketika terjadi ketidaktertiban di dalam sidang. Guna keperluan keputusan hakim berhak dan harus menghimpun keterangan- keterangan dari semua pihak terutama dari saksi dan 9
Law in book adalah hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum di konsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas. http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=450, diakses , 24 Februari 2012. 10 Lihat Pasal 1 Angka 8, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
terdakwa termasuk penasehat hukumnya. 11 Hakim yang berkedudukan sebagai pimpinan dalam proses persidangan dalam usaha penerapan hukum demi keadilan harus menyadari tanggung jawabnya sehingga bila ia berbuat dan bertindak tidaklah sekedar menjatuhkan putusan, melainkan juga dari keseluruhan perbuatannya itu senantiasa diarahkan guna mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah yang harus diwujudkan hakim dalam sidang pengadilan yang sekaligus sebagai realisasi dari tanggung jawabnya. Hakim dalam melakukan pemidanaan atau penjatuhan putusan bagi pengguna narkotika didasarkan atas tujuan dari pemidanaan itu yang memberi efek jera, akan tetapi sampai sekarang banyak pengguna narkotika yang tidak jera untuk melakukan tindak pidana yang sama ataupun beralih menjadi pengedar. karena pengguna narkotika yang sudah menjadi pecandu kebanyakan dikenakan pidana penjara, seharusnya mereka tidak dipenjara melainkan direhabilitasi. Penyalahgunaan narkotika merupakan jenis kejahatan yang mempunyai (potensi) dampak sosial yang sangat luas dan kompleks, terutama terhadap anak-anak. Dampak sosial penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak-anak itu bukan hanya sebatas munculnya penderitaan dan kehancuran baik fisik maupun mental yang teramat panjang, tetapi juga oleh kompleksitas didalam penanggulangannya terutama ketika pilihan jatuh pada penggunaan hukum pidana sebagai sarananya.
11
http://komunitasindependen.blogspot.com/2011/07/potret-lembaga-pengadilan.html.com, diakses, Jum’at, 24 Februari 2012
Untuk melihat bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap anak dalam peraturan perundang-undangan, berikut ini disajikan data tentang putusan pengadilan terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Penyajian data tentang putusan pengadilan terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dimaksudkan untuk memberikan penjelasan tentang penerapan sanksi pidana terhadap anak yang menyalahgunakan narkotika. Dalam konteks yang lebih luas, data tentang putusan pengadilan terhadap anak yang menyalahgunakan narkotika penting untuk melihat sejauh mana anak diberi alternatif pidana manakala ia melakukan penyalahgunaan narkotika. Berikut data tentang putusan hakim terhadap anak pelaku tindak pidana pegguna narkotika hasil studi dokumentasi di Pengadilan Negeri Medan yang tersaji dalam tabel berikut: Tabel. 5 Sanksi yang di Jatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Medan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika No. 1.
2.
3.
4.
5.
Nomor Putusan
Pasal Yang di Langgar 357/Pid.B/2010/PN.Mdn Pasal 127 Ayat (1) UU No.35 Tahun 2009 2.278/Pid.B/2010/PN.Mdn Pasal 127 Ayat (1) UU No.35 Tahun 2009 2.513/Pid.B/2010/PN.Mdn Pasal 127 Ayat (1) UU No.35 Tahun 2009 827/Pid.B/2011/PN.Mdn Pasal 127 Ayat (1) UU No.35 Tahun 2009 1.101/Pid.B/2011/PN.Mdn Pasal 127 Ayat (1) UU No.35 Tahun 2009
usia
Sanksi
16 Tahun
Pidana Penjara
17 Tahun
Pidana Penjara
13 Tahun
Pidana Penjara
14 Tahun
Pidana Penjara
14 Tahun
Pidana Penjara
Sumber : Pengadilan Negeri Medan Berdasarkan tabel. 5 di atas terlihat, bahwa dari 5 (lima) putusan pengadilan Negeri yang mengadili anak yang melakukan tindak pidana pengguna narkotika semuanya menjatuhkan pidana penjara. Dengan demikian, berdasarkan tabel tersebut di atas terlihat, bahwa ada kecendrungan hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika. Pada putusan dengan No. 1.101/Pid.B/2011/PN.Mdn terdakwa yang bernama Siti Aisyah alias Ica, umur 14 Tahun telah dijatuhkan vonis pidana penjara selama 1 tahun 4 bulan karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri. Penerapan hukuman pada kasus penyalahgunaan narkotika terdapat 2 (dua) sanksi pidana yang diputuskan oleh hakim yaitu sanksi pidana penjara dan sanksi tindakan berupa rehabilitasi bagi para penyalahguna narkotika, dan putusan yang dijatuhkan kepada penyalahguna narkotika terkesan masih jauh dari yang diharapkan oleh ketentuan perundang-undangan tentang narkotika, seharusnya hakim dalam menjatuhkan putusan harus memperhatikan 3 ( tiga) unsur yang penting yaitu: keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah mengakomodasi perlindungan anak dan memberikan ruang bagi hakim untuk menerapkan undang-
undang tersebut dalam menjatuhkan putusan atas pidana yang dilakukan anak, peran hakim begitu dominan. “Satjipto Rahardjo dalam sebuah diskusi mengemukakan bahwa, hakim tidak boleh hanya berlindung di belakang undang-undang, ia harus tampil dalam totalitas termasuk dengan nurani. Hukum, undang-undang hanya kertas dengan tulisan umum dan abstrak. Di tangan para hakim, ia menjadi keadilan yang hidup.” 12 Dunia internasional telah memiliki Konvensi Hak Anak (KHA) yang disahkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa tanggal 20 November 1989, Guna melindungi anak. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, tanggal 25 Agustus 1990. Dengan meratifikasi, Indonesia terikat Konvensi Hak Anak berikut konsekuensinya. Pasal 3 Ayat (1) Konvensi Hak Anak menyebutkan: 13 “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak-anak, baik yang dilakukan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, pengadilan, para penguasa pemerintahan atau badan legislatif, kepentingan terbaik harus menjadi pertimbangan utama.” Artinya, pertimbangan utama hakim mengadili dan menjatuhkan putusan terhadap anak adalah kepentingan terbaik bagi anak yang berorientasi kepada keadilan, bukan atas kekakuan hukum pidana atau hukum acara. Terhadap anak yang terbukti melakukan kejahatan, hakim harus mengambil keputusan bijak dengan memperhatikan latar belakang kehidupan anak, latar belakang kehidupan keluarga anak, faktor-faktor pencetus terjadinya kejahatan, dan yang terpenting, kemampuan
12
Suwono, Himpunan Karya tentang Hukum Pidana, ( Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm.28. Lihat Pasal 3 Tentang Konvensi Anak.
13
mental dan kesehatan fisik seorang anak yang akan menanggung beban pemidanaan (jika dijatuhi pidana). Harus diingat, kekakuan dan formalitas proses peradilan pidana merupakan beban tersendiri bagi seorang anak yang harus diperhatikan dalam penjatuhan putusan. Anak pelaku kejahatan dapat saja tidak dijatuhi pidana, yaitu dikenai tindakan sebagaimana dimaksud Pasal 22 dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan terhadap seorang anak pelaku kejahatan harus dilakukan oleh hakim sebagai hal ultimum remedium (pilihan terakhir), dan hanya untuk kepentingan anak. Bagaimanapun penjara bukan tempat yang baik bagi anak. Di sisi lain hakim harus memperhatikan keseimbangan dan tuntutan keadilan dari masyarakat yang terkenadampak kejahatan. Upaya paksa (penahanan, perampasan hak-hak tertentu) jika tidak mengganggu proses peradilan pidana selayaknya tidak dilakukan. 14 Melihat kompleksitas penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak melalui penerapan sanksi pidana, maka patut menjadi perhatian kiranya dampak negatif yang ditimbulkannya, yang akan menjadi penjamin terhadap perlindungan hak-hak dasar anak, apabila orientasi kebijakannya ditujukan untuk melindungi kepentingan anak. Sebaliknya, akan menjadi problem sosial yang rumit, apabila kebijakan itu akhirnya justru melahirkan keterpurukan pada anak. 15
14
http://skripsitesishukumsospol.blogspot.com/2011/05/perlindungan-hukum-terhadap-anakdi.html, diakses Jum’at, 24 Februari 2012. 15 Kusno Adi, Kebijakan Kriminal dalam Penggulangan Tindak Pidana Narkotika oleh anak, (Malang: UMM Press, 2009). hlm. 42.
Anak yang berkonflik dengan hukum memerlukan perlindungan mengingat anak adalah individu yang masih belum matang dan masih sangat tergantung pada orang lain. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri terhadap berbagai ancaman mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang hidup, kehidupan dan penghidupan, khususnya dalam pelaksanaan peradilan pidana anak yang masih asing bagi dirinya. Bahwa terhadap anak yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan secara penuh seperti halnya orang dewasa yang melakukan kejahatan. Pemahaman demikian kemudian secara eksplisit dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang mengatur bahwa terhadap anak tersebut dapat dijatuhkan sanksi berupa sanksi pidana atau sanksi tindakan. Asas yang paling mendasar bahwa pemberian sanksi terhadap anak, harus memperhatikan keberadaan anak sebagai manusia yang mempunyai “ciri dan sifat khusus”. Walaupun telah diatur demikian, namun dalam praktiknya dijumpai terhadap anak yang melakukan tindak pidana salah satunya tindak pidana pengguna
narkotika, pemberian sanksi oleh penegak hukum dalam hal ini hakim lebih dilandasi oleh alam fikiran normative-legalistik, karena kenyataannya sanksi yang paling banyak dijatuhkan adalah sanksi Pidana berupa pidana Penjara, yang sebenarnya bentuk sanksi yang paling dihindari terhadap anak. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tesis ini akan membahas tentang “Peranan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika”.
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan sebelumnya, maka penulis membuat perumusan masalah yang berkenaan dengan peranan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika, sebagai berikut: 1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika? 2. Apakah Putusan Hakim telah memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika? 3. Apakah Putusan Hakim terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika telah mencapai tujuan pemidanaan? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian yang lakukan adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika. 2. Untuk mengetahui apakah Putusan Hakim telah memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika 3. Untuk mengetahui apakah Putusan Hakim terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika telah mencapai tujuan pemidanaan. D. Manfaat Penelitian
Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang ini antara lain: 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan peran hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika. 2. Secara praktis a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas. b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan pengembangan ilmu hukum. c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan peran hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika. E. Keaslian Penulisan Berdasarkan Pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan, penelitian yang mengangkat judul tentang “Peranan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika“ ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga
penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat saya pertanggungjawabkan secara keilmuan akdemis.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Kerangka teori merupakan landasan berpikir yang digunakan untuk mencari pemecahan suatu masalah. Setiap penelitian membutuhkan kejelasan titik tolak atau landasan untuk memecahkan dan mambahas masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari mana masalah tersebut diamati. 16 Kerangka teori adalah bagian penting dalam penelitian, dengan adanya kerangka teori akan memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian. Mengungkap teori yang digunakan berarti mengemukakan teori-teori yang relevan yang memang benar-benar digunakan untuk membantu menganalisis fenomena sosial yang diteliti. Teori yang berkenaan dengan judul
16
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press,2003), hlm. 39-40.
Penelitian di atas adalah teori yang berkenaan dengan tujuan pemidanaan yakni teori pembalasan, teori tujuan dan teori gabungan. Hakim dalam menjatuhkan pidana harus beorientasi pada tujuan pemidanaan yang tidak terlepas dari faktor pencegahan agar tidak terjadinya tindak pidana dan faktor penaggulangan setelah terjadinya tindak pidana. Adapun yang menjadi tujuan pemidanaan dapat dilihat dari aspek filosofis penjatuhan pidana itu sendiri. Dalam hukum pidana setidaknya ada 3 (tiga) teori tentang pemidanaan tersebut, dan teoriteori tersebut lahir didasarkan pada persoalan mengapa suatu kejahatan harus dikenai sanksi pidana. Ketiga teori yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Teori Absolut ( Teori Pembalasan) Pandangan yang bersifat absolut (yang dikenal juga dengan teori retributif), dianggap sebagai pandangan paling klasik mengenai konsepsi pemidanaan. Dalam pandangan ini, diandaikan bahwa setiap individu manusia itu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Setiap perbuatan dengan sendirinya mengandung konsekuensi untuk mendapatkan respon positif atau negatif. Jika perbuatan itu bersifat sosial, maka ganjaran yang diperoleh pelakunya positif, seperti berupa penghargaan atau pujian dan sebagainya. Tetapi jika perbuatannya itu bersifat antisosial, maka ganjarannya bersifat negatif, misalnya dicela, dimusuhi, atau bahkan dihukum sebagai imbalan atau pembalasan terhadap perbuatannya yang antisosial. Ciri khas dari ajaran-ajaran absolut, terutama Kant dan Hegel, adalah keyakinan mutlak akan keniscayaan pidana sekalipun pemidanaan sebenarnya tidak
berguna, bahkan bilapun membuat keadaan pelaku kejahatan menjadi lebih buruk. 17 Menurut teori ini yang menjadi dasar hukum dijatuhkannya pidana adalah kejahatan itu sendiri. Teori ini berfokus pada hukuman/pemidanaan sebagai suatu tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan (vergelding) terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan jahat. Selanjutnya dikatakan oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan pada sikorban, maka harus diberikan pula penderitaan sebagai pembalasan terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Jadi penderitaan harus dibalas dengan penderitaan. 18 Menurut teori retributif, setiap kejahatan harus diikuti pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari dijatuhkannya pidana. Hanya dilihat kemasa lampau dan tidak dilihat kemasa depan. 19 Bagi penganut teori ini, maka pemidanaan atas perbuatan yang salah bersifat adil, karena memperbaiki keseimbangan moral yang dirusak oleh kejahatan. Menurut Kant dalam Muladi, keseimbangan moral itu dinyatakan dalam bentuk suatu perbandingan antara kesejahteraan dan perbuatan baik. Orang yang baik akan bahagia dan orang jahat akan menderita atas kelakuannya yang buruk. Jadi ketidak seimbangan akan terjadi bilamana seseorang penjahat gagal untuk menerima penderitaan atas kejahatannya. Keseimbangan moral yang penuh akan tercapai,
17
Abul Khair dan Mohammad Eka Putra, Pemidanaan, ( Medan: Usu Press, 2011) , hlm.31. Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011), hlm. 41. 19 Wirjono Prodjokoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1989), 18
hlm.23.
bilamana penjahat dipidana dan si korban mendapatkan kompensasi. Dalam hal ini keseimbangan antara kesejahteraan dan perbuatan tidak tercapai. Kant dalam bukunya Metapysische Anfangsgrunde der Rechtslehre dan Hegel dalam bukunya Grundlinien der Philosophic des Rechts sebagaimana disebutkan dalam Van Bemmelen, mempertahankan pembalasan sebagai dasar pemidanaan. Kant melihat dalam pidana sesuatu yang dinamakan imperatif katagoris, yang berarti: seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia berbuat jahat. Pidana itu bukanlah sarana untuk mencapai suatu tujuan, akan tetapi pernyataan dari keadilan. Hegel berpendapat bahwa kejahatan akan diakhiri oleh pidana. Menurut Hegel, pidana ialah suatu penyangkalan dari penyangkalan hukum, yang terletak dalam kejahatan itu sendiri. 20 Berdasarkan uraian diatas, maka suatu pidana tidaklah bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Jadi, pidana secara mutlak harus ada karena dilakukannya suatu kejahatan. Karena itulah maka teori ini disebut teori pembalasan. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan, akan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana adalah pembalasan. b. Teori Relatif ( teori Tujuan) Teori ini menyebutkan, dasar suatu pemidanaan adalah pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh karena itu, maka yang menjadi tujuan pemidanaan adalah menghindarkan atau mencegah (prevensi) agar kejahatan itu tidak terulang lagi. Jadi, 20
Abul Khair dan Mohammad Eka Putra, Op.Cit., hlm. 32.
pidana dijatuhkan bukan semata-mata karena telah dilakukannya kejahatan, melainkan harus dipersoalkan pula manfaat suatu pidana dimasa depan, baik bagi si penjahat maupun masyarakat. 21 Teori ini juga menyebutkan, bahwa memidana bukanlah untuk memutuskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu menurut J.Andreas, teori ini dapat disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence). Sedangkan menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut sebagai teori atau aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah untuk mengurangi frekwensi kejahatan. Oleh karena itu para penganutnya dapat disebut golongan reducers (penganut teori reduktif). Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalanan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuantujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat kejahatan) melainkan ne peccaetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan). 22 Inilah Makna ucapan yang terkenal dari Seneca, seorang filosof romawi: “Nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne peccetur” ( artinya, tidak seorang 21
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Di Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm. 34. Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, ( Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 25. 22
normalpun yang dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat tetapi ia dipidana karena telah melakukan suatu perbuatan jahat tetapi ia dipidana agar tidak ada perbuatan jahat). 23 Dengan demikian menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, tetapi agar orang jangan melakukan kejahatan. Ada 3 bentuk teori tujuan yang mungkin saja tidak terlalu penting untuk membedakannya dari sudut pandang praktis. Tapi bagi utilitaris, faktor terpenting ialah bahwa suatu pemidanaan dapat menghasilkan konsekuensi-konsekuensi yang bermanfaat secara preventif, apapun artinya: penjeraan dan penangkalan, reformasi dan rehabilitasi, atau pendidikan moral. Namun demikian, kepedulian teoretis menuntut usaha untuk lebih mendalami utilitarian theory , yaitu: 24 1) Tujuan pemidanaan memberi efek penjeraan dan penangkalan (deterence). Penjeraan sebagai efek pemidanaan,menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama; sedangkan tujuan untuk penangkal, pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. Wesley Cragg menilai bahwa fungsi penjeraan dari efek pemidanaan sepatutnya lebih dianggap sebagai suatu bentuk kontrol sosial. Karena itu, pemidanaan sebagai penjeraan mempengaruhi sikap dan perilaku si terpidana maupun warga masyarakat. Pengaruh itu dianggap bisa sangat berdaya-hasil bila dikomunikasikan secara negatif, yaitu dengan menakut- nakuti orang, atau menurut perkara Philip Bean, “ maksud dibalik penjeraan ialah mengancam orang-orang lain” untuk kelak tidak melakukan kejahatan. 2) Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap pula pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. Kejahatan itu dibaca pula sebagai 23
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998),
hlm. 16. 24
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.44-45.
simpton disharmoni mental atau ketidakseimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatri, conseling, latihan-latihan spiritual, dan sebagainya. Itulah sebabnya ciri khas dari pandangan tersebut ialah pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam komunitas atau masyarakatnya secara wajar. Dalam bahasa utilitarianisme dapat dikatakan bahwa efek preventive dalam proses rehabilitasi ini terpusat pada siterpidana. 3) Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral. Bentuk ketiga teori tujuan ini merupakan bagian dari doktrin bahwa pemidanaan merupakan proses reformasi. Setiap pemidanaan pada dasarnya menyatakan perbuatan terpidana adalah salah, tidak dapat diterima oleh masyarakat dan bahwa terpidana telah bertindak melawan kewajibannya dalam masyarakat. Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan atasnya. c. Teori gabungan Aliran ini lahir sebagai jalan keluar dari teori absolut dan teori relatif yang belum dapat memberi hasil yang memuaskan. Aliran ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang diterapkan secara terpadu.sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan tersebut. Baru kemudian dengan bertolak atau berorientasi pada tujuan tersebut dapat diterapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan. Sehingga jelas kebijaksanaan yang pertama-tama harus dimasukkan dalam perencanaan strategi dibidang pemidanaan adalah menetapkan tujuan pidana dan pemidanaan. 25 Teori ini menitikberatkan kepada suatu kombinasi dari teori absolut dan relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana selain untuk pembalasan kepada sipelaku juga 25
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 19.
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban. 26 Dalam teori gabungan (verinigning theorien) dasar hukuman adalah tertelatak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi disamping itu juga yang menjadi dasar adalah tujuan daripada hukum. Teori gabungan diciptakan karena menurut teori ini, baik teori absolut atau pembalasan maupun teori relatif dan tujuan dianggap berat sebelah, sempit dan sepihak. 27 Adapun keberatan teori gabungan (verinigning theorien) terhadap teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien) adalah: 28 1) Dalam menentukan balasan sulit sekali menetapkan batasan-batasannya atau sulit menentukan bertanya hukuman. 2) Apa dasar untuk memberi hak kepada negara untuk menjatuhkan hukuman sebagai pembalasan. 3) Hukuman sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat. 4) Singkatnya dalam teori ini dasar pembalasan sama sekali tidak memberi keputusan hukum bagi kepentingan masyarakat, sedang hukum pidana diadakan untuk kepentingan masyarakat. Keberatan teori gabungan (verinigning theorien) terhadap teori relatif atau tujuan adalah: 29 1) Dalam teori relatif hukum dipakai sebagai cara untuk mencegah kejahatan yaitu, baik yang dimaksud untuk menakut-nakuti umum, maupun yang ditujukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan. 2) Hukuman yang berat itu dirasa tidak memenuhi rasa perikeadilan, apabila ternyata bahwa kejahatannya ringan. 3) Keberadaan hukum daripada masyarakat membutuhkan kepuasan, oleh karenanya hukum tidak dapat semata-mata didasarkan pada tujuan untuk mencegah kejahatan atau membinasakan penjahat. 26
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Subakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hlm. 98. 27 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Lekture Mahasiswa,), hlm. 64. 28 Ibid., hlm. 65. 29 Ibid.
Teori yang ketiga ini mendasarkan pada jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan. Jadi pada hakikatnya, ketiga hal mengenai tujuan pemidanaan tersebut bertujuan untuk menciptakan ketertiban, memberikan rasa keadilan, serta mengatur hubungan baik antar individu dalam masyarakat agar dapat hidup dinamis, aman, tenteram, tertib, dan damai.
2. Landasan Konsepsional Guna memberikan gambaran yang lebih jelas serta menghindari penafsiran ganda terhadap penelitian ini, maka perlulah dibuat kerangka konseptual agar tidak terjadi pemaknaan ganda dalam penelitian. 1. Peranan Hakim adalah memberi keputusan dalam setiap perkara atau konflik yang dihadapkan kepadanya,dengan menilai peristiwa itu ada hubungan hukum apa, menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikonstatiring, 30 selanjutnya dituangkan dalam pertimbangan hukum putusan. Yang menjadi penelitian dalam penulisan tesis ini adalah pertimbangan hakim terhadap anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika.
30
Konstatir adalah memberi pernyataan tentang adanya suatu gejala; mengambil kesimpulan (berdasarkan bukti atau gejala yang nyata), http://id.wiktionary.org/wiki/mengonstatir, di akses Sabtu, 8 Desember 2012.
2. Pertimbangan hakim adalah pola pikir hakim dalam menjatuhkan putusan dimana putusan tersebut harus memuat idée des recht yang meliputi tiga unsur yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit), dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit). 3. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara
optimal
kemanusiaan,
serta
mendapat
sesuai
dengan
perlindungan
harkat dari
dan
martabat
kekerasan
dan
diskriminasi. 31 4. Hakim anak adalah hakim yang memeriksa perkara anak pelaku tindak pidana pengguna narkotika ditingkat Pengadilan Negeri. Hakim anak ditetapkan berdasarkan Surat KeputusanKetua Mahkamah Agung atas Usul dari Ketua Pengadilan bersangkutan melalui Ketua Pengadilan tinggi. 32 5. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. 33
31
Pasal 1 Angka (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak. Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 17. 33 Pasal 1 Angka (11) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 32
6. Tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana oleh undang-undang. 34Tindak pidana dalam penelitian ini adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh anak. 7. Narkotika zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaima terlampir dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. 35
G. Metode Penelitian Metode penelitian berisikan uraian tentang metode atau cara yang peneliti gunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian ini berfungsi sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan oprasional penelitian untuk menulis suatu karya ilmiah yang peneliti lakukan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang tidak membutuhkan populasi dan sampel. 36 Adapun beberapa langkah yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah: 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang dilakuakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif tersebut mengacu 34
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 121 Pasal 1 Angka (1) Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. 36 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.105. 35
kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. 37 Penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga penelitian kepustakaan. 38 Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yang mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian. 39
Deskriptif
analistis,
merupakan
metode
yang
dipakai
untuk
menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau berlangsung yang tujuan agar dapat memberikan data seteliti mungkin mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. 40 Dalam penulisan ini menguraikan hal-hal tentang Peran Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika 2. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu: 1) Bahan Hukum Primer, yaitu: a) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 37
Ibid. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 9. 39 Ibid., hlm.105. 40 Ibid., hlm.223. 38
b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak c) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak d) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak e) Putusan Pengadilan Negeri Medan. 2) Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan-bahan yang meberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku-buku, karya ilmiah,, atau hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini. 3) Bahan Hukum Tertier, adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum dan ensiklopedia. 41 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara penelitian Kepustakaan (Library Research) studi ini dilakukan dengan jalan meneliti dokumendokumen yang ada, yaitu dengan mengumpulkan bahan hukum dan informasi baik yang berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu dengan mencari, mempelajari, dan mencatat serta menginterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian. 42
41
Ibid., hlm.224. Ibid., hlm.225.
42
4. Analisis bahan hukum Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analistis, maka analisis yang dipergunakan adalah analisis secara pendekatan kualitatif terhadap data sekunder yang didapat. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum. 43 Bahan hukum yang dianalisi secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan hukum, selanjutnya semua bahan hukum diseleksi dan diolah, kemudian dinyatakan secara deskriptif sehingga menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, sehingga memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud. Penelitian ini dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan.
43
Ibid.