BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Pemilihan umum merupakan mekanisme utama yang terdapat dalam tahapan penyelenggaraan negara dan pembentukan pemerintahan. Pemilihan umum dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat dalam penyelenggaraan Negara. Oleh karena itu, sistem dan penyelenggaraan pemilihan umum selalu menjadi perhatian utama terhadap Pemerintahan sehingga pedoman dari, oleh, dan untuk rakyat diharapkan benarbenar dapat diwujudkan melalui penataan sistem dan kualitas penyelenggaran Pemilihan mum. 1 Pemilihan umum yang demokratik ditandai setidak-tidaknya oleh pelaksanaan tiga prinsip umum, yaitu hak- hak yang berkaitan dengan Pemilihan Umum (Electoral Rights Principles), Keadilan Pemilu (Electoral Justice), dan Integritas Pemilu (Electoral Ingtegrity). Hak- hak politik yang berkaitan dengan Pemilu, yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, mencakup enam Hak yakni: (1) hak pilih, (2) hak untuk ikut berkompetisi melalui Pemilu untuk jabatan publik, (3) hak politik untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang menyangkut isu publik baik secara langsung maupun melalui wakil yang dipilih melalui Pemilu, (4) hak untuk mendapatkan kebebasan menyatakan pendapat, (5) hak untuk ikut bergabung ke dalam partai politik untuk ikut Pemilu, (6) untuk mendapatkan akses dan proses penyelesaian sengketa Pemilu yang adil.2 1 Gaffar Janedjri. Politik Hukum Pemilu.(Jakarta; Konstitusi Press.2012),hal.1.
Pemilihan Umum (selanjutnya disebut sebagai Pemilu), merupakan pranata terpenting dalam tiap Negara demokrasi, terlebih lagi bagi Negara yang berbentuk republik seperti Indonesia. 2 Dalam sejarah Republik Indonesia selama lebih enam dasawarsa ini (1945-2014), telah berlangsung Pemilu sebanyak 11 (sebelas) kali di bawah rezim hukum konstitusi yang berbeda, yaitu Pemilu 1955 di bawah hukum konstitusi UUDS 1950, Pemilu selama Orde Baru (Pemilu 1971, Pemilu 1977, Pemilu era transisi ke Reformasi, yakni Pemilu 1992, dan Pemilu 1997) dan Pemilu era transisi ke Reformasi, yakni Pemilu 1999, kesemuanya di bawah rezim hukum konstitusi UUD 1945, serta Pemilu 2004 , Pemilu 2009 , dan Pemilu 2014 yang merupakan Pemilu sesudah Perubahan Konstitusi, yakni UUD NKRI 1945. 3 Prof.Dr.Moh.Mahfud MD,S.H. dalam Buku Politik Hukum Pemilu, tulisan Janedjri M.Gaffar, mengemukakan bahwa sejarah Pemilihan Umum Indonesia adalah sebagai sejarah pencarian politik hukum tentang Pemilu itu sendiri. Pencarian politik hukum yang mengesankan bahwa Undang-undang Pemilu di Indonesia selalu lahir sebagai “Proses Instrumental” atau percobaan yang tak selesai-selesai sekurang-kurangnya disebabkan oleh tiga hal yang terdiri atas : 1. Dikarenakan adanya kesadaran bahwa Pemilu yang diselenggarakan sebelumnya mengandung kelemahan yang harus diperbaiki untuk menyongsong Pemilu berikutnya. 2. Dikarenakan terjadinya perubahan konfigurasi politik yang menghendaki perubahan sistem maupun mekanisme Pemilu yang dilatarbelakangi oleh motif politik tertentu oleh sebagian besar partai politik (Parpol) yang menguasai kursi di DPR.
2
Mukhtie Fadjar.Pemilu Perselisihan Hasil Pemilu dan Demokrasi (Malang;Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT).2013).hal.1 3 Ibid,hal 2.
3. Dikarenakan terjadinya perubahan situasi, misalnya demografi kependudukan dan perkembangan daerah, yang harus diakomodasi di dalam Undang- undang Pemilu. 4 Pelaksanaan Pemilu sendiri tidaklah lepas dari berbagai permasalahan yang timbul karena suatu perbuatan baik yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI) dan Peserta Pemilu itu sendiri. 5 Misalnya, semua orang dapat melihat, di berbagai sudut wilayah yang akan menyelenggarakan Pemilu, dihiasi tempelan iklan, baliho, kertas- kertas bergambar calon legislatif hingga pasangan bakal calon atau pasangan calon. Alat peraga dipasang dari yang superbesar hingga ukuran kecil yang berbaur dengan tempelan iklan produk konsumsi barang dan jasa. Begitu pula di media cetak maupun elektronik. Para tokoh itu secara langsung atau tidak langsung sibuk memperkenalkan diri kepada para pemilih. 6 Mereka juga melakukan sosialisasi yang dilakukan jauh- jauh hari, bahkan berbulan – bulan sebelum jadwal Pemilu dimulai. Tidak saja dalam bentuk tempelan poster yang bisa menampilkan kesan kumuh, tetapi sosialisasi juga dilakukan dengan menebar senyum di berbagai tempat yang merupakan potensi kumpulan massa. 7 Pada perkembangan berikutnya, bakal calon itu diverifikasi, dan berhasil lolos dengan status baru, selanjutnya sesuai dengan tahapan yang diatur oleh KPU, mereka kemudian diberi nomor undian untuk menjadi “angka sakti” yang nantinya menjadi ikon untuk dipilih. Pada masa kampanye, yang waktunya juga secara ketat ditetapkan oleh KPU mereka nanti juga akan melakukan sosialisasi 4
Janedjri Gaffar.Politik Hukum Pemilu.(Jakarta; Konstitusi Pers . 2012). hal xxi 5 Roni Wiyanto,Penegakan Hukum Pemilu DPR,DPD,dan DPRD, (Bandung;CV.Mandar Maju,2014) hal.26. 6 Samsul Wahidin , Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah,(Yogyakarta;Pustaka Pelajar,2008).hal.1. 7 Ibid,.hal 1-2.
kembali, beserta dengan nomornya tersebut. Di sisi lain, bagaimana nasib berbagai gambar yang belum terdapat nomor urut pemilihan, ketika mereka masih berstatus sebagai bakal calon pada masa sosialisasi dahulu dan masih bertengger di seluruh wilayah?. Apakah berbagai alat peraga itu termasuk dalam kualifikasi kampanye, konkretnya kampanye di luar jadwal?. Apakah pihak berwenang dapat menertibkan, bahasa konkretnya menurunkan berbagai alat peraga tersebut. Kalau tidak bagaimana dengan konsekuensinya. Apabila diturunkan apakah terdapat dasar hukumnya?. 8 Bakal calon dalam Pemilihan Umum juga melakukan pembagikan sembako dan uang, baju, sarung, dan sebagainya. Terkadang dengan modus yang berlebihan, di dalam amplop atau di dalam bahan sembako atau barang lainnya itu diselipkan gambar calon. Modusnya bisa hanya gambar saja atau tidak disertai ajakan untuk mencoblos. Cuma “ Mohon doa restu”. Tetapi juga ada yang membagikan barang- barang tadi. Modus itu kadang jelas dilakukan oleh tim kampanye atau orang suruhan dari tim kampanye calon. Tetapi juga tidak jarang barang- barang tadi sulit dilacak siapa pemberinya dalam arti dari kubu calon mana. 9 Uraian berbagai permasalahan yang timbul di dalam Pemilu dapat dikategorikan sebagai sebuah Pelanggaran yang dapat diselesaikan melalui peraturan administrasi dan melalui Tindak pidana Pemilu. Tindak pidana yang diartikan sebagai suatu perbuatan baik aktif maupun pasif yang melanggar suatu larangan atau keharusan, melawan hukum yang dilakukan oleh orang yang 8 9
Ibid,hal. 7-8 Ibid.hal. 6
memiliki kesalahan, perbuatan mana terhadap pelakunya dapat dijatuhi pidana, di dalam Pemilu merupakan salah satu upaya yang harus diterapkan guna mewujudkan Pemilu yang bersih, jujur, dan adil bagi masyarakat seluruhnya. Undang-undang yang mengatur mengenai prosedur berlangsungnya Pemilu telah banyak yang mencegah terjadinya permasalahan yang timbul dalam Pemilu atau yang dikenal sebagai Pelanggaran Pemilu. Misalnya yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 yang mengatur secara khusus sistem penegakan hukum terhadap pelanggaran dan penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana tercantum dalam Bab XXI mengenai “Pelanggaran Kode Etik Penyelenggaraan Pemilu, Tindak Pidana Pemilu, Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu dan Perselisihan Hasil Pemilu” mulai Pasal 251 sampai pada Pasal 272 yang terdiri atas : 1. 2. 3. 4. 5.
Kode etik Penyelenggaraan Pemilu ( Pasal 251 dan Pasal 252 ) Administrasi Pemilu ( Pasal 253 sampai Pasal 256 ) Sengketa Pemilu ( Pasal 257 sampai Pasal 259 ) Tindak pidana Pemilu ( Pasal 260 sampai Pasal 267) Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu ( Pasal 268 sampai dengan Pasal 270 ) 6. Perselisihan hasil Pemilu ( Pasal 271 dan Pasal 272 ) 10 Ketentuan di atas dapat diuraikan bahwa proses penyelesaian pelanggaran atau permasalahan dari proses berlangsungnya Pemilu dapat diselesaikan melalui sistem administrasi dan Tindak Pidana Pemilu yang terdiri atas kejahatan dan pelanggaran Pemilu. Salah satu permasalahan hukum yang berkenaan dengan modus pelanggaran Pemilu adalah apa yang dikenal sebagai Money Politics atau baju politik, sarung politik, sembako politik?. Selanjutnya ketika terjadi fenomena 10
Roni Wiyanto,Op.,cit.,hal.27
Pemilu yang dilaksanakan menunjukkan partisipasi masyarakat yang tidak terlalu menggembirakan. Konkretnya peran serta masyarakat masih rendah. Kisaran angka golongan putih, golongan luput (Golput) adalah di atas 30 % . Tanggung jawab siapakah ini?. Golput terjadi dikarenakan berbagai faktor dan dapat dikurangi penyebab timbulnya Golput tersebut dengan beragam hal. Tetapi secara garis besar ada 3 (tiga) motivasi timbulnya Golput di samping penyebab lain yang apabila diuraikan terdiri atas, pertama karena administrasi, kedua karena problem teknis dan ketiga karena masalah ideologi. Masalah administrasi misalnya seorang pekerja di kota, sementara dalam Pemilihan Umum ia terdaftar di kampungnya. Apa “hanya” karena Pemilu berlangsung maka ia harus mudik dengan biaya yang mesti ditanggung sendiri?, Masalah administrasi terjadi misalnya belum memperoleh panggilan, namanya tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan seterusnya. Sehingga muncul pelanggaran Pemilu penyalahgunaan Hak memilih seperti mengakibatkan penggelembungan suara, dimana dalam hal ini ketentuan administrasi harus diselesaikan melalui ketentuan hukum pidana. 11 Modus tersebut di dalam peraturan perundang-undangan memang termasuk ke dalam Tindak Pidana. Namun bagaimana menindaknya?. Harus ada laporan atau merupakan delik umum, siapa yang mesti melakukan tindakan dan bagaimana membuktikannya. Dimanakah Fungsi dari
Panitia Pengawas
Pemilihan Umum yang berdasarkan ketentuan Undang- undang Nomor 15 Tahun
11
Samsul Wahidin,Op.Cit,Hlm.7
2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang memiliki tugas menyelenggarakan Pemilu dengan kelembagaan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Serta bagaimana kinerja serta upaya mereka dalam menghadapi pelanggaran tindak pidana tersebut guna mewujudkan Pemilu yang sesuai dengan dasarnya yakni bersih, jujur, dan adil sesuai dengan tujuan dari konstitusi negara Indonesia. 12 Penulis tertarik menjadikan latar belakang masalah ini untuk membuat suatu karya ilmiah (Skripsi) dengan judul “Peranan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU) dalam menanggulangi Tindak Pidana Pemilu Menurut Undang- undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Studi Kasus : Panwaslu Kota Medan)”.
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Perbuatan apa saja yang dikualifikasikan sebagai Tindak Pidana Pemilihan Umum ?. 2. Bagaimana Peranan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU KOTA MEDAN) dalam menanggulangi Tindak pidana Pemilihan Umum Legislatif ?.
12
Ibid,hal.8
3. Apa saja yang menjadi Hambatan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU KOTA MEDAN) dalam menanggulangi Tindak pidana Pemilihan Umum Legislatif ?. C.Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Berdasarkan ruang lingkup permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah : a. Untuk mengetahui jenis-jenis Perbuatan yang diklasifikasikan atau termasuk ke dalam Tindak Pidana Pemilihan Umum. b. Untuk mengetahui Peranan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU KOTA MEDAN) dalam menanggulangi Kasus Tindak pidana Pemilihan Umum Legislatif c. Untuk mengetahui Hambatan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU KOTA MEDAN) dalam menanggulangi Tindak Pidana Pemilihan Umum Legislatif 2. Manfaat Penulisan Manfaat yang ingin diperoleh dari penulisan skripsi ini antara lain: a. Secara teoritis Penulisan skripsi ini secara teoritis dapat dijadikan sebagai bahan informasi bagi para akademis maupun sebagai bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan, serta dapat menambah tulisan ilmiah di perpustakaan, khususnya di Jurusan Hukum Pidana.
b. Secara Praktis Penelitian ini secara praktis dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak terkait dalam upaya penegakan hukum dan menanggulangi tindak pidana Pemilihan Umum, serta dapat sebagai informasi bagi masyarakat mengenai kedudukan dan peranan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU) dalam upaya menanggulangi tindak pidana Pemilihan Umum, serta dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu terutama dalam bidang tindak pidana Pemilihan Umum.
D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi yang berjudul “Peranan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU) Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pemilihan Umum Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Studi Kasus: PANWASLU KOTA MEDAN)”merupakan hasil pemikiran penulis sendiri, yang mana setelah penulis membaca dan melihat kasus Tindak Pidana Pemilihan Umum dan Fungsi dari Lembaga Panitia Pengawas Pemilihan Umum dalam mengawasi pelanggaran yang terjadi dalam Pemilihan Umum pada saat sekarang ini setelah proses Pemilihan Umum berlangsung, maka penulis merasa tertarik untuk membahasnya lebih lanjut menjadi sebuah skripsi. Penulis telah memeriksa judul – judul skripsi yang ada di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan belum ada yang mengangkat tulisan dengan pembahasan seperti yang telah penulis kemukakan diatas, karena sudut
pembahasan masing-masing tulisan pasti berbeda, dengan demikian penulis skripsi ini adalah asli. E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Peranan Peranan (role) merupakan aspek dinamis atau kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan dan cenderung menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses.Peranan mencakup tiga hal, yaitu sebagai berikut : a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. b. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur social masyarakat. 13 Pengertian atau konsep lain dari peranan adalah sebagai berikut : a. Bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan seseorang dalam manajemen. b. Pola penilaian yang diharapkan dapat menyertai suatu status. c. Bagian atau fungsi seseorang dalam kelompok atau pranata. d. Fungsi yang diharapkan dari seseorang atau menjadi karakteristik yang ada padanya. e. Fungsi setiap variabel dalam hubugan sebab akibat. 14 Kesimpulan dari pemaparan diatas adalah bahwa Peranan merupakan suatu tindakan seseorang atau lembaga dalam sebuah proses yang menjadi kewajiban berdasarkan kemampuan serta hal yang menjadi tanggung jawab yang akan menimbulkan suatu penilaian atas apa yang telah dilakukannya di dalam masyarakat apakah telah sesuai dengan fungsinya atau tidak.
13 14
Soerjono Soekanto,Sosiologi Suatu Pengantar,(Jakarta;PT.Raja Grafindo Persada,2007).hal. 212 Komaruddin,Ensiklopedia Manajemen,(Jakarta;Bumi Aksara,1994).hal 768.
2. Pengertian Panitia Pengawas Pemilihan Umum Undang-undang
menentukan
bahwa
untuk
melaksanakan
fungsi
pengawasan di dalam pelaksanaan Pemilihan Umum dilakukan oleh Lembaga yang dibentuk khusus. Di Tingkat pusat terdapat Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang berdasarkan Pasal 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum adalah Lembaga penyelenggaraan Pemilihan Umum
yang bertugas mengawasi
penyelenggaran Pemilihan Umum di seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan untuk Tingkat provinsi dan Kabupaten/Kotamadya terdapat Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) yang merupakan perpanjangan dari Bawaslu dalam menjalankan tugasnya. 15 Berdasarkan Pasal 1 Undangundang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Panitia Pengawas Pemilihan Umum adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu Provinsi yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilihan Umum di wilayah Kabupaten/Kotamadya. Di sisi lain juga terdapat Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kecamatan selanjutnya disingkat sebagai Panwaslu Kecamatan,yang merupakan panitia yang dibentuk oleh Panwaslu Kabupaten/Kotamadya yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di wilayah kecamatan atau nama lain. Panitia Pemilihan Umum Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu Kecamatan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilihan Umum di desa atau nama lain/kelurahan. Pengawas Pemilihan Umum Luar 15 Samsul Wahidin ,Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah,(Yogyakarta;Pustaka Pelajar,2008).hal. 175
Negeri adalah pertugas yang dibentuk oleh Bawaslu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di Luar Negeri. 3. Pengertian Pemilihan Umum Pasal 1 Undang – undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Pengertian Tindak Pidana Ketentuan yang terdapat di dalam kamus hukum, tindak pidana merupakan sebuah peristiwa pidana atau suatu perbuatan pidana yang dapat dijatuhi hukuman. Di dalam istilah Hukum Pidana, istilah tindak pidana sering dipakai dalam Peraturan Perundang-Undangan yang tidak menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, melainkan hanya menyatakan keadaan konkret sebagaimana halnya peristiwa dengan perbedaan bahwa “tindak” adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerak atau sikap jasmani seseorang. Oleh karena “tindak” sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam Perundang-Undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri maupun dalam penjelasan hampir selalu dipakai pula kata perbuatan pidana 16 Simons dan Van Hamel dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana tulisan Prof.Moeljatno,S.H., mengemukakan perbuatan pidana sebagai berikut:
16
Ibid,hal 175-176.
“Perbuatan pidana disebut yang di dalam Bahasa Belanda disebut sebagai strafbaar feit, merupakan kelakuan (Handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.Menurut Van Hamel, strafbaar feit adalah kelakuan orang (Menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (Strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan”. Jika melihat pengertian – pengertian ini maka dalam pokoknya ternyata : a. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku b. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungan dengan kesalahan orang yang mengadakan perbuatan tersebut. 17
5. Pengertian Tindak Pidana Pemilihan Umum Pasal 260 Undang – undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Tindak pidana pemilihan umum adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilihan Umum sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Menurut Djoko Prakoso dalam buku Tindak Pidana Pemilu tulisan Topo Santoso, mengemukakan bahwa, tindak pidana Pemilihan Umum adalah Setiap orang, badan hukum ataupun
organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan,
menghalang-halangi
atau
mengganggu
jalannya
pemilihan
umum
yang
diselenggarakan menurut Undang-undang. 18 Tindak pidana Pemilihan Umum pada umumnya tidaklah memiliki pengertian yang secara tegas tercantum di berbagai Peraturan Perundangundangan di Indonesia. Misalnya di dalam ketentuan KUHP, pengertian mengenai 17 18
Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta;PT Rineka Cipta,2008).hal. 59-61 Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu,(Jakarta;Sinar Grafika.2006).hal.2
ketentuan Tindak pidana Pemilihan Umum hanya dapat dilihat dari Unsur-unsur ketentuan pidana yang ada di dalam Undang-Undang Pemilihan Umum itu sendiri. Dengan kata lain, apabila terdapat pertanyaan yang menyatakan apakah yang dimaksud dengan Tindak pidana Pemilihan Umum, maka kita dapat menjawabnya dengan memaparkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Tindak pidana secara umum, kemudian merumuskannya terhadap proses Pemilihan Umum yang dilakukan. Sehingga dapat jelas terlihat ketentuan mana yang telah dilanggar atau yang dijalankan tidak sesuai dengan proses Pemilihan Umum itu sendiri. Hal inilah yang dapat dikatakan sebagai Tindak pidana Pemilihan Umum. 6. Sejarah Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum di Indonesia a. Sejarah Pemilihan Umum di Indonesia Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melangsungkan Pemilihan Umum sebanyak 11 (sebelas) kali termasuk Pemilihan Umum yang berlangsung terakhir di tahun 2014 ini dibawah 3 (tiga) masa hukum konstitusi yang berbeda, yaitu, Pemilihan Umum pada masa UUDS 1950 pada Tahun 1955, Pemilu pada masa Orde Baru. Pemilihan Umum pada Tahun 1971,1977,1982,1987,1992,1997, kemudian Pemilihan Umum pada masa era transisi ke Reformasi, yakni Pemilihan Umum 1999 yang kesemuanya berada di bawah masa hukum konstitusi UUD 1945. Pemilihan Umum pada tahun 2004,2009,dan Pemilihan Umum 2014 yang merupakan Pemilihan Umum setelah perubahan konstitusi, yakni UUD NRI 1945.
Kesebelas Pemilihan Umum tersebut yang telah berlangsung, Pemilihan Umum di bawah hukum konstitusi UUDS 1950 dan UUD 1945 tidak mengenal mekanisme penyelesaian forum peradilan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum. Mekanisme penyelesaian hukum lewat peradilan suatu PHPU baru dikenal sesudah Perubahan Konstitusi, UUD NRI 1945 menyediakannya melalui Mahkamah Konstitusi (MK). 1). Pemilihan Umum Era Demokrasi Parlementer : Pemilu 1955 Pemilihan Umum 1955 berlangsung dengan sistem Pemilu proporsional yang dikombinasikan dengan sistem daftar diikuti oleh lebih dari 30 partai politik dan lebih dari 100 organisasi/perkumpulan dan perseorangan untuk memilih 257 anggota DPR dan menghasilkan 28 peserta Pemilu yang memperoleh kursi DPR dan menghasilkan komposisi 4 (empat) besar partai. Dengan demikian, baik dalam Pemilu untuk memilih anggota DPR maupun untuk memilh anggota Konstituante, tidak ada parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak, sehingga tujuan Pemilu yang semula dimaksudkan menghasilkan parlemen yang stabilitas pemerintahan dan mampu menghasilkan Konstitusi Baru untuk menggantikan UUDS 1950 tidak berhasil, bahkan berujung pada krisis ketatanegaraan yang mendorong lahirnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sebagai akibat kegagalan Konstituante menghasilkan konstitusi baru, bahkan DPR hasil Pemilu 1955 pun dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960. Kegagalan Pemilu pada masa ini, juga mengakibatkan pengisian jabatan anggota lembaga perwakilan dilakukan melalui sistem pengangkatan. Di bidang Kepartaian, terdapat penyederhanaan partai politik melalui regulasi Presiden yang
mengatur mengenai Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian dan Peraturan Presiden yang mengatur mengenai Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-partai sehingga pasa masa tersebut hanya terdapat 10 (sepuluh) partai politik yang diakui pemerintah. Pemilu 1955 yang penyelenggaraannya dilakukan oleh partai-partai politik peserta Pemilu dan Pemerintah yang bertujuan untuk memilih anggota DPR dan Badan Konstituante 2). Pemilihan Umum Era Orde Baru (1966-1998) Konteks format politik Orde Baru yang dilaksanakan pada Tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 telah menggunakan sistem Pemilu proporsional yang bukan murni melainkan disesuaikan dengan tujuan dan format politik Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri Pemilu Orde Baru yakni dominannya posisi Presiden Soeharto sebagai pusat politik Indonesia, penataan terhadap infrastruktur politik,serta dominannya peranan politik militer. Pemilu Orde Baru juga ditandai dengan penghilangan hak pilih secara massal atas bekas anggota PKI beserta organisasi massa pendukungnya dan anggota organisasi terlarang lainnya. Pemilu pada masa ini penyelenggarannya hannya di dominasi oleh Pemerintah dan hanya bertujuan untuk memilih sebagia anggota DPR, dan DPRD, karena sebagian anggotanya diangkat oleh Pemerintah, yaitu dari ABRI sebagai kompensasi atas tidak dipergunakannya hak pilih anggota ABRI (TNI dan Polri).
3). Pemilu Era Transisi Reformasi : Pemilu 1999 Pemilu pertama pasca Orde Baru, yaitu era Transisi Reformasi pada tahun 1999 ditandai dengan semangat demokratisasi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), akan tetapi juga diwarnai euphoria kebebasan dan penolakan (resistensi) terhadap semua hal yang berbau Orde Baru sehingga terkesan irrasional dan emosional. Terlepas dari kekurangannya, Pemilu 1999 dinilai sebagai Pemilu terbaik sesudah Pemilu 1955, karena telah mengalami perbaikan secara teratur sebenarnya sudah terpenuhi. Akan tetapi, karena Pemilu 1999 tidak menghasilkan mayoritas di MPR yang berwenang memilih Presiden, maka kemudian timbul lagi krisis ketatanegaraan pada tahun 2001 yang berakibatnya jatuhnya pemerintahan di bawah Presiden KH.Abdurrahman Wahid. Pemilu yang berlangsung pada tahun 1999 sebenarnya berpotensi untuk terjadinya perselisihan hasil Pemilu, karena Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) bersama KPU sebagai penyelenggaraan Pemilu gagal untuk menetapkan hasil Pemilu dimana 27 parpol dar 48 parpol peserta Pemilu tidak mau menandatangani hasil Pemilu sehingga hasil Pemilu tersebut ditetapkan oleh Presiden Habibie. 4). Pemilu Sesudah Perubahan UUD 1945 : Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 Pemilu yang diselenggarakan di Indonesia telah mengalami perubahan yang menjamin konstitusional yang terdiri atas : a. Pemilu harus diselenggarakan secara berkala setiap 5 (lima) tahun sekali berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,dan adil b. Semua Lembaga perwakilan keanggotannya direkrut melalui Pemilu c. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu d. Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
e. Peserta Pemilu anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, peserta Pemilu anggota DPD adalah perseorangan, peserta Pemilu Presiden dan wakil Presiden adalah pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik, dan peserta Pemilu/pemilihan kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik f. Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional , tetap, dan mandiri g. Disediakan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil Pemilu di forum Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan uraian diatas, jaminan konstitusional tersebut maka setelah Perubahan UUD 1945 dikenal 3 (Tiga) macam Pemilu, yaitu : 1. Pemilu Legislatif, yaitu Pemilu untuk memilih anggota DPR,DPD,dan DPRD 2. Pemilu Presiden (Sering juga disebut Pilpres) untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. 3. Pemilukada atau Pilkada untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala darerah. Prinsip demokrasi yang terdiri atas 3 (tiga) kriteria yakni, kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur, maka baik Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 telah memenuhinya. Terlebih lagi bahwa konstitusi telah menyediakan mekanisme konstitusional penyelesaian perselisihan hasil Pemilu (PHPU) Legislatif dan Pemilu Presiden di Mahkamah Konstitusi, sedangkan untuk Pemilukada/Pilkada perselisihan hasil Pemilu pernah diselesaikan di Mahkamah Agung dan kemudian dialihkan ke Mahkamah Konstitusi 19 b. Sejarah Panitia Pengawas Pemilihan Umum Pemilihan Umum di Indonesia dalam pelaksanaannya terdapat istilah Pengawasan Pemilu. Pengawasan Pemilu sebenarnya baru muncul pada era 1980an. Pada pelaksanaan Pemilu yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada 19
Mukhtie Fadjar.Pemilu Perselisihan Hasil Pemilu dan Demokrasi(,Malang;Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT).2013).hal 1-12
1955 belum dikenal istilah pengawasan Pemilu. Pada era tersebut terbangun di seluruh peserta dan warga negara tentang penyelenggaraan Pemilu yang dimaksudkan untuk membentuk lembaga parlemen yang saat itu disebut sebagai Konstituante. Walaupun pertentangan ideologi pada saat itu cukup kuat, tetapi dapat dikatakan sangat minim terjadi kecurangan dalam pelaksanaan tahapan, kalaupun terdapat gesekan hanya terjadi diluar wilayah pelaksanaan Pemilu. Perselisihan yang muncul merupakan konsekuensi logis pertarungan ideologi pada saat tersebut. Hingga saat ini, masih muncul keyakinan bahwa Pemilu 1955 merupakan Pemilu Indonesia yang paling ideal. Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksana Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul ketidakpercayaan terhadap pelaksanaan Pemilu yang mulai dicampuri oleh kekuatan rezim penguasa. Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi perhitungan suara yang dilakukan oleh para petugas Pemilu pada Pemilu 1971.Karena pelanggaran dan kecurangan Pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih massif. Pemerintah dan DPR yang didominasi oleh partai GOLKAR dan ABRI akhirnya merespon segala bentuk protes-protes tersebut. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki Undang-Undang yang bertujuan meningkatkan “Kualitas” Pemilu 1982. Demi memenuhi tuntutan partai PPP dan partai PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta Pemilu ke dalam kepanitiaan Pemilu.
Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan Pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Era Reformasi, tuntutan pembentukan penyelenggaraan Pemilu yang bersifat mandiri dan bebas dari campur tangan penguasa semakin penguat. Untuk itulah dibentuk sebuah Lembaga Penyelenggaran Pemilu yang bersifat independen yang diberi nama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi campur tangan penguasa dalam pelaksanaan Pemilu mengingat penyelenggaraan Pemilu sebelumnya, yakni LPU, merupakan bagian dari Kementerian Dalam Negeri (Sebelumnya Departemen Dalam Negeri). Di sisi lain, Lembaga pengawas Pemilu juga berubah dari Panwaslak Pemilu menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Kelembagaan Pengawas Pemilu baru mengalami perubahan mendasar yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003. Menurut Undang-Undang ini dalam pelaksanaan pengawasan Pemilu dibentuk sebuah lembaga Ad Hoc terlepas dari struktur KPU yang terdiri dari Panitia Pengawas Pemilu,
Panitia
Pengawas
Pemilu
Provinsi,
Panitia
Pengawas
Pemilu
Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan. Selanjutnya, kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dengan dibentuknya sebuah lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Adapun aparatur Bawaslu dalam pelaksanaan pengawasan berada sampai dengan tingkat kelurahan/desa dengan urutan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, dan
Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) di tingkat kelurahan/desa dan Panitia Pengawas Pemilu Luar Negeri. Ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, sebagian kewenangan dalam pembentukan Pengawas Pemilu merupakan kewenangan dari KPU. Namun selanjutnya berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Judicial Review yang dilakukan oleh Bawaslu terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, rekrutmen pengawas Pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan dari Bawaslu. Kewenangan utama dari Pengawas Pemilu menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 adalah untuk mengawasi pelaksanaan tahapan Pemilu, menerima pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana Pemilu, serta kode etik. Kelembagaan pengawas Pemilu ternyata masih mengalami dinamika dengan
terbitnya
Undang-Undang
Nomor
15
Tahun
2011
tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Secara kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan kembali dengan dibentunknya lembaga tetap Pengawas Pemilu di tingkat Provinsi dengan nama Badan Pengawas Pemilu Provinsi (Bawaslu Provinsi). Selain itu pada bagian kesekretariatan Bawaslu juga didukung oleh unit kesekretariatan eselon I dengan nomenklatur Sekretariat Jenderal Bawaslu. Selain itu pada konteks kewenangan, selain kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, Bawaslu berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum juga memiliki kewenangan untuk menangani sengketa Pemilu. 20
20
http://www.Bawaslu.go.id, diakses pada Tanggal 25 Oktober 2014.
7. Perkembangan Peraturan Tindak Pidana Pemilihan Umum a. Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam KUHP Perkembangan mengenai Tindak pidana Pemilihan Umum berawal dari ketentuan Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Di dalam KUHP yang merupakan warisan dari Pemerintahan Belanda terdapat 5 (lima) pasal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum. Kelima pasal tersebut diatur dalam Bab IV Buku Kedua KUHP mengenai Tindak pidana Kejahatan dalam melaksanakan kewajiban dan hak kenegaraan, diantaranya adalah : 1. Pasal 148 yang mengatur tentang merintangi orang yang menjalankan haknya dalam memilih. 2. Pasal 149 yang mengatur tentang penyuapan dengan sanksi pidana. 3. Pasal 150 yang mengatur tentang perbuatan tipu muslihat diancam pidana penjara Sembilan bulan 4. Pasal 151 yang mengatur tentang tindak pidana yang mengaku sebagai orang lain diancam pidana satu tahun empat bulan 5. Pasal 152 yang mengatur tentang meninggalkan pemungutan suara yang telah dilakukan atau melakukan tipu muslihat diancam pidana dua tahun. Ketentuan pidana yang dimuat berkaitan dengan pelaksanaan Pemilihan Umum di dalam KUHP adalah menarik ketika WvS mulai berlaku ditahun 1917, dan kedudukan pasal-pasal tersebut telah ada, padahal Indonesia pada masa tersebut masih dalam penjajahan Belanda yang menyatakan bahwa belum terlaksananya proses Pemilihan Umum di Indonesia.
b. Tindak Pidana Pemilihan Umum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 Undang-Undang ini mengatur mengenai tindak Pidana Pemilihan Umum yang dapat dilihat dari ketentuan Bab XV Pasal 113-Pasal 129 yang terdiri atas 17 Pasal mengenai Tindak pidana yang diuraikan sebagai berikut : 1. Pasal 113-Pasal 126 yang mengatur tentang tindak pidana 2. Pasal 127 yang mengatur tentang perampasan/pemusnahan barang bukti 3. Pasal 128 yang mengatur tentang hukuman tambahan 4. Pasal 129 yang mengatur tentang jenis tindak pidana Keseluruhan pasal ini memuat 14 (empat belas) pasal yang merupakan jenis kejahatan dan 2 (dua) pasal yang merupakan jenis pelanggaran. Kemudian dari segi sanksi pidananya, hanya 9 (Sembilan) pasal yang mengatur 5 (lima) tahun penjara sebagai sanksinya, kemudian terdapat hukuman denda dan hukum penjara antara 3 (tiga) bulan hingga 3(tiga) tahun penjara. c. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 Pengaturan mengenai tindak pidana Pemilihan Umum di dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 1969 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1985 yang kesemuanya merupakan Undang-Undang Pemilihan Umum pada masa Orde Baru tidaklah banyak terdapat perbedaan. Di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969, pengaturan mengenai Pidana Pemilihan Umum hanya menyangkut 3 (tiga) prinsip, yaitu : 1) Hilangnya 2 (dua) Tindak pidana yang Berkaitan dengan Surat Palsu. Ketentuan yang berkaitan dengan Surat palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 115 dan Pasal 117, yakni “Menyimpan surat palsu dengan
maksud untuk menggunakan atau supaya dipergunakan orang lain” tidak terdapat l lagi pada Undang-Undang Pemilihan Umum pada masa Orde Baru. Melainkan yang digunakan hanyalah ketentuan Pasal 114 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1953, yakni “Mempergunakan atau menyuruh menggunakan surat palsu “yang dimasukkan ke dalam Pasal 26 ayat 2 dan 3. 2) Dibuatnya 1 (satu) Tindak pidana baru. Ketentuan terhadap WNI bekas anggota G-30 S/PKI atau organisasi terlarang lainnya yang tidak diberikan hak pilih suara dan mencalonkan orang yang tidak diberi hak pilih tersebut. 3) Perubahan sistematika yang berupa penyerdehanaan pasal. d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Undang- Undang ini mengatur mengenai tindak pidana Pemilihan Umum dalam Bab XIII yang terdiri atas 4 (empat) Pasal, yakni : 1. Pasal 72 yang terdiri atas 3 (tiga) ayat 2. Pasal 73 yang terdiri atas 11 (sebelas) ayat memuat rumusan dari 14 (empat belas) tindak pidana Pemilihan Umum Terdapat 13 (tiga belas) pasal diantaranya telah dimuat dalam Undang-Undang Pemilihan Umum pada masa Orde Baru dan ditambah satu tindak pidana Pemilihan Umum yang berkaitan dengan pemberian dana kampanye melebihi ketentuan. Selanjutnya : 3. Pasal 74 mengatur tentang tindak pidana yang dikategorikan sebagai Kejahatan dan Pelanggaran 4. Pasal 75 mengatur tentang barang-barang bukti dalam tindak pidana Pemilihan Umum.
e. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Undang –Undang ini merupakan pengganti dari Undang-Undang yang sebelumnya berdasarkan tuntutan dan perkembangan masyarakat sebagaimana dituangkan dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, dimana Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Perbandingan dengan Undang-Undang sebelumnya, ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini terdapat sejumlah perbedaan dari awal proses Pemilihan Umum hingga Pengawasan dan Sanksi pidana. Di dalam UndangUndang ini juga diatur perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur pada Bab XV, yaitu Pasal 137 hingga Pasal 140. Demikan juga ketentuan Pasal 141 yang mengatur mengenai dasar pemberatan pidana. f. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Undang- Undang ini memuat perkembangan mengenai tindak pidana Pemilihan Umum terlihat dalam pasal 260-pasal 311 yang mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh perorangan, calon, dan tim kampanye, Pejabat negara, PNS, TNI, dan POLRI,Petugas anggota KPU,Bawaslu di semua tingkatan, percetakan, lembaga penghitungan hasil Pemilihan Umum cepat. Dengan kata lain terdapat pembagian antara subjek hukum pelaku Tindak pidana yang terdiri atas perorangan dan institusi.
g. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Pengaturan tindak pidana Pemilihan Umum dalam Undang-Undang ini dikategorikan lebih jelas antara Kejahatan dan Pelanggaran yang berkaitan dengan denda pidana dan kurungannya. Selain itu terdapatnya penghapusan terhadap pidana minimum guna memberikan Asas Kepastian Hukum dan memudahkan bagi Hakim dalam memberikan putusan. Undang-Undang ini juga memperkuat peranan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang juga dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Hal ini dapat dilihat dari penambahan waktu terhadap pelaporan pelanggaran Pemilihan Umum menjadi 7 (tujuh) hari, penambahan penanganan laporan pelanggaran Pemilihan Umum yang dilakukan menjadi 5 (lima) hari yang kemudian pengawas Pemilihan Umum dapat mengklasifikasi penggaran tersebut ke dalam : 1. Pelanggaran Kode Etik penyelenggaraan Pemilihan Umum yang akan diteruskan kepada Dewan Kehormatan Pelanggaran Kode Etik (DKPP).Pada Undang-Undang Pemilihan Umum yang lama tidak mengatur mengenai hal ini 2. Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum diteruskan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. 3. Sengketa Pemilihan Umum diselesaikan oleh Bawaslu, yang pada Undang-Undang Pemilihan Umum lama hal ini juga tidak diatur. 4. Tindak pidana Pemilihan Umum diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) Undang-Undang Pemilihan Umum ini juga mengatur tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) terkait mengenai penanganan tindak pidana Pemilihan Umum dengan tujuan untuk menyamakan pemahaman
dan pola penanganan Tindak pidana Pemilihan Umum antara Bawaslu, Kepolisian Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. 21
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis menggunakan tipe/jenis penelitian lapangan (field research) dan penelitian kepustakaan (library research). Jenis penelitian lapangan, yakni penelitian yang dilakukan dimaksudkan untuk memperoleh keterangan, penjelasan dan data mengenai Peranan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU) dalam menanggulangi Tindak pidana Pemilihan Umum yang terjadi melalui wawancara dengan responden yang menjadi objek penelitian untuk memperoleh data yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penulis juga menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Penulis mendapatkan data dari literatur berupa buku-buku, jurnal, dan tulisantulisan lainnya yang membahas mengenai penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma yang terdiri atas asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan , putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin. 22 2.
Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian yang bersifat
deskripitf, yaitu penelitian yang menguraikan sifat-sifat atau fakta-fakta keadaan 21
http://www.Negarahukum.com, diakses pada Tanggal 25 Oktober 2014 22 Fajar,Mukti.Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris (Yogyakarta;Pustaka Pelajar,2010).hal 34
yang sebenarnya dari suatu objek penelitian. Tujuannya adalah mengumpulkan fakta dan menguraikannya secara menyeluruh dan teliti dengan persoalan yang akan dipecahkan. 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier dan atau bahan nonhukum. 23 a. Studi lapangan (Field research) terhadap data primer, melalui : Wawancara (Interview) hal ini dilakukan penulis terhadap orang atau pihak yang bekerja di Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kota Medan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dan lengkap mengenai peran dan upaya Panitia Pengawas Pemilihan Umum dalam menanggulangi Tindak pidana Pemilihan Umum yang terdapat di wilayah Kota Medan pada Pemilihan Umum Legislatif 2014. b. Studi kepustakaan terhadap data sekunder. Studi kepustakaan dengan data sekunder dilakukan oleh penulis memperoleh sebuah Putusan Pengadilan Negeri Medan yang bersangkutan dengan tindak pidana Pemilihan Umum Legislatif dan mengumpulkan data dari referensi–referensi
yang mendukung
terhadap penelitian ini (melakukan studi kepustakaan yang berupa
23
Ibid.hal 160.
dokumen-dokumen, literatur, artikel–artikel yang berhubungan dengan permasalahan). Kemudian dilakukan sinkronisasi sehingga diperoleh data yang menjadi bahan masukan untuk melengkapi analisis permasalahan dalam penelitian ini. Di dalam Studi Pustaka ini terdapat berbagai jenis bahan-bahan hukum yang terdiri atas 3 (Tiga) penggolongan, yakni : 1) Bahan
hukum
mempunyai
primer,
adalah
bahan-bahan
hukum
yang
kekuatan hukum yang mengikat atau hasil dari
penelitian yang dilakukan langsung pada masyakat dan terdiri atas: a) Norma Dasar Pancasila b) Peraturan dasar : batang tubuh UUD 1945 c) Peraturan Perundang-undangan d) Bahan hukum yang tidak dikodifikasi, misalnya hukum adat e) Yurisprudensi dan Traktat 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer, dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, meliputi : a) Rancangan peraturan perundang-undangan b) Hasil karya imiliah para sarjana c) Hasil-hasil penelitian 3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya :
a) Bibliografi b) Indeks kumulatif. Penulis dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer 24 yang terdiri atas peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan bahan hukum sekunder yang terdiri atas buku-buku hukum dan jurnaljurnal hukum. 25 4. Analisis Data Metode
yang
digunakan
oleh
penulis
dalam
menganalisis
dan
mengevaluasi data adalah : a. Metode deskriptif, yaitu data yang diperoleh dijelaskan dengan katakata yang sistematis sehingga penelitian dapat diterangkan secara objektif. Metode deskriptif merupakan metode yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan
data,
menyusun,
mengklasifikasi,
menginterprestasikan, mengolah dan menganalisis data sehingga diperoleh gambaran masalah yang diteliti.
24
Lihat Fajar,Mukti.Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris (Yogyakarta;Pustaka Pelajar,2010).hal 156 Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa : Data primer dalam penelitian hukum dapat dilihat sebagai data yang merupakan perilaku hukum dari warga masyarakat.Hukum merupakan bagian dari pergaulan hidup manusia, yang terwujud dalam perilaku manusia maupun juga merupakan abstraksi dari perilaku manusia.Dengan demikian maka perilaku manusia dan cirri-cirinya yang mencakup perilaku verbal dan perilaku nyata (termasuk hasil dari perilaku manusia dan cirricirinya tersebut), seperti peninggalan fisik, bahan-bahan tertulis dan data hasil simulasi merupakan data yang penting dalam peneliitan hukum. 25 Suratman, Metode Penelitian Hukum. (Bandung;Alfabeta,2013).hal 67
b. Metode
preskriptif, 26
yaitu
sifat
analisis
dimaksudkan
untuk
memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukannya. Argumentasi disini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah apa yang seharusnya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. 27 5. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis dalalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Pendekatan Perundang-Undangaan (statute approach). Peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Hal ini dilakukan oleh peneliti karena peraturan perundang-undangan merupakan titik fokus dari penelitian tersebut. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti. Pendekatan ini juga tergantung pada fokus penelitian, yang mana pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan yang bersifat akademis untuk mencari dasar hukum dan kandungan filosofis suatu perundang-undangan. 28
26
Lihat Pengantar Penelitian Hukum (1981:10) Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa penelitian preskriptif adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran untuk memecahkan masalah-masalah tertentu. 27 Fajar,Mukti.Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris.Op.cit.hal.184. 28 Ibid.hal 185.
b. Pendekatan Kualitatif Peneliti melakukan analisis hasil penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis ataupun lisan melalui penelitian lapangan. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara kepada responden yakni Panitia Pengawas Pemilihan
Umum
Kota
Medan.
Pendekatan
kualitatif
akan
mempergunakan data atau bahan hukum yang memiliki kualitas sebagai data sebagai bahan penelitian. Sehingga, penulis dapat mempergunakan metode analisis kualitatif tidak semata-mata bertujuan mengungkapkan kebenaran saja, tetapi juga memahami kebenaran tersebut. 29
G. Sistematika Penulisan Penyusunan penulisan yang dilakukan agar mudah dalam memahami isi serta pesan yang inigin disampaikan, maka penulis menguraikan secara ringkas pembahasan dalam skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini akan dibagi menjadi 5 (lima) bab, yaitu : BAB I
Pendahuluan : Bab ini menguraikan tentang latar belakang pemikiran penulis sehingga mengangkat judul dengan perumusan masalahannya, tujuan dan manfaat yang ingin dicapai melalui penulisan skripsi
29
Ibid,hal.192
ini, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian yang dipakai serta sistematika penulisan ini. BAB II
BENTUK-BENTUK PERBUTAN YANG DIKUALIFIKASIKAN SEBAGAI TINDAK PIDANA PEMILIHAN UMUM
Bab ini membahas tentang klasifikasi perbuatan-perbuatan yang termasuk ke dalam tindak pidana pemilihan umum berdasarkan jenis pelanggaran dan kejahatan tindak pidana pemilihan umum tersebut. BAB III
Peranan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu Kota Medan) Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pemilihan Umum Legislatif Bab ini membahas tentang tugas dan kewenangan Panitia Pengawas Pemilihan Umum menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Upaya Penanggulangan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kota Medan sehubungan dengan dilakukannya penelitian di Panitia Pengawas Pemilihan Umum. Serta mengkaji lebih lanjut dan menganalisis peranan Panwaslu Kota Medan dalam salah satu kasus tindak pidana pemilihan umum berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan.
BAB IV
Hambatan yang Dihadapi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU KOTA MEDAN) Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Pemilihan Umum Legislatif ; Bab ini akan membahas tentang Hambatan yang dihadapi Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kota Medan, Upaya yang dilakukan
dalam menghadapi hambatan serta keberhasilan Panitia Pengawas Pemilihan Umum dalam menanggulangi Tindak pidana Pemilihan Umum Legislatif . BAB V
Kesimpulan dan Saran : Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran atas setiap permasalahan yang telah dikemukakan.