BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Dasar merupakan pendidikan umum yang wajib diperoleh seluruh warga negara Indonesia dengan usia antara 7-15 tahun, yang diimplementasikan melalui wajib belajar sembilan tahun. Wajib belajar sembilan tahun telah dicanangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui UndangUndang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 yang pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1990 (Sisdiknas, 1992).
Wajib belajar sembilan tahun meliputi jenjang
pendidikan Sekolah Dasar (SD) enam tahun (usia 7-12 tahun), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) tiga tahun (usia 12-15 tahun) yang melibatkan seluruh lapisan dan golongan dalam masyarakat. Wajib belajar sembilan tahun memberi arah bahwa semua peserta didik usia 7-15 tahun harus dapat menyelesaikan pendidikan tanpa terputus di tengah jalan. Dengan demikian setiap warga negara Indonesia diharapkan memiliki pendidikan minimal jenjang SMP. Setelah anak mengikuti wajib belajar sembilan tahun diharapkan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau dapat membekali kehidupannya secara pribadi, bermasyarakat, maupun bernegara, karena tidak semua lulusan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, sekolah sebagai wahana pendidikan formal bagi masyarakat, selain berfungsi membekali siswa untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan, juga diharapkan dapat membekali mereka berbagai keterampilan sehingga dapat hidup secara layak di masyarakat.
1
Pendidikan sains seperti pendidikan pada umumnya, memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan intelektual anak. Pendidikan sains (Rohandi,
1998)
dalam
pembelajarannya
merupakan
proses
konstruksi
pengetahuan melalui aktivitas berpikir anak, dan dalam keadaan ini anak diberi kesempatan untuk mengembangkan pengetahuannya secara mandiri melalui proses komunikasi dan menghubungkan pengetahuan awal yang dimiliki dengan pengetahuan yang akan/harus mereka temukan. Pada kondisi seperti ini anak menjadi lebih berdaya, dan mampu berperan penting dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Rutherford dan Ahlgren (1990) bahwa pendidikan sains merupakan salah satu bidang pendidikan yang dapat membantu siswa mengembangkan pemahaman dan kebiasaan berpikir yang diperlukan untuk menjadi seorang manusia bertanggung jawab, dan untuk menghadapi kehidupan. Karhami (2000) juga menjelaskan bahwa pendidikan sains dapat membentuk sikap ilmiah antara lain: sikap jujur, terbuka, luwes, tekun, logis, kritis, kreatif, rasa ingin tahu (curiosity), senantiasa mendahulukan bukti (respect for evidence), luwes terhadap gagasan baru (flexibility), sikap merenung secara kritis (critical reflection), sikap peka/peduli terhadap makhluk hidup dan lingkungan (sensitivity to living things and environment). Jadi pendidikan sains sangat penting diberikan agar menjadi orang yang melek sains (scientific literacy). Sebaliknya orang yang buta sains bukan berarti tidak tahu sains, mereka tahu sains (sebatas pemahaman konsep sains) akan tetapi belum tentu memiliki kemampuan (ability) untuk memahami bagaimana prosesnya dan bagaimana cara mengatasi masalah-masalah sains. Seperti misalnya
2
kalau mendung berpeluang turun hujan yang diikuti kilat/petir dan badai guntur. Dalam hal ini anak belum tentu tahu bagaimana proses terjadinya hujan maupun kilat dan badai guntur. Oleh karena itu, untuk menjadi orang yang melek sains maka anak didik perlu dibekali kemampuan (ability) literasi sains karena literasi sains (scientific literacy) berhubungan dengan kemampuan berpikir ilmiah, dan menggunakan pengetahuan dan proses ilmiah untuk memahami dunia sekitarnya dan berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhinya.
Literasi sains
dipertimbangkan menjadi hasil-hasil pendidikan bagi semua siswa setelah mereka tamat (end of schooling) sesuai dengan level sekolahnya. Siswa setelah menyelesaikan pendidikan SMP diharapkan memiliki kemampuan (ability) literasi sains yang didasarkan pada keyakinan bahwa semua orang memerlukan dan meyakini sebuah pendidikan dasar dalam sains, yang mempersiapkan mereka hidup secara layak dan produktif dalam kehidupannya (Rutherford & Ahlgren, 1990). Literasi sains penting
dikembangkan karena:
(1) pemahaman terhadap sains menawarkan kepuasan dan kesenangan pribadi yang muncul setelah memahami dan mempelajari alam; (2) dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang membutuhkan informasi dan berfikir ilmiah untuk pengambilan keputusan; (3) setiap orang perlu melibatkan kemampuan mereka dalam wacana publik dan debat mengenai isu-isu penting yang melibatkan sains dan teknologi; (4) dan literasi sains penting dalam dunia kerja, karena makin banyak pekerjaan yang membutuhkan keterampilan-keterampilan yang tinggi, sehingga mengharuskan orang-orang belajar sains, bernalar, berpikir secara
3
kreatif, membuat keputusan, dan memecahkan masalah (National Research Council, 1996). Kenyataannya siswa masih lemah dalam sains, padahal dengan perkembangan zaman landasan sains sangat diperlukan untuk berkomunikasi dan pengembangan teknologi. Terbukti dari hasil penelitian tentang asesmen hasil belajar sains pada level Internasional yang diselenggarakan oleh International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) tentang Trend International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) dan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tentang Programme for International Student Assessmen (PISA). Penelitian kemampuan peserta didik SMP tentang TIMSS diselenggarakan setiap empat tahun oleh IEA, meliputi bidang matematika dan sains. Penelitian tentang PISA diselenggarakan setiap tiga tahun oleh OECD meliputi bidang matematika, sains dan kemampuan membaca (reading) yang ditekankan pada kemampuan literasi sains. Penelitian tentang TIMSS, Indonesia tiga kali berpartisipasi dalam penelitian tersebut. Pertama, pada tahun 1998/1999 dengan peserta 38 negara, Indonesia berada pada urutan ke-34 pada bidang matematika, dan urutan ke-32 pada bidang sains (Martin, et al., 1999). Kedua, pada tahun 2003, Indonesia berada pada urutan ke-36 dari 45 negara peserta baik pada bidang matematika maupun bidang sains (Martin, et al., 2003). Ketiga, pada tahun 2007 dengan peserta 48 negara, Indonesia berada pada urutan ke-36 pada bidang matematika, dan urutan ke-35 pada bidang sains (Gonzales, 2009).
4
Penelitian yang dilakukan oleh OECD yaitu tentang PISA untuk anak usia 15 tahun, yang telah diselenggarakan tiga periode, Indonesia ikut berpartisipasi dalam tiga periode penelitian tersebut. Pertama, tahun 2000 diikuti oleh 41 negara, Indonesia berada pada urutan ke-38 pada kemampuan sains (OECD, 2003), urutan ke-39 pada bidang matematika (OECD, 2003) maupun kemampuan membaca (reading) (OECD, 2003). Kedua, tahun 2003 diikuti oleh 40 negara, Indonesia berada pada urutan ke-38 pada kemampuan sains (OECD, 2004 dan matematika (OECD, 2004), urutan ke-39 pada bidang kemampuan membaca (OECD, 2004). Ketiga, tahun 2006 diikuti oleh 57 negara, Indonesia berada pada urutan ke-53 pada kemampuan sains (OECD, 2007), urutan ke-50 pada bidang matematika (OECD, 2007), urutan ke-48 pada bidang kemampuan membaca (OECD, 2007). Data seperti yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia berada pada level yang sangat rendah dalam sains. Jika siswa tidak paham akan sains, apalagi bagi siswa yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, dipastikan akan semakin sulit memasuki dunia kerja karena dunia semakin “scientific”, peralatan berteknologi tinggi. Persentase siswa lulusan yang tidak dapat melanjutkan pendidikan pada tahun 1999/2000 (Mendiknas, 2001) adalah: 19,45% dari lulusan SMP dan 53,12% dari lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU); sedangkan tahun 2002/2003 (Mendiknas, 2003) adalah: 34% dari lulusan SMP, dan 88,4% dari lulusan SMU. Jika diperhatikan laporan Mendiknas tersebut, siswa lulusan yang tidak melanjutkan pendidikan mengalami peningkatan yaitu pada jenjang SMP 14,55% (hampir dua kali lipat
5
dari sebelumnya), dan pada jenjang SMU 35,28%. Suderajat (2003) menegaskan bahwa dari lulusan tahun 2002/2003 setelah lulus SMP siswa masih belum mampu membekali diri untuk dapat hidup secara layak di masyarakat, apalagi untuk memasuki dunia kerja. Bukti yang diungkapkan Suderajat dan Mendiknas seperti diuraikan di atas mengindikasikan bahwa harapan pemerintah yang menginginkan agar siswa setelah mengenyam pendidikan selama sembilan tahun, dapat membekali diri dalam kehidupannya, baik secara pribadi maupun di masyarakat belum tercapai. Hal ini diduga disebabkan karena bekal kemampuan yang diperoleh dari pendidikan formal tidak memadai. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan yang diintegrasikan dengan budaya setempat, seperti yang telah digariskan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang disingkat KTSP (BSNP, 2006). Pelaksanaan pendidikan yang diintegrasikan dengan budaya setempat, sesuai dengan yang diungkapkan Bodner (1986) bahwa pengetahuan ini harus cocok dengan pengalaman. Pengetahuan harus cocok dengan pengalaman salah satunya adalah pengintegrasian melalui budaya setempat. Pembelajaran dengan mengintegrasikan budaya setempat sangat tepat dilaksanakan karena selama enam tahun pertama sebelum siswa masuk Sekolah Dasar, mereka telah menghabiskan waktunya di tengah-tengah lingkungan yang secara total telah dibentuk atau dipengaruhi oleh budaya masyarakatnya daripada oleh teori-teori pendidikan formal (Eyford, 1993). Proses pembelajaran sains di kelas menjadi penghambat ketika materi pelajaran sains tidak selaras dengan latar belakang budaya yang sudah mengakar pada diri siswa (Wahyudi, 2003). Oleh karena itu, aspek budaya
6
sangat penting diintegrasikan pada pembelajaran di sekolah, karena latar belakang budaya siswa mempunyai pengaruh pada proses pembelajaran siswa di sekolah. Untuk mengetahui berhasil tidaknya proses pembelajaran dilakukan asesmen. Proses pembelajaran dan asesmen merupakan dua sisi koin yang sama, berarti proses pembelajaran sangat erat kaitannya dengan asesmen hasil belajar siswa, karena hasil asesmen tidak terpisahkan dari proses pembelajaran (National Research Council, 1996). Namun dalam pelaksanaannya, tidak jarang ditemui bahwa pembelajaran dan asesmen merupakan dua sisi yang bertentangan, karena asesmen yang dilakukan hanya mengukur hasil belajar (kognitif), sedangkan proses dan konteks dalam pembelajaran kurang terukur. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan terhadap guru dan siswa kelas IX di empat SMP Negeri di Propinsi Bali, khususnya Denpasar dan Singaraja, menunjukkan bahwa dalam penyusunan tes, guru tidak memulai dengan pembuatan kisi-kisi butir tes, bahkan memiliki kecenderungan dengan cara menggunakan tes yang sudah tersedia. Tes-tes demikian, jelas memiliki kekurangan sebagai alat ukur yang sesuai dengan kondisi dan konteks sains terhadap pembelajaran yang dilakukan. Konteks terhadap asesmen hasil belajar sains, khususnya hasil telaah terhadap butir tes memiliki kecenderungan dalam menilai hasil belajar siswa, baik untuk ulangan harian maupun ulangan akhir semester, sebagian besar hanya menilai pemahaman siswa yang lebih menekankan perhitungan matematika daripada penguasaan konsep. Asesmen hasil belajar sains meskipun ada perhitungan-perhitungan matematika tetapi makna dari angka-angka tersebut
7
kurang diperhatikan, apalagi pada proses asesmennya. Gambaran analisis tes demikian, memperlihatkan bahwa tes yang digunakan hanya menilai hasil belajar siswa yang menekankan pada konsep dari segi aspek kemampuan kognitif saja, sedangkan asesmen terhadap proses dan konteksnya luput dari asesmen guru. Hasil wawancara dengan guru, salah seorang guru menyatakan bahwa asesmen hasil belajar yang dilakukan terhadap siswa sudah menilai proses di samping
menilai pengetahuan (knowledge),
dengan
menjelaskan
bahwa
penyelesaian soal tersebut telah mengikuti tahapan-tahapan dalam penyelesaian soal. Namun setelah ditelusuri lebih lanjut tentang proses yang dinilai dengan mengkaji lembar soal, ternyata yang dimaksudkan oleh guru bukan pengukuran proses, akan tetapi tes tersebut menuntut penguasaan konsep pada tahap aplikasi (C3). Sebagai contoh: diketahui tiga hambatan sama besar yang dirangkai paralel, kemudian ketiga hambatan tersebut dirangkai seri dengan dua hambatan lain yang sama besar pula. Tentukan hambatan penggantinya! Guru yang diwawancarai menyatakan, pertama yang harus dikerjakan adalah menghitung hambatan pengganti ketiga hambatan paralel, selanjutnya baru dapat menghitung hambatan pengganti total kelima hambatan tersebut. Selain itu, ada salah seorang guru menjelaskan bahwa ia telah melakukan asesmen hasil belajar siswa tidak hanya dari segi konsep berupa pengetahuan (knowledge) saja, tetapi juga terhadap kinerja siswa dengan menilai keterampilan siswa melalui portofolio. Mengingat proses asesmen yang dilakukan cukup menyita waktu yang lama, sementara materi yang akan diajarkan masih banyak yang belum diberikan, akhirnya guru
8
tersebut memutuskan tidak lagi melakukan bentuk asesmen yang demikian karena harus menyelesaikan target materi yang mesti diajarkan. Hasil observasi menunjukkan bahwa guru belum pernah melakukan analisis butir tes, baik analisis distraktor, daya pembeda maupun tingkat kemudahan, kecuali jika tes itu akan digunakan dalam penelitian. Beberapa guru juga menyatakan jika menyusun tes dalam bentuk pilihan ganda, khususnya dalam membuat option-nya, salah satu dibuat benar dan option lain sebagai pengecoh asal diisi saja dan tidak berdasarkan hubungan antar konsep yang ada. Disamping itu tes fisika yang disusun lebih banyak dalam bentuk hitungan-hitungan, dengan alasan menurut mereka fisika merupakan materi pelajaran yang banyak menggunakan rumus-rumus. Wawancara juga dilakukan terhadap enam orang siswa di setiap sekolah tersebut. Siswa yang diwawancara adalah siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan kurang, dan masing-masing diwakili oleh dua orang siswa. Hasilnya menunjukkan bahwa sebenarnya siswa menyenangi fisika, tetapi ketika berhadapan dengan tes sebagian siswa menyatakan merasa kesulitan untuk menyelesaikannya. Ketika siswa dihadapkan pada aplikasi konsep fisika dalam kehidupan sehari-hari, siswa mengetahui konsepnya, tetapi tidak dapat memberikan alasan. Sebagai contoh, siswa menyatakan kompor dengan nyala api biru mempunyai energi kalor yang lebih besar dibandingkan dengan nyala api merah, dan memberikan alasan karena nyala api merah mengeluarkan jelaga. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam konteksnya dengan proses pembelajaran, siswa
9
belum sepenuhnya dapat menggunakan konsep-konsep dasar sains dan mengaplikasikannya ke dalam situasi yang akan diterapkan. Temuan ini didukung pula oleh temuan hasil penelitian Schecker dan Gerdes (1999) yang melaporkan bahwa konteks juga mempengaruhi respon siswa, yaitu pertanyaan yang serupa dengan konteks yang berbeda memberikan respon yang berbeda pula pada siswa. Sebagai contoh respon siswa adalah: bola golf yang dipukul gayanya searah gerakan (jawaban ini diberikan oleh 42 orang siswa dari 87 orang peserta). Dari 42 orang siswa tersebut, 23 orang diantaranya memberikan respon bahwa bola yang ditendang arah gayanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan hambatan udara. Hal ini menunjukkan bahwa siswa belum sepenuhnya dapat menerapkan pengetahuan ilmiahnya dengan cara menalar situasi yang sama dengan situasi yang akan diterapkan. Temuan-temuan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran fisika yang dilakukan guru, lebih berorientasi pada mengejar target penyampaian materi, sedangkan tes hasil belajar yang dilaksanakan lebih menekankan pada aspek pengetahuan (knowledge), yang bertujuan untuk menyiapkan siswa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil temuan penelitian Rustaman, et al., (1992) yang mengemukakan bahwa pengujian yang dilakukan selama ini baru mengukur penguasaan materi saja, dan itupun baru mengukur ranah kognitif tingkat rendah. Keadaan semacam ini menunjukkan fungsi asesmen tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Fungsi asesmen dalam pembelajaran antara lain untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional secara komprehensif yang meliputi aspek
10
pengetahuan, sikap dan tingkah laku. Bagi pendidik, asesmen berfungsi untuk mengukur keberhasilan proses belajar mengajar, memberikan umpan balik sebagai dasar untuk perbaikan proses belajar mengajar dan mengadakan program remedial bagi peserta didik, serta menentukan angka kemajuan atau hasil belajar. Selain itu asesmen juga menempatkan siswa dalam situasi belajar yang tepat untuk mengenal latar belakang siswa yang mengalami kesulitan (Rusyan, 1993). Menurut OECD tentang PISA, dalam laporan tentang ”Measuring Student Knowledge and Skills” (2000) fungsi asesmen adalah untuk membantu meningkatkan pendidikan dan menyiapkan generasi muda menjadi lebih baik ketika mereka memasuki kehidupan dewasa sehingga menjadi orang yang literate. Mengases sejauh mana kemampuan literasi sains siswa, perlu dilakukan pengukuran tentang pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan literasi sains. Literasi sains
yang dimaksud adalah kemampuan menggunakan
pengetahuan sains, mengidentifikasi permasalahan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami dan membuat keputusan tentang alam dan perubahannya melalui aktivitas manusia. Aktivitas manusia mencakup: (a) aktivitas menggunakan pengetahuan atau konsep sains (scientific knowledge or concepts) yang relevan dengan kebutuhan siswa; (b) proses sains (scientific processes) yang harus dilakukan siswa; (c) konteks (context) yang meliputi aplikasi pengetahuan sains dan penggunaan proses-proses sains dalam situasi yang mencerminkan kondisi atau lingkungan yang nyata disesuaikan dengan level perkembangan anak.
11
Jika dicermati, fungsi asesmen menurut OECD dapat mengukur secara komprehensif hasil belajar siswa meliputi aspek pemahaman maupun penerapan terhadap pengetahuan yang diperoleh siswa baik aspek konsep sains, konteks maupun prosesnya. Disamping itu asesmen literasi sains tersebut menyiratkan adanya asesmen untuk menyiapkan siswa melanjutkan studi dan atau dapat hidup secara layak di masyarakat. Melihat kondisi pelaksanaan asesmen selama ini yang didasarkan atas hasil temuan terdahulu, hasil studi pendahuluan yang telah dilaksanakan di beberapa SMP di Propinsi Bali, dan juga melihat harapan pemerintah dalam melaksanakan wajar sembilan tahun, maka pelaksanaan asesmen perlu dibenahi. Asesmen yang dilaksanakan seharusnya mendukung proses pembelajaran. Jika proses pembelejaran diintegrasikan dengan budaya, maka asesmen juga harus bermuatan budaya. PISA yang dilaksanakan oleh OECD sangat tepat dipergunakan sebagai benchmark agar siswa menjadi melek sains tanpa harus meninggalkan budaya yang telah mengakar pada diri siswa sejak sebelum masuk Sekolah Dasar. Terdapat beberapa alasan mengapa penelitian dilaksanakan di SMP yang ada di Propinsi Bali dan menggunakan PISA sebagai benchmark. Masingmasing alasan dibahas tersendiri untuk memperkuat mengapa penelitian di laksanakan di SMP yang ada di Propinsi Bali dan menggunakan PISA sebagai benchmark. Alasan pertama, seperti yang digariskan KTSP, pelaksanaan pendidikan diharapkan diintegrasikan dengan budaya setempat dan Bali memilki budaya yang
12
khas. Karakteristik yang menonjol dari kebudayaan Bali adalah bercorak religius (Dharmayuda, 1995). Kebudayaan Bali yang diciptakan tidak semata-mata untuk mencapai kebaikan hidup di dunia (jagadhita), melainkan terus menembus dinding kehidupan rohani sampai manunggal dengan Yang Maha Esa (awor ring Acintya). Hal ini dibuktikan dari aktivitas budaya dengan dasar pijak agama yang kuat. Sebagai contoh ketika membangun rumah, setiap tahapan didahului dengan kegiatan upacara keagamaan. Tahap I menggali tanah untuk fondasi, tahap II pasang fondasi hingga selesai sampai berdirinya tembok/dinding rumah, tahap terakhir menaikkan atap genting hingga bangunan selesai dibangun/siap huni, kesemuanya itu didahului upacara keagamaan. Selanjutnya, sebelum rumah siap ditempati dilakukan upacara keagamaan lagi yang disebut dengan melaspas rumah. Contoh lain, sebelum mulai usaha seperti berjualan, semua kelengkapan untuk berjualan dibersihkan dengan melakukan upacara keagamaan, dan masih banyak contoh kegiatan-kegiatan yang didahului dengan ritual keagamaan yang intinya memohon berkah dan keselamatan. Kebudayaan Bali bercorak religius inilah yang menjadi salah satu keunikan pariwisata budaya Bali yang telah dikenal secara internasional. Bali sebagai salah satu daerah pariwisata bertaraf internasional mengalami laju perkembangan pesat sejak tahun 1969, turut ditandai dengan dibukanya bandar udara internasional Ngurah Rai di Tuban tanggal 1 Agustus 1969 dan Bali dijadikan pusat pengembangan pariwisata Indonesia bagian Tengah.
Oleh karena itu, Bali benar-benar dibuka lebar untuk wisatawan
domestik (nasional) maupun internasional yang datang dari berbagai negara
13
(Purwita,1981).
Mengingat Bali dijadikan daerah pariwisata yang bertaraf
internasional dan banyak dikunjungi wisatawan dari berbagai negara, maka siswa perlu tahu persoalan sains pada level internasional dan mampu memecahkan persoalan-persoalan sains tersebut sehingga dapat hidup secara layak tanpa harus meninggalkan ciri khas budaya Bali yang bersifat religius. Alasan kedua, PISA diujikan pada anak usia 15 tahun. Usia ini merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dan pada masa ini siswa mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang tidak tergantung pada orang tuanya (Agustiani, 2006).
Ini berarti siswa pada usia 15 tahun merupakan awal
penentuan arah kemana mereka nantinya, sebab pada usia 15 tahun, anak sudah mulai berusaha mengembangkan sifat kemandiriannya. Jika dikaitkan dengan wajib belajar sembilan tahun, pendidikan minimal yang harus ditempuh anak adalah hingga jenjang SMP dan pada jenjang ini anak berada pada usia sekitar 15 tahun. Sesuai harapan Pemerintah, setelah siswa mengikuti wajib belajar sembilan tahun diharapkan anak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau dapat membekali kehidupannya secara pribadi, bermasyarakat, maupun bernegara. Jadi setelah tamat SMP siswa diharapkan sudah punya kemampuan minimal untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dan bertanggung jawab dalam hidupnya. Alasan ketiga, PISA mengujikan penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dianggap penting untuk kehidupan orang dewasa, sehingga dapat memenuhi tantangan-tantangan kehidupan nyata baik untuk kehidupan
14
pribadi, masyarakat maupun secara global (OECD, 2000). Begitu pula dengan harapan pemerintah melalui wajib belajar sembilan tahun, setelah tamat sekolah baik yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi maupun yang tidak dapat melanjutkan, telah mendapatkan berbagai keterampilan untuk bekal kehidupannya secara pribadi maupun bermasyarakat.
NRC (1996) juga
menjelaskan belajar sains diharapkan siswa menjadi masyarakat literasi sains setelah usia 13 tahun. Atas dasar pemikiran tersebut, untuk mengases tingkat literasi sains sebagai hasil belajar siswa SMP perlu dikembangkan alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya Bali dengan menggunakan scientific literacy PISA sebagai benchmark. Scientific literacy PISA sebagai benchmark dimaksudkan proses sains yang dikembangkan oleh OECD melalui PISA tersebut diadopsi dengan memodifikasi penyusunan alat ukur literasi sains agar lebih relevan dengan pembelajaran di SMP yang terintegrasi dengan konteks budaya Bali. Alasan scientific literacy PISA adalah bahwa asesmen hasil belajar pendidikan di SMP sebagai gambaran akhir hasil belajar diharapkan dapat mengases baik aspek konsep sains, konteks maupun proses, sehingga hasil belajar siswa terukur sesuai dengan tuntutan wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah. Tuntutan wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah bertujuan selain untuk mempersiapkan siswa dapat melanjutkan studi ke jenjang pendidikan lebih tinggi, juga mempersiapkan mereka hidup secara layak di masyarakat dengan bekal pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal. Hal ini
15
dilakukan sebagai salah satu upaya yang dapat memberikan alternatif solusi terhadap kesenjangan asesmen hasil belajar yang diterapkan selama ini. Kerangka berpikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1. Wajar sembilan tahun UU No.2 th 1989 pelaksanaan
Membekali kehidupan/ melanjutkan sekolah
PP No.28 th 1990
Transisi masa kanak-kanak ke remaja èpribadi mandiri • Perubahan fisik • Perubahan emosional • Perubahan kognitif
Siswa SMP
TIMSS
Warga produktif
Pengetahuan & keterampilan kehidupan orang dewasa menguji Tantangan kehidupan pribadi & masyarakat global
PISA
Kebudayaan Pengetahuan & keterampilan harus cocok dengan pengalaman siswa (Bodner, 1986)
Pembelajaran Sains
Kemampuan literasi sains Benchmark
KTSP (BSNP, 2006)
Memahami: • Hakikat sains • Pengetahuan ilmiah
Perkembangan intelektual Sikap ilmiah
Asesmen literasi sains dalam konteks Budaya Bali Pengukuran Literasi Sains Konteks Budaya Bali Konten Sains
Proses Sains
Alat Ukur Tes Literasi Sains Konteks Budaya Bali
Gambar 1.1 Kerangka Berpikir Penelitian 16
B. Rumusan Masalah Secara umum masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah ”Bagaimanakah memperoleh alat ukur tes literasi sains siswa SMP dalam konteks budaya Bali yang valid dan reliabel”? Dari permasalahan umum di atas, ada dua kategori masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini yaitu berkaitan dengan proses
pengembangan
dan
proses
validasi.
Berkaitan
dengan
proses
pengembangan termasuk di dalamnya adalah proses pengembangan alat ukur yang valid dan reliabel. Berkaitan dengan proses validasi yaitu proses implementasi hasil pengembangan instrumen untuk suatu populasi tertentu yang dalam penelitian ini adalah untuk mengukur kemampuan literasi sains siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali. Secara eksplisit terdapat lima masalah yang akan diupayakan pemecahannya dalam penelitian ini. Kelima masalah tersebut masingmasing dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah karakteristik alat ukur tes literasi sains yang diimplementasikan kepada siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali?
2.
Bagaimanakah validitas dari perangkat alat ukur tes literasi sains yang diimplementasikan kepada siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali?
3.
Bagaimanakah reliabilitas dari perangkat alat ukur tes literasi sains yang diimplementasikan kepada siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali?
4.
Sejauh mana keakuratan alat ukur tes literasi sains yang diimplementasikan kepada siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali?
17
5.
Apakah
kendala-kendala
yang
dihadapi
dalam
pengembangan
dan
implementasi alat ukur tes literasi sains siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali? C. Tujuan Penelitian Pendidikan diarahkan untuk kepentingan masyarakat terutama untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.
Untuk itu pendidikan harus mampu
menjawab tantangan sumber daya yang tersedia di daerah.
Dalam upaya
mengoptimalkan potensi daerah tersebut, Depdiknas mengembangkan KTSP yang di dalamnya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan sendiri kurikulum pendidikan yang bertumpu pada potensi daerah termasuk sains dalam konteks budaya Bali. Sains dalam konteks budaya Bali sifatnya aplikatif yaitu mengutamakan kegunaan. Hal ini terlihat dari segala aktivitas yang dilakukan masyarakat Bali yang berhubungan dengan budaya tidak terlepas dari pemanfaatan konsep-konsep sains dalam konteks budaya Bali. Untuk itu, pengintegrasian sains dalam konteks budaya Bali sudah semestinya dilakukan melalui usaha-usaha eksplisit. Pengembangan alat ukur literasi sains dalam konteks budaya Bali diharapkan menjadi salah satu solusi permasalahan tersebut.
dari
Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah
memperoleh “panduan pengembangan dan penggunaan alat ukur tes literasi sains dalam konteks Budaya Bali” dan “seperangkat alat ukur literasi sains siswa kelas IX SMP dalam konteks Budaya Bali yang valid dan reliabel. Panduan pengembangan dan penggunaaan alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya Bali memberi peluang kepada guru dan calon guru dalam
18
berlatih mengembangkan alat ukur tes literasi sains budaya Bali yang belum terungkap dalam penelitian. Panduan pengembangan dan penggunaaan alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya Bali juga memberi peluang kepada guru dan calon guru yang ingin mengembangkan alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya yang berbeda. Alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya Bali akan menyediakan kesempatan yang cukup luas bagi siswa berlatih menerapkan kemampuan literasi sains yang meliputi aspek konsep sains yang relevan dengan kebutuhan siswa; proses-proses sains yang harus dilakukan siswa; dan konteks sains yang meliputi aplikasi pengetahuan sains dan penggunaan proses-proses sains dalam situasi yang mencerminkan kondisi atau lingkungan yang nyata.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan hasil yang dapat dimanfaatkan secara teoretis maupun praktis. 1. Manfaat Teoretis Hasil Penelitian a. Mengembangkan khasanah keilmuan di bidang pengembangan alat ukur tes literasi sains, meliputi konsep sains yang relevan dengan kebutuhan siswa; proses-proses sains yang harus dilakukan siswa; dan konteks yang meliputi aplikasi pengetahuan sains dan penggunaan proses-proses sains dalam situasi yang mencerminkan kondisi atau lingkungan yang realistik. b. Memberikan masukan berupa pengetahuan dan pengalaman bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) tentang kehandalan dari
19
penerapan alat ukur tes literasi sains siswa SMP dalam konteks budaya Bali. 2. Manfaat Praktis Hasil Penelitian a. Bagi lembaga pendidikan, diperoleh seperangkat alat ukur tes literasi sains yang valid dan reliable, yang telah teruji sebagai alat ukur untuk melakukan asesmen dan perbaikan kualitas asesmen. b. Bagi siswa, terlatihnya pengetahuan dan keterampilan siswa tentang literasi sains, meliputi aspek: konsep sains yang relevan dengan kebutuhan siswa; proses-proses sains yang harus dilakukan siswa; dan konteks yang meliputi aplikasi pengetahuan sains dan penggunaan proses-proses sains dalam situasi yang mencerminkan kondisi atau lingkungan yang realistik. c. Bagi guru, memperoleh pengalaman dalam merancang alat ukur tes literasi sains dan melaksanakan asesmen literasi sains dalam pembelajaran sains. d. Bagi evaluator/pengambil kebijakan, sebagai bahan pertimbangan dalam meninjau kesenjangan asesmen hasil belajar yang diterapkan selama ini. e. Bagi peneliti, memperoleh pengalaman langsung dalam pengembangan alat ukur tes litrerasi sains siswa SMP dalam konteks budaya Bali E. Definisi Operasional Agar diperoleh kesamaan pandangan dan menghindari perbedaan persepsi terhadap istilah yang digunakan dalam penelitian ini, serta untuk memudahkan dalam pengukurannya, maka berikut ini dikemukakan beberapa batasan istilah/definisi operasional sebagai berikut.
20
1. Alat Ukur Alat ukur yang dimaksud adalah alat/instrumen untuk melakukan pengukuran hasil belajar siswa. Alat ukur hasil belajar yang digunakan untuk melakukan pengukuran tersebut adalah berupa tes literasi sains. Tes yang dirancang adalah tes untuk mengases pengetahuan dan keterampilan tentang literasi sains siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali. 2. Literasi Sains Literasi sains adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi permasalahan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami dan membuat keputusan tentang alam dan perubahannya melalui aktivitas manusia yang mencakup konsep sains, proses sains, dan konteks sains (meliputi aplikasi pengetahuan sains dan penggunaan proses-proses sains dalam situasi yang mencerminkan kondisi atau lingkungan yang nyata) disesuaikan dengan level perkembangan anak. Literasi sains dalam penelitian ini hanya melibatkan kemampuan (ability) literasi sains yang meliputi pengetahuan sains dan pemahaman konseptual yang dibutuhkan dalam penggunaan proses mental yang dihadirkan dalam kondisi atau lingkungan yang realistik bagi siswa yang disesuaikan dengan level perkembangan anak usia SMP.
Kemampuan
(ability) yang melibatkan pengetahuan dan keterampilan literasi sains antara lain. a.
Pengetahuan atau Konsep Sains (Scientific Knowledge or Concepts) Mengases konsep sains berkaitan dengan fenomena yang berhubungan
dengan sains, ditinjau dari kedalaman materi yang disesuaikan dengan tuntutan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada jenjang SMP. Sebagai contoh tentang
21
benda atau zat. Pada tingkat Sekolah Dasar, siswa dapat: a) mengidentifikasi benda yang ada di lingkungan sekitar berdasarkan ciri-ciri benda melalui pengamatan; b) mengenal benda yang dapat berubah bentuk dari padat ke cair, dari cair ke gas, dari gas ke padat dan sebaliknya; c) mengidentifikasi kegunaan benda yang ada di lingkungan sekitarnya.
Pada tingkat SMP disamping
kemampuan tentang zat yang harus diketahui siswa SD, juga dituntut mengenal zat sampai kepada: a) mengenal zat ditinjau dari massa jenisnya; b) mengenal zat padat, cair dan gas dilihat dari volume dan bentuknya c) mengenal pengaruh kalor terhadap perubahan wujud zat. Pada tingkat SMA, tuntutan kemampuan siswa dalam mengenal zat ditinjau dari ikatan antar atom-atomnya, tidak hanya struktur air tetapi juga stuktur zat yang lain. b. Proses Sains (Scientific Processes) Proses Sains: mengases proses mental yang melibatkan kemampuan mengumpulkan, mengevaluasi dan mengkomunikasikan bukti sains yang valid. Untuk membatasi sejauh mana tingkat literasi sains yang harus dimiliki siswa SMP dari segi proses dapat dijelaskan sebagai berikut. Tingkat Literasi Sains yang harus dimiliki siswa SMP dari segi proses adalah tidak hanya mengobservasi dan mendeskripsikan saja, tetapi mengobservasi dan mendeskripsikan untuk mengamati hubungannya, juga harus bisa menyimpulkan dan menguji penjelasan yang mungkin ada, karena mengobservasi dan mendeskripsikan saja sesuai untuk tingkatan SD. Pada tingkat SMP siswa tidak dituntut sampai ke pengajuan pertanyaan kausal, merumuskan hipotesis-hipotesis sebagai alternatif jawaban atas pertanyaan tersebut, karena hal tersebut sesuai untuk tingkat SMA ke atas. Pada
22
proses ini siswa dituntut mempunyai kemampuan kognitif lebih tinggi untuk mengembangkan pertanyaan-pertanyaan kausal untuk menguji dan menghaluskan ide-ide yang di pra-konsepsikan (Ramsey, 1993). c.
Konteks Sains (Scientific Context) Konteks Sains mengases aplikasi pengetahuan sains dan penggunaan
proses-proses sains dalam situasi yang mencerminkan kondisi atau lingkungan yang realistik/nyata. Berdasarkan uraian definisi operasional di atas maka alat ukur tes literasi sains yang akan dikembangkan untuk mengases tingkat literasi sains siswa dalam pembelajaran sains siswa kelas IX SMP terdiri dari lima proses sains yaitu: a) mengenali masalah yang dapat diselidiki secara ilmiah; b) mengidentifikasi bukti yang dibutuhkan dalam penyelidikan ilmiah; c) Menarik atau mengevaluasi kesimpulan; d) mengkomunikasikan kesimpulan valid; e) mendemontrasikan pemahaman konsep sains.
Proses sains nomor a) sampai dengan d) tujuan
utamanya adalah mengases proses mental yang melibatkan kemampuan mengumpulkan, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan bukti sains yang valid. Proses sains nomor e) mengases pemahaman terhadap konsep-konsep sains. 3. Budaya Bali Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhi (idep) yang artinya pikiran dan daya atau kemampuan (Dharmayuda,1995). Lebih lanjut Koentjaraningrat (2008) menyatakan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Dalam bahasa Inggris, budaya berasal
23
dari kata latin colore yang berarti mengolah atau mengerjakan. Arti ini berkembang menjadi culture sebagai daya dan usaha manusia untuk mengubah alam. Dalam kajian ini, budaya yang dimaksud adalah perwujudan kemampuan manusia menggunakan budi dan akal dalam menghasilkan gagasan dan karya manusia yang diperoleh dengan belajar. Budaya Bali pada hakikatnya tidak terlepas dari adat istiadat yang dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Karakteristik yang menonjol dari kebudayaan Bali adalah bercorak religius (Dharmayudha, 1995). Wujud fisik Kebudayaan Bali yang lebih konkrit harus tetap berorientasi pada tingkah laku yang baik, tidak merugikan orang lain atau makhluk lain, dan semua hasil kerja dipersembahkan kembali kepada Tuhan (yadnya yang diwujudkan melalui upakara), sebagai balasan atas rahmat yang telah diberikan demi kebaikan dan kebahagiaan individu serta masyarakat.
24