BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jika seseorang ditanya apa tujuannya hidup di dunia ini, sebagian besar akan menjawab adalah untuk mencari kebahagiaan lahir-batin, dunia, dan akhirat. Namun, jika diberikan pertanyaan lanjutan, bagaimana caranya untuk mencapai kebahagiaan tersebut, maka mulailah timbul jawaban yang beragam bahkan terkadang saling bertolak belakang. Sebagian besar jawaban akan mengacu kepada terpenuhinya kebutuhan yang bersifat material sebagai syarat tercapainya kebahagiaan. Sebagian besar jawaban berisi argumen bahwa jika kebutuhan material seseorang sudah terpenuhi, maka kebahagiaan akan diraih. Memang sulit dipungkiri bahwa terpenuhinya kebutuhan material dalam hal ini tercukupinya kebutuhan hidup sehari-hari yang bersumber dari mata pencaharian atau sumber nafkah merupakan salah satu sumber kebahagiaan. Namun, dalam konsep Agama Islam, sumber nafkah tersebut haruslah halal secara zat-nya (lizatihi) maupun cara mendapatkannya (lighairihi), sehingga Islam sangat menekankan kehalalan sumber nafkah yang didapat dari hasil perniagaan maupun hasil kerja sebagai seorang pegawai atau buruh. Jawaban lainnya tentang pencapaian kebahagiaan lebih mengacu kepada terpenuhinya kebutuhan yang bersifat spiritual. Inti argumen mereka mengatakan bahwa kekayaan material belum tentu membawa kebahagiaan, bahkan jika cara memperoleh
kekayaan
tersebut
dengan
cara
tidak
halal,
justru
ketidakbahagiaanlah yang akan menghampiri. Menurut kelompok ini, kekayaan
1
2
materi, berapa pun besarnya, tidak akan mampu membahagiakan seseorang, melainkan hanya bisa membuat seseorang gembira/senang. Mereka berpendapat bahwa kebahagiaan akan diraih jika seseorang mampu memenuhi semua kebutuhannya yang bersifat spiritual dan transendental. Lantas, apa sebetulnya faktor-faktor yang mampu membuat orang berbahagia? Apakah faktor-faktor tersebut bersifat material atau immaterial atau gabungan keduanya? Cukup banyak buku yang telah ditulis dan telah banyak penelitian yang dilakukan tentang kebahagiaan ini. Salah satu yang cukup terkenal adalah buku The Seven Habits of Highly Effective People, yang ditulis oleh Steven R. Covey. Dalam bukunya tersebut, Covey mengatakan bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai jika terpenuhinya secara seimbang kebutuhan akan hal-hal yang bersifat fisik (physical) seperti makan makanan yang bermanfaat (beneficial eating), olah raga (exercises) dan istirahat (resting), terpenuhinya kebutuhan social/emotional seperti pergaulan sosial dan hubungan yang berarti dengan orang lain, terpenuhinya kebutuhan mental seperti belajar (learning), membaca (reading), menulis (writing), dan mengajar (teaching), serta yang terakhir terpenuhinya kebutuhan yang bersifat spiritual seperti meluangkan waktu untuk menikmati keindahan alam (spending time in nature), peningkatan aspek spiritual diri lewat meditasi (expanding spiritual self through meditation), menikmati musik, seni, sembahyang/shalat (prayer), atau memberikan pelayanan kepada orang lain (service).
3
Covey mengatakan: “Your life doesn't just "happen." Whether you know it or not, it is carefully designed by you. The choices, after all, are yours. You choose happiness. You choose sadness. You choose decisiveness. You choose ambivalence. You choose success. You choose failure. You choose courage. You choose fear. Just remember that every moment, every situation, provides a new choice. And in doing so, it gives you a perfect opportunity to do things differently to produce more positive results.”1 Sementara itu, Gallup Poll, sebuah institusi polling yang sangat terkenal di Amerika Serikat pernah melakukan survey tentang kebahagiaan di 148 negara di dunia, dengan jumlah sampel sekitar 150.000 orang. Lembaga ini hanya mengajukan 5 pertanyaan yang dianggap mewakili emosi positif seseorang dalam hidupnya untuk mengukur apakah orang tersebut berbahagia atau tidak. Kelima pertanyaan tersebut adalah: Apakah Anda beristirahat dengan cukup? Apakah Anda diperlakukan dengan hormat oleh orang lain sepanjang hari? Apakah Anda sering tertawa dan tersenyum? Apakah Anda telah mempelajari atau melakukan sesuatu yang menarik? Apakah kemarin Anda merasakan kegembiraan? Hasil dari polling yang dilakukan Desember 2012 itu ternyata cukup mengejutkan, karena Singapura yang merupakan salah satu negara terkaya di Asia, ternyata kebanyakan penduduknya merasa tidak berbahagia dan menduduki peringkat bawah dalam survey tersebut, sedangkan negara-negara Amerika Latin seperti Panama, Paraguay, El Salvador, dan Venezuela yang terkategori rendah dalam pencapaian Product Domestic Bruto (PDB), ternyata penduduknya merasa bahagia dan menduduki peringkat-peringkat atas. 1
Steven R. Covey, The Seven Habit of Highly Effective People, Binarupa Aksara Publisher, Tangerang, 2013, hal. 326
4
Al-Quran, secara singkat memberikan petunjuk untuk mendapatkan kebahagiaan caranya adalah dengan bertaqwa kepada Allah SWT dalam arti luas. Hal ini bisa dirujuk pada surat al-Anfaal, Huud, Yusuf, al-Hadid, al-Mujadalah, at-Taghaabun, ath-Thalaq, al-Hasyr, al-Maidah, Ali Imran, at-Taubah, dan alAhzab. Sedangkan untuk mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada terang benderang untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, al-Quran menunjukkannya dalam surat Ibrahim, al-Hadiid, dan at-Thalaq. Sedangkan Ibnu Abbas, salah seorang mufassir yang dicintai rasulullah Muhammad SAW (menurut Rohmat Saputra, Mahasiswa STID M.Natsir, Jakarta Pusat), mengemukakan 7 indikator kebahagiaan secara lebih gamblang, yakni: pertama, Qolbun Syakirun atau hati yang selalu bersyukur, kedua al-Azwaju Sholehah atau pasangan hidup yang sholehah, ketiga al-Auladun Abrar, atau anak yang sholeh, keempat al-Biatu Sholehah, yaitu lingkungan yang baik dan kondusif mendukung perkembangan iman kita, kelima al-Malul Halal, atau harta yang halal, keenam Tafakuh Fid-dien atau semangat yang tinggi untuk memahami agama, dan ketujuh Umrun Mubaarokah atau umur yang barokah. Diener (2009, dalam Niken Hartati 2012, hal.18) melalui kajian metaanalisisnya terhadap sejumlah penelitian, membagi faktor-faktor pendukung kebahagiaan ke dalam dua kelompok, yakni pertama faktor eksternal yang bersumber dari kemakmuran (wealth), pendidikan, agama, peristiwa hidup, aktivitas, kontak sosial, kehidupan keluarga, dan faktor internal yang bersumber dari kepribadian (jenis kelamin, gaya atribusi, tipe kepribadian, temperamen, harga diri, keyakinan diri, inteligensi, dan kebutuhan-kebutuhan psikologis).
5
Diener juga mengungkapkan beberapa teori psikologi tentang kebahagiaan, yakni: Telic Theory, Pleasure and Pain Theory, Activity Theory, Top Down versus Bottom Up Theory, Assosiationic Theory, dan Judgement Theory. Salah satu lembaga yang paling komprehensif dalam pengukuran kebahagiaan adalah Centre of Bhutan Studies (CBS), yang mengembangkan pengukuran tingkat kebahagiaan dengan menggunakan berbagai indikator dan domain (index) yang disebut dengan GNH (Gross National Happines). Pengukuran ini merupakan suatu upaya ilmiah dalam mengukur tingkat kebahagiaan yang sejatinya merupakan antitesis dari pengukuran kesejahteraan ekonomi berupa Gross National Product (GNP). Indeks GNH adalah suatu metode pengukuran kebahagiaan yang bersifat multi dimensional yang dikaitkan dengan sejumlah alat kebijakan dan programprogram yang bisa diterapkan. Indeks GNH dikembangkan dari data-data yang didapatkan dari survey yang bersifat periodik terhadap suatu daerah (distrik), jenis kelamin (gender), umur, penduduk desa-kota dll. Berbeda dengan konsep kebahagiaan di negara Barat, indeks GNH bersifat multi dimensional – tidak hanya diukur melalui perilaku subyektif seseorang – dan tidak hanya berfokus secara sempit pada kebahagiaan yang bermula dan berakhir serta penekanan pada diri seseorang. Tujuan kebahagiaan adalah bersifat kolektif, walaupun dapat dialami dan dihayati secara sangat personal. Secara umum GNH bersifat holistic, yakni mencakup semua aspek kebutuhan manusia, baik aspek material, spiritual, emosional maupun sosial. GNH juga bersifat balanced, atau penekanan yang seimbang untuk semua
6
perkembangan atribut-nya. Selain itu GNH juga bersifat collective, yakni memandang kebahagiaan sebagai sesuatu fenomena kolektif. Sifat lainnya dari GNH adalah sustainable dan equitable, yakni pencapaian kebahagiaan secara berkelanjutan untuk masa kini dan generasi mendatang dan pencapaian distribusi kebahagiaan yang mampu untuk diraih. Indeks GNH ditujukan bagi seseorang maupun masyarakat dalam pencapaian kebahagiaan, utamanya dalam memperbaiki kondisi orang yang belum berbahagia (not-yet happy people). Indeks GNH, menyediakan suatu hasil menyeluruh dengan menggunakan 9 domain GNH, yakni: 1. Psychological Wellbeing (kesejahteraan/kebahagiaan psikologis), 2. Time Use (penggunaan waktu), 3. Community Vitality (vitalitas masyarakat), 4. Cultural Diversity (keanekaragaman budaya), 5. Ecological Resilience (ketahanan lingkungan), 6. Living Standard (standar hidup), 7. Health (kesehatan), 8. Education (pendidikan),dan 9. Good Government (pemerintah yang baik).2 Secara keseluruhan, 9 domain tersebut terbagi lagi menjadi 33 indikator, dan dari 33 indikator tersebut terbagi lagi menjadi 124 variabel yang merupakan blok dasar bagi pengembangan indeks GNH. Dari berbagai pengukuran kebahagiaan yang telah disebutkan, manakah yang paling mewakili pengukuran tingkat kebahagiaan? Indikator dan variabel apakah yang paling pas digunakan (khususnya) di negara Indonesia, untuk mengetahui tingkat kebahagiaan seseorang? Apakah indikator dan variabel yang 2
Karma Ura, et.al., An extensive analysis of GNH Index, The Centre of Bhutan Studies, Thimpu, Bhutan, 2012, p. 22
7
sama bisa dipakai untuk mengukur tingkat kebahagiaan seseorang di daerah yang berbeda (desa-kota)? Lantas, dari kesemuanya akan timbul pertanyaan yang sangat penting. Apa hubungannya antara kebahagiaan dengan keberagamaan? Apa pula hubungan kebahagiaan dengan aktivitas perekonomian, dalam hal ini perekonomian Islam? Terpenuhinya kebutuhan material seperti pangan, sandang, papan dan lainlain adalah merupakan perhatian ilmu ekonomi pada umumnya. Dalam istilah orang awam, terpenuhinya kebutuhan yang bersifat material ini disebut wellbeing (sejahtera/makmur). Inti dari semua ilmu ekonomi tujuannya adalah untuk mencapai kemakmuran atau kesejahteraan tersebut. Ilmu ekonomi klasik, neo klasik, sampai ilmu-ilmu ekonomi “modern” membahas dan memunculkan model-model pembangunan ekonomi yang titik beratnya hanya untuk pemenuhan kebutuhan material semata. Padahal, seperti telah diuraikan sebelumnya, kita mengetahui bahwa pemenuhan kebutuhan material hanyalah salah satu aspek saja dalam pencapaian tujuan hidup manusia di dunia ini, yakni pencapaian kebahagiaan. Ilmu-ilmu ekonomi konvensional bisa dikatakan sama sekali tidak menyinggung tentang aspek kebahagiaan. Ilmu ekonomi konvensional hanya berkutat pada cara pencapaian kemakmuran atau kesejahteraan individu maupun masyarakat. Ilmu ekonomi konvensional menganggap bahwa kebahagiaan secara utuh bukanlah domain ilmu ekonomi, melainkan domain agama dan psikologi. Ekonomi tugasnya membicarakan kemakmuran atau kesejahteraan an sich.
8
Jika demikian, maka kita tidak bisa berharap banyak kepada ekonomi konvensional untuk mencapai tujuan hidup manusia. Lantas apakah kita bisa berharap kepada Ekonomi Islam untuk mencapai tujuan tersebut. Ada beragam definisi tentang Ekonomi Islam yang bisa kita pelajari dari berbagai literatur. Namun pada intinya Ekonomi Islam adalah merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari metode untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah ekonomi yang bersumber pada al-Quran dan Hadist. Ekonomi Islam bertujuan untuk mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun akhirat. Dengan demikian, jika kita menginginkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, bukan sekedar mencari dan mengejar kemakmuran duniawi belaka, maka ekonomi Islam bisa kita jadikan kendaraan untuk mencapai tujuan tersebut. Bagi orang Islam (muslim), tujuan hidup di dunia ini adalah dalam rangka mendapatkan “Falah”. Falah berasal dari kata kerja berbahasa Arab yakni aflaha-yuflihu, yang mengandung makna kesuksesan, kemuliaan atau kemenangan. Kata falah juga bermakna keberuntungan jangka panjang, yakni keberuntungan di dunia dan akhirat yang meliputi aspek material dan spritual. Dalam konteks dunia, kata Falah mencakup konsep yang multidimensi baik individu maupun kolektif, baik mikro maupun makro. Falah juga mencakup tiga pengertian, yakni kelangsungan hidup, kebebasan berkeinginan, serta kekuatan dan kehormatan. Sedangkan dalam konteks akhirat, falah mencakup pengertian kelangsungan hidup yang abadi, kesejahteraan abadi, kemuliaan abadi, dan pengetahuan abadi.3 Falah mencakup aspek-aspek yang lengkap dan menyeluruh bagi kehidupan manusia, yakni aspek spiritualitas dan moralitas, aspek ekonomi, sosial dan budaya serta aspek politik. Agar bisa melangsungkan kehidupannya, manusia 3
Munrokhim Misanam, dkk, Ekonomi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hal.2
9
membutuhkan pemenuhan keperluan biologis seperti kesehatan fisik dan mental. Untuk faktor ekonomi, manusia haruslah memiliki sarana dan prasarana kehidupan yang memadai seperti pangan, sandang, dan papan. Sedangkan untuk aspek sosial, manusia membutuhkan manusia lainnya dalam suatu lingkungan pergaulan yang sederajat, dan saling menghormati satu sama lain. Untuk aspek yang bersifat makro, kesejahteraan bisa dicapai apabila adanya keseimbangan ekologis, berupa lingkungan yang bersih, sehat, dan terjaga. Semua faktor tersebut akan semakin lengkap dan utuh jika setiap individu manusia terbebas dari kemiskinan, dan memiliki kehormatan serta harga diri. Hendaklah disadari, bahwa kehidupan akhirat secara kuantitas maupun kualitas jauh lebih berharga daripada kehidupan dunia ini. Dunia bersifat fana, sedangkan akhirat bersifat kekal dan immortal (abadi). Akhirat diakui mutlak keberadaannya oleh seorang muslim yang beriman. Akhirat merupakan suatu kehidupan yang tak ternilai harganya, dan sungguh tidak sebanding jika dibandingkan dengan keberadaan dunia ini. Akhirat diibaratkan jumlah air di samudera luas, sedangkan dunia hanya berupa setetes air di daun talas. Oleh karena itu bagi manusia yang betul-betul beriman, akhirat akan jauh lebih diutamakan daripada dunia. Bahkan bagi manusia yang sudah mencapai maqommaqom tertentu, mereka sudah mampu mengenyampingkan kehidupan dunia yang fana ini. Mereka hidup dalam kezuhudan untuk menyongsong kehidupan akhirat yang lebih azali dan hakiki. Mereka menjadikan dunia hanya sekedar tempat untuk numpang lewat bagi pencapaian tujuan akhirat mereka. Namun perlu diingat dan disadari, bahwa cuma sedikit manusia yang diberi karunia seperti itu.
10
Bagi manusia kebanyakan seperti kita, haruslah berupaya untuk menyeimbangkan semuanya, sehingga falah dapat dicapai. Falah mengandung makna kebahagiaan optimum di dunia dan akhirat, sehingga haruslah dikejar sebisa mungkin. Ekonomi
Islam
yang
mencakup
aspek-aspek
yang
bersifat
multidimensional seperti aspek material, spiritual, individual, sosial, dan aspekaspek emosional, serta aspek duniawi dan ukhrowi dapat kita andalkan untuk mencapai tujuan akhir hidup manusia, yakni kebahagiaan di dunia dan akhirat. Seperti kita ketahui, bahwa kehidupan di desa-desa Indonesia masih kental unsur soliditas dan solidaritas sosialnya daripada di kota-kota besar yang cenderung lebih kental unsur individualitasnya. Demikian pula, lebih kondusif untuk mengembangkan suatu kehidupan spiritual yang lebih berkualitas di desa ketimbang di perkotaan yang hiruk pikuk dengan perlombaan mengejar materi. Padahal disadari pula untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki diperlukan keseimbangan dari semua aspek tersebut. Penelitian ini, mengukur tingkat kebahagiaan penduduk dusun Ngajaran, Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan kemudian membandingkannya dengan tingkat kebahagiaan pegawai Kementerian Keuangan, Jakarta (Direktorat Jenderal Anggaran) dengan menggunakan sebagian besar indikator dan variabel pada GNH dan menggabungkannya dengan indikator kebahagiaan dalam keyakinan Islam seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas. Alasan di balik penelitian ini, sebetulnya ingin menguak dan mengetahui lebih jauh apakah pegawai Kementerian Keuangan, Jakarta yang notabene
11
semuanya tinggal di kota besar dan secara umum tingkat income-nya lebih tinggi, merasa hidupnya berbahagia. Apakah mereka yang tinggal di kota besar dengan tingkat individualitas yang semakin meningkat dan konsep guyup rukun yang semakin memudar serta irama kerja harian yang terkesan terburu-buru, merasa hidupnya berbahagia. Demikian juga dengan penduduk Ngajaran yang semuanya tinggal di dusun terpencil dengan income yang minim, apakah mereka merasa hidupnya bahagia. Apakah penduduk dusun Ngajaran yang secara sosial dan emosional masih kental unsur persaudaraan dan keguyupan serta irama kerja yang terkesan lambat dan harmonis dengan alam dan lingkungan merasa hidupnya berbahagia. Kemudian, dari dua kelompok tersebut akan diukur dan diperbandingkan kelompok mana yang secara rata-rata tingkat kebahagiaannya lebih tinggi. 1.2 Perumusan Masalah Penduduk yang tinggal di dusun terpencil, adakalanya tampak lebih berbahagia daripada Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tinggal di kota besar. Oleh karena itu, menarik dan penting untuk diteliti apakah fenomena itu benar adanya, dan mengapa hal itu bisa terjadi. 1.3 Pertanyaan Penelitian 1.3.1
Apakah terdapat perbedaan tingkat kebahagiaan antara penduduk dusun
Ngajaran, Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul, DIY dengan pegawai Kementerian Keuangan, Jakarta? 1.3.2
Faktor-faktor penting apakah yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat
kebahagiaan seseorang?
12
1.3.3
Apakah tingkat pendapatan (income) yang tinggi secara otomatis
mengakibatkan tingkat kebahagiaan yang tinggi pula? 1.4 Keaslian Penelitian Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada penelitian sejenis
yang
menggabungkan indikator-indikator GNH Index dengan indikator Islam yang dilakukan di Indonesia, baik dengan ruang lingkup lokal, regional maupun nasional. Penelitian yang pernah ada, dilakukan di Negara Bhutan, tetapi dengan menggunakan hanya indikator-indikator atau variabel-variabel GNH secara murni, yakni dengan menggunakan 9 domain yang terbagi menjadi 33 indikator, dan terbagi lagi menjadi 124 variabel (pertanyaan) yang merupakan blok dasar bagi pengembangan indeks GNH. Sembilan domain tersebut adalah 1. Psychological Wellbeing (kesejahteraan/kebahagiaan psikologis), 2. Time Use (penggunaan waktu), 3. Community Vitality (vitalitas masyarakat), 4. Cultural Diversity (keanekaragaman budaya), 5. Ecological Resilience (ketahanan lingkungan), 6. Living Standard (standar hidup), 7. Health (kesehatan), 8. Education (pendidikan), dan 9. Good Government
(pemerintah yang baik). Adapun
indikator-indikator yang digunakan antara lain: Kepuasan Hidup, Emosi Positif, Emosi Negatif, Spiritualitas, Kesehatan, Kinerja Pemerintahan, Hak Asasi Manusia, Tanggung jawab Terhadap Lingkungan, Isu-isu Ekologis, Pengetahuan, Nilai, Hubungan Kemasyarakatan, Keluarga, Driglam Namzha (cara hidup harmonis dengan alam), Kemampuan Berbahasa Daerah, dll Sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya di Bhutan,
dalam
penelitian ini hanya digunakan sebagian indikator dan variabel Gross National
13
Happiness (GNH) yakni: Kepuasan Hidup, Emosi Positif, Emosi Negatif, Spiritualitas, Standar Hidup, Pemerintahan yang Baik, dan menggabungkannya dengan indikator kebahagiaan yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, yakni Qolbun Syakirun, dan al-Malul Halal. 1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1
Menguji perbedaan tingkat kebahagiaan penduduk dusun Ngajaran,
Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul, DIY dengan para pegawai Kementerian Keuangan Jakarta (Direktorat Jenderal Anggaran), untuk mengetahui kelompok manakah secara rata-rata yang merasa hidupnya lebih berbahagia. 1.5.2
Mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat kebahagiaan
baik untuk penduduk dusun Ngajaran, Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul, DIY maupun untuk para pegawai Kementerian Keuangan Jakarta (Direktorat Jenderal Anggaran). Apakah terdapat perbedaan di antara kedua kelompok tersebut dalam memandang indikator yang paling mempengaruhi kebahagiaan. 1.5.3
Melakukan pengelompokan ke dalam 3 kategori: tidak/belum bahagia,
bahagia, dan sangat bahagia untuk penduduk Dusun Ngajaran, Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul, DIY
dan pegawai Kementerian Keuangan Jakarta
(Direktorat Jenderal Anggaran), untuk mengetahui secara persis kategori masingmasing subyek penelitian. 1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1
Penelitian ini berguna untuk mengetahui dan mendalami faktor-faktor apa
yang penting dan berpengaruh signifikan terhadap kebahagiaan seseorang dan
14
faktor-faktor apa yang tidak berpengaruh signifikan dalam pemenuhan kebahagiaan seseorang. 1.6.2
Jika faktor-faktor penyebab kebahagiaan tersebut sudah diketahui dengan
pasti, maka akan mampu mendorong seseorang untuk mencapai tingkat kebahagiaan yang diinginkan. 1.6.3
Membantu pihak otoritas untuk menyediakan sarana dan prasarana yang
bisa meningkatkan kebahagiaan seseorang serta mendorong pihak otoritas untuk mengarahkan seseorang kepada perilaku, sikap, tindakan, dan pemikiranpemikiran yang searah dan sesuai dalam pencapaian kebahagiaan yang bersifat material, emosional, sosial, dan spiritual, sekaligus mengupayakan tersedianya sarana dan prasarananya.