BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Mengingat penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, maka kebutuhan akan asuransi yang berdasarkan hukum syari’ah sangat diperlukan. Sehingga umat Islam akan terhindar dari asuransi yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang diharamkan oleh Islam. Pada prinsipnya, yang membedakan asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional adalah asuransi syari’ah menghapuskan unsur-unsur, yaitu : (a) unsur ketidakpastian (gharar) artinya adanya ketidakpastian sumber dana yang dipakai untuk membayar klaim dari pemegang polis asuransi, (b) unsur spekulasi atau perjudian (maysir) artinya adanya kemungkinan salah satu pihak yang diuntungkan sedang pihak lainnya dirugikan, (c) unsur bunga uang (riba) artinya adanya kemungkinan dana asuransi yang terkumpul dari pembayaran premi di bungakan, yang kemungkinan sering terjadi atau tercantum di dalam perjanjian antara perusahaan-perusahaan asuransi dengan tertanggung. Untuk memberikan formulasi mengenai pengertian asuransi takaful (syari’ah), maka terlebih dahulu dapat dikemukakan pengertian asuransi secara umum. Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, “insurance”. Insurance mempunyai pengertian : (a) asuransi, dan (b) jaminan. 1 Kata asuransi dalam bahasa Indonesia telah diadopsi
1
H. Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman. 1.
ke dalam kamus besar bahasa Indonesia dengan padanan kata pertanggungan. 2 Asuransi menurut “Wirjono Prodjodikoro” adalah suatu persetujuan pihak yang menjamin dan berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas. 3 Istilah “asuransi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang disusun oleh Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, berarti “pertanggungan” adalah perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran, apabila terjadi sesuatu yang menimpa dirinya atau barang miliknya yang di asuransikan sesuai dengan perjanjian yang dibuatnya. 4 Pengertian asuransi di atas, akan lebih jelas bila dihubungkan dengan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang menjelaskan bahwa asuransi adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu. 5 Tujuan asuransi pada dasarnya adalah mengalihkan resiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan kepada orang lain yang bersedia 2 3 4
5
Ibid, halaman. 1. Ibid, halaman. 2. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, halaman. 54. Kitab Undang - Undang Hukum Dagang (KUHD), Pasal 246.
mengambil resiko itu dengan mengganti kerugian yang dideritanya. Pihak yang bersedia menerima resiko itu disebut penanggung (insurer). Ia mau melakukan hal itu tentu bukanlah semata-mata demi kemanusiaan saja atau alasan sosial lainnya yang memang tidak pernah ada, tetapi karena ia melihat dalam usaha ini terdapat celah untuk mengambil keuntungan. Perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung dapat menilai besar atau kecil suatu resiko pada pihak tertanggung (insured) bila terjadi atau yang menimpa seseorang. Berdasarkan besar kecilnya resiko yang dihadapi oleh penanggung dan berapa besar persentase kemungkinan klaim yang akan diterimanya. Oleh karena itu, perusahaan asuransi dapat menghitung besarnya penggantian kerugian. Lain halnya asuransi syari’ah yang mempunyai beberapa padanan dalam bahasa Arab, di antaranya, yaitu (1) takaful (menanggung), (2) ta’min (perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut), dan (3) tadhamun (saling menanggung). 6 At-Ta’min dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa transaksi perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat. 7 Kalau dibahas mengenai pengertian dari atau apa itu Asuransi Takaful, sebenarnya takaful berasal dari bahasa Arab, yang akar kata atau kata dasarnya adalah kafala - yakfulu - kafaalatan, dimana kalau dilihat artinya adalah saling menanggung,
6 7
H. Zainuddin Ali, Op.cit., halaman. 3. H. Zainuddin Ali, Op.cit., halaman. 4.
saling menjamin atau bisa juga memelihara. Namun kata yang lebih tepat adalah saling menanggung atau saling menjamin. Dalam pengertian mu’amalah bermakna saling memikul resiko diantara sesama orang, sehingga antara satu dengan yang lain saling menjadi penanggung atas resiko yang muncul. 8 Jadi dapat diambil pemahaman dari uraian di atas bahwa pengertian dari asuransi takaful adalah merupakan pertanggungan yang berbentuk tolong-menolong atau disebut juga dengan perbuatan kafal, yaitu perbuatan saling tolong-menolong, saling menanggung, saling menjamin antara sesama peserta asuransi atau tertanggung dalam menghadapi sesuatu resiko yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Asuransi takaful adalah merupakan salah satu bentuk usaha asuransi yang ada di Indonesia, adapun bila melihat landasan hukum atau dasar hukum berdirinya asuransi takaful ini adalah Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Seperti tercantum pada Pasal 1 ayat (4) Undang – Undang tersebut, yaitu : Perusahaan perasuransian adalah perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, agen asuransi, perusahaan penilai kerugian asuransi dan perusahaan konsultan aktuaria. 9 Dalam transaksi, pembuatan kontrak (akad) merupakan kunci utama, tanpa adanya akad maka transaksinya diragukan, karena dapat menimbulkan persengketaan pada suatu saat. Islam dengan tegas dan jelas mendorong sepenuhnya warga 8
9
Masyhuril Khamis, Takaful Konsep Asuransi Islam, Penerbit Pimpinan Wilayah Al-Wasliyah Sumatera Utara Majelis Dakwah dan Kader, Medan, 1997, halaman. 3. Undang - Undang Nomor 2 Tahun 1992, Tentang Usaha Perasuransian, Pasal 1 ayat (4).
masyarakat dan terutama penganutnya agar hati-hati dan mesti membuat akad dari setiap transaksi yang mereka laksanakan antara sesama manusia. Dari segi hukum, maka asuransi (baik asuransi konvensional maupun asuransi syari’ah takaful) merupakan suatu bentuk perjanjian antara pihak pemegang polis sebagai tertanggung dengan pihak perusahaan asuransi sebagai penanggung, yang proses terjadinya dalam praktek melalui perantara agen/sales asuransi. Untuk terikatnya para pihak dalam perjanjian asuransi harus dibuat dalam bentuk akta, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang menegaskan, “Suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis”. 10 Jadi, polis merupakan alat bukti bahwa perjanjian asuransi telah terjadi. Permasalahan diatas, menurut sebagian ahli fikih Islam, sebagaimana telah diuraikan oleh “Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani” bahwa ada 5 (lima) rukun syarat sahnya akad jaminan (dhaman), yaitu : 11 a. b. c. d.
Adanya pihak yang menjamin (dhamin). Adanya pihak yang dijamin (madhmun ‘anhu). Ada yang menerima jaminan (madhmun lahu). Adanya barang atau beban (harta) yang harus ditunaikan, berupa hak harta yang wajib dibayar atau akan jatuh tempo pemenuhannya. e. Adanya ikrar atau ijab qabul antara pihak penjamin atau penanggung dengan pihak yang ditanggung. Penerapan prinsip-prinsip kontrak dalam pengikatan perjanjian asuransi takaful yaitu bahwa prinsip-prinsip yang perlu dipedomani dalam pelaksanaan
10 11
Kitab Undang - Undang Hukum Dagang (KUHD), Pasal 255. H. Zainuddin Ali, Op.cit., halaman. 91.
mu’amalah (dalam bertransaksi secara Islam), adalah seperti kebebasan berkontrak, konsensualisme, persamaan hukum, keadilan, kejujuran dan kebenaran, dibuat secara tertulis, saling rela dalam akad, kewirausahaan, saling menguntungkan dalam hal-hal yang bermanfaat, tanggung jawab, kemudahan, administrasi keuangan yang benar dan transparan, tanggung jawab sosial dan kehati-hatian. Semua prinsip-prinsip yang telah disebutkan sebelumnya merupakan prinsip yang harus digunakan atau menjadi dasar dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan bertransaksi secara Islami (penyelenggaraan dan pelaksanaan mu’amalah) karena segala kegiatan mu’amalah diperbolehkan sepanjang tidak ada larangan. Bila perjanjian (akad) asuransi yang dijalankan oleh perseroan asuransi dengan tertanggung berdasarkan ta’awun, tadhamun, serta ditambah dengan tabarru’, maka perjanjian (akad) asuransi itu sejalan dengan syari’at Islam. Memahami bahwa asuransi yang dibolehkan dalam Islam itu adalah asuransi yang berasaskan ta’awun, tadhamun, dan tabarru’, tanpa ada niat untuk menginvestasikan uang dalam mencari keuntungan, maka hal semacam itu sejalan dengan permasalahan pengaturan pengalihan pertanggungan yang diatur dalam Islam, yaitu dengan istilah kafalah. Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafi) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. 12 Muncul suatu pertanyaan mendasar dikalangan umat Islam, apakah sama antara asuransi umum (konvensional) dengan asuransi Islam (di Indonesia dikenal
12
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Cendikiawan, diterbitkan atas kerjasama Tazkia Institute dan Bank Indonesia, Jakarta, 1999, halaman. 231.
dengan asuransi Takaful). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa asuransi Islam berbeda dengan asuransi modern secara mendasar, baik dari segi sudut pandang, bentuk, maupun sifat. 13 Namun permasalahannya tidak sesederhana itu, seringkali tatanan konsep dasar menguntungkan kedua belah pihak, tapi pada klausula-klausula operasional masih banyak merugikan nasabah (tertanggung), karena sifat berat sebelah yang dimiliki dalam perjanjian asuransi. Persetujuan asuransi yang mengikat dua pihak, pada umumnya memberatkan pihak tertanggung karena yang menetapkan segala syarat (tercantum atau termaktub dalam polis) adalah pihak penanggung (perusahaan asuransi) yang kedudukannya jauh lebih kuat disebabkan modal yang dimilikinya, sehingga dengan mudah ia menetapkan segala persyaratan yang menjamin pihaknya (kepentingannya). Prinsip-prinsip atau asas-asas Islam dalam bermu’amalah sudah seharusnya melindungi kepentingan nasabah (tertanggung) sering kali terabaikan. Mekanisme Asuransi Syari’ah Takaful tampak telah berjalan sesuai prinsip syari’ah. Namun, terkadang mengundang sejumlah pertanyaan di dalam masyarakat. Pada pokoknya, pertanyaan tersebut berpangkal pada 2 (dua) permasalahan. Pertama, apakah sudah terpenuhi syarat bagi keabsahan akad jaminan serta syarat dalam akad jaminan menurut prinsip syari’ah. Kedua, seputar kedudukan perusahaan takaful itu sendiri, apakah ia berperan sebagai perusahaan penjamin, ataukah sebagai perusahaan
13
Untuk lebih jelas perbedaan tersebut baca M. Abduh Manan, 1997, Terjemahan M. Nastangin, Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, halaman. 302. Lihat juga Taqyuddin An-Nabhani, 1996, Terjemahan Maghfur Wahid, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, halaman. 190 - 197.
pengelola dana nasabah (mudharib), atau hanya sekedar sebagai lembaga yang mempertemukan nasabah sebagai pemilik dana dengan pengusaha. Maka dari itu, penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai asuransi syariah yang dikenal di Indonesia dengan Asuransi Takaful, khususnya dalam
pengikatan
“PENERAPAN
perjanjian
asuransi
PRINSIP-PRINSIP
takaful.
KONTRAK
Dengan
mengangkat
DALAM
judul
PENGIKATAN
PERJANJIAN ASURANSI TAKAFUL”.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dan gambaran latar belakang tersebut di atas, maka Penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan yang akan Penulis bahas dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konsep kontrak dalam pengikatan perjanjian asuransi syari’ah dalam per-Undang-Undangan perasuransian syariah di Indonesia dan penerapan prinsip-prinsip kontrak dalam pengikatan perjanjian Asuransi Takaful ? 2. Bagaimanakah hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian Asuransi Takaful ? 3. Bagaimanakah mekanisme pengelolaan dana premi Asuransi Takaful ?
C. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan rumusan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui konsep kontrak dalam pengikatan perjanjian asuransi syari’ah dalam per-Undang-Undangan perasuransian syariah di Indonesia dan penerapan prinsip-prinsip kontrak dalam pengikatan perjanjian Asuransi Takaful. 2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian Asuransi Takaful. 3. Untuk mengetahui mekanisme pengelolaan dana premi Asuransi Takaful.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan praktis yaitu : 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya wawasan ilmiah baik secara umum maupun secara khusus, menumbuhkan sikap kritis terhadap usaha Perasuransian khususnya Asuransi Takaful yang ada di Indonesia, memperkaya khazanah ruang lingkup pengetahuan tentang Perasuransian Syari’ah (Takaful), menambah pengetahuan khususnya tentang “Penerapan Prinsip-Prinsip Kontrak Dalam Pengikatan Perjanjian Asuransi Takaful”, dan diharapkan dapat menambah bahan kepustakaan tentang Penerapan Prinsip-Prinsip Kontrak Dalam Pengikatan Perjanjian dalam
bidang perasuransian yang ada di Indonesia khususnya pada bidang Perasuransian Syari’ah (Takaful). 2. Secara praktis, dengan mengetahui asuransi (pertanggungan), khususnya dalam bidang Perasuransian Syari’ah (Takaful), maka diharapkan kepada masyarakat
Indonesia
yang
mayoritas
Muslim
dapat
menjalankan
perasuransian yang Islami, salah satunya dengan menggunakan jasa lembaga Asuransi Syari’ah (Takaful), dan studi ini diharapkan juga dapat berguna dalam rangka penyusunan kodifikasi Hukum dan Undang-Undang mengenai Perasuransian yang ada di Indonesia, khususnya dalam bidang Asuransi Syari’ah (Takaful).
E. Keaslian Penelitian Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan informasi, maupun data yang ada dan penelusuran pendahuluan yang dilakukan pada kepustakaan khususnya Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan dan Sekolah Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) terhadap judul “PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP
KONTRAK
DALAM
PENGIKATAN
PERJANJIAN
ASURANSI TAKAFUL” belum ada dilakukan penelitian sebelumnya, oleh karena itu proposal penelitian yang diajukan ini adalah asli dan aktual, maka dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Adapun beberapa penelitian yang berkaitan mengenai masalah Asuransi Takaful (Syari’ah) yang pernah dilakukan pada Program Studi Magister Kenotariatan dan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara (USU), yaitu : 1. Perlindungan Hukum Atas Pemegang Polis Yang Tidak Memenuhi Kewajibannya Dalam Pembayaran Premi (Studi Pada Asuransi Jiwa Bumi Putera 1912 dan PT. Asuransi Takaful Di Kota Medan), oleh Rilawadi Sahputra, Nim : 027011051, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU), pada tahun 2002. 2. Perlindungan Hak – Hak Tertanggung Dalam Perjanjian Asuransi (Studi Pada PT. Asuransi Takaful Keluarga Medan), oleh Fitri Handayani, Nim : 027011021, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU), pada tahun 2002. 3. Asas Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Dalam Asuransi Syari’ah (Studi Pada Asuransi Takaful Keluarga Cabang Medan), oleh Zulfajri, Nim : 027011068, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU), pada tahun 2002. 4. Asas-Asas Perlindungan Nasabah Tertanggung Menurut Sistem Asuransi Takaful Syari’ah Dan Pelaksanaannya, oleh Ikrom Bin Abdul Rahman, Nim : 002105011, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), pada tahun 2000.
5. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Asuransi Takaful Menurut Hukum Islam Di Kabupaten Aceh Utara, oleh Abu Bakar, Nim : 017005001, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), pada tahun 2001. Dari beberapa penelitian diatas, dapat penulis pastikan bahwa tidak ada satupun dari tulisan tersebut yang memfokuskan kajiannya terhadap “Penerapan Prinsip-Prinsip Kontrak Dalam Pengikatan Perjanjian Asuransi Takaful”, secara khusus. Penulisan tesis ini didasarkan pada ide, maupun gagasan dan pemikiran penulis secara pribadi, dimulai dari awal hingga akhir penyelesaiannya. Ide penulis tumbuh berdasarkan perkembangan perusahaan Asuransi Syari’ah terutama Perusahaan Asuransi Takaful di Indonesia beserta permasalahan yang timbul di dalamnya. Kalau ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini karena hal tersebut sangat dibutuhkan sebagai faktor pendukung dan pelengkap untuk penyempurnaan penulisan tesis ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Sutan Remy Sjahdeini mengartikan perjanjian standard sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakaiannya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan. 14
14
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1995, halaman. 66.
Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari tujuan itu, Mariam Darus Badrulzaman lalu mendefenisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. 15 Dalam teori hukum kontrak secara syari’ah (nazarriyati al-‘uqud), setiap terjadi transaksi, maka akan terjadi salah satu dari 3 (tiga) hal, pertama kontraknya sah, kedua kontraknya fasad, dan ketiga aqad-nya batal. Untuk melihat status hukum kontrak dimaksud, maka perlu memperhatikan instrumen dari aqad yang dipakai dan bagaimana pelaksanaannya. Aqad-Aqad investasi bagi hasil yang dapat diaplikasikan pada produk asuransi syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya adalah : 1. Mudharabah Mudharabah adalah perjanjian (aqad) kerja sama usaha antara pemilik modal (shahibul mal) dengan pelaksana proyek (mudharib), dengan keuntungan akan dibagi antara kedua pihak sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak atau lebih. Mudharabah yang diuraikan diatas, terbagi kepada 2 (dua) bagian, yaitu : a. Mudharabah muthlaqah, yaitu perjanjian kerja sama antara shahibul mal dan mudharib tidak dibatasi oleh spesifikasi usaha, tempat, dan waktu selagi dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
15
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan terhadap Konsumen dilihat dari Perjanjian Baku (Standar), Penerbit Bina Cipta, 1986, hlm. 58 dalam Shindarta, halaman. 119.
b. Mudharabah muqayyadah, yaitu usaha kerja sama yang dalam perjanjiannya akan dibatasi oleh kehendak shahibul mal, selagi dalam bentuk-bentuk yang dihalalkan oleh hukum Islam. Dasar hukum yang dijadikan dalil dari Alquran adalah Surah Al-Muzzammil (73) ayat 20, selain dalil hukum dari Alquran, juga dapat dilihat dari hadis yang diriwayatkan yaitu (HR. Ath-Thabrani). 2. Al-Musyarakah Al-Musyarakah adalah perjanjian (aqad) antara 2 (dua) pihak atau lebih dalam suatu usaha tertentu, yaitu masing-masing pihak akan memberikan kontribusi berdasarkan kesepakatan, misalnya: kalau ada keuntungan atau kerugian masingmasing pihak mendapat margin dan menanggung risiko. Musyarakah dimaksud, menurut mazhab Hanafi terbagi kepada 2 (dua) bagian bila dilihat dari segi kontrak yaitu : a. Syarikah muawwadah, yaitu pemilik modal secara bersama-sama berkontribusi dalam modal dan manajemen, jadi semua kontributor terlibat dalam manajemen. b. Syarikah al-inan, yaitu tidak semua kontributor modal mesti melibatkan diri dalam manajemen, mereka boleh menyerahkan saja urusan manajemen kepada orang yang pandai lagi amanah diantara mereka. Namun, bila mereka memperoleh keuntungan akan dibagi di antara pemilik modal secara proporsional sesuai dengan perjanjian yang dibuat dari awal.
Dasar hukum aqad dimaksud adalah ditemukan ayat yang membolehkan persyarikatan, di antaranya adalah QS. An-Nisa’ (4) ayat 12 dan QS. Shad (38) ayat 24, dan juga dapat dilihat dari hadis yang diriwayatkan yaitu (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim), dan dalam hadis lain disebutkan, ketika Nabi Muhammad S.A.W. diutus, banyak warga masyarakat yang mempraktikkan kerja sama dalam syarikat, lalu Nabi Muhammad S.A.W. membolehkannya, berbagai hadis menjelaskan, di antaranya “Tangan Allah (pertolongan Allah) berada pada dua orang yang bersyarikat, selama tidak ada pengkhianatan”. 16 3. Wadhi’ah (Deposit) Wadhi’ah pada dasarnya adalah berfungsi untuk penitipan barang saja, karena pada zaman Rasulullah S.A.W. tujuan-tujuan wadhi’ah hanya demikian, tetapi tetap ada kasus yang membolehkan dana titipan diinvestasikan berdasarkan ketentuan bahwa dana yang digunakan sebagai wadhi’ah dikembalikan seutuhnya kepada pemilik. Apabila pengertian wadhi’ah dilihat dari aspek tekhnikal maka berarti harta atau uang yang dititipkan oleh seseorang kepada orang lain untuk tujuan disimpan, 17 sehingga dana yang disimpan tersebut tidak boleh digunakan pada dasarnya, tetapi bila pemilik mengizinkan dananya digunakan, maka penyimpan boleh saja menggunakannya, demikian disebutkan dalam Al-Majallah dan keuntungan yang diperoleh dapat dimanfaatkan oleh penyimpan. Namun, kalau terjadi kerugian maka 16
17
Wahbah Zuhaili, Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, Jilid IV, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989), halaman. 793. Ash-Shirbini, Mughni Muhtaj, Vol. III, halaman. 79.
penyimpan bertanggung jawab sepenuhnya untuk mengganti. Dasar hukum aqad wadhi’ah adalah QS. An-Nisa’ (4) ayat 58 dan QS. Al-Baqarah (2) ayat 283. 4. Al-Muzara’ah Al-Muzara’ah adalah perjanjian (aqad) yang dilakukan antara pemilik lahan dan penggarap untuk melaksanakan sesuatu aktivitas pertanian, seluruh modal dari pemilik lahan atau pemodal, petani hanya menggarap saja sampai berhasil, keuntungan yang diperoleh akan dibagi sesuai dengan kesepakatan pemodal dan penggarap. Dasar hukum muzara’ah dimaksud, adalah hadis Nabi Muhammad S.A.W. Yang artinya: Rasulullah S.A.W. memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya dengan mensyaratkan bahwa penggarapnya mendapat imbalan dari hasil garapan tersebut berupa buah-buahan dan tanaman. 18 Hadis diriwayatkan oleh Al-Jama’ah dari Ibnu Umar dan juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir. 19 5. Aqad-Aqad Jual Beli Selain aqad-aqad yang disebutkan di atas, akad-akad jual beli (sale and purchase) yang biasa diaplikasikan dalam institusi keuangan syariah adalah : a. Bai’ Al-Murabahah (Deferred Payment Sale) Bai’ Al-murabahah adalah jual beli sesuatu barang sesuai dengan harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati berdasarkan pertimbangan bahwa keuntungan yang tidak terlalu membebankan kepada calon pembeli. Pembelian juga 18 19
Wahbah Zuhaili, Fiqh Al-Islami, Jilid V. (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989), halaman. 615. Faisal bin Abdul Aziz Al-Mubarak, Nail Al-Awthar (terjemahan Mu’amal Hamadi). Jilid V, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), halaman. 272.
boleh dilakukan dengan cara pemesanan barang terlebih dahulu, dalam kitab Al-Umm Imam Syafi’i menyebutnya sebagai al-amru bi asy-syiria. Dasar hukum keabsahan jual beli berdasarkan murabahah adalah QS. Al-Baqarah (2) ayat 275. b. Bai’ As-Salam (In Front Payment Sale) Bai’ As-Salam adalah suatu kontrak antara penjual dan pembeli, yaitu pembeli terlebih dahulu membayar harga sesuatu barang, sedangkan penyerahan barangnya dikemudiankan. Dasar hukum bai’ as-salam adalah QS. Al-Baqarah (2) ayat 282), dan hadis yang diriwayatkan oleh (HR. Ibnu Abbas). c. Bai’ Al-Istishna’ (Purchase by Order or Manufacture) Bai’ Al-Istishna’ adalah kontrak jual beli dengan cara pesanan. Pembeli melakukan transaksi dengan seseorang untuk membeli sesuatu barang, penjual akan membuatkannya atau memesankan kepada pabrik menurut spesifikasi yang dikehendaki, pembayarannya boleh tunai dan boleh juga dengan cicilan sesuai dengan persetujuan. Bai’ al-istishna’ merupakan bagian atau aqad khusus dari bai’ as-salam. Dasar hukum bai’ as-salam adalah bai’ al-istishna’, karena hal itu merupakan bagian dari aqad as-salam, sehingga dasar-dasarnya sama dengan dasar-dasar yang ada pada bai’ as-salam, namun para ulama menjelaskan bahwa kontrak bai’ al-istishna’ adalah sah menurut syara’ berdasarkan istihsan. 6. Al-Ijarah Al-ijarah ialah perjanjian (aqad) untuk pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah atau sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan sewa. Dasar hukum ijarah
dimaksud adalah Alquran QS. Al-Baqarah (2) ayat 233, dan hadis yang diriwayatkan (HR. Ibnu Abbas), (HR. Al-Bukhari dan Muslim), dan (HR. Ibnu Majah). 7. Jasa a. Al-Wakalah Al-Wakalah adalah penyerahan atau pemberian mandat. Selain itu, dalam bahasa Arab biasa juga disebut sebagai tafwidh. Tafwidh adalah menyerahkan sesuatu urusan kepada orang lain yang ada sehingga mengandung hal-hal yang diwakilkan. Karena itu, wakalah adalah seseorang yang menyerahkan urusan dagangannya atau urusan bisnisnya kepada orang lain dan menggantikan peranannya yang berkaitan dengan urusan bisnis yang dia jalankan. Berdasarkan hal dimaksud, penulis berpendapat bahwa wakalah adalah pelimpahan wewenang oleh seseorang kepada orang lain sebagai pengganti dirinya atau mewakili kepentingannya dalam mengurus urusannya selama dia masih hidup. Dasar hukum wakalah adalah Alquran dalam Surah Yusuf (12) ayat 55, dan selain dari Alquran juga terdapat dalam hadis yang diriwayatkan
(HR. Imam Malik)
dan (HR. Muslim). b. Al-Kafalah (Guaranty) Al-Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain kafalah merupakan pengalihan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin. Dasar hukum hal dimaksud adalah QS. Yusuf (12) ayat 72, dan (HR. Al-Bukhari).
c. Al-Hawalah Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dasar hukum hawalah dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan (HR. Al-Bukhari dan Muslim). d. Ar-Rahn (Mortgage) Ar-Rahn (gadaian) adalah seseorang yang meminjam harta orang lain dengan cara memberikan sesuatu barang miliknya yang mempunyai nilai ekonomi, seandainya terjadi kegagalan dalam pembayaran, maka orang yang meminjamkan hartanya dapat memiliki barang tersebut. Dasar hukum ar-rahn adalah hadis yang diriwayatkan (HR. Al-Bukhari). e. Qardh Hasan (Benevolent Loan) Qardh Hasan adalah meminjamkan harta kepada seseorang tanpa mengharapkan imbalan sehingga biasa juga disebut aqad tathawwu’ atau saling bantu-membantu. Tetapi Rasulullah menggalakkan agar para sahabat memberikan profit sebagai terima kasih kepada orang yang telah meminjamkan. Dasar hukum qardh hasan dimaksud adalah QS. Al-Hadid (57) ayat 11, dan hadis yang diriwayatkan (HR. Ibnu Majah). Berdasarkan sejumlah jenis aqad yang disebutkan diatas, maka perusahaan asuransi syariah dapat memilih aqad-aqad yang sesuai atau cocok dalam melaksanakan transaksinya. Jika ia ingin berinvestasi, maka aqad yang digunakan disesuaikan dengan bentuk investasi yang akan ia lakukan. Kalau ia memilih transaksi dalam bentuk jual beli, maka ia juga boleh menggunakan berbagai aqad
yang sesuai dengan permintaan nasabah. Karena itu, perusahaan asuransi syari’ah tidak diikat dengan beberapa bentuk aqad saja dalam mengendalikan bisnisnya, sehingga ia leluasa dalam membangun bisnis asuransi di masa depan, kalau tidak demikian maka tentu ia akan tertinggal dari asuransi konvensional yang dalam waktu cepat dapat merombak berbagai bentuk produk bisnisnya. Salah satu keunggulan produk asuransi syari’ah adalah kehalalannya. Asuransi syari’ah menawarkan sistem bagi hasil (mudharabah) dan berbagi resiko. Karena itu, pada saat membuka asuransi syari’ah, dana peserta langsung dibagi 2 (dua), sebagian dibagikan ke dana kemanusiaan (tabarru’) untuk menutupi klaim dan sisanya menjadi premi tabungan. Premi tabungan dimaksud tidak akan hilang. Nasabah justru diuntungkan karena menikmati bagi hasil investasi yang dikembalikan ketika kepesertaan berakhir. Perusahaan Asuransi Takaful adalah suatu perusahaan yang berbentuk badan hukum yang mengelola usaha perasuransian berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah hukum Islam. Maka kebutuhan akan asuransi yang berdasarkan hukum syari’ah sangat diperlukan. Sehingga umat Islam akan terhindar dari asuransi yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang diharamkan oleh Islam. Maka jenis Asuransi Takaful inilah yang diusahakan agar dapat memenuhi kebutuhan umat Islam akan berbagai asuransi yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan kaidah hukum Islam.
Perbedaan yang mendasar antara asuransi syariah (takaful) dengan asuransi konvensional adalah : 1. Perbedaan Mendasar Mengenai Konsep a. Pengertian Asuransi Syariah Pengertian asuransi syariah telah dikemukakan diatas. Asuransi syariah mempunyai 3 (tiga) pengertian seperti yang telah dikemukakan, diantaranya atta’min. Mu’ammin adalah penanggung dan mun-ta’min diartikan tertanggung. Di dalam Al-Qur’an dikatakan : “Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Quraisy (106) ayat 4). Ada kata aman dari rasa takut. Memberi rasa aman. Jadi istilah at-ta’min, yaitu antara men-ta’min-kan sesuatu yang berarti seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti rugi terhadap hartanya yang hilang, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang mempertanggungkan atau mengasuransikan hidupnya, rumahnya atau kendaraannya. 20 Al-Fanjari mengartikan tadhamun, takaful, at-ta’min atau asuransi syariah dengan pengertian saling menanggung atau tanggung jawab sosial. Ia juga membagi ta’min ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu ta’min at-ta’awunity, ta’min at-tijari, dan ta’min al-hukumiy. 21 Usaid Hamid Hisan menguraikan bahwa asuransi adalah sikap ta’awun yang telah diatur melalui sistem yang rapi, diantara sebagian besar manusia.
20 21
Majm’ul Lughah Al-Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Wasit, (Mesir : 1960), halaman. 26 - 27. Muhammad Syauqi Al-Fanjari, Al-Islam wa At-Ta’min, (Riyadh : 1994), halaman. 23.
Asuransi adalah ta’awun, yaitu saling menolong dalam berbuat kebajikan dan takwa. Karena itu, ta’awun di antara sesama manusia berarti saling membantu antara sesama, dan mereka takut dengan bahaya (malapetaka) yang mengancam mereka. 22 Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi defenisi tentang asuransi. Asuransi Syariah (ta’min, takaful, tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolongmenolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’ yang memberikan pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah. 23 b. Pengertian Asuransi Konvensional Pengertian asuransi konvensional secara bahasa adalah “pertanggungan”. Istilah pertanggungan di kalangan orang Belanda disebut verzekering. Hal dimaksud melahirkan istilah assurantie, assuradeur bagi penanggung dan geassureeder bagi tertanggung. 24 Selain itu, ada defenisi yang mengungkapkan bahwa sebenarnya asuransi itu merupakan alat atau institusi belaka yang bertujuan untuk mengurangi resiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit yang berisiko agar kerugian individu secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi tersebut kemudian dibagi
22
23
24
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General), Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta : Gema Insani, 2004, halaman. 29. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. KH. Ali Yafie, Asuransi Dalam Pandangan Syariat Islam, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung, Penerbit Mizan, 1999, halaman. 205 - 206. Lihat juga Emmy P. Simanjuntak, Hukum Pertanggungan, Yogyakarta : UGM, 1982, halaman. 7.
dan didistribusikan secara proporsional di antara semua unit-unit dalam gabungan tersebut. (a device for recuding risk by combining a sufficient number of exposure unit to make their individual losses collectively predictable. The predictable loss is then shared by or distribution proportionately among all units in the combination). 25 Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang tercantum pada Pasal 1 ayat (1) yang menguraikan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. 26 2. Perbedaan Mendasar Mengenai Sumber Hukum a. Sumber Hukum 1) Sumber Hukum Asuransi Syariah Sumber hukum asuransi syariah adalah Al-Qur’an, sunnah, ijma’, fatwa sahabat, mashlahah mursalah, qiyas, istihsan, urf/tradisi, dan fatwa DSN-MUI. Karena itu, modus operandi asuransi syariah selalu sejalan dengan prinsip-prinsip
25 26
Robert I Mehr, Life Insurance Theory and Practice, Business Publication, Inc. 1985, halaman. 25. Dewan Asuransi Indonesia, UU RI No. 2 Tahun 1992 dan Peraturan Pelaksana tentang Usaha Perasuransian, Pasal 1 ayat (2), edisi 2003, DAI, halaman. 3.
syariah. 27 Dalam menetapkan prinsip-prinsip, praktik, dan operasional dari asuransi syariah, parameter yang senantiasa menjadi rujukan adalah syariah Islam yang bersumber dari Al-Qur’an, hadis, dan fikih Islam. Karena itu, asuransi syariah mendasarkan diri pada prinsip kejelasan dan kepastian, sehingga kejelasan yang meyakinkan kepada peserta asuransi dengan akad secara syariah antara perusahaan dengan peserta asuransi, baik yang akadnya jual beli (tabaduli) maupun akad tolongmenolong (takafuli). 2) Sumber Hukum Asuransi Konvensional Asuransi konvensional mempunyai sumber hukum yang didasari oleh pikiran manusia, falsafah, dan kebudayaan, sementara modus operandinya didasarkan atas hukum positif. Karena itu, tidak memiliki sumber hukum yang jelas, maka cenderung membuat transaksi yang tidak memiliki kepastian dan kejelasan kedepan. 28 Seperti halnya dalam akadnya ma’qud ‘alaih (sesuatu yang diakadkan) terjadi cacat secara syariah karena tidak jelas (gharar) berapa yang akan dibayar peserta asuransi yang meliputi berapa sesuatu yang akan diperoleh (ada atau tidak, besar atau kecil), tidak diketahui berapa lama seseorang peserta asuransi harus membayar premi. 29 b. Perbedaan Mendasar Mengenai Dewan Pengawas Asuransi 1) Asuransi Syariah Asuransi syariah mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan asuransi syariah. Dewan Pengawas 27 28 29
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr Al-‘Arabi, tth, halaman. 12. H. Zainuddin Ali, Op. cit., halaman. 68. H. Zainuddin Ali, Op. cit., halaman. 69.
Syariah (DPS) mengawasi jalannya operasional sehari-hari agar selalu berjalan sesuai dengan prinsip syariah. Artinya, menghindari adanya penyimpangan secara hukum Islam yang dapat merugikan orang lain. Karena itu, Dewan Pengawas Syariah (DPS) berfungsi untuk : a) Melakukan pengawasan secara periodik pada Lembaga Keuangan Syariah yang berada di bawah pengawasannya. b) Berkewajiban mengajukan unsur-unsur pengembangan Keuangan Lembaga Syariah kepada pemimpin lembaga yang bersangkutan dan dari Dewan Syariah Nasional (DSN). c) Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang mengawasinya kepada Dewan Syariah Nasional (DSN) sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun anggaran. d) Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan-pembahasan Dewan Syariah Nasional (DSN). 30 2) Asuransi Konvensional Asuransi
konvensional
tidak
mempunyai
dewan
pengawas
dalam
melaksanakan perencanaan, proses, dan praktiknya. Asuransi konvensional tidak memiliki sebuah wadah kontrol yang independen yang tugasnya mengawasi perjalanan asuransi tersebut sehingga mudah timbul penyimpangan-penyimpangan, baik penyimpangan administrasi maupun penyimpangan hukum secara syar’i. 31 c. Perbedaan Mendasar Mengenai Akad Perjanjian 1) Asuransi Syariah Asuransi Syariah mempunyai akad yang di dalamnya dikenal dengan istilah tabarru’ yang bertujuan kebaikan untuk menolong di antara sesama manusia, bukan 30
31
Muhammad Syakir Sula, Op. cit., halaman. 30. Lihat juga Surat Keputusan (SK) Dewan Pimpinan Majelis Ulama (MUI) tentang susunan pengurus Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Kep-98/MUI/III/2001, tentang Kedudukan dan Fungsi DSN-MUI. H. Zainuddin Ali, Op. cit., halaman. 70.
semata-mata untuk komersial dan akad tijarah. Akad tijarah adalah akad atau transaksi yang bertujuan komersial, misalnya mudharabah, wadhi’ah, wakalah, dan sebagainya. Dalam bentuk akad tabarru’, mutabarri mewujudkan usaha untuk membantu seseorang dan hal ini dianjurkan oleh syariat Islam, penderma yang ikhlas akan mendapatkan ganjaran pahala yang besar (QS. Al-Baqarah (2) ayat 261). Membantu orang lain dari kesukarannya merupakan martabat yang mulia, dalam hadis Nabi Muhammad S.A.W. yang artinya : Barang siapa memenuhi hajat saudaranya, Allah akan memenuhi hajatnya. (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Abu Daud). Selain itu, akad transaksi asuransi syariah mengandung kepastian dan kejelasan sehingga peserta asuransi menerima polis asuransi sesuai dengan apa yang dibayarkan (yang masuk ke rekening peserta) ditambah dengan dana tabarru’ dari setiap peserta asuransi. Karena itu, setiap peserta asuransi yang mendapat musibah atau kerugian akan menerima bantuan dalam bentuk ganti rugi terhadap musibah yang dihadapinya. Bantuan dimaksud bersumber dari dana akad tabarru’ (dana derma). 32 2) Asuransi Konvensional Akad pada asuransi konvensional adalah pihak perusahaan asuransi dengan pihak peserta asuransi melakukan akad mu’awadhah, yaitu masing-masing dari kedua belah pihak yang berakad di satu pihak sebagai penanggung dan di pihak lainnya sebagai tertanggung. Pihak penanggung memperoleh premi-premi asuransi sebagai pengganti dari uang pertanggungan yang telah dijanjikan pembayarannya. Sedangkan 32
H. Zainuddin Ali, Op. cit., halaman. 71.
tertanggung memperoleh uang pertanggungan jika terjadi peristiwa atau bencana sebagai pengganti dari premi-premi yang dibayarkannya. 33 Sistem kontrak dimaksud, mengandung unsur untung-untungan, yaitu keuntungan yang diperoleh tergantung bila terjadi musibah dan si penanggung mendapat keuntungan bila tidak terjadi musibah dan di pandang sebagai hasil dari mengambil risiko, bahkan sebagai hasil kerja yang nihil. 34 d. Kepemilikan, Pengelolaan, dan Sharing of Risk VS Transver of Risk 1) Asuransi Syariah Asuransi syariah menganut sistem kepemilikan bersama. Hal itu berarti dana yang terkumpul dari setiap peserta asuransi dalam bentuk iuran atau kontribusi merupakan milik peserta (shahibul mal). 35 Pihak perusahaan asuransi syariah hanya sebagai penyangga aman dalam pengelolaannya. Dana tersebut, kecuali tabarru’ (non komersial) dapat diambil kapan saja dan tanpa dibebani bunga. Disinilah letak perbedaan mendasar pada Asuransi Takaful Keluarga / Asuransi Jiwa (life insurance) apabila seorang peserta karena kebutuhan yang sangat mendesak boleh mengambil sebagian dari akumulasi dananya yang ada. Selain itu, perlu diungkapkan bahwa pengelolaannya untuk produk-produk yang mengandung unsur saving (tabungan), dana yang dibayarkan peserta langsung dibagi 2 (dua rekening), yaitu rekening peserta dan rekening tabarru’ (non komersial). Demikian juga proses hubungan
33
34 35
Husain Hamid Hisan, Hukum Asy-Syari’ah Al-Islamiyah fi ‘Uqudi At-Ta’min, (Kairo : Darul I’tisham), halaman. 25. H. Zainuddin Ali, Op. cit., halaman. 72. H. Zainuddin Ali, Op. cit., halaman. 73.
peserta dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk (saling menanggung resiko). Hal itu menunjukkan bahwa sistem asuransi syariah selalu mendasarkan diri pada prinsip tolong-menolong (ta’awun), yaitu dana yang terkumpul dalam bentuk dana tabarru’ di investasikan dan dikembangkan, dan hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan peserta asuransi, bukan untuk badan pengelola perusahaan asuransi. 36 2) Asuransi Konvensional Kepemilikan harta dalam asuransi konvensional adalah milik perusahaan, bebas menggunakan dan menginvestasikan pengelolaannya, bersifat tidak ada pemisahan antara dana peserta dan dana tabarru’ sehingga semua dana bercampur menjadi satu dan status hak kepemilikan dana dimaksud adalah dana perusahaan, sehingga bebas mengelola dan menginvestasikan tanpa ada pembatasan halal dan haram dalam melakukan transfer of risk atau memindahkan, bahkan ada kecenderungan yang selalu di praktikkan dalam asuransi konvensional untuk menginvestasikan dananya ke sistem bunga. Selain itu, dana yang terkumpul pada sistem asuransi konvensional dikelola oleh badan pengelola dan keuntungannya hanya untuk kepentingan badan pengelola dan membayar polis peserta, pengelola menganggap mempunyai pertambahan keuntungan sebagai usaha yang dikelolanya. 37
36 37
H. Zainuddin Ali, Op. cit., halaman. 75. H. Zainuddin Ali, Op. cit., halaman. 77.
e. Premi dan Sumber Pembiayaan Klaim 1) Asuransi Syariah Unsur-unsur premi pada asuransi syariah terdiri dari unsur tabarru’ (non komesril) dan tabungan (untuk asuransi jiwa). Selain itu, sumber pembayaran klaim diperoleh dari rekening tabarru’, yaitu rekening dana tolong-menolong bagi seluruh peserta, yang sejak awal sudah di akadkan dengan ikhlas oleh setiap peserta untuk keperluan saudara-saudaranya yang ditakdirkan oleh Allah SWT meninggal dunia atau mendapat musibah materi seperti kebakaran, gempa, banjir, dan lain-lain. Selain itu, sumber pembayaran klaim dalam asuransi syariah adalah dari rekening perusahaan murni bisnis dan tertentu diperuntukkan sebagai dana tolong-menolong. 38 2) Asuransi Konvensional Dalam asuransi konvensional unsur-unsur preminya terdiri atas : 1. Mortality table yaitu daftar table kematian berguna untuk mengetahui besarnya klaim yang kemungkinan timbul kerugian yang dikarenakan kematian, serta meramalkan berapa lama batas umur seseorang bisa hidup. 2. Penerimaan bunga (untuk menetapkan tarif, perhitungan bunga harus dikalkulasi di dalamnya). 3. Biaya-biaya asuransi terdiri dari biaya komisi, biaya luar dinas, biaya reklame, sale promotion, dan biaya pembuatan polis (biaya administrasi), biaya pemeliharaan, dan biaya-biaya lainnya seperti inkaso. 39 f. Investasi Dana dan Keuntungan 1) Asuransi Syariah Asuransi syariah dalam menginvestasikan dananya hanya kepada bank syariah, BPRS, obligasi syariah, dan kegiatan lainnya yang sesuai dengan prinsip38 39
H. Zainuddin Ali, Op. cit., halaman. 80. H. Zainuddin Ali, Op. cit., halaman. 82.
prinsip syariah. Sementara profit (laba) untuk asuransi kerugian yang diperoleh dari surplus underwriting bukan menjadi milik perusahaan sebagaimana mekanisme dalam asuransi konvensional. Berinvestasi pada industri perusahaan asuransi syariah, memiliki keunggulan yang memberi semangat kepada pesertanya. Sebab, sistem dimaksud tidak mengenal sistem dana hangus. Peserta yang baru masuk pun yang karena sesuatu dan lain hal sehingga mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja dana yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ sehingga tidak dapat ditarik kembali. Begitu juga dengan asuransi takaful umum (asuransi kerugian), jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka takaful membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi hasil 60 : 40 atau 70 : 30 sesuai kesepakatan ketika terjadi akad. 2) Asuransi Konvensional Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 1992 tentang Usaha Penyelenggaraan Usaha Perasuransian pada Pasal 13 ayat (1), investasi wajib dilakukan oleh asuransi konvensional pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Selain itu, harus memperhatikan ketentuan investasi yang tertuang
dalam
keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
No.
424/KMK.6/2003. 40 Sedangkan keuntungan yang diperoleh dari surplus underwriting
40
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.6/2003, halaman. 308.
menjadi milik perusahaan yang telah dahulu RUPS dibagikan kepada pemegang saham atau dikembalikan lagi kepada perusahaan penyertaan modal. Di dalam sistem asuransi konvensional memiliki sistem dana hangus, yaitu peserta asuransi yang tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana peserta itu hangus. Begitu juga untuk asuransi non saving (tidak mengandung unsur-unsur tabungan) atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang dibayar oleh pihak peserta asuransi ke pihak perusahaan akan hangus atau menjadi milik pihak asuransi. g. Kebersihan Usaha dari Maisir, Gharar, dan Riba 1) Asuransi Syariah Apabila memperhatikan sistem operasional asuransi syariah yang bersumber dari Alquran dan hadis, maka jelas terhindar dari hal-hal yang diharamkan oleh syariat Islam, yaitu dari hal-hal yang berunsurkan maysir, gharar, dan riba. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari segi mekanisme dan pengelolaan dananya. Para pengelola asuransi syariah memisahkan antara rekening dana peserta dengan rekening tabarru’, agar tidak terjadi percampuran dana. Demikian pula mekanisme ini tidak terjadi unsur riba, baik dalam praktik kerugian maupun jiwa dengan cara menggunakan
instrumen
syariah
sebagai
pengganti
sistem
riba,
misalnya
mudharabah, wadhi’ah, wakalah, dan sebagainya. 41 Karena itu, hal yang menonjol di
41
Muhammad Syakir Sula, Prinsip-Prinsip dan Sistem Operasional Takaful serta Perbedaannya dengan Asuransi Konvensional, Jakarta : AAMAI, 2002, halaman. 21 - 27.
dalam asuransi takaful adalah saling bertanggung jawab, saling membantu, saling melindungi di antara sesama peserta sehingga para nasabah benar-benar menyumbangkan preminya (kontribusi) kepada pengelola sebagai amanah untuk mengelolanya demi terciptanya pertolongan kepada peserta yang membutuhkannya atau yang berhak untuk disantuni karena mengalami musibah. Perusahaan asuransi menjalankan pelayanannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati atau berdasarkan akad yang menggunakan prinsip syariah yang dapat menghindari hal-hal yang diharamkan oleh para ulama. 42 2) Asuransi Konvensional Salah satu perbedaan yang paling penting dan tidak dapat dilepaskan, yaitu dari segi kebersihan dari suatu usaha, apakah ada unsur judi, unsur ketidakjelasan karena adanya praktik-praktik yang menipu dan merugikan orang lain. Hasil Sidang Dewan Hisbah Persis yang ke- 12 tanggal 26 Juni 1996 mengambil keputusan bahwa asuransi konvensional mengandung unsur gharar, maisir, dan riba. Majelis Tarjih Muhammadiyah membagi asuransi ke dalam 2 (dua) kategori: Pertama, asuransi yang berdimensi spekulatif yang memiliki bobot judi yang sudah jelas hukumnya haram. Kedua, asuransi yang memiliki bobot tolong-menolong hukumnya ibadah. Karena itu, asuransi dana pensiun pegawai negeri atau asuransi beasiswa, hukumnya ibadah. 43 Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengemukakan seperti yang dikutip
42
43
Ahmad Azhar Basyir, Asuransi Takaful Sebagai Suatu Alternatif, Jakarta : TEPATI, 1993, halaman. 17. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta : Logos, 1995, halaman. 138.
Muhammad Muslihuddin, asuransi konvensional disemangati oleh harapan pesertanya (tertanggung) harta jaminan atau tanggungan melebihi jumlah pembayaran preminya, oleh karena itu hukumnya haram, juga dikatakan asuransi tersebut mengandung ketidakjelasan/kabur (gharar) terutama dalam penentuan hitungan uang yang diperoleh tertanggung bila terjadi kerugian atau resiko yang menimpa peserta asuransi. 44 Dari uraian yang telah di paparkan diatas, mengenai beberapa perbedaan yang mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional sebagai suatu perbandingan, terutama yang berkaitan dengan keunggulan asuransi syariah bila dibandingkan dengan sistem asuransi konvensional yang selama ini menjadi acuan hidup dalam hukum perasuransian di Indonesia. Adapun tujuan dari penulisan pokok bahasan ini adalah untuk mengetahui perbedaan yang mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional sehingga ada kejelasan polemik yang terjadi dalam masyarakat yang masih tidak paham tentang asuransi syariah. Asuransi sebagai lembaga keuangan non bank, terorganisir secara rapi dalam bentuk sebuah perusahaan yang berorientasi pada aspek bisnis kelihatan secara nyata pada era modern. 45 Bersamaan dengan besarnya (booming) semangat revolusi industri di kalangan masyarakat Barat, banyak tuntutan untuk mengadakan sebuah langkah proteksi terhadap kegiatan atau aktivitas ekonomi. Pada hakikatnya, secara 44
45
Muhammad Muslihuddin, Insurance and Islamic Law, Lahore : Islamic Publication Limited, 1969, halaman. 143. Muhammad Nejatullah Siddiqi, Asuransi di dalam Islam, Penerbit Pustaka, cetakan ke-1, Bandung 1987, halaman ; 40., Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Dana Bhakti Wakaf, Jilid 4, Yogyakarta, 1995, halaman. 49.
teoritis semangat yang terkandung dalam sebuah lembaga asuransi tidak bisa dilepaskan dari semangat sosial dan saling tolong-menolong antara sesama manusia. 46 Secara historis, fenomena diatas sudah ada bersama dengan adanya manusia. Hal ini menguatkan sebuah buku tentang status manusia yang satu sisi sebagai makhluk individu dan di sisi lain dia juga merangkap sebagai makhluk sosial yang tidak dapat melepaskan dirinya dari orang lain. Asuransi yang didalamnya melibatkan kelompok sosial telah memberikan gambaran adanya bentuk pertanggungan antar beberapa kelompok. Paling tidak, dalam kajian sejarah banyak aktivitas manusia tempo dulu yang “mirip” atau pun mempunyai unsur-unsur yang dimiliki oleh sebuah lembaga asuransi. 47 Kondisi di atas akan terlihat lain sewaktu asuransi memasuki era modern dan terlembagakan dalam sebuah institusi. 48 Asuransi pada masa ini sudah tidak lagi berorientasi secara murni (pure) terhadap semangat tolong-menolong, tetapi lebih dari itu lembaga asuransi telah mengubah dirinya sebagai salah satu mesin ekonomi dunia modern, di samping lembaga perbankan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari
diterapkannya
paham
kapitalisme
dengan
berbagai
instrumen
yang
mendukungnya, seperti semangat liberalisme dan individualisme, telah membawa peradaban manusia pada situasi yang lebih mementingkan diri sendiri dan hanya sekedar mengejar kepentingan materialistik. 46 47 48
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Op.cit., halaman. 39. Muhammad Nejatullah Siddiqi, Op.cit., halaman. 21; Afzalur Rahman, Op.cit., halaman. 29. Afzalur Rahman, Op.cit., halaman. 90 - 107; Muhammad Muslehuddin, Op.cit., halaman. 36 - 45.
Sebagai gambaran, seorang yang mengasuransikan rumahnya pada sebuah lembaga asuransi, dia akan dikenakan biaya asuransi dalam bentuk premi dalam jangka waktu tertentu, dengan jumlah uang tertentu pula. Sebagai gantinya, perusahaan asuransi akan mengeluarkan polis bagi orang tersebut. Jika telah jatuh tempo dan peristiwa kerugian tidak terjadi, maka uang premi yang dibayarkan ke perusahaan asuransi itu hangus, jadi milik perusahaan. Dari contoh kasus ini kelihatan sekali adanya unsur ketidakpastian, perjudian dan riba, yang notabenenya telah dilarang dalam hukum Islam. Dalam hal ini, hukum Islam mengemban visi dan misi untuk melakukan sebuah proyek Islamisasi ataupun menggali nilai-nilai yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dalam membentuk sebuah perangkat asuransi modern yang selaras dengan nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran Islam. Kedua pilihan diatas, yaitu “proyek Islamisasi” dan “penggalian nilai-nilai keislaman”, mempunyai implikasi-implikasi yang tidak hanya merupakan konsekuensi logis, tetapi juga akan membawa pada paradigma kajian keilmuan Islam. Asuransi (insurance) sering juga diistilahkan dengan “pertanggungan”. Pada saat ini dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha perasuransian dalam Pasal 1 ayat (1)
dijelaskan mengenai batasan perjanjian asuransi secara
formal. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ini memberikan batasan perjanjian asuransi, merupakan suatu pasal kunci di dalam sistem pengaturan asuransi. Walaupun pasal ini isinya lebih luas dari Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 telah mencakup isi atau pengertian ataupun batasan dari Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) hanya beberapa penambahan, yang pada dasarnya hampir sama. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 ini mengatur suatu hubungan hukum dengan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi suatu perjanjian, sehingga perjanjian yang bersangkutan dapat disebut sebagai perjanjian asuransi. Sifat khusus yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 inilah yang merupakan dasar dari perjanjian asuransi, yang akan didukung dengan asas-asas penting lainnya baik yang umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi : “Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu”49 , dan tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian yang terdapat didalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi : “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu : (a). sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (b). kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (c). suatu hal tertentu; (d). suatu sebab yang halal., 50 dan tentang akibat suatu perjanjian dalam Pasal 1338 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
49 50
Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1319. Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1320.
sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasanalasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik” 51 , maupun yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Dari rumusan pasal tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya asuransi atau pertanggungan itu adalah merupakan suatu ikhtiar dalam rangka menanggulangi adanya resiko. Antara asuransi dengan resiko mempunyai keterikatan yang sangat erat, sebab asuransi itu sendiri adalah menanggulangi adanya resiko, dan tanpa adanya resiko asuransi atau pertanggungan tidak akan ada. Untuk itu Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dalam kertas kerjanya pada simposium hukum asuransi, sebagaimana dikonstatir oleh “Sri Rezeki Hartono”, mengungkapkan bahwa : Asuransi atau pertanggungan (verzekering) didalamnya tersirat pengertian adanya suatu resiko, yang terjadi belum dapat dipastikan, dan adanya pelimpahan tanggung jawab memikul beban resiko tersebut, kepada pihak lain yang sanggup mengambil alih tanggung jawab sebagai kontra prestasi dari pihak lain yang melimpahkan tanggung jawab itu, ia diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menerima pelimpahan tangggung jawab. 52 Mengenai asuransi pada umumnya, dalam syariat Islam dikategorikan ke dalam masalah-masalah ijtihad, sebab tidak ada ditemukan penjelasan resmi tentang asuransi baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Al-Hadist. Disamping itu para Imam
51 52
Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Pasal 1338. Sri Rezeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1992, halaman. 61.
Mazhab juga tidak ada memberikan pendapatnya tentang asuransi, sebab ketika itu masalah perasuransian belum dikenal. Ada 2 (dua) istilah yang digunakan untuk menunjukkan Hukum Islam yakni : a. Syariat, yaitu segala sesuatu ketentuan hukum yang disebut langsung oleh AlQur’an dan Hadis. b. Fikih, yaitu segala ketentuan hukum yang dihasilkan oleh Ijtihad para Fuqaha (ahli Fikih). 53 Keduanya berhubungan erat satu sama lain. Dasar - dasar hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi yang merupakan syariat dirumuskan pemahamannya oleh para ahli fikih dan dituangkan ke dalam kitab-kitab fikih yang kemudian disebut sebagai hukum fikih. Jadi, syariat adalah landasan fikih dan fikih adalah pemahaman tentang syariat. Syariat bersifat absolute dan Fikih bersifat relatif. 54 Adapun hasil itjtihad para ahli hukum Islam tentang hukum asuransi ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Pendapat pertama mengemukakan bahwa asuransi dengan segala bentuk perwujudannya dipandang haram menurut ketentuan hukum Islam. 2. Pendapat kedua asuransi dengan segala bentuknya dapat diterima dalam syari’ah Islam. 3. Pendapat ketiga asuransi sosial dibolehkan sedangkan asuransi yang bersifat komersial tidak dibolehkan atau bertentangan dengan syariat Islam. 4. Pendapat keempat asuransi dengan segala jenisnya dipandang syubhat” 55 53
54 55
M. Yasir Nasution, Istilah Jurnal Hukum Islam, Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara, Medan, 2004, halaman. 8. H. M. Daud Ali, Azas-azas Hukum Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1983, halaman. 23. Vide Sayid Sabiq, Fiqih al-sunnah, Vol. III, Darur Fikar, Libanon, 1981, halaman. 302 - 304. Dikutip dari Masjfuk Zudhi, Masail Fiqhiyah, Kapita Selecta Hukum Islam, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1989, halaman. 128 - 129.
Asuransi sebagai salah satu lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang pertanggungan merupakan sebuah institusi modern hasil temuan dari dunia Barat yang lahir bersamaan dengan adanya semangat pencerahan (reinaissance). 56 Institute ini bersama dengan lembaga keuangan bank menjadi penggerak ekonomi pada era modern dan berlanjut pada masa sekarang. Dasar yang menjadi semangat operasional asuransi modern adalah berorientasikan pada sistem kapitalis yang intinya hanya bermain dalam pengumpulan modal untuk keperluan pribadi atau golongan tertentu, dan kurang atau tidak mempunyai akar untuk perkembangan ekonomi pada tatanan yang lebih komprehensif. Herman Darmawi dalam bukunya “Manajemen Asuransi memberikan defenisi asuransi dari berbagai sudut pandang ekonomi, hukum, bisnis, sosial, ataupun berdasarkan pengertian matematika. Lebih lanjut Herman Darmawi menyatakan bahwa asuransi merupakan bisnis yang unik, yang didalamnya terdapat kelima aspek tersebut.” 57 , yaitu : 1. Dalam pandangan ekonomi, asuransi merupakan metode untuk mengurangi resiko dengan jalan memindahkan dan mengkombinasikan ketidakpastian akan adanya kerugian keuangan (finansial). 2. Dari sudut pandang hukum, asuransi merupakan suatu kontrak (perjanjian) pertanggungan resiko antara tertanggung dengan penanggung. Penanggung berjanji akan membayar kerugian yang disebabkan resiko yang dipertanggungkan kepada tertanggung. Sedangkan tertanggung membayar premi secara periodic kepada penanggung.
56
57
Renaissance dalam dunia Barat ditandai dengan semangat Revolusi Industri setelah ditemukan pertama kali mesin uap oleh “James Watt” dalam membantu perkembangan industri pabrik di negara Barat. Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, Penerbit Bumi Aksara, Cetakan. Ke-3, Jakarta, 2001, halaman. 2.
3. Menurut sudut pandang bisnis, asuransi adalah sebuah perusahaan yang usaha utamanya menerima atau menjual jasa, pemindahan resiko dari pihak lain, dan memperoleh keuntungan dengan berbagai resiko (sharing of risk) di antara sejumlah nasabahnya. 4. Dari sudut pandang sosial, asuransi didefenisikan sebagai organisasi sosial yang menerima pemindahan resiko dan mengumpulkan dana dari anggota-anggotanya guna membayar kerugian yang mungkin terjadi pada masing-masing anggota tersebut. 5. Dalam sudut pandang matematika, asuransi merupakan aplikasi matematika dalam memperhitungkan biaya dan faedah pertanggungan resiko. Hukum probabilitas dan teknik statistik dipergunakan untuk mencapai hasil yang dapat diramalkan. Adapun yang melatarbelakangi didirikannya asuransi syari’ah antara lain : Pertama, adanya keinginan umat Islam untuk menghindari riba dan gharar dalam kegiatan perasuransian. Kedua,
ada keinginan umat Islam untuk memperoleh kesejahteraan lahir dan bathin melalui kegiatan perasuransian yang sesuai dengan perintah agamanya.
Ketiga,
adanya keinginan umat Islam untuk mempunyai alternatif pilihan dalam mempergunakan jasa-jasa perasuransian yang dirasakan lebih sesuai. Asuransi syari’ah di Indonesia merupakan sebuah cita-cita yang telah
dibangun sejak lama, dan telah menjadi sebuah lembaga asuransi modern yang siap melayani umat Islam di Indonesia dan mampu bersaing dengan lembaga asuransi konvensional.
Dalam asuransi syari'ah terdapat 2 (dua) jenis perlindungan takaful, yaitu: 58 Pertama, Takaful Keluarga (Life Insurance), yaitu bentuk takaful yang memberikan perlindungan finansial dalam menghadapi malapetaka kematian dan kecelakaan atas diri peserta takaful. Adapun produk takaful keluarga meliputi ; takaful berencana, takaful pembiayaan, takaful pendidikan, takaful dana haji, takaful berjangka, takaful kecelakaan siswa, takaful kecelakaan diri, dan takaful khairat keluarga. Kedua, Takaful Umum (General Insurance), adalah bentuk takaful yang memberikan perlindungan finansial dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta benda milik peserta takaful, seperti ; rumah, bangunan, dan sebagainya. Produk Takaful Umum meliputi ; takaful kebakaran, takaful kendaraan bermotor, takaful pengangkutan laut, takaful rekayasa/engineering. 59 Akhirnya, dapatlah diutarakan kesimpulan sementara dalam penulisan tesis ini, bahwa asuransi takaful sebagai konsep ataupun sebagai lembaga institusi tidaklah bisa melepaskan diri dari hukum Islam. Hukum Islam sebagai norma-norma atau aturan dasar hidup merupakan payung yang menaungi setiap aktivitas kehidupan manusia, termasuk didalamnya praktek asuransi.
58 59
Muhammad Syafi’i Antonio, Asuransi Dalam Perspektif Islam, Jakarta : STI, 1994, halaman. 150. Contoh Produk Asuransi Syari’ah yang dikeluarkan oleh PT. Asuransi Takaful Keluarga dan PT. Asuransi Takaful Umum.
2. Kerangka Konsepsi Konsep adalah suatu konstruksi mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis. 60 Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakekatnya merupakan suatu pengaruh atau pedoman yang lebih konkrit dari pada tingkat teoritis yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun demikian kerangka konsepsionil masih juga kadang-kadang dirasakan abstrak sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang akan dapat dijadikan sebagai pegangan konkrit di dalam proses penelitian. 61 Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, berikut adalah defenisi operasional istilah tersebut. Kata asuransi berasal dari bahasa inggris, insurance, yang dalam Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa popular dan diadopsi dalam Kamus Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”. Jhon M. Echols dan Hassan Shadily memaknai kata insurance dengan (a) asuransi, dan (b) jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan). Dalam “Ensiklopedi Hukum Islam” disebut bahwa : “Asuransi (Ar: at-ta’min) adalah transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban
60
61
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, halaman. 7. Soerjono, Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, 1981, halaman. 133.
memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”. 62 “Muhammad Muslihuddin” dalam bukunya “Insurance and Islamic Law” mengadopsi pengertian asuransi dari “Encyclopaedia Britanica”, yaitu : “Sebagai suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang, yang dapat tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak dapat diramalkan, sehingga bila kerugian itu menimpa salah seorang di antara mereka maka beban kerugian tersebut akan disebarkan keseluruh kelompok”. 63 Sedangkan dalam pandangan “Abbas Salim”, asuransi di pahami sebagai: “Suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai (substitusi) kerugian-kerugian yang belum pasti”. 64 Menurut “Ahmad Azhar Baasyir” yang dimaksud dengan asuransi adalah : “Suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung, mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan
62
63
64
Abdul Azis Dahlan dkk (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 1996, halaman. 38. Muhammad Muslihuddin, Insurance and Islamic Law, (Terjemahan Oleh Burhan Wirasubrata), Menggugat Asuransi Modern : Mengajukan Suatu Alternatif Baru Dalam Perspektif Hukum Islam, Lentera, Cetakan Ke-1, Jakarta, 1999, halaman. 3 ; Lihat juga dalam Encyclopaedia Britanica, Cambridge, Elevent Edition, 1970, halaman. 656. Abbas Salim, Asuransi dan Manajemen Risiko, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, halaman. 1.
yang diharapkan, yang mungkin akan di deritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”. 65 Sedangkan menurut “Fathurrahman Djamil”, asuransi adalah : “Suatu persetujuan, dalam mana pihak yang menanggung berjanji terhadap pihak yang ditanggung untuk menerima sejumlah premi mengganti kerugian yang akan di derita oleh pihak yang ditanggung, sebagai akibat suatu peristiwa yang belum terang akan terjadi” 66 “Radiks Purba” mendefenisikan asuransi sebagai : “Suatu
persetujuan,
dimana
penanggung
mengikatkan
diri
kepada
tertanggung, dengan mendapat premi, untuk mengganti kerugian karena kehilangan, kerugian, atau tidak diperolehnya keuntungan yang diharapkan, yang di derita karena peristiwa yang tidak diketahui lebih dahulu”. 67 Takaful dalam pengertian fikih mu’amalah adalah saling memikul resiko di antara sesama muslim sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko dimaksud, dilakukan atas dasar saling tolong-menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan (tabarru’) yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut. Perjanjian Takaful adalah perjanjian (akad) yang digunakan dalam asuransi takuful pada dasarnya merupakan suatu konsep investasi. Umumnya menggunakan 65
66
67
Ahmad Azhar Baasyir, Takaful Sebagai Alternatif Asuransi Islam, Ulumul Qur’an, 2/VII/96, halaman. 15. Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Logos, Jakarta, 1995, halaman. 133. Radiks Purba, Memahami Asuransi di Indonesia, PPM, Jakarta, 1992, halaman. 40.
konsep akad mudharabah, namun di Indonesia ada yang menggunakan konsep akad lainnya dalam hubungan antara perusahaan asuransi takaful dengan para pesertanya. Perusahaan Asuransi Takaful adalah suatu perusahaan yang berbentuk badan hukum yang mengelola usaha perasuransian berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah hukum
Islam,
sedangkan
Asuransi
Takaful
adalah
merupakan
asuransi
(pertanggungan) yang berbentuk tolong-menolong atau perbuatan kafal, yaitu perbuatan saling tolong-menolong, saling menanggung, saling menjamin antara sesama peserta asuransi atau tertanggung dalam menghadapi suatu resiko yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya.
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain, 68 bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan per-Undang-Undangan yang berlaku, yang berkaitan dengan Perasuransian, sehingga diharapkan dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan mengenai Penerapan Prinsip-Prinsip Kontrak Dalam Pengikatan
68
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, halaman. 38.
Perjanjian Asuransi Takaful. Dilihat dari jenis penelitian ataupun metode pendekatan yang dilakukan adalah yuridis normatif. 69 Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan per-Undang-Undangan yang berlaku. 2. Teknis Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan, baik berupa pengetahuan ilmiah maupun sesuatu fakta atau gagasan, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. Studi Kepustakaan (Library Research), yang merupakan pengumpulan datadata yang dilakukan melalui literatur atau dari sumber bacaan berupa bukubuku, Peraturan per-Undang-Undangan dan bahan bacaan lain yang terkait dengan penulisan tesis ini untuk digunakan sebagai dasar ilmiah pembahasan materi. b. Studi Lapangan (Field Research), yaitu dengan melakukan wawancara dengan nara sumber dan praktisi asuransi syari’ah (takaful). Metode yang digunakan yaitu wawancara (depth interview) secara langsung kepada responden 70 dan
69
70
Roni Hantijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Penerbit Ghalia Indonesia, Semarang, 1998, halaman. 11. Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman. 71, menyatakan responden merupakan pemberi informasi yang diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan.
informan 71
dengan
menggunakan
pedoman
wawancara
yang
telah
dipersiapkan terlebih dahulu. 3. Bahan Penelitian a. Bahan Hukum Primer, bahan hukum yang mengikat, berasal dari UndangUndang dan Peraturan-Peraturan seperti : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Tentang Asuransi atau Pertanggungan seumumnya, Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor : Kep. 4499/LK/2000 Tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syari’ah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.06/2003 Tentang Perizinan Usaha Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) Nomor : 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia Nomor. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.
71
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, halaman. 4, menyebutkan informasi adalah sumber informasi untuk pengumpulan data. Informan juga dapat didefenisikan sebagai orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan masalah objek penelitian.
b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum Primer, seperti : Buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, pendapat para sarjana dan lain sebagainya. c. Bahan Hukum Tertier (Penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus umum Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, internet, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan. 4. Alat Pengumpulan Data Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Studi Dokumen yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen, pengikatan perjanjian dan kontrak-kontrak asuransi syari’ah (takaful). Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting. 2. Pengamatan (observasi), pengamatan ini dipergunakan dengan tujuan untuk menambah kejelasan yang jujur dan seksama atas situasi tertentu sehingga mendapatkan perimbangan sejumlah data yang objektif. 3. Wawancara 72 dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide). 73
72
73
Herman Warsito, Loc.cit., yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpulan data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responde (interview) pedoman wawancara dan situasi wawancara. Ibid, halaman. 76, menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara, mengenalkan masalah penelitian yang biasanya dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan. Isi pertanyaan yang peka dan tidak menghambat jalannya wawancara.
5. Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis data secara kualitatif dan kuantitatif, yaitu mengumpulkan data atau semua data yang terkumpul diseleksi, ditabulasi, diklasifikasi lalu menganalisis data, dan kemudian dianalisis dengan menafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan logika berfikir secara deduktif dan induktif yaitu yang pembahasannya dimulai dari mengenai hal-hal yang umum sampai kepada hal-hal yang khusus, sehingga pada gilirannya dapat ditarik suatu kesimpulan, dan dipresentasekan dalam bentuk deskriptif dalam rangka menjawab permasalahan hukum yang menjadi objek penelitian.
H. Jadwal Rencana Penelitian Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 4 (empat) bulan agar dapat dilaksanakan secara maksimal dan diharapkan dapat selesai tepat pada waktunya, dengan alokasi dan waktu penelitian adalah sebagai berikut : 1. Tahap Persiapan
: 1 (satu) bulan.
2. Tahap Penelitian Lapangan
: 1 (satu) bulan.
3. Tahap Analisa dan Penulisan Laporan
: 2 (dua) minggu.
4. Seminar, Laporan Akhir dan Penggandaan : 2 (dua) minggu.