BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya air untuk pertanian perlu diperhatikan agar kinerja
sektor pertanian dapat terus berjalan dengan baik. Salah satunya adalah pengelolaan kuantitas air untuk penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air untuk menunjang pertanian sebagai antisipasi kebutuhan air di masa mendatang. Tanaman di Indonesia seperti padi, tebu, dan palawija hanya dapat hidup jika airnya mencukupi (Bardan, 2014: 34). Pemberian air berperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Jika tanaman kekurangan air, pertumbuhannya akan terhambat. Untuk itu diperlukan pengairan buatan yang sesuai dengan kebutuhan. Pembangunan proyek irigasi adalah salah satu usaha pemerintah mengelola sumberdaya air untuk pertanian. Di seluruh dunia pelaksanaan pertanian irigasi adalah umum di daerah semi kering (Merchan dkk., 2015). Air irigasi diadakan dan diatur secara buatan untuk menunjang kegiatan pertanian. Pembangunan proyek pertanian untuk irigasi antara lain bangunan bendung di badan sungai atau bendungan serta jaringan irigasinya. Bangunan tersebut dalam perencanaan pembangunannya bisa saja mempunyai manfaat ganda. Berdasarkan tujuan pembangunannya, bangunan dapat dibedakan menjadi bangunan tujuan tunggal (single purpose) dan bangunan serbaguna (multi purpose). Bangunan tujuan tunggal dibuat untuk memenuhi satu tujuan saja, misalnya bendungan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), irigasi, pengendalian banjir, perikanan darat atau tujuan lainnya, tetapi hanya untuk salah
1
satu tujuan saja. Bangunan serbaguna dibuat untuk memenuhi beberapa tujuan misalnya bendung untuk irigasi dan pengendalian dasar sungai, atau bendungan untuk pengendalian banjir, PLTA, irigasi, air minum, pariwisata, dan lain-lain (Soedibyo, 2003:3). Menurut Thoengsal (2014), istilah bendung dan bendungan sering diartikan sama, namun terdapat perbedaan dan persamaannya. bendung (weir) dan bendungan (dam) berbeda berdasarkan ukuran dan fungsinya. Kesamaan dari bendung dan bendungan yaitu keduanya merupakan bangunan air yang dibuat melintang pada badan sungai. Bendung
merupakan
bangunan
air
yang
berfungsi
meninggikan/
meningkatkan muka air sungai yang melewati puncak bendung atau mercu. Bendung pada dasarnya bangunan air yang dibuat melintang di atas badan sungai. Ukuran bendung jauh lebih kecil dibandingkan bendungan dan tinggi bendung umumnya kurang dari 15 meter dari dasar bendung. Fungsi dari bendung selain menaikkan muka air sungai juga berfungsi sebagai tempat pengambilan air (intake) untuk sistem irigasi persawahan, pembangkit listrik dan sebagai bangunan pengukuran debit aliran sungai (Thoengsal, 2014). Bendungan atau waduk merupakan bangunan air yang melintang pada badan sungai dengan fungsi sebagai penahan/pembendung suatu sumber air (reservoir). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan definisi bendungan adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan
2
dan menampung air, dapat pula dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing), atau menampung lumpur sehingga terbentuk waduk. Pembangunan bendung untuk irigasi dilakukan sebagai perlakuan (treatment) agar sawah pertanian mendapatkan cukup pasokan air dengan mudah. Sebagai penunjang pembangunan di bidang pertanian, tujuan utama pembangunan bendung adalah memperluas areal irigasi sehingga dapat meningkatkan intensitas tanam. Keberadaan fasilitas irigasi yang memadai ini selanjutnya akan memberikan tambahan manfaat yang akan meningkatkan hasil produksi pertanian, mengurangi biaya produksi pertanian, dan meningkatkan perekonomian masyarakat secara keseluruhan (Dumairy, 1992: 56). Beberapa lokasi di seluruh dunia menunjukkan adanya peningkatan produktivitas, stabilitas tanaman dan keragaman pada wilayah transformasi daerah tadah hujan ke daerah pertanian irigasi (Merchan dkk., 2015). Pembangunan proyek infrastruktur seperti irigasi pertanian, selain memberikan manfaat utama juga ada tambahan manfaat berupa aliran kas masuk selama waktu tertentu di masa mendatang, penghematanpenghematan maupun perbaikan atau peningkatan efisiensi. Pembangunan itu menjadi multiplier effect terhadap perekonomian (Reksohadiprodjo, 2001: 47). Gertler dkk. (2011: 3), menyatakan bahwa program pembangunan dan kebijakan pemerintah biasanya dirancang untuk mengubah kondisi yang ada menjadi lebih baik. Program pembangunan aset publik bidang pertanian oleh pemerintah diharapkan menghasilkan perubahan seperti penambahan luas area tanam, peningkatan intensitas tanam, naiknya produksi pertanian, pengurangan biaya produksi, dan sebagainya. Pembangunan ini sebagai salah satu upaya
3
pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan Untuk melihat apakah perubahan dicapai seperti yang diinginkan merupakan salah satu hal yang perlu dievaluasi. Evaluasi dilakukan untuk melihat dampak dari adanya program yang telah dilaksanakan. Pendekatan ini dikenal dengan evaluasi dampak (impact evaluation). Fokus perhatian evaluasi dampak adalah pada perubahan hasil (outcome) yang terjadi. Lebih lanjut Gertler dkk. (2011: 4), menjelaskan bahwa evaluasi dampak dapat digunakan sebagai bukti yang kuat dan kredibel apakah program tertentu mencapai hasil yang diingikan. Selain itu, evaluasi dampak dapat digunakan sebagai salah satu alat yang memberikan pengetahuan mengenai efektivitas program pembangunan. Evaluasi dampak digunakan untuk menilai perubahan yang terjadi dalam kesejahteraan individu yang dikaitkan karena adanya proyek, program,
atau
kebijakan
tertentu.
Perubahan
yang
terjadi
umumnya
memperkirakan dampak rata-rata bagi penerima manfaat. Dalam konteks bidang pertanian seperti pembangunan bendung untuk menunjang sistem irigasi, evaluasi dampak memperkirakan perubahan rata-rata pada penambahan luas area tanam. Salah satu metodologi yang digunakan dalam evaluasi dampak adalah difference in differences atau double difference. Metode ini adalah alat untuk mengestimasi dampak yang terjadi dengan membandingkan peserta (participants) dan bukan peserta (non participants) sebelum (before) dan sesudah (after) intervensi (Khander dkk., 2010: 72). Metode ini menghitung perbedaan antara hasil rata-rata dari daerah yang terkena program (peserta) dengan daerah yang
4
tidak mendapat program (bukan peserta) sebelum dan sesudah program. Hasil akhir dari metode ini berupa dampak neto. Suparmoko (2009: 9) menyatakan bahwa identifikasi dampak secara fisik akan memberikan manfaat analisis yang lebih tinggi apabila dampak tersebut dapat dinyatakan dalam nilai rupiah. Penilaian atau Valuasi ekonomi dapat dilakukan setelah evaluasi dampak suatu kegiatan dilakukan. Penilaian ini menghasilkan indikasi nilai atau rasio yang digunakan untuk menyatakan apakah suatu kebijakan atau kegiatan itu layak atau tidak layak. Hal ini menjadi alasan penting untuk melakukan penilaian karena berkaitan dengan kebijakan ekonomi makro, dan bagi keputusan alokasi faktor produksi demi efisiensi pada tingkat mikro. Untuk mendapatkan indikasi nilai ekonomi bendung, salah satu metode dalam penilaian adalah metode kapitalisasi langsung (direct capitalization method). Metode ini mengubah suatu estimasi pendapatan tahunan tunggal menjadi indikasi nilai. Pengubahan ini dilakukan dengan membagi estimasi pendapatan dengan tingkat kapitalisasi yang pantas dan tepat (Prawoto, 2003: 427). Tingkat kapitalisasi yang digunakan memperhatikan bahwa bendung adalah bangunan publik milik pemerintah yang memberikan manfaat sosial. Nilai pendapatan yang dipakai adalah besarnya pendapatan dari sektor pertanian yang bertambah seluas dampak neto pembangunan bendung. Metode difference in differences dipakai untuk menghitung dampak neto pembangunan bendung. Metode ini sebagai proxy dalam pendekatan pendapatan
5
untuk menghitung pendapatan dari dampak neto yang dihasilkan karena adanya bendung. Pengelolaan air untuk irigasi pertanian melalui suatu jaringan irigasi, secara teknis cukup rumit dan didasarkan pada kolektivitas serta solidaritas sosial. Sunaryo dkk. (2005: 3), menyebutkan bahwa untuk membendung air dari suatu sumber,
kemudian
mengalirkannya
lewat
parit-parit
terbuka,
serta
membagikannya ke sawah-sawah, diperlukan disiplin dan kerjasama. Oleh karena itu, pengolahan sawah irigasi harus disertai perkembangan bentuk pemerintahan yang teratur, sekaligus mampu mengatur sistem pemberian air, pembagian tanah, dan pengelolaan panen. Bendung Sapon adalah salah satu aset publik yang membendung aliran Sungai Progo. Bendung ini terletak di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bendung Sapon dibangun untuk mengembalikan fungsi layanan jaringan irigasi yang telah ada dan mengoptimalkan kebutuhan air di Kulon Progo. Pemerintahan Kabupaten Kulon Progo dalam mengelola kegiatan pertanian dan kebutuhan air irigasinya menetapkan kebijakan mengenai pola tata tanam tahunan yang dituangkan dalam Peraturan Bupati Kabupaten Kulon Progo. Peraturan ini dibuat sebagai upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan dengan cara meningkatkan produksi pertanian dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya air, mengembangkan agrobisnis dengan melakukan pemerataan pemanfaatan air irigasi.
6
Dalam mengelola irigasi, Kabupaten Kulon Progo memiliki Pekumpulan Petani Pemakai Air (P3A) yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani pemakai air sendiri secara demokratis. Beberapa P3A kemudian bergabung membentuk Gabungan P3A (GP3A) yang bersepakat dan bekerja sama memanfaatkan air irigasi dan jaringan irigasi pada satu daerah irigasi. Untuk mencapai produktivitas yang optimal disertai dengan penggunaan air, pemerintah menetapkan tata tanam tahunan menjadi 3 Musim Tanam (MT). Skema tata tanam tahunan tahun 2014 dapat dilihat pada Gambar 1.2.
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan ESDM DIY,2015 Gambar 1.1 Skema Tata Tanam DI Sapon Periode Tahun 2014 – 2015
Pada Gambar 1.1, skema tanam padi dibagi menjadi 3 musim tanam yaitu MT 1 tanaman padi, MT 2 tanaman padi, dan MT 3 tanaman palawija. Daerah irigasi Bendung Sapon berada di 3 Kecamatan, yaitu Panjatan, Galur, dan Lendah. Luas sawah di daerah air irigasi dari Bendung Sapon dapat dilihat pada Tabel 1.1. Intake Sapon hanya dibuka untuk tanam padi atau pada saat MT 1 dan MT 2. Intake Sapon tidak dibuka pada saat musim tanam palawija. Penelitian ini menghitung luas sawah untuk tanam padi di daerah yang mendapat irigasi. Wilayah sawah tadah hujan dipilih sebagai counterfactual. Sawah tadah hujan digunakan sebagai kebalikan dari wilayah yang mendapatkan
7
manfaat irigasi dari bendung. Counterfactual ini sebagai pembanding apabila wilayah yang pada saat dievaluasi mendapat manfaat irigasi, tidak mendapatkan manfaat tersebut. Luas sawah tadah hujan di Kecamatan Panjatan, Galur, dan Lendah Kulon Progo pada Tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.1 Luas Sawah di Daerah Irigasi Sapon Tahun 2014 Kecamatan
Luas Sawah Untuk Tanam (Ha) Padi Tebu Musim Tanam I Musim Tanam 2 Panjatan 282 280 0 Galur 1128 1128 36 Lendah 403 399 0 Total 1813 1807 36 Sumber: Peraturan Bupati Kulon Progo No. 29, 2014
Palawija (MT 3) 282 1129 403 1814
Tabel 1.2 Luas Sawah Irigasi Teknis dan Sawah Tadah Hujan di Kecamatan Panjatan, Galur, dan Lendah Tahun 2014 Kecamatan
Luas Sawah Irigasi Teknis (Ha) Panjatan 1.034 Galur 1.169 Lendah 495 Total 2.698 Sumber: Kulon Progo Dalam Angka, 2015
Luas Sawah Tadah Hujan (Ha) 11 6 163 180
Penelitian ini juga membandingkan kondisi sebelum dan sesudah program. Periode waktu sebelum bendung dibangun diambil sebagai kondisi Sebelum (before), sedangkan periode setelah bendung dibangun sebagai kondisi Setelah (after). Sebelum Bendung Sapon dibangun, telah terjadi degradasi Sungai Progo. Air tidak dapat masuk ke intake Sapon pada debit air tertentu di musim kemarau. Dengan adanya pembangunan Bendung Sapon, ketersediaan debit air untuk irigasi persawahan dapat terpenuhi sepanjang tahun. Intake Sapon dibangun pada tahun 1979 oleh proyek irigasi Kali Progo. Agar intake Sapon dapat beroperasi kembali, pada tahun 2005 dimulai pelaksanaan pembangunan Bendung Sapon. Bendung
8
Sapon secara resmi digunakan pada tahun 2010. Grafik debit air Bendung Sapon tahun 2005 – 2014 dapat dilihat pada Gambar 1.2. Pada tahun 2010 jumlah debit air meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
2014 2012
Tahun
2010 2008 2006 2004
2002 2000 0
20
40
60
80
100
120
m3/s Sumber: Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan ESDM DIY,2015 Gambar 1.2 Grafik Debit Air Bendung Sapon Tahun 2000 – 2014
1.2
Keaslian Penelitian Penelitian yang berkaitan dengan bendung maupun sistem irigasi dan
sumberdaya air yang dikelola oleh pemerintah untuk mendukung sektor pertanian pernah dilakukan sebelumnya. Mulangu dan Kraybill (2015), melakukan analisis manfaat-biaya (cost-benefit analysis) pada daerah pengembangan irigasi yang dihadapkan dengan risiko perubahan iklim di Gunung Kilimanjaro, Tanzania, Afrika. Penilaian menggunakan Contingent Valuation Method (CVM) untuk menentukan kesediaan membayar petani Willingness to Pay (WTP). Data untuk dianalisis dikumpulkan dengan menggunakan survei terhadap 225 petani dari 15 desa di sekeliling Gunung Kilimanjaro. Hasilnya petani bersedia membayar antara 7 persen hingga 21 persen dari upah pertanian tahunan untuk mendapatkan irigasi. Hasil ini juga mendukung hipotesis bahwa petani dengan keyakinan risiko yang
9
kuat akan bersedia membayar lebih untuk akses ke perbaikan irigasi. Penelitian ini juga menemukan bahwa peningkatan pendapatan pertanian yang mungkin diperoleh dari perbaikan irigasi akan sama bersarnya dengan biaya membangun skema irigasi minimal setelah 13 tahun, cateris peribus. Michailidis dkk. (2009), menggunakan kombinasi pendekatan real options dan Discounted Cash Flow (DCF) untuk malakukan penilaian sosial-ekonomi pada rencana pembangunan proyek sistem irigasi bendungan Petrenia di Yunani Utara. Konsep real options diperluas dengan DCF untuk mengevaluasi proyek yang lebih fleksibel pada lingkungan investasi yang tidak pasti. Pendekatan ini digunakan karena adanya kelemahan pada teknik DCF tradisional seperti Net Present Value (NPV), rasio biaya-manfaat (B/C Ratio), dan Internal Rate of Return (IRR). Berdasarkan kriteria NPV, rencana pembangunan bendungan Petrenia adalah layak, sedangkan hasil analisis menggunakan kombinasi real option dan DCF menunjukkan bahwa nilai tunda meningkat sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian yang berarti bahwa pembangunan sebaiknya ditunda sampai diperoleh informasi yang lebih baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengabaikan proses real option dapat menyebabkan kesalahan yang signifikan. Merchán dkk. (2015), melakukan penilaian daerah irigasi baru di Lerma Basin, Spanyol selama 10 tahun pengairan untuk efisiensi penggunaan air dan kinerja irigasi. Penilaian dilakukan pada periode sebelum transformasi irigasi tahun (2004 – 2005), selama masa transformasi (2006 – 2008) dan setelah masa transformasi (2009 – 2013) terhadap 55 plot pertanian dan terhadap seluruh lahan yang terairi. Hasil penelitian menunjukkan irigasi menjadi input utama air sebesar
10
60 persen sedangkan evapotranspirasi menyumbang output utama air sebesar 70 persen. Efisiensi irigasi mencapai 76,1 persen, sedangkan kerugian karena penguapan dan aliran angin 13,5 persen dan sebagian kecil drainasi 10,4 persen. Defisit air diperkirakan sebesar 17,8 persen. Efisiensi irigasi meningkat 1,05 persen per tahun, sementara fraksi drainase air irigasi menurun 0,95 persen per tahun. Untuk memcapai penggunaan air yang optimal dibuat desain jadwal irigasi yang memadai dengan memperhatikan tarif irigasi yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dan minimalisasi penguapan serta kerugian karena aliran angin. Kinerja irigasi penting selain untuk mencegah defisit air juga untuk meningkatkan penggunaan sumberdaya air dan mengurangi dampak lingkungan di daerah irigasi. Muchara dkk. (2014), menilai air irigasi bagi petani kentang dalam skema irigasi di Sungai Mooi, Provinsi KwaZulu-Natal, Afrika Selatan. Penelitian menggunakan data primer dan sekunder untuk memperkirakan nilai air bagi petani. Metode yang diterapkan adalah residual value method untuk memperkirakan nilai air antara petani kecil yang berfokus pada tanaman kentang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai air terutama pada petani kecil, dapat mengungkapkan tingkat inefisiensi pemerintah. Hasil penelitian menggambarkan bahwa air yang disediakan secara gratis pada sebagian besar konsumen, pada umumnya akan menyebabkan distribusi air yang tidak merata, manajemen air yang buruk, dan inefisiensi pengunaan air. Nilai air yang negatif juga mengungkapkan rendahnya kinerja petani. Mekanisme cost recovery dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memperkuat kebijakan dan
11
mendorong partisipasi konsumen dalam pengelolaan air dan mendorong petani dalam pengelolaan air irigasi dan efisiensi penggunaan air. Widodo (2008), melakukan penelitian untuk menghitung nilai ekonomi sumberdaya air. Penelitian dilakukan pada Bendung Sungapan yang terletak di Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Data yang digunakan diambil selama periode setelah pembangunan bendung tahun 1999 – 2006 pada wilayah daerah irigasi Bendung Sungapan dan daerah kering di luar wilayah irigasi bendung. Data diolah menggunakan Benefit Cost Analysis dengan metode Residual Imputation Analysis. Pengukuran nilai manfaat biaya dilakukan dengan membandingkan manfaat yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Hasil dari penelitian adalah Bendung Sungapan selama periode 1999 – 2006 telah memberikan manfaat atau keuntungan sebesar Rp599.830,25 per hektar per tahun kepada pemilik lahan. Nilai properti kumulatif menggunakan pendekatan pendapatan adalah Rp102.571.615.504,00. Isnuroso (2010), melakukan penelitian untuk menilai aset publik bendung dan irigasi. Sampel penelitian diambil pada Bendung Nambo dan irigasinya yang terletak di Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Bangunan bendung dan irigasi tergolong properti berkarakter khusus sehingga penilaiannya menggunakan Depreciated Replacement Cost (DRC) dan penyusutan fisik bangunan menggunakan metode garis lurus. Nilai tanah diperoleh menggunakan pendekatan pasar dari data transaksi tanah persawahan dan perumahan. Hasil penelitian mendapatkan kesimpulan bahwa nilai wajar aset Bendung dan Irigasi Nambo per 31 Desember 2009 sebesar Rp22.197.574.385,28.
12
Penelitian untuk menghitung nilai ekonomi bendung, sistem Irigasi maupun sumberdaya air yang dikelola oleh pemerintah untuk menunjang sektor pertanian pernah dilakukan, namun belum ditemukan penelitian mengenai valuasi ekonomi bendung atau aset publik menggunakan pendekatan pendapatan dengan metode difference in differences sebagai proxy-nya. Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah Bendung Sapon yang terletak di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi DI Yogyakarta. Penelitian difokuskan pada manfaat bendung untuk irigasi sawah tanaman padi.
1.3
Rumusan Masalah Difference in differences selama ini digunakan sebagai alat untuk
mengevaluasi dampak suatu proyek, program, atau kebijakan pemerintah. Evaluasi dampak digunakan untuk mengetahui apakah terjadi perubahan seperti yang diinginkan dengan adanya intervensi pemerintah tersebut. Penghitungan dengan metode difference in differences akan menghasilkan besarnya dampak neto perubahan yang terjadi. Metode ini dapat digunakan sebagai proxy pendekatan pendapatan untuk valuasi ekonomi bangunan milik pemerintah dengan menghitung besaran pendapatan dari dampak neto yang dikapitalisasi dengan tingkat diskonto tertentu. Bendung Sapon Kulon Progo adalah aset milik Pemerintah sebagai penunjang pembangunan di bidang pertanian terutama untuk irigasi. Dengan mengkapitalisasi pendapatan sektor pertanian yang dihasilkan dari dampak neto perubahan luas area irigasi tanam padi yang terjadi karena adanya Bendung Sapon, dapat diketahui besaran nilai ekonomi Bendung Sapon.
13
1.4
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah
berapa nilai ekonomi Bendung Sapon Kulon Progo dengan mengaplikasikan metode difference in differences. Metode ini sebagai proxy pendekatan pendapatan menggunakan kapitalisasi langsung.
1.5
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menghitung nilai ekonomi Bendung Sapon
Kulon Progo. Nilai bendung dihitung menggunakan metode difference in differences untuk menentukan dampak atau manfaat yang diterima dari adanya bendung.
1.6
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi kepada:
1. Penilai sebagai referensi dalam melakukan valuasi ekonomi; 2. Pemerintah sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan evaluasi dampak dan menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan dan optimalisasi bendung serta sumberdaya airnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; 3. Peneliti sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya.
1.7
Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini dibagi menjadi lima bab. Bab I Pendahuluan, berisi
uraian mengenai latar belakang, keaslian penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II
14
Landasan Teori/Kajian Pustaka, berisi landasan teori, kajian terhadap penelitian terdahulu, dan model penelitian/kerangka penelitian. Bab III Metode Penelitian, mendiskripsikan mengenai desain penelitian, metode pengumpulan data, definisi operasional, instrument penelitian dan metode analisis data. Bab IV Analisis, berisi gambaran umum objek penelitian, deskripsi data, analisis dampak, dan pembahasan. Bab V Simpulan dan Saran terdiri dari simpulan, implikasi, keterbatasan, dan saran.
15