BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agama sebagai salah satu manifestasi peradaban adalah isu yang selalu tidak ada habisnya untuk dibahas. Kekuatan spiritual dan ajaran masing-masing peradaban menjadi bagian dari pengelompokan kehidupan masyarakat. Meskipun dunia telah bergerak kearah sekulerisme dengan ditandai pemisahan ruang agama dan ruang politik serta meningkatnya jumlah ateisme dan agnotisme, namun diskursus tentang agama tidak pernah berhenti untuk dibahas. Sejarah menunjukkan bahwa agama telah menjadi alat paling sensitif sebagai alasan dalam melegalkan berbagai tindakan dalam lingkungan sosial termasuk peperangan. Perang Salib (crusade) yang sering digambarkan sebagai peperangan dua agama besar yaitu Islam dan Kristen adalah contoh besar perang yang dipicu oleh perbedaan pandangan agama. Perang Salib merupakan serangkaian perang suci yang dilaksanakan oleh paus dengan janji penebusan (indulgensi) bagi mereka yang berjuang di dalamnya yang diarahkan untuk melawan musuh-musuh eksternal dan internal Kristen.i Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk pemulihan properti Kristen dan membela gereja dan orang Kristen di wilayah Eropa dan Timur Tengah. Adapun alasan khusus terjadinya Perang Salib adalah untuk memperebutkan dan mempertahankan Kota Yerusalem yang menjadi asal muasal tiga agama besar di dunia yaitu Kristen, Islam, dan Yahudi. Kota Yerusalem adalah kota yang sangat sakral karena merupakan tempat yang dianggap suci.ii
Perang suci berakhir dengan perang gila-gilaan. Para ksatria salib akhirnya kalah pada perang salib VII dan ditandai dengan kemunduran pasukan salib dari Timur Tengah. Setelah perang salib berakhir, penganut agama Kristen, Islam, dan Yahudi bisa melakukan ziarah ke situs-situs suci di Yerusalem, namun bukan berarti bahwa diskursus agama dan sentimen perang salib sudah berakhir. Perang salib masih sering disinggung ketika kedua kawasan sedang berkonflik yaitu Negara Barat dan Timur Tengah. Peristiwa yang terjadi pada abad pertengahan tersebut telah meninggalkan kesan yang sangat kuat, kesan yang selanjutnya mempengaruhi hubungan Barat dan dunia Islam di kemudian hari. Perang Salib beserta pemikiran-pemikirannya telah mengonstruksi citra dunia Islam di mata Barat dan begitu pula sebaliknya. Akhirnya, Perang Salib telah melahirkan perasaan saling tidak percaya serta salah paham yang tidak berkesudahan. Bahkan tindakan terorisme banyak dihubungkan dengan identitas agama tertentu, sehingga banyak menuai respon yang beragam diantara pemeluk agama. Pernyataan Bush, menyusul peristiwa 11 September 2001 dengan istilah Perang Salibnya telah membuktikan kuatnya bekas peristiwa itu dalam benak Bangsa Barat. Amerika Serikat sebagai representasi negara-negara Barat adalah negara yang terlihat masih begitu agresif dalam membawa isu perang salib sebagai sebuah isu yang tidak ada habisnya. Dalam konstitusi Amerika, pengakuan terhadap Ketuhanan dan pengakuan kebebasan beragama tercantum dalam Bill of Rights. Amerika Serikat adalah negara yang menyatakan bahwa agama merupakan konsep yang harus dipisahkan dari konsep politik. Secara umum pemisahan tersebut berasal dari konsep Thomas Jefferson yang berbunyi separation of church and state atau pemisahan gereja dan negara. Hal ini dimaknai bahwa negara Amerika
bukan negara yang berlandaskan agama sehingga tidak boleh ada intervensi dari agama manapun terhadap hukum dan pemerintahan di Amerika atau bisa dikatakan sepenuhnya sekuler.iii Namun demikian jika dilihat dalam politik praktis Amerika adalah salah satu negara sekuler yang masih dibalut diskursus agama.iv Beberapa presiden Amerika Serikat sering menggunakan atribut dan simbol agama dalam kebijakannya, termasuk John Adams, John F. kenndedy, Bill Clinton, dan George W. Bush dan lain sebagainya.v Amerika Serikat adalah negara yang didirikan oleh kaum puritanisme dan kaum peziarah (father’s pilgrims) yang meninggalkan kegelapan dunia lama di Eropa dan kemudian berlayar untuk menemukan tanah perjanjian. Pelayaran ke dunia baru adalah visi modern dari tujuan-tujuan ilahi, sebuah bangsa yang menemukan suatu komunitas kristiani di alam terbuka dan menjadi lentera penerang dunia. John Winthrop yang adalah salah satu pendeta kaum puritan menyatakan sebuah konsep City upon a Hill. Kota diatas bukit atau City upon a Hill adalah ungkapan dari perumpamaan garam dan terang dunia dalam khotbah Yesus. Ayat Alkitab yang menjadi fondasi konsep ini adalah Matius 5:14 yang menyatakan “Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak diatas gunung tidak bisa tersembunyi. Dalam New International Version dinyatakan “You are the light of the world. A city that is set on a hill cannot be hidden.”vi Khotbah Winthrop ini memunculkan keyakinan luas bagi rakyat Amerika bahwa Amerika adalah negara Tuhan yang diberkati serta merupakan lentera penerang dunia. Doktrin ini sangat berpengaruh dalam keberlangsungan politik Amerika Serikat dan bahkan disebut bahwa doktrin ini menjadi awal eksepsionalisme Amerika.
Namun dari sekian presiden yang sarat dengan simbol agama, Presiden George W. Bush (selanjutnya disebut Bush) dapat dikategorikan sebagai pemimpin yang paling fenomenal dengan simbol-simbol agamanya. Bush juga adalah pemimpin yang secara eksplisit mendukung konsep City upon a Hill, yang tentunya juga merupakan keberpihakan pada kampanye demokratisasi. Dalam penggunaan simbol-simbol agama, Bush memiliki gaya yang unik dalam mengaplikasikannya di dalam kebijakan luar negerinya. Pada awal pemerintahannya sebagai presiden, Bush menyampaikan pernyataan yang sarat dengan simbol agama dalam sebuah wawancaranya. Bush menyatakan kepada James Robinson, seorang jurnalis Amerika, demikian: I feel like God wants me to run for president. I can’t explain it, but I sense my country is going to need me. Something is going to happen, I know it won’t be easy on me or my family, but God wants me to do it.vii Pernyataan ini mengindikasikan sebuah legitimasi dari Tuhan untuk Bush yang memimpin negara Amerika. Bush hendak menyatakan bahwa apapun yang terjadi di Amerika kelak ketika Bush memimpin adalah sebuah keadaan yang ditentukan dan dilegitimasi Tuhan. Pada tahun 2004, dalam sebuah pernyataannya saat diwawancarai, Bush kembali mempertegas makna City upon a Hill dengan menyatakan “Like generations before us, we have a calling from beyond the stars to stand for freedom. This is everlasting dream of America.”viii Bush terlihat sangat percaya diri untuk menyatakan bahwa Bush adalah orang pilihan Tuhan sebagai presiden dan Bush juga menyampaikan bahwa negara Amerika adalah bangsa pilihan Tuhan yang mendapat otoritas Tuhan sepenuhnya.
Kemudian, uniknya momentum peristiwa penyerangan World Trade Center dan Pentagon atau yang lebih dikenal dengan peristiwa 11 September 2001 menjadi momen paling penting dalam penggunaan simbol-simbol agama dalam rezim Bush. Peristiwa penyerangan 11 September 2001 dipercaya oleh Bush sebagai sebuah tindakan yang mengubah wajah Amerika. Pemerintah dan masyarakat Amerika serta sebagian masyarakat dunia mempercayai bahwa peristiwa ini merupakan ulah kelompok anti Amerika atau teroris kelas atas yang disinyalir kelompok Al-Qaeda, yaitu kelompok radikal dari Timur Tengah. Timur Tengah menjadi kawasan yang sangat krusial bagi Amerika Serikat setelah peristiwa 11 September 2001. Pasca peristiwa serangan 11 September 2001 intensitas penggunaan simbol agama dalam kebijakan luar negeri Bush semakin meningkat, bahkan hampir tidak satupun pidato kenegaraan dilewatkan Bush tanpa memasukkan simbol-simbol agama berupa cuplikan Alkitab dan perumpamaan-perumpamaan Agama Kristen. Simbol-simbol agama yang digunakan Bush terlihat sangat spontan dan memiliki pemaknaan yang terkadang sangat krusial dalam memandang peristiwa menegangkan yaitu serangan 11 September 2001. Berdasarkan latar belakang peristiwa perang salib dan hubungan Timur Tengah dan Amerika Serikat yang terlihat rumit, timbul sebuah pernyataan besar terkait alasan yang mendorong Bush menggunakan simbol-simbol agama dalam kebijakan luar negerinya dikawasan Timur Tengah khususnya Afghanistan dan Irak. Dalam hal ini muncul asumsi terkait pengaruh dendam masa lalu atas perang salib atau justru hanya disebabkan oleh perkembangan kepentingan Amerika Serikat di Timur tengah.
B. Rumusan dan Batasan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang masalah tersebut maka yang menjadi rumusan masalah dalam karya ilmiah ini adalah: Mengapa dan bagaimana George Walker Bush menggunakan simbol-simbol agama dalam kebijakan luar negerinya pasca serangan 11 September 2001. Penelitian ini dibatasi dalam lingkup yang terkait dengan pemaknaaan simbol-simbol agama dalam bentuk pengutipan ayat-ayat alkitab, syair lagu rohani, dan penggunaan metafora (frase-frase) Kristen. Simbol-simbol agama yang diteliti adalah simbol agama dalam pidato, wawancara serta pernyataan resmi Bush. Untuk kebijakan luar negeri yang akan dibahas adalah kebijakan luar negeri Bush pasca peristiwa serangan 11 September 2001 dengan fokus pada dua Negara yaitu Afghanistan dan Irak. C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan a. Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaknai simbol-simbol agama yang digunakan Bush dalam kebijakan luar negerinya terhadap Afghanistan dan Irak pasca penyerangan World Trade Center dan Pentagon pada 11 September 2001. b. Tujuan Khusus a. Menguraikan simbol-simbol agama yang digunakan Bush dalam kebijakan luar negerinya b. Membahas mengenai faktor pendukung pembuatan kebijakan luar negeri Bush
c. Menguraikan alasan penggunaan simbol-simbol agama dalam kebijakan luar negeri Bush d. Menguraikan dampak penggunaan simbol-simbol agama dalam kebijakan luar negeri Bush
2. Manfaat a. Manfaat Akademis Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan hubungan internasional di bidang analisis kebijakan luar negeri dan analisis pengaruh kepercayaan (agama) dalam bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan keamanan. Khususnya bagi mahasiswa-mahasiswi hubungan internasional, karya ilmiah ini diharapkan dapat menumbuh-kembangkan wawasan tentang studi simbol dan variasi analisisnya. Banyak simbol-simbol yang penuh makna yang bisa dianalisis dalam kontelasi perpolitikan hubungan internasional. Bahkan kerap kali simbol dijadikan sebagai alat komunikasi politik. Simbol-simbol ini perlu mendapatkan analisis lebih jauh karena bisa memiliki makna yang lebih luas dari yang bisa dilihat dengan kasat mata. b. Manfaat Praktis Secara praktis penulisan karya ilmiah ini bisa menjadi masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk dapat menambah sumbangsih pengetahuan dan pemahaman mengenai perilaku politik aktor individu dalam mempengaruhi konstelasi hubungan
internasional. Dalam dunia internasional terdapat aktor-aktor yang memainkan peran penting termasuk kepala negara yang menjadi pucuk pemerintahan suatu negara. Pemimpin memiliki gaya dan kebijakan masing-masing dalam memimpin negaranya sehingga setiap rezim memiliki ciri khas sendiri. Dalam hal inilah maka kebijakan sebuah rezim menjadi penting untuk dianalisis untuk melihat pola perilaku kepemimpinan dan motif dibalik gaya kepemimpinan tersebut. D. Studi Literatur Pembahasan mengenai pengaruh simbol-simbol agama dalam kebijakan rezim Bush telah dibahas dalam beberapa buku dan artikel ilmiah. Artikel ilmiah yang ditulis John B. Judis adalah artikel yang mengembangkan pendapat bahwa Bush memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Artikel ini berjudul The Choosen Nation: The influence of Religion on US Foreign Policy yang menyimpulkan bahwa diantara presiden-presiden Amerika Serikat yang religius, Bush adalah yang paling fenomenal. Hal ini disampaikan dengan argumen bahwa jika dibandingkan anatara Bush dengan presiden-presiden lainnya ditemukan kesimpulan bahwa dalam pemerintahan Bush konsep keagamaan tidak hanya membentuk tujuan akhir yang akan dicapai tetapi juga mewarnai cara pandang Bush dalam melihat relitas dan dalam proses mengambil keputusan.ix Artikel ilmiah kedua yang menjadi bahan dasar penelitian ini adalah Presidential Rhetoric: How John Adams and George W. Bush Used Religion to Effectively Communicate with Their Respective Constituency yang ditulis oleh Beth Fisher. Beth Fiser melakukan analisis komunikasi terkait bagaimana John Adams dan Bush menggunakan retorika agama Kristen
sebagai alat retoris dan politik untuk memfasilitasi persatuan nasional untuk agenda Adams dan Bush. Penelitian ini difokuskan pada cara komunikasi kedua presiden ini yang membawa agama masuk dalam retorika nasional sehingga bisa mempengaruhi pandangan politis masyarakat Amerika Serikat.x Dalam artikel ilmiah ketiga, hubungan antara religiusitas Bush dengan sebuah kebijakannya dibahas dalam khasanah yang kental hubungannya dengan lingkungan. Artikel ilmiah ini berjudul The Theology of George W. Bush and His Environmental/Conservation Policy yang ditulis oleh Edward T. Wimberley. Artikel ini mengevaluasi pengembangan spiritual Bush untuk mewujudkan tema-tema teologis seperti call dan mission dan visi Amerika Serikat sebagai a shining city on a hill. Pandangan Religiusitas serta nilai-nilai konservasi presiden ini kemudian diterapkan dan tercermin dalam inisiatif dan kebijakan lingkungan Amerika Serikat.xi Artikel ilmiah selanjutnya adalah karya Amy E Black yang berjudul With God on our side: Religion in George W. Bush’s Foreign Policy Speeches. Amy memaparkan berbagai penemuan terkait relasi agama dengan pidato-pidato yang disampaikan oleh Bush selama menjabat sebagai presiden Amerika. Hal penting yang ditemukan dalam artikelnya adalah, pertama, banyak bukti menunjukkan bahwa presiden telah lazim mengutip Alkitab dan rutin membangkitkan citra agama dalam pidato serta pernyataan resmi mereka tetapi Bush memiliki intensitas yang tertinggi dalam mengutipnya dan menggunakannya. Kedua, Bush adalah pemimpin arogan yang tidak pernah mengakui tindakannya yang terkesan salah sebagai kesalahannya. Justru seringkali, Bush memberi alasan bahwa setiap tindakannya
mengikuti perintah ilahi yang telah diterima oleh Bush setelah mengalami kelahiran kembali (born again). Dalam penemuan ketiga, Amy menguraikan alasan mengapa Bush menunjukkan identitas agamanya secara eksplisit kepada khalayak banyak dan bahkan masyarakat internasional. Adapun beberapa motivasi Bush adalah, pertama, keinginan Bush dalam menarik dukungan basis pemilihnya dari kaum Evangelis Amerika Serikat yang jumlahnya tergolong masif. Hal ini terbukti dalam pemilihan periode kedua, pemilih Evangelis dan golongan kaum agamawi yang memberi dukungan besar semakin meningkat terhadap Bush. Kedua, tanpa berpretensi mengetahui pemikiran Bush namun bukti menunjukkan bahwa Bush menggunakan retorika agama setidaknya dalam beberapa tingkat adalah untuk menunjukkan pendirian keyakinan dan keteguhan agama pribadinya. Kaum oposisi dan pendukung sama-sama setuju bahwa presiden tampaknya menjadi mukmin sejati (true believer) yang menyatakan diri sudah terlahir kembali dan menjadi ciptaan yang ilahi.xii Penemuan dalam artikel ilmiah ini dianalisis dengan menggunakan teknik analisa data yaitu konten analisis dan menggabungkan dengan semiotika. Teknik ini diaplikasikan kepada kedua pidato Bush yaitu pidato inaugurasi pada 20 Januari 2001, dan pidato pada 11 Maret 2002 yaitu pidato setelah terjadinya peristiwa 9/11. Berdasakan penemuan-penemuan dalam artikel ilmiah tersebut maka karya ilmiah ini disajikan sebagai kelanjutan dari penelitian-penelitian tersebut dengan mengubah sudut pandang kebijakan dari domestik menjadi kebijakan luar negeri. Selain itu retorika agama yang dibahas dalam penelitian ini adalah simbol agama dalam bentuk kutipan alkitab dan
perumpamaan-perumpamaan Kristen. Selanjutnya, kawasan yang menjadi sasaran dari penggunaan simbol-simbol agama dalam kebijakan luar negerinya adalah dua negara yang disinyalir menjadi negara yang bertanggung jawab atas peristiwa serangan 11 September yaitu Afghanistan dan Irak. E. Kerangka Konseptual 1. Benturan peradaban (Clash of Civilization) oleh Samuel P Huntington Adalah karya Samuel P Huntington Clash of Civilization yang menjadi rujukan utama bagi paradigma kebijakan politik hampir di seluruh dunia saat ini. Adapun hipotesis benturan peradaban yang dikemukakan oleh Samuel Huntington adalah bahwa sumber fundamental dari konflik dalam dunia baru, dimana yang dimaksud adalah dunia pasca perang dingin pada dasarnya tidak lagi ideologi atau ekonomi, melainkan budaya atau lebih spesifiknya adalah peradaban. Masa Perang Dingin adalah konflik antara dua negara super power yang tidak lagi mendefinisikan diri masing-masing sebagai negara bangsa dalam pengertian klasik, tetapi mendefinisikan identitas masing-masing atas dasar ideologi yang mereka anut yaitu komunis dan demokrasi liberal. Sementara untuk saat ini dan di masa depan, budaya akan memilahmilah manusia dan menjadi sumber konflik yang dominan. Pada akhirnya konflik politik global yang paling prinsipil yang terjadi antar bangsa dan antar kelompok adalah karena perbedaan-peradaban mereka. Konflik peradaban akan menjadi fase terakhir dari evolusi konflik dalam dunia modern.
Peradaban adalah suatu entitas budaya. Huntington mendefinisikan lebih rinci lagi bahwa peradaban adalah pengelompokan tertinggi dari orang-orang yaitu tingkat identitas budaya paling luas yang dimiliki oleh orang sehingga membedakannya dari spesies lain. Ia dibatasi oleh unsur-unsur objektif, yaitu, bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, lembagalembaga dan juga dibatasi unsur subjektif yaitu identifikasi diri dari orang-orang tersebut. Budaya dalam hal ini diwakili oleh berbagai wilayah, baik desa, daerah, kelompok etnis, kebangsaan, kelompok agama dan lain-lain yang semuanya mempunyai tingkat keragaman budaya yang berbeda-beda. Huntington mencatat ada sembilan peradaban besar di dunia yaitu: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Cina, Amerika Latin, Kristen Ortodoks, dan Afrika. Dari pengertian peradaban yang diambil Huntington, dapat disimpulkan bahwa ia sebenarnya mencampur adukkan berbagai macam ukuran dalam memilah peradaban, antara lain dimensi letak atau posisi wilayah (Barat), dimensi ajaran (Konfusius), dimensi etnis (Slavia), dimensi negara (Jepang), dimensi agama (Islam) dan dimensi benua (Afrika). Samuel P. Huntington menyampaikan hipotesis melalui pendekatan sivilisasional dengan memberikan asumsi bahwa: a. Kekuatan-kekuatan integrasi dunia ini adalah nyata dan apa yang secara tepat kita sebut sebagai penegasan kultural, dan kesadaran sivilisasional. b. Dunia, dalam pengertian tertentu, adalah dua, tetapi terdapat perbedaan nyata antara barat sebagai peradaban yang dominan dengan peradaban peradaban lainnya, yang bagaimanapun juga memiliki sedikit perbedaan antar masing-masing
perdebatan tersebut. Jelasnya dunia terbagi antara barat yang satu dan non-barat yang banyak. c. Negara-negara bangsa adalah dan akan tetap sebagai aktor-aktor dalam urusanurusan dunia, tetapi kepentingan-kepentingan, asosiasi-asosiasi dan konflik-konflik yang terjadi diantara mereka lebih disebabkan oleh faktor-faktor kultural dan sivilisasional d. Dunia, sungguh anarkis, penuh dengan pertikaian-pertikaian antar suku dan antar bangsa, tetapi konflik-konflik yang paling berbahaya bagi stabilitas adalah konflik antar-Negara atau berbagai kelompok yang berasal dari peradaban yang berbeda. Secara tegas, Huntington mengemukakan ada enam alasan pokok mengapa benturan peradaban menjadi sumber konflik utama di masa paska perang dingin. Alasan pertama, adalah kenyataan bahwa perbedaan antar peradaban tidak hanya riil, tapi juga mendasar. Peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting lagi, agama. Perbedaan agama melahirkan perbedaan dalam memandang hukum manusia dengan Tuhan, individu dan kelompok, warga dan negara, hak dan kewajiban, kebebasan dan sebagainya. Perbedaan ini tidak mesti melahirkan konflik, dan konflik bukan berarti munculnya kekerasan. Namun selama berabad-abad dalam catatan sejarah, perbedaan inilah yang menimbulkan konflik yang paling keras dan berkepanjangan. Huntington melihat bahwa sumber utama konflik dalam dunia baru bukanlah ideologi, politik, dan ekonomi, melainkan budaya. Budaya dalam manifestasi yang lebih luas adalah peradaban, suatu unsur yang membentuk pola kohesi, disintegrasi dan konflik. Ia
menilai bahwa perang antar klan, antar suku, antar etnik, antar agama dan antar bangsa merupakan suatu fenomena umum. Perang Dingin adalah penyimpangan sejarah dan tidak substansial serta tak membahayakan. Perang Teluk I, menurut Huntington, adalah perang peradaban pertama pasca Perang Dingin. Meskipun ia mengidentifikasi sembilan peradaban kontemporer, namun hanya dua peradaban yang menjadi favorit pembahasannya yakni Barat dan Islam. Alasan kedua adalah dunia yang makin menyempit mengakibatkan interaksi makin meningkat sehingga pergesekan-pergesekan antar budaya dan peradaban semakin kuat. Alasan ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial dunia yang telah membuat masyarakat tercabut dari identitas lokal dan memperlemah negara bangsa sebagai sumber identitas mereka. Dalam hal ini agama muncul sebagai sumber identitas dan pegangan, sering dalam bentuk gerakan fundamentalisme. Alasan keempat, terjadinya konflik peradaban akibat tumbuhnya kesadaran peradaban akibat benturan dengan dunia Barat yaitu Barat yang sedang berada di puncaknya berhadapan dengan non-Barat yang berkeinginan membentuk dunia dengan cara-cara mereka sendiri (de-westernisasi). Menurut Huntington, de-westernisasi ini justru terjadi di kalangan elit sedangkan proses sebaliknya dapat ditemukan di kalangan rakyat biasa. Munculnya berbagai reaksi anti Barat pada dasarnya disebabkan oleh dominasi dan kecenderungan
Barat
untuk
memaksakan
kehendak
dalam
kancah
perpolitikan
internasional, terutama yang berkaitan dengan masalah demokrasi, Hak Asasi Manusia, maupun lingkungan hidup.
Alasan kelima, karateristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dibanding dengan karakteristik dan perbedaan politik ekonomi. Hungtinton mengatakan bahwa orang bisa menjadi separuh Perancis separuh Arab tetapi sulit untuk menjadi setengah Muslim setengah Katolik. Huntington ingin memperkuat pendapatnya bahwa perbedaan politik ekonomi lebih memiliki dimensi terbuka dibandingkan dengan perbedaan budaya. Alasan keenam, munculnya regionalisme ekonomi yang semakin meningkat. Di satu sisi, regionalisme ekonomi akan memperkuat kesadaran peradaban. Di pihak lain, regionalisme ekonomi hanya bisa berhasil kalau berakar dari budaya yang sama. Faktor ini mungkin faktor yang paling lemah di antara yang lain.xiii Dalam perkembangannya ada hal yang menurut kacamata Barat menjadi sebuah ancaman besar yang harus dipertimbangkan yaitu kebangkitan Islam. Saat ini Islam mulai bangkit kembali dalam satu semangat budaya yang Islami dan memiliki potensi jumlah penganut yang besar, serta memiliki kemampuan untuk memobilisasi penganutnya secara massal. Islam juga seringkali digambarkan sebagai ancaman lipat tiga yaitu ancaman politik, ancaman peradaban, dan ancaman demografi.xiv Secara umum, menurut Huntington, setidaknya terdapat tiga hal kecenderungan yang akan terjadi di masa depan, yaitu: a. Era dominasi Barat yang semakin surut, b. Berkembangnya kekuatan besar baru yang menolak nilai-nilai Barat karena menggunakan norma-norma mereka sendiri, c. Perbedaan peradaban yang semakin jelas karena pengaruh pasar dan media.xv
Kemudian Hungtinton juga menegaskan bahwa telah terjadi konflik berkepanjangan antara dunia Islam dan Barat selama 1300 tahun. Ia menyebutnya sebagai age-old enemies. Penghadapan Islam dan Barat menurut logika bahasa tentu saja aneh dan janggal, sebab Islam adalah nama suatu agama dan Barat adalah penunjuk arah. Islam mestinya dilawankan dengan Kristen, dan Barat dihadapkan dengan Timur. Tetapi istilah Islam dan Barat rupanya sudah memiliki muatan konseptual-ideologis yang sudah memiliki konotasi tertentu. Dewasa ini penggunaan istilah Barat merupakan representasi dari Peradaban Eropa dan Amerika, namun secara historis peradaban Barat menunjuk kepada peradaban Eropa yang berbasis pada kekristenan. Seperti sudah diketahui bersama bahwa interaksi dunia Islam dengan Barat seringkali dikemukakan dalam pengertian yang kontras, bahkan tidak jarang diikuti munculnya stereotip negatif dari kedua belah pihak dan menganggapnya sebagai musuh. Ungkapan-ungkapan seperti orang Kristen melawan orang Islam, salib melawan bulan sabit, agama Kristen melawan agama Islam, dunia Islam adalah ancaman bagi Barat, Barat adalah musuh Islam, adalah cerminan dari interaksi yang beraroma kontras tersebut. Benturan antar peradaban ini bahkan telah dimulai sejak terjadinya perang salib pada tahun 1096 dan berlangsung hingga saat ini. Pandangan Huntington ini kemudian dijabarkan dengan didukung oleh paradigma konstruktivis dan beberapa konsep yang memudahkan menguraikan penemuan simbolsimbol agama dalam kebijakan luar negeri George W. Bush di Timur Tengah yaitu menggunakan paradigma konstruktivis dan dibantu konsep operasional yaitu sekuritisasi dan kebijakan luar negeri.
2. Paradigma Konstruktivisme Konstruktivisme memberikan pandangan umum bahwa sebenarnya sesuatu yang dianggap fakta atau realitas ilmiah itu bukanlah sesuatu yang alamiah. Alamiah dalam arti muncul begitu saja. Realitas sosial tidak muncul secara sendirinya. Ini artinya realitas sosial tidaklah bersifat independen dari segala bentuk interaksi, tetapi juga tidak benar jika realitas ilmiah dianggap sebagai sesuatu yang bersifat nihil atau hanya refleksi dari ide pemikiran manusia. Realitas dunia ini dipandang sebagai hal yang selalu berbasis pada fakta yang secara materi dapat dibenarkan atau tidak secara empiris, namun fakta tersebut tidak menentukan bagaimana manusia melihat realitas sosial. Sebaliknya realitas sosial hanyalah dianggap sebagai hasil dari konstruksi sosial. Begitu pula dengan manusia, bagi konstruktivisme perilaku manusia merupakan hasil dari kebudayaan yang membentuk identitas yakni socially constructed.xvi Adapun asumsi-asumsi dasar dari konstruktivisme adalah: a. Konstruktivis memberi pandangan bahwa realitas dunia ini sebagai sesuatu yang didasarkan oleh fakta yang secara materil bisa ditangkap ataupun tidak oleh panca indera, namun fakta tersebut tidak menuntun atau tidak menentukan bagaimana kita melihat realitas sosial. Sebaliknya realitas sosial menurut konstruktivis adalah hasil konstruksi manusia (konstruksi sosial). b. Dalam pandangan konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada meanings yang muncul dari interaksinya dengan lingkungan internasional. Setiap bentuk tindakan negara, misalnya, melakukan perang atau menjalin hubungan baik, ataupun
memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan hubungan dengan negara lain, semuanya didasarkan meanings (pemahaman) yang muncul dari interaksinya dengan negara-negara atau lingkungan internasionalnya. Tindakan negara terhadap musuh tentu berbeda dengan tindakan terhadap teman. Negara akan memberikan ancaman terhadap musuh dan tentu tidak meakukannya terhadap rekannya. c. Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling memengaruhi itu terbentuklah collective meanings (pemahaman bersama). Pemahaman bersama itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubjektivitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya membentuk tindakan negara. d. Dalam teori konstruktivisme, manusia adalah mahluk individual yang dikonstruksikan melalui realitas sosial. Konstruksi atas manusia melahirkan paham intersubjektivitas. Hanya dalam proses interaksi sosial manusia bisa saling memahami. Interaksi sosial antar individu menciptakan lingkungan atau realitas sosial yang diinginkan. Dengan kata lain, sesungguhnya realitas sosial merupakan hasil konstruksi atau bentukan dari proses interaksi tersebut. Hakekat manusia menurut konsepsi konstruktivisme lebih bersifat bebas dan terhormat karena dapat menolak atau menerima sistem internasional, membentuk kembali model relasi yang saling menguntungkan, atau yang diinginkan berdasarkan peraturan, strukturasi dan verstehen dalam speech acts.xvii
Dalam perkembangannya, konstruktivisme terbagi menjadi dua golongan besar yaitu variasi Amerika Utara dan Variasi Eropa. Variasi Amerika Utara lebih menekankan terhadap peran norma sosial dan identitas dalam membentuk kebijakan luar negeri dan politik internasionalnya. Sementara Varian kedua yaitu varian Eropa lebih banyak menfokuskan pada peran dan penggunaan bahasa, konstruksi linguistik, dan wacana sosial dalam membentuk realita sosial. Tokoh utama dari varian ini adalah Friedrich Kratochwil. Pandangan Kratochwil tersebut menjadi rujukan penulisan karya ilmiah ini. Kratochwil menyampaikan bahwa norma-norma dalam realita sosial dapat terbentuk melalui penggunaan bahasa dan konstruksi linguistik yang melalui intersubjektivitas sehingga dapat membentuk pemahaman bersama.xviii Asumsi dasar dari varian eropa sama dengan asumsi dasar konstruktivisme pada umumnya, hanya objeknya lebih menjuruk kepada penggunaan bahasa dan wacana sosial. Hal ini menjadi relevan terhadap kasus yang dibahas yaitu memaknai kembali simbol-simbol agama dalam kebijakan luar negeri Bush. Simbol yang dibahas adalah kutipan ayat alkitab dan perumpamaan alkitab yang bisa digolongkan dalam bentuk bahasa, linguistik, dan wacana sosial. Simbol-simbol agama Kristen banyak dituangkan Bush dalam membentuk kebijakan luar negerinya, sehingga dalam hal ini perlu dimaknai hubungan antara konstruktivisme dan kebijakan luar negeri. Hal ini memudahkan kita dalam menguraikan masalah yang terjadi yaitu terkait bagaimana simbol-simbol agama digunakan dalam kebijakan luar negeri Bush. Maysam Behravesh telah menulis artikel yang menghubungkan pemikiran konstruktivisme dengan bidang kajian analisis kebijakan luar negeri di blog e-International Relations (e-ir.info)
yang berjudul The Relevance of Constructivism to Foreign Policy Analysis. Ada tiga kontribusi konstruktivisme dalam menganalisis kebijakan luar negeri, yaitu: a. Memahami pelaku atau aktor-aktor birokrasi nasional beserta kepentingannya Kepentingan bukan sesuatu yang lahir secara alamiah namun merupakan sesuatu yang dibentuk. Konstruktivis berusaha untuk memahami bagaimana kepentingan dibangun melalui proses interaksi sosial. Fakta materil memang penting tetapi konteks sosial yang membuat fakta materi itu memiliki makna jauh lebih penting. b. Memahami proses pengambilan keputusan (tawar menawar dan perdebatan) Konstruktivis menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan itu sendiri jauh lebih rumit daripada yang nampak. Aktor-aktor tidak hanya mewakili pandangan atau kepentingan tertentu, tetapi juga menemukan (discover) kepentingannya melalui beberapa proses. Argumen itu sendiri dapat dibentuk dan dilegitimasi oleh wacana sosial yang lebih luas dari yang dapat diwujudkan. c. Memahami interaksi dan hubungan antara sistem internasional dan keadaan domestik (level analisis)xix Maysam Behravesh kemudian mengemukakan relevansi teori Konstruktivisme dengan Analisis Kebijakan Luar Negeri yang dimulai dari kesadaran akan adanya diversitas aktor-aktor pembuatan kebijakan luar negeri hingga ketingkat individu dengan masingmasing kepentingannya, adanya proses komunikasi antar manusia dalam formulasi kebijakan
luar negeri itu sendiri, serta tingkat analisis yang kompleks namun dirangkum ke dalam konsep analisis antar level.xx Pandangan konstruktivisme menyatakan tidak ada yang terjadi secara alamiah begitu juga dengan kebijakan luar negeri tidak hanya berdasar pada hal-hal materil. Berdasarkan asumsi tersebut dapat kita jabarkan bahwa kebijakan luar negeri Bush yang sarat dengan simbol-simbol agama tidak terjadi secara alamiah. Ada dua bentuk konstruksi yang terjadi, pertama, konstruksi nilai-nilai agama dari perang salib dan konsep City Upon a Hill terhadap pandangan Bush dalam politik luar negeri dan terorisme. Kedua, tindakan Bush dalam menggunakan simbol-simbol agama Kristen dapat membentuk pandangan masyarakat bahwa kebijakan luar negerinya adalah kebijakan yang sejalan dengan kehendak Tuhan dan nilai religiusitas yang luhur. Maka yang nanti kita lihat adalah, bagaimana Bush membahasakan kebijakan luar negerinya sehingga bisa membentuk persepsi bersama dalam melihat kebijakan luar negerinya. Sehingga untuk mengetahui makna dibalik penggunaan simbol agama tersebut, dibutuhkan suatu pendekatan interpretative understanding. Interpretasi sendiri dapat dimaknai sebagai pendekatan untuk menganalisis In general, the interpretive approach is the systemic analysis of socially meaningful action through the direct detailed observations of people in natural settings in order to arrive at understandings and interpretations of how people create and maintain their social people definition of it. A person definition of a situation tells him or her how to assign meaning inconstantly shifting condition.xxi Berdasarkan definisi tersebut maka pendekatan interpretative adalah pendekatan yang berupaya menganalisis secara sistematis mengenai gejala sosial yang muncul dari penelitian yang dilakukan secara langsung dengan latar belakang lingkungan yang alami. Penelitian dengan pendekatan ini digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan
bagaimana manuasia membuat dan mendefinisikan keadaan sosial dalam lingkungannya dan menjelaskan perubahan kondisi yang terjadi. Dalam pendekatan ini dapat diketahu bahwa penulis tidak bertindak secara bebas nilai. Penulis dapat dipengaruhi oleh subjektifitas penulis, sesuai dengan asumsinya bahwa “Interpretative research does not try to be value free, this is because interpretative research sees values and meaning infused everywhere in everything.”xxii
3. Konsep Operasional a. Sekuritisasi Menurut Barry Buzan dalam bukunya yang berjudul The Evolution of International Security Studies, sekuritisasi dapat diartikan sebagai upaya seorang aktor politik untuk mentransformasikan suatu isu yang tidak dianggap penting dan mendesak bagi aktor lainnya, menjadi permasalahan yang patut diberi perhatian lebih karena memiliki korelasi dengan bidang keamanan. Sekuritisasi merupakan bentuk ekstrim dari politisasi yang membuat tindakan-tindakan tertentu dilegalkan dengan tujuan menjaga keamanan. Agar tujuan sekuritisasi ini berhasil, maka isu yang diangkat pun harus mendapat persetujuan dan pemahaman yang proporsional oleh aktor-aktor lainnya (audience), baik masyarakat dan parlemen serta negara-negara di dunia.
Menurut Buzan, terdapat setidaknya empat langkah sekuritisasi, yaitu, pertama, adanya speech-act dari aktor sekuritisasi. Langkah ini dapat diartikan sebagai upaya pertama untuk meyakinkan aktor lain mengenai isu yang akan disekuritisasi melalui pidato yang persuasif, asertif, maupun agresif, yang nantinya akan mengungkit referent object atau objek yang akan tersakiti dalam kasus yang akan disekuritisasi. Kedua, identifikasi existential threat. Ancaman-ancaman yang menjadi inti dari permasalahan yang dihadapi harus diidentifikasi kemudian dibentuk suatu skala prioritas perihal siapa yang terlebih dahulu harus diamankan. Kemudian ketiga adalah adanya panic politics atau emergency action. Dalam mengambil keputusan biasanya sebuah tindakan akan disesuaikan dengan isu sekuritisasi yang dihadapi, apakah melalui militer atau bentuk humaniora berupa peraturan. Kemudian yang terakhir adalah adanya institutionalized response yang dilaksanakan baik dalam level domestik maupun internasional. Pada tahapan terakhir ini, aktor sekuritisasi membuat landasan hukum yang formal terkait dengan isu yang sedang dibahas. Suatu tindakan baru dapat dikategorikan sebagai sekuritisasi apabila telah memenuhi keempat indikator tersebut.xxiii Peristiwa 11 September menjadi sebuah isu yang dibahasakan sebagai ancaman terbesar bagi Amerika pada periode George W. Bush. Peristiwa ini membawa perubahan besar pada sistem pertahanan Amerika Serikat. Hal ini menjadi penting terkait bagaimana aktor-aktor pemerintahan Bush dapat membuatnya menjadi isu nasional dan internasional. b. Kebijakan Luar Negeri (Foreign Policy)
Dalam dunia hubungan internasional, kebijakan luar negeri adalah penopang keberlangsungan interaksi negara-negara didalamnya. Kebijakan sendiri dapat didefenisikan sebagai ide atau rencana yang telah disetujui bersama oleh sekelompok orang tertentu, partai politik, ataupun pemerintah. Sementara Kebijakan luar negeri bisa diartikan sebagai seperangkat rencana dan komitmen yang menjadi pedoman bagi perilaku pemerintah dalam berhubungan dengan aktor-aktor lain di lingkungan eksternal. Akhirnya rencana dan komitmen tersebut diterjemahkan ke dalam langkah dan tindakan yang nyata berupa mobilisasi sumber daya yang diperlukan untuk menghasilkan suatu efek dalam pencapaian tujuan.xxiv Dalam pengertian yang lebih kompleks, Holsti menyampaikan defenisi kebijakan luar negeri secara komprehensif sebagai berikut aksi-aksi dan ide-ide yang dibuat oleh para pembuat keputusan untuk memecahkan masalah atau mengembangkan beberapa perubahan di dalam lingkuungan yaitu dalam kebijakan, sikap, tindakan, dan aksi Negara dalam memenuhi kebutuhan nasionalnya dan menjaga dinamika hubungan internasional yang baik sesuai dengan pemahaman unit pengambil keputusan sebauh Negara.xxv Sementara menurut Mark Weber, kebijakan luar negeri dapat pula didefinisikan sebagai berikut: Foreign policy is composed of the goals sought, values set, decisions made and actions taken by states, and national government acting on their behalf, in the context of the external relations of national societies. It constitutes an attempt to design, manage, and control the foreign relations of national societies.xxvi Kebijakan diformulasikan dan diputuskan oleh orang atau badan yang berkuasa atas suatu penentuan keputusan, yang salah satunya adalah presiden. Dalam sebuah negara demokratis terdapat pembagian kekuasaan pemerintah kedalam tiga badan yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yurisdiksi. Lembaga eksekutif biasanya mengusulkan sebuah
kebijakan yang nantinya akan sah apabila disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Namun hal ini tidak seutuhnya harus melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ada beberapa kebijakan yang bisa diambil oleh presiden dan pihak eksekutif yang diatur dalam UndangUndang. Dalam berbagai kasus presiden memegang kendali besar dalam kebijakan luar negeri. Presiden memiliki tugas untuk membuat kebijakan untuk menentukan solusi dari suatu isu, permasalahan, dan tujuan yang ingin dicapai. Sehingga menurut banyak pandangan bahwa suatu kebijakan dalam bidang politik luar negeri identik dengan sikap politik yang dimiliki oleh pemimpin atau rezim yang berkuasa di sebuah negara.xxvii 4. Terminologi a. Simbol Secara etimologis istilah simbol diserap dari kata symbol dalam bahasa inggris dan simbolicum dalam bahasa latin. Sementara dalam bahasa yunani simbol disebut simbolon dan simballo yang memiliki beberapa makna generik, yakni memberi kesan, berarti, dan menarik. Simbol memiliki dua pengertian yang sangat berbeda. Dalam pemikiran dan praktik keagamaan, simbol lazim dianggap sebagai pancaran realitas transenden. Dalam sistem pemikiran logika dan ilmiah lazimnya istilah simbol dipakai dalam arti tanda abstrak. Dalam beberapa pengertian, simbol diartikan sebagai berikut, pertama, simbol adalah sesuatu yang biasanya merupakan tanda yang terlihat yang menggantikan gagasan atau objek. Kedua, simbol adalah kata, tanda, atau isyarat, yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain seperti arti, kualitas, abstraksi, gagasan, dan objek. Ketiga, simbol adalah
apapun yang diberikan arti dengan persetujuan umum dan atau dengan kesepakatan atau kebiasaan. Keempat, simbol sering diartikan secara terbatas sebagai tanda konvensional, sesuatu yang dibangun oleh masyarakat atau individu dengan arti tertentu yang kurang lebih disepakati atau dipakai anggota masyarakat untuk mewakili informasi tertentu.xxviii Manusia mempunyai kecakapan yang aktif dengan menggunakan tanda dan simbol terlebih karena simbol adalah bahasa yang berfungsi sebagai perantara untuk menyampaikan maksud pikiran mereka. Bahasa mempunyai defenisi sistem lambang atau arbiter,yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Simbol sebagai bahasa erat kaitannya dengan cara berpikir seseorang. Pola pikir seseorang terlihat dari caranya membahasakan segala sesuatu. Salah satu bentuk dari proses pemaparan pikiran adalah pidato. Proses pemikiran lain yang dapat dituangkan manusia lewat berbahasa adalah dengan retorika dan propaganda. Sejatinya retorika terkenal dengan seni berbicara. Jika dilihat dari asal kemunculannya, retorika berasal dari bahasa yunani rhetor, dan bahasa inggris orator, yang berarti mahir berbicara dihadapan umum. Menurut Carl I. Hovland propaganda berarti usaha untuk merumuskan secara tegas azas-azas penyebaran informasi serta pembentukan opini dan sikap, yang seringkali propaganda dianggap sebagai sebuah usaha dalam melakukan komunikasi yang bersifat persuasif, direncanakan untuk mempengaruhi pandangan dan tingkah laku individu-individu agar sesuai dengan keinginan dari propagandis.xxix
b. Agama Keyakinan-keyakinan
dan
kelompok
keagamaan
merupakan
fondasi
suatu
kebudayaan. Pandangan-pandangan dunia keagamaan memberikan makna transcendental bagi dunia. Pandangan-pandangan ini terdiri dari nilai-nilai yang menempatkan klaim unik terhadap kebenaran serta merasionalisasi hubungan sosial dan tujuan masyarakat. Nilai-nilai inilah yang menjadi kesatuan agama. Geertz mendefinisikan agama dan pandangan dunia kegamaan sebagai berikut: Agama adalah sebuah sistem simbol yang bertindak untuk menciptakan suasana hati yang aman dan motivasi yang kuat, universal, dan tahan lama pada manusia dengan menformulasikan konsepsi-konsepsi tentang tatanan umum eksistensi dan memberi konsepsi ini suatu aura faktualitas sehingga suasana hati dan motivasi-motivasi tersebut tampak sangat realistis. Apa yang diberikan, apa yang ditakuti, dan dibenci oleh suatu Negara dapat dilihat dalam pandangan duniawinya, dan disimbolkan dalam agamanya, dan pada gilirannya diekspresikan dalam kualitas hidup.xxx Agama mendapatkan kekuatan dan makna politiknya dari keyakinan bahwa yang sakral berada dibelakang norma-norma sosialnya. Orang menjadi lebih dari sekedar manusia biasa ketika ia memiliki komunitas sakral bersama. Orang-orang menjadi berdaya, serta mengembangkan rasa percaya diri untuk bertindak melakukan sesuatu. Agama-agama memerinci tindakan apa yang harus dilakukan, dan keyakinan-keyakina keagamaan menciptakan kewajiban untuk bertindak. Pada hakikatnya agama memiliki fungsi untuk membentuk identitas, menciptakan norma-norma, dan memelihara tapal batas. Namun sangat mungkin, agama mempunyai arti penting yang lebih besar bagi pemeluk agama
daripada sekedar identitas, norma dan tapal batas, karena ia mengklaim jawabnya sebagai sesuatu yang sakral, abadi, penuh dengan makna puncak dari hidup. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Karya ilmiah ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif eksploratif. Kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah. Sementara penelitian eksploratif adalah penelitian yang bertujuan untuk memetakan suatu objek secara relatif mendalam, atau dengan kata lain penelitian eksploratif adalah penelitian yang dilakukan untuk mencari sebab atau hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu dan dipakai manakala kita belum mengetahui secara persis dan spesifik mengenai objek penelitian kita.xxxi Peneliti mengungkapkan penelitian eksploratif ini secara kualitatif. Sugiyono dalam bukunya menyatakan: dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi tetapi oleh spradley dalam Sugiyono dinamakan social situation yang terdiri dari tiga elemen yaitu: tempat, pelaku dan aktifitas. Pada situasi sosial atau obyek penelitian ini penelitian dapat mengamati secara mendalam aktivitas orang-orang yang ada pada tempat tertentu.xxxii 2. Teknik Pengumpulan Data a. Jenis Data Data terdiri dari dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah suatu objek atau dokumen original serta material mentah dari pelaku yang disebut first-hand information. Data primer dalam penelitian ini berupa teks pidato dan teks wawancara Bush yang sudah dipublikasikan dalam bentuk script baik yang diakses dari website resmi White
House maupun dari website lainnya. Adapun data sekunder adalah data pendukung yang sudah dikompilasi dalam bentuk buku, majalah, jurnal serta berita-berita cetak maupun online yang berhubungan dengan isu ini. b. Sumber Data Segala data yang dibutuhkan untuk penulisan karya ilmiah ini akan dikumpulkan dengan teknik-teknik, yaitu: 1) Studi Pustaka yaitu melalui pencarian data dalam bentuk dokumentasi seperti buku cetak, buku elektronik, jurnal, majalah, surat kabar cetak. 2) Internet Browsing yaitu melalui pencarian data data pendukung melalui internet yang menyediakan website-website terkait isu yang dibahas, seperti jurnal online, video, dan artiket serta berita terkait. 3. Teknik Analisis Data Kebijakan luar negeri sejauh ini kerap diartikan sebagai sebuah bentuk aksi yang dilakukan oleh suatu negara dalam interaksinya di ranah internasional. Untuk memperdalam mengapa suatu kebijakan luar negeri diputuskan, muncullah studi analisis strategis kebijakan luar negeri (strategic foreign policy analysis) yang mengkaji serta mempelajari kebijakan melalui proses pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi sistem internasional. Studi ini membantu kita dalam mengkaji fenomena-fenomena yang sedang terjadi di sekitar kita dengan membandingkan satu kebijakan luar negeri dengan yang lainnya sehingga dapat menemukan kebijakan yang lebih strategis yang didukung oleh situasi yang terjadi.
Kebijakan luar negeri tentunya dirumuskan oleh aktor-aktor penting seperti individu. Level individu ini merupakan bagian dari level analisis yang digunakan unruk menjelaskan pengambilan kebijakan luar negeri. Dalam level analisis tingkat individu ini berfokus pada individu dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Yang dimaksud dengan individu disini adalah para pemimpin negara atau presiden suatu negara. Peran pemimpin negara dalam pembuatan kebijakan luar negeri sangat penting, seperti yang dikatakan oleh Marijke Breuning bahwa seorang pemimpin dapat menentukan arah politik dunia. Breuning mengatakan bahwa the successful conduct of diplomacy depend on the foreign policy skill of individuals.xxxiii Dari pernyataan diatas dapat dilihat bahwa dampak dari seorang pemimpin tidak hanya bergantung pada hambatan serta kesempatan dalam situasi internasional tetapi juga bergantung pada minat serta keterlibatan para pemimpin dalam kebijakan luar negeri. Halhal yang melatarbelakangi pengambilan keputusan oleh pemimpin dapat dilihat dari sisi psikologis, misalnya karakter pemimpin, lingkungan, serta emosi merupakan beberapa faktor yang dianggap mempengaruhi analisis kebijakan luar negeri.xxxiv Marijke Breuning menyebutkan beberapa metode yang dapat digunakan dalam analisis kebijakan luar negeri level individu ini yaitu operational code, analisa karakter pemimpin dan leadership trait analysis. Pertama, metode operational code ini menganalisa pemimpin suatu negara dari segi psikologisnya, seperti pendekatan kognitif milik Laura Neack.
Metode kedua adalah analisa karakter pemimpin yang dikategorikan menjadi empat jenis karakter dari pemimpin yaitu, (1) active-positive, pemimpin di kategori ini banyak berkontribusi serta memperoleh rasa puas dari pekerjaan yang dilakukannya, contohnya adalah presiden AS Harry S. Truman dan John F. Kennedy yang bersedia untuk mendengarkan perspektif penasehat mereka tetapi juga nyaman untuk membuat keputusan sulit setelah mengevaluasi informasi yang diberikan kepadanya, (2) active-negative, pemimpin pada katagori ini adalah pemimpin yang lebih mementingkan kekuasaan dan cara mempertahankanya, contohnya adalah Richard Nixon dan George W. Bush. George W. Bush tergolong pemimpin yang begitu masif dalam mengambil segala kebijakan yang mungkin bisa diambil untuk mempertahankan kekuasaannya termasuk mengambil kebijakan kontroversial untuk berperang di Timur Tengah dengan membawa terorisme menjadi isu utamanya. Dalam penemuan yang Amy temukan dalam artikel ilmiahnya, kebijakan kontroversial tersebut diambil oleh Bush untuk menarik simpati masyarakat Amerika untuk berkontribusi memilihnya kembali dalam periode kedua. (3) passive-positive, pemimpin yang kurang aktif namun tetap memberikan yang terbaik dalam melakukan pekerjaannya, contohnya adalah Presiden AS Ronald Reagan, (4) kategori yang terakhir adalah passivenegative, merupakan pemimpin yang kurang energik seperti Dwight D. Eisenhower. Metode yang terakhir adalah leadership trait analysis yang merupakan analisis yang dilakukan dengan cara melihat kemampuan pemimpin dalam menangani kejadian-kejadian sebelumnya yang sudah ditangani. Adanya level analisis tingkat individu ini dapat membantu kita untuk memahami bagaimana para aktor seperti individu (pemimpin negara) dalam membuat suatu kebijakan
luar negeri. Dengan adalanya level analisis tingkat individu ini menunjukkan bahwa peran individu sangat berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri. Namun, hal ini juga dapat berakibat buruk apabila individu (pemimpin negara) melakukan keputusan yang salah yang dapat berakibat fatal bagi negaranya dan juga negara lain. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat seorang pemimpin dalam mengambil keputusannya seringkali diwarnai dengan emosi yang dapat mempegaruhi keputusan yang diambil. Level analisis individu menunjukkan bahwa suatu kebijakan luar negeri sesungguhnya adalah cerminan dari pemikiran serta perilaku pemimpin negara tersebut. Setiap individu memiliki karateristik yang berbeda, dimana setiap individu mempunyai caranya masingmasing dalam membuat kebijakan luar negeri. Keputusan dalam pengambilan kebijakan luar negeri ini biasanya terpengaruh dari emosi serta sudut pandang pemimpin tersebut. Latar belakang kehidupan dan kondisi psikologis seorang pemimpin juga sangat mempengaruhi cara seorang pemimpin dalam membuat keputusan.
i
Goddard, Huge, A History of Christian-Muslim Relations, Edinburgh University Press, Edinburgh, 2000. Abels, Richard, “Timeline for the Crusades and Christian Holy War to c.1350, 2009,” http://www.usna.edu/Users/history/abels/hh315/crusades_timeline.htm, diakses pada 18 Desember 2015, 20.00 WIB, Surakarta. iii John Bambenek,”What Does Separation of Church and State Really Mean?”, http://www.libertymagazine.org/article/what-does-separation-of-church-and-state-really-mean, diakses pada 16 Februari 2016, 14.30 WIB, Surakarta. iv Bill Flax, “The True Meaning of Separation of Church and State,” http://www.forbes.com/sites/billflax/2011/07/09/the-true-meaning-of-separation-of-church-andstate/#30f1015e6e59, diakses pada 16 Februari 2016, 14.00 WIB, Surakarta. v David C. Leege dan Lyman A Kellsted, Rediscovering the religious factor in American Politics, (1993), versi Indonesia, Agama dalam politik Amerika, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006. vi The Historic Present, “The city upon a hill by John Winthrop: What is it about?,” https://thehistoricpresent.wordpress.com/2010/06/28/the-city-upon-a-hill-and-puritan-hubris/, diakses pada 13 juni 2015, 20.00 WIB, Surakarta. ii
vii
Paul, Harris. “Bush says God choose him to lead his nation,” http://www.theguardian.com/world/2003/nov/02/usa.religion, diakses pada 14 juni 2015, 13.30 WIB, Surakarta. viii John, Wolley dan Gerhard Pieters, “Remarks Accepting the presidential nomination at the republican national convention in New York City,” http://www.presidency.ucsb.edu/ws/index.php?pid=72727&, diakses pada 14 juni 2015, 13.30 WIB, Surakarta. ix John B. Judis, The Chosen Nation: The Influence of Religion on US Foreign Policy, Policy Brief, Carnegie Endowment Washington, 2005. x Beth Fisher, “Presidential Rhetoric: How John Adams and George W. Bush Used Religion to Effectively Communicate with Their Respective Constituency,” McNair Scholars Journal, volume 10, issue 1, Grand Valley State University, 2006. xi Edward T. Wimberley, The Theology of George W. Bush and His Environmental/Conservation Policy, Journal of Religion & Society, volume 9, Florida Gulf Coast University, 2007. xii Black, Amy E, “With God on Our Side: Religion in George W.Bush’s Foreign Policy Speeches’” American Political Science Association, 501 College Ave, Wheaton College, Illinois, 2004. xiii Samuel P.Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Simon & Schuster, New York, 1996. xiv Esposito, John L., Ancaman Islam, Mitos Atau Realitas? Edisi Revisi: Menggugat Tesis Huntington, Mizan, Bandung, 1996, hal. 195. xv Walt, Stephen M, “Building Up New Bogeymen: Reviewed Work: The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order by Samuel P. Huntington,” Foreign Policy, No. 106 pp. 176-189, Washingtonpost.Newsweek Interactive, LLC, Washington, 1997. xvi Scott Burchill, dkk, Theories of International Relations, Third Edition, Palgrave Macmillan, New York, 2005. xvii Carlsnaess, Walter, dkk, Handbook of International Relations: Second Edition, Sage Publications Ltd., New York, 2012, hal. 495. xviii Oliver Kessler, “Constructivism and the Politics of International law”, https://www.academia.edu/9835070/Constructivism_and_the_Politics_of_International_law, diakses pada 20 Februari 2016, 15.30 WIB, Surakarta. xix Maysam Behravesh, “Constructivism: An Introduction,” http://www.e-ir.info/2011/02/03/constructivism-anintroduction/, diakses pada 19 Februari 2016, 21.30 WIB, Surakarta. xx Ibid. xxi W. Lawrence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, PearsonEducation, New York, 2003, hal. 76. xxii Ibid, hal 80 xxiii Buzan, Barry, The Evolution of International Security Studies, University Press, Cambridge, 2009. xxiv James N. Rosenau, International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research and Theory, The Free Press, New York, 1969, hal. 167. xxv Holsti, K.J., International Politics: An analysis, versi Indonesia, Politik Internasional: Kerangka Untuk Analisis, Erlangga, Jakarta, 1998. xxvi Mark Webber and Michael Smith, Foreign Policy in A Transformed World, Pearson Education Limited, 2002, hal. 2 dikutip oleh Sri Winingsih, Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap Program Nuklir Iran ‖ , skripsi, Universitas Indonesia, Depok, 2009, hal. 6. xxvii Holsti, K.J., loc.cit. xxviii Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004. xxix Fiske, John, Cultural and Communication Studies, (1998), versi indonesia, Sebuah Pengantar Paling Komprehensi, dalam Idi Subandy Ibrahim (Ed.), Jalasutra, Bandung, 2004. xxx David C, Leege dan Lyman A Kellsted, Rediscovering the Religious Factor in American Politics, (1993), versi indonesia, Agama dalam Politik Amerika, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006. xxxi Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif, dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2013, hal. 49. xxxii Ibid.
xxxiii
Breuning Marijke, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, Palgrave MacMillan, New York, 2007. Bab 2-3. xxxiv Neack Laura, The New Foreign Policy: Power Seeking in a Globalized Era, Rowman & Littlefield Publishers, Plymouth, 2008, Bab 2-3.