BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai unit pemerintahan terkecil, desa yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Di satu sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara, yakni menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat (Ghifari, 2015). Program-program pembangunan pada umumnya merupakan strategi dalam mengentaskan kemiskinan yang melekat di pedesaan. Banyak programprogram
pembangunan
yang
membidik
masyarakat
desa
dengan
memberdayakan masyarakatnya. Proses pemberdayaan masyarakat tiak terlepas dengan memanfaatkan kondisi alam sekitarnya untuk mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan di desa merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi karena dalam menanggulanginya, masalah yang dihadapi bukan saja terbatas pada hal-hal yang menyangkut hubungan sebab akibat timbulnya kemiskinan tetapi melibatkan juga preferensi, nilai dan politik. Namun kenyataannya, kemiskinan masih selalu melekat dalam setiap sendi kehidupan manusia, sehingga membutuhkan upaya penanggulangan yang komprehensif, integral, dan berkelanjutan. Sebagaimana Harianto menjelaskan kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pendapatan, dan pertumbuhan penduduk yang meningkat merupakan masalah-masalah pembangunan yang sumbernya
utamanya berasal dari stagnasi dan kemunduran kehidupan ekonomi masyarakat di daerah pedesaan (Satria, dkk., 2011). Salah satu upaya untuk mengurangi kesenjangan, bisa dilakukan melalui program pembangunan daerah (Sumodiningrat, 2010) dengan tujuan untuk menghilangkan kemiskinan dan menciptakan pemerataan laju pertumbuhan antardaerah, yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing daerah. Program pembangunan memerhatikan potensi yang ada di desa; asset desa dan sumber daya manusianya. Potensi yang ada di desa dapat memberikan pengaruh yang signifikan, apabila dikelola dengan baik. Dalam hal pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik, pemerintah desa dapat memanfaatkan potensi desa yang digunakan sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa. Asset desa misalnya. UU RI No. 6 Tahun 2014 menjelaskan Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang sah. Aset desa diharapakan mampu mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat guna mencapai kesejahteraan bersama. Selanjutnya yang masuk dalam kategori aset dalam UU RI No. 6 Tahun 2014 tentang Desa di jelaskan pada Pasal 76 ayat (1) Aset Desa dapat berupa tanah kas Desa, tanah ulayat, pasar Desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan Desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik Desa, mata air milik Desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik Desa. Pengelolaan asset desa adalah salah satu cara bagi desa untuk dapat
melakukan suatu pembangunan.
Pengelolaan
yang baik
tentu
menggunakan pedoman dalam pengelolaannya (Permatasari dkk., 2014: 1214).
Salah satu aspek penting yang mampu mewujudkan Good Governance dan paling sering menjadi pembahasan publik adalah akuntabilitas. Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan RI menjelaskan akuntabilitas adalah memberikan pertanggungjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja serta tindakan seseorang/pimpinan suatu unit organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau yang berwenang meminta pertanggungjawaban. Akuntabilitas akan semakin membaik jika didukung oleh suatu system akuntansi yang menghasilkan informasi yang akurat, handal, tepat waktu, serta dapat dipertanggungjawabkan (Lestari, dkk.: 2014). Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 Pasal 4 ayat 7, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dikatakan transparan adalah prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah. Selanjutnya, pada Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman pengelolaan Keuangan Desa disebutkan pada Bab 3 Pasal 3 ayat 1 bahwa “Kepala Desa sebagai kepala pemerintah desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa yang mewakili pemerintah desa dalam kepemilikan kekayaan desa yang dipisahkan”. Penjelasan tersebut merujuk pada pengelola keuangan desa, yakni kepala desa memiliki tugas untuk menyampaikan informasi terkait dengan tata kelola keuangan desa. Sumber keuangan desa Wantulasi terdiri dari Alokasi Dana Desa dan Dana Block Grand yang merupakan salah satu bagian Program Bangun Kesejahteraan Masyarakat (Bahteramas) Provinsi Sulawesi Tenggara. Terkait
dengan ADD, Pemerintah Daerah Kabupten Buton Utara melalui Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2012 tentang Alokasi Dana Perimbangan Desa Kabupaten Buton Utara, Alokasi Dana Desa terbagi atas Alokasi Dana Desa Minimal (ADDM) dan Alokasi dana desa Proporsional (ADDP). Alokasi Dana Desa Minimal (ADDM) adalah dana minimal yang diterima oleh masing-masing desa dan dibagikan dengan jumlah yang sama menurut asas merata. Alokasi Dana Desa Proporsional (ADDP) yang diterima suatu desa ditentukan berdasarkan perkalian total dana variabel yang ditetapkan dalam ABPD dengan porsi desa yang bersangkutan menurut asas keadilan. Elit Desa menilai ADD berasal dari dana perimbangan kabupaten, merupakan bantuan keuangan untuk membangun desa. Penggunaan alokasi dana desa untuk pembangunan dan honor pemerintah desa. Masalah yang dihadapi masyarakat terkait alokasi dana desa adalah ketidakterbukaan pemerintah desa terhadap ADD yang turun ke desa. Menurut elit Desa Wantulasi, penggunaan ADD diperuntukkan pada gaji, tunjangan, dan biaya operasional pemerintah desa, serta biaya untuk pembangunan. Selain itu, bantuan keuangan yang bersumber dari provinsi dipahami sebagai alokasi anggaran yang perencanaannya untuk pembangunan desa dan penyelenggaraan pemerintah di desa yang diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) kabupaten/provinsi. Desa/kelurahan yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara, termasuk desa Wantulasi mendapat bantuan keuangan dari Provinsi Sulawesi Tenggara. Bantuan keuangan itu bernama Dana Block Grand, yang merupakan program pemerintah provinsi dan menjadi bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan
kelurahan dalam lingkup Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan nama Membangun Kesejahteraan Masyarakat (Bahteramas). Pokok-pokok dari program Bahteramas adalah pembebasan biaya operasional pendidikan, pelayanan kesehatan gratis, dan pemberian dana Block Grand/Hibah Rp. 100 juta untuk setiap desa/kelurahan setiap tahun. Masalah pelik yang terjadi di desa-desa berdasarkan pengalaman bantuan keuangan dari provinsi adalah tata kelola dan bukti fisik dari realisasi dana block grand. Menurut Ketua Komisi I DPR Provinsi Sulawesi Tenggara, bahwasanya anggaran yang diberikan pemerintah selama 5 tahun sebanyak Rp 500.000.000 lebih banyak digunakan untuk rehabilitasi kantor dan balai desa. Ditambahkan pula, akan banyak kepala desa yang masuk bui apabila diusut lebih dalam perihal penggunaan bantuan dana block grand. Apabila dicermati, bantuan keuangan yang diberikan pemerintah provinsi ke desa-desa merupakan langkah menampung kepala desa ke dalam penjara apabila tidak ada pengawasan yang lebih ketat dari pihak-pihak berada di luar desa. Keuangan Desa memegang peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ada tiga prinsip dasar keuangan Desa: “Pertama, Desa mempunyai hak untuk memperoleh alokasi dari pemerintah karena Desa menjalankan fungsifungsi pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Kedua, money follow function: uang digunakan untuk membiayai fungsi, dimana fungsi ini berdasarkan kewenangan dan perencanaan Desa. Ketiga, no mandate without
funding: tidak ada mandat tanpa uang”. Prinsip ini berlaku dalam tugas penbantuan yang diberikan kepada Desa. Desa mempunyai hak menolak tugas perbantuan apabila tidak disertai dana, personil, sarana dan prasarana (Surya, 2013: 2). Dalam UU RI No. 6 Tahun 2014 tentang desa Pasal 71 ayat (1) dan (2) menjelaskan bahwa Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud adalah menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa. Banyaknya kasus yang terjadi dalam lingkup pemerintahan desa berkenaan dengan transparansi keuangan menjadi persoalan sebagai upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Kekurangmengertian kepala desa dan BPD terhadap manajemen pengelolaan keuangan desa bukan hanya karena kurangnya sosialisasi, namun juga karena perkembangan pemerintahan desa dan perubahan regulasi yang demikian cepat (Hadiawan, dkk.: 2012). Selain itu Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan (2007:30) mengatakan Pengelolaan keuangan dan pelayanan juga sedikit-banyak bermasalah. Warga umumnya tidak memperoleh informasi secara transparan bagaimana keuangan dikelola, seberapa besar keuangan Desa yang diperoleh dan dibelanjakan, atau bagaimana hasil lelang tanah kas Desa dikelola, dan seterusnya. Masyarakat juga tidak memperoleh informasi secara transparan tentang prosedur dan biaya memperoleh pelayanan administratif.
Berbeda halnya dengan hasil penelitian Lestari dkk. (2014) di Desa Prakarman Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan Provinsi Bali, yang menemukan bahwa; 1) Proses pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan di Desa Pakraman Kubutambahan tidak melibatkan seluruh Krama Desa Pakramannya melainkan hanya
melalui
perwakilan.
2)
Akuntabilitas
pengelolaan keuangan berlangsung secara konsisten setiap bulan dengan menggunakan sistem akuntansi sederhana (sistem tiga kolom, yaitu debet, kredit dan saldo). 3) Dengan adanya modal sosial khususnya kepercayaan, Pengurus Desa Pakraman Kubutambahan menyadari bahwa akuntansi merupakan instrument akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan di Desa Pakraman. Perbedaan yang terjadi dalam hal pengelolaan keuangan desa menjadi isu menarik dalam kerangka pembangunan desa yang transparan. Pengelolaan keuangan desa yang tidak dibekali dengan pengetahuan akan menjadikan desa terikat dengan berbagai masalah yang akan membawa masalah bagi pembangunan desa itu sendi. Dari sudut administrasi negara, pemerintah desa dapat membuat perencanaan pembangunan, mengelola keuangan dan menyusun laporan secara mandiri. Namun, tanpa bekal pengetahuan dan keterampilan yang cukup dari kepala desa (Hanafi, dkk., 2015: 3). Pengelolaan asset dan keuangan desa menjadi sangat penting dalam proses pembangunan desa. Akuntablitas pengelolaannya oleh pemerintah desa membuat jaring modal social kepada seluruh masyarakatnya. Modal social yang dimaksud adalah rasa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah desa dalam
menjalankan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pengelolaan asset dan keuangan desa. Dalam hal pengelolaa asset desa sebagai salah satu sumber pendapatan, elit desa memiliki upaya untuk menarik retribusi bagi masyarakat, khususnya para tengkulak jambu mete dan kopra. Penarikan pajak bagi para tengkulak merupakan bantuan masyarakat untuk peningkatan pengelolaan hasil usaha pertanian dan perkebunan masyarakat. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka pertanyaan utama dalam penelitian adalah Bagaimana Problematika Pengelolaan Keuangan dan Aset Desa Wantulasi Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara? Yang selanjutnya diderivasi dalam dua (2) pertanyaan empris sebagai berikut: 1. Bagaimanakah dinamika pengelolaan keuangan desa Desa Wantulasi Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara? 2. Bagaimana problematika penarikan PAD di Desa Wantulasi Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara? C. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika pengelolaan asset dan keuangan di Desa Wantulasi Kecamatan Wakorumba Utara Kabuapten Buton Utara. Dalam hal dinamika pengelolan asset dan keuangan desa Wantulasi, maka dirincikan di bawah ini. -
Mendeskripsikan dinamika pengelolaan keuangan Desa Wantulasi Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara,
-
Menjelaskan problematika penarikan pendapatan asli Desa Wantulasi Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara.
D. Manfaat Penelitian ini dititikberatkan pada dinamika pengelolaan asset dan keuangan desa, sehingga diharapkan mampu menciptakan akuntabilitas pengelolaan asset dan keuangan desa sebagai wujud meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan desa. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan sebagai berikut: a. menjadi bahan masukan dan pertimbangan pemerintah desa dan masyarakat dalam pengelolaan asset dan keuangan desa; b. menambah khasanah dan memperkaya penelitian ilmiah di Universitas Gadjah Mada, khususnya Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan; dan c. memperkaya referensi bagi peneliti selanjutnya yang mengkaji tentang pengelolaan asset dan keuangan desa. E. Kerangka Teoritik 1. Dinamika pengelolaan keuangan desa Pengelolaan aset adalah cara-ciri dalam mengatur, merencanakan, mendesain, dan memonitor dalam prosess mengakuisisi, memelihara, memperbarui, dan pembuangan segala bentuk infrastruktur dan aset teknis; untuk mendukung pengadaan servis public (Brown, dkk., 2012: 3). Dalam suatu pengelolaan aset daerah memerlukan dasar atau prinsip yang menjadi acuan dari suatu proses pengelolaan yang baik dan
menghasilkan suatu output yang memuaskan dan sesuai dengan normanorma dan peraturan yang ada (Kusen, 2015: 63-64). Lebih lanjut, Kusen menyebutkan prinsip-prinsip dalam pengelolaan asset yang terdiri dari; prinsip transparansi, prinsip proporsionalitas, prinsip Partisipasi Masyarakat
dalam
Pengawasan
dan
Pengambilan
Keputusan
(Participation), Prinsip Akuntablitas, dan Prinsip Kepatuhan dan Ketaatan Hukum. Menurutnya Prinsip-prinsip tersebut merupakan cerminan dari konsep Good Governance yang mempunyai karakteristik masing-masing, kelima prinsip ini nantinya akan berpengaruh terhadap mekanise pengelolaan aset daerah, prinsip-prinsip ini memegang teguh kepentingan public yang ada. Apabila prinsip-prinsip tersebut tidak dijalankan maka akan adanya ketimpangan dan kekacauan dalam pengelolaan
aset
daerah.
Penyelenggara
negara
perlu
memperhatikansemua prinsip-prinsip hukum yang ada agar keadilan sosial dapat terwujud (2015: 64-67). Dalam hal penyusuanan kebijakan penarikan pajak dan retribusi atas penggunan aset, pemerintah hendaknya memperhatikan untung dan rugi yang diterima masyrakat. Wurzel menegaskan meskipun mempunyai kewenangan untuk menarik pajak dan retribusi (charge), kewenangan ini perlu dipertimbangkan untung-ruginya (cost and benefit), misal dalam penentuan tarif layanan public. Keengganan masyarakat untuk membayar pajak ataupun retribusi bisa jadi disebabkan kualitas layanan publik yang memprihatinkan (Adi, 2006: 3).
Akuntabilitas publik sebenarnya merupakan isu yang sangat penting bagi demokrasi pemerintahan Desa. Tetapi secara empirik akuntabilitas tidak terlalu penting bagi seorang Kades. Ketika Kades sudah memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka Kades cenderung mengabaikan akuntabilitas
di
hadapan
masyarakat.
Ia
tidak
perlu
mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, meski yang terakhir ini sering menjadi problem yang serius (Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, 2007). Pengelolaan keuangan desa merupakan rincian kegiatan mengelola keuangan desa melalui kemampuan dari pemerintah desa. Pengelolaan keuangan erat kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan yang baik. Engelin (2011) menjelaskan agar kampong dapat mandiri dalam mengelola keuangan kampong maka pendekatan pembangunan yang selama ini berorientasi pada hasil yang dicapai harus melihat lagi pada bagaimana proses itu dilakukan untuk memperoleh hasil yang diharapkan agar dapat menjawab permasalahan di kampong. Selain itu, pengelolaan keuangan desa yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa pada Bab II Azas Pengelolaan Keuangan Desa Pasal 2 ayat (1) Keuangan desa dikelola berdasarkan azas-azas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran; ayat (2) Pengelolaan keuangan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas, dikelola dalam masa 1 (satu) tahun
anggaran yakni mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Lebih lanjut, pada Bab VII tentang Penatausahaan Dan Pertanggungjawaban Keuangan Desa Pasal 12 disebutkan; (1) Kepala Desa dalam melaksanakan penatausahaan keuangan desa harus menetapkan
Bendahara
Desa;
(2)
Penetapan
Bendahara
Desa
sebagaimana dimaksud ayat (1) diatas, harus dilakukan sebelum dimulainya tahun anggaran bersangkutan dan berdasarkan keputusan kepala
desa.
Bagian
Pertama
Penatausahaan
Penerimaan
(1)
Penatausahaan Penerimaan wajib dilaksanakan oleh Bendahara Desa; (2) Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, menggunakan: a. Buku kas umum; b. Buku kas pembantu perincian obyek penerimaan; c. Buku kas harian pembantu; (3) Bendahara Desa wajib mempertanggungjawabkan penerimaan uang yang menjadi tanggungjawabnya melalui laporan pertanggungjawaban penerimaan kepada Kepala Desa paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya; (4) Laporan pertanggungjawaban penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) di atas, dilampiri dengan: a. Buku kas umum b. Buku kas pembantu perincian obyek penerimaan; c. Bukti penerimaan lainnya yang sah.
Bagian Kedua Penatausahaan Pengeluaran
Pasal
14
(1)
Penatausahaan Pengeluaran wajib dilakukan oleh Bendahara Desa; (2) Dokumen penatausahaan pengeluaran harus disesuaikan pada Peraturan Desa tentang APBDesa atau Peraturan Desa tentang Perubahan APBDesa melalui pengajuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP); (3) Pengajuan
SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatas, harus disetujui oleh Kepala Desa melalui Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD); (4) Bendahara Desa wajib mempertanggungjawabkan penggunaan uang yang menjadi tanggung jawabnya melalui laporan pertanggungjawaban pengeluaran kepada Kepala Desa paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya; (5) Dokumen yang digunakan Bendahara Desa dalam melaksanakan penatausahaan pengeluaran meliputi: a. Buku kas umum; b. Buku kas pembantu perincian obyek pengeluaran; c. Buku kas harian pembantu. Bagian Ketiga Pertanggungjawaban Penggunaan Dana Pasal 15 (1) Laporan pertanggungjawaban pengeluaran harus dilampirkan dengan: a. Buku kas umum b. Buku kas pembantu perincian obyek pengeluaran yang disertai dengan bukti-bukti pengeluaran yang sah c. Bukti atas penyetoran PPNjPPh ke kas negara. Pada tahap pertanggungjawaban pelaksanaan APDesa disebutkan pada BAB VIII yang terdiri dari Penetapan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDesa dalam Pasal 16 ayat (1) Sekretaris Desa menyusun Rancangan Peraturan Desa tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDesa dan Rancangan Keputusan Kepala Desa tentang Pertanggungjawaban Kepala Desa; (2) Sekretaris Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas, menyampaikan kepada Kepala Desa untuk dibahas bersama BPD; (3) Berdasarkan persetujuan Kepala Desa dengan BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas, maka Rancangan Peraturan Desa tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDesa dapat ditetapkan menjadi
Peraturan Desa; (4) Jangka waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas, dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Pada Penyampaian Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDesa yang
terdapat
pada
Pasal
17
(1)
Peraturan
Desa
tentang
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBDesa dan Keputusan Kepala Desa tentang Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) di atas, disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui Camat; (2) Waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah Peraturan Desa ditetapkan. 2. Problematika Penarikan Pendapatan Asli Desa Pendapatan Asli Desa (PADesa) merupakan salah satu sumber keuangan desa. Merujuk pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 72 ayat (1) point (a), pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa. Pendapatan asli desa (PADesa) merupakan segala usaha yang dilakukan oleh pemerintah desa untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan desa dalam rangka pelaksanaan otonomi desa (Astuti, 2015). Dalam hal pengelolaanya Amerieska (2015) menjelaskan pengelolaan aset desa menuntut kemampuan untuk selalu beradaptasi dengan tuntutan lingkungan yang selalu berubah. Kondisi lingkungan yang strategis adalah yang mau dan berusaha untuk menjawab tantangan zaman, (keterbatasan sumber daya masyarakat yang
semakin tumbuh dan berkembang untuk dimanfaat, keterbukaan/ transparansi pengelolaan keuangan dan aset, akuntabilitas dalam laporan keuangan yang disajikan). Penjelasan tersebut mengarahkan pada kualitas Sumber Daya
Manusia agar mampu mengelola asset desa sebagai sumber pendapatan asli desa. Problematika pengelolaan asset desa tidak terlepas dari sumber daya manusia dan modal keuangan desa. Dalam hal kewenangan pengelolaan asset desa, hasil penelitian Ghifari (2015) menunjukan bahwa kepala desa berwenang dalam pengelolaan aset desa, yang meliputi tanah bengkok dan tanah makam. Kewenangan kepala desa tersebut dilaksanakan dengan cara membuat berita acara musyawarah sewa tanah bengkok dan tanah makam. Faktor penghambat pengelolaan aset desa adalah tidak adanya modal atau biaya yang cukup untuk mengelola aset desa yang ada di desa tersebut, sumber daya manusia yang kurang berkompeten dalam pengelolan aset desa dan tidak adanya peraturan desa yang dibentuk dalam rangka pengelolaan aset desa. Problematika pengelolaan asset juga terjadi di desa wantulasi kecamatan Wakorumba Utara Kabupten Buton Utara. Pembuatan berita acara serah terima lahan air bersih kepada pemerintah desa yang dapat digunakan sebagai sumber pendapatan desa. Tetapi dalam pelakasanaanya, pemilik lahan kembali mengambilalih pengelolaan air bersih. Seperti halnya infomrasi Humas Banjarnegara yang dikutip melalui situs (jatengprov.go.id: 2014) bahwa Aset desa seringkali diakui sebagai aset pribadi oleh beberapa oknum, sehingga
dapat mengurangi nilai dan jumlah ekonomi kekayaan desa, dengan bintek ini diharapkan pengelola asset desa mampu mengelola kekayaan desa dengan baik, selain itu bintek juga dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya Aparatur Pemerintah Desa terutama pengurus aset desa pada pemerintah desa, agar mampu melakukan pengelolaan barang milik desa dengan bertanggung jawab, profesional, dan akuntabel. Kemampuan desa untuk mengelola pembangunan lebih mandiri yang didukung oleh semua unsur dan sumber daya desa sangat penting bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat, terlebih bagi masyarakat miskin di desa. Desa yang dapat menjalankan pengelolaan pembangunan secara mandiri bukan hanya mampu menggerakkan seluruh aset sumber daya yang dimiliki desa, tetapi desa juga akan mampu memperbaiki kebutuhan dasar warga, kebutuhan penghidupan, memperjuangkan hak warga dan menata kehidupan secara berkelanjutan (Sutaryono, dkk., 2014: iii). Aset desa yang perlu dikenali bukan semata kekayaan desa yang berupa tanah dan bangunan, melainkan juga sumber daya yang dikuasai oleh perorangan juga perlu dikenali. Misalnya, berapa luas sawah dan siapa yang memiliki, bangunan budaya dan siapa pemiliknya, sekolah, situs budaya, dan seterusnya. Tentu saja aset yang sudah menjadi kekayaan desa harus pula dicatat dengan baik seperti kantor desa, gedung serbaguna, lapangan olah raga, sekolah PAUD, panjang dan jenis jalan, saluran irigasi, penggilingan padi, lumbung padi, dll (Hadi, 2015).
Terkait dengan penjelasan di atas, asset desa yang dapat dijadikan sumber pendapatan asli desa Wantulasi, tidak saja diberlakukan pada pengguna jasa desa, tetapi juga direncanakan akan diberlakukan pada pelaku usaha. Pernyataan ini berpedoman pada UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa perihal pendapatan asli desa. Dalam perencanaan elit desa, penarikan pajak akan dibahas dalam rapat desa dan ditetapkan melalui peraturan desa. Hasil penelitian Astuti (2015) menegaskan bahwa pengelolaan pendapatan asli Desa Ngombakan dilakukan berasaskan prinsip transparan, akuntabel, partisipatif, serta tertib dan disiplin dalam hal perencanaan,
penganggaran,
penatausahaan,
pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan. Beberapa pendapat di atas tentang pengelolaan asset desa belum secara memadai melibatkan masyarakat dalam proses pengelolaanya. Terkait dengan hasil penilitian Astuti (2015) di atas terdapat kendala pengelolaan pendapatan asli Desa Ngombakan meliputi transparansi berupa kurangnya kritikan dan saran dari masyarakat terhadap pelaksanaan musyawarah
rencana
pembangunan
desa,
akuntabilitas
berupa
keterlambatan penyerahan laporan pertanggungjawaban kepada pihak yang berhak menerima seperti BPD dan masyarakat, partisipasi berupa rendahnya
keterlibatan
atau
peran
serta
masyarakat
dalam
Musrenbangdes, maupun pembangunan desa, tertib dan disiplin berupa rencana penganggaran tidak sesuai dengan realisasi di lapangan dan
petugas PTPKD tidak menyertakan bukti kwitansi pembelian bahan material pembangunan dalam laporan pertanggungjawaban. Kritik di atas menjelaskan bagaimana proses pengelolaan asset desa yang kurang melibatkan masyarakat seperti halnya yang terjadi di Desa Wantulasi.
Kurangnya
keterlibatan
masyarakat
dalam
proses
perencanaan yang disebabkan oleh berbagai factor. Misalnya, kesibukkan atas pekerjaan, kurangnya tanggung jawab yang diberikan kepada masyarakat, apatis, dan distrust kepada pemerintah desa menjadi kendala utama dalam proses perencanaan pengelolaan asset desa. Berkenaan dengan kuranganya tanggung jawab yang diberikan kepada masyarakt mengindikasikan paritisapasi masyarakat dalam proses perencanaan bersifat mobilisasi. Mulyadi (2009: 102) menjelaskan masyarakat hanya boleh ikut musyawarah/rapat tanpa boleh menentukan apa yang mereka inginkan. Kondisi seperti ini disebt dengan partisipatif bersifat mobilisasi. Pada proses pelakasanaan, pelibatan masyarakat diiringi dengan pengupahan menciptakan nilai-nilai gotong royong dan semangat kerja sama untuk pembangunan desa terkikis oleh sebuah system yang mengatasnamakan pemberdayaan. Mulyadi (2009: 97) menjelaskan partisipasi masyarakat misalnya dalam bentuk gotong royong merupakan kekuatan berproduksi dan kekuatan membangun atas dasar kerjasama dan saling pengertian. Pada proses evaluasi terhadap jalannya pembangunan, masyarakat desa tidak dilibatkan untuk menyampaikan aspirasi berupa
tanggapan hasil kerja dalam masa pemerintahan. Kondisi semacam ini, menggambarkan
ketidakberdayaan
masyarakat
dalam
proses
pembangunan desa. Olehnya itu, proses pengelolaan asset desa dengan melibatkan masyarakat desa sangat penting untuk dilakukan guna mewujudkan pembangunan partisipastif dan mandiri. Proses pengelolaan asset desa yang dimaksud adalah pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, pelakasanaan, dan evaluasi yang lebih menekankan pada nilai gotong royong sebagai semangat pembangunan desa.