BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang mengakar dan sulit diberantas. Salah satu penyebab korupsi menjadi sangat sulit untuk di berantas adalah karena aktor-aktor utama pelaku korupsi tersebut kebanyakan aparat pemerintah itu sendiri, dengan kekuasaan yang mereka miliki akan mudah untuk mereka melakukan tindak pidana korupsi, seperti apa yang di ungkapkan oleh Lord Acton, “ Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Kekuasaan itu cenderung kepada perbuatan korupsi, sebuah kekuasaan yang absolut pasti terjadi korupsi, merupakan arti dasar ungkapan dari Lord Acton tersebut.1 Penelitian yang dilakukan oleh World Bank menyebutkan faktor yang ikut menyumbang pada berlangsungnya korupsi terutama di Indonesia adalah pemerintahan kolonial. Bahkan korupsi tidak hanya ada pada pemerintahan kolonial, tetapi terus berkembang sebagai pengaruh tidak langsung oleh hasutan kaum
nasionalis
melawan
pemerintah.
Pemicu
korupsi
lainnya
ialah
bertambahnya jumlah pegawai negeri secara cepat dengan akibat gaji mereka menjadi sangat kurang. Hal ini mengakibatkan perlunya pendapatan tambahan serta bertambah luasnya kekuasaan dan kesempatan birokrasi dibarengi dengan 1
Ermansjah Djaja, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.
1
2
lemahnya pengawasan dari atas dan pengaruh partai-partai politik. Di sisi lain, faktor-faktor yang berasal dari masa silam dan masih melekat pada suatu masyarakat, seperti solidarias, kekeluargaan dan kebiasaan saling memberi hadiah dianggap sebagai sebab korupsi, disamping perubahan-perubahan mendadak dalam sejarah.2 Kasus korupsi di Indonesia kini terus meningkat dari tahun ke tahunnya, baik dari jumlah kasus maupun kerugian keuangan negara yang mencapai milyaran bahkan triliunan rupiah. Tingginya tindak pidana korupsi di Indonesia paling tidak dapat dilihat dari berbagai penelitian dan survei persepsi masyarakat internasional dan juga nasional mengenai korupsi di Indonesia. Secara global, dalam beberapa waktu terakhir, survei Transparency Internasional (TI) menempatkan Indonesia masuk dalam kelompok negara-negara yang tinggi tingkat korupsinya. Dari Corruption Perception Index (CPI) untuk skor 10 (terbersih) hingga skor 0 (terkorup), Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2010 selalu di bawah skor 3 atau masih tergolong negara sangat korup. Pada 2010, dengan skor CPI senilai 2,8, Indonesia berada di posisi 110 dari 178 jumlah negara yang di survei.3 Berdasarkan persepsi masyarakat di tingkat nasional, Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2010 menunjukan masyarakat umumnya menilai tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi dan sangat tinggi. Dari 1.825 responden di 33 provinsi yang di survei, sebanyak 21,9 2
Mochtar Lubis, 2008, Negara dan Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 38. Agus Sunaryanto, et all, 2012, Modul Monitoring Penegakan Hukum, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, hlm. 8.
3
3
persen menyatakan kondisi korupsi Indonesia sangat tinggi dan 47,2 persen lainnya menyatakan tinggi. Hanya 14,6 persen menyatakan korupsi di Indonesia masuk kategori sedang dan 4,7 persen yang menyatakan rendah dan hanya 0,4 persen menyebutkan sangat rendah.4 Penelitian yang dilakukan Global Corruption Barometer (GCB) TI Indonesia pada kurun 2004-2009 menempatkan kepolisian, parlemen, partai politik dan lembaga peradilan dalam daftar teratas institusi yang paling korup. Keempat institusi yang seharusnya dapat berperan besar dalam pemberantasan korupsi justru menunjukan performance yang buruk karena menjadi bagian dari jejaring korupsi itu sendiri.5 Upaya keras dalam pemberantasan tindak pidana korupsi selama ini belum terlihat untuk menanggulangi permasalahan menyangkut proses penegakan hukum tindak pidana korupsi tersebut. Proses penegakan hukum yang dilakukan secara hati-hati, cermat, dan komperhensif dengan memperhatikan fakta yuridis dan empirik, merupakan salah satu aspek dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi, sehingga dengan memperhatikan aspek tersebut putusan yang nantinya diberikan oleh hakim mencerminkan penegakan hukum yang berkeadilan, berkepastin dan bermanfaat bagi semua pihak terutama pihak yang berperkara. Peran hakim dalam penanggulangan tindak pidana korupsi sangat penting, karena hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh 4 5
Ibid., hlm. 9. Ibid., hlm. 11.
4
undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP), yang di maksud mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara (pidana) berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1 butir 9 KUHAP) .6 Mengenai tugas dan wewenang hakim secara umum di atur lebih jelas dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, antara lain adalah sebagai berikut: a. Menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya (Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). b. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). c. Dalam perkara perdata, hakim membantu para pencari keadilan (justitiabelen) dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). d. Hakim dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang di ajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
6
Aloysius Wisnubroto, 2009, Teknis Persidangan Pidana, Universitas Atma Jaya Yogjakarta, Yogyakarta, hlm.7.
5
atau jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). e. Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). Begitu banyak putusan yang menimbulkan kontroversi di dalam masyarakat terutama pada perkara korupsi, hal ini tentu sangat memprihatinkan di saat negara ini sedang gencar untuk memberantas korupsi justru makin banyak bermunculan
pelaku-pelaku
korupsi
di
pusat
maupun
daerah,
dengan
bermunculannya pelaku - pelaku korupsi ini, terutama di daerah tentu memicu untuk munculannya para mafia hukum di daerah yang mengambil kesempatan dan keuntungan pribadi dari para pelaku tindak pidana korupsi yang sedang berperkara. Tentu saja dengan banyaknya putusan yang kontroversi tersebut menjadi tanda tanya besar, apakah penyelesaian kasus korupsi tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ataukah ada kongkalikong antara pelaku dengan pihak berwajib. Di berbagai daerah, aparat penegak hukum sangat tumpul sensitivitasnya terhadap persoalan korupsi, oleh karenannya mereka baru akan mulai bertindak ketika ada gerakan massa, tetapi bila gerakan massa mengendur, maka akan mengendur pula upaya penuntasan kasus korupsi. Belum lagi ketika ada gerakan massa pendukung pejabat yang melakukan penyelewengan, maka akan
6
menjadikan aparat penegak hukum berfikir sekian kali dalam mengambil keputusan.7 Beberapa waktu yang lalu, Provinsi Lampung dihebohkan dengan terungkapnya kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang kepala daerah, yaitu yang berinisial “S” yang merupakan Bupati Lampung Timur pada periode 2005 2010. Kepala daerah tersebut diduga telah menyalahgunakan wewenangnya dalam pengelolaan Dana Kas Daerah yang telah merugikan keuangan negara terutama Kabupaten Lampung Timur sebesar Rp. 108.861.624.800 ditambah dengan Rp. 10.586.575.000 yang merupakan fee yang di berikan oleh Sugiharto Wiharjo alias Alay (mantan Komisaris Utama PT. BPR Tripanca Setiadana) dari penempatan Dana Kas Daerah di BPR tersebut selama periode 2005-2008. Pada saat itu yang kemudian menjadi kontroversi adalah terdakwa dijatuhi putusan bebas oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang kemudian pada tingkat kasasi Mahkamah Agaung menyatakan terdakwa “S” bersalah dan menjatuhkan pidana penjara selama 15 tahun, dengan denda sebesar Rp. 500.000.000 subsider enam bulan kurungan, serta uang pengganti sebesar Rp. 10.586.575.000. Namun sangat di sayangkan hingga saat ini terpidana “S” melarikan diri dan belum di ketahui keberadaannya. Bertolak dari latar belakang tersebut diatas, penulis merasa dan memandang perlu untuk melakukan penulisan hukum sebagai tugas akhir studi sarjana hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan mengambil
7
Luthfi Kurniawan J, et all., 2003 , Menyingkap Korupsi di Daerah, In-Trans Malang, Malang, hlm. 10.
7
judul “KONSEPSI PUTUSAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TERDAKWA “S” MANTAN BUPATI LAMPUNG TIMUR” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pertimbangan masing-masing majelis hakim dalam putusannya pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat kasasi terhadap perkara tindak pidana korupsi dengan Terdakwa “S” tersebut? 2. Mengapa terjadi perbedaan putusan pada pengadilan tingkat pertama dan kasasi pada perkara tindak pidana korupsi dengan Terdakwa “S” tersebut?
C Keaslian Penelitian Untuk melihat keaslian penelitian telah dilakukan penelusuran penelitian pada berbagai referensi dan hasil penelitian serta dalam media cetak maupun elektronik. Penelitian yang berkaitan dengan “KONSEPSI PUTUSAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN TERDAKWA “S” MANTAN BUPATI LAMPUNG TIMUR” sejauh penelusuran penulis belum di temukan adanya pembahasan mendalam. Dengan demikian penelitian ini adalah asli. Kendati demikian, sebelumnya telah ada
8
penulisan hukum yang berkaitan dengan tema Tindak Pidana Korupsi dan tentang Konsepsi Putusan Hakim. Bahwa atas hasil observasi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada terdapat 92 (sembilan puluh dua) judul skripsi tentang Tindak Pidana Korupsi dari tahun 1995 sampai dengan 2015 dan 25 (dua puluh lima) judul skripsi tentang Putusan Hakim dari tahun 1995 sampai dengan 2015, yang beberapa diantaranya adalah: a. Pemeriksaan Perkara Pidana secara In Absentia dalam Tindak Pidana Korupsi. Disusun oleh Bintang Wicaksono Ajie. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Tahun 2014. Penelitian dilakukan di Kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Pengailan Negeri Jakarta Pusat.8 Penulisan hukum ini memiliki rumusan permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimana implementasi pemeriksaan perkara pidana secara in absentia dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi sebagai upaya penyelamatan kerugian keuangan negara? 2) Apa saja kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan pemeriksaan perkara pidana secara in absentia dan bagaimana upaya penanggulanganannya? Penulisan hukum ini membahas mengenai pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi secara in absentia pada perkara tindak pidana korupsi sebagai 8
Bintang Wicaksono Ajie, 2014, “Pemeriksaan Perkara Pidana secara In Absentia dalam Tindak Pidana Korupsi”, (Skripsi, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta).
9
salah satu upaya pengembalian kerugian keuangan negara, selain itu dalam penulisan hukum ini membahas mengenai tahapan dan proses pemeriksaan secara in absentia pada perkara tindak pidana korupsi. sehingga hal ini berbeda dengan penulisan hukum yang penulis tulis yang membahas mengenai perbedaan penjatuhan putusan oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Mahkamah Agung terhadap perkara tindak pidana korupsi dengan Terdakwa “S”. b. Pemidanaan terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan secara Penyertaan/Deelneming (Studi Kasus Korupsi Pengadaan Buku Ajar di Kabupaten Sleman). Disusun oleh Anita Meilyna S. Pane. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2014. Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Sleman.9 Penulisan hukum ini memiliki rumusan permasalahan sebagai berikut: 1) Apa dasar pertimbangan hakim menjatuhkan hukuman pemidanaan terhadap Ibnu Subiyanto (Mantan Bupati Sleman) selaku pelaku/dader dalam korupsi pengadaan buku ajar di Kabupaten Sleman? 2) Bagaimana putusan hakim terhadap Muhdori Masuko Haryono (ketua tim pengadaan buku ajar di Kabupaten Sleman) sebagai orang turut serta melakukan/mededader tindak pidana korupsi dalam pengadaan buku ajar di Kabupaten Sleman? Penulisan hukum ini membahas mengenai pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan secara Penyertaan/Deelneming, dalam 9
Anita Meilyna S. Pane, 2014, Pemidanaan terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan secara Penyertaan/Deelneming (Studi Kasus Korupsi Pengadaan Buku Ajar di Kabupaten Sleman), ( Skripsi, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta).
10
penulisan hukum ini menganalisis putusan pemidanaan terhadap Ibnu sudiyanto sebagai pelaku (dader) dalam kasus tindak pidana pengadaan buku ajar di Kabupaten Sleman dan menganalisis putusan pemidanaan terhadap Masuko Haryono sebagai orang yang turut serta melakukan (mededader) dalam perkara tindak pidana korupsi yang lokasi penelitiannya di Pengadilan Negeri Sleman sehingga hal ini berbeda dengan penulisan hukum yang penulis tulis yang membahas mengenai adanya perbedaan penjatuhan putusan antara Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Mahkamah Agung dengan Terdakwa “S”. c. Tinjauan Yuridis Terhadap Gagalnya Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam Kasus
Tindak
Pidana
Korupsi
(Studi
Kasus
Putusan
No.
29/Pid.
B/2000/PN.KAB.MGL dan Putusan No. 419/Pid.B/2009/PN.MLG). Disusun oleh Rr. Anna Sekar Wulanningrung. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Tahun 2010.10 Penulisan hukum ini memiliki rumusan permasalahan sebagai berikut: Apa penyebab gagalnya dakwaan kasus korupsi pada putusan No. 29/Pid. B/2000/PN. KAB.MLG. dan putusan No. 419/Pid.B/2009/PN. MLG)? Penulisan hukum ini membahas mengenai gagalnya Jaksa dalam menyusun dakwaan dan membuktikan dakwaannya dalam kedua perkara tindak pidana tersebut, yaitu putusan No. 29/Pid. B/2000/PN. KAB.MLG. dan putusan No. 419/Pid.B/2009/PN. MLG) Jaksa Penuntut Umum memaksakan untuk 10
Rr. Anna Sekar Wulanningrung, 2010, Tinjauan Yuridis Terhadap Gagalnya Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Putusan No. 29/Pid. B/2000/PN.KAB.MGL dan Putusan No. 419/Pid.B/2009/PN.MLG), (Skripsi, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta).
11
menarik perkara kedalam ranah hukum pidana semenara dari hasil pemeriksanaan, perkara tersebut lebih cenderung ke ranah hukum perdata sehingga hal ini berbeda dengan penulisan hukum yang penulis tulis yang membahas mengenai adanya perbedaan penjatuhan putusan antara Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Mahkamah Agung dengan Terdakwa “S” di Provinsi Lampung. Sejauh penelusuran penulis bahwa judul yang diajukan penulis belum ditemukan adanya pembahasan yang mendalam sebelumnya, khususnya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dan dikarenakan penulisan hukum ini membahas suatu hal yang aktual dan belum ditemukan solusi yang konkrit, sehingga
penulis
dapat
menjamin
keaslian
penelitian
ini
dan
dapat
dipertanggungjawabkan oleh penulis. D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Subyektif a. Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka menyusun Penulisan Hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. b. Untuk memperluas cakrawala hukum khususnya mengenai putusan hakim dan tindak pidana korupsi di daerah. 2. Tujuan Obyektif Untuk menganalisis masing-masing pertimbangan hakim pada tingkat pertama dan kasasi dan mengetahui alasan perbedaan penjatuhan putusan oleh
12
Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Mahkamah agung terhadap kasus korupsi dengan terdakwa “S”. E. Kegunaan Penelitian 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berharga bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dibidang hukum pidana yang berkaitan dengan putusan yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana korupsi. 2. Bagi Pembangunan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berharga bagi para aparat penegak hukum khususnya pada Hakim sebagai pembuat Putusan agar dapat tercipta peradilan yang lebih baik, independen, transparan dan adil. F. Sistematika Penulisan Penulisan hukum ini akan disajikan dalam bentuk susunan atas bab dan sub bab agar lebih mudah di pahami. Tata urutan penulisan hukum ini secara singkat dapat di uraikan sebagai berikut: BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang akan menerangkan tentang berbagai hal dan pandangan awal mengenai materi yang akan di teliti. BAB I ini di bagi dalam 8 (delapan) sub bab yang meliputi: Latar Belakang Masalah, berisi tentang latar belakang diangkatnya masalah kedalam penelitian. Dilanjutkan dengan Rumusan Masalah yang berisi tentang
13
masalah yang akan di teliti dan dicari jawabannya melalui penelitian. Sub bab selanjutnya adalah Keaslian Penelitian yaitu uraian bahwa penelitian yang akan dilakukan belum pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya. Juga menunjukan penelitian-penelitian yang sejenis serta menjelaskan perbedaan dengan penelitian-penelitian tersebut. Lalu di ikuti dengan Tujuan Penelitian yang berisi tentang tujuan yang ingin dicapai dari penelitian yang akan dilakukan. Sub bab berikutnya adalah Kegunaan Penelitian yang berisi tentang kegunaan dilakukannya penelitian bagi ilmu pengetahuan maupun bagi pembangunan. Sub bab yang terakhir adalah Sistematika Penulisan, yaitu yang berisi sistematika penyajian tulisan hasil penelitian. BAB II : BAB II ini berisikan Tinjauan Pustaka yang di dalamnya terdapat 2 (dua) sub bab yang terdiri dari Hukum Materiil Tindak Pidana Korupsi pada sub bab pertama, yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai Pengertian Tindak Pidana Korupsi, Perumusan Delik dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Perluasan Perumusan Delik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Modus Operandi Korupsi, Perundang-Undangan Tindak Pidana Korupsi Sebagai Hukum Pidana Khusus. Kemudian sub bab kedua yaitu Hukum Formil Tindak Pidana Korupsi (Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi), di dalamnya berisi Pengaturan Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi, Asas-Asas Hukum Pidana Formil Tindak Pidana
14
Korupsi, Mekanisme Peradilan Tindak Pidana Korupsi, Putusan Hakim, Jenis-Jenis Putusan, dan yang terakhir Upaya Hukum. BAB III : BAB III ini berisikan tentang Metode Penelitian yang di dalamnya terdapat 3 (tiga) sub bab yang terdiri dari Jenis Penelitian yang di dalamnya membahas mengenai jenis-jenis penelitian dan penelitian apa yang di gunakan oleh penulis dalam penulisan hukum ini, Bahan Penelitian di dalamnya membahas mengenai bahan dan jenis data penelitian, Cara dan Alat Pengumpulan Data di dalamnya berisi tentang penjelasan mengenai cara dan alat pengumpul data serta cara yang di pilih penulis untuk mengumpulkan data, Lokasi dan Subjek Penelitian di dalamnya berisi tentang lokasi yang penulis pilih untuk di lakukan penelitian yang berkaitan dengan masalah yang penulis teliti serta berisi subjek-subjek penelitian yang menjadi sumber informasi bagi penulis dalam melakukan penelitian, Analisis Data Penelitian di dalamnya berisi mengenai cara yang penulis gunakan untuk menganalisis data yang telah penulis peroleh baik dari penelitian kepustakaan maupun lapangan. BAB IV : Bab IV berisi mengenai hasil penelitian dan pembahasan yang di dalamnya akan membahas mengenai pertimbangan hakim pada putusan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan putusan kasasi Mahkamah Agung dan analisis mengenai perbedaan putusan terhadap tindak pidana korupsi dengan Terdakwa “S” di Lampung.
15
BAB V : Bab V berisi tentang kesimpulan mengenai permasalahan yang di bahas pada bab sebelumnya yaitu BAB IV dan saran yang berisi saran-saran dari penulis untuk perbaikan kedepannya terhadap penegakan hukum terhadap
pelaku
tindak
pidana
korupsi.