BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kelinci sebagai salah satu sumber protein hewani pada saat ini di Indonesia belum dapat diterima sepenuhnya oleh masyarakat, sehingga budidaya kelinci yang ada saat ini tidak berkembang dengan baik. Peternak kelinci yang ada kebanyakan hanya untuk menghasilkan hewan kesayangan dan materi percobaan. Bila dilihat dari potensi yang dimilikinya, ternak kelinci sangat cocok dikembangkan pada Negara Cina dan Indonesia karena populasi penduduknya padat, tidak memerlukan modal besar dan tidak memerlukan lahan yang luas untuk memelihara kelinci. Bahkan seorang pakar kelinci dari Amerika mengemukakan bahwa Indonesia merupakan Negara yang cukup potensial untuk pengembangan ternak kelinci (Cheeke, 1983). Daging
kelinci
patut
dipertimbangkan
untuk
tujuan
memenuhi
kesenjangan antara tingginya jumlah permintaan dan kurangnya kesedian produk hasil ternak. Hal ini disebabkan kemampuan ternak kelinci untuk berkembang biak secara cepat. Daging kelinci rendah kalori, lemak dan kolesterol di banding daging lainnya. Ternak kelinci juga dikenal sebagai ternak herbivora non ruminansia yang memiliki saluran pencernaan yang dapat memfermentasi pakan yang di konsumsi sehingga dapat memanfaatkan hijauan dan limbah pertanian secara efisien. Walau demikian perlu dilakukan pengawasan dalam pemberian pakan terhadap dampak akhirnya. Menurut McNitt et al., (1996) pakan kelinci merupakan faktor yang sangat
berpengaruh terhadap tinggi rendahnya
produktivitas ternak sehingga dalam pemberian pakan harus diperhatikan kualitas dan kuantitasnya sesuai dengan kebutuhan kelinci. Disamping pemberian pakan, pemeliharaan kelinci pada daerah-daerah yang beriklim panas akan mengalami permasalahan seperti cekaman panas. Kelinci termasuk ternak yang mengalami kesulitan untuk menyeimbangkan panas tubuhnya karena mempunyai kelenjar keringat sangat sedikit (Skriivanova et al., 2011). Dalam kondisi cekaman panas, ternak kelinci akan meningkatkan laju respirasi dan denyut jantung.
Pengaruh negatif dari cekaman panas dapat
diminimalkan melalui perbaikan faktor lingkungan termasuk makanan dan pemilihan jenis kandang yang lebih sesuai dengan lokasi peternakan (Nuriyasa, et al., 2010). Kandang mempunyai peranan penting dalam peternakan kelinci komersial, sebab kondisi kandang ikut menentukan hasil yang dapat dicapai.
Dalam
peternakan intensif dan komersial segala sesuatu di perhitungkan untuk memperoleh keuntungan maksimal. Kandang kelinci harus dibuat berdasarkan rancangan yang baik, disesuaikan dengan fungsi dan segi-segi biologis kelinci, serta pengaruhnya pada segi profesional peternakan untuk menjamin penampilan ternak yang optimal. Bivin dan King (1995) menyatakan, pemeliharaan pejantan dilakukan pada kandang “battery” individu dengan ukuran panjang 75 cm, lebar 75 cm dan tinggi 54 cm sedangkan menurut Manshur (2006) bahwa luas kandang optimum kelinci adalah 2200 cm²/ekor dengan tinggi 50 cm. Hasil penelitian Onbasilar dan Onbasilar (2007) mendapatkan berat badan akhir dan konsumsi ransum kelinci yang dipelihara 3 ekor dalam satu petak kandang (4200 cm²) lebih baik dari pada 1 ekor (1400 cm²) dan 5 ekor (8400 cm²). Martens dan De Groote
2
(1984) juga menyatakan bahwa kepadatan kandang maksimum adalah 6 ekor/m². Kandang yang baik belum tentu dapat memperbaiki kondisi kesehatan ternak, tetapi sudah pasti mengatasi permasalahan penyakit. Pada kondisi yang buruk ternak kelinci akan mengalami cekaman (“stress”), cenderung tertular kepada yang lain dan mengalami kemunduran serta dapat menimbulkan penyakit. Secara fisiologis, kebutuhan nutrien kelinci harus didasarkan pada pemenuhan kebutuhan hidup pokok kelinci itu sendiri. Kebutuhan nutrien dan pertumbuhan hidup pokok menopang proses vital dalam tubuh kelinci, meningkatkan ukuran tulang, jaringan dan organ serta produksi daging dan bulu (De Blass dan Wiseman, 1998). Pada fase pertumbuhan, kelinci memerlukan protein yang berkualitas dan cukup, memerlukan mineral yang lebih tinggi untuk pertumbuhan tulang dan perlu pembatasan energi untuk mencegah perlemakan yang berlebihan. Menurut pendapat Parigi Bini dan Xiccato (1998) peningkatan konsumsi ransum menyebabkan peningkatan energi tersimpan sebagai protein dan lemak tubuh. NRC (1997) menyatakan kelinci potong membutuhkan kandungan energi dalam ransum sebesar 2500 Kkal DE/kg dan kandungan protein (CP) 16%, serat kasar (CF) berkisar 10-12%, kalsium (Ca) 0,4% dan posfor (P) 0,22%. Nilai imbangan energi dan protein yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dari standar yang direkomendasikan akan berdampak pada penurunan produktivitas dan peningkatan mortalitas sehingga imbangan energi dan protein pada ransum kelinci penting diperhatikan untuk menghasilkan performans produksi maksimal (Xiangmei, 2008). Sehubung dengan uraian di atas, penelitian tentang pengaruh kepadatan ternak yang optimal dan pemberian ransum dengan imbangan energi dan protein
3
yang berbeda perlu dilakukan. Peternak dapat memelihara kelinci dengan kepadatan ternak dan imbangan energi dan protein yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai sejauh mana
performans kelinci yang dipelihara pada kepadatan ternak dan diberi ransum dengan imbangan energi dan protein berbeda sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan peternak. 1.2. Rumusan Masalah 1.
Apakah terjadi perbedaan iklim mikro pada kandang dengan kepadatan ternak dan pemberian ransum dengan imbangan energi dan protein berbeda?
2.
Apakah terjadi perbedaan performans kelinci pada kandang dengan kepadatan ternak dan pemberian ransum dengan imbangan energi dan protein berbeda?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengetahui pengaruh iklim mikro dan performans kelinci yang dipelihara pada kepadatan ternak dan diberi ransum dengan imbangan energi dan protein berbeda di daerah dataran rendah tropis.
2.
Mengetahui kepadatan ternak optimum dan imbangan energi protein ransum yang lebih sesuai pada ternak kelinci di daerah dataran rendah tropis.
1.4. Hipotesis 1.
Ternak kelinci yang dipelihara dengan kepadatan ternak 3 ekor/0,35 m² lebih baik dibandingkan ternak yang dipelihara dengan kepadatan ternak 2 ekor/0,35 m² dan 1 ekor/0,35 m²
2.
Ternak kelinci yang dipelihara dengan imbangan energi dan protein ransum 147 (2500 kkal/kg dan CP 16%) lebih baik dibandingkan ternak kelinci yang 4
dipelihara dengan imbangan energi dan protein ransum 151 (2800 kkal/kg dan CP 17,5%). 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menentukan kepadatan ternak yang optimum di daerah dataran rendah tropis dan imbangan energi dan protein yang lebih sesuai pada kepadatan ternak yang berbeda.
5