BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Pelaksanaan audit oleh profesi akuntan publik atau auditor independen
tidak hanya berorientasi ada pembayaran fee dari klien, tetapi juga untuk kepentingan bagi pihak ketiga, yaitu masyarakat maupun pihak yang memiliki kepentingan terhadap laporan keuangan yang sedang diaudit atau stakeholder. (Dewi, 2014). Profesi akuntan sebagai bagian dari praktik bisnis dan penyelenggaraan administrasi pemerintahan sering mengalami tekanan konflik kepentingan sehingga terbawa ke dalam praktik – praktik yang tidak etis. Praktik akuntan diatur dalam Prinsip Etika Profesi Ikatan Akuntan Indonesia yang menyatakan pengakuan profesi akan tanggung jawabnya kepada publik, pemakai jasa akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung jawab profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi (Mulyadi, 2002). Salah satu di Indonesia adalah kasus manipulasi laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia (PT. KAI). Akibat pelanggaran tersebut, tahun 2007 izin Akuntan Publik Drs. Salam Manan dibekukan oleh Menteri Keuangan. Ada beberapa contoh Akuntan publik yang dibekukan izinnya yaitu Akuntan Thomas Iguna pada tahun 2008 karena pelanggaran terhadap Standar Auditing dan Standar Profesional Akuntan Publik dalam pelaksanaan audit di Bank Global, sanksi yang diberikan pembekuan selama 12 bulan dan diwajibkan kembali mengikuti pendidikan profesional 1
2
berkelanjutan. Akuntan Wisnu Hermana Widya Putra pada tahun 2008 karena pelanggaran terhadap Standar Akuntansi dalam pelaksanaan audit atas laporan keuangan Yayasan Pesona Pribadi Sejahtera dan berpotensi mempengaruhi laporan auditor independen dan melanggar ketentuan tentang pembahasan penugasan audit umum atas laporan keuangan PT Elektronik Indonesia dan PT Suryana, sanksi yang diberikan pembekuan selama 18 bulan dan diwajibkan kembali mengikuti pendidikan profesional berkelanjutan. Akuntan Publik Publik Drs. Basyiruddin Nur pada tahun 2009 karena pelanggaran Standar Profesional Akuntan Publik dalam pelaksanaan audit umum atas laporan keuangan konsolidasian PT Datascrip dan Anak Perusahaan tahun buku 2007, Akuntan Publik Muhammad Zen pada tahun 2008 atas pelanggaran terhadap Standar Auditing – Standar Prosefional Akuntan Publik dalam pelaksanaan audit umum atas laporan keuangan PT Pura Binaka Mandiri yang berpengaruh cukup signifikan terhadap laporan auditor independen. Akuntan Publik Drs. Hans Burhanuddin Makarao pada tahun 2009 atas pelanggaran Standar Auditing – Standar Akuntan Publik dalam pelaksanaan audit umum atas laporan keuangan PT Samcon tahun buku 2008 dengan sanksi pembekuan izin Akuntan Publik selama 3 bulan. Akuntan Publik Heriyono, SE, yang dikenai sanksi pembekuan selama 3 bulan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 389/Km.01/2009 tanggal 15 April 2009. Pembekuan ini sebagai sanksi lanjutan dari pembekuan KAP Heriyono, SE, sesuai dengan Pasal
71
ayat
(3)
Peraturan
Menteri
Keuangan
(PMK)
Nomor:
3
17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik, bahwa izin AP dan Pemimpin KAP dibekukan apabila izin usaha KAP dibekukan. Akuntan Publik Drs. Nasrul Amri dikenakan sanksi pembekukan selama 6 bulan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 354/KM.1/2009 tanggal 2 April 2009. Pengenaan sanksi ini disebabkan karena AP tersebut melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pembatasan masa pemberian jasa yang diatur Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik, dengan memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan lebih dari 3 tahun buku berturutturut terhadap PT. Angka Wijaya Sentosa dan Cirleka Indonesia, PT Ryorongkor, PT Pasaman & Soeparma dan Tekma Yasa Konsultan, PT Merpati Internet Mandiri, serta PT Korra Antarlestari. Bagi AP yang dibekukan, selama masa pembekuan AP dilarang memberikan jasa sebagaimana dimaksud Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik, dilarang menjadi pemimpin dan/atau pemimpin rekan dan/atau pemimpin cabang KAP, wajib mengikuti
Pendidikan
Profesional
berkelanjutan
(PPL),
dan
tetap
bertanggung jawab atas jasa-jasa yang telah diberikan. Sementara itu, Akuntan Publik yang telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan untuk aktif kembali memberikan jasa setelah dikenakan sanksi pembekuan izin adalah AP Drs. Muhammd Zen, AP Drs. Sofyan Syafri Harahap, MS. Acc, AP Drs. Agus Ubaidillah, dan AP Drs. Victor Tuntun Hatorangan Pandjaitan, M. Si.
4
Sorotan dan tudingan ditujukan kepada profesi akuntan menimbulkan pertanyaan mengapa akuntan (auditor) bisa terlibat, apakah faktor kepribadian akuntan memiliki pengaruh disfungsional. Setiap akuntan harus memiliki pengetahuan, pemahaman dan kemauan untuk menerapkan nilai – nilai moral dan etika dalam melaksanakan pekerjaan profesionalnya. Perilaku profesional akuntan publik salah satunya diwujudkan dalam bentukmenghindari perilaku menyimpang dalam audit (dysfunctional audit behavior). Perilaku disfungsional yang dimaksud di sini adalah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh seorang auditor dalam bentuk manipulasi, kecurangan ataupun penyimpangan terhadap standar audit. Perilaku ini bisa mempengaruhi kualitas audit baik secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku disfungsional audit berhubungan dengan penurunan kualitas audit (Paino, Ismail, & Smith, 2010). Perilaku disfungsional auditor seperti prematur
sign-off
audit
procedures
(menghentikan
prosedur
audit),
underreporting of time (keterlambatan atau tidak tepat waktu), altering audit process and gathering unsufficient evidence (mengganti proses audit dan mengumpulkan bukti yang tidak cukup) akan berdampak terhadap penurunan kualitas audit. Perilaku ini bisa mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kualitas audit. Perilaku disfungsional yang mempunyai pengaruh langsung termasuk premature sign-off, pemerolehan bukti yang kurang, pemrosesan yang kurang akurat dan kesalahan dari tahapan audit, serta altering/replacing of audit procedure (mengganti proses audit) sedangkan perilaku audit yang mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap kualitas audit adalah under reporting of time (Wijayanti & Kartika, 2007)
5
Adanya tuntutan kualitas yang tinggi menyebabkan terjadinya stres pada auditor, baik yang bersifat positif maupun negatif. Stres yang positif akan memotivasi auditor untuk meningkatkan kinerja bahkan memberikan kepuasan kerja, sedangkan stres yang negatif justru menyebabkan auditor melakukan perilaku disfungsional yang dapat mengurangi kualitas audit (Fevre et al., 2005 dalam Rustiarini, 2013). Sebagai profesi yang memberikan jasa audit kepada masyarakat, akuntan publik dituntut senantiasa meningkatkan kualitas jasa yang diberikan. Tuntutan kualitas audit yang tinggi menyebabkan auditor merasa tidak mampu menghadapi tuntutan pekerjaan sehingga menimbulkan stres kerja (Raza & Irfan, 2014). Stres kerja seringkali dikaitkan dengan profesi auditor. Penelitian terdahulu mengenai stres kerja auditor telah banyak dilakukan namun hanya membahas pengaruhnya terhadap keinginan berpindah (Hsieh & Wang, 2012)., intention to quit (Pratiwi & Andara, 2015), kualitas laporan keuangan (Sutawan, Darmawan, & Yuniarta, 2015) , dan kinerja pegawai (Rumimpunu & Joune, 2015) ,Penelitian ini mencoba memberikan titik pandang baru pada hubungan stres kerja dan perilaku auditor yang di wakili dengan disfungsional audit dengan memasukkan sifat kepribadian dan locus of control sebagai pemoderasi. Perbedaan sifat kepribadian menyebabkan auditor
memiliki persepsi yang
berbeda atas stres kerja yang dialami. Suatu tugas dapat dirasa sulit bagi seorang auditor, namun tidak bagi auditor yang lain, tergantung karakteristik kepribadian auditor tersebut. Perilaku disfungsional merupakan refleksi dari kepribadian individu atas terjadinya stres kerja yang dikarenakan kompleksitas, tekanan, konflik serta ambiguitas peran. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
6
mengkonfirmasi temuan penelitian – penelitian sebelumnya yang masih menunjukkan hasil yang beragam. Kepribadian merupakan salah satu variabel yang dapat menjadi indikator penentu kinerja individu, dimana teori kepribadian menyatakan bahwa perilaku dapat ditentukan oleh kepribadian seseorang (Luthans, 2006). Kinerja merupakan cerminan perilaku seseorang, dimana kinerja yang baik akan dihasilkan dari individu yang berperilaku selaras dengan tujuan perusahaan. (Sopiah, 2008) Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kinerja seseorang dapat ditentukan oleh kepribadian seseorang. Terdapat ribuan karakteristik maupun kepribadian yang melekat pada individu, sehingga beberapa peneliti berupaya untuk mengidentifikasi kepribadian – kepribadian utama yang mengatur perilaku individu (Robbins & Judge, 2008). Dua jenis model kepribadian yang biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan serta mengidentifikasi kepribadian individu adalah Myers-Briggs Type Indicator dan Big Five Personality (Robbins & Judge, 2008). Myers-Briggs Type Indicators telah dipraktikan secara luas di dunia, namun tidak ada bukti yang jelas apakah model ini merupakan ukuran kepribadian yang valid dan berhubungan dengan kinerja (Robbins & Judge, 2008). Sifat kepribadian dalam model Myers-Briggs Type Indicator memang belum terbukti dengan valid secara ukuran kepribadian serta tidak berhubungan dengan kinerja, tetapi hal tersebut tidak berlaku pada model Big Five Personality (Robbins & Judge, 2008). Big Five Personality atau model lima besar merupakan sebuah model kepribadian utama manusia (Barrick & Mount, 2005) dan relevan pada
7
budaya yang berbeda (Mc Crae & Costa Jr., 2004). Pemilihan nama Big Five Personality bukan berarti kepribadian itu hanya ada lima, melainkan pengelompokan dari ribuan karakteristik individu ke dalam lima himpunan besar yang disebut dengan dimensi kepribadian (Ramdani, 2012). Dimensi kepribadian yang terdapat dalam model Big Five Personality antara lain extraversion, aggreeableness, conscientiousness, emotional stability, dan openness to experience. Model Big Five Personality mencakup sebagian besar variasi signifikan dalam kehidupan manusia serta menyediakan kerangka kerja kepribadian yang menyatu. Berbagai hasil penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa dimensi kepribadian
dalam
model
ini
berhubungan
dengan
kinerja,
dimana
conscientiousness dan emotional stability berhubungan dengan kinerja di seluruh bidang, sedangkan extraversion, agreeableness, dan openness to experience mampu menjadi prediktor kinerja pada pekerjaan yang berkaitan dengan interaksi sosial (Barrick & Mount, 2005). Menurut Rustiarini (2013) dewasa ini para praktisi maupun akademisi dalam bidang akuntansi semakin memfokuskan perhatiannya pada sifat kepribadian auditor, namun tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah penelitian yang membahas mengenai hal tersebut, sehingga topik kepribadian ini penting dan menarik untuk diteliti secara lebih mendalam. Fitriany (2010) dalam Rustiarini (2014) menyatakan bahwa masalah yang lazim dihadapi oleh Kantor Akuntan Publik adalah tingkat disfungsional auditor yang tinggi, dimana sudah menjadi hal yang umum apabila auditor hanya bertahan 1 sampai 2 tahun bekerja di KAP. Salah satu penyebab tingginya tingkat
8
disfungsional tersebut adalah perbedaan kepribadian yang dimiliki oleh manager, partner, auditor senior, auditor junior (Pradnya Dewi, Suardikha, & Budiasih, 2015). Dengan demikian sifat kepribadian auditor merupakan hal yang penting diteliti karena menurut Robbins dan Judge dengan memahami berbagai sifat kepribadian individu akan berguna dalam proses seleksi karyawan, memandu keputusan pengembangan karir, serta menyesuaikan bidang pekerjaan dengan tingkat disfungsional serta meningkatkan kinerja karyawan. Penelitian mengenai sifat kepribadian dan pengaruhnya dalam bidang akuntansi masih jarang dilakukan. Berdasarkan penelusuran pada sejumlah publikasi ilmiah, penelitian yang membahas pengaruh kepribadian menggunakan The Big Five Personality dan pengaruhnya terhadap perilaku disfungsional pada kantor akuntan publik di Indonesia tampaknya belum pernah dilakukan, padahal seseorang yang berada dalam profesi akuntansi kemungkinan memberikan respon yang berbeda dibandingkan individu lain yang tidak berkaitan dengan suatu profesi. Peneliti sebelumnya hanya meneliti pengaruh sifat kepribadian pada skeptisme profesional (Noviyanti, 2008) dan kemampuan dalam mendeteksi kecurangan (Nasution dan Fitriany, 2012). Fenomena ini menjadikan topik ini penting dan menarik untuk diteliti dengan mengambil sampel auditor sebagai bagian
dari
keanggotaan
profesi.
Beberapa
peneliti
sebelumnya
telah
mempertimbangkan faktor psikologi seperti sifat kepribadian dan locus of control sebagai prediktor pada kinerja dan perilaku auditor. Sifat kepribadian merupakan prediktor atas prestasi kerja (Barrick & Mount, 2005), serta perilaku disfungsional di tempat kerja (Shahrazad, Farhadi, & Fatimah, 2012).
9
Locus of control merupakan persepsi atau cara pandang seseorang terhadap sumber-sumber yang mengendalikan peristiwa-peristiwa baik atau buruk dalam hidupnya (Moorhead and Griffin, 2010). Locus of control ini dapat berupa internal dan eksternal. Ciri pembawaan internal locus of control internal adalah mereka yang yakin bahwa suatu kejadian selalu berada dalam kendalinya dan akan selalu mengambil peran dan tanggung jawab dalam penentuan benar atau salah, Sehingga individu dengan locus of control internal akan aktif mencari informasi sebelum mengambil keputusan, lebih termotivasi untuk berprestasi dan melakukan usaha lebih besar untuk mengendalikan lingkungan mereka. Sebaliknya individu dengan locus of control eksternal percaya bahwa kejadian dalam hidupnya berada di luar kontrolnya dan percaya bahwa hidupnya dipengaruhi oleh takdir, keberuntungan, dan kesempatan serta lebih mempercayai kekuatan di luar dirinya (Srimindarti & Hardiningsih, 2015). Beberapa penelitian sebelummnya menunjukkan bahwa locus of control eksternal berpengaruh positif terhadap penerimaaan perilaku disfungsional audit (Wijayanti & Kartika, 2007). Berpengaruhnya locus of control terhadap disfungsional audit telah di dukung oleh penelitian (Kusnadi & Suputhra, 2015), namun demikian, penelitian (Sampetoding, 2014) menemukan tidak adanya pengaruh langsung locus of control terhadap penerimaan penyimpangan perilaku dalam audit. Hasil penelitian Ni Wayan Rustiarini (2013) menunjukkan bahwa locus of control eksternal berpengaruh memperlemah pada hubungan stres kerja dan perilaku disfungsional audit. Namun penelitian Wayan Rustiarini (2014) menunjukkan bahwa locus of control eksternal berpengaruh memperkuat pada hubungan stres kerja dan
10
disfungsional audit. Maka locus of control di pilih sebagai variabel moderasi dengan memperhatikan eratnya hubungan antara locus of control dengan penerimaan penyimpangan perilaku audit. Individu yang melakukan pekerjaan di bawah standar yang ditetapkan lebih mungkin untuk melakukan tindakan penyimpangan sejak mereka melihat diri mereka sendiri tidak mampu untuk bertahan dalam pekerjaan melalui usaha mereka sendiri. Hal ini menyebabkan auditor yang memiliki lokus kendali eksternal tinggi akan menghasilkan audit yang berkualitas rendah (Pertiwi, Andreas, & Azlina, 2015). Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Ni Wayan Rustiarini. (2014). Sebagai replikasi, peneletian ini menempatkan locus of control dan sifat kepribadian The Big Five Personality sebagai variabel moderating dan ada beberapa peneltian sebelumnya telah meneliti pengaruh faktor karakteristik personal auditor terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit (Wijayanti & Kartika, 2007; Fatimah, 2012; Silaban, 2009). Oleh karena itu, muncul ketertarikan dalam meneliti sikap kepribadian auditor. Judul yang diambil dalam penelitian ini adalah “Sikap Kepribadian The Big Five Personality dan Locus of Control Sebagai Pemoderasi Hubungan Stres Kerja dan Disfungsional Audit.”
11
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan
yang timbul adalah : 1.
Bagaimana pengaruh stres kerja terhadap disfungsional audit ?
2.
Bagaimana pengaruh pemoderasi dari sifat kepribadian dengan teori the big five personality terhadap hubungan stres kerja dan disfungsional audit ?
3.
Bagaimana pengaruh pemoderasi dari locus of control terhadap hubungan stres kerja dan disfungsional audit ?
1.3
Tujuan Masalah
1.
Menjelaskan pengaruh stres kerja terhadap disfungsional audit?
2.
Menjelaskan pengaruh pemoderasi dari sifat kepribadian dengan teori the big five personality terhadap hubungan stres kerja dan disfungsional audit?
3.
Menjelaskan pengaruh pemoderasi dari locus of control terhadap hubungan stres kerja dan disfungsional audit ?
1.4
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.
Pengembangan teoritis Hasil
penelitian
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
bagi
pengembangan ilmu, terutama dalam bidang akuntansi keperilakuan dan auditing mengenai variabel-variabel yang signifikan menjelaskan penerimaan perilaku disfungsional audit dan juga diharapkan dapat dipakai sebagai acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
12
2.
Pengembangan praktik Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan kontribusi praktis, yaitu
bagi Kantor Akuntan Publik dan profesi untuk merencanakan program profesional dan praktik manajemen untuk mendorong pekerjaan audit yang berkualitas dalam menciptakan tata kelola organisasi yang yang baik. Memahami berbagai sifat kepribadian individu akan berguna dalam proses seleksi karyawan, memandu keputusan pengembangan karir, serta menyesuaikan bidang pekerjaan dengan tingkat disfungsional audit serta meningkatkan kinerja karyawan.
13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.1.1 Variabel Penelitian Variabel adalah segala sesuatu yang dapat diberi berbagai macam nilai. Teori mengekspresikan fenomena-fenomena secara sistematis melalui pernyataan hubungan antar variabel. Construct adalah abstraksi dari fenomena-fenomena kehidupan nyata yang diamati. Variabel merupakan mediator antara construct yang abstrak dengan fenomena yang nyata. Variabel memberikan gambaran yang lebih nyata mengenai fenomena-fenomena yang digeneralisasi dalam construct. Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel:
a.
Variabel Dependen / Varibel Endogen Variabel endogen adalah variabel yang dijelaskan oleh variabel eksogen.
Variabel endogen adalah efek dari variabel eksogen. Dalam diagram jalur, variabel endogen ini secara eksplisit ditandai oleh kepala panah yang menuju ke arahnya. Dalam penelitian ini variabel endogen yang diteliti adalah perilaku disfungsional audit. b.
Variabel Independen / Variabel Eksogen Variabel eksogen adalah variabel penyebab, variabel yang tidak
dipengaruhi oleh variabel lainnya. Variabel eksogen memberikan efek kepada variabel lainnya. Dalam diagram jalur, variabel eksogen ini secara eksplisit
ditandai sebagai variabel yang tidak ada panah tunggal yang menuju ke arahnya. Dalam penelitian ini variabel eksogen yang diteliti adalah stress kerja. c.
Variabel Moderasi Variabel
moderasi
adalah tipe variabel yang memperkuat atau
memperlemah hubungan antara variabel dependen dan independen. Dalam penelitian ini variabel moderasi yang diteliti adalah sifat kepribadian The Big Five Personality yang terbagi dalam lima dimensi yaitu openness (keterbukaan), conscientiousness (kehati – hatian), extraversion (ekstravesi), agreeableness (keramahan), neuroticism (emosional yang tidak stabil) , locus of control terbagi menjadi dua yaitu locus of control eksternal dan locus of control internal, dan komitmen organisasi. 3.1.2 Definisi Operasional Variabel 1.
Perilaku Disfungsional Audit (Dysfunctional Audit Behaviour) Perilaku disfungsional (dysfunctional behavior) dalam penelitian ini
adalah perubahan perilaku auditor yang dapat mengancam suatu sistem audit meliputi tindakan melaporkan waktu audit dengan total waktu yang lebih pendek daripada waktu yang sebenarnya (underreporting of audit time), penyelesaian langkah-langkah audit yang terlalu dini tanpa melengkapi keseluruhan prosedur (premature signing-off), serta reduced audit quality behavior yang merupakan tindakan yang diambil auditor untuk mengurangi efektivitas pengumpulan bukti selama pengujian. Variabel ini menggunakan pertanyaan yang dimodifikasi dari Donnely et al. (2003) yang juga digunakan oleh Mardiana (2010) dengan lima
poin skala likert 5 poin yaitu 1 mewakili “sangat tidak setuju” dan 5 untuk “sangat setuju. 2.
Stres Kerja (Job Stress) Stres kerja diartikan sebagai kesadaran atau perasaan disfungsional
individu yang disebabkan oleh hal-hal yang tidak nyaman, tidak diinginkan, atau dianggap sebagai ancaman di tempat kerja (Montgomery et al. 1996). Variabel ini diukur menggunakan 4 item pernyataan yang diadopsi dari penelitian Beehr et al. (1976). Kuesioner menggunakan skala likert 5 poin yaitu 1 mewakili “sangat tidak setuju” dan 5 untuk “sangat setuju”. 3.
Sifat Kepribadian (Personality Traits) Sifat kepribadian merupakan fondasi dasar kepribadian individu yang me-
landasi pemikiran, perasaan, dan perilaku seseorang (Barrick dan Mount 2005). Variabel ini diukur dengan The Big Five Personality yang terdiri dari 5 dimensi yaitu openness to experience, conscientiousness, extraversion, agreeableness, dan neuroticism. Kuesioner terdiri dari 28 item pernyataan yang diadopsi dari penelitian McCrae dan Costa (1987). Jumlah pernyataan untuk masing-masing dimensi sifat kepribadian adalah 6 item untuk openness to experience (nomor 5, 10, 15, 20, 25, 30), 6 item untuk conscientiousness (nomor 3, 8, 13, 18, 23, 28), 5 item untuk extraversion (nomor 1, 6, 11, 16, 21), 6 item untuk agreeableness (nomor 2, 7, 12, 17, 22, 27), dan 5 item untuk neuroticism (nomor 4, 9, 14, 19, 24). Kuesioner menggunakan skala likert 5 poin yaitu 1 mewakili “sangat tidak setuju” dan 5 untuk “sangat setuju”.
4.
Locus of Control Locus of control adalah suatu keyakinan individu atas berbagai faktor
yang terjadi dalam kehidupan (Rotter 1966). Locus of control internal dan eksternal diukur menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Spector dalam Respati (2011). Kuesioner terdiri dari 6 pernyataan
untuk locus of control
internal dan 6 pernyataan untuk locus of control eksternal. Pernyataan untuk locus of control internal adalah nomor 1, 2, 3, 4, 7, 12, sedangkan delapan pernyataan untuk locus of control eksternal yaitu nomor 5, 6, 8, 9, 10, dan 14. Kuesioner menggunakan skala Likert 5 poin yaitu 1 mewakili “sangat tidak setuju” dan 5 untuk “sangat setuju”. Tabel 3.1 Definisi Operasional No 1
Variabel Penelitian Perilaku Disfungsio nal Audit (Dysfungtio nal Audit Behaviour)
Definisi Variabel Perilaku auditor dalam proses audit yang tidak sesuai dengan program audit yang telah ditetapkan atau menyimpang dari standar yang telah ditetapkan.
Indikator
Sumber
a. Penghentian prematur prosedur audit. b. Review yang dangkal terhadap dokumen klien. c. Pengujian terhadap sebagian item sampel. d. Tidak memperluas scope pengujian ketika terdeteksi suatu pos atau e. akun yang meragukan. f. Menerima penjelasan klien yang kurang memadai.
Ni Wayan Rustiarini (2014)
No
Variabel Penelitian
2
Stres Kerja
3
Locus Of Control
Definisi Variabel Kesadaran atau Peranan disfungsional individu yang disebabkan oleh halhal yang tidak nyaman atau dianggap sebagai ancaman di tempat kerja Suatu keyakinan individu atas berbagai faktor yang terjadi dalam kehidupan (Rotter 1966)
Indikator
- Ketakutan - Sulit mengendalikan emosi - Sulit berkonsentrasi - Ketidak mampuan menghadapi pekerjaan
Internal : a. Menunjukkan motivasi yang besar a. Memiliki inisiatif yang tinggi b. Mempunyai harapan dan usaha yang tinggi c. Prestasi mengarah pada penghargaan yang berarti d. Mempunyai kepuasaan tersendiri atas prestasi yang diraih dari kerja kerasnya. Eksternal : a. Kurang termotivasi. b. Kurang memiliki inisiatif. c. Mudah menyerah dan menyalahkan keadaan. d. Cenderung pasrah dan kurang memiliki inisiatif
Sumber
Ni Wayan Rustiarini (2014)
Ni Wayan Rustiarini (2014)
No
Variabel Penelitian Sifat Kepribadia n “The Big Five Personality ”. Neuroticis m (N).
Definisi Variabel
Indikator
Sumber
a. Neuroticism (N). Mengidentifikasi kecenderungan individu akan mengalami kondisi psikologis yang kurang baik, memiliki ide-ide yang tidak realistis, kebutuhan/keingi nan yang berlebihan, dan tidak dapat menyesuaikan respon dengan kondisi yang ada.
a. Kuatir, cemas, emosional,merasa tidak nyaman, kurang penyesuaian, kesedihan yang tak beralasan.
Ni Wayan Rustiarini (2014)
5
Sifat a.Extraversion (E). Kepribadia Mengukur n “The Big kuantitas dan Five intensitas interaksi Personality intrapersonal, ”. aktivitas yang Extraversio dilakukan, n (E). kebutuhan akan stimulasi, melakukan hal yang disenangi
a. Mudah bergaul, aktif, banyak bicara, orientasi pada manusia, optimis, menyenangkan, kasih sayang, bersahabat
Ni Wayan Rustiarini (2014)
6
Sifat Kepribadia n “The Big Five Personality ”. Openness ( O).
a. Rasa ingin tahu tinggi, ketertarikan luas, kreatif, orisinil imajinatif, tidak ketinggalan zaman
Ni Wayan Rustiarini (2014)
4
a. Openness (O). Mengukur keinginan untuk mencari dan menghargai pengalaman baru bagi dirinya sendiri, senang mengetahui sesuatu yang tidak terkenal atau tidak familiar.
a.
No 7
Variabel Penelitian Sifat Kepribadia n “The Big Five Personality ”. Agreeablen ess (A).
Definisi Variabel
Indikator
a. Agreeableness (A) a. Berhati lembut, baik, . Mengukur suka menolong, kualitas orientasi mudah percaya, interpersonal mudah memaafkan, seseorang, mulai mudah untuk dari perasaan dimanfaatkan, terus kasihan sampai terang. pada sikap permusuhan dalam hal pikiran, perasaaan, dan tindakan.
Sifat a.Conscientiousness a. Teratur, dapat Kepribadia (C). Mengukur dipercaya, pekerja n “The Big tingkat keteraturan keras, disiplin, tepat Five seseorang, waktu, teliti, rapi, Personality ketahanan dan ambisius, tekun. ”. motivasi dalam Conscienti mencapai tujuan. ousness (C) Berlawanan . dengan ketergantungan, dan kecenderungan untuk menjadi malas dan lemah. Sumber : Ni Wayan Rustiarini 2014 3.2
Sumber Ni Wayan Rustiarini (2014)
Ni Wayan Rustiarini (2014)
Obyek Penelitian, Unit Sampel, Populasi, dan Penentuan Sampel Penelitian ini dilakukan di Kantor Akuntan Publik (KAP) di Semarang,
Yogjakarta, dan Surakarta.. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh auditor independen yang bekerja pada KAP di Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta sebagaimana tercantum dalam Direktori Kantor Akuntan Publik yang dikeluarkan Ikatan Akuntan Indonesia. dengan menggunakan metode purposive sampling, dengan teknik berdasarkan pertimbangan (judgement sampling). Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode kuesioner (angket) yaitu
menyebarkan daftar pertanyaan kuesioner yang akan diisi atau dijawab oleh responden auditor pada KAP di Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta. Dalam penelitian ini menggunakan skala pengukuran (penilaian) lima skala likert yang dijelaskan sebagai berikut. 1
= Sangat kurang baik
2
= Kurang baik
3
= Cukup
4
= Baik
5
= Sangat Baik
3.3
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah primer. Data primer
adalah sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli (tidak melaui perantara). Data primer secara khusus dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data primer dapat berupa opini subyek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian. Peneliti dengan data primer dapat mengumpulkan data sesuai dengan yang diinginkan, karena data yang tidak relevan dengan tujuan penelitian dapat dieliminasi atau setidaknya dikurangi (Indrianto & Supomo, 1999). Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari jawaban atas kuisioner yang dibagikan kepada responden.
3.4
Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dengan
metode survei. Metode survei merupakan metode pengumpulan data primer yang menggunakan pertanyaan lisan dan tertulis. Pengumpulan data dengan cara kuisioner. Pengumpunan data kuisioner adalah Pengumpulan data penelitian pada kondisi tertentu kemungkinan tidak memerlukan kehadiran peneliti. Pertanyaan peneliti dan jawaban responden dapat dikemukakan secara tertulis melalui sebuah kuisioner. Teknik ini memberikan tanggung jawab kepada responden untuk membaca dan menjawab pertanyaan. (Indrianto & Supomo, 1999). 3.5
Metode Analisis Analisis data dalam penelitian ini adalah metode analisis statistik dengan
menggunakan progam PLS. Penelitian ini menggunakan model evaluasi PLS dengan menilai outer model dan inner model. Evaluasi model pengukuran atau outer model dilakukan untuk menilai validitas dan reliabilitas model. Outer model dengan indikator refleksi dievaluasi melalui validitas convergent dan discriminant dari indikator pembentuk konstruk laten dan composite reliability serta cronbach alpha untuk blok indikatornya. Sedangkan outer model dengan indikator formatif dievaluasi melalui substantive content-nya yaitu dengan membandingkan besarnya relative weight dan melihat signifikansi dari indikator konstruk tersebut (Chin, 1998 dalam Latan & Ghozali, 2012). Evaluasi model struktural atau inner model bertujuan untuk memprediksi hubungan antar variabel laten. Inner model dievaluasi dengan melihat besarannya presentasi variance yang dijelaskan yaitu dengan melihat nilai R-Square untuk konstruk laten endogen, Stone Geisser (Geisser 1975; Stone 1974 dalam Latan &
Ghozali, 2012) test untuk menguji predictive relevance, dan average variance extracted (Fornell dan Larcker 1981 dalam Latan & Ghozali, 2012) untuk predictivennes dengan menggunakan prosedur resampling seperti jackingnifing dan bootstapping untuk memperoleh stabilitas dari estimasi. Menurut Umi Narimawati, dkk. (2010:41), metode analisis didefinisikan sebagai berikut: “Metode analisis adalah proses mencari dan menyusun secara sistematik data yang telah diproses dari hasil observasi lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang lebih penting dan
yang
akan
dipelajari,
dan
membuat kesimpulan
sehingga
mudah
dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain” Penelitian ini menggunakan metode analisis data dengan menggunakan software SmartPLS versi 2.0.m3 yang dijalankan dengan media komputer. PLS (Partial Least Square) merupakan analisis persamaan struktural (SEM) berbasis varian yang secara simultan dapat melakukan pengujian model pengukuran sekaligus pengujian model struktural. Model pengukuran digunakan untuk uji validitas dan reabilitas, sedangkan model struktural digunakan untuk uji kausalitas (pengujian hipotesis dengan model prediksi). Lebih lanjut, Ghozali (2006) menjelaskan bahwa PLS adalah metode analisis yang bersifat soft modeling karena tidak mengasumsikan data harus dengan pengukuran skala tertentu, yang berarti jumlah sampel dapat kecil (dibawah 100 sampel). Perbedaan mendasar PLS yang merupakan SEM berbasis varian dengan
LISREL atau AMOS yang berbasis kovarian adalah tujuan penggunaannya. Dibandingkan dengan
covariance based SEM (yang diwakili oleh software
AMOS, LISREL dan EQS) component based PLS mampu menghindarkan dua masalah besar yang dihadapi oleh covariance based SEM yaitu inadmissible solution dan factor indeterminacy (Tenenhaus et al.,2005). Terdapat beberapa alasan yang menjadi penyebab digunakan PLS dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini alasan-alasan tersebut yaitu: pertama, PLS (Partial Least Square) merupakan metode analisis data yang didasarkan asumsi sampel tidak harus besar, yaitu jumlah sampel kurang dari 100 bisa dilakukan analisis, dan residual distribution. Kedua, PLS (Partial Least Square) dapat digunakan untuk menganalisis teori yang masih dikatakan lemah, karena PLS (Partial Least Square) dapat digunakan untuk prediksi. Ketiga, PLS (Partial Least Square) memungkinkan algoritma dengan menggunakan analisis series ordinary least square (OLS) sehingga diperoleh efisiensi perhitungan olgaritma (Ghozali, 2006). Keempat, pada pendekatan PLS, diasumsikan bahwa semua ukuran variance dapat digunakan untuk menjelaskan. Menurut Imam Ghozali (2006:1) metode Partial Least Square (PLS) dijelaskan sebagai berikut: “Model
persamaan
strukturan
berbasis
variance
(PLS)
mampu
menggambarkan variabel laten (tak terukur langsung) dan diukur menggunakan indikator-indikator (manifest variable)”.
Penulis menggunakan Partial Least Square (PLS) dengan alasan bahwa variabel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel laten (tidak terukur langsung) yang dapat diukur berdasarkan pada indikatorindikatornya,
serta
secara
bersama-sama
melibatkan
tingkat
kekeliruan
pengukuran (error). Sehingga penulis dapat menganalisis secara lebih terperinci indikator-indikator dari variabel laten yang merefleksikan paling kuat dan paling lemah variabel laten yang mengikutkan tingkat kekeliruannya. Menurut Imam Ghozali (2006:18) Partial Least Square (PLS) didefinisikan sebagai berikut: “Partial Least Square (PLS) merupakan metode analisis yang powerful oleh karena tidak mengasumsikan data harus dengan pengukuran skala tertentu, jumlah sampel kecil. Tujuan Partial Least Square (PLS) adalah membantu peneliti untuk mendapatkan nilai variabel laten untuk tujuan prediksi”. Model ini dikembangkan sebagai alternatif untuk situasi dimana dasar teori pada perancangan model lemah atau indikator yang tersedia tidak memenuhi model pengukuran refleksif. PLS selain dapat digunakan sebagai konfirmasi teori juga dapat digunakan untuk membangun hubungan yang belum ada landasan teorinya untuk pengujian proposisi. Menurut Imam Ghozali (2006:19) PLS dikemukakan sebagai berikut: “PLS menggunakan literasi algoritma yang terdiri dari seri analisis ordinary least squares maka persoalan identifikasi model tidak menjadi masalah untuk model recursive, juga tidak mengasumsikan bentuk distribusi tertentu untuk skala ukuran variabel. Lebih jauh lagi jumlah sampel dapat kecil dengan perkiraan kasar”.
Menurut Fornell yang dikutip Imam Ghozali (2006:1) kelebihan lain yang didapat dengan menggunakan Partial Least Square (PLS) adalah sebagai berikut: “SEM berbasis variance atau PLS ini memberikan kemampuan untuk melakukan analisis jalur (path) dengan variabel laten. Analisis ini sering disebut sebagai kedua dari analisis multivariate”. Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan di atas, maka diketahui bahwa model analisis PLS merupakan pengembangan dari model analisis jalur, adapun beberapa kelebihan yang didapat jika menggunakan model analisis PLS yaitu data tidak
harus
berdistribusi
tertentu,
teori
dan adanya
model
tidak
harus
berdasarkan
pada
indeterminancy, dan jumlah sampel yang kecil. 3.6 Model Pengukuran (Outer Model) Cara yang sering digunakan oleh peneliti di bidang SEM untuk melakukan pengukuran model melalui analisis faktor konfimatori adalah dengan mengunakan pendekatan
MTMM (MultiTrait-MultiMethod)
dengan
menguji Validitas
convergent dan discriminant (Campbell dan Fiske, 1959 dalam Latan & Ghozali, 2012).
3.6.1 Uji Validitas Menurut Cooper yang dikutip Umi Narimawati, dkk. (2010:42) validitas didefinisikan sebagai berikut: “Validity is a characteristic of measurement concerned with the extent that a test measures what the researcher actually wishes to measure”. Sedangkan menurut Sugiyono (2013:3) validitas didefinisikan sebagai berikut: “Valid adalah menunjukkan derajat ketetapan antara data yang sesungguhnya terjadi pada objek dengan data yang dapat dikumpulkan oleh peneliti”. Berdasarkan pengertian di atas, maka validitas dapat diartikan sebagai suatu karakteristik dari ukuran terkait dengan tingkat pengukuran sebuah alat test (kuesioner) dalam mengukur secara benar apa yang diinginkan peneliti untuk diukur. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah alat ukur yang telah dirancang dalam bentuk kuesioner itu benar-benar dapat menjalankan fungsinya. Semua item pertanyaan dalam kuesioner harus
diuji keabsahannya untuk
menentukan valid tidaknya suatu item. Validitas suatu data tercapai jika pernyataan tersebut mampu mengungkapkan masing-masing pernyataan dengan jumlah skor untuk masing-masing variabel. 3.6.1.1 Validitas convergent Validitas Konvergen (convergent validity) adalah nilai faktor loading pada laten dengan indikator-indikatornya. Faktor loading adalah koefesien jalur yang menghubungkan antara varibel laten dengan indikatornya. Validitas convergent behubungan dengan prinsip bahwa pengukuran-pengukuran (manifest
variabel) dari suatu konstruk seharusnya berkorelasi tinggi. Uji validitas convergent indikator refleksi dengan progam SmartPLS dapat dilihat dari nilai loading factor untuk tiap indikator konstruk. Rule of thumb yang biasanya digunakan untuk menilai validitas convergent yaitu nilai loading factor harus lebih dari 0.7. Untuk penelitian yang bersifat confirmatory dan niali loading faktor antara 0.6 – 0.7 untuk penelitian yang bersifat exploratory masih dapat diterima serta nilai average variance extracted (AVG) harus lebih dari 0.5. Namun demikian untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran, nilai loading faktor 0.5 – 0.6 masih dianggap cukup (Chin, 1998 dalam Latan & Ghozali, 2012). Validitas konvergen (convergent validity) dievaluasi dalam tiga tahap, yaitu: 1.
Indikator validitas: dilihat dari nilai faktor loading dan t-statistic sebagai berikut: -
Jika nilai faktor loading antara 0,5-0,6 maka dikatakan cukup, sedangkan jika nilai
faktor loading ≥ 0,7 maka dikatakan tinggi
(Imam Ghozali, 2006). -
Nilai t-statistic ≥ 1,645 maka menunjukkan bahwa indikator tersebut sahih (Yamin dan Kurniawan, 2011 dalam Uce Indahyanti, 2013).
2.
Reabilitas konstruk: dilihat dari nilai output Composite Reability (CR). Kriteria dikatakan reliabel adalah nilai CR ≥ 0,7 (Yamin dan Kurniawan, 2011 dalam Uce Indahyanti, 2013).
3.
Nilai Average Variance Extracted (AVE): nilai AVE yang diharapkan ≥
adalah
0,5
(Yamin
dan
Kurniawan,
2011
dalam
Uce
Indahyanti,2013). 3.6.1.2 Validitas Discriminant Validitas discriminant berhubungan dengan prinsip bahwa pengukuranpengukuran (manifest variable) konstruk yang berbeda seharusnya tidak berkorelasi dengan tinggi. Cara menguji validitas discriminant dengan indikator refleksif yaitu dengan melihat nilai cross loading untuk setiap variabel harus >0.70. Cara lain yang dapat digunakan untuk menguji validitas discriminant adalah dengan membandingkan akar kuadrat dari AVE untuk setiap konstruk dengan nilai korelasi antar konstruk dalam model. Validitas discriminant yang baik ditunjukan dari akar kuadrat dari AVE untuk tiap konstruk lebih besar dari korelasi antar konstruk dalam model (Fornell & Larcker, 1981 dalam Latan & Ghozali, 2012). Validitas Diskriminan (discriminant validity) dilakukan dalam dua tahap, yaitu dengan cara melihat nilai cross loading factor dan membandingkan dengan akar AVE dengan korelasi antar konstruk/variabel laten. Cross loading factor untuk mengetahui apakah variabel laten memiliki diskriminan yang memadai yaitu dengan cara membandingkan korelasi indikator dengan variabel latennya harus lebih besar dibandingkan korelasi antar indikator dengan variabel laten lain. Jika korelasi indikator dengan variabel latennya memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan korelasi indikator tersebut terhadap variabel laten
lain,
maka
dikatakan variabel
laten
tersebut
memiliki
validitas
diskriminan yang tinggi (Uce Indahyanti, 2013). Nilai AVE direkomendasikan ≥ 0,5. 3.6.2
Reliabilitas Menurut Umi Narimawati (2010:43) uji realibitas adalah sebagai berikut:
“Untuk menguji kehandalan atau kepercayaan alat pengungkapan dari data. Dengan diperoleh nilai r dari uji validitas yang menunjukkan hasil indeks korelasi yang menyatakan ada atau tidaknya hubungan antara dua belahan instrument”. Uji reliabilitas dilakukan untuk membutikan akurasi, konsistensi dan ketepatan instrumen dalam mengukur konstruk. Dalam PLS-SEM dengan menggunakan progam SmartPLS , untuk mengukur reliabilitas suatu konstruk dengan indikator reflektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan Cronbach’s Alpha dan Composite reliability sering disebut Dillon-Goldstein’s. Namun demikian penggunaan Cronbach’s Alpha untuk menguji reliabilitas konstruk akan memberikan nilai yang lebih rendah (under estimate) sehingga lebih disarankan untuk menggunakan Composite Realiability dalam menguji reliabilitas suatu konstruk. Rule of Thumb yang biasanya digunkana untuk menilai reliabilitas konstruk yaitu nilai Composite Reliability harus lebih dari 0.7 untuk penelitian yang bersifat confirmatory dan nilai 0.6 – 0.7 masih dapat diterima untuk penelitian yang bersifat exploratory. (Latan & Ghozali, 2012).
3.7
Model Struktural (Inner Model) Uji kecocokan model struktural (fit test of structural model) adalah
uji kecocokan pada inner model berkaitan dengan pengujian hubungan antar variabel yang sebelumnya dihipotesiskan (Uce Indahyanti, 2013). Evaluasi menghasilkan hasil yang baik apabila: a.
Koefisien korelasi menunjukkan hubungan (korelasi) antara dua buah variabel, dimana nilai koefisien korelasi menunjukkan arah dan kuat hubungan antara dua variabel. Karena data yang dipakai dalam penelitian ini
menggunakan skala ordinal atau peringkat, maka koefisien
korelasi yang
dipakai
adalah
koefisien
korelasi
spearman
atau
koefisien korelasi range. b.
Jika r ≤ 0, berarti hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat merupakan hubungan negatif. Artinya, jika variabel bebas naik, maka variabel terikat turun. Sebaliknya, jika variabel bebas turun, maka variabel terikat naik.
c.
Jika r > 0, berarti hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat merupakan hubungan positif. Artinya, jika variabel bebas naik, maka variabel terikat naik. Sebaliknya, jika variabel bebas turun, maka variabel terikat turun.
d.
Jika r = 0, berarti hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat tidak ada hubungan. Artinya, jika salah satu variabel berubah maka tidak mempengaruhi variabel lainnya.
e.
Jika r =
-1 atau 1, berarti antara variabel bebas dan variabel terikat
terdapat hubungan negatif/positif yang kuat sempurna. Berdasarkan
kategori
koefisien
korelasi
di
atas,
maka
kriteria
penilaian koefisien korelasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.
Koefisien hubungan antar variabel tersebut signifikan secara statistik yaitu dengan nilai t-statistic ≥ 1,645. Taraf nyata atau taraf keberartian (α) dalam penelitian ini adalah 0,05, dimana di dalam tabel distribusi normal nilainya adalah 1,645. Apabila nilai t-statistic ≥ 1,645 berarti ada suatu hubungan atau pengaruh antar variabel dan menunjukkan bahwa model yang dihasilkan semakin baik (Uce Indahyanti, 2013).
b.
Nilai koefisien determinasi (R² atau R-square) mendekati nilai 1. Nilai R² untuk konstruk dependen menunjukkan besarnya pengaruh/ketepatan konstruk independen dalam mempengaruhi konstruk dependen. Nilai R² menjelaskan seberapa besar variabel eksogen yang dihipotesiskan dalam persamaan mampu menerangkan variabel endogen. Nilai R² ini dalam PLS disebut juga Q-square predictive relevance. Besarnya R² tidak pernah negatif dan paling besar sama dengan satu (0 ≤ R² ≤ 1). Semakin besar nilai R², berarti semakin baik model yang dihasilkan (Uce Indahyanti, 2013). Dalam menilai model struktural dengan PLS, kita mulai melihat dari nilai
R-Squares untuk setiap variabel laten endogen sebagai kekuatan prediksi dari model struktural. Interpretasinya sama dengan interpretasi pada OLS regresi. Perubahan nilai R-Squares dapat digunakan untuk menjelaskan pengaruh variabel
laten eksogen tertentu terhadap variabel endogen apakah mempunyai pengaruh yang substantive. Nilai R-Squares 0.75, 0.50. dan 0.25 dapat disimpulkan bahwa model kuat, moderate dan lemah. Hasil dari PLS R-Squares merepresentasikan jumlah variance dari konstruk yang dijelaskan oleh model. 3.8
Model Pengukuran Dan Model Struktural Analisis PLS-SEM biasanya terdiri dari dua sub model yaitum model
pengukuran pengukuran (measurement model) atau sering disebut outer model dan model struktural (structural model) atau sering disebut inner mode. Model pengukuran menunjukan bagaimana variabel manifest atau observed variabel merepresentasikan variabel laten untuk diukur. Sedangkan model struktural menunjukkan kekuatan estimasi atar variabel laten atau konstruk. 3.8.1 Outer Model Model pengukuran atau outer Model menunjukan bagaimana setiap blok indikator berhubungan dengan variabel latennya. Persamaan untuk outer model reflective dapat ditulis sebagai berikut X = ΛX X Y = Λ y y Keterangan x dan y adalah indikator atau manifest variabel laten (ζ) dan endogen (η), sedangkan Λx dan Λy merupakan matrik loading yang menggambarkan koefesien regresi sederhana yang menghubungkan variabel laten dengan indikatornya. Residual yang diukur dengan εx dan εy dapat diiterprestasikan sebagai kesalahan pengukuran (measurement error).
3.8.2 Inner Model Inner model menunjukan hubungan atau kekuatan estimasi antar variabel laten atau konstrak berdasarkan pada substantive theory. Persamaan Inner model dapat ditulis sebagai berikut: 0
Keterangan η adalah vektor konstruk endogen ξ adalah vektor konstruk eksogen ζ adalah vektor variabel residual karena pada dasarnya PLS didesain untuk model recursive (model yang mempunyai satu arah kausalitas), maka hubungan antara variabel laten eksogen terhadap setiap variabel laten endogen sering disebut dengan causal chain system. 3.8.3 Weight Relation Bagaimanapun outer dan inner model memberikan spesifikasi yang diikuti dalam estimasi alogritma PLS. Kita membutuhkan definisi weight relation untuk melengkapinya. Nilai kasus untuk setiap variabel laten diestimasi dalam PLS sebagai berikut: ζb =
kb
ηi =
ki
Wkb X kb
Wki Yki
Keterangan wkb dan wki adalah k weight yang digunakan untuk memberikan estimasi variabel laten ζb dan ηi. Estimasi variabel laten adalah linier agregat dari indikator yang nilai weightnya diperoleh dengan prosedur estimasi PLS seperti dispesifikasi oleh inner dan outer model η adalah vektor variabel laten
endogen (dependen) dan ξ adalah vektor variabel eksogen (independent), ζ adalah vektor variabel residual dan β serta adalah matrik
3.8.4 Pengujian Hipotesis Hipotesis merupakan pernyataan mengenai populasi yang perlu diuji kebenarannya. Untuk melakukan pengujian dilakukan dengan mengambil sampel dari populasi, cara ini telah mudah dibandingkan dengan menghitung seluruh anggota populasi. Setelah mendapatkan hasil statistik dari sampel, maka hasil tersebut dapat digunakan untuk menguji pernyataan populasi, apakah bukti empiris dari sampel mendukung atau menolak pernyataan mengenai populasi. Seluruh proses tersebut dikenal dengan pengujian hipotesis.