BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ada dua pilar dalam membangun masyarakat. Pertama, melalui sistem keyakinan. Sistem keyakinan ini adalah agama beserta sistem pendukungnya. Dalam konteks Islam, aqidah beserta syariatnya. Secara umum, ideologi beserta perangkat-perangkat struktural dan infrastruktural. Kedua melalui sistem keluarga. Sebuah unit kemanusiaan bukanlah seorang laki-laki atau seorang perempuan, melainkan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersatu membentuk sebuah keluarga.1 Layaknya air, bagian terkecil dari air bukanlah oksigen atau hidrogen, melainkan persatuan keduanya. Dalam Islam pembentukan sebuah keluarga dengan menyatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan diawali dengan suatu ikatan suci, yakni kontrak perkawinan atau ikatan perkawinan. Ikatan ini mensyaratkan komitmen dari masing-masing pasangan serta perwujudan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bersama. Seperti yang tercantum dalam pasal 1 UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”2
1 Mohammad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau dengan Hamdalah, Cet. XVIII (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), 5. 2 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Bahan Penyuluhan Hukum (Jakarta: DEPAG RI, 2001, 117).
2 Allah memerintahkan kaum muslimin agar menikah, seperti yang tercantum dalam al-Qur’an surat an-Nur ayat 32:
u!#ts)èù (#θçΡθä3tƒ βÎ) 4 öΝà6Í←!$tΒÎ)uρ ö/ä.ÏŠ$t6Ïã ôÏΒ tÅsÎ=≈¢Á9$#uρ óΟä3ΖÏΒ 4‘yϑ≈tƒF{$# (#θßsÅ3Ρr&uρ ∩⊂⊄∪ ÒΟŠÎ=tæ ììÅ™≡uρ ª!$#uρ 3 Ï&Î#ôÒsù ÏΒ ª!$# ãΝÎγÏΨøóム“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.3 Ini berarti bahwa pernikahan adalah suatu lembaga yang diperlukan dan suatu keharusan. Al-Qur’an mengutuk pembujangan sebagai hasil perbuatan setan, dan begitu juga Nabi saw. Menikah berarti memenuhi sunnah Nabi yang dianggap penting.4 Dalam Islam, perkawinan memiliki dua fungsi, dan hanya perkawinanlah sarana yang halal dalam mecapai tujuan-tujuan itu.5 Yang pertama adalah yang memenuhi hasrat pasangan, baik yang bersifat fisikal maupun spiritual. Allah SWT berfirman dalam surat al-Rûm ayat 21:
Νà6uΖ÷t/ Ÿ≅yèy_uρ $yγøŠs9Î) (#þθãΖä3ó¡tFÏj9 %[`≡uρø—r& öΝä3Å¡àΡr& ôÏiΒ /ä3s9 t,n=y{ ÷βr& ÿϵÏG≈tƒ#u ôÏΒuρ ∩⊄⊇∪ tβρã©3xtGtƒ 5Θöθs)Ïj9 ;M≈tƒUψ y7Ï9≡sŒ ’Îû ¨βÎ) 4 ºπyϑômu‘uρ Zο¨Šuθ¨Β “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan- pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” 6 3
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Surabaya: Mekar, 2004), 494. Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan (Bandung: Mizan, 1997), 51. 5 Hassan Hathout, Panduan Seks Islami, Cet. III (Jakarta: Pustaka Zahra, 2005), 2. 6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an, 572. 4
3 Perkawinan dalam Islam bertujuan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut maka diperlukan adanya kedewasaan bagi para pihak yang akan melaksanakan pernikahan, sehingga mereka mampu membina rumah tangga dengan baik. Pernikahan di usia muda pada umumnya minim persiapan baik secara fisik, materi, Gmaupun mental, sehingga sering menimbulkan gejala-gejala negatif dalam rumah tangga.7 Oleh sebab itu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 18 membatasi usia nikah yaitu 19 Tahun bagi pria dan 16 Tahun bagi wanita. Akan tetapi Undang-Undang tersebut memberikan peluang terjadinya perkawinan di usia muda, yaitu bagi kedua calon mempelai yang belum memenuhi syarat umur atau menyimpang dari ketentuan pasal 7 ayat 1 tersebut dapat meminta dispensasi nikah ke Pengadilan Agama sebagaimana yang tercantum dalam pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.9 Dalam Undang-Undang Perkawinan pun ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Salah satu asas atau prinsip yang tercantum adalah bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat
7
Anisatul Fitriyah,. Tinjauan Maslahah Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Dispensasi Nikah (online), http://digilib:uin.suka.ac.id/gdl.php., diakses 20 Maret 2010. 8 Isi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ayat 1 dan ayat 2: (1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) Tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16(enam belas) Tahun, (2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. Lihat Tim Visimedia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Jakarta: Visi Media, 2008), 7. 9 Fitriyah, Tinjauan maslahah, 1.
4 keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur.10 Di Pengadilan Agama Kota Madiun pada Tahun 2009 telah menerima perkara permohonan dispensasi nikah yaitu sebanyak 8 perkara, dimana kebanyakan dari mereka masih berstatus sebagai pelajar yang belum memiliki persiapan baik dari segi fisik, materi maupun mental.11 Mengingat tidak adanya petunjuk pelaksanaan atau aturan khusus mengenai pertimbangan hakim dan memberikan penetapan permohonan dispensasi nikah, maka hakim dituntut untuk dapat mempertimbangkan secara selektif sesuai dengan aturan (perundang-undangan) yang berlaku. Di samping itu juga perlu ditekankan pada kemaslahatan yang ingin dicapai dalam perkawinan pasangan yang bersangkutan.12 Fakta empiris lapangan menyebutkan jumlah permohonan dispensasi nikah yang masuk di Pengadilan Agama Kota Madiun Tahun 2009 didasari oleh berbagai alasan yang disampaikan oleh para pemohon, sehingga dalam hal ini dalam memberi penetapan hakim harus berdasar kepada berbagai pertimbangan-pertimbangan.13 Di Pengadilan Agama Kota Madiun pada Tahun 2009 ini juga menerima perkara dispensasi nikah dengan No. 20/pdt.P/2009/PA.MN, yang mana dalam hal ini yang mengajukan bukan orang tua calon padahal kedua orang tuanya masih ada tapi beragama Kristen. Selain hal tersebut, 10
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Cet. III (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 7. Lihat Transkrip Wawancara Nomor: 01/1/-W/F-1/22-III/2010 dalam lampiran skripsi ini. 12 Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Prenada Media, 2004), 24. 13 Imro’atul Mufidah. Perkara Dispensasi Nikah Di Pengadilan Agama Yogyakarta (online). http://www.digilib.uin.suka.ac.id.,diakses 20 Maret 2010. 11
5 permohonan dispensasi nikah ini terkait dengan masalah karena calon mempelai wanita telah hamil 2 (dua) bulan. Dari permasalahan tersebut dapat dilihat bahwa hal tersebut sangat bertentangan dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 2 yaitu yang mengajukan dispensasi adalah kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. Dan perkara tersebut juga dikabulkan oleh majelis hakim Pengadilan Agama Kota Madiun dengan berbagai pertimbangan. Seperti disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan Undang-Undang perkawinan, bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur.14 Masalah penentuan umur dalam Undang-Undang perkawinan maupun dalam kompilasi, memang bersifat ijtihâdiyah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran fikih yang lalu. Namun demikian, apabila dilacak dari referensi Al-Qur’an ini mempunyai landasan yang kuat, yaitu firman Allah dalam surat Al-Nisa’, 4:9:
©!$# (#θà)−Gu‹ù=sù öΝÎγøŠn=tæ (#θèù%s{ $¸≈yèÅÊ Zπ−ƒÍh‘èŒ óΟÎγÏù=yz ôÏΒ (#θä.ts? öθs9 šÏ%©!$# |·÷‚u‹ø9uρ ∩∪ #´‰ƒÏ‰y™ Zωöθs% (#θä9θà)u‹ø9uρ
14
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 77.
6 Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkawinan yang benar”.15 Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung menunjukkan bahwa perkawinan usia muda (pasangan belum cukup umur) akan menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraannya dan banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan perkawinan.16 Perkawinan hendaklah dilaksanakan apabila persiapan materiil maupun spiritual telah terpenuhi, sehingga dapat meninggalkan keturunan yang kuat yang mampu mengusahakan kesejahteraannya sendiri. Dari fenomena diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang permohonan dispensasi nikah tersebut dari segi yuridis, melalui analisis Undang-Undang perkawinan di Indonesia serta mengeksplorasi lebih jauh tentang dasar hukum hakim Pengadilan Agama Kota Madiun menetapkan surat putusan No. 20/pdt.P/2009/PA.MN tentang pengajuan permohonan dispensasi nikah.
B. Penegasan Istilah 1. Undang-Undang No 1 Tahun 1974: undang-undang ini merupakan undang-undang pokok yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia dan juga sebagai sumber hukum materiil Peradilan Agama.
15
Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: CV. Diponegoro, 2000), 100. Rachmat Djatnika, Sosialisasi Hukum Islam, dalam Abdurrahman Wahid, kontroversi pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Rosda Karya, 1991), 251. 16
7 2. Kompilasi Hukum Islam (KHI): merupakan sebuah kumpulan hukum Islam dari berbagai pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah terseleksi dengan baik. Dengan demikian materinya dalam kompilasi dan penetapannya dilakukan melalui suatu kesepakatan.17 3. Dispensasi nikah: kelonggaran, pengecualian, memberikan keringanan, memberikan kelonggaran dalam hal khusus dari ketentuan UndangUndang yang diberikan oleh pengadilan agama bagi calon mempelai yang belum berumur 19 Tahun bagi laki-laki dan 16 Tahun bagi perempuan.18 4. Pengadilan Agama: Pengadilan Agama ialah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.19
C. Fokus Penelitian Berangkat dari uraian diatas, penelitian ini difokuskan pada: 1. Isi surat putusan Pengadilan Agama Kota Madiun No. 20/pdt.P/2009/ PA.MN tentang pengajuan dispensasi nikah yang bukan orang tuanya. 2. Dasar putusan hakim Pengadilan Agama Kota Madiun mengabulkan pengajuan dispensasi nikah yang bukan orang tuanya pada surat putusan No. 20/pdt.P.2009/PA.MN.
17 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2004), 2. 18 Zainal Bahry, Kamus Umum (Bandung: Angkasa, 1966), 55. 19 Lihat pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Peradilan Agama.
8 D. Rumusan Masalah Berdasarkan fokus penelitian diatas, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana analisa Undang-Undang perkawinan di Indonesia terhadap putusan perkara dispensasi nikah pada surat putusan Pengadilan Agama Kota Madiun No. 20/pdt.P/2009/PA.MN? 2. Bagaimana analisa Undang-Undang perkawinan di Indonesia terhadap pertimbangan dan dasar hukum hakim Pengadilan Agama Kota Madiun dalam memutuskan perkara dispensasi nikah pada surat putusan Pengadilan Agama Kota Madiun No. 20/pdt.P/2009/PA.MN?
E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah salah satu faktor dalam suatu penelitian, sebab tujuan ini akan memberikan gambaran tentang arah penelitian yang akan dilakukan, sebagai konsekuensi dari permasalahan pokok. Yang secara spesifik deskripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui analisis Undang-Undang perkawinan di Indonesia terhadap putusan perkara dispensasi nikah pada surat putusan No. 20/pdt.P/2009/PA.MN. 2. Untuk mengetahui analisis Undang-Undang perkawinan di Indonesia terhadap pertimbangan dan dasar hukum hakim Pengadilan Agama Kota Madiun dalam memutuskan perkara dispensasi nikah pada surat putusan No. 20/pdt.P/2009/PA.MN.
9 F. Manfaat Penelitian Secara teoritis, dari penelitian ini ditemukan mekanisme dan proses pengajuan dan penyelesaian perkara permohonan dispensasi nikah di Pengadilan Agama Kota Madiun dan ditemukan pula dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa syari’ah untuk menambah wawasan mengenai permohonan perkara dispensasi nikah, yang khusus dalam permasalahan yang pengajuannya bukan dilakukan oleh orang tua atau wali kedua calon suami atau istri dan manfaat penelitian ini juga berguna untuk memperoleh gelar strata 1 (S1).
G. Telaah Pustaka Sejauh pengetahuan penulis, telah banyak buku-buku, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan yang membahas tentang dispensasi nikah bagi anak-anak yang belum berumur 19 Tahun bagi laki-laki dan 16 Tahun bagi perempuan dan prosedur pengajuannya di Pengadilan Agama, diantaranya: Imro’atul Mufidah, dalam skripsinya yang berjudul “Perkara Dispensasi Nikah Di Pengadilan Agama” dijelaskan bahwa terkait perkara dispensasi nikah yang diajukan di Pengadilan Agama mayoritas alasan para pemohon mengajukan permohonan dispensasi nikah dikarenakan calon mempelai wanita telah hamil di luar nikah, selain faktor tersebut, kekhawatiran berbuat zina serta adanya kesanggupan kedua calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan juga menjadi alasan yang disampaikan oleh pemohon.20
20
Mufidah, Perkara Dispensasi, 1.
10 Aniyatul Fitriyah, dalam skripsinya yang berjudul “Pertimbangan Hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Dispensasi Nikah” dijelaskan bahwa pertimbangan yang dipergunakan majelis hakim dalam putusannya lebih banyak menggunakan pertimbangan maslahah yang bersifat dzaruriyah dalam hal memelihara keturunan (nasl). Di samping itu juga menggunakan konsep maslahah mursalah karena ketentuan pembatasan umur dan dispensasi nikah tidak dijelaskan di dalam nash, tetapi kandungan maslahatnya sejalan dengan tindakan syara’.21 Dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam”, Moh. Idris Ramulyo menjelaskan bahwa seorang calon mempelai yang akan melangsungkan pernikahan belum mencapai umur 21 Tahun harus mendapat izin orang tua sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat (2), (3). (4), dan (5) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Permohonan dispensasi nikah bagi mereka yang belum mencapai umur 19 dan 16 bagi calon suami dan istri tersebut diajukan oleh kedua orang tua pria maupun wanita kepada Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya.22 Ahrum Hoerudin, dalam bukunya yang berjudul “Pengadilan Agama: Bahasan Tentang Pengertian, Pengajuan Perkara dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama”, mengungkapkan tentang pengertian dispensasi nikah, menurutnya dispensasi nikah ialah dispensasi yang diberikan Pengadilan Agama 21
kepada
calon
mempelai
yang
belum
cukup
umur
untuk
Fitriyah, Pertimbangan Hakim, 2. Mohd. Idris Ramulyo. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 183. 22
11 melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum mencapai 19 Tahun bagi pria dan 16 Tahun bagi wanita, dispensasi nikah diajukan oleh para pihak kepada Pengadilan Agama yang ditunjuk oleh orang tua masing-masing. Pengajuan perkara permohonan dispensasi nikah dibuat dalam bentuk permohonan (voluntair) bukan gugatan.23 Sedangkan Roihan A. Rasyid, dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Peradilan Agama”, menjelaskan bahwa calon suami belum berusia 19 Tahun dan calon istri belum berusia 16 Tahun, sedangkan mereka mau menikah dan untuk menikah diperlukan dispensasi dari pengadilan, jika kedua calon suami istri tersebut sama-sama beragama Islam, keduanya dapat mengajukan permohonan, bahkan boleh sekaligus hanya dalam satu surat permohonan, untuk mendapatkan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama, dan jika calon suami istri Non Islam, maka mengajukan permohonannya ke Pengadilan Negeri.24 Dalam skripsinya yang berjudul “Dispensasi nikah di Pengadilan Agama” Hadi Siswanto, menjelaskan bahwa adanya permohonan yang banyak tentang perkara dispensasi nikah dikarenakan secara yuridis Undang-Undang perkawinan memberikan peluang untuk melaksanakan perkawinan di bawah umur, disisi lain hakim juga tidak mempunyai wewenang untuk mencegah semakin banyaknya permohonan dispensasi nikah. Dari berbagai penelitian yang pernah dilaksanakan diatas, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa penelitian tentang permohonan dispensiasi No. 23
Ahrum Hoerudin. Pengadilan Agama: Bahasan Tentang Pengertian, Pengajuan Perkara dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), 11. 24 Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama Vol. VI. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), 13.
12 20/pdt.p/2009/Pa.Mn, memiliki urgensitas serta signifikasi permasalahan yang berbeda dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan terlebih dahulu, yang mana dalam hal ini yang mengajukan bukan orang tua calon padahal kedua orang tuanya masih ada tetapi beragama kristen. selain hal tersebut, permohonan dispensasi nikah ini terkait dengan masalah karena calon mempelai wanita telah hamil 2 (dua) bulan. Maka dari dasar tersebut, penelitian ini diangkat dalam penelitian skripsi dengan judul Analisis UndangUndang Perkawinan Di Indonesia Terhadap Putusan Hakim Pengadilan Agama Kota Madiun no. 20/pdt.p/2009 PA.Mn. Tentang dispensasi nikah.
H. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini digunakan metodologi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif,25 yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat dialami.26 Ciri khas penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan berperan serta, sebab peranan penelitian yang menentukan keseluruhan skenarionya.27 Untuk itu, dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrumen kunci,
25
Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan gejala holistik kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrument kunci. Basuki, “Pengantar Metodologi Penelitian”, 2. Naskah tidak diterbirkan, Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif” (Bandung: Alfabeta, 2005). 26 Lexy Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatf (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), 3. 27 Pengamatan berperan serta adalah sebagai penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subyek dalam lingkungan subyek, dan selama itu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan catatan tersebut berlaku tanpa gangguan, ibid., 17.
13 partisipan penuh sekaligus pengumpul data, sedangkan instrumen yang lain sebagai penunjang. 2. Lokasi Penelitian Penulis mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Kota Madiun yang beralamat di Jalan Ring Road Barat No. 1 Madiun. 3. Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subyek darimana data tersebut dapat diperoleh.28 Sedangkan dalam penelitian ini penulis sengaja menggunakan sumber data primer yakni semua yang diperoleh dari penelitian lapangan dan berkas putusan No. 20/pdt.P/2009/PA.MN, tentang dispensasi nikah yang diajukan oleh bukan walinya di Pengadilan Agama Kota Madiun, sedangkan sumber data sekunder penulis ambil dari buku-buku atau tulisan-tulisan lainnya yang secara langsung maupun tidak berhubungan dengan obyek penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk
mengumpulkan
data
dalam
penelitian
ini,
penulis
menggunakan metode sebagai berikut: a. Metode interview, yaitu wawancara yang dilakukan kepada subyek penelitian berdasarkan pada tujuan penelitian. b. Metode dokumentasi, yaitu mencari data dengan cara mengumpulkan dan mengamati data-data yang berupa berkas putusan majelis hakim No.
20/pdt.P/2009.PA.MN.
dan
catatan-catatan
valid
yang
berhubungan dengan obyek penelitian. 28
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Penelitian Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 107.
14 5. Teknik Pengolahan Data Dalam pembahasan skripsi ini penulis menggunakan metode pengolahan data sebagai berikut: a. Editing
: pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh terutama dari segi perlengkapannya, keselarasan satu dengan yang lainnya. Tahap editing ini dilakukan
degnan
cara
mengolah
data
hasil
wawancara untuk disesuaikan dengan materi-materi yang akan dibahas b. Organizing
: Dalam tahap ini pengorganisasian data dilakukan secara
sistematis
dalam
bentuk
paparan
sebagaimana yang telah direncanakan sesuai dengan rumusan masalah. c. Penemuan hasil : tahap
ini
penemuan
hasil
merupakan
tahap
interpretasi dan analisis terahdap temuan-temuan penelitian.
Sehingga
dapat
diperoleh
suatu
pembahasan yang holistic sebagai jawaban dari rumusan masalah. 6. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif mengikuti konsep yang diberikan Miles dan Huberman. Miles & Huberman mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara
15 terus menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas dan datanya sampai jenuh. Aktifitas dalam analisis data terdiri dari: a. Collection
: pengumpulan data.
b. Reduction
: membuang data yang tidak penting dan mengambil yang penting. Tujuannya dari reduksi adalah menyeleksi data-data yang diperoleh dari hasil penelitian, baik dengan cara wawancara, observasi maupun dokumentasi.
c. Display
: memasukkan hasil reduksi ke dalam peta-peta. Tujuan agar dapat dengan mudah disajikan dalam laporan penelitiannya.
d. Conclusion
: penarikan kesimpulan yang mana dalam penelitian ini kesimpulan awal bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan data-data baru dan buktibukti kuat di lapangan.
7. Tahap-tahap dan Jadwal Penelitian Dalam penelitian ini ada 3 (tiga) tahapan penelitian, dan ditambah dengan tahap terakhir dari penelitian yaitu tahap penulisan laporan hasil penelitian. Tahap-tahap penelitian tersebut adalah sebagai berikut: a. Tahap pra lapangan, yang meliputi: menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajagi dan menilai keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan perlengkapan penelitian dan yang menyangkut persoalan etika penelitian.
16 b. Tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi: memahami latar penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan dan berperan serta sambil mengumpulkan data. c. Tahap analisis data, yang meliputi: analisis data selama pengumpulan data dan setelah pengumpulan data. d. Tahap penulisan hasil laporan penelitian.
I. Sistematika Pembahasan Agar penulis memperoleh bentuk tulisan yang ilmiah dan sistematis maka penulis memaparkan beberapa bab yang secara sistematis terurai sebagai berikut: BAB I
: Di dalam skripsi ini di awali dengan bab pendahuluan secara implisit, merupakan pola awal untuk kesinambungan bagi babbab selanjutnya, karena dari bab ini dapat diketahui kemana arah pembahasan yang ada. Dengan demikian terlebih dahulu penyusun memaparkan beberapa uraian yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, tahap-tahap penelitian, dan jadwal penelitian serta sistematika pembahasan.
BAB II
: Berisi tentang dispensasi nikah perspektif Undang-Undang perkawinan di Indonesia. Pada sub bab pertama dijelaskan tentang pengertian perkawinan menurut hukum positif dan hukum islam, selanjutnya dipetakan agar lebih spesifik yaitu tinjauan yuridis tentang dispensasi nikah menurut UndangUndang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta tinjauan
17 yuridis menegenai dispensasi nikah menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI). BAB III
: Berisi tentang putusan Pengadilan Agama Kota Madiun No. 20/pdt.P/2009/PA.MN. tentang dispensasi nikah pada sub bab pertama berisi tentang profil Pengadilan Agama Kota Madiun dan pada sub bab kedua berisi tentang putusan dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Kota Madiun dalam memutuskan perkara No. 20/pdt.P/2009/PA.MN.
BAB IV
: Berisi tentang analisis undang-undang perkawinan di Indonesia terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Kota Madiun No. 20/pdt.P/2009/PA.MN. tentang dispensasi nikah. Pada sub bab pertama berisi tentang analisis Undang-Undang perkawinan di Indonesia terhadap putusan No. 20/pdt.P/2009/PA.MN. tentang dispensasi nikah dan pada sub bab kedua berisi tentang analisis Undang-Undang perkawinan di Indonesia terhadap pertimbangan dan dasar hukum hakim Pengadilan Agama Kota Madiun No. 20/pdt.P/2009/PA.MN.
BAB V
: Bagian akhir dari penyusunan skripsi ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.
18 BAB II DISPENSASI NIKAH PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Pengertian Perkawinan Perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1, diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan merupakan salah satu kodrat dalam perjalanan hidup manusia. Pernikahan bukan hanya sekedar jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan menuju pintu perkenalan, akan tetapi menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Disamping itu juga pernikahan merupakan jalan untuk menghindarkan manusia dari kebiasaan hawa nafsu yang menyesatkan. Adapun syarat syahnya pernikahan itu apabila telah memenuhi syarat-syarat
yang
telah
ditentukan
oleh
Undang-Undang
maupun
hukum Islam. Dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing. Sedangkan menurut hukum perkawinan Islam yang dijadikan pedoman sah dan tidaknya pernikahan itu adalah dipenuhinya syarat-syarat dan rukun pernikahan berdasarkan hukum agama Islam. Dalam hal ini hukum Islam mengenal perbedaan antara syarat dan rukun pernikahan.
18
19 Rukun merupakan sebagian dari hakekat pernikahan itu sendiri dan jika tidak dipenuhi maka pernikahan tidak akan terjadi.29 Rukun pernikahan tersebut antara lain : 1. Adanya kedua mempelai 2. Adanya wali dari pihak calon mempelai wanita 3. Adanya dua orang saksi 4. Adanya shighot akad nikah atau ijab qabul 5. Mahar atau mas kawin.30 Adapun syarat pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 antara lain : a. Perkawinan dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya, pasal 2 ayat (1) b. Tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, pasal 2 ayat (2) c. Perkawinan seorang laki-laki yang sudah mempunyai istri harus mendapat ijin dari pengadilan, pasal 3 ayat (2) dan pasal 27 ayat (2) d. Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 Tahun harus mendapat ijin kedua orang tua. Pasal 6 ayat (2). Bila orang tua berhalangan, ijin diberikan oleh pihak lain yang ditentukan dalam Undang-Undang pasal 6 ayat (2-5). e. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 Tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 Tahun. Pasal 7 ayat
29 Ahmad Ichsan, Hukum Perkawinan bagi yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan dan Ulasan secara Sosiologi Hukum (Jakarta: Pradia Paramita, 1986), 31. 30 Slamet Abidin dan H. Aminudin, Fiqih Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 72.
20 (1), ketentuan ini tidak bertentangan dengan Islam, sebab setiap masyarakat dan setiap zaman berhak menentukan batas-batas umur bagi perkawinan selaras dengan system terbuka yang dibakai Al Qur'an dalam hal ini. f. Harus ada persetujuan antara kedua calon mempelai kecuali apabila hukum menentukan lain. Pasal 6 ayat (1), hal ini untuk menghindarkan paksaan bagi calon mempelai dalam memilih calon isteri atau suami. Diantara syarat-syarat tersebut adalah salah satu cara yang harus dipenuhi dalam mencapai tujuan suatu pernikahan. Dalam pasal 1 UndangUndang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa pernikahan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material, yang artinya bahwa pernikahan yang dilangsungkan bukan hanya sementara saja, akan tetapi untuk selama-lamanya. Dikarenakan tidak boleh pernikahan yang dilangsungkan untuk sementara saja seperti pernikahan kontrak. Dari rumusan tersebut dapat mengandung makna bahwa pernikahan tersebut dapat melahirkan kebahagiaan lahir dan batin yang bersifat kekal abadi.
21 B. Tinjauan Yuridis Tentang Dispensasi Perkawinan menurut perundangundangan yang berlaku. 1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia, menetapkan batas umur perkawinan 19 Tahun bagi laki-laki dan 16 Tahun bagi perempuan, (pasal 7 ayat (1)), namun batas usia tersebut bukan merupakan batas usia seseorang telah dewasa yang cukup dewasa untuk bertindak, akan tetapi batas usia tersebut hanya merupakan batas usia minimal seseorang boleh melakukan pernikahan. Di dalam pasal 6 ayat (2), disebutkan bahwa seseorang sudah dikatakan dewasa kalau sudah mencapai umur 21 Tahun, sehingga dalam melakukan pernikahan tidak perlu mendapatkan izin dari kedua orang tuanya. Pasal 6 ayat 2 ini sejalan dengan pemikiran Yusuf Musa yang berpendapat bahwa orang dikatakan sudah sempurna kedewasaannya setelah mencapai umur 21 Tahun. Mengingat situasi dan kondisi zaman dan sekaligus juga mengingat pentingnya pernikahan di zaman modern sekarang ini, orang menikah demi kemaslahatan umat manusia. Namun kalau dicermati seksama pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, khususnya sehingga orang menikah tidak harus mencapai usia yang ditentukan dalam pasal-pasal UndangUndang tersebut. Seseorang sudah boleh menikah jika sudah siap lahir dan batin. Kesiapan mental dan fisik harus diperhatikan, mengingat tanggung jawab yang akan diemban dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
22 Sejak awal berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 hingga akhir-akhir ini masih banyak dijumpai, bila calon pengantin belum mencapai umur sebagaimana ditentukan pada pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka kebanyakan aparat desa mengambil jalan pintas dengan memalsukan umur calon pengantin tersebut kemudian proses perkawinan di Kantor Urusan Agama lancar karena telah sesuai ketentuan formal, meskipun hakikinya umur calon pengantin tersebut belum mencapai umur sesuai yang dikehendaki Undang-Undang.31 Namun setelah berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, pemerintah desa memperketat pengurusan surat-surat yang berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan. Pengetatan ini terjadi barangkali akibat ketentuan pidana pasal 93 yang cukup berat yaitu : “ Setiap penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan atau dokumen kepada instansi pelaksana dalam melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Tahun dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah).”32 Selanjutnya pada pasal 7, terdapat persyaratan-persyaratan lebih rinci. Berkenaan dengan calon mempelai pria dan wanita, Undang-Undang mensyaratkan batasan minimum calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 Tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 Tahun.
31
Ahmad Kuzairi, Nikah Sebagai Perikatan (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), 34. Lihat Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Pemerintah Desa Pasal 93. 32
23 Selanjutnya dalam hal adanya penyimpangan terhadap pasal 7, dapat dilakukan dengan meminta dipensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Ternyata
Undang-Undang
perkawinan
melihat
persyaratan
perkawinan itu hanya menyangkut persetujuan kedua calon dan batasan umur serta tidak adanya halangan perkawinan antara kedua calon mempelai tersebut. Ketiga hal ini sangat menentukan untuk pencapaian tujuan perkawinan itu sendiri.33 Persetujuan kedua calon meniscayakan perkawinan itu tidak didasari oleh paksaan. Syarat ini setidaknya mengisyaratkan adanya emansipasi wanita sehingga setiap wanita dapat dengan bebas menentukan pilihannya siapa yang paling cocok dan maslahat sebagai suaminya. Jadi disini tidak ada paksaan, terlebih lagi pada masyarakat yang telah maju.34 Apabila dibandingkan dengan batasan umur calon mempelai di beberapa negara muslim, Indonesia secara definitif belum yang tertinggi. Berikut data komparatif yang dikemukakan Tahir Mahmood dalam buku Personal Law In Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), sebagai berikut35:
33 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), 45-47. 34 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1957), 35. 35 Rofiq, Hukum Islam …., 79.
24 No
Negara
Laki-laki
Perempuan
1
Aljazair
21
18
2
Bangladesh
21
18
3
Mesir
18
16
4
Indonesia
19
16
5
Irak
18
18
6
Jordania
16
15
7
Libanon
18
17
8
Libya
18
16
9
Malaysia
18
16
10
Maroko
18
15
11
Yaman Utara
15
15
12
Pakistan
18
16
13
Somalia
18
18
14
Yaman Selatan
18
16
15
Suriah
18
17
16
Tunisia
19
17
17
Turki
17
15
Penentuan batas umur tersebut, masing-masing negara tentu memiliki pertimbangan sendiri-sendiri, sehubungan dengan hal ini, Rachmat Djatnika berkesimpulan: “Penerapan konsepsi hukum Islam di Indonesia dalam kehidupan masyarakat dilakukan dengan penyesuaian pada budaya Indonesia yang hasilnya kadang-kadang berbeda dengan hasil ijtihad penerapan hukum Islam negeri-negeri Islam lainnya seperti halnya yang terdapat pada jual beli, sewa menyewa, warisan, wakaf dan hibah. Demikian pula penerapan hukum Islam dilakukan melalui yurisprudensi di Pengadilan Agama”.36
36
Tohir Mahmood, Personal Law In Islamic Countries, (New Delhy: Academy of Law and Religion, 1987), 270.
25 Mengenai perwalian Undang-Undang perkawinan tidak mengatur tentang wali nikah secara eksplisit. Hanya dalam pasal 26 ayat (1) dinyatakan: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami isteri, jaksa dan suami atau isteri”. Jadi secara implisit bunyi pasal diatas mengisyaratkan dengan jelas bahwa perkawinan yang tidak diikuti wali, maka perkawinannya batal atau dapat dibatalkan. Namun demikian, apabila ternyata mereka yanga melangsungkan perkawinan telah hidup bersama sebagai suami isteri, maka hak untuk membatalkannya menjadi gugur. Ini sejalan dengan isyarat hadîth yang telah dikutip di atas, bahwa apabila mereka sudah terlibat hubungan suami isteri, maka mempelai perempuan berhak mendapatkan mahar. Dalam rumusan Undang-Undang perkawinan dinyatakan: “Hak untuk membatalkan suami, atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri yang dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.”37 Kata perwalian dalam Undang-Undang Perkawinan, memang digunakan dalam pasal 50 sampai dengan pasal 54, tetapi pengertiannya bukan wali nikah, tetapi wali sebagai pengampu atau kurator bagi anak yah safih atau hajru. Jadi sebenarnya masalah wali nikah yang dimaksud pasal 26 diatas dikembalikan kepada pasal 2, yang menegaskan bahwa 37
R, Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1960), 41.
26 ketentuan hukum agama yang menjadi penentu utama sah dan tidaknya perkawinan, karena pada prinsipnya seorang wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, demikian juga wanita menikahkan wanita lainnya.38 Seperti yang telah dipaparkan di atas dalam Undang-Undang Perkawinan hanya tercantum batas umur minimal bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan, sedangkan batas umur minimal ini tidak dikemukakan dalam Undang-Undang tersebut. Ini berarti umur berapa pun seseorang itu boleh kawin, asalkan telah melampaui batas bawah dari umur perkawinan. Dalam Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya ditetapkan bahwa suatu perkawinan baru dapat dilakukan apabila telah dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Akan tetapi dalam hal tertentu walaupun salah satu atau kedua calon mempelai tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Undang-Undang, Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk dapat memberikan dispensasi untuk mengadakan perkawinan.39 Dispensasi yang dimaksudkan di sini adalah pengecualian penerapan ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan yang diberikan oleh Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk pada suatu perkawinan yang akan dilakukan karena salah satu atau kedua calon mempelai belum mencapai umur minimal untuk mengadakan perkawinan. Karena dalam hukum perkawinan Indonesia mengatur bahwa perkawinan hanya diijinkan jika calon mempelai pria telah mencapai usia 19 Tahun dan calon 38 39
Al-San’âny, Subul al-Salam juz 3, (Kairo: Dar Ihya’ al-Turas al-Islamy, 1960), 119-120. Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), 31.
27 mempelai wanita telah berusia 16 Tahun. Bila terjadi penyimpangan dalam arti bahwa usia kedua calon mempelai atau salah seorang di antara mereka berada di bawah usia yang ditentukan, dapat diminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri Agama RI No. 3 Tahun 1975 dalam pasal 13 disebutkan : a. Apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19 Tahun dan calon isteri belum mencapai umur 16 Tahun hendak melangsungkan pernikahan harus mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama; b. Permohonan dispensasi nikah bagi mereka tersebut diajukan oleh kedua orang tua pria maupun wanita kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya; c. Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan
dispensasi
tersebut,
maka
Pengadialan
Agama
memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan. Pasal ini memberikan penetapan mengenai batas usia minimum untuk dapat melangsungkan pernikahan, akan tetapi karena menurut hukum Islam mengenai usia untuk nikah hanya diisyaratkan balig, maka diberi kemungkinan dispensasi oleh Hakim.40 Dengan adanya penentuan batas umur minimal untuk mengadakan perkawinan, jelas bahwa umur mempunyai peranan dalam perkawinan. Namun sampai sejauh mana hubungan umur dalam keluarga terbentuk 40
Bahder Johan Nasution & Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), 33.
28 sebagai akibat dari perkawinan itulah kiranya yang perlu mendapat sorotan.41 a. Hubungan umur dengan faktor fisiologis dalam perkawinan Batas umur yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut bila dikaji lebih lanjut, lebih menitik beratkan pada pertimbangan segi kesehatan. Hal itu akan jelas dapat dibaca pada penjelasan dari Undang- Undang tersebut, bahwa “Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu diterapkan batas-batas umur untuk perkawinan”. Dengan kalimat itu nampak bahwa yang meNonjol dalam meletakkan batas dalam perkawinan lebih atas dasar pertimbangan kesehatan daripada mempertimbangkan baik segi psikologis, maupun segi sosialnya. b. Hubungan umur dengan faktor psikologis dalam perkawinan Pada bagian depan telah dikemukakan bahwa umur selain mempunyai kaitan dengan keadaan fisiologis, umur juga mempunyai kaitan dengan keadaan
psikologis
seseorang.
Dilihat
dari
segi
psikologis
perkembangan, dengan makin bertambah umur seseorang, diharapkan akan lebih masak lagi psikologisnya. Anak akan mempunyai keadaan psikologis yang berbeda dengan remaja, demikian pula remaja akan mempunyai keadaan psikologis yang lain dengan orang dewasa, dan juga berbeda dengan keadaan orang yang telah lanjut usia.
41
O.S, Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori Dan Praktek (Jakarta: Rajawali Press, 2003), 49.
29 c. Hubungan umur dengan kematangan sosial, khususnya sosial-ekonomi dalam perkawinan Dalam perkawinan yang perlu diperhatikan tidak hanya dari segi kematangan fisiologis saja, tetapi juga dari segi sosial, khususnya sosial-ekonomi. Kematangan sosial-ekoNomi pada umumnya juga berkaitan erat dengan umur individu. Makin bertambah umur seseorang, kemungkinan untuk kematangan dalam bidang sosialekonomi juga akan makin nyata. Pada umumnya dengan bertambahnya umur seseorang akan makin kuatlah dorongan untuk mencari nafkah sebagai penopang. Karena itu dalam hal 39 perkawinan masalah kematangan ekonomi perlu juga mendapatkan pemikiran, sekalipun dalam batas yang minimal.42 Dari uraian di atas jelas bahwa umur 19 Tahun bagi calon mempelai pria dan 16 Tahun bagi calon mempelai wanita sebenarnya bukanlah merupakan umur yang ideal untuk mengadakan perkawinan. Oleh karena pada umur tersebut biasanya mereka sedang menuntut ilmu pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau baru memasuki Perguruan Tinggi. Karena dalam Undang-Undang Perkawinan ketentuan umur dalam perkawinan diatur sebagai berikut : “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) Tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) Tahun”.43
42 43
Bimo Walgito, Bimbingan …, 27. Eoh, Perkawinan Antar Agama, 51.
30 Jadi apabila perkawinan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan, yaitu apabila calon mempelai belum cukup umur harus meminta izin kepada kedua orang tua atau meminta dispensasi kawin jika masih belum mencapai umur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan, karena dalam pengajuan dispensasi kawin ini haruslah diajukan oleh kedua orang tua salah satu calon mempelai. Karena apabila kedua orang tua salah satu mempelai tidak mengajukan izin dispensasi kawin ke Pengadilan Agama maka perkawinana tersebut dapat dibatalkan. Sesuai dengan pasal 6 (3 dan 4) bahwasannya izin kedua orang tua harus diperoleh karena orang tua adalah wali dalam perkawinan dan perkawinan menjadi tidak sah apabila tidak adanya izin dari kedua orang tua atau wali yang bersangkutan. Sedangkan urutan-urutan wali dalam perkawinan atau orang yang berhak menjadi wali atau yang dapat memberikan izin kawin adalah : a. Ayah b. Datuk, ayah dari ayah c. Saudara laki- laki seibu sebapak atau sebapak saja d. Saudara laki-laki ayah, paman e. Anak laki- laki dari saudara laki- laki seibu sebapak atau bila tidak ada sebapak saja f. Anak laki- laki dari yang tersebut dalam poin 4 g. Paman dari bapak (adik dari kakak) h. Anak laki- laki dari poin 7 i. Paman dari kakek
31 j. Anak laki- laki dari poin 9 k. Hakim. Jadi dapat disimpulkan bahwa izin orang tua dalam perkawinan yang masih belum cukup umur harus ada izin orang tua dan apabila izin tersebut tidak ada maka perkawinannya dapat dibatalkan karena izin orang tua di dalam Undang-Undang Perkawinan merupakan syarat sahnya perkawinan dan apabila 41 tidak terpenuhi maka menjadi batal, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 22 yang berbunyi : ”Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Karena wali atau orang tua harus memberikan izin atau harus menjadi wali dalam perkawinan, karena apabila orang tua atau wali tidak mau menjadi wali atau memberikan izin kepada anaknya maka perkawinannya tidak sah dan menjadi batal karena izin orang tua dalam dispensasi kawin adalah syarat sahnya perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Persyaratan ijin dari orang tersebut dapat juga diartikan bahwa pihak yang mengajukan surat permohonan dispensasi adalah orang tua dari calon mempelai, sebagai mana diterangkan dalan Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 4 yang berbunyi: “Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.”
32 Maka pengajuan surat permohonan dispensasi nikah dapat diwakilkan pada wali, jika oran gtua sudah tidak ada, atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Kata-kata “keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya” dapat di interpretasikan bahwa orang tua yang bersangkutan tidak dapat menyataka kehendaknya secara langsung maupun tidak langsung karena suatu hal halangan. 2. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pernikahan dilakukan untuk memberikan legalitas atau memberikan perlindungan serta kepastian hukum apabila hal tersebut diatas dilakukan dengan mendasarkan pada aturan yang ada, aturan yang dimaksud tentunya yang berlaku pada wilayah atau yuridiksi tertentu. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, pengertian tersebutlah yang membedakan antara perikatan perjanjian dalam perkawinan dengan perikatan atau perjanjian pada umumnya atau perikatan perdata yang hanya menjangkau perikatan secara lahir saja. Hukum positif di Indonesia atau hukum yang berlaku di Indonesia telah memberikan batasan secara “Lex Speciale” atau secara khusus mengenai perkawinan tersebut yakni melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang dikuatkan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), seperti kita ketahui bahwa suatu aturan ataupun hukum yang berlaku di Indonesia maupun beberapa negara lain bersifat tidak hanya menjangkau legalitas formal saja atau pengesahan saja tetapi
33 juga menganut pertimbangan moral, sosial, politis, dan historis, sosiologi, dan yuridis. Lalu bagaimana hukum di Indonesia mengatur mengenai perkawinan, khususnya mengenai perkawinan yang dilakukan oleh para pihak yang masih di bawah umur atau belum dewasa.44 Terlebih dahulu kita lihat salah satu syarat-syarat sahnya suatu perkawinan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal 6 ayat (2) : “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 Tahun harus mendapat izin kedua orang tua.” Pasal 7 ayat (1) jo. pasal 15 Kompilasi Hukum Islam: “Perkawinan hanya di izinkan jika pria sudah berusia 19 Tahun dan pihak wanita berusia 16 Tahun.” Penyimpangan terhadap ketentuan diatas dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak wanita maupun laki-laki, berdasarkan ketentuan beberapa pasal di atas kita ketahui seseorang baru dikatakan siap untuk melakukan perkawinan jika pria berusia 19 Tahun dan wanita 16 Tahun, hal ini tidaklah lain bertujuan untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunan
perlu
ditetapkan
batas
umur
untuk
melangsungkan
perkawinan.”45
44
Yuli Dian Fisnanto, Pandangan Hukum Islam Terhadap Pernikahan Di Bawah Umur (online), (http:www.wawasan_hukum.blogspot.com, diakses 3 Mei 2010), 1. 45 Ibid.
34 Berbeda dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, KHI ketika membahas rukun perkawinan sebagaimana fîkîh yang mengaitkan rukun dan syarat, ini di muat dalam pasal 14. Kendatipun KHI menjelaskan lima rukun
perkawinan
sebagaimana
fîkîh,
ternyata
dalam
uraian
persyaratannya KHI mengikuti Undang-Undang perkawinan yang melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua calon mempelai dan batasan umur.46 Yang menarik pada pasal-pasal berikutnya juga dibahas tentang wali (pasal 19), saksi (pasal 24), akad nikah (pasal 27), namun sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari pembahasan rukun. Sampai disini KHI tidak mengikuti skema fîkîh, juga tidak mengikuti UndangUndang No. 1 Tahun 1974 yang hanya membahas persyaratan perkawinan menyangkut kedua calon mempelai. Bagian ketiga mengenai wali nikah, pasal-pasal KHI menyatakan: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya”.47 Selanjutnya pasal 20 dinyatakan: a. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat Islam yakni muslim, akil dan balig. b. Wali nikah terdiri dari: a. Wali nikah b. Wali nasab KHI merinci tentang wali nasab dan wali hakim dalam pasal 21, 22 dan 23. Selengkapnya akan dikutip di bawah ini:
46
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974, (Jakarta: Tinta Mas, 1975), 19. Lihat juga Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan, 48. 47 Ibid.
35 Pasal 21: (1). Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama: Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua: Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga: Kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat: Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara lakilaki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. (2). Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai. (3). Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah. (4). Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung, atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.48 Pasal 22: “Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya”.49 Apabila wali-wali tersebut tidak ada, maka hak perwalian pindah kepada Kepala Negara (sultân) yang biasa disebut dengan wali hakim, yang ditegaskan dalam pasal 23: (1). Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. (2). Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. 48 49
Lihat pasal 20 dan 21 Kompilasi Hukum Islam. Lihat juga Taqiyuddin Abu Bakr, Kifayat al-Akhyar juz 1, (Bandung: al-Ma’arif, tt), 49.
36 Dari uraian di atas syarat-syarat perkawinan yang terdapat di dalam Undang-Undang perkawinan sangat berbeda dengan fîkîh Islam baik skema
ataupun
materinya,
Undang-Undang
perkawinan
tetap
memfokuskan syarat perkawinan pada kedua calon mempelai. Jadi sahnya sebuah perkawinan terletak pada mereka berdua. Walaupun berkenaan dengan dua rukun yaitu calon suami dan istri, KHI mengacu pada UndangUndang Perkawinan, namun rukun yang lain seperti wali, saksi dan akad KHI kembali kepada aturan-aturan fîkîh. Bahkan ada kecenderungan kuat tidak ada yang baru di dalam KHI berkenaan dengan penjelasan rukun tersebut.50
50
Hazairin, Tinjauan mengenai …, 18.
37 BAB III PUTUSAN (PENETAPAN) DAN PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA KOTA MADIUN PADA SURAT PUTUSAN NO. 20/pdt.P/2009/PA.MN. TENTANG DISPENSASI NIKAH
B. Profil Pengadilan Agama Kota Madiun 1. Kebijakan Umum Peradilan Agama Kota Madiun Pembentukan Lembaga Peradilan di Indonesia diawali dengan lahirnya Undang-Undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 04 Tahun 1970. Seiring dengan tuntutan reformasi selanjutnya diubah menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan didalam Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.51 Lembaga Peradilan yang memiliki kewenangan yang luas yaitu untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara antar warga negara, maka harus menerapkan hukum acara yang gunanya untuk menjamin ditaatinya hukum materiil yang ada atau melindungi hak perseorangan. Pelaksanaan hukum acara yang setepat-tepatnya, sebagai penuntun pelaksanaan hukum materiil selama proses penyelesaian perkara di 51
Pengadilan Agama Kota Madiun, Laporan Tahunan Tahun 2009 (Madiun: PA Kota Madiun, 2009), 1.
37
38 Pengadilan Agama dalam rangka memberi pelayanan hukum yang berkualitas, kiranya harus senantiasa menjadi concern aparat peradilan. Ketidakpuasan dan keluhan sebagian masyarakat terhadap pelayanan lembaga-lembaga peradilan sebagaimana sering terdengar, diharapkan dapat berkurang.52 Pengadilan Agama sebagai institusi pelayanan publik berkewajiban memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan. Proses yang cepat, sederhana dan biaya ringan adalah salah satu azas dalam hukum acara perdata. Untuk merealisasikan hal-hal tersebut di atas Pengadilan Agama Kota Madiun mengambil kebijaksanaan untuk senantiasa berusaha memberikan pelayanan sebaik-baiknya, sehingga masyarakat merasa puas dengan pelayanan tersebut. Untuk menunjang pelayanan tersebut Pengadilan Agama Kota Madiun memaksimalkan pemanfaatan tehnologi informasi dengan berbagai jenisnya dan secara terus menerus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan serta agar dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat pencari keadilan. Bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat serta bertambah banyaknya kebutuhan hidup masyarakat sangat berpengaruh terhadap jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Kota Madiun. Untuk menyelesaikan perkara tersebut perlu disertai dengan upaya meningkatkan kwalitas dan kwantitas Sumber Daya Manusia yang ada disertai dengan kinerja yang profesional, disiplin
52
Ibid., 2.
39 serta etos kerja yang tinggi. Oleh karena itu, Surat Keterangan Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 35/SK/IX/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 71/KMA/SK/V/2008 tentang Ketentuan Penegakan Disiplin Kerja perlu dilaksanakan secara maksimal.53 2. Visi dan Misi Visi Pengadilan Agama Kota Madiun yaitu Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan Kehakiman yang mandiri, efektif, efisien, serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberikan pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkaun dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik. Untuk mencapai visi tersebut ditetapkan misi-misi sebagai berikut: a. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan serta memenuhi rasa keadilan masyarakat. b. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari campur tangan pihak lain. c. Memperbaiki akses pelayanan dibidang peradilan kepad amasyarakat. d. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan. e. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien dan bermartabat serta dihormati. f. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.
53
Ibid., 2-3.
40 3. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Hal Dispensasi Perkawinan Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah menjadikan Umat Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Peradilan agama hendak menegakkan substansi nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam. Secara rinci kewenangan absolute peradilan agama diatur dalam Undang-Undang Pasal 49 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 dan Penjelasannya, yakni: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Perkawinan Waris Wasiat Hibah Wakaf Infak Shadaqah Ekonomi syariâh Pada poin pertama yaitu bidang perkawinan, dijelaskan sebagai
berikut: a. Izin beristri lebih dari seorang; b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 Tahun dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; c. Dispensasi kawin; d. Pencegahan perkawinan; e. Penolakan perkawinan oleh PPN; f. Pembatalan perkawinan; g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;54 h. Perceraian karena talak; i. Gugatan perceraian; 54
Lihat Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 pasal 49.
41 j. Penyelesaian harta bersama; k. Penguasaan anak-anak; l. Ibu dapat memilkul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mamatuhinya; m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri; n. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak; o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; p. Pencabutan kekuasaan wali q. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; r. Penunjukan wali dalam hal seoarang anak yang belum cukup umur (18 Tahun) yang ditinggal kedua orang tuanya; s. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya; t. Penetapan asal-usul dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam; u. Putusan tentang hal Penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UndangUndang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa permohonan dispensasi nikah menjadi bagian dari wewenang absolute Pengadilan Agama. Oleh sebab itu maka setiap orang yang beragama Islam yang akan mengajukan permohonan dispensasi nikah, maka pengajuan serta penyelesaian perkaranya menjadi wewenang Pengadilan Agama. Prosedur beracara di Pengadilan Agama diatur dalan UndangUndang No. 7 Tahun 1989 pada Bab V mengenai hukum acaranya. Yaitu menerangkan bahwa hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama sama dengan hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum.
42 C. Putusan (Penetapan) Hakim Dalam Permohonan Dispensasi Nikah No. 20/pdt.P/ 2009/PA. MN. Pengadilan
Agama
setelah
memeriksa
dalam
persidangan
dan
berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan Agama memberikan dispensasi nikah dengan suatu penetapan.55 Adapun penetapan yang penulis analisis di Pengadilan Agama Madiun adalah Penetapan No. 20/pdt.P/2009/PA. MN. Pengadilan Agama Kota Madiun yang memeriksa dan mengadili perkara perdata tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan dalam perkara permohonan Dispensasi Kawin yang diajukan oleh: Aji Suprani Bin Adi Suwarno, umur 32 Tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Dusun IV Rt. 03/ Rw 08 Desa Wayut, Kecamatan Jiwan. Kabupaten Madiun, menunjuk domisili di Jl. Mayjen Sungkono No. 87 Kelurahan Nambangan Lor Kecamatan Mangun Harjo Kota Madiun, untuk selanjutnya disebut sebagai pemohon. Dalam positanya pemohon mengajukan hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa pemohon adalah paman dari seorang anak laki-laki nama Boy Hery Septiyan, karena pemohon adalah saudara sepupu dua kali dari ibu kandung Boy Hery Septiyan, yang bernama Iswatun. 2. Bahwa keponakan pemohon yang bernama Boy Hery Septiyan, mempunyai ayah kandung bernama Henry yang bergama Kristen, dan ibu kandung bernama Iswatun yang juga bergama Kristen.
55
Salinan Putusan No. 20/pdt/P/2009/PA.MN.
43 3. Bahwa keponakan pemohon tersebut telah menjalin hubungan sangat akrab dengan seorang perempuan bernama Wilya Purnama Sari Binti Suyono, umur 18 Tahun, agama Islam, berstatus perawan dan keduanya saling mencintai, sulit dipisahkan bahkan keduanya telah bertekad untuk segera melangsungkan
pernikahan secara resmi sesuai dengan hukum
yang berlaku. 4. Bahwa keponakan pemohon sekarang telah tampak dewasa, mengerti halhal yang berhubungan dengan kewajiban dancara bersuami istri atau berumah tangga dan tideak sabar menunggu sampai usia 19 Tahun, bahkan berkali-kali minta untuk segera dinikahkan dengan wanita pilihannya tersebut. 5. Bahwa keponakan pemohon dengan calon istrinya tersebut tidak pancat wali maupun tunggal susuan (rodho'ah) dan tidak dalam ikatan lamaran (khitbah) orang lain, sehingga tidak ada halangan untuk melangsungkan pernikahan baik menurut syar'i maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pelaksananya, maupun peraturan yang berlaku lainnya. 6. Bahwa bapak, ibu dari Boy Hery Septiyan, dengan orang tua calon istrinya kini telah terjadi lamaran dan telah setuju untuk menikah agar terhindar dari hal-hal yang tidak di inginkan serta telah mendaftarkan ke Kantor Urusan Agama Kecamatan Sawahan Kabupaten Madiun, namun ditolak dengan alasan keponakan pemohon tersebut ternyata masih belum cukup umur untuk kawin (belum memenuhi persyaratan) sehingga pernikahannya ditunda menunggu penetapan dispensasi kawin dari Pengadilan Agama.
44 Dan dalam petitumnya, pemohon memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Madiun Majelis Hakim agar berkenan membuka persidangan untuk memberikan penetapan sebagai berikut: a. Mengabulkan permohonan pemohon. b. Menetapkan memberi dispensasi kawin x untuk melangsungkan perkawinan dengan y. c. Menetapkan biaya perkara menurut hukum. Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadiladilnya. Bahwa pemohon telah hadir secara pribadi di persidangan, dan oleh Majelis Hakim telah diusahakan pemberian nasehat agar pernikahan anak pemohon dapat ditunda sehingga memenuhi standar minimal usia pernikahan, namun upaya tersebut tidak berhasil dan pemohon tetap pada permohonannya, kemudian dibacakan permohonan pemohon yang isinya tetap dipertahankan oleh pemohon. Bahwa keponakan pemohon bernama Boy Hery Septiyan telah hadir di persidangan dan memberikan keterangan yang pada pokoknya sudah bulat tekatnya untuk segera menikah dengan pilihan hatinya bernama Wilya Purnama Sari terlebih saat ini ia dalam keadaan hamil 2 (dua) bulan akibat hubungan di luar nikah dengan Wilya Purnama Sari tersebut dan kedua calon mempelai siap menanggung segala resiko yang kelak akan dihadapi dalam menjalani rumah tangga. Bahwa calon suami bernama Boy Hery Septiyan telah pula hadir di persidangan dan memberikan keterangan yang pada pokoknya telah ketetapan hati untuk menikahi Wilya Purnama Sari sebagai pertanggung jawaban akibat
45 perbuatannya dan akan membina rumah tangga serta berlaku sebagai layaknya kepala rumah tangga yang siap membimbing, melindungi dan mencukupi seluruh kebutuhan lahir batin rumah tangganya. Bahwa pemohon menerangkan antara kedua calon mempelai tidak mempunyai hubungan keluarga darah dan susuan yang menjadi penghalang bagi keduanya untuk dapat melangsungkan pernikahan (hubungan mahram). Menerangkan bahwa keponakan pemohon sehari-hari bekerja sebagai pedagang yang mempunyai penghasilan cukup untuk berumah tangga, dan akan senantiasa bertanggung jawab sebagai seorang suami. Calon mempelai yang bernama Wilya Purnama Sari juga hadir dipersidangan dan memberikan kerterangannya bahwa ia telah berumur 17 Tahun, lahir tanggal 16 desember 1991. Membenarkan bahwa telah menjalin hubungan cinta kasih sudah tinggal serumah bahkan sudah hamil 2 (dua) bulan. Wilya Purnama Sari juga menerangkan bahwa tidak ada hubungan asab dan maupun susuan, sehingga tidak ada halangan untuk menikah Bahwa Wilya Purnama Sari menerangkan membenarkan dan menyetuji atas permohonan pemohon terserbut serta berjanji untuk menjadi istri yang taat dan bertanggung jawab. Bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil permohonannya, pemohon telah mengajukan surat-surat bukti, berupa: 1. Foto copy Kartu Tanda Penduduk atas nama pemohon Aji Suprani No. 351909 160475 0003 tanggal 11 April 2007 yang dikeluarkan oleh Camat Jiwan.
46 2. Foto copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Wilya Purnama Sari No. 351914 561291 0001 tanggal 25 Agustus 2009 yang dikeluarkan oleh Camat Sawahan. 3. Foto copy Akta Kelahiran atas nama Boy Hery Septiyan No. 2116/1992, tanggal 24 Oktober 1992 yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Catatan Sipil Kabupaten Magetan. 4. Foto copy Surat Pernyataan Memasuki Agama Islam atas nama Boy Hery Septiyan. 5. Asli Surat Penolakan Pernikahan No. KK.13.19.15/PW.01/194/2009 tanggal 28 September 2009 yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Sawahan Kabupaten Madiun. 6. Asli Surat Keterangan Pemberitahuan Adanya Halangan Persyaratan No. KK.13.19.15/ PW.01/194/2009, tanggal 28 September 2009 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Sawahan Menimbang bahwa pemohon selain telah mengajukan alat bukti surat, pemohon juga menghadirkan saksi-saksi ke persidangan yang masing-masing mengaku bernama: 1. Iswatun binti Suwandi, umur 50 Tahun, agama Kristen, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Jl. Mayjen Sungkono No. 87 Kelurahan Nambangan Lor, Kecamatan Mangun Harjo Kota Madiun, pada intinya memberikan keterangan sebagai beriktu: -
Bahwa saksi adalah ibu kandung dari Boy Hery Septiyan.
47 -
Bahwa adapun yang mengajukan perkara ini adalah saudara sepupu dua kali saksi yaitu Aji Suprani, itu adalah kehendak dari saksi dan atas persetujuan saksi.
-
Membenarkan segala pernyatan Boy Hery Septiyan dan Wilya Purnama Sari tentang duduk perkaranya.
2. Subiati binti Supadi, umur 38 Tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di rt. 07 rw. 02 Kelurahan Sawahan Kecamatan Sawahan
Kabupaten
Madiun,
dibawah
sumpahnya
memberikan
keterangan sebagai berikut: -
Bahwa saksi kenal dengan pemohon, karena pemohon adalah keluarga dengan calon menantu saksi.
-
Bahwa Wilya Purnamasari, adalah seorang gadis dan Boy Hery Septiyan adalah seorang perjaka.
-
Bahwa antara anak saksi (Wilya Purnamasari) dengan calon suaminya tersebut saling mencintai, bahkan sudah tinggal serumah dan anak saksi belum pernah menikah, demikian juga Boy Hery Septiyan.
-
Selanjutnya membenarkan segala isi posita serta membenarkan pernyatan dari Boy Hery Septiyan dan Wilya Purnamasari dalam persidangan. Bahwa pemohon menyatakan telah cukup memberikan keterangan dan
alat bukti, dan mohon agar Pengadilan segera menjatuhkan penetapan. Pertimbangan hukumnya: Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan pemohon adalah sebagaimana telah diuraikan di atas.
48 Menimbang, bahwa pemohon telah hadir secara pribadi di persidangan dan oleh Majelis Hakim telah diusahakan penasehatan, namun tidak berhasil dan pemohon tetap pada permohonannya. Menimbang, bahwa yang menjadi pokok masalah dalam permohonan ini adalah pemohon mohon agar keponakan pemohon bernama Boy Hery Septiyan yang lahir tanggal 24 Oktober 1992 dapat diberikan dispensasi untuk melakukan pernikahan dengan seorang wanita pilihan hatinya bernama Wilya Purnama Sari, disebabkan telah dalam keadaan hamil 2 (dua) bulan sedangkan pihak Kantor Urusan Agama telah menolak untuk menikahkan mereka. Menimbang, bahwa berdasar keterangan pemohon, Boy Hery Septiyan, Wilya Purnama Sari, dan dengan menghadirkan serta surat bukti P.1, P.2, P3, P.4, P.5, dan P.6 maka dapat ditemukan fakta hukum sebagai berikut: -
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan pasal 49 (a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, perkara ini menjadi wewenang Pengadilan Agama.
-
Bahwa pemohon mengajukan permohonan sekalipun kedua orang tua dari Boy Hery Septiyan masih hidup, namun orang tua dari Boy Hery Septiyan, nama Iswatun binti Suwandi, telah hadir dipersidangan dan memberikan keterangan bahwa yang berkehendak agar pemohon yang mengajukan permohonan ini, dan bermohon agar majelis hakim dapat menerima, karena kedua orang tua Boy Hery Septiyan dan keluarga yang lain adalah pemeluk agama Kristen, maka majelis hakim berpendapat bahwa permohonan pemohon tidak bertentangan dengan ketentuan pasal 7 ayat 2
49 dan 3, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini tidak dengan suaminya disebabkan suami pemohon selaku ayah yang dimohonkan dispensasi, saat ini tidak diketahui tempat tinggalnya yang pasti di wilayah hukum Negara Republik Indonesia. -
Menimbang bahwa perkawinan hanya dapat di ijinkan apabila pihak pria telah mencapai umur 19 Tahun dan pihak wanita telah berumur 16 tahun, kecuali karena keadaan tertentu sebagaimana ditentukan secara khusus dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
-
Bahwa calon mempelai perempuan yaitu Wilya Purnamasari tersebut telah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki bernama Boy Hery Septiyan dan telah hamil 2 (dua) bulan karena hubungan tersebut dan majelis hakim berpendapat bahwa kehendak menikah tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam sesuai dengan pasal 53 ayat (1),(2),dan (3) Kompilasi Hukum Islam.
-
Bahwa antara kedua calon mempelai tidak terdapat hubungan darah atau sesusuan yang menghalangi dilangsungkan pernikahan keduanya.
-
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut diatas, permohonan dispensasi nikah yang diajukan oleh pemohon telah cukup alasan dan berdasarkan hukum, maka majelis hakim memberikan dispensasi nikah kepada keponakan pemohon Boy Heri Septiyan, dengan demikian permohonan pemohon patut dikabulkan.
-
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan ini berkaitan dengan perkara bidang perkawinan, maka berdasarkan pasal 89 ayat 1 Undang- Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kepada
50 pemohon akan dibebani untuk membayar biaya perkara yang besarnya sebagaimana dalam diktum amar. Memperhatikan ketentuan Hukum Islam dan Peraturan Perundangundangan Yang berkaitan dengan perkara ini. Mengadili: 1. Mengabulkan permohonan pemohon. 2. Menetapkan memberikan dispensasi kepada pemohon untuk menikahkan anaknya bernama Boy Hery Septiyan bin Henri untuk menikah dengan seorang wanita nama, Wilya Purnama Sari binti Suyono. 3. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 119.000,00 (seratus sembilan belas ribu rupiah) kepada pemohon. Penetapan ini dijatuhkan oleh Majelis Pengadilan Agama Kota Madiun pada hari Senin tanggal 15 Oktober 2009 M bertepatan dengan tanggal 26 syawal 1430 H oleh kami Drs. H. Amam Fakhrur, SH. MH, sebagai hakimhakim anggota serta diucapkan oleh hakim ketua majelis pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri para hakim angggota, Sutji Eny Lestari, SH., sebagai panitera pengganti dengan dihadiri oleh pemohon.
C. Pertimbangan Hakim dalam Permohonan Perkara Dispensasi Nikah di Pengadilan Agama Kota Madiun Seseorang yang hendak mengajukan perkara permohonan Dispensasi Kawin, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 7 ayat (2) dengan bunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini
51 dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.56 Pemohon diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk mencantumkan alasan-alasan dalam surat permohonannya, karena undang-undang tidak menentukan alasan-alasan dalam pengajuan perkara permohonan dispensasi seperti dalam pengajuan perkara perceraian. Sebelum Ketua Majelis menetapkan penetapan,
Ketua Majelis
mempunyai pertimbangan-pertimbangan apakah permohonan tersebut dapat dikabulkan atau tidak. Yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim adalah sebagai berikut: 1. Pemohon Majelis Hakim di dalam persidangan akan meneliti apakah orang yang mengajukan perkara permohonan dispensasi tersebut berhak mengajukan atau tidak. Pihak yang mengajukan permohonan adalah paman dari calon mempelai pria. 2. Alasan Di persidangan Majelis Hakim menanyakan alasan anak pemohon kemudian Majelis Hakim meneliti alasan keponakan pemohon dengan pemohon disurat permohonannya. Apakah alasan keponakan pemohon dengan pemohon ada persamaan atau tidak? 3. Ada Larangan perkawinan atau tidak Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan terdapat halangan atau tidak, sebagaimana yang diatur dalam Undang56
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Bahan Penyuluhan Hukum, (Jakarta: Departemen Agama RI, Jakarta, 2001), 119
52 Undang Perkawinan pasal 8 yang menyebutkan: “Perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan. e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”57 Dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam juga melarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang disebabkan karena pasal 39 sampai pasal 44.58 Adapun bunyi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 39 “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:
57 58
Ibid. Ibid., 173-174.
53 a. Karena pertalian nasab: 1) Dengan
seorang
wanita
yang
melahirkan
atau
yang
menurunkannya atau keturunannya. 2) Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu. 3) Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya. b. Karena pertalian kerabat semenda: a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya. b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya. c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istri, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qobla al dukhul. d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya. c. Karena pertalian sesusuan: a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas. b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah. c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah. d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas. e. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.”
54 Pasal 40 “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan wanita karena keadaan tertentu: a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain. b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain. c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.” Pasal 41 a. Seorang pria memadu istrinya dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan istri: 1) Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya. 2) Wanita dengan bibinya atau kemenakannya. 3) (2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istriistri telah ditalak raj’i tetapi masih dalam masa iddah. Pasal 42 “Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam masa iddah raj’i atau pun salah seorang di antara mereka masih terikat perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’i.” Pasal 43 a. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria: a. dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali. b. dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an. b. Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas istri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis masa iddahnya. Pasal 44 “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. 4. Kemaslahatan dan kemudharatan Bila dua insan menjalin cinta, hingga melakukan hubungan seksual di luar nikah yang menyebabkan kehamilan, maka Pengadilan akan mengabulkan permohonan dispensasi tersebut. Karena ditakutkan bila tidak dinikahkan akan menambah dosa dan terjadi perkawinan di bawah tangan yang akan mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi
55 berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang dilahirkannya menurut Undang-Undang. Selain itu masyarakat akan menghina dan mengucilkan perempuan yang hamil tanpa suami. Pertimbangan tersebut juga berdasarkan pada kaidah-kaidah:
dX UcWX اa_b ^_` مY[\ YZ UVWX د رء ا “Menolak bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan”
ا لefرghX ا “Kemadharatan harus dihilangkan” 59
59
Lihat transkrip wawancara nomor: 02/2-W/F-1/12-IV/2010.
56 BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA TERHADAP PUTUSAN (PENETAPAN) DAN PERTIMBANGAN HAKIM PENGADILAN AGAMA KOTA MADIUN PADA SURAT PUTUSAN NO. 20/pdt.P/2009.PA/MN. TENTANG DISPENSASI NIKAH
A. Analisa Undang-Undang Perkawinan di Indonesia Terhadap Putusan Perkara Dispensasi Nikah Pada Surat Putusan Pengadilan Agama Kota Madiun No. 20/pdt.P/2009/PA.MN Peradilan Agama adalah peradilan yang khusus mengadili perkara-perkara perdata dimana para pihaknya beragama Islam (muslim). Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA), Peradilan Agama adalah peradilan bagi orangorang yang beragama Islam. Dimana hal tersebut juga telah dimasukkan sebagai asas-asas Peradilan Agama, yaitu Asas Personalitas keislaman. Perkara-perkara yang diperiksa serta diputus oleh Peradilan Agama diatur dalam undang–undang No 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yaitu dalam pasal 49, termasuk diantaranya adalah permohonan dispensasi kawin. Menurut Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia, menetapkan batas umur perkawinan 19 Tahun bagi laki-laki dan 16 Tahun bagi perempuan, {pasal 7 ayat (1)}60, namun batas usia tersebut bukan merupakan batas usia seseorang telah dewasa yang cukup dewasa untuk 60
Olden Bidara, dkk., Kumpulan Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan Buku 1-2 (Surabaya: PTA Jawa Timur, 1994), 19.
56
57 bertindak, akan tetapi batas usia tersebut hanya merupakan batas usia minimal seseorang boleh melakukan pernikahan. Di dalam pasal 6 ayat (2), disebutkan bahwa seseorang sudah dikatakan dewasa kalau sudah mencapai umur 21 Tahun, sehingga dalam melakukan pernikahan tidak perlu mendapatkan izin dari kedua orang tuanya. Berikut dipaparkan proses beracara di Peradilan Agama: 1. Mekanisme Pengajuan Perkara Permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Madiun Mekanisme pengajuan perkara permohonan sama dengan mekanisme pengajuan perkara gugatan. Adapun mekanisme pengajuan perkara permohonan di Pengadilan Agama Madiun adalah sebagai berikut: a. Pra Meja Sebelum pemohon mengajukan permohonannya, pemohon ke prameja terlebih dahulu untuk memperoleh penjelasan tentang bagaimana cara berperkara, cara membuat surat permohonan, dan di prameja pemohon dapat minta tolong untuk dibuatkan surat permohonan. b. Meja I Surat permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan pada sub Kepaniteraan Permohonan, pemohon menghadap pada meja pertama yang akan menaksir besarnya panjar biaya perkara dan menuliskanya pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk
58 menyelesaikan perkara tersebut, yang berdasarkan pasal 193 R.Bg/pasal 182 ayat (1) HIR/pasal 90 ayat (1) UUPA, meliputi: 1) Biaya kepaniteraan dan biaya materai. 2) Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah.61 3) Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan Hakim yang lain. 4) Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah Pengadilan yang berkenaan dengan perkara itu. Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cuma-cuma).
Ketidakmampuan
tersebut
dibuktikan
dengan
melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya perkara ditaksir Rp. 0,00 dan ditulis dalam SKUM. c. Kasir Pemohon
kemudian
menghadap
kepada
kasir
dengan
menyerahkan surat permohonan dan SKUM. Kasir kemudian: -
Menerima uang tersebut dan mencatat dalam jurnal biaya perkara.
-
Menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda lunas pada SKUM.
-
Mengembalikan surat permohonan dan SKUM kepada pemohon
d. Meja II Pemohon
kemudian
menghadap
pada
Meja
II
menyerahkan surat permohonan dan SKUM yang telah dibayar.
61
Ibid.
dengan
59 Kemudian Meja II: 1) Memberi Nomor pada surat permohonan sesuai dengan Nomor yang diberikan oleh Kasir. Sebagai tanda telah terdaftar maka petugas Meja II membubuhkan paraf. 2) Menyerahkan satu lembar surat permohonan yang telah terdaftar bersama satu helai SKUM kepada pemohon. 2. Proses Penyelesaian Perkara Permohonan Dispensasi Kawin di Pengadilan Agama Madiun62 Ketua Majelis Hakim setelah menerima berkas perkara, bersamasama hakim anggotanya mempelajari berkas perkara. Kemudian menetapkan hari dan tanggal serta jam kapan perkara itu disidangkan serta memerintahkan agar para pihak dipanggil untuk datang menghadap pada hari, tanggal, dan jam yang telah ditentukan. Dalam hal pihak yang mengajukan perkara ditemukan fakta Hukum bahwa yang mengajukan permohonan dispensasi kawin ini adalah keponakan dari pemohon atau dengan kata lain pemohon adalah paman dari calon mempelai pria yang belum memenuhi persyaratan untuk nikah. Dalam pandangan hakim berdasarkan
pada Undang-Undang
perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 2 dan 3 yang berbunyi: (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
62
Ibid., 20.
60 Serta pada pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (6) berbunyi sebagai berikut: (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) Tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Maka, perihal pihak yang mengajukan permohonan dispensasi tersebut, yaitu paman dari calon mempelai pria, tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut, Dikarenakan kedua orang tua Boy Hery Septiyan beragama Kristen. Berdasarkan atas asas personalitas keislaman, sebagai disebutkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 pasal 1, Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Pasal tersebut secara eksplisit menerangkan bahwa kedua orang tua dari Boy Hery Septiyan tidak dapat berperkara atau mengajukan permohonan dispensasi kawin, karena Beragama Kristen. Atau jika ditilik dari Undang-Undang perkawinan pasal 7 dan 6, maka kedua orang tua Boy Hery Septiyan adalah pihak yang tidak mampu menyatakan kehendaknya. Menilik
pada
proses
persidangan
yang
berlangsung
pada
permohonan dispensasi kawin ini, menerangkan bahwasannya Iswatun Binti Suwandi, ibu dari Boy Hery Septiyan telah hadir dalam persidangan
61 dan memberikan keterangan bahwasannya ia yang berkehendak agar pemohon, yang mengajukan permohonan ini. Secara substantive dapat dipahami bahwasannya orang tua Boy Hery Septiyan memberikan izin bagi Boy Hery Septiyan agar segera menikahi gadis pilihannya yaitu Wilya Purnamasari. Kemudian Kepada para pihak diberitahukan pula bahwa mereka dapat mempersiapkan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan. Namun, biasanya bukti-bukti sudah dititipkan kepada panitera sebelum persidangan. Setelah persidangan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis, maka para pihak berperkara dipanggil ke ruang persidangan. Kemudian Ketua Majelis berusaha menasehati pemohon, keponakan pemohon dan calon istri keponakan pemohon dengan memberikan penjelasan tentang sebab akibatnya apabila pernikahan dilakukan belum cukup umur dan agar menunda pernikahannya. Bila tidak berhasil dengan nasehat-nasehatnya,
kemudian
Ketua
Majelis
membacakan
surat
permohonan pemohon yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Madiun. Selanjutnya Ketua Majelis memulai pemeriksaan dengan pertanyaanpertanyaan yang diajukan kepada pemohon, keponakan pemohon dan calon keponakan pemohon secara bergantian. Kemudian Ketua Majelis melanjutkan pemeriksaan bukti surat, dan pemohon menyerahkan bukti surat:
62 a. Foto copy surat kelahiran atas nama anak pemohon yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Kelurahan, oleh Ketua Majelis diberi tanda P.1. b. Surat pemberitahuan peNolakan melangsungkan pernikahan Model N9 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama. Selanjutnya Ketua Majelis menyatakan sidang diskors untuk musyawarah. Pemohon, anak pemohon dan calon anak pemohon diperintahkan ke luar dari ruang persidangan. Setelah musyawarah selesai, skors dicabut dan pemohon dipanggil kembali masuk ke ruang persidangan, kemudian dibacakan penetapan yang amarnya sebagai berikut: MENGADILI a. Mengabulkan permohonan pemohon. b. Menetapkan memberi Dispensasi kepada pemohon untuk menikahkan keponakan pemohon bernama Boy Hery Septiyan dengan Wilya Purnama Sari. c. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. … (…) kepada pemohon. Setelah membacakan penetapannya, Ketua Majelis menyatakan sidang ditutup. Jika pemohon tidak puas dengan penetapan Hakim, pemohon bisa langsung kasasi, bukan banding.
63 B. Analisis undang-undang perkawinan terhadap Pertimbangan dan dasar hukum Hakim Pengadilan Agama Kota Madiun Tentang Permohonan Dispensasi Nikah Dalam memeriksa suatu perkara, hakim bertugas untuk mengkonstatir, mengkualifisir dan kemudian mengkonstituir. Mengkonstatir artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak itu adalah benar-benar terjadi. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui pembuktian. Membuktikannya artinya mempertimbangkan sacara logis kebenaran suatu fakta atau peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Fakta ialah keadaan, peristiwa atau perbuatan yang terjadi (dilakukan) dalam dimensi ruang dan waktu. Suatu fakta dapat dikatakan terbukti apabila telah diketahui kapan, dimana, dan bagaimana terjadinya. Misalnya masalah dispensasi kawin, fakta yang perlu dicari kebenarannya adalah apakah seseorang tersebut benar-benar ingin melakukan pernikahan di bawah umur dengan alasan dan bukti-bukti yang dicantumkan dalam berkas permohonan dispensasi yang diajukan orang tuanya ke Pengadilan Agama. Dalam kasus ini hakim harus benar-benar cermat untuk memproses permohonan dispensasi nikah ini, karena pemohonnya adalah paman dari calon mepelai pria, sedangkan ditemukan fakta hukum bahwasanna kedua orang tua dari Boy Hery Septiyan masih hidup dan dalam keadaan sehat.
64 Sebagai mana yang dipaparkan diatas bahwasannya orang tua dari Boy Hery Septiyan beragama Kristen, maka tidak dapat berperkara di Pengadilan Agama karena terhalang oleh asas personalitas keislaman. Konkretnya dalam memberi penetapan, hakim tidak boleh keluar dari koridor hukum yang mengatur tentang persoalan yang diperkarakan. Penetapan hakim akan menjadi kepastian hukum dan mempunyai kekuatan mengikat untuk dijalankannya, karena penetapan hakim adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara. Ketika ingin menjatuhkan penetapan, hakim memiliki pertimbangan-pertimbangan. Menurut pendapat penulis pertimbangan hakim diklasifikasikan menjadi dua yaitu: 1. Pertimbangan Hukum Pertimbangan hukum di sini berarti ketika hakim menjatuhkan penetapannya harus sesuai dengan dalil-dalil dan bukti-bukti hukum yang diajukan. Bukti-bukti yang biasa disyaratkan menurut Undang-Undang adalah: a. Bukti surat -
Foto copy Surat Kelahiran atas nama anak Pemohon yang dikelurkaNoleh Kepala Desa/Kelurahan.
-
Surat Pemberitahuan Penolakan Melangsungkan Pernikahan (Model N-9) yang di keluarkan oleh Kantor Urusan Agama.
b. Bukti saksi
65 Adapun bukti saksi yang biasa dihadirkan oleh hakim dalam persidangan adalah calon pasangan yang belum cukup umur untuk menikah, serta mendatangkan wakil dari kedua orang tua calon pasangan
tersebut,
karena
pemohon
yang
mengajukan
surat
permohonan adalaha pamannya, bukan orang tuanya.. Dalam pertimbangannya, hakim juga berdasarkan hukum Islam. Adapun yang menjadi dasar pertimbangannya adalah: “Menolak bahaya didahulukan atas mendatangkan kebaikan” “Kemadharatan harus dihilangkan” Pada dasarnya setiap insan tidak diizinkan mengadakan suatu kemadharatan, baik berat maupun ringan terhadap dirinya atau terhadap orang lain. Pada prinsipnya kemadharatan harus dihilangkan, tetapi dalam menghilangkan kemadharatan itu tidak boleh sampai menimbulkan kemadharatan lain baik ringan apalagi lebih berat. Namun, bila kemadharatan itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan menimbulkan kemadharatan yang lain maka haruslah memilih kemadharatan yang relatif lebih ringan dari yang telah terjadi. Menurut persepsi hakim, madharatnya adalah ditakutkan bila tidak dinikahkan akan menambah dosa dan terjadi perkawinan di bawah tangan yang akan mengacaukan proses-proses hukum yang akan terjadi berikutnya atau mengacaukan hak-hak hukum anak yang dilahirkannya menurut Undang-Undang.63
63
Lihat transkrip wawancara nomor: 03/3-W/F-1/16-IV/2010, dalam lampiran skripsi ini.
66 2. Pertimbangan Keadilan Masyarakat Seringkali pernikahan dianggap sebagai solusi alternatif bagi penyelesaian masalah sosial yang akan terjadi yaitu menikahkan anak yang sudah hamil terlebih dahulu untuk menutup malu. Hasil observasi penulis di Pengadilan Agama Madiun, hakim selalu mengabulkan permohonan dispensasi kawin karena hubungan di luar nikah atau dengan kata lain calon mempelai wanita telah hamil terlebih dahulu sebelum menikah, dengan pertimbangan perempuan yang hamil tanpa suami akan dihina dan dikucilkan oleh masyarakat. Ini bisa mengakibatkan perempuan tersebut tidak mau bergaul dan mementingkan diri sendiri. Hal ini juga bisa terjadi pada anak yang akan dilahirkannya. Dengan mencermati jalan perkara berbagai kasus yang pernah diangkat dalam beberapa tulisan, terutama kasus yang berkaitan dengan masalah perkawinan, penulis semakin berkesimpulan betapa pentingnya sosialisasi hukum Islam ke dalam masyarakat yang bukan saja bentuk rumusan hukum normatifnya, tetapi juga terutama tentang aspek tujuan hukum, yang secara umum tidak lain bertujuan untuk meraih kemaslahatan dan menghindarkan kemadharatan. Tugas hakim sebagai pihak penegak hukum, setiap penerapan Hukum atau keputusan hukum yang dibuat oleh hakim hendaklah sejalan dengan tujuan hukum yang hendak dicapai oleh syari’at. Apabila penerapan suatu rumusan akan bertentangan hasilnya dengan kemaslahatan manusia, maka penerapan
hukum
tersebut
harus
ditangguhkan.
Demi
pencapaian
kemaslahatan yang merupakan tujuan utama dari penerapan hukum-hukum,
67 pengecualian secara sah perlu diberlakukan. Dalam perkara Nomor: putusan Pengadilan Agama Kota Madiun No. 20/pdt.P/2009/PA.MN secara gamblang telah jelas bahwa kedua calon mempelai telah menjalin cinta hingga melakukan hubungan seksual di luar nikah yang berakibat kehamilan. Dan sebagai bentuk pertanggungjawabannya dari pihak pria, pria tersebut mau menikahi wanita pujaan hatinya. Namun ketika mendaftarkan rencana pernikahan mereka di Kantor Urusan Agama setempat ditolak, dengan alasan salah satu pihak calon mempelai belum mencapai batas minimal usia perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan yaitu untuk pria 19 Tahun dan pihak wanita 16 Tahun. Kemudian orang tua salah satu calon mempelai mengajukan perkara permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama Salatiga supaya dapat menikahkan anak mereka, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 7 ayat (2) yang menyebutkan: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.” Dalam amar penetapan, Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon yaitu memberikan Dispensasi Kawin kepada Pemohon untuk menikahkan anaknya. Dengan pertimbangan bahwa akan menimbulkan madharat yang lebih besar jika kedua calon mempelai tidak segera dinikahkan. Penetapan
Majelis
Hakim
tersebut
sudah
tepat,
karena
tidak
menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang mana tidak membahas secara khusus tentang dispensasi kawin dan Kompilasi Hukum Islam yang secara tersirat tidak melarang menikahkan seseorang yang telah
68 melakukan hubungan luar nikah, apalagi hingga mengakibatkan kehamilan. Hal ini terdapat dalam pasal 53 yang berbunyi: (1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Dalam al-Qur’an surat Nur ayat 3 yang berbunyi:
4 Ô8Îô³ãΒ ÷ρr& Aβ#y— āωÎ) !$yγßsÅ3Ζtƒ Ÿω èπu‹ÏΡ#¨“9$#uρ Zπx.Îô³ãΒ ÷ρr& ºπuŠÏΡ#y— āωÎ) ßxÅ3Ζtƒ Ÿω ’ÎΤ#¨“9$# ∩⊂∪ tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# ’n?tã y7Ï9≡sŒ tΠÌhãmuρ
“Lelaki pezina tidak menikah, kecuali dengan perempuan pezina atau perempuan musyrik. Dan perempuan pezina tidak dinikahi, melainkan oleh lelaki pezina atau lelaki musyrik. Dan diharamkan yang demikian itu kepada semua mukmin.” Orang-orang yang berbuat serong tentulah tidak ingin menikahi wanitawanita yang saleh. Demikian pula perempuan yang berbuat serong tidaklah ingin dinikahi oleh orang-orang yang saleh. Firman Allah itu bukanlah memberi pengertian bahwa lelaki pezina tidak boleh menikahi selain perempuan pezina. Atau tidak sah perempuan pezina dinikahi oleh lelaki yang tidak berzina. Akan tetapi ayat itu diturunkan untuk mencegah terjadinya orang-orang Islam yang jiwanya lemah, hatinya mudah tertarik menikahi perempuan-perempuan jalang dengan mengharapkan harta dan kesenangan hidup. Tegasnya, ayat itu bukan menunjukkan bahwa pernikahan antara lelaki pezina dan perempuan tak berzina tidak sah. Begitu
69 pula sebaliknya, pernikahan antara pria tidak berzina dengan perempuan pezina. Para ulama berselisih faham tentang bolehkah seorang lelaki menikahi perempuan yang telah dizinai. Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim berpendapat tidak halal perempuan dan laki-laki berzina kawin sebelum bertobat dan harus menunggu masa iddahnya selesai. Sedangkan Hanafi dan Syafi’i membolehkan tanpa menunggu masa iddah. Namun, di sisi lain penetapan hakim tersebut memberi peluang pernikahan di bawah umur karena hubungan luar nikah. Mereka yang hendak menikah namun usia belum mencapai
batas
minimal
usia
perkawinan
menurut
Undang-Undang
Perkawinan akan beralasan sudah melakukan hubungan luar nikah atau bahkan benar-benar melakukan perbuatan tersebut supaya dapat dinikahkan.64
64
Lihat transkrip wawancara nomor: 04/4-W/F-1/12-IV/2010.
70 BAB V PENUTUP
i. Kesimpulan
1. Perkara No. 20/pdt.P/2009/PA.MN tentang dispensasi perkawinan yang dikarenakan calon mempelai wanita telah hamil 2 (dua) bulan, majelis hakim berpendapat bahwa permohonan ini dapat diterima dan diputuskan karena dinilai tidak bertentangan dengan undang-undang berlaku No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam serta peraturan-peraturan di dalam fiqih.
2. Dalam hal tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa pada prinsipnya kemadharatan harus dihilangkan, tetapi dalam menghilangkan kemadharatan itu tidak boleh sampai menimbulkan kemadharatan lain baik ringan apalagi lebih berat. Namun, bila kemadharatan itu tidak dapat dihilangkan kecuali dengan menimbulkan kemadharatan yang lain maka haruslah memilih kemadharatan yang relatif lebih ringan dari yang telah terjadi.
ii. Saran Pernikahan yang dilaksanakan tanpa adanya persiapan mental, spiritual dan dengan niat yang suci yang memadai akan menimbulkan banyak sekali dampak negatif dalam mempengaruhi bahtera kehidupan dalam rumah tangga tersebut. Perlu pemahaman yang luas kepada segenap lapisan masyarakat agar perkawinan dibawah umur dapat dicegah, mengingat banyak sekali dampak negatif yang mungkin terjadi. Salah satunya benar-benar memantau anak-anak dalam berhubungan dengan lawan jenis, mengingat perkembangan jaman yang dapat menimbulkan pergaulan bebas dikalangan remaja, yang terkadang dapat mengakibatkan hamil diluar nikah.
70
71 DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet & H. Amanudin. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999. A. Rasyid, Roihan. Hukum Acara Peradilan Agama Vol. VI. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Penelitian Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. As’ad, Aliy. Fathul Mu’in Jilid 2. Terj. Moh, Tolehah Mansur. Kudus: Menara, t.t. Athibi, Ukasyah. Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya. Jakarta: Gema Insani, 1998. Bahry, Zainal. Kamus Umum. Bandung: Angkasa, 1966. Basuki. Pengantar Metodologi Penelitian. Naskah tidak diterbitkan. Bidara, Olden, dkk. Kumpulan Pelaksanaan Tugas Administrasi Pengadilan Buku 1-2. Surabaya: PTA Jawa Timur, 1994. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Surabaya: Mekar, 2004. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.Bahan Penyuluhan Hukum. Jakarta: DEPAG RI, 2001. Djatnika, Rachmat. Sosialisasi Hukum Islam dalam Abdurrahman Wahid, Kontroversi Pemikiran Islam Di Indonesia. Bandung: Rosda Karya, 1991. Fauzil, Adhim, Mohammad. Kupinang Engkau Dengan Hamdallah Cet. XVIII. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003. Harahap, Yahya.Hukum Perkawinan Nasional. Medan: Zahir Trading, 1957. Halthout, Hassan. Panduan Seks Islami Cet. III. Jakarta: Pustaka Zahra, 2005. Hazairin. Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974. Jakarta: Tinta Mas, 1975. Hoerudin, Ahrum. Pengadilan Agama: Bahasa Tentang Pengertian, Pengajuan Perkara dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya UndangUndang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
72 Idris, Ahmad. Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum. Jakarta: Pradia Paramita, 1986. Johan, Nasution, Bahder. & Sri Warjiati. Hukum Perdata Islam. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005. Kuzairi, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Rajawali Press, 1995. Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kota Madiun Tahun 2009. Mahmood, Tohir. Personal Law in Islamic Countries. New Delhy: Academy of Law and Religion, 1987. Mattew B. Milles & A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru, Terj. Tjetjep Kohendi Rohidi. Jakarta: UI Press, 1992. Mohsin, Ibrahim, Abdul Fadl. Aborsi Kontrasepsi dan mengatasi Kemandulan. Bandung: Mizan, 1997. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Nuruddin, Amiur & Azhari Akmal Taringan.Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Sampai KHI. Jakarta: Prenada Media, 2004. O.S. EOH. Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rajawali Press, 2003. Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Bandung: Sumur, 1960. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Salim bin Smeer Al-Hadhrami. Safianatun Najah. Terj. Abdul Kadir Al-Jufri. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1994. Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional Cet. III. Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2005. Syarifuddin.Kamus Al-Misbah. Jakarta: Bina Aksara, t.t. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
73 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Walgito, Bimo. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
ARTIKEL : http://assunnah.or.id. (online), diakses 26 April 2010. Fitriyah, Anisatul. Tinjauan Maslahah Terhadap Pertimbangan hakim Dalam Menyelesaikan Perkara Dispensasi Nikah (online). http://digilib:uin.suka.ac.id/gdl.php, diakses 20 Maret 2010. Mufidah, Imro’atul. Perkara Dispensasi Nikah Di Pengadilan Agama Yogyakarta (online). http://www.digilib.uin.suka.ac.id., diakses 20 Maret 2010. Dian, Fisnanto, Yuli.Pandangan Hukum Islam Terhadap Pernikahan Di Bawah Umur (online). http://www.wawasan.hukum.blogspot.com., diakses 3 Mei 2010.