ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
PERSEPSI MAHASISWA AKUNTANSI TERHADAP PRAKTIK-PRAKTIK KECURANGAN AKADEMIK (ACADEMIC FRAUD)
1.1
Latar Belakang Kecurangan akademik (academic fraud) menjadi fenomena yang mencuat dalam beberapa tahun ini, dengan penelitian yang menyimpulkan hingga 70% pelajar berlaku curang paling sedikitnya satu kali ketika menempuh pendidikan di universitas, dan 25% berlaku curang lebih dari satu kali (Lozier, 2010). Bahkan dalam majalah Tempo tanggal 2 Februari 2013 juga diberitakan bahwa sedikitnya 125 mahasiswa Harvard University, Cambridge, Massachusetts pada Agustus 2010 melakukan skandal contek massal. Sungguh memprihatinkan, salah satu universitas terbaik di dunia tercoreng nama baiknya akibat kecurangan akademik (academic fraud) yang mulai marak di kalangan mahasiswa ataupun dosen. Di Indonesiapun telah banyak kasus kecurangan akademik (academic fraud) yang terungkap. Misalnya pada 2010 dicabutnya gelar guru besar seorang tenaga pengajar karena ketahuan menjiplak karya orang lain dan penjiplakan skripsi mahasiswa jenjang sarjana yang dilakukan oleh dua dosen berbeda dalam usaha mereka untuk mendapat kredit bagi pengangkat guru besar mereka. Kasus lainnya adalah penjiplakan karya ilmuwan Austria oleh guru besar perguruan tinggi Bandung dan pada tahun 2009 ada laporan tentang 3.680 guru di Yogyakarta dan 1.820 guru di Pekanbaru yang mengakui karya orang lain sebagai karya pribadinya yang dilakukan agar dinyatakan lulus dalam program sertifikasi guru (Matindas, 2010). Kecurangan akademik (academic fraud) sebenarnya bukan hal asing di dunia pendidikan terutama mahasiswa yang sering melakukan skandal-skandal tanpa izin dosen. Misalnya mencontek saat ujian, baik melihat buku, membawa catatan kecil, mencari jawaban dengan browsing lewat handphone ataupun meng-copy tugas hasil pekerjaan temannya. Dengan sadar ataupun tidak mahasiswa telah melakukan perbuatan yang mengarah pada kecurangan akademik (academic fraud). Hal ini karena Febriamansyah (2013) menyebutkan bahwa kecurangan meliputi tindakan sebagai berikut: 1. Menggunakan bantuan dalam ujian (kalkulator, handphone, buku, outline, catatan dan sebagainya) yang penggunaannya tidak mendapatkan ijin secara terbuka.
Oleh: Muslimah 0610230133 Dosen Pembimbing: Gugus Irianto SE., MSA., Ph.D., Ak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa terhadap praktikpraktik kecurangan akademik (academic fraud) dan mengetahui apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap praktik-praktik kecurangan akademik antara mahasiswa akuntansi ditinjau dari jenjang pendidikan mahasiswa S1 dan S2. Penelitian ini dilakukan di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Malang. Jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen. Peneliti memperoleh responden sebanyak 235 orang mahasiswa yang dikelompokkan menjadi 2 berdasarkan jenjang pendidikan yang ditempuh, yaitu mahasiswa S1 197 orang dan mahasiswa S2 38 orang. Peneliti menggunakan uji beda Mann-Whitney dalam uji hipotesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa telah memiliki persepsi positif, yaitu penolakan terhadap praktik-praktik kecurangan akademik. Dari hasil uji hipotesis ditemukan tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap lima dari enam variabel yang diuji, dengan kata lain tidak terdapat perbedaan persepsi terhadap praktik-praktik kecurangan akademik antara mahasiswa S1 dan S2. Secara lebih detail, dapat diketahui persepsi positif diperoleh prosentase yang lebih besar (meskipun tidak signifikan) dari mahasiswa akuntansi yang sedang menempuh jenjang pendidikan S2. Namun disayangkan, meskipun telah memiliki persepsi yang positif, 90% responden mengaku pernah melakukan tindak kecurangan akademik. Kata Kunci: Persepsi, kecurangan (academic fraud), akuntansi
akademik mahasiswa
1
2
2.
Mencoba membaca apa yang ditulis kandidat lain selama ujian, atau bertukar informasi di dalam atau di luar tempat ujian. 3. Menggunakan identitas orang lain selama ujian. 4. Memiliki soal ujian yang akan dikerjakan sebelum jadwal ujian dilaksanakan. 5. Memalsukan attau membuat-buat jawaban wawancara atau survei atau data riset. Namun, akibat seringnya kasus-kasus seperti di atas dilihat ataupun dilakukan secara langsung oleh mahasiswa, kecurangan akademik (academic fraud) semakin ditoleransi dan dianggap hal biasa yang tidak perlu dihindari. Kecurangan akademik (academic fraud) biasanya dilakukan karena kurangnya percaya diri atas jawaban yang dimiliki, akhirnya lebih percaya jawaban orang lain. Alasan lain karena mahasiswa malas belajar dan lebih senang mencari jawaban di buku atau alat lain selama ujian berlangsung. Tujuannya adalah untuk mendapatkan nilai yang baik. Bagi akademisi, kecurangan akademik (academic fraud) dilakukan dengan tujuan mendapatkan gelar lebih atau kredit lebih dari hasil penelitian atau tulias yang diperoleh dengan plagiarisme. Bahkan peneliti sering menemukan kejadian-kejadian contek massal didukung oleh para guru dengan tujuan siswa-siswanya bisa lulus 100% melewati Ujian Nasional demi menjaga nama baik sekolah (contoh kasus di kalangan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas). Matindas (2010) menganalisis ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya kecurangan akademik (academic fraud) misalnya yang bersangkutan tidak tahu bahwa perbuatan itu tidak boleh dilakukan, yang bersangkutan tahu bahwa perbuatan itu tidak boleh dilakukan tetapi dia yakin bisa melakukannya tanpa ketahuan, yang bersangkutan tidak percaya bahwa ancaman sanksi akan benar-benar dilakukan, dan sebagainya. Bertetangan dengan semua paparan di atas, dunia pendidikan adalah tempat calon generasi muda menuntut ilmu serta mendapatkan pengajaran dan dididik untuk memiliki moral, sikap, dan intelektualitas demi membangun bangsa yang lebih baik. Selain itu, mahasiswa yang menempuh jenjnag pendidikan lebih tinggi seharusnya bisa lebih peka dan peduli terhadap permasalahanpermasalahan yang terjadi di sekitarya, terutama
mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya yang mendapatkan pengajaran untuk mengetahui dan memperbaiki kecurangan-kecurangan yang terjadi di dunia bisnis maupun pendidikan. Seiring dengan semakin berkembangnya kecurangan akademik (academic fraud) peneliti merasa perlu untuk meneliti isu tersebut. Kecurangan akademik (academic fraud) yang semakin sering dilakukan bisa membuat pelajar menjadi tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak kreatif, tidak berprestasi, dan semakin malas belajar. Peneliti memilih subjek mahasiswa, karena mahasiswa harusnya mampu mencegah kecurangan akademik (academic fraud) yang dianggap sudah lazim dengan mulai menahan diri untuk tidak melakukannya dan menentang segala bentuk kecurangan yang ditemuinya. Untuk mengawali usaha tersebut, para mahasiswa perlu membentuk pola pikir yang sama yaitu tidak membenarkan praktik kecurangan akademik (academic fraud) dengan tujuan apapun. Karena itu, peneliti memberi judul penelitian ini “Persepsi Mahasiswa Akuntansi terhadap PraktikPraktik Kecurangan Akademik (Academic Fraud)”. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah yang dapat disusun oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana persepsi mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya terhadap praktik-praktik kecurangan akademik (academic fraud)? 2. Apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap praktik-praktik kecurangan akademik (academic fraud) antara mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya ditinjau dari jenjang pendidikan S1 dan S2? 1.3 1.3.1
1.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya terhadap praktik-
3
2.
praktik kecurangan akademik (academic fraud). Mengetahui apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap praktik-praktik kecurangan akademik (academic fraud) antara mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya ditinjau dari jenjang pendidikan S1 dan S2.
1.3.2 Manfaat Penelitian 1. Bagi mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman lebih tentang kecurangan akademik (academic fraud) serta persepsi mahasiswa terhadap kasus tersebut, sehingga mahasiswa memiliki pola pikir yang lebih baik tentang kecurangan akademik (academic fraud) dan mampu bertindak positif. 2. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan tentang persepsi mahasiswa terhadap kecurangan akademik (academic fraud) sehingga pihak akademisi bisa meningkatkan pembelajaran dan pencegahan terhadap perkembangan kasus tersebut secara lebih luas. 3. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian di bidang yang sama.
kategori yang dikemukakan Colby (2006) dalam Makkita (2011). Peneliti membatasi hal tersebut dengan asumsi masih terdapat kasus-kasus lain yang peneliti belum pernah menemukannya seiring dengan perkembangan waktu dan ilmu pengetahuan. Kategori yang dikemukan oleh Colby (2006) adalah sebagai berikut: 1. Plagiat, yaitu menggunakan kata-kata atau ide orang lain tanpa menyebut atau mencantumkan nama orang tersebut dan tidak menggunakan tanda kutipan dan menyebut sumber ketika menggunakan katakata atau ide orang lain. 2. Pemalsuan data, mislanya membuat data ilmiah yang merupakan data fiktif. 3. Penggandaan tugas tanpa izin dosen/guru. 4. Menyontek pada saat ujian. 5. Kerjasama yang salah, yaitu bekerja dengan orang lain untuk menyelesaikan tugas individual dan tidak melakukan tugasnya ketika bekerja dengan sebuah tim. Peneliti mengambil kategori yang disebutkan oleh Colby (2006) karena menurut peneliti kategori tersebut adalah yang paling luas dibandingkan dengan kategori-kategori yang dikemukakan oleh penulis lain. BAB II LANDASAN TEORI 2.1
1.4
Batasan Masalah Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan agar penelitian lebih intensif dan spesifik. Batasan-batasan dimaksud meliputi : Subjek penelitian, yaitu mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Univesitas Brawijaya. Subjek akan dibedakan berdasarkan jenjang pendidikan yaitu mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan S1 dan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan S2, pemilihan subjek dengan jenjang pendidikan yang berbeda didasarkan pada pendapat Mulyana (2000) yang mengatakan bahwa atensi manusia terhadap stimulus salah satunya dipengaruhi oleh sosial budaya, termasuk di dalamnya adalah tingkat pendidikan. Atensi manusia pada suatu stimulus merupakan faktor utama yang menentukan selektivitas persepsi. Selain itu, peneliti membatasi kasus-kasus kecurangan akademik (academic fraud) pada
Penelitian Terdahulu Telah banyak tulisan-tulisan dan penelitian yang membahas tentang kecurangan akademik (academic fraud). Salah satu penelitian pernah dilakukan oleh Barton ( 2003) yang diberi judul “Collegiate Academic Dishonesty Revisited: What Have They Done, How Often They Done It, Who Does It, Why Did They Do It?”. Penelitian ini memberikan hasil bahwa sebagian besar pelajar telah melakukan kecurangan akademik (academic fraud) dengan berbagai alasan. Sebagian besar alasan mereka adalah untuk mendapatkan nilai yang bagus dan lulus dalma ujian atau lulus dari sekolah atau universitas, meskipun sebagian kecil memberikan alasan melakukan kecurangan akademik untuk mendapatkan beasiswa dan membantu teman-temannya. Dalam penelitian tersebut juga ditunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan atau pelajaran yang diperoleh (misalnya tingkatan semester) maka semakin banyak pula kecurangan akademik yang
4
dilakukan. Dan yang disayangkan adalah tidak ada beda antara mahasiswa yang telah mempelajari etika dan yang belum mempelajarinya dalam melakukan kecurangan akademik. Tetapi yang berpengaruh besar terhadap sikap menghindari dan melakukan kecurangan akademik adalah faktor religion, yaitu keimanan atau keyakinan seseorang terhadap agama atau Tuhan. Selain itu terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Lozier (2012) yang berjudul “Student Perceptions of Academic Dishonesty”. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa subjek penelitian yang memiliki tujuan penguasaan bisa lebih memahami dan membaca skenario tentang kecurangan akademik dari pada subjek yang penelitian yang memiliki tujuan kinerja. Subjek dengan tujuan kinerja percaya bahwa kebanyakan pelajar mencontek dan lebih mudah menggunakan internet untuk hal tersebut dengan tujuan mendapatkan nilai yang baik. Lozier memberikan video Multimedia Integrity Teaching Tool: Full MITT CD-ROM. Dan hasilnya adalah subjek yang melihat video MITT lebih mengidentifikasi skenario yang diberikan sebagai kecurangan akademik yang serius dari pada subjek yang melihat video lain yang tidak berhubungan dengan kecurangan akademik. Penelitian lain yang meneliti tentang kecurangan akademik (academic fraud) adalah yang dilakukan oleh Atiwangi (2011) dengan judul “Hubungan Sikap Terhadap Kecurangan Akademis dengan Sikap Terhadap Perilaku Tidak Etis dan Kecenderungan Akuntansi dari Perspektif Mahasiswa Akuntansi. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa: 1. Terdapat hubungan sikap terhadap kecurangan akademis dengan sikap terhadap perilaku tidak etis dari perspektif mahasiswa akuntansi. 2. Terdapat hubungan sikap terhadap kecurangan akademis denggan sikap terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi dari perspektif mahasiswa akuntansi. 3. Demografi seseorang merupakan faktor yang akan berpengaruh pada sikap seseorang dalam menilai kecurangan akuntansi dari perspektif mahasiswa akuntansi. Selain mengacu pada penelitian yang membahas tentang kecurangan akademik
(academic fraud), peneliti juga mengacu pada penelitian yang bertujuan untuk mengetahui persepsi mahasiswa Akuntansi terhadap fraud. Penelitian yang menjadi acuan peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Ratri yang berjudul “Persepsi Mahasiswa Akuntansi terhadap PraktikPraktik Kecurangan (Fraud)”. Penelitian ini menggunakan subjek penelitian mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Angkatan 2004, 2005, 2006, dan 2007. Hasilnya adalah sebagian besar mahasiswa telah memiliki persepsi yang baik terhadap praktikpraktik kecurangan (fraud) yang ditunjukkan dengan sikap menentang praktik-praktik kecurangan (fraud). Hasil lainnya adalah mahasiswa yang memiliki persepsi paling baik adalah angkatan 2004, sedangkan mahasiswa angkatan 2007 memiliki persepsi yang berbeda, tidak sebaik mahasiswa angkatan lain. Dalam penelitian kali ini, peneliti mengacu pada penelitian Dian Kartika Ratri yang samasama ingin mengetahui persepsi mahasiswa akuntansi. Perbedaannya adalah pada penelitian kali ini yang menjadi fokus penelitian adalah kecurangan akademik (academic fraud), sedangkan pada penelitian Ratri yang menjadi fokus adalah kecurangan (fraud) secara luas. 2.2 Persepsi 2.2.1 Definisi Persepsi Dari berbagai pendapat mengenai persepsi, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu di mana individu tersebut menafsirkan sesuatu (objek) berdasarkan kesan yang diperoleh melalui inderanya. Hal ini dapat menyebabkan setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai suatu objek yang sama. Persepsi sangat penting karena perilaku manusia didasarkan pada persepsi mereka mengenai realitas yang ada, bukan mengenai realita itu sendiri. 2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Menurut Robbins (2008: 52) ada tiga faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu : 1. Pelaku Persepsi Penafsiran individu terhadap suatu objek sangat dipengaruhi oleh karakteristik
5
2.
3.
individu pelaku persepsi tersebut. Karakteristik individu yang mempengaruhi persepsi adalah sikap, motivasi, kepantingan, pengalaman di masa lampau, dan pengharapan. Target Karakteristik-karakteristik dari target yang diawasi dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Objek-objek yang berdekatan satu sama lain akan cenderung dipersepsikan bersama-sama. Selain itu, objek-objek yang serupa cenderung dikelompokkan secara bersama-sama. Semakin besar kemiripan suatu objek, semakin besar pula kecenderungan untuk mempersepsikan objek-objek tersebut sebagai suatu kelompok bersama. Situasi Elemen-elemen dalam lingkungan sekitar dapat mempengaruhi persepsi. Persepsi dapat berubah-ubah bergantung pada konteks di suatu objek diamati.
2.2.3 Prinsip Penting Mengenai Persepsi Sosial Menurut Mulyana (2000: 176), beberapa prinsip penting mengenai persepsi sosial yang menjadi pembenaran atas perbedaan persepsi sosial adalah: 1. Persepsi Berdasarkan Pengalaman Persepsi manusia terhadap situasi sosial berdasarkan pada pengalaman dan pembelajaran mereka di masa lalu mengenai realitas sosial yangg serupa. 2. Persepsi Bersifat Selektif Seseorang secara selektif menafsirkan apa yang mereka saksikan berdasarkan kepentingan, latar belakang, pengalaman dan sikap (Robbins, 2003: 167). Menurut Mulyana (2000: 180), atensi manusia terhadap stimulus dipengaruhi oleh: a. Faktor Internal Faktor internal terdiri dari faktor biologis (lapar, haus, dan lain sebagainya), faktor fisiologis (tinggi, pendek, sehat, sakit, dan lain sebagainya), dan faktor sosial budaya (gender, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, motivasi, dan lain sebagainya).
b.
Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah atribut objek yang dipersepsikan, seperti gerakan, intensitas, kontras, kebaruan, dan perulangan objek yang dipersepsi. Kotler (2004: 198) mengemukakan bahwa seseorang dapat memiliki persepsi berbeda atas objek yang sama karena tiga proses persepsi, yaitu: a. Perhatian selektif Perhatian selektif terjadi karena banyaknya rangsangan yang terjadi tiap hari menyebabkan seseorang tidak mungkin dapat menanggapi semua rangsangan itu, sehingga mereka akan menyaring sebagian besar rangsangan yang masuk. b. Distorsi selektif Distorsi selektif adalah kecenderungan orang untuk mengubah informasi menjadi bermakna pribadi dan menginterpretasi masukan itu dengan cara yang akan mendukung pra-konsepsi mereka. c. Ingatan selektif Ingatan selektif akan mendorong seseorang untuk cenderung mengingat tentang hal-hal yang disukai dan melupakan kebalikannya. 3. Persepsi Bersifat Dugaan Proses persepsi yang bersifat dugaan memungkinkan penafsiran suatu realitas dengan makna yang lebih lengkap dari sudut pandang tertentu. 4. Persepsi Bersifat Evaluatif Manusia cenderung beranggapan bahwa apa yang mereka persepsi adalah nyata. Dengan demikian, persepsi bersifat pribadi dan subjektif. 5. Persepsi Bersifat Kontekstual Persepsi dipengaruhi oleh konteks yang melingkupi manusia ketika melihat seseorang, suatu objek, atau suatu kejadian. Orang, objek, atau kejadian yang sama dapat dapat dipersepsikan secara berbeda jika konteks yang melingkupi berbeda. 2.2.4 Bentuk Kekeliruan dan Kegagalan Persepsi Manusia cenderung mempersepsikan sesuatu berdasarkan asumsi dan pengharapan
6
pribadi sehingga persepsi yang dihasilkan menjadi tidak tepat. Beberapa bentuk kekeliruan dan kegagalan persepsi sebagaimana dikemukakan oleh Mulyana (2000: 211) adalah: 1. Kesalahan Atribusi Kesalahan atribusi dapat terjadi ketika kita salah menaksir maksud perilaku seseorang. Atribusi juga dapat mengalami kesalahan jika kita salah menduga apakah perilaku seseorang disebabkan oleh faktor internal atau eksternal. 2. Efek Halo Efek halo terjadi jika seseorang cenderung menarik kesan umum mengenai objek berdasarkan karakteristik tunggal yang mempengaruhi penilaian akan sifat-sifat yang spesifik dari objek tersebut. 3. Stereotip Stereotip merupakan kecenderungan persepsi dimana seseorang akan menilai sesuatu berdasarkan generalisasi atas karakteristik kelompok dan sesuatu tersebut. 4. Prasangka Prasangka merupakan penggunaan citra mental yang kaku untuk meringkas apapun yang dipercaya sebagai ciri khas suatu kelompok. 5. Gegar Budaya Gegar budaya merupakan benturan persepsi yang diakibatkan oleh penggunaan persepsi berdasarkan nilai-nilai budaya yang telah dipelajari oleh seseorang dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum dipahami. 2.3
Mahasiswa Akuntansi Mahasiswa akuntansi dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang sedang mengambil kuliah Strata-1 dan Strata-2 di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Pemilihan mahasiswa akuntansi sebagai subjek dalam penelitian karena mahasiswa akuntansi mendapatkan pembelajaran tentang kecurangan dan cara-cara untuk mengatasinya. Selain itu, mahasiswa merupakan pelajar yang menempuh pendidikan paling tinggi sehingga diharapkan memiliki intelektualitas dan kepekaan terhadap kasus-kasus kecurangan di sekitarnya. Dengan pengetahuan yang dimiliki, diharapkan mahasiswa akuntansi memiliki pola pikir yang positif untuk
menolak praktik-praktik kecurangan akademik (academic fraud).
2.4 Kecurangan (Fraud) 2.4.1 Definisi Kecurangan (Fraud) Pengertian fraud menurut Albrecht bersaudara dan Zimbelman (2009: 7), yaitu “ fraud is a generic term, and embraces all the multifarious means which human ingenuity can devise, which are resorted to by one individual, to get an advantage over another by false representations. No definite and invariable rule can be laid down as a general proposition in defining fraud, as it includes surprise, trickery, cunning and unfair ways by which another is cheated. The only boundaries defining it are those which limit human knavery”. Definisi Fraud menurut The Institute of Internal Auditor dalam Karni (2002: 34), kecurangan adalah suatu tindakan penipuan yang disengaja yang meliputi adanya ketidakberesan dan tindakan yang melawan atau tidak sesuai dengan hukum (ilegal). Dan tindak kecurangan ini dapat memberikan menfaat dan/atau kerugian bagi suatu perusahaan atau organisasi yang dilakukan oleh pihak di luar atau pihak di dalam organisasi. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecurangan (fraud) berbeda dengan kesalahan yang disengaja. Fraud adalah suatu tindakan yang melawan atau melanggar hukum yang dilakukan oleh orang dari dalam maupun luar perusahaan atau organisasi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan untuk pribadi dan/ atau kelompok yang secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain. 2.4.2 Faktor-faktor Pendorong Tindakan Kecurangan (Fraud) Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi atau mendorong seseorang untuk melakukan fraud yang disebut fraud triangle Albrecht(2009: 33), yaitu: tekanan (pressure), kesempatan (opportunity) dan rasionalisasi agar kecurangan dapat diterima (rationalization). 1. Adanya tekanan (preassure) yang dialami oleh pelaku kecurangan (fraud). Ada bermacam-macam jenis tekanan yang dapat menyebabkan seseorang berbuat kecurangan. Berbagai kecurangan tersebut
7
2.
dapat dikelompokkan menjadi empat tipe, yaitu: a. Tekanan Keuangan Tekanan keuangan merupakan tekanan utama yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindakan kecurangan. b. Kebiasaan Buruk Kebiasaan buruk yang menimbulkan kecanduan seperti berjudi, konsumsi obat terlarang, dan minuman beralkohol dapat menjadi penyebab seseorang berbuat kecurangan. c. Tekanan Pekerjaan Upah yang tidak memadai, kurangnya penghargaan terhadap kinerja, dan rasa khawatir akan kehilangan pekerjaan dapat menjadi pemicu tindakan kecurangan. d. Tekanan Lainnya Tindakan kecurangan juga dapat timbul karena tekanan-tekanan lain seperti keinginan untuk melawan sistem atau suami/istri yang menuntut pemenuhan gaya hidup mewah. Adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan (fraud) Tindakan kecurangan dapat terjadi jika sistem yang ada dalam organisasi memberikan peluang. Faktor-faktor yang menengaruhi tingkat peluang terjadinya kecurangan adalah sebagai berikut: a. Faktor Pengendalian Faktor pengendalian merupakan struktur pengendalian internal organisasi yang dapat mencegah dan mendeteksi tindak kecurangan. Stuktur pengendalian yang lemah akan meningkatkan risiko terjadinya kecurangan. b. Faktor Non-pengendalian Faktor non-pengendalian meliputi halhal di luar struktur pengendalian internal, yaitu: Ketidakmampuan untuk menilai kualitas kinerja Kegagalan dalam menindak pelaku kecurangan Kurangnya akses informasi
3.
Pengabaian dan kurangnya kapabilitas untuk mendeteksi tindakan-tindakan ilegal Kurangnya jejak audit Rasionalisasi atau pembenaran atas tindakan kecurangan oleh pelaku Rasionalisasi yang umum digunakan oleh para pelaku kecurangan adalah: a. Perusahaan berhutang budi kepada pelaku b. Pelaku hanya meminjam uang yang diambil dan akan mengembalikan uang tersebut di kemudian hari c. Tidak ada pihak yang akan tersakiti d. Pelaku merasa berhak mendapatkan lebih dari yang telah dia dapatkansecara legal e. Tindakan curang tersebut dilakukan demi kebaikan
2.5 Kecurangan Akademik (Academic Fraud) 2.5.1 Definisi Kecurangan Akademik (Academic Fraud) Lambert (2003) dalam penelitian yang dilakukannya menyebut kecurangan akademik (academic fraud) sebagai academic dishonesty. Lambert (2003) menyebutkan bahwa istilah kecurangan akademik sangat sulit didefinisikan secara jelas. Lambert (2003) menambahkan salah satu masalah yang siginifikan dalam review literatur masalah kecurangan akademik adalah tidak adanya definisi yang umum. Lozier (2010) membagi kecurangan akademik (academik fraud) menjadi dua pengertian yaitu kecurangan (cheating) dan plagiarisme. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa kecurangan akademik (academik fraud) merupakan suatu tindakan atau perilaku tidak jujur, yaitu menggunakan cara-cara illegal (tanpa sepengetahuan dosen atau guru) saat ujian dan meniru hasil karya orang lain tanpa menyebutkan sumbernya untuk mencapai tujuan (nilai yang baik, kelulusan, maupun kredit yang lebih banyak). 2.5.2
Kategori-kategori Kecurangan Akademik (Academic Fraud) Colby (2006) menyatakan bahwa di Arizuna State University kategori kecurangan akademik dibagi menjadi lima kategori seperti
8
yang dipublikasikan oleh Arizuna State University Integrity Advocates. Kategori tersebut adalah: 1. Plagiat a. Menggunakan kata-kata atau ide orang lain tanpa menyebut atau mencantumkan nama orang tersebut. b. Tidak menggunakan tanda kutipan dan menyebut sumber ketika menggunakan kata-kata atau ide pada saat mengerjakan laporan, makalah dari bahan internet, majalah, koran, dll. 2. Pemalsuan data, misalnya membuat data ilmiah yang merupakan data fiktif. 3. Penggandaan tugas, yakni mengajukan dua karya tulis yang sama pada dua kelas yang berbeda tanpa izin dosen/guru. 4. Menyontek pada saat ujian a. Menyalin lembar jawaban orang lain b. Menggandakan lembar soal kemudian memberikannya kepada orang lain c. Menggunakan teknologi untuk mencuri soal ujian kemudian diberikan kepada orang lain atau seseorang meminta orang lain mencuri soal ujian kemudian diberikan kepada orang tersebut. 5. Kerjasama yang salah a. Bekerja dengan orang lain untuk menyelesaikan tugas individual b. Tidak melakukan tugasnya ketika bekerja dengan sebuah tim. Lambert (2003) menyebutkan hal yang senada dengan Colby bahwa umumnya ada empat hal yang termasuk kecurangan akademik. (1) menyontek dengan menggunakan materi yang tidak sah dalam ujian, (2) menggunakan informasi, refensi atau data-data palsu, (3) plagiat, (4) membantu siswa lain untuk menyontek seperti membiarkan siswa lain menyalin tugasnya, memberikan kumpulan soal-soal yang sudah diujiankan, mengingat soal ujian kemudian membocorkannya. Kategori lain dikemukakan oleh Wood (2004) dalam Diptyana (2008) mengklasifikan delapan aktifitas yang tergolong kecurangan akademik (academic cheating) yaitu: 1. Plagiat (plagiarism), yaitu aktivitas seseorang yang meniru (imitate) dan/atau mengutip (secara identik tanpa modifikasi) pekerjaan orang lain tanpa mengungkapkan/menyebutkan nama penulis
2.
3.
4.
5.
6. 7.
8.
2.5.3
sebelumnya, dan meng-klaim bahwa tulisan tersebut adalah hasil karyanya. Orang yang melakukan ini disebut: plagiarist. Collussion, yaitu unofficial collaboration (maksudnya, kerjasama yang tidak diijinkan) antara dua orang atau lebih (baik antar siswa maupun antara siswa dengan dosen/guru) untuk mengerjakan tugas atau ujian, agar salah satu pihak atau kedua pihak diuntungkan dengan nilai yang diperoleh. Falsification, yaitu memasukkan hasil pekerjaan orang lain, yang sudah diganti namanya, dan diakui sebagai pekerjaannya. Replication, yaitu memasukkan/mengumpulkan hasil pekerjaan/tugas yang sama, baik seluruhnya maupun sebagian (a piece of work) ke dalam lebih dari satu media, dengan tujuan supaya mendapat nilai atau kredit/poin tambahan. Membawa dan/atau menggunakan catatan atau perangkat yang tidak diijinkan (secara ilegal) selama ujian. Misalnya membawa catatan kecil, menyimpan rumus di kalkulator, PDA, dsb. Memperoleh dan/atau mencari copy soal dan/atau jawaban ujian. Berkomunikasi atau mencoba berkomunikasi dengan sesama peserta ujian selama ujian berlangsung. Menjadi pihak penghubung antar peserta ujian yang bekerjasama/melakukan kecurangan, atau menjadi orang yang purapura tidak tahu jika ada yang sedang melakukan kecurangan.
Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Kecurangan Akademik (Academid Fraud) Matindas (2010) yang merangkum berbagai kajian tentang plagiarisme menyebutkan banyak sekali faktor yang berkaitan dengan kecurangan akademik. Faktor yang bersifat internal antara lain meliputi academic selfefficacy, indeks prestasi akademik, etos kerja, selfesteem, kemampuan/kompetensi, motivasi akademik, need for approval belief, sikap (attitude), tingkat pendidikan, teknik belajar (study skill), dan moralitas. Selain itu, faktor yang bersifat eksternal antara lain meliputi pengawasan oleh pengajar, penerapan peraturan, tanggapan
9
fakultas terhadap kecurangan, perilaku siswa lain serta asal negara pelaku kecurangan. Riski (2004) menambahkan bahwa kecurangan akademik disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Individual Terdapat berbagai faktor yang dapat mengidentifikasikan karakteristik individu yang dapat digunakan untuk memprediksi perilaku curang. Variabel-variabel tersebut, antara lain: a. Usia. Pelajar yang lebih muda lebih banyak melakukan kecurangan daripada pelajar yang lebih tua. b. Jenis kelamin. Siswa lebih banyak melakukan kecurangan daripada siswi. c. Prestasi akademik. Hubungan prestasi akademik dengan kecurangan akademik bersifat konsisten. d. Pendidikan orang tua. Pelajar yang mempunyai orang tua dengan latar pendidikan yang tinggi akan lebih mempersiapkan diri dalam mengerjakan tugas dan ujian. e. Aktivitas ekstrakurikuler. Pelajar yang banyak terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler dilaporkan lebih banyak melakukan kecurangan akademik. 2. Kepribadian a. Moralitas. Pelajar yang memiliki level kejujuran yang rendah akan lebih sering melakukan perilaku curang, namun penelitian yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perkembangan moral dengan menggunakan tahapan moral Kohlberg menunjukkan hanya ada sedikit hubungan diantara keduanya. b. Variabel yang berkaitan dengan pencapaian akademik. Variabel yang berkaitan dengan kecurangan akademik adalah motivasi, pola kepribadian dan pengharapan terhadap kesuksesan. c. Impulsifitas, afektivitas dan variabel kepribadian yang lain. Terdapat hubungan antara perilaku curang dengan impulsifitas dan kekuatan ego. Selain hal tersebut, pelajar yang memiliki level tinggi dari tes kecemasan lebih cenderung melakukan perilaku curang. 3. Faktor kontekstual a. Keanggotaan perkumpulan
Pelajar yang tergabung dalam suatu perkumpulan pelajar akan lebih sering melakukan perilaku curang. Pada perkumpulan pelajar diajarkan norma, nilai dan kemampuan-kemampuan yang berhubungan dengan mudahnya perpindahan perilaku curang. b. Perilaku teman sebaya Perilaku teman sebaya memiliki pengaruh yang penting terhadap kecurangan akademik. Hubungan tersebut dijelaskan dengan menggunakan teori pembelajaran sosial dari Bandura dan teori hubungan perbedaan dari Edwin Sutherland. Teori-teori tersebut mengemukakan bahwa perilaku manusia dipelajari dengan mencontoh perilaku individu lain yang memiliki perilaku menyimpang akan berpengaruh terhadap peningkatan perilaku individu yang menirunya. c. Penolakan teman sebaya terhadap perlaku curang Penolakan teman sebaya terhadap perilaku curang merupakan salah satu faktor penentu yang penting dan dapat berpengaruh terhadap perubahan perilaku curang pada pelajar. 4. Faktor situasional a. Pelajar terlalu banyak, kompetisi dan ukuran kelas Pelajar yang belajar terlalu banyak dan menganggap dirinya berkompetisi dengan pelajar lain lebih cenderung melakukan kecurangan dibandingkan pelajar yang tidak belajar terlalu banyak. b. Lingkungan ujian Pelajar lebih cenderung melakukan kecurangan di dalam ujian jika pelajar tersebut berpikir bahwa hanya ada sedikit resiko ketahuan ketika melakukan kecurangan. Matindas (2010) memaparkan beberapa hal yang mendorong terjadinya kecurangan akademik, antara lain: 1. Individu yang bersangkutan tidak tahu bahwa perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan.
10
Individu yang bersangkutan tahu hal tersebut tidak boleh dilakukan tetapi yakin bahwa individu tersebut dapat melakukannya tanpa ketahuan. 3. Individu yang bersangkutan: a. Tahu hal tersebut tidak boleh dilakukan b. Tidak yakin bahwa perbuatan tersebut tidak akan diketahui, tetapi individu tersebut tidak melihat kemungkinan lain untuk mencapai tujuan utamanya (lulus atau mendapat nilai kredit untuk kenaikan pangkat), dan berharap agar perbuatannya tidak ketahuan. 4. Individu yang bersangkutan tidak percaya bahwa ancaman sanksi akan benar-benar dilakukan. 5. Individu yang bersangkutan tidak merasa malu apabila perbuatannya diketahui orang lain. 2.5.4 Upaya Penanggulangan Kecurangan Akademik (Academid Fraud) Alhadza (2001) menjelaskan bahwa agar pelajar selalu tidak melakukan kecurangan akademik pada saat ujian maka caranya adalah mengkondisikan keempat faktor yang menyebabkan pelajar berperilaku curang di atas ke arah yang mendukung, yaitu sebagai berikut: 1. Faktor pribadi a. Bangkitkan rasa percaya diri b. Arahkan self concept pelajar ke arah yang lebih proporsional c. Biasakan pelajar berpikir lebih realistis dan tidak ambisius d. Tumbuhkan kesadaran hati nurani (Das Uber Ich) yang mampu mengontrol keinginan untuk berperilaku tidak etis. 2. Faktor Lingkungan dan Kelompok. Ciptakan kesadaran disiplin dan kode etik kelompok yang sarat dengan pertimbangan moral. 3. Faktor Sistem Evaluasi a. Buat instrumen evaluasi yang valid dan reliable (yang tepat dan tetap) b. Terapkan cara pemberian skor yang benar-benar objektif c. Lakukan pengawasan yang ketat d. Bentuk soal disesuaikan dengan perkembangan kematangan peserta didik dan dengan mempertimbangkan 2.
prinsip paedagogy serta prinsip andragogy. 4. Faktor Guru a. Berlaku objektif dan terbuka dalam pemberian nilai. b. Bersikap rasional dan tidak melakukan kecurangan dalam memberikan tugas ujian. c. Tunjukkan keteladanan dalam perilaku moral. d. Berikan umpan balik atas setiap penugasan. Colby (2006) menyebutkan beberapa cara yang bisa dilakukan oleh pelajar untuk menghindari kecurangan akademik, antara lain: 1. Bertanya. Banyak pelajar yang menyontek dengan alasan tidak memahami cara mengerjakan soal ujian, oleh karenanya sangat penting untuk bertanya kepada pengajar pada saat proses belajar mengajar. 2. Seek tutoring. Meminta kepada guru atau dosen untuk mencarikan seseorang yang bisa membantu proses belajar, seperti guru privat. 3. Jaga kesehatan. Kesehatan sangat penting untuk mendukung proses belajar dan juga pada saat ujian oleh karenanya seorang pelajar harus mampu menjaga kesehatan, baik kesehatan fisik maupun kesehatan psikis. 4. Jadikan kejujuran akademik sebagai prioritas utama dalam menyelesaikan semua tugas akademik. 2.6 Kerangka Konseptual Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 1. 2.
Pemahaman Kecurangan Akademik Praktik-praktik Kecurangan Akademik
Uji Beda Mann-Whitney Persepsi Mahasiswa Akuntansi terhadap PraktikPraktik Kecurangan Akademik (Academic Fraud)
11
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Jenis Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menngetahui bagaimana persepsi mahasiswa akuntansi terhadap praktik-praktik kecurangan akademik (academic fraud) dan mengetahui apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap praktik-praktik kecurangan akademik antara mahasiswa akuntansi ditinjau dari jenjang pendidikan mahasiswa S1 dan S2. Jadi jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang umumnya berkaitan dengan opini (individu, kelompok, atau organisasional), kejadian, atau prosedur (Indriantoro, 2002:26).
penulis menentukan jumlah sampel sebesar 15% dari jumlah populasi, sedikit lebih besar dari batas minumum yang ditentukan oleh Gay (1992). Rincian jumlah populasi dan sampel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dari tabel 3.1. Tabel 3.1 Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian Jenjang Jumlah Jumlah Pendidikan Mahasiswa Sampel Aktif (*) S1 1314 197 S2 251 38 1565 Total 235 *) Data SISKA FEB-UB 2013 3.3
3.2
Populasi dan Sampel Populasi adalah sekelompok orang, kejadian, atau segala sesuatu yang mempunyai karakteristik tertentu. Sedangkan sampel merupakan bagian dari elemen-elemen populasi (Indriantoro, 2002). Populasi dari penelitian ini adalah mahasiswa aktif S-1 dan S-2 Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode stratified random sampling yaitu pemilihan sampel secara acak berdasarkan strata yang dilakukan dengan terlebih dahulu mengklasifikasikan populasi ke dalam sub-sub populasi berdasarkan karakteristik tertentu dari elemen-elemen populasi (Indriantoro, 2002: 125). Penentuan jumlah sampel didasarkan pada pendapat Gay (1992) yang menyatakan bahwa sampel haruslah sebesar-besarnya. Pendapat Gay (1992) ini mengasumsikan bahwa semakin banyak sampel yang diambil maka akan semakin representatif dan hasilnya dapat digenelisir. Namun ukuran sampel yang diterima akan sangat bergantung pada jenis penelitiannya. 1. Jika penelitiannya bersifat deskriptf, maka sampel minimunya adalah 10% dari populasi 2. Jika penelitianya korelasional, sampel minimunya adalah 30 subjek 3. Apabila penelitian kausal perbandingan, sampelnya sebanyak 30 subjek per group 4. Apabila penelitian eksperimental, sampel minimumnya adalah 15 subjek per group Jenis penelitian yang dilakukan penulis termasuk dalam penelitian deskriptif, maka dari itu
Jenis Data Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer Data primer adalah sumber data yang diperoleh secara langsung (Sekaran, 2003: 61). Data primer yang diperoleh peneliti yaitu jawaban atas kuesioner yang disebarkan kepada responden dan tanya jawab secara langsung dengan responden. 2. Data Sekunder Selain data primer, peneliti juga menggunakan data sekunder yang merupakan data penelitian yang diperoleh tidak secara langsung namun melalui media perantara (Sekaran, 2003: 65). Data sekunder yang diperoleh peneliti dalam penelitian ini adalah data-data yang berasal dari buku, jurnal, artikel di media elektronik, dan penelitian sebelumnya. 3.4
Metode Pengumpulan Data Peneliti memperoleh data dalam penelitian ini dengan menggunakan metode survei yang merupakan metode pengumpulan data primer dengan menggunakan pertanyaan secara lisan atau tertulis (Indriantoro, 2002: 152). Metode yang digunakan peneliti yaitu: 1. Penyebaran Kuesioner Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan memberi pertanyaan-pertanyaan dan pernyataanpernyataan tertulis yang akan dijawab oleh responden. Kuesioner akan disebarkan
12
2.
secara langung kepada 235 responden. Kuesioner tersebutut berisi tentang data responden, pemahaman responden terhadap kecurangan akademik, pernyataan-pernyataan dan pertanyaanpertanyaan seputar praktik-praktik kecurangan akademik. Wawancara Wawancara dalam penelitian ini dilakukan secara terstruktur secara langsung dengan responden untuk menunjang data-data yang diperlukan dalam penelitian ini. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang diadakan ketika diketahui pada permulaan informasi apa saja yang diperlukan di mana pewawancara memiliki daftar pertanyaan yang direncanakan untuk ditanyakan kepada responden (Sekaran, 2003: 70). Dalam Moleong, 2006: 190, dijelaskan bahwa: Peneliti yang menggunakan jenis wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis kerja. Untuk itu pertanyaan-pertanyaan disusun dengan rapi dan ketat. Jenis ini dilakukan pada situasi jika sampel yang representatif ditanyai dengan pertanyaan yang sama dan hal ini penting sekali. Semua aspek dipandang mempunyai kesempatan yang sama untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.
Pengembangan Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan penelitian ini berupa kuesioner yang berisi pernyataanpernyataan dan pertanyaan-pertanyaan tentang praktik-praktik kecurangan akademik (academic fraud). Bentuk dari kuesioner diadaptasi dari kuesioner yang digunakan oleh Ratri (2008). Peneliti mengubah variabel-variabel dan menyusun kembali pernyatan dan pertanyaan seputar praktik-praktik kecurangan akademik sesuai variabel tersebut. Kuesioner dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga bagian sebagai berikut: 1. Bagian pertama berisi data pribadi responden yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi responden berdasarkan
2.
3.
4.
3.5
3.6
kelompok tertentu, terutama jenis kelamin, semester dan jumlah SKS yang sudah ditempuh. Bagian ini terdiri dari pernyataan tertutup dan terbuka. Pertanyaan terbuka ditujukan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut dari jawaban atas pertanyaan tertutup. Bagian kedua berisi pernyataan-pernyataan tentang kecurangan akademik (academic fraud) secara umum yang ditujukan untuk mengetahui pemahaman responden terhadap kecurangan akademik (academic fraud) secara umum. Bagian ketiga berisi pernyataan-pernyataan tentang kasus-kasus praktik kecurangan akademik (academic fraud) secara sederhana yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan studi pustaka dan fenomena yang berkembang di lingkungan pendidikan. Bagian ini ditujukan untuk mengetahui seberapa jauh mahasiswa memahami kecurangan akademik (academic fraud), bagaimana persepsi mahasiswa terhadap praktik kecurangan akademik (academic fraud), serta adakah perbedaan persepsi antara mahasiswa ditinjau dari julah SKS yang sudah ditempuh. Bagian keempat berisi pertanyaanpertanyaan terbuka yang menunjang penelitian ini. Dimana dari jawaban pertanyaan-pertanyaan ini peneliti bisa mengetahui jenis kecurangan seperti apa yang dilakukan, motivasi, rasionalisasi dan frekuensi tindakan kecurangan akademik (academic fraud) yang dilakukan responden
Variabel Penelitian dan Pengukuran Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan ketika pernyataan-pernyataan dalam instrumen penelitian menjadi enam kelompok variabel, yaitu: 1. Kecurangan akademik (academic fraud) secara umum yang diukur dengan enam penanda, yaitu: a. Definisi kecurangan akademik (academic fraud) diukur dengan satu penanda. b. Pelaku kecurangan akademik (academic fraud) diukur dengan satu penanda.
13
c.
2.
3.
4.
5.
6.
Penyebab dilakukannya kecurangan akademik (academic fraud) diukur dengan empat penanda. Kecurangan akademik (academic fraud) yang termasuk plagiarisme diukur dengan dua penanda: a. Menggunakan kata-kata atau ide orang lain tanpa menyebut atau mencantumkan nama orang tersebut diukur dengan satu penanda. b. Tidak menggunakan tanda kutipan dan menyebut sumber ketika menggunakan kata-kata atau ide pada saat mengerjakan laporan, makalah dari bahan internet, majalah, koran diukur dengan satu penanda. Pemalsuan data, misalnya membuat data ilmiah yang merupakan data fiktif diukur dengan satu penanda. Penggandaan tugas dan artikel diukur dengan dua penanda, yaitu: a. Mengirim artikel yang sudah diterbitkan kepada penerbit lain dengan mengambil semua, memotong atau menambahkan kalimat, tetapi masih menggunakan ide yang sama diukur dengan satu penanda. b. Mengumpulkan tugas yang sama kepada dua dosen yang berbeda tanpa sepengetahuan dosen diukur dengan satu penanda. Menyontek pada saat ujian yang diukur dengan delapan penanda, yaitu: a. Menggandakan lembar soal kemudian memberikannya kepada orang lain diukur dengan satu penanda. b. Menggunakan teknologi untuk mencuri soal ujian kemudian diberikan kepada orang lain atau seseorang meminta orang lain mencuri soal ujian kemudian diberikan kepada orang tersebut diukur dengan satu penanda. c. Menyalin lembar jawaban orang lain diukur dengan enam penanda. Kerjasama yang salah yang diukur dengan tiga penanda, yaitu: a. Bekerja dengan orang lain untuk menyelesaikan tugas individual, diukur dengan dua penanda.
b.
Tidak melakukan tugasnya ketika bekerja dengan sebuah tim diukur dengan satu penanda. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala likert. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiono, 2002). Cara pengukuran dalam penelitian ini yaitu dengan menghadapkan seorang responden terhadap item-item pernyataan pada kuesioner. Nilai dari respon diukur pada skala yang dimulai dari skala 1 hingga 6. Secara urut skala 1 hingga 6 merefleksikan sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), kurang setuju (KS), cukup setuju (CS), setuju (S), dan sangat setuju (SS). Sedangkan untuk kuesioner bagian ketiga skala likert dibalik karena pernyataan pada bagian ketiga merupakan pernyataan negatif, sehingga respon positif ditunjukkan dengan pernyataan tidak setuju. 3.7 Uji Kualitas Data 3.7.1 Uji Validitas Jogiyanto (2004) yang berdasarkan pada Ghiseli et al (1981) mendefinisikan validitas sebagai seberapa jauh suatu tes atau satu set dari operasi-operasi mengukur apa yang seharusnya diukur. Pengujian validitas dimaksudkan untuk mengetahui seberapa cermat suatu tes melakukan fungsi ukurnya. Berkaitan dengan hal tersebut, uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner (Ghozali, 2006). Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Jadi validitas ingin mengukur apakah pertanyaan dalam kuesioner yang sudah dibuat adalah betul-betul dapat mengukur apa yang hendak diukur. Uji validitas yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan melakukan korelasi antar butir pertanyaan dengan total skor konstruk atau variabel (Santoso, 2000 dan Ghozali, 2006). Uji signifikansi validitas dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabel untuk degree of freedom (df)= n-2, dalam hal ini n adalah jumlah sampel. Jika r hitung lebih besar dari r tabel dan nilai positif maka instrumen penelitian dinyatakan valid. Nilai r hitung dapat
14
dilihat dalam tampilan output cronbanch alpha pada kolom correlated item-total correlation. 3.7.2 Uji Reliabilitas Sekaran (2002) mendefinisikan reliabilitas sebagai suatu pengukur yang menunjukkan konsistensi dari suatu instrumen yang mengukur suatu konsep dan berguna untuk mengakses kebaikan dari suatu pengukur. Uji reliabilitas adalah dengan menguji skor antar item dengan tingkat signifikansi 0,05 sehingga apabila angka korelasi yang diperoleh lebih besar dari nilai kritis, berarti item tersebut dikatakan reliabel. Untuk menguji reliabilitas instrumen digunakan uji Cronbach Alpha yang artinya bahwa Cronbach alpha (koefisien keandalannya) harus lebih besar dari 0,6 (Ghozali,2006). 3.8 Teknik Analisis Data 3.8.1 Statistik Deskriptif Statistik deskriptif membantu peneliti dalam mengumpulkan dan menyajikan data sehingga mudah dipahami. Dalam penilitian ini analisis statistik deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai demografi responden dan persepsi responden terhadap pernyataan-pernyatan yang mewakili suatu kasus kecurangan akademik. 3.8.2 Uji Asumsi Klasik
Normalitas data akan berpengaruh pada penentuan teknik pengujian hipotesis yang akan digunakan. Jika data berdistribusi normal, uji beda dua rata-rata akan dilakukan dengan menggunakan uji t-tidak berpasangan. Jika distribusi data tidak normal, uji beda dua rata-rata yang digunakan adalah uji Mann-Whitney. 3.8.3 Uji Hipotesis 3.8.3.1 Uji Beda Mann-Whitney Uji beda yang sesuai untuk penelitian ini adalah uji beda dua rata-rata dengan alternatif statistik parametrik dengan uji t atau statistik nonparametrik Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney adalah tes nonparametrik yang digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan respon dari 2 populasi data yang saling independen ketika data lebih lemah dari skala interval. Uji ini dapat disamakan dengan t test untuk 2 kelompok yang independen ketika terjadi pelanggaran terhadap asumsi normalitas atau skala data tidak sesuai untuk uji t. Hipotesis dasar untuk uji Mann-Whitney adalah; H0: Tidak terdapat perbedaan signifikan antar kelompok H1: Terdapat perbedaan signifikan antar kelompok Syarat H0 diterima atau tidak berdasarkan nilai probabilitas sebagai berikut : Apabila probabilitas > 0.05 maka H0 diterima Apabila probabilitas < 0.05 maka H0 ditolak
3.8.2.1 Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data penelitian berdistribusi normal atau tidak normal. Distribusi normal merupakan distribusi dari variabel random yang kontinyu (Dajan, 1986:172). Persamaan regresi linear klasik mengasumsikan bahwa data terdistribusikan secara normal. Untuk melihat apakah dalam regresi linear datanya terdistribusikan secara normal dengan melihat normal probabilitas plot. Dengan tingkat signifikan 5% keputusan yang diambil adalah jika probabilitas signifikan > 0,05, maka data tersebut berdistribusi normal begitu juga sebaliknya juga dapat dilihat dari scatterplot, apabila sebaran data terletak di garis lurus, maka dapat dikatakan persyaratan normaltas terpenuhi.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Umum Responden Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa aktif S1 dan S2 Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya. Jumlah kuesioner yang disebarkan sejumlah 235 kuesioner, dengan rincian 197 kuesioner untuk mahasiswa S1 dan 38 kuesioner untuk mahasiswa S2. Jumlah tersebut didapat berdasarkan perhitungan 15 % dari keseluruhan jumlah masing-masing sub populasi. Dari 235 orang responden, diketahui 91 orang (38,7%) berjenis kelamin laki-laki dan 144 orang (61,3%) berjenis
15
kelamin perempuan. Untuk mengetahui gambaran umum mengenai responden yang menjadi data penelitian ini, tabel-tabel berikut ini akan memberikan penjelasan secara menyeluruh berdasarkan beberapa komposisi tertentu.
Dari data yang diberikan responden, peneliti juga berhasil mengetahui bahwa responden sebanyak 186 (79,1%) pernah mendapatkan informasi tentang praktik-praktik kecurangan akademik (academic fraud) dan hanya sedikit saja yang mengaku tidak pernah mendapatkan informasi tentang praktik-praktik kecurangan akademik (academic fraud), yaitu sejumlah 49 responden (20,9%)
Dari tabel 4.2 dapat dilihat bahwa mahasiswa S2 yang tidak pernah mendapatkan informasi tentang praktik-praktik kecurangan akademik jumlahnya sangat sedikit, bahkan disini hanya ditemukan 1 orang saja (2,6 %), hampir semua responden pernah mendapatkan informasi tersebut. Berbeda dengan responden mahasiswa S1 yang mengaku tidak pernah mendapatkan informasi tentang praktik-praktik kecurangan akademik masih cukup besar, yaitu 48 orang (24,4%). Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa S2 lebih aktif mencari informasi. Kemungkinan lain yang terjadi adalah responden S1 yang tidak
pernah mendapatkan informasi tentang kecurangan akademik karena masih berada pada tingkatan semester yang belum memungkinkan mereka untuk menempuh mata kuliah tertentu yang bisa memberikan pengetahuan tentang kecurangan akademik. Mengenai sumber-sumber informasi tentang praktik-praktik kecurangan akademik, penulis mengelompokkannya ke dalam 5 kategori, yaitu: Kegiatan perkuliahan/Mata kuliah tertentu Artikel/Jurnal/Buku/Media Massa Buku Pedoman Akademik/ Pengumuman Tata Tertib/ Selebaran dari Fakultas Seminar/Workshop/Kuliah Tamu/Pelatihan Lainnya Tabel berikut menggambarkan rincian sebaran sumber informasi yang diterima oleh responden.
*) Dari perhitungan pada tabel 4.2 **) Satu orang responden dapat memilih lebih dari 1 pilihan jawaban ***) Dihitung dari total suara responden yang menyatakan pernah mendapat informasi, bukan dari total responden Sumber: Data Primer (diolah) Tabel 4.3 tersebut menunjukkan bahwa baik responden dengan jenjang pendidikan S1 maupun S2 mempunyai urutan peringkat sumber informasi yang sama. Sebagian besar responden (64 orang atau 34,4 %) mendapatkan informasi tentang kecurangan akademik (academic fraud) dari artikel/jurnal/buku/media massa. Sumber
16
yang memberikan informasi tentang kecurangan akademik selanjutnya secara berurutan dari yang terbanyak diperoleh dari kegiatan perkuliahan/ mata kuliah tertentu (30,1%), buku pedoman akademik/ tata tertib/selebaran dari fakultas (12,9%), seminar/workshop/kuliah tamu/seminar (10,8%) dan dari sumber lainnya (10,2%). Ada beberapa responden yang mengaku pernah mendapatkan informasi tentang kecurangan akademik namun tidak mau menyebutkan sumbernya, jumlah mereka sebesar 41 orang (22 %), semuanya merupakan responden S1. 4.2 Hasil Uji Kualitas Data 4.2.1 Hasil Uji Validitas Pengujian validitas sangat diperlukan dalam suatu penelitian, khususnya yang menggunakan kuisioner dalam memperoleh data. Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan dan kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrument dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang ingin diukur atau dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya validitas instrument menunjukkan sejauh mana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang variabel yang dimaksud. Pengujian validitas dapat dilakukan dengan cara mengkorelasikan masing-masing item dengan total item tersebut dengan menggunakan korelasi (r) product moment. Kriteria pengujian untuk menerima atau menolak hipotesis adanya pernyataan yang valid atau tidak dapat dilakukan dengan: H0 : r = 0, tidak terdapat data yang valid pada tingkat kepercayaan (α) 5%. H1 : r ≠ 0, terdapat data yang valid pada tingkat kepercayaan (α) 5%. Hipotesa nol (H0) diterima apabila r hitung < r tabel dan nilai signifikansi > 0,05, demikian sebaliknya hipotesa alternatif (H1) diterima apabila r hitung > r tabel dan nilai signifikansi < 0,05. Nilai r tabel dengan jumlah responden sebanyak 50 yang digunakan dalam uji pendahuluan ini didapatkan dari tabel sebesar 0,279. Pengujian validitas yang dilakukan dengan melalui program SPSS ver. 15.0 dengan mengggunakan korelasi product moment menghasilkan nilai masing-masing item
pernyataan dengan skor item pertanyaan secara keseluruhan dan untuk lebih jelasnya disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa semua item pertanyaan memiliki nilai r hitung > r tabel (0,279) dan nilai signifikansi < 0,05 yang berarti Item pertanyaan lainnya tersebut sudah valid. Dari Tabel 4.5 di bawah ini dapat dilihat bahwa nilai r hitung Item pertanyaan pada p15 < r tabel sebesar 0,279 dan nilai signifikansi > 0,05 sehingga dapat dinyatakan item p15 tidak valid, maka dari itu jawaban pertanyaan nomor 15 akan diabaikan. Sedangkan item pertanyaan yang lain memiliki nilai r hitung > r tabel (0,279) dan nilai signifikansi < 0,05 yang berarti tiap-tiap Item pertanyaan tersebut sudah valid.
17
Tabel 4.6 Uji Reliabilitas Variabel Koefisi en Keteran Variabel Alpha gan Cronb ach Pemahaman Kecurangan 0,913 Reliabel Akademik Praktik-praktik Kecurangan 0,965 Reliabel Akademik Sumber: Data primer (diolah) 2013 Dari Tabel di atas diketahui bahwa nilai dari alpha cronbach untuk semua variabel > 0,6. Karena nilai alpha cronbach lebih besar dari 0,6. maka dapat dinyatakan bahwa item pertanyaan yang digunakan untuk penelitian ini sudah reliabel.
4.2.2 Hasil Uji Reliabilitas Uji reliabilitas menunjukkan tingkat kemantapan, keajegan dan ketepatan suatu alat ukur atau uji yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana pengukuran relatif konsisten apabila dilakukan pengukuran ulang. Uji ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana jawaban seseorang konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Reliabilitas menunjukkan pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik “. Teknik pengujian reliabilitas adalah dengan menggunakan nilai koefisien reliabilitas alpha. Kriteria pengambilan keputusannya adalah apabila nilai dari koefisien reliabilitas alpha lebih besar dari 0,6 maka variabel tersebut sudah reliabel (handal).
4.3 Hasil Uji Asumsi Klasik 4.3.1 Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh tersebut berdistribusi normal atau tidak. Data yang diuji normalitasnya adalah dari persepsi terhadap praktik-praktik kecurangan akademik. Hasil uji normalitas data dapat dilihat pada tabel berikut ini. Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa data persepsi terhadap praktik-praktik kecurangan akademik memiliki nilai Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,032, karena nilai sig < 0,05, maka data tersebut tidak berdistribusi normal. Karena data
tidak
berdistribusi
normal
maka
pengujian
18
selanjutnya dilakukan dengan statistik parametrik menggunakan uji mann whitney.
non
4.4 Hasil Uji Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji Mann Whitney menggunakan Software SPSS 15. Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap praktikpraktik kecurangan akademik (academic fraud) antara mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya ditinjau dari jenjang pendidikan S1 dan S2. Hipotesis yang diuji adalah: H0 : µ1 = µ2, artinya tidak ada perbedaan persepsi terhadap praktik-praktik kecurangan akademik (academic fraud) antara mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya ditinjau dari jenjang pendidikan S1 dan S2. H1 : µ1 ≠ µ2, artinya ada perbedaan persepsi terhadap praktik-praktik kecurangan akademik (academic fraud) antara mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya ditinjau dari jenjang pendidikan S1 dan S2..
4.5 Pembahasan 4.5.1 Persepsi Mahasiswa Akuntansi Terhadap Praktik-praktik Kecurangan Akademik (Academic Fraud) Persepsi mahasiswa akuntansi terhadap kecurangan akademik dan praktik-praktik kecurangan akademik secara lebih rinci akan dijelaskan dalam tiap-tiap variabel berikut: 4.5.1.1 Pemahaman Akademik
terhadap
Kecurangan
Tabel berikut ini akan menyajikan jawaban tertinggi yang menggambarkan bagaimana pemahaman atau pengetahuan responden terhadap kecurangan akademik.
Hasil uji hipotesis dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.8 Hasil Uji Mann Whitney Sig
Keterangan
0,157
Terima H0
Pada tabel di atas dapat diketahui didapatkan nilai Sig (2-tailed) sebesar 0,157. Karena nilai sig > 0,05 sehingga Ho diterima dan Ha ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan persepsi terhadap praktik-praktik kecurangan akademik (academic fraud) antara mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya ditinjau dari jenjang pendidikan S1 dan S2.
Melihat hasil jawaban yang diperoleh dari kuesioner dapat dikatakan bahwa para responden telah memiliki pemahaman yang cukup baik mengenai kecurangan akademik (academic fraud). Jawaban tertinggi yang diperoleh dari responden mahasiswa S1 dan S2 adalah “Setuju” yang menempati nilai 5 dari 6 skala likert yang ditentukan. Secara garis besar
19
ini menunjukkan bahwa mahasiswa S1 dan S2 mempunyai pemahaman yang sama baiknya, namun jika melihat rincian prosentase banyaknya mahasiswa yang memberikan jawaban dapat dilihat bahwa mahasiswa S2 memiliki besaran prosentase yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa S1, artinya mahasiswa S2 mempunyai pemahaman lebih baik daripada mahasiswa S1. 4.5.1.2 Plagiarisme Jawaban tertinggi yang menggambarkan persepsi mahasiswa terhadap praktik-praktik kecurangan akademik dalam hal plagiarisme disajikan pada tabel berikut.
instrumen penelitian ini adalah “Seorang mahasiswa yang sedang menulis artikel, mengutip kalimat orang lain dari artikel lain atau dari berita tanpa menggunakan tanda kutip dan tidak menyebutkan sumbernya”, pada kasus ini respon yang diberikan oleh responden mahasiswa S1 dan S2 berbeda. Mahasiswa S1 mempunyai respon tertinggi “tidak setuju” (28,9 %), sedangkan mahasiswa S2 menunjukkan respon “sangat tidak setuju” (36,8 %). Penolakan mahasiswa S2 terhadap kasus ini sangat kuat, menempati nilai tertinggi (6) dalam skala yang ditentukan, yang berarti pula persepsi yang ditunjukkan sangat positif. 4.5.1.3 Pemalsuan Data Jawaban tertinggi yang menggambarkan persepsi mahasiswa terhadap praktik-praktik kecurangan akademik dalam hal pemalsuan data disajikan pada tabel berikut.
Berdasarkan tabel 4.10 dapat dilihat bahwa respon tertinggi atas skenario kasus “seseorang mahasiswa yang sedang menulis skripsi, menulis ide atau kalimat orang lain yang terdapat dalam penelitian lain tanpa menyebutkan nama peneliti” adalah tidak setuju. Pendapat ini menunjukkan penolakan responden terhadap kecurangan akademik yang serupa dengan sekenario tersebut, dengan kata lain responden memiliki persepsi yang positif. Secara terpisah dapat dilihat bahwa mahasiswa S1 yang menunjukkan respon tidak setuju sebesar 26,4 % , sedangkan mahasiswa S2 memiliki prosentase lebih tinggi yaitu 31,6 %. Dalam hal ini persepsi positif diwakili lebih banyak oleh mahasiswa S2. Sekenario plagiarisme yang
kedua dalam kategori digunakan penulis dalam
Tabel 4.11 menggambarkan tentang jawaban tertinggi atas persepsi mahasiswa akuntansi terhadap pemalsuan data. Skenario “Seorang mahasiswa yang sedang melakukan penelitian membuat data survei dan data wawancara fiktif/palsu” mendapatkan respon positif dari mahasiswa akuntansi berupa penolakan yang sangat kuat yaitu sangat tidak setuju atas kasus praktik pemalsuan data. Prosentase penolakan mahasiswa S2 lebih tinggi yaitu 31,6% daripada mahasiswa S1 yang hanya 27,4%. 4.5.1.4 Penggandaan Tugas dan Artikel Tabel 4.12 di bawah ini akan menjelaskan tentang jawaban tertinggi yang menggambarkan persepsi mahasiswa akuntansi terhadap praktik-
20
praktik kecurangan akademik penggandaan tugas dan artikel.
yang
berupa
terhadap skenario kedua, namun respon mahasiswa S1 tidak sekuat respon mahasiswa S2. 4.5.1.5 Menyontek Pada Saat Ujian Tabel 4.13 di bawah ini menyajikan data jawaban tertinggi yang menggambarkan persepsi mahasiswa akuntansi terhadap praktik kecurangan akademik dengan kasus menyontek pada saat ujian.
Skenario pertama ”Seorang dosen menerbitkan artikel pada salah satu penerbit, kemudian dosen tersebut memotong atau mengubah kalimat pada artikel tersebut namun masih menggunakan ide yang sama dan menerbitkannya pada penerbit lain” mendapatkan penolakan berupa tidak setuju dari mahasiswa S1 sebanyak 23,3 %. Sedangkan penolakan dari mahasiswa S2 lebih kuat yaitu berupa pernyataan sangat tidak setuju sebesar 31,6%. Hal ini menunjukkan respon positif terhadap kasus tersebut. Untuk skenario kedua “Seorang mahasiswa yang sedang menempuh mata kuliah Metodologi Penelitian mengumpulkan tugas membuat laporan penelitian. Kemudian mahasiswa tersebut mengumpulkan laporan penelitian yang sama untuk memenuhi tugas mata kuliah lain, tanpa seizin dosen Metodologi Penelitian” mendapatkan penolakan dari mahasiswa S1 dengan pernyataan kurang setuju sebesar 30,5%. Sedangkan penolakan dari mahasiswa S2 berupa pernyataan tidak setuju sebesar 36,8%. Pernyataan dan prosentase tersebut menunjukkan respon positif
Skenario pertama “Seorang mahasiswa yang sudah melaksanakan ujian Auditing 1, memberikan soal ujian atau menghafal soal ujian dan memberikan informasinya kepada mahasiswa kelas lain (dosen sama) yang juga akan menempuh ujian Auditing 1” mendapatkan respon yang samasama kuat, baik dari mahasiswa S1 maupun S2 yang berupa penyataan tidak setuju. Hanya saja mahasiswa S2 yang memberikan respon tersebut prosentasenya lebih tinggi yaitu 26,3%, sedangkan mahasiswa S1 23,9%. Kedua respon tersebut menunjukkan respon positif terhadap kasus ini. Skenario kedua menemukan file soal Auditing 2 yang akan kemudian meng-copy
“Seorang asisten dosen, ujian tengah semester diujikan oleh dosennya, dan memberikan soal
21
tersebut kepada teman kosnya yang sedang menempuh mata kuliah Auditing 2 dengan dosen yang sama” mendapatkan respon positif dari mahasiswa S1 yaitu penolakan berupa pernyataan tidak setuju sebesar 23,9%. Namun, respon negatif didapatkan dari pernyataan setuju oleh mahasiswa S2 sebesar 26,3%. Skenario ketiga “Seorang mahasiswa yang sedang menjalani ujian, meminta lembar jawaban temannya tanpa sepengetahuan dosen, kemudian disalin sebagai jawabannya” mendapatkan respon positif dari mahasiswa S1 maupun mahasiswa S2 yang berupa penolakan. Mahasiswa S1 menyatakan tidak setuju sebesar 24,4%, sedangkan penolakan mahasiswa S2 lebih kuat yang menyatakan sangat tidak setuju sebesar 28,9%. Skenario keempat ” Seorang mahasiswa yang sedang menjalani ujian, memberikan lembar jawabannya kepada temannya tanpa sepengetahuan dosen untuk disalin sebagai jawaban temannya” mendapatkan respon positif dari mahasiswa S1 maupun S2, namun respon dari mahasiswa S2 kurang kuat. Mahasiswa S1 menyatakan tidak setuju sebesar 26,9%, sedangkan mahasiswa S2 menyatakan kurang setuju sebesar 26,3%. Skenario kelima “Seorang mahasiswa yang sedang menjalani ujian, membawa handphone tanpa sepengetahuan dosen dan menggunakan handphone tersebut untuk mencari jawaban dari soal ujian” mendapatkan respon positif dari mahasiswa S1 yaitu penolakan yang berupa pernyataan tidak setuju sebesar 24,9%. Namun kasus tersebut mendapatkan respon negatif dari mahasiswa S2 yang berupa pernyataan setuju sebesar 34,2% Skenario keenam “Seorang mahasiswa yang sedang menjalani ujian, membawa catatan kecil saat ujian tanpa sepengetahuan dosen dan mencari jawaban dari soal ujian dalam catatan kecil tersebut” mendapatkan respon positif yang sama kuat dari mahasiswa S1 maupun S2 yaitu penolakan yang berupa pernyataan tidak setuju. Hanya saja prosentase penolakan mahasiswa S2
lebih besar yaitu 31,6% dan mahasiswa S1 hanya 27,9%. Skenario ketujuh “Seorang mahasiswa yang sedang menjalani ujian, melirik jawaban dari teman di sampingnya dan menulisnya tanpa sepengetahuan dosen dan teman tersebut” mendapatkan respon positif dari mahasiswa S1 yaitu penolakan yang berupa pernyataan tidak setuju sebesar 26,4 %. Namun, kasus ini mendapatkan respon negatif dari mahasiswa S2 berupa pernyataan setuju sebesar 31,6%. Skenario kedelapan “Seorang mahasiswa yang sedang menjalani ujian melihat temannya melakukan tindakan kecurangan, tetapi mahasiswa tersebut diam saja dan tidak melaporkannya kepada dosen” mendapatkan respon positif dari mahasiswa S1 maupun S2, namun respon yang kurang kuat ditunjukkan oleh mahasiswa S1. Mahasiswa S1 memberikan pernyataan kurang setuju sebesar 32% dan mahasiswa S2 memberikan penolakan berupa pernyataan tidak setuju sebesar 28,9%. 4.5.1.6 Kerjasama yang Salah Tabel di bawah ini akan menyajikan data jawaban tertinggi yang menggambarkan persepsi mahasiswa akuntansi terhadap praktik kecurangan akademik berupa kasus kerjasama yang salah.
Skenario pertama “Mahasiswa mata kuliah Akuntansi Intermediate 2 mendapatkan tugas merangkum Bab II, seorang mahasiswa meminjam
22
tugas mahasiswa lain dan menulisnya atau mengcopy rangkuman tersebut dengan sedikit mengubah atau mengurangi atau menambahkan kata-kata di dalamnya” mendapatkan respon positif namun kurang kuat dari mahasiswa S1 yaitu penolakan berupa pernyataan kurang setuju sebesar 27,4%. Sedangkan respon negatif ternyata diperoleh dari mahasiswa S2 yaitu penerimaan yang berupa pernyataan setuju sebesar 28,9%. Skenario kedua “Mahasiswa mata kuliah Metodologi Penelitian mendapatkan tugas kelompok untuk menelaah sebuah penelitian. Seorang mahasiswa yang tergabung dalam suatu kelompok tidak melakukan bagian tugasnya dengan baik” mendapatkan respon positif yaitu berupa penolakan dari mahasiswa S1 maupun mahasiswa S2. Namun, penolakan dari mahasiswa S1 kurang kuat yaitu berupa pernyataan kurang setuju sebesar 31%. Sedangkan mahasiswa S2 memberikan pernyataan tidak setuju sebesar 26,3%. 4.5.1.7 Alasan Mahasiswa melakukan Kecurangan Akademik (Academic Fraud) Dari hasil kuesioner bagian D yang menyajikan tentang pertanyaan-pertanyaan seputar kecurangan akademik, diketahui hapir 90% mahasiswa S1 maupun S2 melakukan praktikpraktik kecurangan akademik. Hal ini bertentangan dengan hasil kuesioner bagian B dan C yang menunjukkan pemahaman dan respon positif berupa penolakan pada kasus-kasus kecurangan akademik. Pada umumnya mahasiswa menyatakan paham dan kurang/tidak/sangat tidak setuju terhadap praktik-praktik kecurangan akademik, namun mereka masih melakukan praktik-praktik tersebut dengan berbagai alasan: 1. Terdesak karena merasa kesulitan, ingin mengerjakan tugas dan soal dengan cepat dan keinginan untuk membantu teman merupakan alasan yang paling sering dikemukakan oleh mahasiswa S1 maupun mahasiswa S2. 2. Memiliki banyak tugas dan materi yang harus dipahami sehingga kesulitan menguasai materi tertentu, hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa di kalangan mahasiswa, ingin mendapakan nilai yang baik, dan adanya kesempatan. Alasan-alasan tersebut
3.
merupakan alasan yang cukup sering dikemukakan oleh mahasiswa S1 maupun mahasiswa S2. Malas, merasa hal yang dilakukan bukan merupakan kesalahan, diperbolehkan oleh dosen, tidak akan diketahui oleh dosen ataupun pengawas dan tidak perduli atas kecurangan yang dilakukan oleh temannya merupakan beberapa alasan yang jarang dan hanya kadang-kadang dikemukakan oleh mahasiswa S1 maupun mahasiswa S2.
4.5.2 Perbedaan Persepsi Mahasiswa Terhadap Kecurangan Akademik (Academic Fraud) Ditinjau dari Jenjang Pendidikan Secara keseluruhan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan tentang persepsi mahasiswa akuntansi yang menempuh jenjang pendidikan S1 dengan mahasiswa akuntansi yang menempuh jenjang pendidikan S2 terhadap kecurangan akademik. Hasil penelitian ini sedikit bertentangan dengan penelitian Dian K. Ratri yang menunjukkan terdapat perbedaan persepsi terhadap praktik-praktik kecurangan ditinjau dari angkatan perkuliahan, di mana angkatan perkuliahan menunjukkan lamanya mahasiswa menempuh pendidikan. Kemungkinan hal ini disebabkan karena fokus penelitian kali ini lebih spesifik yaitu hanya membahas tentang kecurangan akademik, sedangkan penelitian Dian K. Ratri membahas tentang kecurangan secara keseluruhan. Selain itu, hasil pengolahan data dari kuesioner dalam penelitian ini juga memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lambert (2003), di mana dapat diketahui bahwa sebagian besar pelajar (dalam penelitian ini mahasiswa) telah melakukan kecurangan akademik (academic fraud) dengan sebagian besar alasan mereka untuk mendapatkan nilai yang bagus dan lulus dalam ujian atau lulus dari sekolah atau universitas, meskipun sebagian kecil memberikan alasan melakukan kecurangan akademik untuk membantu teman-temannya Perbedaan persepsi antara mahasiswa S1 dengan mahasiswa S2 terhadap kecurangan akademik secara umum memang tidak memiliki
23
perbedaan yang signifikan, namun jika ditelusuri secara detail dari hasil kuesioner, persepsi setiap individu tidaklah sama. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Robbins (2003:160) yang menyebutkan persepsi seseorang dipengaruhi oleh pelaku persepsi, target dan situasi yang dihadapi oleh pelaku, di mana setiap mahasiswa akuntansi Universitas Brawijaya memiliki target dan situasi yang berbeda dari masing-masing individu. Lebih lanjut dari penelaahan hasil kuesioner, dapat diketahui beberapa alasan mahasiswa S1 maupun mahasiswa S2 melakukan kecurangan akademik yaitu ingin mengerjakan tugas dan soal dengan cepat, keinginan untuk membantu teman, hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa di kalangan mahasiswa, ingin mendapakan nilai yang baik, adanya kesempatan, merasa hal yang dilakukan bukan merupakan kesalahan, dan merasa kecurangan akademik yang dilakukan tidak akan diketahui oleh dosen ataupun pengawas. Alasan-alasan tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Matindas (2010) yang memaparkan tentang faktor-faktor yang mendorong dilakukannya kecurangan akademik (academic fraud).
BAB V PENUTUP 5.1
Simpulan Hasil penelitian tentang perbedaan persepsi mahasiswa akuntansi terhadap kecurangan akademik (academic fraud) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan persepsi terhadap praktikpraktik kecurangan akademik (academic fraud) antara mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya ditinjau dari jenjang pendidikan S1 dan S2. Dari hasil pengujian diperoleh tidak terdapat perbedaan yang siginifikan terhadap lima dari enam variabel yang diuji. Selain itu, secara lebih detail, dapat diketahui persepsi yang positif yaitu penolakan terhadap praktik-praktik kecurangan akademik diperoleh prosentase yang lebih besar (meskipun tidak signifikan) dari mahasiswa akuntansi yang sedang menempuh jenjang pendidikan S2. Hasil lain dari kuesioner yang disebarkan kepada responden, dapat diketahui bahwa sebagian besar mahasiswa pernah melakukan kecurangan
akademik (acadamic fraud) dengan berbagai alasan meskipun mereka memahami bahwa praktik-praktik yang mereka lakukan tersebut merupakan kasus kecurangan akademik. Alasanalasan yang mendorong mahasiswa untuk tetap melakukannya adalah: 4. Terdesak karena merasa kesulitan, ingin mengerjakan tugas dan soal dengan cepat dan keinginan untuk membantu teman merupakan alasan yang paling sering dikemukakan oleh mahasiswa S1 maupun mahasiswa S2. 5. Memiliki banyak tugas dan materi yang harus dipahami sehingga kesulitan menguasai materi tertentu, hal tersebut sudah menjadi hal yang biasa di kalangan mahasiswa, ingin mendapakan nilai yang baik, dan adanya kesempatan. Alasan-alasan tersebut merupakan alasan yang cukup sering dikemukakan oleh mahasiswa S1 maupun mahasiswa S2. 6. Malas, merasa hal yang dilakukan bukan merupakan kesalahan, diperbolehkan oleh dosen, tidak akan diketahui oleh dosen ataupun pengawas dan tidak perduli atas kecurangan yang dilakukan oleh temannya merupakan beberapa alasan yang jarang dan hanya kadang-kadang dikemukakan oleh mahasiswa S1 maupun mahasiswa S2. 5.2 5.2.1
Saran Saran bagi mahasiswa 1. Bagi mahasiswa terutama mahasiswa Akuntansi Universitas Brawijaya diharapkan untuk terus mencari informasi-informasi yang berguna terutama tentang kecurangan akademik untuk lebih bisa meningkatkan kepedulian terhadap kasus-kasus kecurangan di sekitarnya, lebih memahami praktik-praktik apa saja yang termasuk kecurangan akademik, serta memiliki respon positif terhadap kasus-kasus tersebut. 2. Berusaha mengaplikasikan respon positif yang dimiliki terhadap praktikpraktik kecurangan akademik dengan cara meminimalkan bahkan menghindari untuk melakukannya demi alasan apapun. Persiapan yang lebih matang untuk belajar dengan
24
rajin dan sebaik-baiknya akan dapat membantu mahasiswa menghindari hal tersebut. 3. Memiliki kepedulian terhadap temanteman di sekitarnya dengan cara memberi tahu bahkan mengajak mereka untuk meminimalkan praktikpraktik kecurangan akademik sedikit demi sedikit. 4. Meningkatkan iman dan memperkuat aqidah agar tidak mudah tergoda untuk melakukan hal-hal yang bersifat curang. 5.2.2 Saran bagi pihak akademisi 1. Terus-menerus memberikan informasi kepada mahasiswa mengenai praktikpraktik kecurangan akademik, baik tentang kasus-kasus apa saja yang termasuk kecurangan akademik, sanksi yang akan dikenakan maupun dampak negatif bagi mahasiswa secara individu apabila sering melakukan praktikpraktik kecurangan akademik. 2. Meningkatkan pengawasan terhadap mahasiswa untuk menghindari terjadinya praktik-praktik kecurangan akademik di lingkungan Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya terutama saat ujian berlangsung. 3. Mangaplikasikan sanksi bagi mahasiswa yang benar-benar ketahuan telah melakukan praktik kesurangan akademik sesuai dengan peraturan yang talah ditetapkan. 4. Mengkondisikan mahasiswa agar mendapatkan penguatan iman lewat kurikulum yang memadai dari sisi agama 5.2.3 Saran bagi penelitian selanjutnya 1. Subjek dalam penelitian ini hanya terbatas pada mahasiswa Akuntansi Universitas Brawijaya yang menempuh jenjang pendidikan S1 dan S2, untuk penelitian selanjutnya dengan tema yang sama mungkin subjek bisa diperluas dengan pelajarpelajar yang sedang menempuh pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas. Hal ini dikarenakan
2.
praktik-praktik kecurangan akademik marak di kalangan semua pelajar, bahkan guru sekalipun mendukung terjadinya praktik-praktik kecurangan akademik, tidak hanya di kalangan mahasiswa. Kuesioner dalam penelitian ini hanya menggunakan instrumen penelitian yang disebutkan oleh Colby (2006) dalam Makkita (2011). Peneliti selanjutnya bisa mengembangkan instrumen penelitian yang digunakan, karena kasus-kasus kecurangan akademik pasti akan semakin berkembang seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. DAFTAR PUSTAKA
Albrecht, W.S., Albrecht, C.C., Albrecht, C.O., & Zimbelman, M.. 2009. Fraud Examination (3rd ed.). USA: Cengage Learning. Alhadza, A. 2001. Masalah menyontek (Cheating) di dunia pendidikan (www.depdiknas.go.id ), diakses online tanggal 24 Maret 2013). Alison. 2006. Fraud Auditing, Artikel, Reinfokus, PT. Reasuransi Indonesia Jakarta (www.reindo.co.id), diakses online tanggal 26 Maret 2013) Atiwangi, Gebrina S. 2011. Hubungan Sikap Terhadap Kecurangan Akademis Dengan Sikap Terhadap Perilaku Tidak Etis Dan Kecenderungan Kecurangan Akuntansi Dari Perspektif Mahasiswa Akuntansi, Skripsi. Surabaya , Jurusan Akuntansi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi PERBANAS, Colby,B.
2006. Cheating; What is it (http://clas.asu.edu/files/AI%0Flier.pdfht tp) diakses online tanggal 24 Maret 2013).
Dajan, Anto. 1986. Pengantar Metode Statistik,
25
Jilid 2, Jakarta: LP3ES Diptyana, Pepie dan Almilia, Luciana Spica. 2008. The Perception Of College Students Toward E-Cheating. South East Asia Association for Institutional Research (SEAAIR) 8th Conference in Surabaya, Indonesia Gay, L.R. dan Diehl, P.L.1992. Research Methods for Business and Management, New York: MacMillan Publishing Company Ghozali, I. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Semarang: Penerbit Universitas Diponegoro. Golden, T.W., Steven, L.K., & Mona, M.C. 2006. A Guide to Forensic Accounting Investigation. New Jersey: John Wiley Sons, Inc. Gujarati,
Damodar N. 1993. Ekonometrika Dasar,cetakan ke-3. Jakarta: Erlangga Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Akuntansi dan Manajemen, Yogyakarta: BPFE Jogiyanto, H.M. 2004. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta : BPFE. Karni, S. 2002. Auditing Audit Khusus dan Audit Forensik dalam Praktik. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kibler, W. L.1993. Academic dishonesty: A student development dilemma. NASPA Journal, 30, 252-267. Kotler, Philip. 2004. Manajemen Pemasaran, Buku Satu, Terjemahan, Jakarta: Indeks Lambert, E.G., Hogan, N.L., & Barton, S.M. 2003. Collegiate academic dishonesty revisited: what have they done, how often have they done it, who does it, and why did they do it. Electronic Journal of Sosiology.
Lozier, Katie A .2012. Student Perceptions of Academic Dishonesty Scenarios, An Honors Thesis Psicology, Ball State University, Muncie, IN Matindas, R. 2010. Mencegah kecurangan akademik (www.budimatindas.blogspot.com) diakses tanggal 26 Maret 2013) Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Moleong,Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kulitatif .Bandung:Rosda Karya Pavela, G. 1997. Applying the power of association on campus: A model code of academic integrity. Journal of College and University Law, 24, 97-118. Ratri, Dian Kartika. 2008. Persepsi mahasiswa Akuntansi Terhadap Praktik-Praktik Kecurangan (Fraud), Skripsi, Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya, Malang Riski,
S.A. 2009. Hubungan prokrastinasi akademis dan kecurangan akademis pada mahasiswa fakultas psikologi universitas sumatera utara, Skripsi, Jurusan Psikologi Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara.
Robbins, S.P. 2003. Perilaku Organisasi, Jilid 1, Edisi Indonesia, Jakarta: Indeks __________, & Coulter. 2005. Manajemen Jilid 2 (edisi 7), Terjemahan. Jakarta: Penerbit Indeks. __________, Judge, T.A. 2008. Essentials of Organizational Behavior (9th ed). New Jersey: Pearson Prentice Hall. Santoso, S. 2000. Buku latihan SPSS Statistik Parametrik Cetakan Ketiga. PT Jakarta : Elex Media Komputindo.
26
Sarwono, S. W. 2009. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers. Schiffman, L.G., & Kanuk, L.L. 2004. Perilaku Konsumen (edisi 7) Terjemahan. Jakarta: Penerbit Indeks. Sekaran, Uma. 2002. Research Methods for Business : A Skill Building Approach. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. ___________. 2003. Research method for business: A skill building approach, 4th edition, John Wiley & Sons. Simmons, Mark R.. 1995. Recognizing The Elements of Fraud, Artikel (www.cocfe.org ) diakses online tanggal 26 Maret 2013) Sugiono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. ketiga. Bandung: CV. Alfabeta
Edisi
Widayanti, A. R. dan Imam Subekti. 2001. Analisis Keahlian Auditor BPK-RI Menuju Pelaksanaan Fraud Auditing, Jurnal TEMA, Volume II, Nomor 2, Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Wood, Gail and Warnken, Paula. 2004. Managing Technology, Academic Original Sin: Plagiarism, the Internet, and Librarians. Journal of Academic Librarianship, May 2004, Vol. 30 Issue 3, p237-242