BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Abad modern menempatkan korporasi1 sebagai mesin kemajuan dunia. Kelahiran korporasi, mulai dari ukuran besar, menengah sampai yang kecil, menjadikan perputaran konsumsi dan produksi barang dan jasa semakin cepat, dan jaminan akan terpenuhinya kebutuhan manusia pun akan semakin besar.2 Secara keseluruhan, telah terjadi akumulasi kekayaan dan modal, mobilisasi baik sumber daya manusia maupun sumber daya usaha yang semuanya itu menghasilkan perputaran bisnis yang semakin besar dari waktu ke waktu.3 Perkembangan korporasi itu dapat pula diamati sejak pembangunan Indonesia digalakkan pada sekitar tahun 1967, dimana semenjak itulah pertumbuhan dan pertambahan badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas tampak mengalami peningkatan dalam jumlahnya.4 Bentuk Perseroan Terbatas merupakan yang banyak digunakan dalam berbagai usaha dan sangat memberikan pengaruh terhadap 1
Lihat Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis, Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 190, sebagaimana dikutip dari Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Pidana, (Bandung: Sekolah Tinggi Bandung, 1991), hlm. 13, dikatakan, ”Menurut Wiryono Prodjodikoro, korporasi adalah suatu perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang manusia yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota-anggota juga mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi.” 2 Freddy Haris dan Teddy Anggoro, Hukum Perseroan Terbatas: Kewajiban Pemberitahuan Oleh Direksi, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 3. 3 Eddie Supriyadi, “Tanggung Jawab Direksi”, (Themis, Volume 1, Nomor 1, Oktober 2006), hlm. 36. 4 Agus Budiarto, Kedudukan Hukum & Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas (Edisi Kedua), (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2009), hlm. xi.
1
Universitas Sumatera Utara
2
perkembangan perekonomian nasional.5 Perseroan Terbatas6 adalah bentuk yang paling populer dari semua bentuk usaha bisnis7 dikarenakan ciri karakteristik yang dimilikinya cukup berbeda dari badan usaha dalam bentuk lain, misalnya firma.8
5
Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas (Bank & Persero), (I), (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2005), hlm. 2. 6 Lihat I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan (Undang-Undang dan Peraturan Pelaksana Undang-Undang di Bidang Usaha), (Bekasi: Kesaint Blanc, 2005), hlm. 1, dikatakan, “Perseroan Terbatas atau PT merupakan sebutan yang sudah di Indonesiakan yang sebenarnya berasal dari sebutan NV atau Naamloze Vennootschap. Lihat juga C.S.T. Kansil, dkk, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta: Jala Permata, 2010), hlm. 97, dikatakan, “Perseroan adalah bentuk kerja sama untuk menjalankan suatu perusahaan, biasanya dengan mengeluarkan sero (saham).” Lihat juga Sulchan Yasin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (CV. Putra Karya, tth), hlm. 288, dikatakan, ”Perseroan adalah persekutuan dagang.” Bandingkan dengan Anonim, Oxford Learners Pocket Dictionary, Third Edition, (Oxford: Oxford University Press, 2003), hlm. 250, “Limited company (in Britain) is a company whose owners only have to pay a limited amounts of its debts. (Perusahaan terbatas (dalam pengertian Britain) adalah sebuah perusahaan yang para pemiliknya hanya diwajibkan untuk membayar sejumlah yang terbatas atas hutang perusahaannya.)” Bandingkan dengan P.P.S. Gogna, A Textbook of Company Law, (Ram Nagar, New Delhi: S. Chand & Company Ltd., 2007), hlm. 9, dikatakan, “The term ‘company’ may be defined as a group of persons associated together to achieve some common objective. This, however, is not the legal definition. In legal sense, a company means an association of persons incorporated under the existing law of a country. (Terminologi ‘perusahaan’ dapat dimaksudkan sebagai sekelompok perseorangan yang menghimpun diri bersama untuk mencapai beberapa tujuan yang umum. Ini, bagaimanapun, adalah bukan merupakan definisi hukum. Dalam makna hukum, sebuah perusahaan diartikan dengan sebuah asosiasi orang yang didirikan berdasarkan ketentuan hukum yang ada pada sebuah negara.)” 7 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2005), (III), hlm. 35. 8 Bandingkan dengan P.P.S. Gogna, Op. cit., hlm. 8, dikatakan, “Nowadays, to start or carry on a business requires huge investments. It may not be possible for a single person to fulfill all his financial requirements. Thus, the persons are generally desirous of carrying on joint business enterprises. To such persons, the law offers a choice between a partnership or a company. … But sometimes, the persons like to start business on large scale requiring huge investments which cannot be financed by the resources of a few persons. In such cases, the formation of a company is the only choice. It may, however, be noted that even for a small-scale business, a company offers a certain privileges as compared to partnership, such as the limited personal liability of the members. (Dewasa ini, untuk memulai atau mendirikan sebuah usaha akan memerlukan investasi yang cukup besar. Adalah merupakan hal yang tidak mungkin bagi seorang pribadi tunggal untuk memenuhi segala bentuk kewajiban finansial. Oleh karenanya, seringkali kemudian orang tersebut bermaksud untuk mendirikan sebuah bisnis yang diusahakan bersama. Untuk hal tersebut, ketentuan hukum yang ada memberikan pilihan diantara sebuah persekutuan atau sebuah perusahaan. … Akan tetapi kadangkala, orang akan lebih suka untuk memulai bisnis dengan skala besar yang memerlukan investasi besar yang tentu tidak akan dapat dibiayai oleh hanya beberapa orang sebagai pendiri. Dalam hal demikian, membentuk sebuah perusahaan menjadi satu-satunya pilihan. Perlu menjadi perhatian, bahkan untuk bisnis skala kecil sekalipun, sebuah perusahaan menawarkan beberapa keistimewaan dibandingkan dengan persekutuan, misalnya menyangkut tentang pertanggungjawaban terbatas atas diri perseorangan.)”
Universitas Sumatera Utara
3
Perseroan Terbatas sebagai badan usaha merupakan badan hukum (rechtspersoon, legal entity). Menurut Riduan Syahrani, suatu Perseroan Terbatas sebagai badan hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Adanya harta kekayaan yang terpisah; yaitu bahwa Perseroan mempunyai harta kekayaan yang terpisah dari harta para pemegang sahamnya. Dan didapat dari pemasukan para pemegang saham yang berupa modal dasar, modal yang ditempatkan dan modal yang disetor. 2. Mempunyai tujuan tertentu; yaitu tujuan tertentu dari suatu Perseroan dapat diketahui dalam anggaran dasarnya yang memuat sekurang-kurangnya maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Mempunyai kepentingan sendiri; yaitu hak-hak subjektif sebagai akibat dari peristiwa hukum yang dialami yang merupakan kepentingan yang dilindungi hukum dan dapat menuntut serta mempertahankan kepentingannya terhadap pihak ketiga. 4. Ada organisasi yang teratur; yaitu badan hukum mempunyai organisasi yang teratur, demikian pula dengan Perseroan mempunyai anggaran dasar yang terdapat dalam akta pendiriannya yang menandakan adanya organisasi yang teratur.9 Dalam hal demikian, Perseroan Terbatas merupakan subjek hukum yang tidak berbeda dengan orang yang mampu mendukung hak dan kewajibannya10, dan mampu mengembangkan dirinya sebagai institusi yang mempunyai kekayaan tersendiri terlepas dari pengurus dan pemegang sahamnya. Di samping itu juga mampu 9
Freddy Haris dan Teddy Anggoro, Op. cit., hlm. 14-15, sebagaimana dikutip dari Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Penerbit Alumni, 2000), hlm. 61. Lihat juga Neni Sri Imaniyati, Op. cit., hlm. 127-128. 10 Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), (I), hlm. 36, dikatakan, “Badan hukum berbeda dengan manusia perorangan (human being). Kelahiran manusia sebagai badan hukum, melalui proses alamiah (natural birth process). Sebaliknya, Perseroan lahir sebagai badan hukum tercipta melalui proses hukum. Itu sebabnya Perseroan disebut makhluk badan hukum yang berwujud artificial (kumstmatig, artificial) yang dicipta Negara melalui proses hukum.” Bandingkan dengan P.P.S. Gogna, Op. cit. hlm. 9, dikatakan, “It may be noted legally, a company is regarded as a person, which has rights and duties at law. However, it is not a natural person as human beings are. It is only a legal or artificial person, recognized by law. Since, the company is created by law, .., it is known as a legal person, and as it has no body, no soul or conscience, no physical existence except in the eyes of law, it is known as artificial person. Though the company is a legal or artificial person, yet it really exists and is not a fictious person.”
Universitas Sumatera Utara
4
mempertahankan hak dan kewajibannya di depan pengadilan sebagaimana subjek hukum orang alamiah (rechtspersoon).11 Perseroan Terbatas yang merupakan badan hukum yang terbentuk dari persekutuan modal,12 didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksananya.13 Perseroan Terbatas merupakan badan hukum14, yaitu badan hukum “mandiri” (persona standi in judicio) yang memiliki sifat dan ciri yang berbeda dari bentuk usaha yang lain.15 Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan badan usaha lain, misalnya firma, maka kedudukan Perseroan Terbatas adalah lain sama sekali karena pendiri Perseroan Terbatas dapat mengalihkan tanggung jawab atas perbuatan hukum
11
Lihat Djoko Imbawani Admadjaja, Hukum Dagang Indonesia: Sejarah, Pengertian dan Prinsip-Prinsip Hukum Dagang, (Malang: Setara Press, 2012), hlm. 220-221, dikatakan, “Karakteristik utama dari Perseroan Terbatas adalah merupakan badan hukum (yuridical entity). … Karakteristik selanjutnya adalah bahwa saham perseroan terbatas mudah dialihkan kepemilikannya (shareholders’ ownership of interest are freely transferable). … Karakteristik berikutnya adalah adanya tanggung-jawab terbatas (limited liability).” 12 PT merupakan suatu asosiasi yang bercorak khusus sebagai pengumpul modal, yang dalam rangka itulah bersifat mandiri. Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Cetakan Kedua, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 5. Bandingkan dengan Anonim, “Directors’ Responsibilities”, (I), hlm. 1, dapat diakses di http://www.charlesrussell.co.uk/UserFiles/file/pdf/Mergers%20&%20Acquisitions/Directors_Responsi bilities.pdf, terakhir kali diakses pada tanggal 8 September 2012, dimana dikatakan, “Under the Companies Act 2006 (the “2006 Act”) any company (public or private) is capable of being formed by a single person.” 13 Lihat ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). 14 Lihat ketentuan Pasal 7 ayat (6) UUPT, dikatakan, “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.” 15 Eddie Supriyadi, loc. cit. Lebih lanjut dalam Rudhi Prasetya, Op. cit., hlm. 9, dikatakan, “Yang dimaksudkan dengan kedudukan mandiri PT, adalah bahwa PT dalam hukum dipandang berdiri sendiri (otonom) terlepas dari orang perorangan yang berada dalam PT tersebut.”
Universitas Sumatera Utara
5
yang dilakukannya kepada Perseroan dan karenanya sekutu (pemegang saham) tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perikatan yang dibuat oleh Perseroan.16 Sebagaimana lazim diketahui, bahwa Perseroan Terbatas sebagai badan hukum tentunya tidak dapat berjalan dengan sendirinya tanpa digerakkan oleh organ di dalam Perseroan Terbatas itu sendiri.17 Jika dikaji lebih dalam, Perseroan Terbatas sebagai legal personality atau sebagai separatis legal entity hanya merupakan personifikasi.18 Layaknya tubuh manusia yang dilengkapi organ-organ dengan fungsi biologisnya masing-masing untuk membantu bertahan hidup, Perseroan juga memerlukan organ untuk menggerakkan ‘roda’ Perseroan sehari-hari. Organ-organ inilah yang kemudian akan saling berkoordinasi untuk membuat Perseroan tetap berjalan dan survive.19 Ketentuan yang mengatur tentang organ Perseroan sebagaimana diuraikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat UUPT), khususnya Bab I mengenai Ketentuan Umum pada Pasal 1 angka 2 yang menyebutkan bahwa Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Dewan Komisaris dan Direksi. Dalam rangka mencapai 16
Agus Budiarto, Op. cit., hlm. 2. Lihat Stephen Griffin, Company Law: Fundamental Principles, (United Kingdom: Pearson Education Limited, 2000), hlm. 1, dikatakan, “A company may be perceived as an artificial entity in the sense that it is but a vehicle, occupied and controlled by its management and membership for the purpose of pursuing business goals. The human constituents of the company will ultimately determine the route which is to be taken by the corporate enterprise. (Sebuah perusahaan dapat dimaksudkan sebagai sebuah entitas semu sebagaimana adanya dengan makna sebuah sarana, yang difungsikan dan dikendalikan oleh manajemen dan anggotanya untuk maksud mencapai tujuan bisnis. Segenap konstituen manusia daripada perusahaan tersebut yang akan menentukan arah dan langkah apa yang akan diambil oleh perusahaan berbadan hukum tersebut.)” 18 Try Widiyono, (I), Op. cit., hlm. 7. 19 Orinton Purba, Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris dan Direksi Perseroan Terbatas agar Terhindar dari Jerat Hukum, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 26. 17
Universitas Sumatera Utara
6
kesuksesan dalam menjalankan sebuah Perseroan, ketiga organ tersebut selayaknya saling bahu-membahu dalam melaksanakan tanggung jawabnya masing-masing, baik di skala pembuatan kebijakan, pengawasan maupun pelaksanaan.20 Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah organ Perseroan yang memiliki kedudukan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Perseroan.21 Organ lain yang kedudukannya tidak kalah penting dalam Perseroan, yakni Komisaris (beberapa pihak biasa menyebutnya dengan istilah Dewan Komisaris)22, yang umumnya memiliki fungsi dan bertugas untuk mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam mengurus Perseroan serta memberikan nasihat-nasihat kepada Direksi.23 Pelaksanaan pengurusan sehari-hari dijalankan oleh suatu organ dan merupakan satu-satunya organ yang memiliki fungsi pengurusan dalam Perseroan sebagaimana kewenangannya diberikan oleh UUPT dan lebih lanjut dituangkan dalam Anggaran Dasar Perseroan, yang dikenal dengan sebutan Direksi.24 Keberadaan Direksi dalam Perseroan ibarat nyawa bagi Perseroan. Tidak mungkin
20
Ibid. Pasal 1 butir 4 UUPT menyatakan, “Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut dengan RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau Anggaran Dasar.” 22 Lihat Agus Budiarto, Op. cit., hlm. 74, dikatakan, “Sebagai organ PT, komisaris lazim disebut juga dewan komisaris, sedangkan sebagai orang perseorangan disebut anggota komisaris. … Komisaris jika lebih dari satu orang maka mereka merupakan majelis yang tidak dapat bertindak sendiri-sendiri … bersifat kolegial.” Bandingkan dengan Sutan Remy Sjahdeini, “Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi & Komisaris BUMN Persero”, dapat diakses di http:sremys.com/artikel/Tugas,Wewenang,%20Dan%20Tanggung%20Jawab%20Direksi%20&%20Ko misaris%20BUMN%20Persero.pdf, terakhir kali diakses pada tanggal 25 Juli 2012, hlm. 7, dikatakan, “UU BUMN menggunakan istilah Komisaris, bukan Dewan Komisaris. Padahal terhadap BUMN Persero berlaku UUPT, sehingga … digunakan istilah Dewan Komisaris.” 23 Lihat lebih lanjut ketentuan dalam Pasal 108 UUPT. 24 Rudhi Prasetya, Op. cit., hlm. 17. 21
Universitas Sumatera Utara
7
suatu Perseroan dapat berjalan tanpa adanya Direksi. Sebaliknya, tidak mungkin ada Direksi tanpa adanya Perseroan. Oleh karena itu, keberadaan Direksi bagi Perseroan sangatlah penting.25 Keberadaan Direksi adalah untuk mengurus Perseroan sesuai maksud dan tujuannya suatu Perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, keberadaan Direksi sangat dibutuhkan oleh Perseroan. 26 Para pemegang saham melimpahkan wewenangnya kepada Direksi untuk menjalankan dan mengembangkan perusahaan sesuai dengan tujuan dan bidang usaha Perseroan.27 Kaitannya dengan tugas tersebut, Direksi berwenang untuk mewakili Perseroan, mengadakan perjanjian dan sebagainya. Dalam hal perusahaan tidak mampu mencapai tujuannya, maka dapat dikatakan bahwa kepengurusan Perseroan tidak dijalankan dengan baik.28 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 UUPT, disebutkan bahwa Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan
25
Try Widiyono, (I), loc. cit. Ibid., hlm. 8. 27 Lihat Stephen Griffin, Op. cit., hlm. 225, dikatakan, “Shareholders, who are entitled to attend and vote at general meetings, are responsible for the appointment of company directors. Unless a company’s article provide otherwise, a director will be appointed by the passing of an ordinary resolution. (Para Pemegang Saham, yang diberikan wewenang untuk menghadiri dan mengeluarkan suara pada setiap rapat umum, adalah bertanggung jawab terhadap setiap penunjukan/pengangkatan direksi dari perusahaan. Kecuali dalam hal anggaran dasar mengatur ketentuan yang berbeda, seorang direktur dapat ditunjuk/diangkat berdasarkan suatu keputusan yang seumumnya.)” 28 Agus Budiarto, Op. cit., hlm. 72-73. 26
Universitas Sumatera Utara
8
sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.29 Kedudukan Direksi dalam Perseroan adalah sebagai eksekutif, dimana tindakan-tindakannya dibatasi oleh Anggaran Dasar Perseroan.30 UUPT telah memberikan rambu pedoman mengenai tanggung jawab Direksi dalam pengurusan Perseroan, yakni sebagai berikut: (1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). (2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. (3) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi. (5) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. (6) Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan.
29
Nindyo Pramono, Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank) Menurut UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, (Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 5 No. 3, Desember 2007), hlm. 15. Lihat Pasal 1 angka 5 UUPT. 30 Orinton Purba, Op. cit., hlm. 31.
Universitas Sumatera Utara
9
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mengurangi hak anggota Direksi lain dan/atau anggota Dewan Komisaris untuk mengajukan gugatan atas nama Perseroan.31 Direksi merupakan organ Perseroan yang bertugas dan bertanggung jawab penuh untuk menjalankan pengurusan Perseroan, sebagaimana kewenangan tersebut diberikan kepadanya dan secara tegas telah dicantumkan di dalam UUPT, sebagai berikut: (1) Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. (2) Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. (3) Kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini, anggaran dasar, atau keputusan RUPS. (4) Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar Perseroan.32 Dalam hal demikian, UUPT dengan jelas telah memberikan suatu ketentuan atau pedoman bahwa Direksi bertanggung jawab penuh33 atas pengurusan sehari-hari dalam Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan
31
Pasal 97 UUPT. Pasal 98 UUPT. 33 Lihat M. Yahya Harahap, (I), Op. cit., hlm. 378, dikatakan, “Menurut Penjelasan Pasal 97 ayat (2) UUPT, yang dimaksud dengan “penuh tanggung jawab” adalah memperhatikan Perseroan dengan “saksama” dan “tekun”.” Lihat juga Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas: Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2008), (II), hlm. 51, dikatakan, “Jika suatu perbuatan hukum tertentu yang dilakukan direksi harus mendapat persetujuan atau bantuan dari komisaris dan/atau RUPS, maka tidak berarti komisaris dan/atau RUPS tersebut menjadi ikut bertanggung jawab dalam perbuatan hukum tersebut, tanggung jawab itu tetap ada pada direksi perseroan, sebagai pengurus perseroan. Demikian sebaliknya, jika suatu tindakan hukum direksi yang harus mendapatkan persetujuan atau bantuan dari komisaris dan/ataupun RUPS dan jika persetujuan tersebut belum diperoleh dan selanjutnya direksi tetap melakukan tindakan hukum tertentu tersebut, maka atas tindakan hukum direksi tersebut sah dan mengikat perseroan serta pihak ketiga lainnya.” 32
Universitas Sumatera Utara
10
baik di dalam maupun di luar pengadilan.34 Dengan kata lain, Direksi merupakan personifikasi dari Perseroan itu sendiri.35 Menurut P.P.S Gogna, yang mengemukakan sebagai berikut: “The directors manage and control the overall affairs of the company. They generally confine themselves to the general business policies and overall supervision of the management of the company. The day to day working of the company is left to the other managerial personnel.”36 (Direksi mengelola dan mengendalikan segala perihal yang menyangkut tentang Perseroan. Mereka cenderung membatasi diri hanya terhadap hal-hal yang menyangkut kebijakan umum perusahaan dan fungsi pengawasan secara umum diantara manajemen Perseroan. Pengurusan keseharian dari Perseroan akan diserahkan kewenangannya kepada personil tertentu di dalam jajaran manajemen.) Kedudukan Direksi dalam sebuah Perseroan/PT bisa dikatakan cukup strategis.37 Direksi adalah organ PT yang berwenang dan bertanggung jawab penuh38 atas pengurusan PT untuk kepentingan PT, sesuai dengan maksud dan tujuan PT serta mewakili PT, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan di dalam Anggaran Dasar daripada PT dimana Direksi tersebut
34
Lihat Agus Budiarto, Op. cit., hlm. 63, dikatakan, “Mengenai apa yang dimaksud dengan pengurusan sehari-hari lebih lanjut tidak ada penjelasan yang diberikan secara resmi. Oleh karena itu, harus dilihat dalam anggaran dasar tentang apa yang termasuk dalam pengurusan sehari-hari itu, walaupun tidak mungkin disebut secara detail dalam anggaran dasar tersebut. Mengurus Perseroan adalah semata-mata adalah tugas direksi yang tidak dapat dicampuri langsung oleh organ lain. Selain itu, di dalam mengurus Perseroan direksi harus selalu berorientasi pada kepentingan dan tujuan Perseroan.” 35 Orinton Purba, Op. cit., hlm. 31. 36 P.P.S Gogna, Op. cit., hlm. 243. 37 Orinton Purba, Op. cit., hlm. 66. 38 Lihat M. Yahya Harahap, (I), Op. cit., hlm. 384, dikatakan, “Jika anggota Direksi lalai melaksanakan kewajibannya atau melanggar apa yang dilarang atas pengurusan Perseroan, dan kelalaian atau pelanggaran itu menimbulkan kerugian terhadap Perseroan, maka anggota Direksi itu bertanggung jawab secara pribadi (persoonlijk aansprakelijk, personally liable) atas kerugian Perseroan tersebut.”
Universitas Sumatera Utara
11
menjabat.39 Direksi PT mewakili PT dalam hal pengurusan (beheer) dan pemeliharaan (beschikking) PT. Direksi PT itu adalah manager. Dia yang diberi wewenang oleh PT melalui organ PT yang disebut RUPS untuk mengurus dan memelihara PT untuk kepentingan PT sesuai dengan maksud dan tujuan PT dengan mengacu pada anggaran dasar PT.40 Adapun dalam praktik belakangan ini, dimana boleh dikatakan telah semakin meningkat intensitasnya, adalah penggunaan nominee41. Nominee tidak lagi hanya
39
Lihat Stephen Griffin, Op. cit., hlm. 234, dikatakan, “A company’s board of directors is comprised of the individually appointed ‘de jure’ directors of the company. The board is the ultimate decision-making body and determines the delegation of powers throughout the company; it is considered to be the primary organ of the company. (Dewan Direksi dari sebuah perusahaan merupakan kumpulan dari individu Direktur-direktur perusahaan tersebut yang secara ‘de jure’ ditunjuk. Dewan Direksi adalah lembaga pengambil keputusan dan yang menentukan pendelegasian seluruh kekuasaan yang ada di dalam perusahaan; dianggap juga sebagai organ utama di dalam perusahaan.)” Sejalan dengan pendapat sebelumnya, yang menyatakan bahwa direksi terdiri dari individu-individu yang ditunjuk secara hukum, dalam P.P.S Gogna, Op. cit., hlm. 243, dikatakan, ”It may, however, be noted that only an individual can be appointed as a director. A firm, association, or a company cannot be a director of the company. (Adalah, bagaimanapun, perlu diperhatikan bahwa hanya seorang individu yang dapat ditunjuk sebagai seorang direktur. Sebuah firma, asosiasi, atau sebuah perusahaan tidak dapat menjadi seorang direktur perusahaan.)” 40 Nindyo Pramono, Op. cit., hlm. 17, sebagaimana menjadi kutipan dalam Freddy Haris dan Teddy Anggoro, Op. cit., hlm. 38. Lebih lanjut dalam Eddie Supriyadi, loc. cit., dikatakan, ”A limited liability company needs board of directors as its proxy. A limited liability company cannot function, that it overtake rights and obligations, without assisted of board of directors. Board of directors hold full responsibility of management of company, and deputize company in and out of the court. Board of directors have to hold responsible personally, that is until to his personal estate, to close insufficiency in paying company debt, if its bankrupt of company is happened because mistake or negligence of board of directors. (Sebuah Perseroan Terbatas memerlukan para direktur sebagai perwakilannya. PT tidak mungkin dapat berfungsi, untuk melaksanakan hak dan kewajibannya, tanpa dibantu oleh Dewan Direksi. Dewan Direksi memegang tanggung jawab penuh atas manajemen perusahaan, dan bertindak mewakili perusahaan di dalam dan di luar pengadilan. Dewan Direksi bertanggung jawab secara pribadi, sampai ke harta pribadinya, untuk menutupi kekurangan pelunasan atas hutang perusahaan, apabila kebangkrutan perusahaan terjadi dikarenakan kesalahan atau kelalaian daripada Dewan Direksi tersebut.)” 41 “Nominee, means a) One who has been nominated to an office or for a candidacy; or b) A person organization in whose name a security is registered though true ownership is held by another party. (Nominee, diartikan sebagai a) Seseorang yang telah ditunjuk untuk sebuah jabatan atau untuk sebuah penobatan; atau b) Seorang di dalam organisasi yang namanya dijamin dan didaftarkan secara resmi sekalipun kepemilikan sebenarnya adalah berada pada pihak tertentu lainnya.)”, dapat diakses di http://www.investopedia.com/terms/n/nominee.asp, terakhir kali diakses pada tanggal 20 Juni 2012.
Universitas Sumatera Utara
12
digunakan dalam penunjukan untuk menjadi pemegang saham suatu PT42, namun juga dalam rangka pengangkatan sebagai anggota Direksi PT. Dalam hal ini yang dimaksudkan sebagai pengurus PT adalah meliputi keseluruhan unsur kepengurusan di dalam PT (yakni termasuk pula anggota Dewan Komisaris), dimana pengangkatan terhadap Direksi dan Dewan Komisaris PT lazimnya dilakukan secara sekaligus, yakni dilakukan sebagai satu paket sehingga diantara mereka tersebut akan memiliki durasi/jangka waktu kepengurusan yang sama.43 Dalam penelitian ini, pembahasan akan lebih difokuskan terhadap Direktur dalam kapasitasnya adalah sebagai satusatunya organ pengurus di dalam PT. Penggunaan nominee masih dimungkinkan dan bahkan marak terjadi sekalipun ketentuan di dalam UUPT telah mensyaratkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi bagi seseorang untuk dapat diangkat menjadi pengurus PT atau untuk menjadi pemegang saham PT. Akan tetapi dikarenakan memang belum adanya aturan jelas mengenai nominee ini, maka dalam praktiknya hal ini kemudian dimanfaatkan 42
Mengutip pengakuan Hartono Tanoesodibjo yang disampaikan saat memberikan kesaksian pada sidang dugaan kasus korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) dengan terdakwa mantan Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum, Romli Atmasasmita di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (29/6/09), ”Saya bukanlah pejabat SRD, melainkan hanya bertindak sebagai nominee atau perwakilan pemegang saham. Saya sebagai nominee. Itu bisa saja, karena yang saya lakukan juga banyak di perusahaan lain.” Lihat artikel Anonim, “Hartono Tanoe: Saya Bukan Pejabat SRD”, dapat diakses di http://vibizdaily.com/detail/Polhukam/2009/06/30/hartono_tanoe_saya_bukan_pejabat_srd, terakhir kali diakses pada tanggal 11 Juni 2012. 43 Bandingkan dengan Budiman Ginting, Hukum Investasi, Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007), hlm. 138, dimana dikemukakan, “Para pengelola atau pengurus, yakni Direksi dan Komisaris. Pengurus ini merupakan perwakilan dari pemegang saham perusahaan.” Sedangkan kemudian kepengurusan dalam PT dibatasi hanya kepada Direksi, sebagaimana dalam Ibid., hlm. 148, dikatakan, “ Kepengurusan Perseroan dilakukan oleh Direksi Perseroan itu sendiri. Ketentuan ini menugaskan kepada Direksi untuk mengurus Perseroan yang meliputi pengurusan sehari-hari dari Perseroan, dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan tujuan Perseroan.”
Universitas Sumatera Utara
13
oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu, khususnya dalam hal dipertimbangkan perlu untuk melakukan pengendalian (kontrol) secara penuh terhadap pengurus PT maupun pemegang saham PT. Tujuannya tidak lain adalah agar pengurus dan/atau pemegang saham PT akan dapat diarahkan sehingga memiliki persepsi yang sejalan dengan kebijakan yang dikehendaki oleh pihak yang menunjuk nominee tersebut.44 Praktik semacam itu yang diistilahkan dengan nominee, dimana hal ini berarti ada seseorang yang memakai nama atau identitas orang lain untuk dicantumkan dalam akta perusahaan. Dengan demikian, sangat dimungkinkan bahwa seseorang yang namanya tidak tercantum di dalam akta pendirian tetap bisa menerima manfaat dari aktivitas bisnis perusahaan yang bersangkutan.45 Secara awam, masyarakat tentu hanya mengenal pengurus PT, utamanya adalah Direksi, tanpa penambahan suatu ‘atribut’ bahwa apakah Direksi PT yang bersangkutan adalah ‘Direksi’ dalam artian sebenarnya yang menjalankan fungsinya secara nyata, ataukah ‘Direksi nominee’ yang bersifat ‘boneka’ semata.
44
Lihat Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 173-174, dikatakan, ”Sudah bukan rahasia lagi, bahwa dalam dunia usaha kita, masih banyak keputusan-keputusan penting perseroan diambil oleh mereka yang bukan anggota Direksi perseroan yang sesungguhnya, atau yang sering disebut dengan istilah “direktur bayangan.”” Bandingkan dengan istilah “pengusaha bayangan” dalam Anonim, “Banyak Anggota DPRD T. Tinggi Merangkap Pengusaha Bayangan”, 15 Februari 2012, dapat diakses di http://khaliknews.net/politik/1946-banyak-anggota-dprd-ttinggi-merangkaop-pengusaha-bayangan, terakhir kali diakses pada tanggal 25 Juni 2012. Sedangkan Stephen Griffin lebih cenderung menggunakan istilah “a puppet board of directors” yang dalam kesehariannya akan menjalankan jabatannya berdasarkan arahan dan instruksi dari “a shadow director” yang tentunya tidak akan dimunculkan sebagai seorang de facto director ataupun de iure director daripada PT bersangkutan.” 45 Lihat artikel Erwin Siregar, Membongkar Gurita Perusahaan Milik Ibas Yudhoyono, dapat diakses di http://sumbawanews.com/berita/membon...ibas-yudhoyono, terakhir kali diakses pada tanggal 11 Juni 2012.
Universitas Sumatera Utara
14
Adapun salah satu kasus hukum di Indonesia yang mungkin dapat dijadikan sebagai referensi terkait dengan tren penggunaan nominee dalam kepengurusan suatu PT, yang cukup mencuat beberapa waktu lalu, terkait dengan ditemukannya penyimpangan
dalam
pelaksanaan
Sistem
Administrasi
Badan
Hukum
(Sisminbakum), yang selain melibatkan petinggi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, juga turut menyeret nama petinggi salah satu perusahaan swasta, yakni PT. Sarana Rekatama Dinamika (SRD) dalam kapasitas sebagai rekanan. Yohannes Waworuntu, yang tercatat sebagai Direktur Utama SRD, yang dalam kasus Sisminbakum telah diadili dan divonis bersalah (walaupun kemudian akhirnya dibebaskan pada tahun 2011 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap Peninjauan Kembali yang diajukannya)46. Namun berdasarkan dokumen testimoninya yang setebal 35 (tiga puluh lima) halaman yang pernah disampaikan di hadapan Komisi III DPR RI pada tanggal 30 Juni 2000 lalu, dia mengungkapkan mengenai praktik nominee yang dipraktikkan dalam struktur kepengurusan SRD.47 Di samping dari testimoni Yohannes tersebut,
46
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Peninjauan Kembali dengan Register Nomor: 102 PK/Pid.Sus/2011 tanggal 28 November 2011. 47 Lihat lebih lanjut artikel Priyono B. Sumbogo, “Cerita Direktur Utama Yang Divonis”, Nomor 45, Edisi 07-13 Maret 2011, dapat diakses di http://www.forumkeadilan.com/forumutama.php?tid=191, terakhir kali diakses pada tanggal 1 Mei 2012. Testimoni Yohannes tersebut menjadi satu pembelajaran bagi kita bahwa kenyataan dalam praktiknya, nominee adalah merupakan hal yang cukup lazim di dalam dunia usaha. Seseorang yang namanya tercatat sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris atau bahkan pemegang saham dalam PT belumlah tentu mereka yang benarbenar berperan, melainkan ternyata ada ‘aktor’ yang memegang kendali dari ‘balik layar’. Dengan demikian, secara legalitas de jure pihak yang namanya tercantum dalam dokumen tertulis (tentunya dengan pembebanan atas tanggung jawab dan kewajiban sebagaimana mestinya) belumlah tentu adalah pihak yang secara de facto juga menikmati apa yang menjadi haknya secara hukum.
Universitas Sumatera Utara
15
penggunaan nominee dalam praktik bisnis dewasa ini adalah merupakan suatu hal yang cukup lazim dan dikenal meluas di dunia.48 Negara-negara seperti British Virgin Island, Republic of Seychelles, Cayman Islands, Mauritius, Caribbean Islands, Channel Islands, atau Panama49 (dan negaranegara tax-haven50 lainnya yang menjadi primadona bagi kalangan pengusaha) menganggap praktik nominee ini adalah suatu hal yang sifatnya wajar dan tidak bertentangan dengan aturan hukum, bahkan ada diantara negara-negara tersebut telah mengatur mengenai penggunaan nominee dalam Companies Acts-nya.51 Dengan kata lain, nominee dilegalkan keberadaannya, walaupun untuk masing-masing negara tentunya akan dibatasi dengan kewajiban pemenuhan terhadap syarat-syarat tertentu. Dalam pengertian bahwa dewasa ini pengaturan tentang nominee tidak hanya sebatas
48 Lihat Kala Anandarajah and Foo E Lin, “Developments in the Law Relating to Nominee Directors (Part II)”, dapat diakses di http://www.lawgazette.com.sg/2004-3/March04-featured4.htm, terakhir kali diakses pada tanggal 25 Juni 2012, dikatakan, ..”. in Singapore, as in many other jurisdictions, sees many individuals acting as nominee directors on boards of companies at the request of the employers. (… di Singapura, sebagaimana di banyak wilayah yurisdiksi lainnya, diketahui bahwa banyak individu yang bertindak sebagai direktur nominee yang duduk di dalam direksi perusahaan sebagaimana permintaan dari pemberi kerja.)” 49 Lihat Maeve McClenaghan, “Unmasking the nominee directors who help keep thousands transactions secret”, (Bureau Reviews, The Bureau of Investigative Journalism, 26 November 2012), dapat diakses di http://www.thebureauinvestigates.com/2012/11/26/unmasking-the-nominee-directorswho-help-keep-thousands-of-transactions-secret/, terakhir kali diakses pada tanggal 10 Oktober 2012. 50 Lihat Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1987), hlm. 165-166, dikatakan, ”Untuk mengelakkan pajak-pajak, seringkali juga didirikan badan hukum di tempat-tempat tertentu di negara tertentu, sedangkan pusat-pusat perdagangan adalah di negara lainnya. Kapal-kapal (khususnya tanker) juga sering didaftarkan di Panama atau Liberia karena adanya fasilitas-fasilitas tertentu.” 51 Sebagai bahan perbandingan dapat ditinjau lebih lanjut beberapa ketentuan yang mengatur tentang PT dari beberapa Negara, yakni International Business Companies Act (Cap. 291) (untuk British Virgin Island); Companies (Special Licences) Act, 2003 (untuk Republic of Seychelles); dan Companies Act 2001 (untuk Mauritius).
Universitas Sumatera Utara
16
terhadap Pemegang Saham saja, tetapi juga telah mencakup pengaturan terhadap keberadaan Direksi.52 Dalam kaitannya dengan praktik nominee ini, memang tentunya mesti diikuti dengan kajian terhadap nominee arrangement53 yang akhir-akhir ini secara kasat mata telah semakin berkembang di Indonesia, bahkan kini telah menjadi semacam praktik yang lazim di rezim UUPT yang seyogianya melarang praktik semacam itu (walaupun tidak secara tegas kemudian larangan itu dilengkapi dengan sanksi hukumnya, sehingga terkesan menjadi ketentuan hukum yang ‘ompong’). Meskipun secara legal hal tersebut tidaklah dapat dibenarkan juga, akan tetapi masih saja bisa ditemukan praktik-praktik semacam itu dalam dunia bisnis.54 Hal ini boleh tentu dapat terjadi disebabkan oleh instrumen hukum yang ada cenderung masih ‘lemah’ dan menjadi dapat dimultitafsirkan dalam realita aktualnya oleh berbagai pihak
52 Ambil contoh pula dari negara tetangga, Singapura, dimana dalam aturannya membenarkan penggunaan nominee, baik sebagai pemegang saham maupun untuk ditempatkan dalam jajaran Board (baca: direksi), dimana dalam praktiknya ini adalah merupakan hal yang lazim. Pertimbangannya tidak lain adalah untuk mendukung pertumbuhan perusahaan yang dampaknya adalah semakin mendorong tingkat perekonomian. Dengan kata lain, pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh Pemerintah Singapura dalam kenyataannya dapat menjadi ‘fleksibel’ yang tentunya senantiasa menjadikan aturan yang ada sebagai rambu acuan. Lihat lebih lanjut ketentuan dalam Singapore Companies Act (Chp. 50). 53 Lihat Yulianto Dwi Prasetyo, “Konsekwensi Penggunaan Nama Orang Lain (Nominee Arrangement) Untuk PT ataupun Property di Indonesia”, dapat diakses di http://bpngresik.blogspot.com/2011/08/konsekwensi-penggunaan-nama-orang-lain.html, terakhir kali diakses pada tanggal 1 Mei 2012, dikatakan, “Nominee Arrangement (pinjam nama) dalam praktik sehari-hari semakin marak dan menjadi lazim diterapkan dalam rangka pemilikan saham dengan status pemegang saham dalam suatu PT atau sebagai salah seorang persero dalam suatu CV, ... Hal tersebut umumnya sering ditempuh sebagai upaya menyiasati ketentuan hukum yang membatasi … subjek hukum tertentu. Misalkan adanya … ketentuan dalam penanaman modal yang mensyaratkan bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan segala prosedurnya bagi PT yang memiliki pemegang saham asing. Dengan demikian, kemudian akan dipilih cara penggunaan nama seorang WNI atau badan hukum Indonesia sebagai ‘pemilik pengganti’ daripada tanah atau saham tersebut.” 54 Lihat artikel Erwin Siregar, loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
17
dengan kepentingan yang berbeda, sehingga mengakibatkan dimungkinkan terjadi penyelundupan hukum.55 Direksi PT jelas bertanggung jawab penuh terhadap jalannya PT yang dikelolanya tersebut. Dalam membuat keputusan atau pengambilan setiap kebijakan oleh Direksi PT dalam rangka pengelolaan PT tentunya akan membawa dampak munculnya implikasi hukum terhadap pertanggungjawaban Direksi PT yang bersangkutan.56 Namun tanggung jawab yang dimaksudkan tentunya perlu mendapat suatu pembatasan sejauh mana dapat menjangkau Direksi PT, terlepas daripada statusnya yang sebagai nominee atau tidak, dan juga mempertimbangkan itikad baik dan tanggung jawab dari setiap anggota Direksi yang memimpin jalannya operasional PT tersebut.57
55
Lihat Sudargo Gautama, Op. cit., hlm. 166, dikatakan, “Tujuan penyelundupan hukum tidak lain adalah untuk menghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki, atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dikehendaki. Penyelundupan hukum terjadi jika seorang dengan berdasarkan dan mempergunakan kata-kata dari Undang-undang, tetapi melawan jiwa dan tujuannya, secara ‘tipu muslihat’ melakukan perbuatan-perbuatan yang ternyata diadakan dengan maksud agar supaya dapat mengelakkan kaidah-kaidah hukum yang tertulis atau yang tidak tertulis.” 56 Lihat Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-bentuk Badan Usaha di Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hlm.103, dikatakan, “Ada 3 (tiga) macam tanggung jawab anggota Direksi yang diatur dalam Pasal 97 UUPT, yaitu sebagai berikut: a. Bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan dengan itikad baik; b. Bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya; c. Bertanggung jawab secara renteng dalam hal direksi terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih atas kerugian yang sama seperti pada poin b. di atas.” 57 Lihat Munir Fuady, (III), Op. cit., hlm. 38-39, dikatakan, “Tanggung jawab dalam suatu perseroan terbatas pada prinsipnya atas harta yang ada dalam perseroan tersebut. Itu pula sebabnya disebut “terbatas” (limited), yakni terbatas dari segi tanggung jawabnya. Dengan demikian, pada prinsipnya pihak … direksi … tidak pernah bertanggung jawab secara pribadi. Artinya, jika ada gugatan dari pihak manapun, pihak pemegang harta pribadi dari … direksi … pada prinsipnya tidak boleh ikut disita. Namun demikian, Direksi tetap akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia bersalah atau lalai di dalam menjalankan tugasnya selaku Direksi.”
Universitas Sumatera Utara
18
Yang menjadi fokus permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini adalah sejauh mana batasan tanggung jawab dari Direksi PT yang dalam kenyataannya adalah bersifat tidak bebas, dalam artian menjalankan kehendak pihak-pihak tertentu dalam kapasitasnya sebagai nominee. Apakah kemudian kedudukannya sebagai anggota Direksi nominee tersebut dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengelak dari tanggung jawab selayaknya direksi PT. Alasan utama yang diajukan nantinya bahwa dirinya bukan Direksi PT yang bertanggung jawab karena hanya bertindak dalam rangka menjalankan perintah atau maksud kehendak dari Pemegang Saham atau kehendak pihak lain. Padahal secara de jure sangatlah jelas bahwa hanya Direksi PT yang nama-namanya secara terang dan jelas dicantumkan di dalam akta/Anggaran Dasar PT tersebut, yang kemudian diberikan wewenang dan tanggung jawab dalam pengurusan untuk kepentingan PT yang bersangkutan.58 B. Perumusan Masalah Berdasarkan kepada judul tesis, dan pemaparan latar belakang penelitian, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini, sebagai berikut: 1. Apakah yang menjadi dasar hukum dan alasan-alasan eksistensi/keberadaan Direktur Nominee dalam pengelolaan PT?
58
Lihat M. Yahya Harahap, (I), Op. cit., hlm 390, dikatakan, “… apabila Perseroan itu telah berstatus sebagai badan hukum karena telah mendapat pengesahan dari Menteri. Pada diri Direksi dengan sendirinya menurut hukum (van rechtswege, ipso jure), melekat kuasa menurut undang-undang untuk mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan.”
Universitas Sumatera Utara
19
2. Bagaimana batasan-batasan terhadap tanggung jawab dan kewajiban Direktur Nominee dalam pengelolaan PT? 3. Apa akibat hukum yang mungkin timbul dalam pengelolaan PT yang dilakukan oleh Direktur Nominee? C. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam rangka penyusunan tesis ini mempunyai tujuan yang hendak dicapai, sehingga penelitian ini akan menjadi lebih terarah. Tujuan utama daripada penelitian tesis ini adalah sebagai sarana untuk melengkapi tugas akhir sebagai syarat perolehan gelar ‘Magister Kenotariatan’ pada Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan. Selain itu, tujuan lain daripada penelitian ini adalah memberikan gambaran atas perumusan masalah yang ada, sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui ketentuan yang menjadi rujukan dan dasar hukum eksistensi/keberadaan Direktur Nominee dalam pengelolaan PT.
2.
Untuk mengetahui sejauh mana batasan tanggung jawab dan kewajiban Direktur Nominee dalam pengelolaan PT.
3.
Untuk mengetahui akibat hukum yang mungkin timbul dalam pengelolaan PT yang dilakukan oleh Direktur Nominee.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
20
1. Secara teoritis Tesis ini diharapkan dapat memberikan masukan dan sumbang saran yang cukup berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum, dan ilmu hukum pada khususnya, dan lebih khususnya lagi adalah dalam bidang studi kenotariatan. Selain itu, tesis ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat aturan dan ketentuan yang mengatur tentang PT di kemudian hari, khususnya mengenai direksi nominee. 2. Secara praktis Melalui penelitian tesis ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi: a. Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan memberikan kontribusi positif bagi pemerintah untuk melakukan studi dan kajian lebih lanjut mengenai pengaturan terhadap pengurus PT, khususnya untuk mengakomodir keberadaan direksi nominee. b. Notaris Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi yang cukup bermanfaat bagi Notaris di dalam menghadapi permasalahan yang menyangkut eksistensi badan hukum dan direksi suatu PT secara legal. Dengan demikian, notaris semestinya tetap harus mengedepankan kecermatan dan ketelitian di dalam mempersiapkan akta-akta sehubungan dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh PT atau direksi PT (terlepas daripada
Universitas Sumatera Utara
21
kapasitas direksi PT tersebut dalam artian riil atau hanya sebatas nominee semata). c. Mahasiswa Kenotariatan dan Umum Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan studi maupun komparasi yang bermanfaat bagi mahasiswa kenotariatan, dan juga dapat dijadikan sebagai sarana pendukung untuk lebih menggali lagi konsep dan nilai-nilai yang terkandung dalam ketentuan yang mengatur tentang Direksi dari suatu PT. Kemudian untuk praktisi hukum dan masyarakat umum, tentunya dapat menjadikan hasil penelitian di dalam tesis ini sebagai masukan guna menambah pengetahuan tentang keberadaan Direktur Nominee dalam PT, dan sebagai referensi juga seandainya nanti ditunjuk sebagai Direktur Nominee pada suatu PT.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran dan dari informasi yang diperoleh, di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada khususnya dan kepustakaan Universitas Sumatera Utara pada umumnya, penelitian dengan judul “ANALISA TERHADAP BATASAN TANGGUNG JAWAB DIREKTUR NOMINEE DALAM PERSEROAN TERBATAS” belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya. Walaupun dalam beberapa penelitian sebelumnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
Universitas Sumatera Utara
22
khususnya pada Program Studi Magister Kenotariatan, diketahui ada beberapa peneliti yang pernah mengangkat topik yang fokus utamanya adalah nominee untuk dijadikan sebagai bahan penelitian, seperti misalnya: 1.
Penelitian tesis yang dilakukan oleh Dewi Inalya Junita Sitorus, SH (NIM: 057011017), dengan tesis yang berjudul “Perjanjian Pemberian Kuasa Hak atas Tanah oleh Indonesian Nominee kepada Warga Negara Asing”, yang dilakukan pada tahun 2006, dengan permasalahan yang dibahas: a. Bagaimanakah ketentuan-ketentuan yang diberikan peraturan perundangundangan dalam mengatur penguasaan Hak Atas Tanah di Indonesia terhadap Warga Negara Asing ? b. Bagaimanakah perjanjian Hak Pakai di atas tanah Hak Milik ? c. Bagaimanakah penerapan perjanjian penguasaan hak atas tanah bagi WNA di Indonesia ?
2.
Penelitian tesis yang dilakukan oleh Hadi Susanto, SH (NIM: 027011023), dengan tesis yang berjudul “Pemegang Saham Nominee dalam Perseroan Terbatas”, yang dilakukan pada tahun 2004, dengan permasalahan yang dibahas: a. Mengapa terjadi penggunaan pemegang saham Nominee/Trustee dalam Perseroan Terbatas ? b. Bagaimana kekuatan Akta Pernyataan maupun Akta Kuasa yang dibuat oleh pemegang saham Nominee/Trustee menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?
Universitas Sumatera Utara
23
c. Sejauh mana akibat hukum yang timbul dalam penggunaan pemegang saham Nominee/Trustee ? Namun apabila dilihat permasalahan yang diangkat pada masing-masing dari penelitian tersebut, mungkin pada awalnya akan dapat dijumpai kesamaan dari segi substansi dasar kajiannya, terutama menyangkut tentang nominee-nya atau PT-nya. Akan tetapi ide-idenya kemudian menjadi berbeda dalam pembahasan pada bab-bab selanjutnya diantara masing-masing penelitian tersebut dengan penelitian ini. Penelitian sebagaimana dituangkan di dalam tesis ini yang titik fokusnya mengenai tanggung jawab Direktur Nominee belumlah dijumpai. Pengecualian tentu semestinya dapat diberikan dalam hal terdapat hasil karya tulis pihak manapun juga yang ternyata di kemudian hari baru diketahui karena sebelumnya tidak pernah dipublikasikan pada saat dilakukannya penelitian ini. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian tesis ini, maka dapat disimpulkan bahwa tesis ini adalah murni penelitian dan hasil karya orisinil yang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, serta bukan merupakan karya jiplakan (sepanjang seluruh kutipan atau intisari yang dijadikan pengaya di dalam tesis telah mencantumkan dan menyebutkan sumber resmi yang dijadikan sebagai referensi). Hasil penelitian ini diperoleh melalui pemikiran yang diurai dan dikaji dari pendapat para pakar & praktisi yang dituangkan dalam bentuk tulisan, dari referensi buku, bahan seminar, makalah, putusan-putusan pengadilan, artikel dan karya tulis yang bersumber pada media cetak seperti surat kabar atau majalah, media elektronik
Universitas Sumatera Utara
24
seperti televisi atau laman dunia maya, berdasarkan kepada azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, dan terbuka. Semua ini tidak lain adalah merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kerangka teori atau landasan teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujuinya, yang dijadikan masukan eksternal dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.59 Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.60 Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang tata cara seorang ilmuwan dalam mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya.61 Menurut Bambang Sunggono (sejalan dengan pendapat Muslan Abdurrahman, bahwa penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu objek yang mudah terpegang, di tangan.62 59
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Penerbit CV. Mandar Madju, 1994), hlm. 80. 60 Ibid. 61 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 6. 62 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 27. Lihat juga Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), hlm. 91, sebagaimana dikutip dari Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1973), hlm. 5-7, dikatakan, “Penelitian (research) sesuai dengan tujuannya dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan,
Universitas Sumatera Utara
25
Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.”63 Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.64 Menurut Satjipto Rahardjo, teori memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.65 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah dapat direkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.66 Berbagai masalah penting mengenai perlakuan hukum atas pribadi badan hukum modern telah timbul di hampir semua negara, yang tidak hanya telah diterapkan tanpa kesadaran untuk mendukung teori-teori yang ada; hal tersebut akan ditunjukkan bahwa tidak satu pun darinya yang tampak mampu memberikan penjelasan yang memadai perihal perlakuan hukum atas setiap fenomena seperti perusahaan yang berada di tangan satu orang, sifat yang membahayakan dari suatu korporasi atau transaksi-transaksi antara perusahaan induk dengan perusahaan cabangnya.67 Bagi orang yang mengkaji teori hukum, hal ini merupakan suatu teka-teki dan, pada pandangan pertama, mengecilkan arti fenomena. Alasan bagi ketidaksesuaian antara teori dan praktek adalah bukan tidak relevannya teori mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.” 63 Ibid., hlm. 27. 64 M. Solly Lubis, Op. cit., hlm. 27. 65 Lebih lanjut dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 224, dikatakan, “Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga ditentukan oleh teori yang menjadi dasar. Demikian pula menurut Radbruch, bahwa tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai serta postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya yang tertinggi.” 66 M. Solly Lubis, loc. cit. 67 W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum, Hukum & Masalah-Masalah Kontemporer, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 211.
Universitas Sumatera Utara
26
hukum bagi masalah-masalah hukum praktis, tetapi adalah kenyataan bahwa teori-teori kepribadian badan hukum yang pokok terutama tidak membahas penyelesaian masalah-masalah hukum. Mereka pada umumnya berkaitan dengan penguasaan filosofis atas keberadaan kepribadian dalam makhluk daripada individu-individu manusia, atau dengan interpretasi politis atas kepribadian-kepribadian kelompok dari jenis-jenis yang berbeda. Tipe teori yang terakhir, khususnya, sangat berpengaruh atas teori dan praktek; tetapi hal tersebut sangat dibatasi penerapannya dalam memecahkan masalah-masalah perpajakan modern, transaksi-transaksi hak milik atau hukum perusahaan.68 Dalam kaitannya dengan penelitian dalam tesis ini, yang singgungannya tentu tidak lepas daripada status badan hukum PT yang bersangkutan. Selain manusia alami, badan hukum juga dipandang sebagai subyek hukum. Menurut Prof. Wiryono Prodjodikoro, badan hukum adalah suatu badan yang di samping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam dan yang mempunyai hak-hak, kewajibankewajiban dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.69 Sebagaimana diungkapkan oleh W. Friedmann bahwa ada beberapa teori-teori terpenting mengenai badan hukum.70 Namun, sebagai pedoman di dalam penelitian
68
Ibid. Lihat Wibowo Tunardy, “Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum”, 26 Mei 2008, dapat diakses di http://www.jurnalhukum.com/badan-hukum-sebagai-subyek-hukum/, terakhir kali diakses pada tanggal 25 Agustus 2012, sebagaimana dikutip dari P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2009), hlm. 28-29. 70 W. Friedmann, Op. cit., hlm. 212, dimana diuraikan beberapa teori penting mengenai badan hukum, seperti: (1) Teori Fiksi, dengan tokohnya yang paling terkenal adalah Savigny, dan orang Inggris yang merupakan pembelanya yang terpenting adalah Salmond, menganggap bahwa kepribadian hukum atas kesatuan-kesatuan lain daripada manusia adalah hasil khayalan. Kepribadian “yang sebenarnya” hanya ada pada manusia. Negara-negara, korporasi, lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek dari hak-hak dan kepribadian, tetapi diperlukan seolah-olah badan itu manusia. (2) Teori Konsesi, walaupun lebih dekat dengan filsafat mengenai Negara nasional yang berdaulat, daripada teori fiksi, dalam beberapa hal, merupakan penyimpangan daripadanya, sebab teori ini menyatakan dengan tegas bahwa badan hukum dalam negara tidak memiliki kepribadian hukum kecuali kalau diperkenankan oleh “hukum”, dan ini berarti negara. Teori ini juga didukung oleh sebagian besar eksponen-eksponen dari Teori Fiksi, seperti Savigny, Salmond dan Dicey. (3) Teori Zweckvermogen menyatakan bahwa hak milik badan-badan hukum dapat diperuntukkan, dan mengikat secara sah pada tujuan-tujuan tertentu, tetapi adalah milik tanpa subjek, tanpa pemilik. Teori ini juga menganggap hanya manusia yang dapat memiliki hak-hak. 69
Universitas Sumatera Utara
27
ini, Teori Fiksi dan Teori Organik menjadi pilihan untuk menjelaskan lebih jauh mengenai kedudukan PT sebagai badan hukum dan hubungan antara PT sebagai badan hukum dengan Direksi PT sebagai organ pengurusnya. Teori Fiksi menganggap bahwa badan hukum semata-mata adalah buatan manusia. Sedangkan Teori Organik memperlakukan badan hukum sebagai suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum. Teori Fiksi dipelopori oleh seorang sarjana Jerman, Friedrich Carl von Savigny (1779-1861), tokoh utama aliran sejarah pada permulaan abad ke-19. Menurut teori ini bahwa hanya manusia saja yang memiliki kehendak, sedangkan badan hukum adalah suatu abstraksi dan bukan merupakan suatu hal yang konkrit.71 Lebih lanjut, dikemukakan bahwa meskipun syarat-syarat dalam peraturan hukum yang melekat pada manusia tidak ada pada badan hukum, namun badan hukum boleh dianggap seolah-olah manusia. Dalam pandangan penganut teori ini, badan hukum disamakan dengan manusia hanya sebagai perumpamaan (fiksi) saja.72
(4) Teori Ihering – secara filosofis sangat dekat dengan Teori Fiksi – berpendapat bahwa subjeksubjek hak-hak badan hukum adalah manusia-manusia yang secara nyata ada di belakangnya – anggota-anggota badan hukum dan mereka yang mendapat keuntungan dari suatu yayasan (stiftung) yang diberi kepribadian hukum dalam hampir semua hukum Eropa, sedangkan dalam hukum Anglo-Amerika mereka, dengan adanya konsepsi tentang kepercayaan, diperlakukan tidak sama. (5) Teori Realis atau Organik, diasosiasikan, terutama dengan nama Gierke dan sampai batas-batas tertentu didukung oleh Mitland, bertentangan dengan semua teori yang disebut sebelumnya, sebab menekankan pada pribadi-pribadi hukum yang nyata sebagai sumber kepribadian hukumnya. Wadah badan hukum adalah Reale Verbandsperson; kepribadiannya tidak karena diakui oleh negara; bukan ciptaan menurut hukum yang tidak nyata, bukan pula kepribadian yang terletak dalam anggota-anggota yang merupakan unsur-unsurnya atau orang-orang yang berkepentingan. 71 Anonim, “Teori Badan Hukum”, 02 Juli 2008, dapat diakses di http://clickgtg.blogspot.com/2008/07/teori-badan-hukum.html, terakhir kali diakses pada tanggal 25 Agustus 2012. 72 Wibowo Tunardy, loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
28
Badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau negara. Terkecuali negara, badan hukum itu suatu fiksi, yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal.73 Jadi, orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan, sehingga yang melakukan ialah manusia sebagai wakil-wakilnya.74 Teori Fiksi dari von Savigny tersebut diperkuat lagi oleh Teori Organ (orgaan theory).75 Teori ini dikemukakan oleh seorang sarjana Jerman, Otto Freidrich von Gierke (1841-1962). Menurut beliau, badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum. Badan hukum itu menjadi suatu ‘verbandpersonlich-keit’, yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut, misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya.76 Menurut teori ini, peraturan-peraturan hukum yang tidak berlaku dalam pandangan Teori Fiksi tetap berlaku karena badan hukum memiliki organ yang dipandang sebagai jiwa dari badan hukum tersebut.77
73
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Penerbit PT Alumni, 2005), hlm. 32. Lebih lanjut dalam Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek dalam Gugatan Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007), (II), hlm. 131, dikatakan, “Benar apa yang dikatakan Savigny bahwa badan hukum itu semata-mata buatan negara, karena keberadaan badan hukum itu diatur oleh suatu undang-undang. Hal ini menunjukkan bahwa ada syarat-syarat formal yang harus dipenuhi oleh badan hukum. Suatu badan atau lembaga harus diakui sebagai badan hukum oleh negara, setelah akta pendiriannya mendapat pengesahan dari pemerintah. Di samping itu harus memenuhi asas publisitas, bahwa badan hukum harus diumumkan dalam Berita Negara.” 74 Ibid. 75 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia – Cetakan Keempat Revisi, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 103. 76 Anonim, “Teori Badan Hukum”, loc. cit. 77 Wibowo Tunardy, loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
29
Dengan demikian, menurut Teori Orgaan, badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa.78 Dalam arti kata, dikarenakan pengurus dianggap sebagai alat atau organ dari suatu badan hukum, maka perseroanlah yang dianggap berbuat dengan mempergunakan alat atau organ dari perseroan tersebut. Lebih lanjut di dalam kajian penelitian ini, PT akan diperlakukan selayaknya badan hukum yang di satu sisi adalah badan khayalan yang sesungguhnya tidak eksis (imajiner, fiktif), namun di sisi lain PT itu juga merupakan organisme hidup yang nyata layaknya manusia biasa. Akan tetapi, perwujudan dari fiktif menjadi nyata tersebut tidak mungkin dilepaskan dari perantaraan pengurus sebagai wakilnya. Direksi PT bergerak dalam kapasitas sebagai organ pengurus yang akan menjalankan apa yang menjadi kehendak atau kemauan daripada badan hukum. Dengan demikian, sebagai badan hukum jelas bahwa PT merupakan pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subjek hukum.79 Badan hukum itu merupakan suatu realitas atau kenyataan yuridis (yuridische realiteit), konkret dan riil, walaupun tidak dapat diraba.80 Sedangkan yang dipertimbangkan cukup relevan dengan penelitian dalam tesis ini, khususnya dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban Direksi PT, adalah rujukan pada beberapa prinsip hukum yang lebih dikenal dalam sistem 78
Chidir Ali, Op. cit., hlm. 33. Mulhadi, Op. cit., hlm. 82. 80 Ibid., hlm. 83. 79
Universitas Sumatera Utara
30
common law. Adapun prinsip atau teori hukum yang dapat dijadikan sebagai acuan, misalnya prinsip fiduciary duty (prinsip pertanggungjawaban direktur)81 dan sebagai konsekuensinya adalah lahir atau munculnya teori business judgment rule. Fungsi utama direksi sebagaimana diatur Pasal 92 ayat (1) UUPT adalah menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.82 Tugas dan tanggung jawab melakukan pengurusan sehari-hari Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan tersebut dalam sistem common law dikenal dengan prinsip fiduciary duties.83 Menurut prinsip atau teori tersebut, dalam kepengurusan PT, Direksi PT sejauh mungkin harus bertindak sesuai dengan kepercayaan yang telah diberikan oleh PT, dan karenanya Direksi PT dibebankan tanggung jawab bahwa setiap keputusan yang diambil adalah semata-mata demi kepentingan dan keuntungan PT, yang dilandasi dengan itikad baik (te goede trouw) dan kehati-hatian serta
81
Lihat Bismar Nasution, “UU Nomor 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule”, Makalah disampaikan pada Seminar Bisnis 46 tahun FE USU: “Pengaruh UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di Sumatera Utara, tanggal 24 November 2007, (I), hlm. 6, dikatakan, “Prinsip ini meletakkan seorang Direktur itu sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang Direktur itu haruslah mempunyai kepedulian (duty of care) dan kemampuan untuk mendahulukan kepentingan perusahaan di atas kepentingan pribadi (duty of loyality), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi (high degree).” 82 Raffles, “Eksistensi dan Tanggung Jawab Direksi Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, tth., hlm. 68. 83 Diana Kusumasari, “Fiduciary Duty Direksi dan Dewan Komisaris PT”, 16 Juni 2011, (I), dapat diakses di http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4058/fiduciary-duty-direksi-dan-dewankomisaris-pt, terakhir diakses pada tanggal 25 November 2012.
Universitas Sumatera Utara
31
keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan84, dan tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of duty and interest)85. Kewajiban utama dari direktur adalah kepada perusahaan secara keseluruhan, bukan kepada pemegang saham, baik secara individu maupun kelompok,86 sesuai dengan posisi seorang direktur sebagai sebuah trustee di dalam perusahaan. Posisi ini mengharuskan seorang direktur untuk tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya (duty of care).87 Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut, seorang direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyalty).88 Guna mengukur kepercayaan yang diberikan oleh Perseroan kepada Direksi sebagai organ Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dan tujuan Perseroan, dan guna melindungi ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia, maka Direksi dilindungi oleh doktrin business judgment rule.89 Sudah sepantasnya jika seorang Direktur Perseroan tidak digeneralisir untuk bertanggung jawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan (mere errors of judgment) tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya.90 Doktrin business judgment rule mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya dengan
84
Adapun dalam UUPT telah menguraikan prinsip tersebut dalam ketentuan Pasal 92 dan Pasal 97 UUPT. 85 Diana Kusumasari, (I), loc. cit. 86 Bismar Nasution, “Pertanggungjawaban Direksi dalan Pengelolaan Perseroan”, 23 Desember 2009, (II), dapat diakses di http://bismar.wordpress.com/, terakhir diakses pada tanggal 25 November 2012, sebagaimana dikutip dari Janet Dine, Company Law: Sweet & Maxwell’s Testbook Series, (Sweet & Maxwell, 2001), hlm. 217. 87 Ibid., sebagaimana dikutip dari Denis Keenan & Josephine Biscare, Smith & Keenan’s Company Law For Students, (Financial Times, Pitman Publishing, 1999), hlm. 317. 88 Ibid., sebagaimana dikutip dari Joel Selgman, Corporations Cases and Materials, (Little Brown and Company), 1995. 89 Try Widiyono, (II), Op. cit., hlm 98. 90 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
32
segala kekurangannya.91 Dengan demikian, akan terdapat pembatasan yang dijamin oleh hukum bahwa anggota Direksi PT tidak menjadi bertanggung jawab secara pribadi atas keputusan yang telah diambil demi kepentingan PT yang dikelolanya, walaupun ternyata di kemudian hari terdapat suatu dampak negatif bahwa keputusan yang diambil menimbulkan kerugian bagi PT yang bersangkutan, sepanjang Direksi mampu membuktikan bahwa prinsip itikad baik senantiasa dikedepankan untuk melakukan segala perbuatan hukum dalam rangka mencapai maksud dan tujuan Perseroan.92 2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah menghubungkan antara teori yang ada dengan observasi dalam penelitian, dan juga antara abstraksi dengan realitas.93 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisirkan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.94
91
Ibid. Lihat juga Bismar Nasution, (I), Op. cit., hlm. 8, sebagaimana dikutip dari Dennis J. Block, dkk., The Business Judgment Rule: Fiduciary Duties of Corporate Directors, (Prentice-Hall Law & Business, Third Edition, 1990), hlm. 4, dikatakan, “Dalam ilmu hukum, teori business judgment rule diartikan sebagai aplikasi spesifik dari standar tingkah laku Direktur pada sebuah situasi dimana setelah pemeriksaan secara wajar, Direktur yang tidak mempunyai kepentingan pribadi menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur dan secara rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan perusahaan.” 92 Tinjau lebih lanjut mengenai prinsip ini di dalam Pasal 97 UUPT, khususnya ayat (2) dan ayat (5). 93 Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1998), hlm. 34. Lihat juga Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm. 10. 94 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
33
Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.95 Suatu konsep atau suatu kerangka konsepsionil pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsionil, kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat dijadikan pegangan konkrit di dalam penelitian.96 Definisi operasional terhadap berbagai istilah yang digunakan di dalam penelitian ini, diantaranya sebagai berikut: 1.
Tanggung jawab adalah kewajiban seorang individu (baca: Direksi) untuk menjalankan aktivitas yang ditugaskan kepadanya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya.97
2.
Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.98 Istilah pengurus (baca: Direksi) berasal dan merupakan alih bahasa dari kata director atau Board of Director (Inggris-Amerika).99
95
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT Radja Grafindo Persada, 1985), hlm. 7. 96 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 133. 97 Nindyo Pramono, Op. cit., hlm. 20. 98 Pasal 1 angka 5 UUPT. 99 Anonim, Oxford Learners Pocket Dictionary, Op. cit., hlm. 121, dikatakan, “Director is a person who manages something, especially a company.” Lihat juga Kenneth S. Ferber, Corporation Law, (New Jersey: Prentice-Hall Inc., 2002), hlm. 221, dikatakan, “Directors are persons elected or appointed to manage and/or direct the affairs of a
Universitas Sumatera Utara
34
3.
Nominee is person who has been formally suggested for a job, prize, etc; (business) person in whose name money is invested in a company, etc.100 (Nominee adalah seorang yang secara formal/resmi diajukan untuk memperoleh sebuah pekerjaan, hadiah, dan sebagainya; (bisnis) seseorang yang namanya digunakan dalam rangka menginvestasikan sejumlah uang dalam sebuah perusahaan, dan sebagainya.)
4.
Direktur Nominee, atau dikenal sebagai nominee directors adalah the directors appointed by third parties (example: debenture holders, infinancial corporations, or banking companies who have advanced loan to the company).101 (… nominee directors adalah Direksi yang ditunjuk oleh pihak
corporation.” Lihat juga C.S.T. Kansil, dkk, Op. cit., hlm. 89, dikatakan, “Direktur atau directeur (Belanda) adalah anggota pengurus (direksi) suatu PT (Perseroan Terbatas).” 100 Anonim, Oxford Learners Pocket Dictionary, Op. cit., hlm. 289. Lihat juga R.P. Austin, “Representatives and Fiduciary Responsibilities - Notes on Nominee Directorships and Life Arrangements”, Bond Law Review: Vol. 7: Iss. 1, Article 3, hlm. 20-21, dapat diakses di http://epublications.bond.edu.au/blr/vol7/iss1/3, terakhir diakses pada tanggal 14 Juli 2012, dikatakan, “… the term ‘nominee director’ signifies person who, independently of their method of appointment, are expected to act as directors in accordance with some understanding or arrangement which created an obligation or mutual expectation of loyalty to some person or persons other than the company as a whole. This definition seems too wide, because it covers a case where the extraneous duty of loyalty is owed to a person who has not played a part in appointing the director to office. (… terminologi ‘direktur nominee’ menandai seseorang yang, dalam metode penunjukannya secara independen, diharapkan akan bertindak selayaknya direktur dengan mengacu pada pemahaman atau pengaturan yang menimbulkan suatu kewajiban atau suatu kesepakatan loyalitas imbal-balik kepada seorang atau sekelompok orang tertentu daripada terhadap perseroan secara keseluruhan. Definisi ini dianggap cukup luas sekali, karena mencakup sampai kepada kasus dimana duty of loyalty yang berlebihan dilekatkan terhadap seseorang yang tidak memiliki andil tertentu bahkan dalam penunjukan direktur yang bersangkutan.)” 101 Lihat P.P.S Gogna, Op. cit., hlm. 246. Bandingkan dengan Mary Fulton, Responsibilities of directors in Ireland: Your questions answered, (Ireland: Deloitte & Touche, 2007), hlm. 12, dikatakan, “A nominee director is one who is appointed to the board of a company on the nomination of an outside interested party such as a major shareholder, the company’s bankers, a venture capital investor or the investing parties in a joint venture company. (Seorang direktur nominee adalah seseorang yang ditunjuk untuk mengisi jabatan Dewan Direksi dari sebuah perseoran yang penunjukannya dilakukan oleh pihak dengan kepentingan tertentu di luar perseroan misalnya seperti
Universitas Sumatera Utara
35
ketiga
(sebagai
contoh:
pemberi
kredit/pinjaman,
perusahaan
yang
memberikan bantuan keuangan, atau perusahaan perbankan yang telah memiliki
piutang
pinjaman
sebelumnya
terhadap
perusahaan
yang
bersangkutan.) 5.
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UUPT serta peraturan pelaksanaannya.102
G. Metode Penelitian 1.
Jenis dan Sifat Penelitian Dalam upaya pengumpulan data di dalam penelitian ini akan digunakan
metode pendekatan yuridis normatif, yakni suatu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder seperti peraturan perundangundangan, teori hukum dan pendapat para sarjana hukum terkemuka.103 Penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum normatif dapat disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum doktrinal dikonsepkan sebagai apa yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan (law in the books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.104
pemegang saham mayoritas, bank relasi perseroan, penanam modal atau pihak investor dalam sebuah perusahaan joint venture.)” 102 Pasal 1 angka 1 UUPT. 103 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. cit., hlm. 13. 104 Muslan Abdurrahman, Op. cit., hlm. 127.
Universitas Sumatera Utara
36
2.
Tehnik Pengumpulan Data Materi penelitian dalam tesis ini diambil dari data sebagaimana yang
dimaksud di bawah ini:105 a.
Bahan hukum primer, yaitu berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini utamanya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dengan didukung oleh peraturan perundangan lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer, dan dapat digunakan untuk menganalisa, mengkaji dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang bersifat informatif atau hasil kajian mengenai Perseroan Terbatas pada umumnya, dan khususnya yang dalam kaitannya dengan pembatasan terhadap tanggung jawab Direktur Nominee, yang dapat berupa hasil seminar atau makalah, surat kabar, majalah, dan juga sumber dari laman dunia maya yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian.
c.
Bahan hukum tersier/tertier atau penunjang, yang digunakan untuk memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang mencakup kamus hukum dan terutama adalah kamus bahasa,
105
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 38. Lihat juga Bambang Sunggono, Op. cit., hlm. 113-114.
Universitas Sumatera Utara
37
untuk pembenahan tata Bahasa Indonesia dan istilah-istilah hukum yang lebih baik, dan juga sebagai alat bantu pengalihbahasaan beberapa artikel atau sumber literatur asing. Dalam kaitan dengan penelitian ini, tehnik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi pustaka, dimana data penelitian (baik bahan hukum primer, sekunder maupun bahan hukum tertier) akan dikaji lebih lanjut guna mencari hal yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Dengan demikian, studi terhadap bahan atau dokumen dalam bentuk tertulis menjadi instrumen yang sifatnya utama di dalam rangka pengumpulan data untuk melakukan kajian di dalam penelitian ini. 3.
Analisis Data Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang
sebelumnya telah disusun secara sistematis kemudian akan dianalisa dengan menggunakan prosedur logika ilmiah, yang sifatnya kualitatif. Kualitatif berarti akan dilakukan analisa data yang bertitik tolak dari penelitian terhadap asas atau prinsip sebagaimana yang diatur di dalam bahan hukum primer, dan kemudian akan dibahas lebih lanjut menggunakan sarana pada bahan hukum sekunder, yang tentunya akan diupayakan pengayaan sejauh mungkin dengan didukung oleh bahan hukum tersier/tertier. Adapun tahapan untuk menganalisa bahan-bahan hukum yang telah ada tersebut, secara sederhana dapat diuraikan dalam beberapa tahapan, sebagaimana diterangkan berikut:
Universitas Sumatera Utara
38
1.
Tahapan pengumpulan data, misalnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang sedang diteliti, artikel atau jurnal atau karya tulis dalam bentuk lainnya akan dikumpulkan sedemikian rupa sebagai bahan referensi;
2.
Tahapan pemilahan data, dimana dalam tahapan ini seluruh data yang telah dikumpulkan sebelumnya akan dipilah-pilah dengan mempedomani konteks yang sedang diteliti, sehingga akan lebih memudahkan dalam melakukan kajian lebih lanjut terhadap permasalahan di dalam penelitian tesis ini;
3.
Tahapan analisa dan penulisan hasil penelitian, sebagai tahapan klimaks dimana seluruh data yang telah diperoleh dan dipilah tersebut akan dianalisa dengan saksama dengan melakukan interpretasi atau penafsiran yang diperlukan, sejauh mungkin diupayakan untuk berpedoman terhadap konsep, asas dan kaidah hukum yang dianggap relevan dan sesuai dengan tujuan utama daripada penelitian ini. Hasil penelitian kemudian akan dituangkan dalam bentuk tertulis yang diharapkan akan dapat menjawab permasalahan yang ada, sehingga hasil penelitian ini akan dapat dijadikan sebagai referensi ilmiah di samping literaturliteratur yang telah ada. Dengan demikian, diharapkan dari hasil analisa yang dilakukan secara
sistematis tersebut akan dapat ditarik suatu kesimpulan yang dapat menjelaskan hubungan antara berbagai jenis bahan-bahan yang telah ada sebelumnya, guna penyusunan jawaban dan saran masukan atas permasalahan penelitian yang dijabarkan secara deskriptif, yang terutama menjelaskan bagaimana dan sejauh mana batasan pertanggungjawaban Direktur Nominee di dalam pengelolaan PT di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara