1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Wasiat merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya agama Islam saja yang mengatur, tetapi setiap komunitas memiliki pemahaman tentang wasiat. Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Semuanya memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sahnya pelaksanaan wasiat tersebut. Begitu pula di Indonesia, sama mempunyai aturan sendiri tentang wasiat ini. Di antaranya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk non muslim yang tidak tunduk pada hukum adatnya, sedangkan untuk umat Muslim diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Secara garis besar wasiat merupakan penghibahan harta dari seseorang kepada orang lain atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya yang menghibah tersebut. Wasiat ialah suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang dilaksanakan sesudah meninggal dunia seseorang. Menurut asal hukum, wasiat adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apa pun. Karenanya, tidak ada dalam syariat Islam suatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim.1 Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus
1
Habsi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001, Hal. 273
1
Universitas Sumatera Utara
2
dilaksanakan para penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan lain di luar harta peninggalan.2 Perihal wasiat juga diatur dalam Al-Quran antara lain diatur dalam surat AlBaqarah ayat 180, yang artinya berbunyi “diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatanya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. Makruf di sini artinya, adil dan baik. Wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. Dalam surat Al-Baqarah ayat 240 juga menyebutkan tentang wasiat, yang artinya berbunyi “dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara mu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga satu tahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka membuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah maha perkasa lagi bijaksana”. Wasiat begitu penting dalam kewarisan hukum Islam karena tidak hanya dinyatakan dalam surat Al-Baqarah, akan tetapi juga dinyatakan dalam surat AnNisaa ayat 11 dan 12. Dalam ayat-ayat ini dinyatakan kedudukan wasiat yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan pembagian harta peninggalan pewaris kepada anak-anak, duda, janda, dan saudara-saudara pewaris.
2
Anwar Sitompul, Fara’id, Hukum Waris Islam Dalam Waris Islam Dan Masalahnya, Al Ikhlas, Surabaya, 1984, Hal. 60
Universitas Sumatera Utara
3
Surat An-Nisaa ayat 11 dinyatakan yang artinya berbunyi, “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguuhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Surat An-Nisaa ayat 12 dinyatakan yang artinya berbunyi, “dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah memenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
Universitas Sumatera Utara
4
utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) Syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. Secara prinsip, wasiat dalam sistim hukum kewarisan Islam mengandung makna yang sangat penting guna menangkal jika terjadinya kericuhan dan perpecahan dalam keluarga, karena tidak menutup kemungkinan akan adanya anggota keluarga yang emosional dalam pembagian harta warisan. Wasiat diartikan sebagai pernyataan keinginan pewaris sebelum kematian atas harta kekayaannya sesudah meninggalnya. Wasiat dalam sistem hukum Islam di Indonesia belum diatur secara material dalam suatu undang-undang seperti kewarisan barat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat. Wasiat hanya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Wasiat diatur dalam Bab V yaitu pasal 194 sampai dengan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dan dalam kitab-kitab Fikih Islam.
Universitas Sumatera Utara
5
Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf f menyebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Pasal 194 sampai dengan pasal 208 mengatur tentang wasiat biasa, sedangkan dalam pasal 209 mengatur tentang wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat. Dalam khasanah hukum Islam, wasiat tidak biasa ini disebut waiat wajibah. Konsep wasiat harta dalam Islam ditujukan kepada kerabat jauh atau kerabat yang tak mendapat hak peroleh waris dan juga terhadap orang lain. Dari pemahaman inilah berkembang teori penalaran hukum atas hukum wasiat hingga sampai pada penalaran tentang kedudukan hukumnya. Dan terakhir menyangkut wasiat wajibah. Wasiat wajibah ini di Indonesia sebenarnya hanya mulai dikenal di tahun 90an, bersamaan dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam, sebagai perwujudan konsensus yuris Islam di Indonesia. Ini berarti bahwa wasiat wajibah merupakan produk baru hukum wasiat dalam hukum Islam di Indonesia. Kompilasi hukum Islam di Indonesia mempunyai ketentuan tersendiri tentang konsep wasiat wajibah ini, yaitu membatasi orang yang berhak menerima wasiat wajibah ini hanya kepada anak angkat dan orang tua angkat saja. Terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberikan wasiat wajibah maksimal sebanyak spertiga dari harta warisan anak angkatnya. Sedangkan terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak spertiga dari harta orang tua angkatnya. Tidak diketahui pasti mengapa Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
6
mengubah konsep wasiat wajibah ini hanya terbatas kepada anak angkat dan orang tua angkat saja. Sayangnya, Kompilasi Hukum Islam tidak memberikan defenisi dalam ketentuan umum tentang wasiat wajibah tersebut. Secara teori, wasiat wajibah didefenisikan sebagai tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.3 Menurut Fatchur Rahman, wasiat wajibah adalah hanya terhadap cucu lakilaki maupun perempuan baik pancar laki-laki maupun pancar perempuan yang orang tuanya mati mendahului atau bersama-sama dengan kakek atau neneknya.4 Sedangkan menurut Mohd Zamro Muda bahwa wasiat wajibah ialah sebahagian dari pada harta peninggalan yang diperuntukan oleh undang-undang untuk anak-anak yang kematian ibu atau bapak sebelum datuk atau nenek atau mereka meninggal serentak dan anak-anak tersebut tidak mendapat bahagian dari pada harta peninggalan datuk atau nenek mereka karena didindingi (dihijab) oleh bapak atau ibu saudara mereka. Justeru itu, diberi kepada mereka dengan kadar dan syarat-syarat tertentu sebagai wasiat dan bukan sebagai pusaka.5 Kompilasi Hukum Islam mempunyai ketentuan tersendiri tentang wasiat wajibah dan berbeda dalam pengaturannya dari negara-negara Islam yang lain. 3
Abdul Manan I, Beberapa Masalah Hukum Tentang Wasiat Dan Permasalahannya Dalam Konteks Kewenangan Peradilan Agama, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam Nomor 38 Tahun IX, 1998, Hl. 23 4 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. Alma’arif, Bandung, 1975, Hal. 63 5 Fahmi Al Amruzi, Rekonstruksi Wasiat Wajibah Dalam Kompilasi Hukum Islam, Aswaja Prassindo, Yogyakarta, 2012, Hal. 23
Universitas Sumatera Utara
7
Konsep Kompilasi Hukum Islam adalah memberikan wasiat wajibah terbatas pada anak angkat dan orang tua angkat saja. Sementara negara-negara Islam lainnya melembagakan wasiat wajibah untuk mengatasi persoalan cucu yang orang tuanya meninggal dunia lebih dahulu daripada kakek atau neneknya. Undang-Undang Wasiat Wajibah Mesir Nomor 71 Tahun 1946 disebutkan kandungan pokoknya sebagai berikut:6 1. Apabila mayit tidak mewasiatkan kepada keturunan dari anak laki-lakinya yang telah mati diwaktu dia masih hidup atau mati bersamanya sekali pun secara hukum, warisan dari peninggalannya seperti bagian yang berhak diterima oleh si anak laki-laki ini seandainya anak laki-laki ini hidup di waktu ayahnya mati. Maka wajiblah wasiat wajibah untuk keturunan anak laki-laki ini dalam peninggalan harta ayahnya menurut bagian anak laki-laki ini dalam batas-batas sepertiga; dengan syarat keturunan dari anak laki-laki ini bukan pewaris dan si mayit tidak pernah memberikan kepadanya tanpa imbalan melalui tindakan lain apa yang wajib diberikan kepadanya. Dan bila apa yang diberikan kepadanya itu kurang dari bagiannya maka wajiblah baginya wasiat dengan kadar yang menyempurnakan. Wasiat demikian diberikan kepada golongan tingkat pertama dari anak-anak laki-laki dari anak-anak perempuan dan kepada anak laki-laki dari anak-anak laki-laki dari garis laki-laki dan seterusnya kebawah; dengan syarat setiap pokok (yang menurukan) 6
Ibid, Hal. 24-25
Universitas Sumatera Utara
8
menghijab cabang (keturunannya) bukan menghijab cabang pokok yang lain dan bagian setiap pokok dibagikan kepada cabangnya. Dan bila pembagian warisan itu turun ke bawah seperti halnya kalau pokok atau pokok-pokok mereka yang sampai kepada si mayit itu mati sesudah si mayit dan kematian mereka (pokok-pokok) dalam keadaan tertib seperti tertibnya tingkat-tingkat. 2. Apabila mayit mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dengan wasiat yang melebihi bagiannya maka kelebihan wasiat itu merupakan wasiat ikhtiyariyyah. Dan bila ia mewasiatkan kepadanya dengan wasiat yang kurang dari bagiannya maka wajib disempurnakan. Bila ia mewasiatkan kepada sebagian orang yang wajib diwasiatkan dan tidak kepada sebagian yang lain maka orang yang tidak mendapatkan wasiat itu wajib diberi kadar bagiannya. Orang yang tidak diberi wasiat wajibah dikurangi bagiannya dan dipenuhi bagian orang yang mendapat wasiat yang kurang dari apa yang diwajibkan dari sisanya sepertiga. Bila hartanya kurang maka diambilkan dari bagian orang yang tidak mendapat wasiat wajibah dan dari orang yang mendapat wasiat ikhtiyariyyah. 3. Wasiat wajibah didahulukan atas wasiat-wasiat yang lain. Bila mayit tidak mewasiatkan kepada orang yang wajib diwasiati dan dia mewasiatkan kepada orang lain maka orang yang wajib diberi wasiat wajibah itu mengambil kadar bagiannya dari sisa dari sepertiga harta peninggalan bila sisa itu cukup; bila tidak maka dari sepertiga dari bagian yang diwasiatkan bukan dengan wasiat wajibah.
Universitas Sumatera Utara
9
Berdasarkan aturan perundang-undangan Mesir, wasiat wajibah ternyata diperuntukkan pada orang-orang yang memiliki nasab kepada si mayyit (pewaris) namun mereka dalam perhitungan bagian (fard) waris tidak mendapatkannya atau karena terhijab oleh ahli waris yang lebih tinggi derajatnya. Pada biasanya mereka adalah para cucu lelaki atau perempuan dari pancar lelaki maupun dari pancar perempuan. Berbeda dengan maksud dari Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, wasiat wajibah hanya diperuntukkan kepada anak angkat atau orang tua angkat saja. Pengaturan wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit dijelaskan dalam pasal 209. Pasal tersebut menunjukkan bahwa ketentuan pemberian wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam hanya diperuntukkan bagi anak angkat yang orang tua angkatnya meninggal dunia atau sebaliknya diberikan kepada orang tua angkat yang anak angkatnya meninggal dunia. Wasiat wajibah ini mempunyai tujuan untuk mendistribusikan keadilan, yaitu memberikan bagian kepada ahli waris yang mempunyai pertalian darah namun nash tidak memberikan bagian yang semestinya,7 atau orang tua angkat dan anak angkat yang mungkin sudah banyak berjasa kepada si pewaris tetapi tidak diberi bagian dalam ketentuan hukum waris Islam maka hal ini dapat dicapai jalan keluar dengan menerapkan wasiat wajib sehingga mereka dapat menerima bagian dari harta si pewaris. Istilah wasiat wajibah sekarang menjadi doktrin hukum baru dalam perbendaharaan hukum Islam. Dasar hukum wasiat wajibah merupakan produk penalaran hukum para yuris Islam sehubungan dengan upaya pengembangan hukum
7
Abdul Manan II, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, Hal. 169
Universitas Sumatera Utara
10
normatif Islam tentang wasiat. Dan bisa jadi merupakan diskreasi atas kekosongan hukum kewarisan terhadap orang-orang tertentu yang menuntut suatu keadilan. Atau bisa jadi terjadi ketidak adilan bagi ahli waris lain yang merasa adanya wasiat wajibah yang dapat merugikan hak bagian mereka. Dalam perkembangannya ternyata wasiat wajibah diberikan kepada pihakpihak di luar anak angkat dan orang tua angkat. Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, ternyata wasiat wajibah juga diberikan kepada ahli waris yang beragama non-muslim, yaitu terdapat pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368.K/AG/1995, putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51.K/AG/1999, dan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16.K/AG/2010, putusan-putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut menyatakan memberikan wasiat wajibah pada keluarga atau ahli waris non-muslim, jadi yurisprudensi tersebut berbeda dengan konsep Fikih Islam, dimana ahli waris yang berbeda agama tidak dapat mewarisi harta dari si pewaris yang beragama Islam. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang wasiat khususnya mengenai Wasiat wajibah, dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Prespektif Fikih Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non-Muslim)”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan dari penelitian ini, yaitu: 1. Mengapa dalam Fikih Islam tidak disebutkan siapa saja yang berhak mendapatkan wasiat wajibah?
Universitas Sumatera Utara
11
2. Bagaimana pandangan Ulama Fikih Islam tentang wasiat wajibah? 3. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan wasiat wajibah kepada keluarga atau ahli waris yang beragama non-muslim? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan dari latar belakang dan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui mengapa dalam Fikih Islam tidak menyebutkan siapa saja yang berhak mendapatkan wasiat wajibah. 2. Untuk mengetahui Bagaimana pandangan Ulama Fikih Islam tentang wasiat wajibah. 3. Untuk mengetahui apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam memutuskan wasiat wajibah kepada ahli waris yang beragama non-muslim. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian yang dilakukan ini dibedakan dalam dua, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis: a. Manfaat Teoritis Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut terhadap perkembangan pengetahuan di bidang Ilmu Hukum pada umumnya dan khususnya dalam Ilmu Hukum Waris Islam mengenai Wasiat Wajibah. Selain itu dapat juga sebagai referensi bagi pembaca umum dan mahasiswa Fakultas Hukum khususnya tentang Wasiat Wajibah.
Universitas Sumatera Utara
12
b. Manfaat Praktis Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada para mahasiswa, akademisi dan masyarakat umum yang berminat untuk mengetahui lebih dalam tentang Wasiat Wajibah. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dan secara khusus di lingkungan Pascasarjana program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara penelitian tentang “Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Presfektif Fikih Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non-Muslim) belum pernah ada yang menelitinya, tetapi pernah diteliti sebelumnya yang membahas tentang: 1. Achiriah, Nim: 992105031, Mahahsiswa Program Studi Megister Hukum, Fakultas Hukum, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul: “Pelaksanaan Wasiat Wajibah Terhadap Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam di Kota Medan”. 2. Muhammad Hekiki Mikhai, Nim: 107011107, Mahasiswa Program Studi Megister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul: “Analisis Hukum Islam Tentang Penetapan Hak wasiat Wajibah
Terhadap
Ahli
Waris
Non
Muslim
(Studi
Putusan
No.
014/PDT.P/2012/PA.Sby)”.
Universitas Sumatera Utara
13
3. Sahriani, Nim: 077011084, Mahasiswa Program Studi Megister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dengan judul: “Pembagian Harta Warisan Orang Yang Berbeda Agama Dalam Presfektif Hukum
Islam
(Studi
Kasus
Putusan
Mahkamah
Agung
RI
No.
51.K/AG/1999)”. F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Di dalam suatu penelitian diperlukan suatu dasar kerangka teori guna
dimaksudkan untuk mengemukakan beberapa teori berdasarkan pemaparan yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penulisan penelitian, sehingga diharapkan dapat melahirkan suatu pemikiran yang dapat diterima sebagai suatu landasan berfikir. Bagi suatu penelitian, teori atau kerangka teoritis mempunyai beberapa kegunaan. Kegunaan tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:8 a. Teori berguna untuk lebih mempertajam dan mengkhususkan faktor-faktor yang hendak diselediki atau diuji kebenarannya. b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistim klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan defenisi-defenisi. c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1982, Hal.121
Universitas Sumatera Utara
14
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang. e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti. Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau suatu proses tertentu terjadi.9 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.10 Teori bisa dipergunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Oleh karena itu, kegunaan teori hukum adalah sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.11 Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan menurut hukum Islam. Keadilan (A’dl) menurut hukum Islam tidak hanya merupakan dasar dari masyarakat Muslim yang sejati, sebagaimana di masa lampau dan seharusnya di masa yang akan mendatang.12 Berlaku adil sangat berkaitan dengan hak dan kewajiban. Hak yang dimiliki oleh seseorang, termasuk hak asasi harus diperlakukan secara adil. Hak dan 9
J.J.J. M. Wisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, Hal. 203 10 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, Hal. 80. 11 Mukti Fajar Nur Dewata Dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, Hal. 16. 12 Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih Dan Ushul Fiqih, Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2013, Hal. 99
Universitas Sumatera Utara
15
kewajiban terkait pula dengan amanah, sementara amanah wajib diberikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu, hukum berdasarkan amanah harus ditetapkan secara adil tanpa dibarengi rasa kebencian dan sifat negatif lainnya. Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilihat dari kaitannya dengan amanat kepada manusia untuk sesamanya. Khususnya amanat yang berkenaan dengan kekuasaan memerintah. Kekuasaan pemerintahan adalah sebuah keniscayaan demi ketertiban tatanan hidup kita. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah sikap patuh dari banyak orang kepada penguasa. Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan, namun kekuasaan yang patut dan harus ditaatai hanyalah yang mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan. Menurut penelitian M. Quraish Shihab, paling tidak ada empat makna keadilan: 13 a. Pertama, ‘adl dalam arti sama. Pengertian ini ditemukan di dalam Al-Quran Surah An-Nisa, Asy-Syura, Al-Ma’idah, An-Nahl, dan Al-Hujurat. Menurut Al-Baidhawi,
kata
‘adl
bermakna
“berada
dipertengahan
dan
mempersamakan. Pendapat seperti ini dikemukakan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkan disini dikenal oleh pakar bahasa Arab dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan perkara) berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Ini berimplikasi pada persamaan hak karena 13
Ibid, Hal. 96
Universitas Sumatera Utara
16
mereka sama-sama manusia. Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap manusia dan dengan sebab sifatnya sebagai manusia menjadi dasar keadilan dalam ajaran-ajaran ketuhanan. b. Kedua, ‘adl dalam arti seimbang. Pengertian ini ditemukan di dalam Al-Quran Surah Al-Ma’idah dan Al-Infithar. M Quraish Shihab menjelaskan bahwa keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Keadilan di dalam pengertian ‘keseimbangan’ ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah lah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan serta mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya mengantarkan kepada pengertian ‘keadilan illahi’. c. Ketiga, ‘adl dalam arti perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian inilah yang didefenisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah kezaliman, yakni pelanggaran terhadap hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam QS. Al-An’am. Pengertian ‘adl ini melahirkan keadilan sosial. d. Keempat, ‘adl dalam arti yang dinisbahkan kepada Allah. ‘adl di sini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat saat terdapat banyak kemungkinan
Universitas Sumatera Utara
17
untuk itu. Keadilan Allah mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Dalam Islam, persyaratan adil sangat menentukan benar atau tidaknya dan sah atau batalnya suatu pelaksanaan hukum dalam beberapa hal. Umpamanya dalam kewarisan, sebagaimana dikemukakan oleh Hasanain Muhammad Makhluf, ahli Fikih Kontemporer asal Mesir, bahwa Islam mensyaria’atkan aturan hukum yang adil karena menyangkut penetapan hak milik seseorang, yakni hak yang harus dimiliki seseorang sebagai ahli waris dengan sebab meninggalnya seseorang yang lain14. Keadilan dalam kewarisan tidak berarti membagi sama rata harta warisan semua ahli waris, tetapi berpihak kepada kebenaran sebagaimana yang telah digariskan Allah dalam Al-Qur’an. Jika laki-laki memperoleh lebih banyak dari perempuan ini terkait dengan tanggung jawab laki-laki yang lebih besar daripada perempuan untuk membiayai rumah tangganya. Jika menyimpang dari apa yang telah di gariskan dalam Al-Qur’an berarti pembagiannya telah dilakukan secara tidak adil. Dalam wasiat, yang harus dibayarkan adalah maksimal sepertiga dari harta yang diwariskan orang yang wafat, tidak boleh lebih. Artinya orang yang memberikan wasiat melebihi sepertiga harta warisan telah berlaku aniaya, yang merupakan kebalikan dari adil. Pengertian umum dari berlaku adil dalam masalah kewarisan dan wasiat juga termasuk larangan memakan harta orang lain dengan cara bathil, atau mengajukan kepada hakim untuk memakan sebagian harta orang lain (QS Al-Baqarah: 188).15
14 15
Ibid, Hal. 106 Ibid, Hal. 107
Universitas Sumatera Utara
18
2.
Kerangka Konsepsional Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsespsi
dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.16 Suatu kerangka konsepsionil, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.17 Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penlitian hukum, guna menghindari perbedaan penafsir dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini. Selanjutunya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:
16 17
Samasi, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, Hal. 3 Soerjono Soekanto, Op Cit, Hal.132
Universitas Sumatera Utara
19
a. Wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.18 Menurut
Ahmad
Rafiq
secara
etimologi,
para
ahli
hukum
Islam
mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru.19 Wasiat adalah pesan seseorang untuk memberikan suatu kepada orang lain setelah ia meninggal dunia.20 Wasiat adalah suatu tidakan untuk mengalihkan harta atau hak dari seseorang kepada orang lainnya dan berpindah-pindahnya setelah meninggal yang berwasiat. Juga dapat diartikan sebagai suruhan atau melakukan suatu perbuatan sesudah wafatnya seseorang.21 b. Wasiat wajibah menurut Ahmad Rafiq adalah tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.22
18
Johni Najwan, Hukum Kewarisan Islam, Yayasan Baitul Hikmah, Padang, 2003, Hal. 206 Abdul Manan II, Op Cit, Hal. 149 20 Moh. Muhibbin Dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Hal. 55 21 Hasballah Thaib I, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Medan, 1992, Hal. 36 22 Abdul Manan, Op Cit, Hal. 166 19
Universitas Sumatera Utara
20
Wasiat wajibah menurut Chairuman Pasaribu dan Suhrawarsi K. Lubis adalah wasiat yang dipandang sebagai telah dilakukan oleh seseorang yang akan meninggal dunia, walaupun sebenarnya ia tidak meninggalkan wasiat itu. 23 Wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung pada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia.24 c. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam.25 Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam.26 Hukum Islam adalah titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan (thalab), pemberian pilihan (takhyir), atau berupa ketetapan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, sebagai syarat bagi adanya sesuatu yang lain, sebagai penghalang (mani’) bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai pemberitahuan sah atau batalnya suatu pekerjaan serta rukhshah dan azimah suatu pekerjaan.27 Hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, yang aturan tersebut digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasulullah, yang hanya mengatur tindakan lahiriah dari manusia yang dikenai hukum.28 23 24
Ibid
Arif Furqan, Dkk, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Departemen Agama RI, Jakarta, 2001, Hal. 120
25
Ibid, Hal. 15 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 42 27 Alaidin Koto, Filsafat Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, Hal. 25 28 Ibid, Hal 26 26
Universitas Sumatera Utara
21
d. Kompilasi Hukum Islam bisa dikatakan sebagai materi hukum Islam yang paling sempurna untuk dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Peradilan Agama.29 Kompilasi Hukum Islam adalah hukum tidak tertulis, tetapi dihimpuan dalam sebuah buku.30 e. Fikih artinya paham atau pengertian. Ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al-Quran dan ketentuan-ketentuan umum yang dapat dalam Sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadis.31 Ilmu fikih adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam. f. Non-muslim berarti orang yang tidak atau bukan beragama muslim.32 G. Metode Penelitian Istilah metodologi berasal dari kata metode yang berarti jalan, namun demikian,
menurut
kebiasaan
metode
dirumuskan,
dengan
kemungkinan-
kemungkinan, sebagai berikut: 1) Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, 2) Suatu tekni yang umum bagi ilmu pengetahuan, 29
Fahmi Amruzi, Op Cit, Hal. 47 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2011, Hal. 54 31 Mohammad Daud Ali, Op Cit, Hal. 48 32 Pusat Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, Hal. 692 30
Universitas Sumatera Utara
22
3) Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur. 33 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal. Penelitian yuridis normatif atau penelitian doktrinal ini adalah penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas34. Penelitian hukum ini merupakan suatu penelitian hukum yang dikerjakan dengan tujuan menemukan asas atau doktrin hukum positif yang berlaku. Penelitian tipe ini lazim disebut sebagai studi dogmatik atau yang dikenal dengan doctrinal research35. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dikonsepkan sebagai apa yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.36
33
Soerjono Soekanto, Op Cit, Hal. 5 Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal. 13 35 Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, Hal. 86 36 Muslam Abdurrahman, Sosiologi Dan Metode Penelitian Hukum, Umm Press, Malang, 2009, Hal. 127 34
Universitas Sumatera Utara
23
Pangkal tolak pencarian asas dan doktrin ini adalah norma-norma hukum positif, maka sebenarnya kemungkinan penyelenggaraan penelitian doktrinal ini bergantung pada sudah atau belum selesainya dan pada sudah atau belum lengkapnya penelitian inventarisasi. Sementara itu, hasil-hasil yang akan diperoleh dalam penelitian ini akan ditentukan pula oleh bahan-bahan apa yang di dalam penelitian inventarisasi nyatanya diidentifikasikan dan diklasifikasikan sebagai hukum. Dalam hubungan ini, dapatlah secara ringkas disimpulkan bahwa konsepsi hukum yang dipilih dalam penelitian inventarisasi akan sepenuhnya menjadi predeterminan hasil akhir setiap penelitian doktrinal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Pada penelitian ini biasanya yang diteliti hanya bahan buku pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier37. 2.
Sumber Data Berhubung metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka
sumber data penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum tersier, yaitu: a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang terdiri dari Al-Quran, bukubuku fikih Islam, aturan hukum yang berbeda terdapat pada berbagai perangkat hukum atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan wasiat khususnya wasiat wajibah. 37
Soerjono Soekanto, Op Cit, Hal. 52
Universitas Sumatera Utara
24
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, bukubuku fikih yang berhubungan dengan penelitian ini. c. Bahan hukum tertier adalah meliputi dari kamus hukum warisan, artikelartikel, yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder. 3.
Teknik Pengumpul Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
studi pustaka, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Untuk memperoleh data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, dalam penelitian ini akan menggunakan alat penelitian studi dokumen atau pustaka atau penelitian pustaka dengan cara mengumpulkan semua dokumen-dokumen, buku-buku, dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini. 4.
Analisis Data Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam suatu penelitian.
Karena dalam penelitian ini data yang diperoleh akan diproses dan dimanfaatkan sedemikian rupa sampai didapat suatu kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data yang bersifat kualitatif. Kegiatan ini diharapakan akan memudahkan dalam menganalisis permasalahan yang akan dibahas, menafsirkan dan kemudian menarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara