1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Permasalahan Penelitian Gagasan hukum progresif (2002) muncul disebabkan oleh kegalauan menghadapi kinerja hukum yang banyak gagal untuk menyelesaikan persoalanpersoalan bangsa ini. Terutama sejak bergulirnya era reformasi, yang ditandai oleh ambruknya kekuasaan Presiden Suharto yang otoriter selama berpuluh-puluh tahun itu, harapan rakyat terhadap hukum sebagai sang juru penolong semakin melambung tinggi. Supremasi hukum sudah dianggap sebagai panacea, obat mujarab bagi semua persoalan. Harapan tersebut sangat membebani hukum untuk mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Di lain pihak berbagai polling dan survei menunjukkan, bahwa cukup banyak prestasi yang tidak memuaskan. Hal ini menyebabkan kesenjangan yang melebar antara harapan dan kenyataan, sehingga menuai kekecewaan (Supanto, 2010:1) Pemikiran Hukum Progresif Satjipto Rahardjo sebenarnya merupakan kritik terhadap sistem hukum modern yang eksistensinya tidak terlepas dari kemunculan negara modern. Negara bertujuan untuk menata kehidupan bersama masyarakat agar menjadi lebih baik dan sejahtera, dan pada saat yang sama, kekuasaan negara menjadi sangat hegemonial, sehingga seluruh yang ada dalam lingkup kekuasaan negara mendapat label negara, seperti undang-undang negara, peradilan negara, polisi negara
2
hakim negara. Bagi hukum perkembangan ini berujung pada dogmatisme hukum dan formalisme hukum. Hukum adalah sebuah tatanan (Hukum ada dalam sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi ke dalam tiga yaitu tatanan transedental, tatanan sosial dan tatanan politik) yang utuh (holistik) selalu bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai sesuatu yang eksis dan prinsipil. Pemikiran yang demikian itu akan dijumpai dalam banyak gagasan tentang hukum yang dicetuskan oleh Satjipto Rahardjo. Bagi Satjipto Rahardjo (2004: 14), hukum bukanlah sekedar logika semata, lebih daripada itu hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuine science). Hukum lebih sebagai objek ilmu daripada profesi, dengan selalu berusaha untuk memahami atau melihat kaitan dengan hal-hal di belakang hukum. Keinginan untuk melihat logika sosial lebih besar daripada logika hukum atau perundang-undangan, yang harus selalu dimaknai sehingga selalu up to date. Pemikiran konvensional yang selama ini mendominasi karakteristik berpikir ilmuwan hukum, bagi Satjipto Rahardjo merupakan tragedi pemikiran. Kritik Satjipto Rahardjo yang fundamental adalah bahwa hukum modern telah menghadirkan jarak antara hukum dengan semangat kemanusiaan yang seharusnya mendasari hukum itu sendiri. Dalam tradisi filsafat Positivistik yang legalistik dan linear, hukum modern mempunyai banyak kelemahan yang semakin menjauhkan citacita keadilan dari hukum. Hukum Progresif menolak hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan kemampuannya untuk mengabdi kepada kemaslahatan manusia.
3
Dalam wacana hukum Progresif, hukum mengikuti perubahan dalam masyarakat sekaligus mengubah masyarakat tersebut. Hukum tidak dapat hanya memikirkan urusannya sendiri tanpa memahami dan menyadari bahwa hukum tertanam dalam struktur politik tertentu. Hukum positif yang tertulis sebagaimana undangundang sangat sulit mengikuti perubahan atau mengubah masyarakat, karena sifatnya yang relatif kaku dan terbatas pada hal-hal tertentu. Oleh karena itu peranan hakim adalah penting, baik untuk mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada hukum positif tertulis maupun dalam pembentukan hukum oleh hakim sendiri dalam konteks perubahan masyarakat. Pada konteks Indonesia, hukum progresif hadir di tengah gagalnya dunia hukum di negara ini, dan menunjukkan kesalahan-kesalahan mendasar pada hukum yang selama ini ada. Menjalankan hukum tidak sekedar mengikuti secara hitam-putih kata per kata dari aturan hukum (according to the letter), melainkan juga harus menurut semangat dan cita-cita yang lebih dalam dari hukum itu sendiri. Menjalankan hukum haruslah dengan determinasi, empati, dedikasi, keberpihakan terhadap berbagai permasalahan dalam realitas kemasyarakatan dan berani untuk mencari jalan guna menyejahterakan masyarakat. Satjipto Rahardjo mencermati keadaan di Indonesia, bahwa kegagalan hukum untuk membawa para koruptor ke penjara pengadilan disebabkan oleh sikap submisif terhadap kelengkapan hukum yang berlaku seperti prosedur, doktrin, asas yang baku, dan formal; akibatnya hukum justru bisa menjadi ”safe heaven bagi koruptor” sehingga apabila dilihat dari sudut hukum progresif, maka cara-cara dan praktek berhukum
4
seperti itu tergolong kontra-progresif (Kompas, 7 Oktober 2004). Bertitik tolak dari sinilah dapat diambil titik perbedaan antara ilmu hukum praktek yang menggunakan paradigma dan parameter peraturan (rule), di sini manusia lebih untuk hukum. Sebaliknya hukum progresif memakai paradigma manusia (people) dan penerimaan paradigma manusia akan membawa ilmu hukum progresif untuk memedulikan faktor perilaku (behavior, experience). Bagi ilmu hukum progresif, hukum adalah untuk manusia bukan manusia untuk hukum. Sejak Indonesia mengalami pergeseran pemerintahan dari Orde Baru di era reformasi yakni diberlakukannya suatu eksperimentasi penerapan pemerintahan atas dasar sistem ”check and balance” dengan memberikan keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif; diharapkan dapat diperoleh keadilan yang merata bagi pencari keadilan. Ternyata keadilan yang didambakan oleh masyarakat justru semakin menimbulkan banyak kekecewaan. Hal ini misalnya dapat dilihat dari fakta terjadinya banyak kasus hukum; khususnya pelaku korupsi yang merebak di hampir semua birokrasi, baik dalam anggota legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Menurut Satjipto Rahardjo (Kompas, 15 Oktober 2006) bahwa untuk memberikan pengetahuan hukum progresif perlu adanya upaya sejak pada tingkat akademisi atau perguruan tinggi, karena pembelajaran hukum di Indonesia dilakukan dengan memberikan pemahaman secara abstrak dan umum untuk kemudian turun membicarakan hal-hal lebih kongkret; namun materi yang diberikan masih dalam bingkai hukum positif atau perundang-undangan yang ditujukan untuk menyiapkan tenaga-tenaga terampil dalam menggunakan hukum positif. Oleh karena itu hukum
5
progresif mempunyai tujuan pengembalian hukum sebagai ilmu sebenarnya yang pada akhirnya diciptakan untuk mengabdi pada manusia dan pada kemanusiaan bukan pada kapitalisme. Di sisi lain di harapkan agar hukum progresif dapat mengabdi pada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan sehingga pendidikan hukum sendiri harus mengutamakan pengembangan kemanusiaan untuk manusia bukan untuk hukum itu justru. Satjipto Rahardjo lebih menekankan pada pendidikan pendidikan tinggi hukum di kembangkan menjadi Fakultas hukum dengan hati nurani. Berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang semakin marak di Indonesia, baik yang dilakukan secara kelompok perorangan maupun kelompok atau institusi dan bahkan di lakukan intelektual yang sulit untuk dijerat hukum tentunya tidak terlepas adanya indikasi persekongkolan antara para pelaku dengan penegak hukum yang menarik keuntungan dalam proses terjadinya tindak pidana korupsi tersebut. Contoh kasus tindak pidana korupsi yang sampai hari ini belum menemukan titik terang penyelesaiannya yaitu kasus BLBI dan kasus Bank Century. Hukum tertulis yang ada seakan-akan tidak berdaya dan hanya sebagai kertas yang mati (Kompas, 15 Oktober 2006). Demikian juga kode-kode etik (profesi) yang berkembang di setiap lembaga tidak dapat memaksa kepada aparat penegak hukum, kode-kode etika profesi tersebut
sebenarnya
sangat
membantu
dalam
penegakan
hukum
karena
ketidakberdayaan hukum tertulis dalam mengatasi berbagai persoalan hukum yang saat ini terjadi. Banyaknya hambatan dan kegagalan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia disebabkan antara lain karena pengaruh tipe, sistem, hukum maupun praktek liberal
6
sehingga hukum progresif menawarkan bentuk pemikiran dan penegakan hukum yang tidak submisif terhadap sistem yang ada, tetapi lebih afirmatif dan dibutuhkan keberanian untuk melakukan pembebasan dari praktek konvensional dan menegaskan satu cara yang lain. Salah satu kata kunci dalam hukum progresif menolak status quo dan submisif dalam teori-teori. Setiap pikiran, pendapat, doktrin dan asas terbukti untuk ditinjau dan dipikirkan kembali penggunaannya, sikap tersebut konsisten dengan maksud hukum untuk manusia, dan bukan manusia untuk hukum. 2. Rumusan Masalah a. Apa latar belakang dan gagasan pokok hukum progresif Satjipto Rahardjo? b. Apa landasan filsafat hukum progresif Satjipto Rahardjo? c.
Apa relevansi pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif dengan pemberantasan tindak pidana korupsi di Wilayah Hukum Kejati Jateng ( penyelesaian kasus pada Griya Lawu Asri di Karanganyar ) ?
3. Keaslian Penelitian Kajian-kajian tentang hukum progresif memang telah banyak dilakukan namun pada umumnya baru sebatas pada level teori hukum; sedangkan penelitian yang mengkaji dasar-dasar filosofis (filsafat hukum) progresif Satjipto Rahardjo belum ditemukan. Beberapa kajian setingkat disertasi adalah karya; a. Yudi Kristiana berjudul: Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan Dengan Pendekatan Hukum Progresif (Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana
7
Korupsi), pada Program Doktor Ilmu Hukum, Undip, tahun 2007. Penelitian Yudi Kristiana ini hukum progresif dijadikan sebagai objek formal atau sudut pandang untuk analisis rekonstruksi birokrasi di kejaksaan. Dalam penelitian yang dikerjakan oleh penulis justru hukum progresif Satjipto Rahardjo akan dikaji landasan filosofinya sehingga pemikiran hukum progresif layak dijadikan landasan teori untuk berbagai penelitian yang akan datang. b. M. Samsudin berjudul : Rekonstruksi Budaya Hukum Berbasis Hukum Progresif studi Hermeneutik Hukum terhadap Keputusan Korupsi, pada Program Doktor Ilmu Hukum, Undip, tahun 2011. Hal yang sama dilakukan oleh M Samsudin yakni hukum progresif dijadikan sebagai titik tolak atau alat analisis atau obyek formal untuk mengkaji budaya hukum. Penelitian yang dilakukan peneliti jelas berbeda karena disertasi ini akan mengkaji hukum progresif Satjipto Rahardjo dalam perspektif filosofis. Disertasi ini dengan demikian originalitasnya dapat dipertanggungjawabkan, dua disertasi yang ada sejauh diacu sebagai referensi tetap akan dicantumkan dalam sitasi dan daftar pustaka. Walaupun demikian penelitian ini dapat dipandang pengembangan dari disertasi yang sudah ditulis.
sebagai
8
4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: a.
Bagi ilmu mengetahuan, penelitian ini akan memberikan sumbangan bagi pengembangan
ilmu hukum dan filsafat hukum tentang hukum progresif
sebagai salah satu alternatif dari teori hukum yang sudah ada. b.
Bagi pembangunan bangsa dan negara khususnya pembangunan di bidang hukum, pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif akan dapat dijadikan sumbangan pemikiran untuk mengatasi pelaku pemberantasan korupsi khususnya kasus GLA di Karanganyar.
c.
Bagi penelitian selanjutnya, penelitian ini akan memberikan informasi yang sangat bermanfaat bagi kajian pemikiran Satjipto Rahardjo dalam perspektif ilmu sosial yang lain.
B.Tujuan Penelitian 1. Menggali, menemukan dan mendeskripsikan gagasan pokok hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo. 2. Melakukan analisis kritis untuk menemukan landasan filosofis hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo. 3. Menemukan landasan filsafat
hukum progresif kemudian merefleksikan
sumbangan pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif dengan
9
pemberantasan korupsi di Jawa Tengah (Penyelesaian Kasus Korupsi GLA di Karanganyar). Terutama akan memberikan masukan soal paradigma baru untuk pemberantasan tindak pidana korupsi.
C. Tinjauan Pustaka Konsistensi pemikirannya yang holistik terhadap hukum menuntun Satjipto Rahardjo untuk berpikir melampaui pemikiran positivistik terhadap hukum sekalian berusaha memasukkan ilmu hukum ke ranah ilmu-ilmu sosial, salah satunya adalah sosiologi. Memasukkan hukum ke dalam ilmu-ilmu sosial adalah langkah yang progresif, karena dengan demikian memungkinkan hukum itu dianalisis dan dipahami secara lebih luas dan akan meningkatkan kualitas keilmuan dari Ilmu Hukum. Kemajuan ilmu-ilmu alam, ekonomi, sosial, politik seharusnya mendorong para ahli hukum untuk melihat apa yang dapat dimanfaatkan dari temuan-temuan disiplindisiplin ilmu tersebut bagi praktik hukum. Dikatakan oleh Schuyt (dukutip dari Suteki, 2011:1), bahwa kemajuan dalam bidang-bidang ilmu di luar hukum seharusnya menantang para ahli hukum yang baik untuk memberikan reaksi yang memadai dan bisa memilah-milah dengan bantuan disiplin ilmu lain, mana persoalan hukum yang bisa diselesaikan dengan baik. Kata kunci dalam gagasan hukum progresif adalah kesediaan untuk membebaskan diri dari faham status quo. Ide tentang pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan faktor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para pelaku (actor) hukum, yaitu keberanian (dare). Masuknya faktor keberanian tersebut
10
memperluas peta cara berhukum, yaitu yang tidak hanya mengedepankan aturan (rule), tetapi juga perilaku (behavior). Berhukum menjadi tidak hanya tekstual, melainkan juga melibatkan predisposisi personal. Pelaku hukum yang berani bukan sekedar pembicaraan atau sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata ada dalam masyarakat (Supanto, 2010: 1). Dalam hukum modern yang legalistik tidak ada ruang bagi pencari keadilan ataupun para aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim dan advokat untuk mengkontekstualisasikan secara lebih mendalam situasi terkait hukum yang dialami. Apa yang telah diundangkan sebagai doktrin dan dituliskan maka akan seperti itu adanya dan juga interprestasinya. Hukum menjadi satu bangunan aturan yang kaku, formal, dan bahkan jauh dari pemahaman atas substansi yang terkandung dalam kalimat per kalimat hukum tersebut. Tidak ada ruang sama sekali bagi pengembangan hukum berdasar perkembangan situasi kekinian masyarakat dan kehendak masyarakat. Padahal perkembangan masyarakat membawa pada perkembangan berbagai dimensi kehidupan yang berbeda dan semakin kompleks, dan hal ini tidak terlepas dari perkembangan terhadap hukum yang ada, baik secara formal maupun substansial sesuai dengan kebutuhan (Kriatiana, 2007:16). Dalam wacana Hukum Progresif, hukum mengikuti perubahan dalam masyarakat sekaligus mengubah masyarakat tersebut. Hukum tidak dapat hanya memikirkan urusannya sendiri tanpa memahami dan menyadari bahwa hukum tertanam dalam struktur politik tertentu. Hukum positif tertulis sebagaimana undang-undang tidak akan dapat mengikuti perubahan atau mengubah masyarakat, karena sifatnya yang
11
relatif kaku dan terbatas pada hal-hal tertentu. Oleh karena itu aparat penegak hukum dalam menegakkan aturan yang ada yaitu hukum positif tertulis perlu mencari terobosan yang khusus dalam melaksanakan tugas penegakan hukum lebih-lebih perbuatan yang sangat bertentangan dengan kemanusiaan dan masyarakat sendiri menjalankan seiring dengan berjalannya waktu. Legalitas atau formalisme hukum dalam hukum modern yang bermuara pada filsafat positivistik juga membawa pengaruh pada penegakan hukum. Tentu saja dalam setiap penanganan perkara aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, hakim maupun advokat hanya diperbolehkan mengacu pada aturan-aturan hukum yang berlaku secara formal. Sebab apabila tidak, maka kepastian berlakunya hukum akan terabaikan di sisi lain para pencari keadilan tidak lagi dapat mengandalkan hukum bagi pemecahan konflik yang mereka alami. Akan tetapi, kekakuan dan formalisme hukum juga berujung pada hal yang lain. Telah dikemukakan di awal bahwa penegak hukum mempunyai tujuan kepastian dan keadilan yang dijadikan landasan bagi hukum yang ada. Apabila aparat penegak hukum mengetahui bahwa dalam satu kasus hukum, aturan yang ada mewajibkan orang-orang yang tersebut dalam aturan untuk melakukan sesuatu hal yang belum tentu sesuai dengan nilai keadilan dan diyakini menjadi semangat para aparat penegak hukum tersebut, maka tetap tidak ada ruang bagi aparat hukum untuk melaksanakan tugas penegakan hukum diluar aturan formal tersebut. Apabila misalnya terdapat satu kelompok yang melakukan kritik terhadap satu kebijakan negara yang tidak berpihak kepada rakyat, dan kegiatan kritik ini masuk dalam aturan hukum sebagai kegiatan subversif, maka kelompok tersebut, atau orang-
12
orang dalam kelompok tersebut akan dikenai aturan hukum tentang kegiatan subversif, meskipun para aparat penegak hukum tahu bahwa kritik yang mereka lancarkan merupakan kritik atas nama keadilan; sehingga aparat penegak hukum tidak lagi memiliki otoritas dalam melaksanakan tugas dan kewenangan kecuali berdasarkan aturan-aturan yang berlaku karena tujuan hukum adalah cita-cita keadilan yang menjadi syaratnya tidak mendapat ruang untuk berbicara banyak. Hukum Progresif bertolak dari pengandaian dasar tentang hubungan antara hukum dan manusia. Prinsip yang ingin ditegaskan adalah bahwa hukum ada untuk manusia, dan bukan sebailknya;sehingga, hukum tidak berada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih besar, atau lebih maknawi dari hukum itu sendiri. Muncul satu permasalahan dalam dan dengan hukum, hukumlah yang seharusnya ditinjau, dikaji ulang, bukan manusia, atau cita-cita keadilan yang dipaksakan masuk ke dalam hukum. Hukum progresif karena bertitik-tolak dari pengandaian dasar tentang hubungan antara hukum dan manusia; maka hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya, disisi lain bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap manusia yang lain sehingga hukum adalah alat yang berfungsi untuk menyejahterakan dan mencapai keadilan bagi manusia. Secara Epistemologi manusialah yang bersifat konstitutif terhadap hukum, sehingga hukum bukan merupakan satu institusi yang mutlak dan final melainkan tergantung dari manusianya bagaimana cara menggunakannya. Ilmu hukum atau teori hukum selalu bergerak di antara hukum itu sendiri dan manusia dalam arti bahwa semakin ilmu/ teori tersebut
13
melandaskan hukum saja, maka semakin ilmu/ teori tersebut memutlakkan hukum dan semakin suatu ilmu/teori hukum melandaskan manusia maka ilmu/teori hukum tersebut ingin memberi ruang kepada faktor manusia (Supanto, 2010:2). Pada Prociding
Sarasehan Nasional 2011 tentang Implementasi Nilai-Nilai
Pancasila dalam Menegakkan Konstitusionalitas Indonesiayang diselenggarakan oleh UGM bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi R I di Yogyakarta pada 2 – 3 Mei 2011, ditulis sebagai berkut; 1. Bahwa sebelum mengemukakan tentang Hukum Progresif juga perlu dibahas adalah Keadilan Substansif, mengenai hal ini ada dua pendapat yaitu aliran hukum alam yang mensyaratkan hukum harus mengandung unsur substantif yakni nilai adil, sementara di pihak lain aliran hukum positif (positivisme) berpandangan lain soal nilai adil / keadilan sulit diukur oleh karena tidak ada alat ukur yang pasti yang bisa mengukurnya; bahwa hukum itu adil ataukah tidak adil (Sodiki, 2011: 165). Hukum progresif adalah lahir dari ketidakpuasan atas cara dan hasil penegakan hukum di Indonesia, baik berujud putusan pengadilan maupun tindakan negara yang tidak dapat menyuguhkan rasa keadilan masyarakat yang terus berubah. Ketidakpuasan tersebut dampak dari reaksi masyarakat atas putusan pengadilan atau tindakan negara yang ingin mewujudkan kepastian hukum yang telah diatur dalam undang-undang tetapi mengabaikan unsur nilai yang hidup dalam masyarakat. Di sini hukum hanya dipandang dari segi statiknya bukan dari segi progresnya. Padahal progres-progres itu juga mencerminkan perubahan yang sedemikian tinggi pada tuntutan nilai-nilai dan harapan terhadap hukum, yaitu tuntutan agar semakin dipenuhinya kesejahteraan, kebebasan, penghormatan terhadap hak azasi manusia serta terpenuhinya nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.Penegak hukum khususnya hakim
14
seharusnya melepaskan diri dari kungkungan hukum dengan melakukan terobosan hukum (law breaking). Penafsiran hukum, penemuan hokum, dan hukum diwujudkan untuk menggali, memahami dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (Sodiki, 2011: 169-170). 2. Keadilan substansifnya dalam bingkai nilai Pancasila merupakan tujuan akhir dan tertinggi dari proses penegakan hukum agar tercapai tujuan dimuka diperlukan syarat-syarat : a.
Penegakan hukum harus berbasis ilmu hukum berparadigma Pancasila.
b.
Kehidupan tekad bersama para aparat penegak hukum.
c.
Penegakan hukum tidak boleh dipisahkan dari aspek moral.
d.
Kebersamaan untuk melakukan pembebasan dari tradisi berpikir dan bertindak yang bersifat legal-positivistik.
e.
Melibatkan semua komponen bangsa. Juga perlu diketahui dan dipahami adanya benang merah yang tidak boleh terputus antara hukum progresif, keadilan substantif dan Pancasila (Sudjito, 2011: 173).
Hukum Progresif diajukan Satjipto Rahardjo antara lain disebabkan karena terjadinya karut marutnya penegakan hukum dan keadaan hukum di Indonesia yaitu dengan dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah konstitusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan membuat manusia bahagia. Hukum harus dipandang sebagai proses yang secara terus menerus membangun dirinya menuju tatanan yang ideal. Hukum Progresif tidak menerima hukum sebagai instutasi yang mutlak serta final. Kualitas hukum sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada manusia. Kualitas kesempurnaan hukum,
15
dengan demikian dapat diverifikasi kedalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat, dan lain-lain, itulah hakikat hukum yang sebenarnya. “Hukum selalu dalam proses menjadi (law as a prosess, law in the making)”. Jadi bukan hukum untuk dirinya sendiri, melainkan hukum untuk manusia dan kemanusiaan (Sudjito, 2011: 191). Selanjutnya aspek pangkal pemikiran dan ideal hukum untuk dikaitkan dengan teori-teori hukum yang sudah terlebih dahulu eksis akan tampak bahwa konsep hukum progresif
berupaya mengalahkan tradisi analytical yurisprudensi atau
rechdogmatik dan ini bukan berarti hukum progresif apriori terhadap kedua teori tersebut, akan tetapi ingin mengkritisi dan sekaligus berbagi pemikiran serta pengalaman agar kekurangan yang terdapat pada kedua teori tersebut dapat diatasi, (Sudjito, 2011: 191-192). 3. Seorang hakim agung mengemukakan bahwa hukum diberlakukan untuk masyarakat manusia, hukum bukan untuk hukum. Hukum dituntut untuk berisi nilai-nilai yang diperlukan bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, karena hukum mengatasi masalah hubungan sosial, budaya dan ekonomi juga mengkualifikasi dalam kekuasaan politik dan aspek kehidupan lainnya. Hukum mengkonstruksi hubungan individu dengan perihal lain dan mengkategorikan perbuatan yang salah dan benar. Setiap hukum dalam dirinya menandung sistem nilai, sehingga dipertanyakan keberadaan hukum jika satu masyarakat terjadi kekacauan sosial dan banyak ketidakadilan (Alkostar, 2011: 205). Dalam hal penegakan hukum pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan menjadikannya dalam hal ini tergambar secara jelas dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU no.4 tahun 2004 yang berbunyi : “ Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
16
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” menunjukkan bahwa keadilan menjadi wajib untuk tetap ditegakkan kendatipun tidak ada ketentuan hukum normatifnya. Keadilan merupakan kebutuhan pokok ruhaniah dalam tata hubungan masyarakat, keadilan merupakan bagian dari stub dari rokhaniah suatu masyarakat (Alkostar, 2011: 206). Terkait hukum progresif, Artidjo Alkostar berpendapat bahwa :Hukum Progresif harus diartikan sebagai hukum bersumber keadilan yang harus diimplementasikan. Melalui Prosedur yang legalitas, hukum progresif mendapat ruang dalam lembaga keyakinan hakim setelah melalui pemeriksaan fakta-fakta hukum dan norma yang muncul secara sah dipersidangan. Keadilan secara aksiologis bukan hanya sekedar kumpulan kriteria tetapi harus dijadikan proses dinamis dalam mencegah dan mereparasi ketidak adilan yang terjadi dalam masyarakat (Alkostar, 2011: 216). Salah satu cara berhukum yang sangat merisaukan gagasan hukum progresif adalah yang secara mutlak berpegangan pada kata-kata atau kalimat dalam teks hukum. Cara yang demikian itu merupakan hal yang banyak dilazimkan di kalangan komunitas hukum, yaitu yang disebut sebagai menjaga kepastian hukum. Hukum adalah teks itu dan tetap seperti itu sebelum diubah oleh legislatif. Cara berhukum tersebut hanya melihat sistem hukum sebagai mesin besar perundang--undangan yang harus dijalankan. Di sini penegakan hukum ibarat menjalankan teknologi “tekan tombol”. Para penegak hukum, seperti jaksa, hakim, sudah menjadi sekrup-sekrup belaka dari mesin yang besar itu. Hukum dengan lingkungannya, alam, dan orde kehidupan yang lebih besar, memasukkan studi hukum ke dalam orde yang lebih besar tersebut bertujuan untuk menghilangkan pemisahan antara hukum dan kehidupan manusia.Inilah yang dinamakan mengembalikan hukum ke dalam keutuhannya. Brian Z. Tamanaha
17
mengatakan bahwa hukum dan masyarakat memiliki bingkai yang disebut “The LawSociety Framework” yang memiliki karakteristik hubungan tertentu. Hubungan tersebut ditunjukkan dengan dua komponen dasar. Komponen pertama terdiri dari dua tema pokok yaitu ide yang menyatakan bahwa hukum adalah cermin masyarakat dan ide bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan “social order”. Komponen kedua terdiri dari tiga elemen, yaitu: custom/consent;morality/reason; dan positive law. Custom/consent and morality/reason dapat dipahami dalam pemikiran Donald Black sebagai culture. Pandangan Satjipto Rahardjo terhadap hukum dengan cara mengoreksi kekeliruan dan kekurangan paradigma positivistik dalam ilmu hukum mendorongnya untuk berpikir ulang terhadap cara mempelajari dan “cara berhukum” yang bertujuan menghadirkan “sebenar keadilan” atau sering disebut keadilan substantif. “Berhukum dengan hati nurani” itulah kalimat yang sering mengalir dari bibir maestro hukum ini (Suteki, 2011:3).
D. Landasan Teori Theo Huijbers dalam karyanya berjudul: Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (1982: 2) mengartikan filsafat sebagai aktivitas intelektual yang bersifat metodis dan sistematis guna menangkap makna hakiki dari keseluruhan yang ada dan gejala-gejala dari keseluruhan yang ada. Di antara gejala yang ditemui manusia dalam hidupnya adalah hukum. Oleh karena itu kajian secara kefilsafatan atas gejala hukum melahirkan filsafat hukum.
18
Salah satu fungsi filsafat hukum adalah untuk menguji keefektifan hukum positif. Fungsi tersebut lahir disebabkan oleh adanya tuntutan atas setiap hukum yang berlaku untuk dapat memenuhi kebutuhan maysrakat yang selalu berubah dalam setiap waktu dan tempat (Najmi, 1980: 99). Lebih lanjut dikatakan bahwa fungsi filsafat hukum adalah untuk mengukur apakah kaidah-kaidah, doktrin-doktrin dan lembagalembaga dapat bermanfaat bagi masyarakat, juga untuk memimpin penerapan hukum dengan menunjukkan tujuan hukum (Najmi, 1980: 100). Dalam kaitannya dengan perubahan hukum, Lawrence M. Friedman, (2009: 353-354) berpendapat bahwa tidak ada sistem hukum yang statis. Hukum senantiasa bergerak dan berubah. Perubahan hukum yang besar akan mengikuti dan bergantung pada perubahan sosial. Secara teoritis dibedakan empat tipe perubahan hukum. Pertama, perubahan yang berawal dari luar sistem hukum, yakni dari masyarakat, tetapi memengaruhi hukum saja dan berakhir di sana. Kedua, perubahan yang berawal dari luar sistem hukum dan melewati sistem hukum tersebut (dengan atau tanpa proses internal tertentu), kemudian sampai ke titik dampak ke luar sistem hukum yaitu masyarakat.Ketiga, perubahan yang berawal dari sistem hukum dengan menghasilkan dampak di dalam sistem hukum.Keempat, perubahan yang berawal dari dalam sistem hukum kemudian menembus sistem hukum tersebut dengan dampak akhir di luarnya, yakni masyarakat. Menurut Friedman (2009: 15-18), sebagai suatu sistem, hukum memiliki tiga elemen dasar. Pertama adalah struktur yang merupakan elemen nyata dari sistem hukum. Kedua substansi yang tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan-
19
ketentuan tentang bagaimana institusi-institusi harus berperilaku. Suatu sistem hukum adalah kesatuan dari peraturan-peraturan “primer’ dan “peraturan-peraturan sekunder”. Peraturan primer adalah norma-norma perilaku; peraturan sekunder terkait dengan bagaimana memutuskan dan tentang bagaimana memberlakukan norma-norma tersebut. Baik peraturan primer maupun sekunder adalah sama-sama merupakan output dari sebuah sistem hukum. Ketiga adalah kultur yakni elemen sikap dan nilai sosial. Kultur hukum mengacu pada bagian-bagian yang ada pada kultur umum, seperti adat-istiadat, opini, cara bertindak dan berpikir; yang mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju atau menjauh dari hukum dengan cara-cara tertentu. Di dalam kultur hukum ada hal-hal yang perlu diketahui yaitu mengenai tindakan hukum, dampak hukum dan hubungan diantara keduanya, ada tiga kelompok faktor yang menentukan dampak, sanksi. Pengaruh kelompok sebaya atau pengaruh sosial dan nilai-nilai internal (kesadaran murni, konsep-konsep legitimasi).Pada intinya kekuatan-kekuatan sosial itulah yang membentuk hukum (tindakan hukum) tetapi kekuatan-kekuatan sosial murni juga terlalu mudah untuk bisa langsung memengaruhi sistem hukum, sehingga perundangan (tindakan-tindakan hukum) adalah produk dari kekuatan-kekuatan sosial dan hasil dari tekanan, tawar menawar, konflik dan lain-lain. Begitupula halnya dengan perilaku bahwa perilaku hukum murni jelas bergantung pada perasaan dan sikap-sikap, hal tersebut juga menentukan apakah para subjek hukum akan membentuk kelompok, mengarahkan tekanan pada hukum untuk menghasilkan perubahan, bertindak sebagai pelanggar, pelawan dan semacamnya sehingga kultur hukum harus selalu masuk dalam pertimbangan; dapat dirumuskan
20
ulang proposisi dasar pembentukan hukum sebagai berikut: Kekuatan sosial, yakni kekuasaan dan pengaruhnya akan menghasilkan tekanan kepada sistem hukum dan akan menimbulkan tindakan hukum apabila kultur hukum mengubah kepentingan menjadi tuntutan atau memungkinkan terjadinya perubahan itu( Friedman, 2009: 254). Suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah organisme kompleks di mana struktur, substansi, dan kultur berinteraksi. Di sini struktur dan substansi merupakan ciri-ciri pokok yang terbentuk secara pelan-pelan oleh kekuatan sosial jangka panjang. Semua itu memodifikasi tuntutan-tuntutan yang berlangsung dan pada dirinya merupakan endapan jangka panjang dari tuntutan-tuntutan sosial lainnya.Kultur hukum juga dapat memengaruhi sikap masyarakat, misalnya apakah berguna atau tidak ke pengadilan bila tidak diperoleh keadilan. Perilaku hukum dengan demikian tidak dapat dipahami kecuali dalam konteks, termasuk di antaranya konteks kultural (Friedman, 2009: 18).
E. Metode Penelitian 1. Bahan atau Materi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yang bercorak kualitatif deskriptif. Objek material penelitian ini adalah konsep hukum progresif Satjipto Rahardjo, dengan objek formal filsafat hukum. Sebagai penelitian kepustakaan, maka berdasarkan kualifikasi sumber data yang relevan dengan penelitian, dipergunakan sumber data primer dan sumber data sekunder (Kaelan, 2005: 148-149).
21
a. Sumber pustaka primer Data primer adalah sumber kepustakaan utama berkaitan dengan objek material dalam penelitian ini, yaitu karya-karya utama Satjipto Rahardjo: 1) Satjipto Rahardjo, 2002, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah Univ. Press, Surakarta. 2) Satjipto Rahardjo, 2004, “Siapa Bilang Jaksa Tak Butuh Keberanian?”, artikel dalam Kompas, 4 Agustus 2004. 3) Satjipto Rahardjo, 2005, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum Progresif, Vol. 1, No. 1, April, hlm. 1-24. 4) Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif. Kompas. Jakarta. 5) Satjipto Rahardjo, 2009,Penegakan Hukum Suatu Tindjauan Sosiologi. Genta Publishing : Yogyakarta. 6) Satjipto
Rahardjo, 2009,Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum
Indonesia. Genta Publishing, Yogyakarta. 7) Satjipto Rahardjo, 2010, Penegakan Hukum Progresif, PenerbitKompas, Jakarta. b. Sumber sekunder Sumber sekunder meliputi buku - buku, dokumen-dokumen yang terkait dengan penegakan hukum tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Undangundang atau peraturan yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.
22
Institusi aparat penegak hukum dari kejaksaan maupun pengadilan. Tata cara penanganan kasus tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kejati Jawa Tengah khususnya kasus korupsi pada GLA di Karanganyar. 2. Langkah-Langkah Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Pengumpulan data yaitu mengumpulkan data pemikiran Satjipto Rahardjo dari buku-buku karangan Satjipto Rahardjo. b. Klasifikasi data yaitu mengelompokkan data yang telah diperoleh sesuai dengan kategori filsafat. c. Analisa data artinya data sudah diklasifikasi akan dianalisis berdasarkan landasan teori yang sudah ditentukan sebelumnya. d. Interpretasi data yaitu data yang sudah dianalisis kemudian diinterpretasi untuk mendapatkan pemahaman yang jelas tentang hukum progresif. 3. Analisis Hasil Setelah pengumpulan data kemudian di lakukan analisis data dengan metode sebagai berikut: a.
Historis, metode ini diterapkan untuk menerapkan periodesasi secara historis dan melakukan refivikasi sejarah agar hasil analisis memiliki konsistensi historis. Selain itu juga untuk melihat seputar perkembangan pemikiran
23
Satjipto Rahardjo berkaitan dengan konsep
hukum progresif dan
pemberantasan korupsi. b.
Hermeneutika, yaitu metode untuk mencari dan menemukan makna esensial yang terkandung
dalam pemikiran Satjipto
Rahardjo.Prinsip
kerja
hermeneutika untuk menentukan objektive geist yaitu makna terdalam esensial yang terkandung dalam objek penelitian, sehingga didapatkan pemahaman terhadap konsep hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo. c.
Heuristika, artinya menemukan hal-hal baru yang terkait dengan pemikiran Satjipto Rahardjo khususnya tentang hukum, sehingga dapat memperluas pemahaman terhadap pemberantasan korupsi dan gagasan baru bagi pemahaman bidang studi filsafat hukum.
F. Sistematika Penulisan Disertasi ini dibagi dalam enam (6) bab yang terbagi dalam beberapa sub-bab. Bab I adalah pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berjudul diskursus tentang filsafat hukum, bab ini dibagi menjadi pengantar, batasan dan ruang lingkup filsafat hukum, keduduksn filsafat hukum dalam sistematika ilmu filsafat, persoalan-persoalan dalam filsafat hukum, dan aliran-aliran utama dalam filsafat hukum. Bab III Garis Besar Pemikiran Satjipto Rahardja, terbagi dalam beberapa sub-bab, yakni riwayat hidup singkat Satjipto Rahardjo, fase-fase
24
perkembangan pemikiran Satjipto Rahardjo, sumber inspirasi pemikiran Satjipto Rahardjo, dan pengaruh pemikiran Satjipto Rahardjo dalam dunia hukum di Indonesia. Bab IV
berjudul Filsafat Hukum Progresif Satjipto Rahardja,
tentang Latar Belakang Lahirnya Hukum Progresif,
mencakup uraian
Gagasan Hukum Progresif
Satjipto Rahardjo, Landasan Filsafat Hukum Progresif Satjipto Rahardjo,
Refleksi
Filosofis Atas Hukum Progresif Satjipto Rahardjo. Bab V berjudul Relevansi Hukum Progresif Satjipto Rahardja dengan Pengelesaian Kasus Korupsi pada Grita Lawu Asri di Karanganyar. Bab ini membicarakan tentang Deskripsi Kasus, Progresif Satjipto Rahardjo atas Kasus
Analisis Hukum
Korupsi GLA di Karanganyar,
Hukum Progresif dalam Penyelesaian atas Kasus
Refleksi
Pemberantasan Korupsi GLA di
Karanganyar, Relevansi Hukum Progresif dengan Penyelesaian Kasus Korupsi GLA di Karanganyar. Bab VI adalah penutup terdiri dari dua sub yakni kesimpulan dan saran-saran.