BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Kanker kolorektal didefinisikan sebagai tumor ganas yang terjadi pada kolon dan rektum. Kolon berada di bagian proksimal usus besar dan rektum di bagian distal sekitar 5-7 cm di atas anus. Kolon dan rektum merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berfungsi menyerap sari makanan untuk menghasilkan energi bagi tubuh dan membuang zat-zat yang tidak berguna (Syamsuhidajat dan Jong, 2004). Kanker kolorektal adalah kanker dengan insidensi terbesar ketiga di dunia, dengan 1,4 juta kasus baru terdiagnosis pada tahun 2012.
Kanker
kolorektal merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga pada wanita dan lakilaki. Sebesar 54% kasus kolorektal terjadi di negara-negara maju, dengan insidensi terbesar di Eropa dan insidensi terendah di Afrika dan Asia (Ferlay et al., 2013). Insiden kanker kolorektal bervariasi secara geografik. Negara industri kecuali Jepang mempunyai insiden yang tertinggi, sedangkan Amerika Selatan dan China mempunyai angka kejadian yang relatif rendah. Hal ini disebabkan karena perbedaan pola diet dan faktor lingkungan di antara negara-negara tersebut( Halpert, 2006). Faktor risiko kanker kolorektal meliputi umur, diet tinggi lemak dan kolesterol, inflamatory bowel disease terutama kolitis ulseratif, dan genetik. Berdasarkan kajian epidemiologi, faktor lingkungan khususnya diet memberikan
1
2
peranan yang nyata sebagai faktor penyebab timbulnya kanker kolon dibandingkan risiko yang sama terhadap timbulnya kanker rektum. Faktor keturunan juga dapat berperan sebagai pencetus timbulnya kanker jenis ini. Predisposisi genetik pada kanker dapat timbul pada populasi umum sesuai hukum Mendel. Keturunan pertama
dari pasien yang menderita kanker kolorektal
mempunyai risiko tiga kali lipat lebih besar daripada kontrol (Sjamsuhidayat dan Jong, 2004). Terdapat lebih dari 940.000 kasus baru kanker kolorektal dan hampir 500.000 kematian akibat kanker kolorektal dilaporkan di seluruh dunia setiap tahunnya menurut WHO. Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara negara maju dan berkembang.Perbedaan ini juga terdapat pada frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan di negara barat dan Indonesia. Frekuensi kanker kolorektal di Indonesia sebanding antara laki-laki dan perempuan serta ditemukan pada seseorang yang berusia muda, sedangkan di negara barat kanker kolorektal lebih banyak ditemukan pada laki-laki dan banyak terdapat pada seseorang yang berusia lanjut (Syamsuhidayat dan Jong, 2004). Berdasarkan data yang disampaikan Halpert (2006), terdapat 152.000 orang di amerika serikat terdiagnosa kanker kolorektal pada tahun 1992 dan 57.000 orang meninggal karena karsinoma ini pada tahun yang sama. Angka kejadian kanker kolorektal mulai meningkat pada umur 40 tahun dan puncaknya pada umur 60-75 tahun. Kanker kolon lebih sering terjadi pada wanita, sedangkan
3
kanker rektum lebih sering ditemukan pada pria. Sekitar 5% penderita kanker kolon atau kanker rektum memiliki lebih dari satu kanker kolorektal pada saat yang bersamaan. (Halpert, 2006). Kasus kanker kolorektal mengalami peningkatan jumlah penderita secara signifikan di benua Asia. Insidensi terbesar untuk kanker kolorektal di Asia terdapat di Korea yaitu sebesar 45/100.000 penduduk (Ferlay et al., 2013). Menururt data di Departemen Kesehatan didapatkan insidensi kanker kolon 1,8 per 100.000 penduduk untuk Kodya Semarang (Sjamsuhidayat dan Jong, 2004). Menurut data registrasi kanker berbasis rumah sakit di Rumah Sakit Kanker Dharmais tahun 1993-2007, kanker kolon merupakan keganasan terbanyak yang menduduki peringkat ketujuh pada laki-laki dan merupakan penyebab kematian terbesar keenam akibat kanker pada laki-laki dan kesembilan pada perempuan (Suzanna et al., 2012). Kemajuan pengobatan dan penggunaan kemoterapi kombinasi pada beberapa dekade terakhir menyebabkan perubahan terhadap angka harapan hidup penderita kanker kolorektal. Penggunaan kombinasi kemoterapi dimulai sejak tahun 1990 dengan pemberian kombinasi
fluoruracil dan leucovorin (Saltz,
2000). Bevacizumab merupakan obat yang bekerja menghambat ekspresi dari Vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperan pada proses angiogenesis, dimana proses ini berhubungan dengan proses invasi dan metastasis kanker (Ferrara, 2003). Uji fase III kombinasi Bevacizumab dengan kemoterapi regimen oxaliplatin, capecitabine (XELOX) atau regimen oxaliplatin, 5FU, leucovorin (FOLFOX) meningkatkan median OS sebesar 21,3 bulan dibanding
4
19,9 bulan pada penggunaan FOLFOX atau XELOX dengan plasebo, meskipun hasil ini tidak bemakna secara statistik (Saltz, 2008). Median OS pada pasien kanker kolorektal metastatik yang diterapi dengan kombinasi kemoterapi kini dapat melampaui 20 bulan pada beberapa penelitian (Goldberg, 2006). Toksisitas terapi umumnya bukan merupakan faktor prognostik bagi pasien yang mendapat kemoterapi. Meskipun demikian, beberapa penelitian telah meneliti hubungan antara toksisitas yang terjadi dan hubungannya dengan peningkatan hasil terapi. Berbagai penelitian melaporkan bahwa toksisitas hematologi dapat menjadi petanda aktivitas biologis terhadap obat sitostatika pada berbagai tipe kanker (Wei et al., 2013). Studi terkini menilai faktor prognostik dari efek samping pemberian kemoterapi dengan kombinasi obat. Irinotecan dan oxaliplatin merupakan 2 jenis obat yang digunakan pada penderita kanker kolorektal yang mengalami metastasis yang diketahui mempunyai efek samping supresi sumsum tulang. Pada penelitian yang dilakukan oleh Laurie et al. (2014) pada 399 pasien kanker kolorektal yang telah mengalami metastasis dan mendapat minimal satu lini kemoterapi, didapatkan hasil bahwa toksisitas hematologi yang terjadi setelah pemberian kemoterapi siklus 1 dan ke 2 merupakan faktor prognostik terhadap OS yang lebih baik. Penelitian lain berupa review sistematik dan metaanalisis yang dilakukan oleh Shitara et al. (2011) pada 13 penelitian dari berbagai jenis kanker, didapatkan hasil leukopenia diketahui berhubungan dengan peningkatan survival pasien. Pasien dengan neutropenia mempunyai Hazard Ratio (HR) sebesar 0.69 (95% CI,
5
0.64-0.75) untuk terjadi kematian dibandingkan pasien yang tidak mengalami neutropenia. B. Pertanyaan Penelitian Apakah Overall Survivall pasien lebih dari 24 bulan dipengaruhi oleh kejadian neutropenia pasca kemoterapi? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui neutropenia sebagai prediktor outcome pada kanker kolorektal metastasis D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pasien, peneliti maupun institusi, berupa: 1. Manfaat bagi pasien, meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pasien terhadap adanya efek samping yang dapat mempengaruhi efektifitas kemoterapi. 2. Manfaat bagi peneliti, dapat memberikan data berbasis bukti mengenai nilai faktor prognostik neutropenia akibat kemoterapi dalam menilai efektifitas pemberian kemoterapi. 3. Manfaat bagi institusi, dapat menjadi sumber data dan bukti klinis yang dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan dan evaluasi pelayanan kesehatan. 4. Manfaat bagi ilmu pengetahuan, dapat menambah bukti klinis mengenai peran neutropenia sebagai salah satu faktor prognostik, sehingga
6
bermanfaat untuk mendorong penelitian lain tentang
efek samping
kemoterapi yang mempunyai arti klinis.
E. Keaslian Penelitian Tabel 1. Penelitian hubungan Neutropenia dan Overall Survival Pada Pasien Kanker Peneliti/Metode
Metode
Sampel
Saarto et al., 1997
Prospective study
211 pasien kanker payudara
Kishida et al.,2009
Randomized controlled trial
387 pasien NSCLC
Shitara et al, 2011
Systematic review and metaanalysis
13 penelitian dengan total sampel 9.528 pasien
Laurie et al., 2014
Cohort prospective study
399 pasien dengan kanker kolorektal
Penelitian ini
Case control study
80 pasien kanker kolorektal metastasis
Hasil neutropenia saat kemoterapi adjuvant merupakan marker biologis efikasi kemoterapi dan mempunyai distant disease free survival (DDFS) dan OS yang lebih baik (P=0.01 dan 0.04) Neutropenia merupakan prediktor survival yang lebih baik pada pasien NSCLC tahap lanjut. HR 0.59 ( CI 95%, 0.36–0.97) Neutropenia berhubungan dengan peningkatan survival dengan HR 0.69 (95% CI, 0.64-0.75) dibanding tanpa neutropenia Neutropenia berpengaruh signifikan terhadap survival pasien yang lebih baik HR 0.55 (CI 95%, 0.43-0.70) P < 0.0001 Meneliti proporsi kejadian neutropenia