BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Karyawan merupakan aset penting bagi perusahaan dalam menjalankan operasional perusahaan. Perusahaan harus mampu mempertahankan karyawankaryawan terbaiknya supaya mereka tidak keluar atau berpindah untuk bergabung dengan perusahaan lain. Kenyataan yang terjadi adalah masih tingginya tingkat karyawan yang memutuskan untuk keluar dan pindah ke perusahaan lain. Perpindahan yang dilakukan karyawan untuk keluar dari perusahaan disebut turnover (Price, 2001). Turnover berisiko hilangnya karyawan yang potensial bagi perusahaan, khususnya turnover yang disebabkan oleh keinginan karyawan sendiri (voluntary turnover). CEO Standard Chartered Bank, Aaker (2011) mengatakan bahwa tantangan terbesar Standard Chartered Bank dalam dunia perbankan adalah SDM. Tantangan tersebut mengharuskan pihak bank untuk merekrut orangorang yang berkualitas dan tetap menjaganya dengan banyak pelatihan. Perusahaan
melakukan
penambahan
500
orang
yang
berarti terdapat
penambahan SDM sebanyak 30% di Standard Chartered Bank. Penambahan 500 karyawan juga disertai dengan keluarnya 100 orang karyawan, termasuk pensiun dan pindah ke perusahaan lain. Bratadharma (2012) menyatakan bahwa masalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan persaingan merupakan penghambat utama bagi pertumbuhan industri perbankan. Halim (2013) menambahkan, terbatasnya SDM khususnya karyawan yang memiliki keahlian tertentu, akan menambah cost perusahaan untuk memberikan kenaikan gaji
1
2
pada karyawan. Hal ini disebabkan penentuan gaji sangat dipengaruhi oleh mekanisme pasar. Pada tabel 1 menunjukkan data dari Bank Indonesia (BI, 2012) mengenai jumlah bank umum di Indonesia dari tahun 2007 sampai Agustus 2012 mengalami penurunan. Meskipun demikian, jumlah kantor bank menunjukkan peningkatan pada periode yang sama. Peningkatan jumlah kantor membawa dampak pada meningkatnya jumlah permintaan karyawan untuk mengisi posisi tertentu. Data tersebut mengindikasikan semakin kompetitifnya persaingan antar bank dalam mencari sumber daya manusia yang potensial. Persaingan tersebut bisa memicu perpindahan karyawan sehingga hal ini menjadi perhatian serius bagi manajemen, tidak hanya dalam merekrut karyawan tetapi juga mampu mempertahankan karyawannya. Tabel 1. Jumlah bank umum dan kantor di Indonesia (sumber: www.bi.go.id) Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Jumlah Bank
130
126
121
122
121
120
Kantor Bank
2633
2759
2902
3099
3238
3331
Tren yang sekarang terjadi dalam dunia perbankan adalah adanya talent war yaitu pembajakan karyawan yang memiliki potensi bagus dari perusahan lain untuk bisa bergabung dengan perusahaan pembajak. Suwono (2011) yang merupakan Kepala Divisi Sumber Daya Manusia PT Bank Central Asia Tbk membenarkan bahwa tren talent war sangat agresif dalam dunia perbankan sehingga dapat mengurangi sumber daya manusia yang berkualitas yang dimiliki perusahaan dan mengganggu jalannya operasional perusahaan.
3
Setionegoro (2011), yang merupakan seorang konsultan manajemen seperti yang diberitakan di Tempo, mengatakan bahwa pembajakan terjadi karena perusahaan kurang mampu melakukan maintenance terhadap karyawan. Iskandar Setionegoro mengungkapkan bahwa kasus yang sering terjadi adalah permasalahan mengenai kebijakan atasan yang tidak jelas, leadership yang buruk, lingkungan kerja kurang kondusif, dan juga buruknya hubungan sesama rekan kerja. Faktor motivating seperti sistem jenjang karir dan gaji yang kurang baik, tidak adanya kesempatan yang lebih menantang bagi karyawan, dan minimnya apresiasi juga mendorong terjadinya talent war. Michael R Tampi, yang berprofesi sebagai Secured Loan Manager Metropolitan Jabotabek OCBC NISP, berdasarkan segi penghasilan, standar gaji pegawai bank cukup tinggi. Dalam satu tahun karyawan bisa mendapat 14-15 kali gaji. Meskipun demikian, risiko dan stres karyawan bank cukup tinggi (Tampi, 2010). Permasalahan turnover karyawan juga disampaikan oleh Robby Johan, yang berprofesi sebagai praktisi SDM. Menurutnya, di dalam bisnis perbankan jangan hanya berfokus pada faktor peningkatan gaji dalam mengurangi turnover karyawan. Faktor-faktor seperti tantangan pekerjaan, perlakuan sehari-hari yang saling respect, kesempatan menduduki posisi yang lebih strategis, kesempatan untuk tumbuh, dan memberikan sesuatu yang berarti bagi perusahaan, memiliki pengaruh yang besar terhadap loyalitas karyawan (Johan, 2012). Peningkatan faktor penggajian tanpa memerhatikan faktor-faktor yang sifatnya pengembangan hanya akan menumbuhkan loyalitas semu. Karyawan dengan loyalitas semu memiliki kerja keras dan kinerja yang baik namun hal tersebut tidak bertahan lama. Walaupun karyawan merasa mendapatkan imbalan
4
yang sesuai namun tidak menutup kemungkinan mereka pindah ke perusahaan lain jika mendapat penawaran gaji yang lebih menarik (Johan, 2012). Pertumbuhan bisnis perbankan di Indonesia berkembang pesat (Tampi, 2010). Michael R Tampi mengatakan bahwa turnover karyawan bank di Indonesia mencapai 15% - 20% per tahun. Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan tingkat turnover pada industri manufaktur yang berkisar 8% (Wulandari, 2008). Pada kasus lainnya, survey yang dilakukan oleh PwC (PriceWaterhouseCoopers) melalui PwC Indonesia (2012) menunjukkan bahwa tingkat turnover pada karyawan mencapai 10% - 20%. Berdasarkan tingkat turnover yang cukup tinggi menjadi tantangan bagi manajemen bank untuk lebih fokus memperhatikan sektor sumber daya manusia. Jumlah turnover terus meningkat dan tidak adanya perhatian akan meningkatkan cost bagi perusahaan untuk merekrut dan melakukan training bagi karyawan baru sebagai pengganti karyawan yang keluar sehingga perusahaan tidak mampu mencapai efisiensi secara maksimal. Setiadi (2012), Direktur Kepala Departemen Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI), mengatakan tingkat turnover pegawai di perbankan syariah megalami peningkatan. Rata-rata tingkat turnover pegawai mencapai 5% pada tahun 2009 dan meningkat menjadi 10% pada tahun 2010. Hal yang sama juga berlangsung di perusahaan multifinance dan asuransi syariah, dengan intensitas lebih kecil. Artinya kebutuhan pegawai terus meningkat sedangkan ketersediaan sumber daya manusia terbatas. Dian Muliawati, sebagai Kepala Bagian SDM di salah satu bank Yogyakarta mengatakan turnover masih terjadi dan menjadi masalah bagi perusahaan. Menurutnya perusahaan harus segera merekrut karyawan baru
5
untuk mengisi posisi yang ditinggalkan. Hal tersebut berdampak pada meningkatnya cost dan waktu untuk training, serta proses adaptasi karyawan dengan lingkungan kerja yang baru. Endyanta yang merupakan salah satu karyawan bank di Yogyakarta mengatakan dalam kurung waktu 1 tahun terdapat 10 karyawan yang keluar. Karyawan yang memutuskan keluar 50% mendapat tawaran untuk pindah ke perusahaan lain. Karyawan yang keluar lebih disebabkan karena beban kerja yang berat tidak diimbangi dengan salary yang sesuai. Kumar, Ramendran, dan Yacob (2012) mengatakan bahwa turnover karyawan menjadi isu yang serius khususnya pada bagian human resources. Tingkat turnover karyawan memberikan konsekuensi pada jumlah biaya operasional perusahaan dan mengurangi modal sosial perusahaan. Semakin tinggi tingkat turnover maka biaya yang harus dikeluarkan perusahaan akan semakin tinggi, hal ini berkaitan dengan proses rekruitmen dan seleksi yang harus dilakukan. Namun perusahaan tetap harus berusaha untuk mengisi posisi yang lowong setelah ditinggal oleh karyawan untuk menghindari tugas-tugas terbengkalai yang
akan
mengakibatkan
operasional perusahan
menjadi
terganggu. Taylor (2002) mengatakan bahwa tingkat turnover yang tinggi akan berimplikasi negatif pada perusahaan dan menjadi permasalahan yang harus dipecahkan oleh perusahaan. Hal tersebut didukung oleh Ali dan Baloch (2010) yang mengatakan bahwa turnover yang tinggi mengakibatkan tingginya biaya pelatihan, rendahnya antusiasme terhadap pekerjaan, tekanan pada karyawan, dan hilangnya sumber daya manusia. Spector (2012) mengatakan bahwa permasalahan turnover menjadi krusial apabila karyawan yang memiliki performa bagus selama bekerja memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Berdasarkan
6
beberapa penjelasan dari berbagai kasus di atas dapat disimpulkan bahwa turnover memiliki efek yang negatif bagi perusahaan dan menjadi hal penting yang harus diperhatikan oleh perusahaan perbankan. Kesimpulan yang bisa didapat yaitu, pertama, tingkat turnover karyawan bank di Indonesia cukup tinggi. Di Yogyakarta turnover masih menjadi masalah bagi perusahaan khususnya berkaitan dengan cost dan waktu dalam merekrut karyawan baru. Kedua, turnover memiliki dampak negatif pada perusahaan, yaitu hilangnya SDM potensial dan meningkatnya cost perusahaan. Oleh karena itu, isu mengenai turnover pada perbankan masih penting untuk dikaji. Turnover merupakan fenomena yang terjadi dalam lingkup organisasi atau perusahaan. Pada level karyawan sebagai individu maka pengkajian mengenai turnover mengacu pada intensi quitting individu dari pekerjaannya. Sari dan Judge (2004) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja berkorelasi dengan turnover dan absenteeism. Robbins (2005) menambahkan bahwa kepuasan kerja berkorelasi negatif terhadap turnover dan korelasinya lebih kuat daripada kepuasan kerja terhadap absenteeism. Jadi, karyawan yang mengalami ketidakpuasan pada pekerjaannya cenderung melakukan tindakan seperti keluar dari perusahaan dan tidak masuk kerja. Hwang dan Kuo (2006) mengatakan bahwa ada hubungan signifikan antara intensi turnover dengan turnover yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa intensi turnover merupakan tanda awal munculnya turnover. Beberapa penelitian mengenai intensi turnover menyebutkan bahwa kepuasan kerja menjadi salah satu faktor yang mampu memprediksi terjadinya intensi turnover (Mobley, 1977; Samad, 2006; Randhawa, 2007; Sang, Ison, & Dainty, 2008; Park & Kim, 2009; Ali & Baloch, 2010; Valentine, Godkin,
7
Fleischman, & Kidwell, 2010; Aydogdu & Asikgil, 2011; Mbah & Ikemefuna, 2012; Yucel, 2012). Penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki peranan terhadap intensi turnover antara 21,8% sampai 66%. Penelitian Randhawa (2007) menunjukkan bahwa ketidakpuasan dapat memprediksi munculnya intensi turnover sebesar 21,8%. Penelitian Ali dan Baloch (2010) pada karyawan public bank dan private bank, kepuasan kerja berhubungan negatif dengan intensi turnover. Beberapa penyebab terjadinya intensi turnover pada penelitian di atas disebabkan oleh kurang baiknya sistem jenjang karir dan gaji, jaminan keamanan kerja, kesempatan yang lebih menantang bagi karyawan, apresiasi, lingkungan kerja, dan hubungan sesama rekan kerja dan supervisi (Ali & Baloch, 2010). Penyebab-penyebab tersebut merupakan sumber dari ketidakpuasan kerja. Beberapa aspek kepuasan kerja yang tidak dipenuhi oleh perusahaan diprediksi mampu meningkatkan intensi turnover. Dampak meningkatnya intensi turnover adalah terjadinya turnover pada karyawan bank. Ali dan Baloch (2010) mengatakan bahwa kepuasan kerja masih menjadi faktor yang penting untuk dikaji dalam berbagai penelitian. Selain menyebabkan intensi turnover, ketidakpuasan kerja akan menimbulkan masalah serius lainnya bagi perusahaan. Karyawan yang mengalami ketidakpuasan kerja bisa melakukan tindakan yang merugikan perusahaan, seperti mencuri, memberikan pelayanan yang buruk terhadap konsumen, dan merusak citra perusahaan. Contoh kasus tindakan kriminal seperti mencuri seperti pada kasus PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Unit Subulussalam yang dilakukan oleh karyawan bank tersebut (Gunawan, 2012).
8
Pada penelitian Ali, Azam, Alam, dan Baloch (2010) menunjukkan tidak semua aspek dari kepuasan kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan intensi turnover. Faktor gaji, kondisi kerja, promosi, pengalaman, sifat pekerjaan, dan status sosial memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya intensi turnover. Namun, pada penelitian tersebut rekan kerja dan kepuasan pada supervisi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap intensi turnover. Faktor lain yang dapat mempengaruhi intensi turnover adalah quality of work life. Quality of work life merupakan variabel yang berbeda dengan kepuasan kerja (Riyono, 2012). Quality of work life menjadi nilai-nilai dan budaya perusahaan yang bisa diinterpretasi sebagai internal service quality yang merupakan bentuk kualitas lingkungan kerja (May, Lau, & Johnson, 1999). Davis dan Newstrom (1989) mengatakan bahwa rendahnya perhatian mengenai sistem quality of work life akan menimbulkan permasalahan bagi perusahaan. Ketatnya aturan dan hirarki perusahaan menyebabkan karyawan menjadi terisolasi dan hubungan interpersonal dengan rekan kerjanya menjadi terbatas. Hasilnya adalah meningkatnya turnover dan absenteeism. Artinya kepuasan kerja yang diikuti oleh quality of work life yang baik dapat menurunkan intensi turnover karyawan. Beberapa penelitian mengenai quality of work life dilakukan dalam memprediksi terjadinya turnover (Chan & Wyatt, 2007; Huang, Lawler, & Lei, 2007; Widharti, 2010; Mosadeghrad, Ferlie, & Rosenberg, 2011; Almalki, FitzGerald, & Clark, 2012, Setyawati, 2013). Pada penelitian Tarmizi (2008) menunjukkan bahwa quality of work life mampu memprediksi intensi turnover dengan komitmen normatif sebagai mediator. Penelitian Almalki, FitzGerald, dan Clark (2012) menunjukkan bahwa quality of work life pada perawat rumah
9
sakit/klinik kesehatan di Arab Saudi secara langsung memiliki hubungan yang signifikan dan mampu memprediksi intensi turnover sebesar 26%. Pada penelitian Chan dan Wyatt (2007) menunjukkan bahwa quality of work life mampu memprediksi intensi turnover pada karyawan bank, asuransi, dan maskapai sebesar 16%. Penelitian di Indonesia menunjukkan quality of work life secara signifikan mampu memprediksi intensi turnover (Widharti, 2010 ; Setyawati, 2013). Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa quality of work life merupakan faktor penting dalam memprediksi intensi turnover pada karyawan. Konsep quality of work life yang digunakan dalam mengkaji intensi turnover masih bervariasi. Razali (2004) mengembangkan konsep quality of work life yang terdiri dari growth dan development, participation, physical environment, supervision, pay dan benefits, social revelance, dan workplace integration. Penelitian Huang, dkk (2007) menunjukkan empat dimensi quality of work life yaitu
work/life
balance,
job
characteristic,
supervisory
behavior,
dan
compensations and benefits. Dimensi job characteristic dan work/life balance secara langsung memiliki hubungan negatif yang signifikan terhadap intensi turnover, sedangkan supervisory behavior dan compensations and benefits tidak secara langsung memiliki hubungan terhadap intensi turnover tetapi memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap komitmen organisasi. Chan dan Wyatt (2007) mengembangkan konsep quality of work life yang terdiri dari enam dimensi. Pertama, Health and safety needs, yaitu perlindungan kecelakaan di tempat kerja dan di luar tempat kerja serta jaminan kesehatan yang diterima. Kedua, economic and family needs, yaitu upah yang memadai, keamanan kerja dan kesempatan waktu yang diberikan perusahaan untuk
10
mengurus keluarga. Ketiga, social needs, yaitu hubungan sosial bersama kolega di tempat kerja dan waktu luang. Keempat, esteem needs, yaitu apresiasi yang diberikan baik di dalam maupun di luar perusahaan. Kelima, actualization needs, yaitu realisasi dalam memberikan kesempatan untuk mengembangkan potensi diri karyawan. Keenam, knowledge needs, yaitu belajar untuk meningkatkan skill dan profesionalitas karyawan. Pada penelitian quality of work life dari Almalki, dkk (2012) pada perawat rumah sakit menunjukkan bahwa quality of work life terdiri dari empat dimensi, yaitu work/life home life, work design, work context, dan work world. Empat dimensi quality of work life secara langsung memiliki hubungan negatif yang signifikan terhadap intensi turnover. Bervariasinya konsep mengenai quality of work life dan peranannya terhadap intensi turnover mendorong peneliti untuk menggunakan konsep quality of work life yang dikembangkan Riyono (2012) untuk melihat peranannya terhadap intensi turnover. Quality of work life pada penelitian ini menggunakan aspek yang berbeda dengan konsep quality of work life pada penelitian sebelumnya. Riyono (2012) mengembangkan konsep quality of work life yang berfungsi sebagai apa yang dirasakan karyawan secara psikologis di perusahaan dan terdiri dari faktor subjective well being dan faktor produktivitas. Faktor subjective well being terdiri dari trust, yaitu ada rasa saling percaya antar anggota organisasi seperti pada atasan dengan bawahan dan sesama rekan kerja. Kedua, care, merupakan saling peduli dan tolong menolong antar anggota organisasi antara atasan dan bawahan serta sesama rekan kerja. Ketiga, respect merupakan saling menghargai antar anggota organisasi antara atasan dan bawahan serta sesama rekan kerja. Faktor produktivitas terdiri dari learn, merupakan adanya semangat belajar terus menerus untuk berkembang
11
pada semua anggota organisasi. Kedua, contribute, merupakan adanya semangat dalam memberikan kontribusi dalam mewujudkan tercapainya tujuan organisasi. Ditambah dengan aspek other contribution yang merupakan seberapa semangat dan kekompakan anggota organisasi dalam satu tim (Riyono, 2012). Faktor usia merupakan faktor yang dapat mempengaruhi intensi turnover pada karyawan (Sree & Kamalanabhan, 2010; Almalki,dkk, 2012; Setyawati, 2013). Penelitian Sree dan Kamalanabhan (2010) pada perusahaan Information and Technology (TI) menunjukkan bahwa usia berpengaruh terhadap intensi turnover. Penelitian Almalki, dkk (2012) pada perawat di Arab Saudi menunjukkan bahwa usia memiliki pengaruh terhadap intensi turnover. Penelitian Setyawati (2013) menunjukkan bahwa usia memiliki pengaruh terhadap intensi turnover pada perusahaan penyedap rasa di Cilacap. Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa perbedaan faktor usia mempengaruhi munculnya intensi karyawan untuk keluar dari perusahaan. Berdasarkan beberapa uji beda pada penelitian sebelumnya maka penelitian ini tidak hanya menguji pengaruh perbedaan usia karyawan terhadap intensi keluar dari perusahaan namun mengkaji seberapa besar peranan faktor usia karyawan dalam memprediksi intensi quitting pada karyawan bank. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dalam penelitian ini menyertakan faktor usia sebagai prediktor selain kepuasan kerja dan quality of work life.
12
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian di atas, rumusan masalah dari penelitian ini adalah “apakah kepuasan kerja, quality of work life, dan usia karyawan mampu memprediksi intensi quitting pada karyawan bank di Yogyakarta?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini ingin mengkaji intensi quitting diprediksi dari kepuasan kerja, quality of work life, dan usia karyawan dan peranan masing-masing variabel dalam memprediksi intensi quitting pada karyawan bank di Yogyakarta.
Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis : Penelitian ini memberi sumbangan pengembangan ilmu pengetahuan dalam memprediksi terjadinya intensi quitting dengan mempertimbangkan faktor kepuasan kerja, quality of work life, dan usia karyawan.
b. Memberi masukan bagi dunia perbankan dalam memahami cara yang efektif untuk memprediksi intensi quitting dengan meningkatkan faktor kepuasan kerja, quality of work life, dan lebih peka terhadap karakteriistik usia karyawan.
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai intensi telah banyak dilakukan oleh peneliti. Samad (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ” The Contribution of Demographic
13
variables: Job Characteristics and Job Satisfaction on Turnover Intentions”. Subjek penelitian ini adalah 292 pada karyawan IT di Telecom Malaysia dengan metode kuantitatif melalui skala. Skala kepuasan kerja diadopsi dari Smith (dalam Samad, 2006). Skala karakteristik
pekerjaan
menggunakan Job
Diagnostic Survey (JDS) yang dikembangkan oleh Hackman and Oldman (dalam Samad, 2006). Skala intensi turnover diadopsi dari Donnelly and Ivancevich (dalam Samad, 2006). Hasil penelitian ini menunjukkan kepuasan kerja dan karakteristik pekerjaan memiliki kontribusi yang signifikan dan berdampak negatif terhadap intensi turnover. Pada penelitian Ali dan Baloch (2010) yang berjudul ”Job satisfaction and Employees Turnover Intention (Case Study of NWFP Pakistan Based Banking Sector)”. Subjek penelitian adalah 247 karyawan pada bank publik dan 326 pada bank privat dengan metode kuantitatif menggunakan skala. Skala kepuasan kerja dikembangkan oleh Ali dan Baloch (2010) menggunakan aspek pay, social status,
security,
promotion,
working
condition,
supervision,
recognition,
coworkers, nature of work, distributive justice, procedural justice, dan autonomy sedangkan skala intensi turnover dikembangkan oleh Ali dan Baloch (2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang negatif signifikan terhadap intensi turnover pada bank publik dan bank privat. Pada penelitian Almalki, dkk., (2012) yang berjudul ”The relationship between quality of work life and turnover intention of primary health care nurses in Saudi Arabia”. Subjek penelitian adalah 508 karyawan di Primary Health Center (PHC) di Arab Saudi. Skala quality of work life dikembangkan oleh Brooks dan Anderson (2005) berdasarkan aspek work life/home life, work design, work context, dan work world. Skala intensi turnover menggunakan ATS survey yang
14
dikembangkan oleh Hinshaw dan Atwood (dalam Almalki, 2012). Hasil penelitian menunjukkan quality of work life mampu memprediksi intensi turnover sebesar 26%. Pada penelitian Setyawati (2013) dengan judul “Pengaruh antara Kualitas Kehidupan Kerja, Hardiness, dan Persepsi mengenai Peluang Alternatif Pekerjaan terhadap Intensi Turnover”. Subjek penelitian adalah 167 karyawan pada perusahaan penyedap rasa X. Skala quality of work life dikembangkan oleh Setyawati (2013) berdasarkan aspek yang diungkapkan oleh Zare, dkk (dalam Setyawati, 2013) yang terdiri dari aspek work life balance, work social factors, work economic factors, dan job content. Skala quality of work life psikologis yang dikembangkan Riyono (2012) berdasarkan aspek-aspek trust, care, respect, learn, contribute, dan other contribute. Skala intensi turnover yang diadaptasi dari Widharti (2010) berdasarkan aspek yang dikembangkan Mobley, dkk (dalam Setyawati, 2013) berdasarkan aspek thinking of quitting, intent to search, dan intent to quit. Skala Hardiness yang dikembangkan oleh Setyawati (2013) bersarkan konsep dari Maddi & Kobasa (dalam Setyawati, 2013) yang terdiri dari aspek komitmen, kontrol, dan tantangan. Skala persepsi peluang alternatif pekerjaan dibuat oleh peneliti berdasarkan aspek general availability of alternatives dan expected utility of alternatives yang diungkapkan oleh Griffeth dan Hom (dalam Setyawati, 2013). Hasil penelitian tersebut menunjukkan secara bersama-sama kualitas kehidupan kerja, hardiness dan persepsi mengenai peluang alternatif pekerjaan mempunyai pengaruh terhadap intensi turnover dengan sumbangan efektif sebesar 64,5%. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, maka penelitian ini dapat dikatakan asli. Topik penelitian ini adalah peranan kepuasan kerja, quality of
15
work life, dan usia karyawan terhadap intensi quitting pada karyawan bank di Yogyakarta. Perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepuasan, quality of work life, dan usia karyawan kerja sebagai prediktor terhadap intensi quitting sebagai variabel dependen. Pada penelitian sebelumnya, mengenai quality of work life (psikologis) yang dilakukan pada perusahaan penyedap rasa X menunjukkan hanya aspek trust yang berdampak signifikan terhadap intensi turnover, sedangkan penelitian ini dilakukan pada perusahaan perbankan. Penelitian sebelumnya, mengenai kepuasan kerja terhadap intensi turnover pada bank publik dan bank privat di Pakistan, sedangkan pada penelitian ini dilakukan pada bank umum milik negara, bank swasta nasional, bank sentral, dan bank daerah .