BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampai saat ini, hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer dan merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8%, sesuai dengan data Riskesdas 2013. Di samping itu, pengontrolan hipertensi belum adekuat meskipun obat-obatan yang efektif banyak tersedia (Anonim, 2014). Sebagai tempat pelayanan kesehatan primer, tentunya puskesmas memiliki peran penting dalam pengobatan dasar bagi pasien hipertensi. Saat ini hipertensi adalah faktor risiko ketiga terbesar yang menyebabkan kematian dini, hipertensi berakibat terjadinya gagal jantung kongestif serta penyakit cerebrovasculer. Gejala-gejalanya antara lain pusing, sakit kepala, keluar darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal, dan lain-lain. Penyakit ini dipengaruhi oleh cara dan kebiasaan hidup seseorang, sering disebut sebagai the silent killer disease karena penderita tidak mengetahui kalau dirinya mengidap hipertensi. Penderita datang berobat setelah timbul kelainan organ akibat hipertensi. Hipertensi juga dikenal sebagai heterogeneouse group of disease karena dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur, sosial dan ekonomi. Kecenderungan berubahnya gaya hidup akibat urbanisasi, modernisasi dan globalisasi memunculkan sejumlah faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kesakitan hipertensi (Anonim, 2006).
1
Hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah, yang cukup banyak mengganggu kesehatan masyarakat. Pada umumnya, terjadi pada manusia yang setengah umur (Iebih dari 40 tahun). Namun banyak orang tidak menyadari bahwa dirinya menderita hipertensi. Hal ini disebabkan gejalanya tidak nyata dan pada stadium awal belum menimbulkan gangguan yang serius pada kesehatannya (Anonim, 2006). Prevalensi hipertensi di seluruh dunia diperkirakan antara 15-20%. Pada usia setengah baya dan muda, hipertensi ini lebih banyak menyerang pria daripada wanita. Pada golongan umum 55-64 tahun, penderita hipertensi pada pria dan wanita sama banyak. Pada usia 65 tahun ke atas, penderita hipertensi wanita lebih banyak daripada pria. Penelitian epidemiologi membuktikan bahwa tingginya tekanan darah berhubungan erat dengan kejadian penyakit jantung. Sehingga, pengamatan pada populasi menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dapat menurunkan terjadinya penyakit jantung (Anonim, 2006). Sebagai pelayanan kesehatan primer, Puskesmas memiliki peran penting dalam penatalaksanaan berbagai macam penyakit baik yang menular maupun tidak menular. Hipertensi sebagai penyakit yang tidak menular tentunya juga menjadi salah satu penyakit yang banyak dijumpai di pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas. Dengan adanya peningkatan ekonomi masyarakat dan seiring dengan perkembangan makanan baik di pedesaan maupun di perkotaan akan meningkatkan pula kasus hipertensi. Warga dari pedesaan pada khususnya akan lebih memilih
sarana kesehatan yang lebih dekat dengan tempat tinggal mereka sehingga Puskesmas akan menjadi pilihan pertama bagi warga pedesaan untuk mengatasi penyakitnya, termasuk hipertensi. Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian tentang hipertensi di Puskesmas mengenai pola pemberian obat antihipertensi pada pasien hipertensi rawat jalan di Puskesmas Salaman II, Kabupaten Magelang pada periode Januari-Desember 2014. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian yaitu: 1. Bagaimana pola pemberian obat antihipertensi pada pasien hipertensi di Puskesmas Salaman II periode Januari - Desember 2014. 2. Bagaimana karakteristik pasien hipertensi di Puskesmas Salaman II periode Januari – Desember 2014. 3. Apa saja jenis obat antihipertensi yang digunakan di Puskesmas Salaman II periode Januari – Desember 2014. 4. Bagaimana Kesesuaian penggunaan obat antihipertensi di Puskesmas Salaman II periode Januari – Desember 2014 menurut pedoman Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas (PPDP) 2011 dan Joint National Committe on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII (JNC 7).
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui pola pemberian obat antihipertensi pada pasien hipertensi di Puskesmas Salaman II periode Januari-Desember 2014. 2. Mengetahui karakteristik pasien hipertensi di Puskesmas Salaman II periode Januari – Desember 2014. 3. Mengetahui jenis obat antihipertensi apa saja yang digunakan di Puskesmas Salaman II periode Januari – Desember 2014. 4. Mengetahui kesesuaian penggunaan obat antihipertensi di Puskesmas Salaman II periode Januari – Desember 2014 menurut pedoman Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas (PPDP) 2011 dan Joint National Committe on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII (JNC 7). D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Puskesmas Hasil dari penelitian ini dapat memberikan gambaran bagaimana pola pemberian obat antihipertensi serta dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam memberikan obat antihipertensi pada pasien hipertensi di Puskesmas Salaman II. 2. Bagi Perguruan Tinggi Terkait Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya yang terkait dengan pola pemberian obat antihipertensi pada pasien hipertensi.
E. Tinjauan Pustaka 1. Profil Puskesmas Puskesmas Salaman II terletak di perbatasan Kabupaten Magelang – Kabupaten Purworejo tepatnya di jalan Magelang-Purworejo km 21 di Desa Krasak Kecamatan Salaman. Wilayah kerja puskesmas ini meliputi 10 Desa yaitu Desa Krasak, Desa Margoyoso, Desa Kaliabu, Desa Sawangarga, Desa Sidosari, Desa Ngampeldento, Desa Tanjunganom, Desa Jebengsari, Desa Purwosari, dan Desa Sriwedari (Anonim, 2013).
9 10 8
2 1
3
4
7 6 5
Gambar 1. Wilayah Kerja Puskesmas Salaman II Keterangan: 1. Desa Margoyoso 6. Desa Jebengsari 2. Desa Kaliabu 7. Desa Tanjunganom 3. Desa Krasak 8. Desa Sidosari 4. Desa Sawangargo 9. Desa Ngampeldento 5. Desa Sriwedari 10. Desa Purwosari
Data tahun 2011 menyebutkan, terdapat 10 jenis penyakit yang termasuk dalam kategori penyakit yang paling banyak diderita oleh pasien puskesmas. Penyakit-penyakit tersebut antara lain infeksi akut lain pada saluran pernapasan bagian atas sebanyak 4492 kasus, hipertensi primer sebanyak 2228 kasus, diare dan gastroenteritis non spesifik sebanyak 1107 kasus, penyakit pulpa dan
jaringan
periapikal sebanyak 545 kasus, faringitis sebanyak 539 kasus, konjungtivitis sebanyak 537 kasus, varicella sebanyak 459 kasus, penyakit kulit karena jamur sebanyak 359 kasus, gout sebanyak 293 kasus, dan tonsilitis sebanyak 261 kasus (Anonim, 2013). Dilihat dari data tersebut, hipertesi primer menempati posisi kedua terbanyak dalam hal jumlah kasus.
2. Hipertensi Penyakit Hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥140 mm Hg (tekanan sistolik) dan/ atau ≥90 mmHg (tekanan diastolik) (Joint National Committe on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII (JNC 7), 2004). Nilai sistolik menunjukkan fase darah yang dipompa oleh jantung, sedangkan nilai diastolic menunjukkan fase darah yang kembali ke jantung (Anonim, 2006).
Tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah di dalam arteri. Secara umum, hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya resiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal (Anonim, 2007). Hipertensi memiliki tanda dan gejala tertentu. Keluhan-keluhan yang tidak spesifik pada penderita hipertensi antara lain:
a. Sakit kepala b. Gelisah c. Jantung berdebar-debar d. Pusing e. Penglihatan kabur f. Rasa sakit didada g. Mudah lelah, dan lain-lain (Anonim, 2006). Sedangkan gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah ditemui menurut Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi sebagai berikut: a. Gangguan Penglihatan b. Gangguan Saraf c. Gangguan jantung d. Gangguan Fungsi Ginjal
e. Gangguan Serebral (otak) yang mengakibatkan kejang dan perdarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan, gangguan kesadaran hingga koma (Anonim, 2006). Dilihat dari faktor penyebabnya, hipertensi dikelompokkan menjadi dua. Dari Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut: a. Hipertensi Hipertensi primer : 90 – 95% tidak diketahui penyebabnya b. Hipertensi sekunder : 5 – 10 % 1) beberapa perubahan pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah. 2) penyakit ginjal 3) kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). 4) feokromositoma, yaitu tumor pada kelenjar adrenal yang menghasilkan hormon epinefrin (adrenalin) atau norepinefrin (noradrenalin). 5) Kegemukan (obesitas), gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah raga), stres, alkohol atau garam dalam makanan 6) Stres cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk sementara waktu, jika stres telah berlalu, maka tekanan darah biasanya akan kembali normal.
Tabel I. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7 tahun 2004 Kategori
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normal
≤ 120
dan ≤ 80
Prehipertensi
120 – 139
atau 80 – 90
Hipertensi derajat 1
140 – 150
atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2
≥ 160
atau ≥ 100
Menurut Infodatin Hipertensi tahun 2014, selain jenis hipertensi berdasarkan penyebabnya terdapat pula hipertensi jenis lainnya yaitu: a. Hipertensi Pulmonal Suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada pembuluh darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas, pusing dan pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasar penyebabnya hipertensi pulmonal dapat menjadi penyakit berat yang ditandai dengan penurunan toleransi dalam melakukan aktivitas dan gagal jantung kanan. Hipertensi pulmonal primer sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan, lebih sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian pertahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival sampai timbulnya gejala penyakit sekitar 23 tahun. Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National Institute of Health; bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih dari 35 mmHg atau "mean" tekanan arteri pulmonalis lebih dari 25 mmHg pada saat
istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktifitas dan tidak didapatkan adanya kelainan katup pada jantung kiri, penyakit myokardium, penyakit jantung kongenital dan tidak adanya kelainan paru. b. Hipertensi Pada Kehamilan Pada dasarnya terdapat 4 jenis hipertensi yang umumnya terdapat pada saat kehamilan, yaitu: 1) Preeklampsia-eklampsia atau disebut juga sebagai hipertensi yang diakibatkan kehamilan/keracunan kehamilan (selain tekanan darah yang meninggi, juga didapatkan kelainan pada air kencingnya). Preeklamsi adalah penyakit yang timbul dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. 2) Hipertensi kronik yaitu hipertensi yang sudah ada sejak sebelum ibu mengandung janin. 3) Preeklampsia pada hipertensi kronik, yang merupakan gabungan preeklampsia dengan hipertensi kronik. 4) Hipertensi gestasional atau hipertensi yang sesaat. Penyebab hipertensi dalam kehamilan sebenarnya belum jelas. Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut diakibatkan oleh kelainan pembuluh darah, ada yang mengatakan karena faktor diet, tetapi ada juga yang mengatakan disebabkan faktor keturunan, dan lain sebagainya (Anonim, 2014).
Diagnosa dari hipertensi di Puskesmas ditegakkan dengan mengukur tekanan darah setelah seseorang duduk / berbaring 5 menit. Apabila pertama kali diukur tinggi (140/90 mmHg) maka pengukuran diulang 2 x pada 2 hari berikutnya untuk meyakinkan adanya hipertensi (Anonim, 2007). 3. Epidemiologi Diperkirakan pada 50 juta populasi penduduk Amerika, 30% diantaranya memiliki tekanan darah yang tinggi (≥140/90 mmHg), berdasarkan hail survey yang dilakukan National Health and Nutrition Examination sepanjang tahun 1999-2000. Berdasarkan hasil survey tersebut prevalensi hipertensi pada pria sebesar 30,1% dan pada wanita 27,1%. Dari data tersebut tampak peningkatan yang signifikan pada wanita dari tahun 1988-2000, sedangkan prevalensi pda pria cenderung tetap (Dipiro, 2005). Kejadian hipertensi lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita sebelum mencapai 55 tahun. Sedangkan dari usia 55 sampai 74 tahun, jumlah wanita mengalami hipertensi lebih banyak daripada pria, bertambahnya usia diiringi dengan meningkatnya prevalensi dilihat dari perbedaan jenis kelamin (>75 tahun). Pada populasi lansia usia ≥60 tahun, prevalensi hipertensi pada tahun 2000 diperkirakan mencapai 65,4% (Dipiro, 2005). 4. Penatalaksanaan Terapi Hipertensi Menurut Depkes RI dalam Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas tahun 2011, penatalaksanaan hipertensi di Puskesmas adalah sebagai berikut:
a. Langkah awal biasanya adalah mengubah pola hidup penderita: 1) Menurunkan berat badan sampai batas ideal. 2) Mengubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan atau kadar kolesterol darah tinggi. 3) Mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari 2,3 gram natrium atau 6 gram natrium klorida setiap harinya (disertai dengan asupan kalsium, magnesium dan kalium yang cukup) dan mengurangi alkohol. 4) Olah raga aerobik yang tidak terlalu berat. 5) Penderita hipertensi esensial tidak perlu membatasi aktivitasnya selama tekanan darahnya terkendali. 6) Berhenti merokok. b. Terapi obat pada hipertensi dimulai dengan salah satu obat berikut ini: 1) Hidroklorotiazid (HCT) 12,5 – 25 mg perhari dosis tunggal pada pagi hari (Pada hipertensi dalam kehamilan, hanya digunakan bila disertai hemokonsentrasi / udem paru) 2) Atenolol mulai dari 25-50 mg sehari sekali 3) Kaptopril 12,5 – 25 mg tiap 8-12 jam. 4) Amlodipin mulai dari 5mg tiap 24 jam, bisa dinaikkan 10 mg tiap 24 jam. c. Hipertensi pada anak langsung dirujuk.
Sedangkan penatalaksanaan yang dilakukan untuk mengatasi hipertensi dalam Pedoman Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi tahun 2006 adalah sebagai berikut: a. Pengendalian Faktor Risiko Pengendalian faktor risiko yang dapat dilakukan antara lain: 1) Mengatasi obesitas/menurunkan kelebihan berat badan. 2) Mengurangi asupan garam didalam tubuh. 3) Ciptakan keadaan rileks 4) Melakukan olah raga teratur 5) Berhenti merokok 6) Mengurangi konsumsi alkohol (Anonim, 2006) b. Terapi Farmakologi Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara seminimal mungkin menurunkan gangguan terhadap kualitas hidup penderita. Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal, masa kerja yang panjang sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat ditambahkan selama beberapa bulan pertama perjalanan terapi (Anonim, 2006).
Pemilihan obat tunggal atau kombinasi yang cocok bergantung pada keparahan penyakit dan respon penderita terhadap obat anti hipertensi. Beberapa prinsip pemberian obat anti hipertensi sebagai berikut : 1) Pengobatan
hipertensi
sekunder
adalah
menghilangkan
penyebab
hipertensi 2) Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi. 3) Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti hipertensi. 4) Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan seumur hidup (Anonim, 2006). Pada saat seseorang ditegakkan diagnosisnya menderita hipertensi maka yang pertama dilakukan adalah mencari faktor risiko apa yang ada, maka dilakukanlah usaha untuk menurunkan faktor risiko yang ada dengan modifikasi gaya hidup, sehingga dapat dicapai tekanan darah yang diharapkan. Bila dalam jangga waktu 1 bulan tidak tercapai tekanan darah normal, maka terapi obat pilihan diperlukan. Terapi obat yang diperlukan sesuai dengan derajat hipertensi dan ada tidaknnya indikasi khusus, seperti diabetes melitus, kehamilan, asma bronchial, kelainan hati dan kelainan darah. Terapi pertama obat pilihan adalah pertama golongan tiazid, kedua golongan penghambat enzim konversi angitensin,
kemudian diikuti golongan antagonis kalsium. Bila terapi tunggal tidak berhasil maka terapi dapat dikombinasikan. Bila tekanan darah tidak dapat dicapai baik melalui modifikasi gaya hidup dan terapi kombinasi maka dilakukakanlah sistem rujukan spesialistik (Anonim, 2006). MODIFIKASI GAYA HIDUP Kurangi berat badan Aktifitas fisik teratur Hindari minuman beralkohol
Mengurangi asupan garam Berhenti merokok
Tekanan darah normal tidak tercapai (<140/90mmHg, <130/80mmHg pada penderita diabetes dan penyakit ginjal kronis) PILIHAN OBAT UNTUK TERAPI PERMULAAN
Hipertensi tanpa indikasi khusus Hipertensi derajat 1 Umumnya diberikan diurertik, gol thiazide hipertensi. Bisa dipertimbanglkan pemberian penghambat ACE, beta blocker, Antagonis Ca, atau kombinasi.
Hipertensi dengan indikasi khusus
Hipertensi derajat 2 Umumnya diberikan kombinasi 2 macam thiazide dan penghambat ACE atau antagonis (ARB) atau beta blocker, atau antagonis Ca.
Obat-Obatan untuk Indikasi Khusus. Obat antihipertensi lainnya (Diuretik, Penghambat ACE, ARB, Beta Blocker, antagonis Ca sesuaiyang diperlukan.
Sasaran tekanan darah tak tercapai Optimalkan dosis atau penambahan jenis obat sampai tekanan darah tercapai. Pertimbangkan konsultasi dengan dokter spesialis hipertensi. Gambar 2. Pedoman penatalaksanaan hipertensi menurut Panduan Teknis Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi 2006
5. Antihipertensi Obat antihipertensi memiliki berbagai macam golongan. Obat-obatan tersebut menurut Pedoman Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi tahun 2006 digolongkan seperti berikut: a. Diuretik Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh (Iewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek turunnya tekanan darah. Digunakan sebagai obat pilihan pertama pada hipertensi tanpa adanya penyakit lainnya (Anonim, 2006). b. Penghambat Simpatis Golongan obat ini bekerja denqan menghambat aktivitas syaraf simpatis (syaraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas). Contoh obat yang termasuk dalam golongan penghambat simpatetik adalah metildopa, klonodin dan reserpin. Efek samping yang dijumpai adalah anemia hemolitik (kekurangan sel darah merah kerena pecahnya sel darah merah), gangguan fungsi hati dan kadang-kadang dapat menyebabkan penyakit hati kronis. Saat ini golongan ini jarang digunakan (Anonim, 2006). c. Beta Bloker Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah
diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronkhial. Contoh obat golongan betabloker adalah metoprolol, propanolol, atenolol dan bisoprolol. Pemakaian pada penderita diabetes harus hati-hati, karena dapat menutupi gejala hipoglikemia (dimana kadar gula darah turun menjadi sangat rendah sehingga dapat membahayakan penderitanya). Pada orang dengan penderita bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan) sehingga pemberian obat harus hati-hati (Anonim, 2006). Beta-bloker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina karena dapat terjadi fenomena rebound (Aprianti, 2010). d. Vasodilator Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot pembuluh darah). Yang termasuk dalam golongan ini adalah prazosin dan hidralazin. Efek samping yang sering terjadi pada pemberian obat ini adalah pusing dan sakit kapala (Anonim, 2006). e. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin Kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat yang dapat meningkatakan tekanan darah). Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah kaptopril. Efek samping yang sering timbul adalah batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas (Anonim, 2006).
f. Antagonis Kalsium Golongan obat ini bekerja menurunkan daya pompa jantung dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah : nifedipin, diltizem dan verapamil. Efek samping yang mungkin timbul adalah sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah (Anonim, 2006). g. Penghambat Reseptor Angiotensin II Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obatobatan yang termasuk golongan ini adalah valsartan. Efek samping yang mungkin timbul adalah sakit kepala, pusing, lemas dan mual (Anonim, 2006). F. Kerangka Teori Hipertensi merupakan salah satu penyakit dengan jumlah penderita terbanyak di Indonesia.Sebagai tempat pelayanan kesehatan primer, tentu Puskesmas memiliki peran penting dalam pengobatan hipertensi.Antihipertensi yang dipilihkan harus sesuai dengan kondisi yang dialami pasien agar pemberian obat rasional (POR) dapat tercapai. Peresepan obat antihipertensi di Puskesmas memiliki pola yang berbeda pada setiap daerah tergantung pada karakteristik pasien hipertensi yang datang memeriksakan diri ke Puskesmas tersebut, juga tergantung pada penyakit pasien apakah terdapat penyakit penyerta atau tidak. Instrumen utama yang digunakan dalam
memperoleh pola pemberian obat antihipertensi adalah catatan rekam medis pasien hipertensi rawat jalan di Puskesmas. Selain itu dapat pula dianalisa lebih lanjut mengenai kerasionalan obat antihipertensi yang diberikan pada pasien. Proses pencatatan rekam medis ditunjukkan pada gambar 3. Pasien hipertensi ke puskesmas
Pemberian antihipertensi
Pencatatan data pada rekam medis
Gambar 3. Gambaran umum proses pencatatan rekam medis di Puskesmas
G. Kerangka Konsep Sesuai dengan rumusan masalah mengenai bagaimana pola pemberian obat antihipertensi pada pasien hipertensi rawat jalan di Puskesmas Salaman II periode Januari - Desember 2014, maka dibutuhkan data dari rekam medis pasien di Puskesmas Salaman II pada periode tersebut. Data rekam medis kemudian dianalisis sehingga didapat pola pemberian obat antihipertensi di Puskesmas Salaman II. Kerangka konsep penelitian yang akan dilakukan terlihat pada gambar 4. Pengambilan data rekam medis
Pengolahan data rekam medis
Pola pemberian obat antihipertensi
Analisis data rekam medis
Gambar 4. Gambaran umum proses pengolahan data penelitian
H. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai karakteristik pasien hipertensi yang berkunjung di Puskesmas Salaman II periode JanuariDesember 2014 yang meliputi karakteristik berdasarkan jenis kelamin, umur, dan tingkat tekanan darah. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui gambaran pola pemberian obat antihipertensi baik tunggal maupun kombinasi, dan kesesuian pemberian obat antihipertensi berdasarkan standar JNC 7 dan Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011 untuk pasien hipertensi yang berkunjung di Puskesmas Salaman II periode Januari-Desember 2014.