1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia industri yang berjalan dengan pesat menuntut adanya kualifikasi pekerjaan dan peralatan serta teknologi yang kompleks. Penggunaan teknologi di lingkungan kerja selain memberikan dampak positif, juga memberikan pengaruh buruk pada pekerja, terutama apabila tidak dikelola dengan baik. Dampak proses dan lingkungan kerja yang tidak dikelola dengan baik adalah terjadinya penyakit akibat kerja (PAK), penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan, dan kecelakaan kerja yang dapat mengakibatkan kecacatan bahkan kematian (Budiono, 2003; Kemenkes RI, 2010). Penyakit akibat kerja (occupational disease) adalah penyakit yang diderita akibat pemaparan terhadap faktor
risiko yang timbul dari kegiatan bekerja
(International Labour Organization/ILO, 1996). Selanjutnya, penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan (work related disease) adalah penyakit yang dicetuskan, dipermudah, atau diperberat oleh pekerjaan, lingkungan kerja, proses kerja, dan risiko lain yang terkait (WHO, 2014). Penyakit-penyakit ini terjadi terutama sebagai akibat paparan faktor risiko yang timbul dari aktivitas kerja. Data ILO menunjukkan sekitar 160 juta pekerja menjadi sakit karena bahaya di tempat kerja, dan sekitar 2,34 juta meninggal akibat penyakit dan kecelakaan yang berhubungan dengan pekerjaan (ILO, 2013a). Selanjutnya, data dari National Center for Health Statistics, Centers for Disease Control and Prevention, U.S. Department of Health and Human Services tahun 2000 dalam National Alliance
2
for
Nutrition and Activity (NANA) (2003) menunjukkan jumlah kematian
tertinggi berdasarkan penyebab pada pekerja adalah penyakit jantung sebanyak 710.760 kasus, disusul kanker 553.091 kasus dan stroke 167.661 kasus. Penelitian Lieber (2008) menemukan bahwa pekerja berisiko tinggi menderita penyakit jantung koroner (PJK), dan PJK juga menjadi penyebab utama kematian pekerja. Selanjutnya, data prasurvei yang dilakukan pada dua perusahaan (perusahaan A dan B) di Provinsi Riau, menunjukkan bahwa penyakit degeneratif merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh pekerja. Berdasarkan data penyakit rumah sakit perusahaan A tahun 2010 dan 2011, diketahui bahwa penyakitpenyakit yang terkait dengan sindroma metabolik (SM) seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner (PJK) (seperti ischemic heart disease) dan dislipidemia menjadi penyakit yang banyak dialami oleh pekerja. Hasil yang tidak jauh berbeda juga ditunjukkan oleh data perusahaan B. Berdasarkan data kegiatan medical check up (MCU) perusahaan B periode 20 Juni 2011 s/d 14 Januari 2012 diketahui bahwa gangguan kesehatan dan penyakit terkait dengan SM seperti berat badan (BB) lebih, dislipidemia, hipertensi, dan diabetes mellitus menjadi penyakit yang banyak (termasuk sepuluh besar) dialami oleh pekerja. Data rumah sakit perusahaan A tahun 2010 menunjukkan ada tujuh kematian pada pekerja, dengan penyebab terbanyak adalah PJK (tiga kasus), selebihnya kanker saluran pernafasan (dua kasus), multi organ failure dan death on arrival (DoA) yang diduga mengalami serangan jantung masing-masing satu kasus. Selanjutnya, tahun 2011 terdapat satu kematian pekerja dengan penyebab PJK. Berdasarkan data statistik dan penelitian di atas, diketahui bahwa penyakit
3
degeneratif merupakan penyakit yang sering terjadi dan menjadi penyebab kematian nomor satu pada pekerja. Penyakit degeneratif adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan penyakit yang muncul akibat kemunduran fungsi sel tubuh, yaitu dari keadaan normal menjadi lebih buruk. Salah satu pemicu terjadinya penyakit degeneratif adalah SM. Kejadian SM di dunia cenderung meningkat sekitar 10-40%. Tentunya angka ini juga merupakan sumbangan dari kejadian pada pekerja. Beberapa hasil penelitian menunjukkan peningkatan kejadian SM di kalangan pekerja, di antaranya Alegria et al. (2005); Lohsoonthorn et al. (2007) dan Davila et al. (2010). Kejadian SM pada pekerja Indonesia juga cenderung meningkat. Penelitian Semiardji (2004) menemukan bahwa penyakit pada pekerja sekitar 24,4% adalah terkait dengan SM. Berdasarkan data MCU Perusahaan A periode Oktober 2013 s/d Februari 2014, diketahui bahwa dari 505 orang yang melakukan pemeriksaan, teridentifikasi sebanyak 111 orang mengalami SM (21,98%). Banyak faktor yang berhubungan dengan timbulnya SM. Faktor tersebut antara lain adalah faktor pekerjaan. Jenis pekerjaan tertentu menyebabkan seseorang cenderung untuk berperilaku tidak sehat, misalnya perilaku sedenter. Perilaku sedenter adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan yang pengeluaran energi hanya sedikit di atas tingkat beristirahat, dan biasanya ditandai dengan duduk yang dapat terjadi di tempat kerja (Nathan dan Delahanty, 2009). Menurut Nurlaila (2011), aktivitas fisik di kantor semakin sedikit dibandingkan dengan 50 tahun silam. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hanya 6,5% orang dewasa yang melakukan aktivitas fisik sambil bekerja. Hal lainnya, hanya
4
20% pekerja dengan pekerjaan yang membutuhkan aktivitas fisik, menurun daripada era 1960-an yang sebesar 50%. Para pekerja pada saat ini membakar 140 kalori lebih sedikit dibandingkan dengan 50 tahun silam. Penyebab hal ini karena semakin hilangnya tugas kehidupan yang memerlukan upaya fisik yang keras. Pekerjaan
yang cenderung membuat orang menjadi kurang gerak
(membutuhkan sedikit energi) antara lain adalah pekerjaan di belakang meja/kantor. Pekerjaan seperti ini misalnya operator mesin/komputer, pekerja yang melaksanakan tugas-tugas administratif, pekerjaan seorang sekretaris, manajer, dan lain-lain. Banyak pekerja yang mengeluhkan badannya makin gemuk, tetapi tidak menyadari bahwa asupan energi terlalu banyak, yang biasanya karena kegiatan mengemil atau makan yang dilakukan terlalu sering. Akibatnya, tubuh menimbun banyak energi yang jika tidak digunakan dengan banyak aktivitas fisik akan menumpuk menjadi lemak (Bararah, 2011). Dampak perilaku sedenter adalah terjadinya peningkatan prevalensi overweight maupun obesitas di kalangan pekerja. Berdasarkan data Verweij et al. (2009), lebih 30% populasi pekerja di Belanda mengalami overweight dan sekitar 6% mengalami obesitas. Hasil prasurvei pada dua perusahaan di Provinsi Riau tahun 2012, diketahui bahwa lebih 50% partisipan mengalami overweight dan obesitas masing-masing 52,4% dan 56,8%. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pekerja yang berisiko untuk mengalami SM. Beberapa teori dan hasil penelitian telah membuktikan adanya hubungan faktor perilaku dengan munculnya SM dan penyakit degeneratif. Penelitian McGinnis dan Foege (1993, cit. NANA, 2003) menunjukkan bahwa diet tidak
5
sehat dan perilaku sedenter merupakan penyebab kematian pada pekerja, yakni 310.000-580.000 kasus, disusul karena perilaku merokok, yakni 260.000-470.000 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa kematian pada pekerja, sebagian besar karena dampak perilaku yang tidak sehat. Sayogo (2009) menyatakan bahwa beberapa faktor risiko pemicu seseorang mengalami SM adalah karena physical inactivity (sedentary lifestyle), diet tidak sehat dan kondisi stres. Konsekuensi dari masalah kesehatan yang dialami pekerja merupakan kerugian besar bagi perusahaan. Secara keseluruhan, diperkirakan kerugian yang dialami perusahaan sebagai dampak PAK dan kecelakaan kerja setiap tahun lebih dari US$2,8 triliun atau sekitar 4% dari produk domestik bruto (ILO, 2013a). Biaya yang timbul ini setiap tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan. Komponen biaya tersebut adalah: 1) kelompok biaya langsung, seperti biaya; kompensasi pada pekerja, karena ketidakmampuan/kecacatan, dan pengobatan, 2) kelompok biaya tidak langsung, seperti biaya; karena ketidakhadiran pekerja, karena adanya pergantian tenaga kerja (replacement labour), dan kerusakan peralatan kerja, dan 3) kelompok biaya oportunitas, seperti hilangnya inovasi kerja, berkurangnya kualitas dan penurunnya produktivitas kerja. Berdasarkan permasalahan di atas, perlu upaya yang ditujukan untuk menurunkan kesakitan dan kematian pada pekerja. Upaya yang dapat dilakukan adalah penerapan pelayanan kesehatan kerja (occupational health). Andil upaya ini dalam mengatasi permasalahan kesehatan pekerja sangatlah besar. Upaya kesehatan kerja ditujukan antara lain untuk mempelajari cara pengukuran (identifikasi risiko), evaluasi (penilaian besar risiko) dan penanggulangan bahaya
6
di tempat kerja (Harrianto, 2010). Upaya kesehatan kerja juga termasuk mencegah dan mengelola penyakit. Kegiatannya antara lain adalah promosi kesehatan di tempat kerja (workplace health promotion/WHP). Promosi kesehatan di tempat kerja dapat menolong pekerja mengubah perilaku mereka agar bergerak menuju status kesehatan dan kapasitas kerja yang optimal. Banyak pendekatan perubahan perilaku yang dapat diaplikasikan. Pendekatan tersebut ada dalam bentuk model perubahan perilaku sehat secara individual (model of individual health behavior), interpersonal (interpersonal health behavior model) serta model komunitas dan kelompok (community and group models of health behavior chance) (Glanz et al., 2008). Penerapan perubahan perilaku di tempat kerja bersifat lebih kompleks. Perubahan perilaku tidak saja didorong oleh faktor-faktor individu, tetapi juga sangat ditentukan oleh peran faktor eksternal/lingkungan. Faktor pekerja yakni faktor demografis (umur, jenis kelamin, latar belakang keluarga, tingkat sosial), faktor perilaku dan kemampuan belajar. Faktor lingkungan menyangkut komitmen dan kebijakan perusahaan, ketersediaan sarana-prasarana pendukung perilaku sehat di lingkungan kerja, dukungan sosial (dari tenaga kesehatan dan keluarga) serta implementasi program yang efektif dan efisien (Setyawati, 2010). Berdasarkan kenyataan ini, aplikasi WHP yang digunakan dalam perubahan perilaku adalah secara komprehensif. Pendekatan ini maksudnya adalah mengintegrasikan beberapa model perubahan perilaku dalam satu konteks yang menyeluruh, sehingga dalam hal ini banyak pihak/subjek (multilevel) dan prediktor dilibatkan dan dijadikan tolok ukur keberhasilan perubahan perilaku.
7
Upaya mengatasi PAK melalui WHP, khususnya di Indonesia, masih belum terealisasi secara menyeluruh (Setyawati, 2010). Banyak implementasi WHP di perusahaan hanya bersifat partial dan menjadi tanggung jawab satu departemen saja. Perubahan perilaku juga hanya terfokus pada intervensi pada individu, dan tanpa pendekatan yang komprehensif. Kadang-kadang pekerja hanya dijadikan sebagai objek (kurang dilibatkan sebagai pelaku perubahan), tidak ada upaya monitoring dan evaluasi keberhasilan, sehingga pekerja tidak terlepas dari permasalahannya. Akibat tidak dilaksanakan WHP dengan baik adalah ketidakberdayaan pekerja terhadap aspek kesehatan yang akan berdampak kepada rentannya mereka menderita PAK, termasuk SM. Dengan kondisi ini, tentunya pendekatan partial (tradisional/konvensional) ini harus diubah ke pendekatan yang sesuai dengan konsep WHP yang sebenarnya yakni secara komprehensif. Mengingat sepertiga waktu harian pekerja berada di tempat kerja (sekitar delapan jam/hari) dan adanya pekerjaan yang mengkondisikan pekerja tidak banyak melakukan aktivitas fisik selama bekerja. Selain itu, tidak terpolanya asupan gizi dengan baik, adanya stresor internal dan eksternal serta diperberat dengan gaya hidup tidak sehat lainnya, seperti kebiasaan merokok, kurang istirahat, membuat pekerja rentan menderita penyakit. Hal ini diperberat dengan kondisi, kadang-kadang pekerja harus membawa pekerjaan ke rumah, membuat pekerja merasa tidak punya waktu untuk latihan fisik. Berdasarkan kenyataan ini, perlu WHP yang didukung oleh faktor-faktor keberhasilannya. Berkaitan dengan pencegahan dan pengelolaan SM, upaya WHP diharapkan memberikan kontribusi yang positif baik bagi pekerja, perusahaan dan negara.
8
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, diketahui bahwa kasus kesakitan dan kematian pekerja akibat penyakit degeneratif yang salah satunya disebabkan oleh SM masih cukup tinggi. Selanjutnya, masih banyak perusahaan yang belum mengetahui tentang PAK, apalagi tentang SM. Walaupun di beberapa perusahaan sudah dilakukan upaya kesehatan kerja untuk pengelolaan penyakit akibat kerja, akan tetapi hasilnya belum maksimal. Sepanjang pengetahuan peneliti, belum ada rumusan WHP dengan model intervensi multilevel dalam mengubah perilaku pekerja perusahaan secara khusus, serta penelitian terkait dengan pengaruh implementasi model tersebut, terutama di Indonesia. Berdasarkan penjelasan di atas, masalah penelitian ini adalah: 1. Masalah utama: a. Apakah ada hubungan antara faktor-faktor organisasi/perusahaan dengan pelaksanaan WHP, khususnya dalam pengelolaan SM pada pekerja? b. Apakah WHP dengan intervensi multilevel meningkatkan komponen perilaku pekerja perusahaan dalam mengelola SM? c. Apakah WHP dengan intervensi multilevel memengaruhi komponen SM pada pekerja perusahaan? 2. Sub masalah: a. Apakah ada hubungan antara komitmen dan kebijakan perusahaan dengan pelaksanaan WHP, khususnya dalam pengelolaan SM pada pekerja? b. Apakah ada hubungan antara keterlibatan pekerja dalam membantu program kesehatan dengan pelaksanaan WHP, khususnya dalam pengelolaan SM?
9
c. Apakah ada hubungan antara dukungan sosial yang berasal dari sumber daya perusahaan (fasilitas, dana, dan keberadaan serta peran petugas terkait) dengan implementasi WHP, khususnya dalam pengelolaan SM pada pekerja? d. Apakah ada bentuk-bentuk kegiatan WHP yang sudah dilakukan perusahaan untuk pengelolaan penyakit pada pekerja? e. Apakah model WHP dengan intervensi multilevel dapat dirumuskan sebagai dasar implementasi untuk mengubah perilaku pekerja perusahaan? f. Apakah WHP dengan intervensi multilevel meningkatkan peran sasaran tertier (pimpinan perusahaan) dalam membantu pengelolaan SM pada pekerja?
g. Apakah WHP dengan intervensi multilevel meningkatkan peran sasaran sekunder (tenaga kesehatan dan tenaga terkait lainnya) dalam membantu pengelolaan SM pada pekerja? h. Apakah WHP multilevel meningkatkan kesadaran pekerja yang menderita SM?
i. Apakah WHP multilevel meningkatkan pengetahuan pekerja yang menderita SM? j. Apakah WHP multilevel meningkatkan sikap pekerja yang menderita SM? k. Apakah WHP multilevel meningkatkan norma subjektif pekerja yang menderita SM? l. Apakah WHP multilevel meningkatkan efikasi diri pekerja yang menderita SM?
m. Apakah WHP multilevel meningkatkan intensi pekerja yang menderita SM? n. Apakah WHP multilevel meningkatkan dukungan keluarga pekerja yang menderita SM? o. Apakah WHP multilevel meningkatkan aktivitas fisik pekerja yang menderita SM?
10
p. Apakah WHP multilevel meningkatkan asupan makanan sesuai dengan diet SM pada pekerja yang menderita SM? q. Apakah WHP multilevel mengatasi hambatan personal untuk menerapkan perilaku sehat dalam pengelolaan SM? r. Apakah WHP multilevel memengaruhi komponen SM (lingkar perut, tekanan darah, kadar trigliserida, HDL-C, dan kadar gula darah puasa)? C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengungkap hubungan antara faktor-faktor organisasi/perusahaan dengan pelaksanaan WHP, khususnya dalam pengelolaan SM pada pekerja, merumuskan dan menganalisis pengaruh model WHP multilevel dalam meningkatkan komponen perilaku, dan pengaruh model WHP multilevel terhadap komponen SM pada pekerja perusahaan. Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengungkap hubungan antara komitmen dan kebijakan perusahaan dengan pelaksanaan WHP, khususnya dalam pengelolaan SM pada pekerja.
2.
Mengungkap hubungan antara keterlibatan pekerja dalam membantu program kesehatan dengan pelaksanaan WHP, khususnya dalam pengelolaan SM pada pekerja.
3.
Mengungkap hubungan antara dukungan sosial yang berasal dari sumber daya perusahaan (fasilitas, dana, dan keberadaan serta peran petugas terkait) dengan implementasi WHP, khususnya dalam pengelolaan SM pada pekerja.
4.
Mengungkap bentuk-bentuk kegiatan yang telah dilakukan perusahaan untuk pengelolaan penyakit, khususnya SM pada pekerja.
11
5.
Merumuskan model WHP dengan intervensi multilevel sebagai dasar implementasi untuk mengubah perilaku pekerja perusahaan.
6.
Mengungkap pengaruh WHP multilevel dalam meningkatkan peran sasaran tertier (pimpinan perusahaan) dalam membantu pengelolaan SM pada pekerja.
7.
Mengungkap pengaruh WHP multilevel dalam meningkatkan peran sasaran sekunder (tenaga kesehatan dan tenaga terkait lainnya) dalam membantu pengelolaan SM pada pekerja.
8.
Menganalisis pengaruh WHP multilevel dalam meningkatkan kesadaran pekerja yang menderita SM.
9.
Menganalisis pengaruh WHP multilevel dalam meningkatkan pengetahuan pekerja yang menderita SM.
10. Menganalisis pengaruh WHP multilevel dalam meningkatkan sikap pekerja yang menderita SM. 11. Menganalisis pengaruh WHP multilevel dalam meningkatkan norma subjektif pekerja yang menderita SM. 12. Menganalisis pengaruh WHP multilevel dalam meningkatkan
efikasi diri
pekerja yang menderita SM. 13. Menganalisis pengaruh WHP multilevel dalam meningkatkan intensi pekerja yang menderita SM. 14. Menganalisis pengaruh WHP multilevel dalam meningkatkan
dukungan
keluarga pekerja yang menderita SM. 15. Menganalisis pengaruh WHP multilevel dalam meningkatkan aktivitas fisik pekerja yang menderita SM.
12
16. Menganalisis pengaruh WHP multilevel dalam meningkatkan
asupan
makanan sesuai dengan diet pekerja yang menderita SM. 17. Mengungkap pengaruh WHP multilevel dalam mengatasi hambatan personal untuk menerapkan perilaku sehat dalam pengelolaan SM. 18. Menganalisis pengaruh WHP multilevel terhadap komponen SM (lingkar perut, tekanan darah, kadar trigliserida, HDL-C, dan kadar gula darah puasa). D. Keaslian Penelitian 1. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan intervensi untuk pengelolaan SM dan penyakit degeneratif antara lain adalah: a. Penelitian randomized controlled trial (RCT) oleh Anderssen et al. (2007) tentang pengaruh diet dan latihan fisik dalam pengelolaan SM. Penelitian tersebut dilakukan selama satu tahun, dengan membagi empat kelompok studi yang menderita SM (kriteria IDF 2005), yakni kelompok yang diintervensi diet, kelompok yang diintervensi latihan fisik, kelompok yang diberi kombinasi latihan fisik dan diet serta kelompok kontrol (tanpa perlakuan). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intervensi kombinasi diet dan latihan fisik lebih efektif dalam pengelolaan SM. b. Penelitian eksperimen oleh Kishida et al. (2011) tentang signifikansi klinik penurunan lemak visceral melalui pendidikan kesehatan dalam mencegah penyakit ateroskelerotik kardiovaskuler di Jepang. Penelitian tersebut dilakukan pada subjek yang melakukan pemeriksaaan kesehatan tahunan dan kemudian menerima edukasi dari tenaga medis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan yang menekankan kepada
13
kemandirian dalam mengubah atau memodifikasi gaya hidup dapat menurunkan lemak visceral yang berguna bagi pencegahan gangguan kardiovaskuler pada penderita SM. c. Penelitian eksperimen oleh Seo et al. (2011) tentang efek kombinasi latihan fisik terhadap visfatin dan faktor-faktor SM pada wanita dewasa obesitas. Subjek penelitian tersebut dipilih secara random dan dibagi menjadi dua, yakni kelompok yang diberi program latihan dan kelompok kontrol masingmasing sebanyak sepuluh orang. Program berupa latihan fisik selama 60 menit/hari dengan frekuensi tiga kali seminggu yang diberikan selama 12 minggu. Jenis latihan berupa tiga set latihan beban dengan sepuluh kali repetisi maksimum ditambah latihan aerobik dengan intensitas 60-70% dari denyut nadi maksimal, sementara kelompok kontrol diintruksikan untuk melakukan aktivitas sehari-hari mereka secara normal. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa ada hubungan antara latihan yang diberikan dengan BB, persentase lemak tubuh, rasio lingkar pinggang dan lingkar panggul, tekanan darah (TD) diastolik, kadar gula darah puasa, kadar trigliserida, high density lipoprotein-cholesterol (HDL-C) dan visfatin. d. Penelitian Chang dan Wi (2012) tentang efek kombinasi latihan fisik terhadap komposisi tubuh dan faktor-faktor SM di Korea. Subjek penelitian tersebut adalah pelajar perempuan obesitas yang dipilih secara random dan dibagi menjadi dua, yakni kelompok yang diberi program latihan sebanyak tujuh orang dan kelompok kontrol sebanyak sembilan orang. Program berupa latihan fisik selama 80 menit/hari dengan frekuensi tiga kali
14
seminggu yang diberikan selama 12 minggu. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa tidak ada hubungan antara latihan yang diberikan dengan beberapa faktor SM, antara lain komposisi lemak tubuh, seperti kadar trigliserida, HDL, kadar gula darah, total kolesterol dan kadar low density lipoprotein (LDL). Tetapi latihan ini dapat secara efektif menurunkan persentase lemak tubuh, lingkar perut, dan tekanan darah. 2.
Penelitian yang berhubungan dengan perubahan perilaku dan promosi kesehatan: a. Penelitian studi perspektif oleh Doerksen et al. (2009) tentang sosial kognitif sebagai determinan untuk aktivitas fisik sedang dan berat pada mahasiswa baru. Penelitian tersebut melihat hubungan antara faktor-faktor sosial kognitif dan aktivitas fisik pada mahasiswa baru. Subjek penelitian adalah pelajar sebanyak 69 orang. Data psikososial dikumpulkan di awal semester
dan
pengukuran
aktivitas
fisik
dengan
menggunakan
accelerometry yang diselesaikan pada akhir semester. Hasil penelitian dengan regresi multipel menunjukkan self efficacy dan tujuan aktivitas fisik terbukti sebagai prediktor aktivitas fisik yang berat. Konstruk ini tidak berhubungan dengan aktivitas fisik sedang. b. Penelitian cross sectional oleh Ramdan (2011) tentang efikasi diri, pusat kendali dan persepsi tenaga kerja sebagai prediktor pencapaian prestasi kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui dapat tidaknya efikasi diri, pusat kendali dan persepsi tenaga kerja dijadikan sebagai prediktor yang akurat untuk memprediksi
15
pencapaian prestasi K3, serta untuk menguji cukup fit atau tidaknya model pencapaian prestasi K3 yang disusun dengan melibatkan interaksi tenaga kerja dengan lingkungannya. Penelitian tersebut dilakukan pada 200 orang partisipan di perusahaan kayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efikasi diri dan persepsi tenaga kerja berhubungan positif dan signifikan dengan prestasi K3 tenaga kerja. c. Penelitian Kudo et al. (2011) tentang gaya hidup menggunakan pendekatan Health Belief Model (HBM) dan locus of control terhadap multidimensi kesehatan untuk mencegah SM pada pekerja di Jepang. Penelitian tersebut menggunakan kuesioner untuk mensurvei perilaku. Data dianalisis dengan menggunakan regresi multipel linier. Variabel dependen adalah gaya hidup untuk mencegah atau mengelola SM. Variabel independen adalah karakteristik Partisipan (usia, jenis kelamin, blue atau white collar worker, dengan atau tanpa dokter keluarga), pusat kendali terhadap multidimensi kesehatan, ada atau tidak adanya perawatan kesehatan dari tenaga kesehatan dan empat item mengenai SM yang dihasilkan dari referensi HBM. Analisis data menunjukkan bahwa pekerja yang usia lanjut, white-collar workers dan pekerja dengan adanya perawatan tenaga kesehatan memiliki gaya hidup yang sehat. Studi tersebut juga menunjukkan Partisipan yang menggangap SM adalah penyakit yang mengancam kehidupan dan Partisipan yang tahu praktik dalam mencegah dan mengelola SM juga menunjukkan gaya hidup yang sehat.
16
d. Penelitian kuasi eksperimen dengan pre-tests post-tests control group design oleh Susiloretni dkk. (2013) melihat efektivitas promosi multilevel terhadap perilaku pemberian ASI ekslusif di masyarakat pedesaan di Indonesia. Subjek penelitian tersebut adalah 163 keluarga, yang terdiri dari ibu hamil, suami dan ibu/nenek.
Penelitian tersebut dilakukan dengan intervensi
multilevel yakni pada keluarga, tenaga kesehatan, penolong persalinan tradisional, tokoh agama dan kepala desa. Hasil penelitian menunjukkan durasi dan prevalensi pemberian ASI ekslusif meningkat dengan intervensi yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan ini berbeda dari penelitian dengan topik SM dan WHP yang sudah dilakukan. Secara garis besar perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lain, terutama yang dilakukan di Indonesia, adalah pada proses penelitian, populasi yang diteliti, serta banyaknya variabel yang diteliti. Perbedaan dan keterbaruan penelitian ini juga adalah pada metode WHP yang digunakan. Pada penelitian ini, untuk mengubah perilaku pekerja, digunakan konsep intervensi multilevel dan serangkaian metode WHP, yakni melalui advokasi, bina suasana, ceramah tanya jawab yang disertai dengan pemberian media informasi dan dilanjutkan dengan collaborative learning dan konseling. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif dengan lokasi di perusahaan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk merumuskan model WHP dengan intervensi multilevel dan mengungkap pengaruhnya dalam mengelola SM pada pekerja, yang sejauh pengetahuan peneliti belum pernah dilakukan di Indonesia.
17
E. Manfaat dan Luaran Penelitian 1.
Manfaat penelitian a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan, khususnya sebagai dasar pengembangan model dan implementasi promosi kesehatan di tempat kerja dengan intervensi secara multilevel. b. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi seluruh komponen perusahaan
(pekerja/serikat
pekerja,
dan
pengusaha),
dalam
mengimplementasikan promosi kesehatan di tempat kerja dengan pendekatan perubahan perilaku secara multilevel yang salah satunya dapat diaplikasikan untuk mencegah dan mengelola SM pada pekerjanya. c. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi peneliti lain yang berminat meneliti lebih lanjut mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perancangan model promosi kesehatan di tempat kerja dengan pendekatan perubahan perilaku ataupun pendekatan lain untuk mengelola penyakit atau masalah kesehatan lain pada pekerja di perusahaan/industri. 2.
Luaran penelitian Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini adalah memperoleh model WHP dengan intervensi multilevel, yang salah satunya dapat diterapkan untuk mengelola SM sebagai pemicu penyakit degeneratif pada pekerja.
18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
A. Konsep Dasar Sindroma Metabolik 1. Pengertian sindroma metabolik Sindroma metabolik merupakan suatu kumpulan faktor risiko metabolik yang berkaitan langsung dengan terjadinya penyakit degeneratif. Sebelum dikenal sebagai SM, kondisi ini diistilahkan dengan bermacam-macam sebutan antara lain Reaven- “syndrome X”, insulin resistance syndrome, metabolic syndrome X, cardiometabolic syndrome, dysmetabolic syndrome, deadly quartet dan multiple metabolic syndrome (Thomas, 2011). SM sering juga disebut sebagai kondisi pre-diabetic atau salah satu tahapan dari penyakit jantung, yakni pre-cardiovascular diseases (Savill, 2011). Perdebatan tentang definisi SM masih terjadi seiring dengan hasil penelitian yang terus berkembang, namun semua kelompok studi tersebut setuju bahwa obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan hipertensi merupakan komponen utama SM (Khan et al., 2005 dalam Jafar 2011). Menurut WHO (1999 dalam Jafar, 2011), ketika kondisi-kondisi ini berada di waktu yang sama pada satu orang, maka orang tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit macrovascular. Beberapa kriteria SM antara lain: a. Menurut WHO (1998, cit. Jafar, 2011) yaitu adanya impaired fasting glucose atau impaired glucose tolerance atau diabetes disertai dua atau lebih kriteria berikut: 1) Rasio lingkar pinggang : pinggul > 0,85 m (wanita), > 0,9 m (pria) dan atau BMI > 30 kg/m2, 2) Trigliserida ≥ 150
19
mg/dl dan atau HDL-C < 40 mg/dl, 3) Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, dan 4) Mikroalbuminuria, yaitu laju ekskresi albumin urin ≥ 20 µg/minute atau rasio albumin : kreatinin ≥ 30 mg/g. b. Menurut National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP ATP III); ditemukannya tiga atau lebih kriteria berikut: 1) Obesitas abdominal, yaitu jika lingkar pinggang > 102 cm untuk pria, dan > 88 cm untuk wanita, 2) Kadar trigliserida ≥ 150 mg/dl, 3) Kadar HDL-C < 40 mg/dl untuk pria, < 50 mg/dl untuk wanita (yang diharapkan 60 mg/dl atau lebih), 4) Tekanan darah ≥ 130/85 mmHg, dan 5) Gula darah puasa ≥ 110 mg/dl (Watson, 2002). c. Kriteria dari International Diabetes Federation (IDF) 2005 yang dipublikasikan oleh IDF (2006) serta didukung oleh pernyataan bersama IDF, National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI), World Heart Federation (WHF), International
Atherosclerosis Society (IAS) dan
American Heart Association (AHA) (O’Riordan, 2009), seseorang menderita SM apabila terdapat tiga dari lima kriteria berikut: 1) Obesitas sentral (lingkar perut ≥ 90 cm untuk pria Asia dan ≥ 80 cm untuk wanita Asia, 2) Trigliserida ≥150 mg/dl atau sedang dalam pengobatan untuk hipertrigliserida, 3) HDL-C; <40 mg/dl pada pria dan < 50 mg/dl pada wanita atau sedang dalam pengobatan untuk meningkatkan kadar HDL-C, 4) Tekanan darah: sistolik ≥130 mmHg atau diastolik ≥85 mmHg atau sedang dalam pengobatan untuk hipertensi, dan 5) Gula darah puasa (GDP) ≥100 mg/dl atau diabetes tipe-2. Kriteria IDF ini sudah banyak