BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan Ateisme hadir sebagai kritik kepada agama. Ateisme menjadi partner sekaligus pereduksi eksistensi agama. Semangat ateisme adalah semangat ideologi pembebasan akan Tuhan. Hanya saja, apakah dengan begitu solusi meniadakan Tuhan, akan memecahkan masalah-masalah agama? Pertanyaan ini memunculkan sebuah keyakinan yang cukup sederhana. Jika agama tak lagi mampu menjawab permasalahan yang dihadapi oleh dirinya sendiri, maka ateisme adalah jalan keluar dari permasalahan tersebut. Iman telah menjadi musuh perdamaian. Peniadaan Tuhan akan memecahkan masalah dunia. Ini adalah keyakinan yang terlalu sederhana. Karena banyak di antara konflik yang telah mengilhami gerakan perdamaian disebabkan oleh ketidakseimbangan kekuatan politik, nasionalisme sekuler, dan perjuangan untuk menguasai dunia ini. Tetapi, agama telah terlibat dalam banyak di antara kekejaman ini: di Irlandia Utara dan Timur Tengah, agama telah berfungsi sebagai penanda suku atau etnis. Agama digunakan secara retoris oleh para politikus. Dan jelas bahwa agama secara menakjubkan telah gagal dalam mandatnya untuk menyelamatkan dunia. (Armstrong, 2013:464) Dawkins secara tepat menjelaskan kesalahan-kesalahan yang diakibatkan oleh agama, di awal bukunya The God Delusion. Seperti halnya Armstrong Dawkins mengajak pembaca untuk membayangkan bersama John Lennon untuk meresapi makna lagu dengan judul Imagine. Sebuah lagu yang liriknya bercerita tentang mengangankan dunia masa depan di mana tidak ada surga dan tidak ada neraka, di atas dunia hanya ada langit. Sebuah bayangan dunia tanpa agama.
1
Bayangkan, Bersama John Lennon, Sebuah dunia tanpa agama. Bayangkan tak ada pengebom bunuh diri, tidak ada 9/11, tidak ada 7/7, tidak ada perang salib, tidak ada pembunuhan terhadap orang-orang murtad, tidak ada Gunpowder Plot, tidak ada pemisahan India, tidak ada perang Israel/Palestina, tidak ada pembantaian Serbia/Kroasia/Muslim, tidak ada penyiksaan terhadap orang-orang Yahudi sebagai Para Pembunuh Kristus, tidak ada persoalan-persoalan Irlandia Utara, tidak ada pembunuhan yang bermartabat, tidak ada kaum televangelis klimis dan rapi yang menipu uang orang-orang bebal (tuhan ingin anda berkorban hingga terasa sakit). Bayangkan tidak ada Taliban yang melempari patungpatung kuno, tidak ada pemancungan publik terhadap orang-orang murtad, tidak ada hukuman cambuk terhadap perempuan karena kejahatan memperlihatkan seinci kulit tubuhnya. (Dawkin, 2013:2) Agama memang tak sepenuhnya salah, tetapi fakta-fakta tersebut menjadikan agama berada pada masa sulit. Ketika sebuah ide tentang keagamaan kehilangan fungsinya maka secara perlahan ide-ide
tersebut akan semakin
terlupakan. Selama ribuan tahun ide tentang Tuhan telah bertahan menjawab tuntutan jaman, tetapi di abad ini semakin banyak orang merasakan bahwa ide tersebut tak lagi bermanfaat untuk manusia (Armstrong, 2003:483). Apakah mungkin ide tentang tuhan sudah tak lagi sesuai lagi di masa depan bahkan masa kini. Semangat agama adalah semangat pencerahan, begitu pula ateisme. Pencerahan harus dikembalikan ke makna yang lebih penting dalam sejarah hidup manusia (Armstrong, 2003:23) Pencerahan adalah saat manusia telah bangkit dari keterpurukan di masa-masa kegelapan. Pencerahan bukanlah lagi menjadi arti dari telah menemukan kembali Tuhan. Tetapi pencerahan adalah saat manusia telah melepaskan diri dari apa yang selama ini ketahui dengan menerima kebenarankebenaran yang tidak pernah mau dan manusia bayangkan.
2
Heidegger mengajukan sebuah tesis dalam artikel berjudul, Only A God Can Save Us, bahwa pengalaman ketiadaan Tuhan di zaman ini, bisa membebaskan manusia dari belenggu wujud-wujud. Namun, tak ada yang dilakukan untuk menghadirkan kembali wujud ke zaman ini. Manusia hanya dapat berharap adanya kebangkitan baru di masa depan. (Armstrong, 2003:493). Untuk itu apakah dengan menempatkan agama pada posisi yang tepat, akan memudahkan manusia untuk menemukan beragam solusinya? Jika, ateisme memang hadir untuk selalu menempatkan agama pada posisi yang tepat itu. Maka, apa yang dicita-citakan agama tentang kehancuran dunia mungkinkah hanya akan menjadi sebuah keniscayaan. Dengan kata lain, agar agama harus terus dan selalu berkembang, siapkah agama untuk menghadapi nasibnya meski dengan harus meniadakan dirinya sendiri?
2. Rumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini: 1. Apakah hakikat kritik dalam pemikiran ateisme sebagai sebuah ideologi pembebasan akan Tuhan? 2. Bagaimanakah kritik ateisme terhadap agama? 3. Bagaimanakah peran ateisme dalam menggantikan mandat agama untuk membantu keberlangsungan hidup manusia?
3
3. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran terhadap karya atau tulisan ilmiah mengenai ateisme sebagai obyek material dan kritik ideologi sebagai obyek formal, peneliti tidak menemukan tulisan yang sama dengan objek dan judul tulisan ini. Peneliti menelusuri tulisan ilmiah di internet, di perpustakaan fakultas filsafat, perpustakaan UGM, Universitas UIN, dan beberapa universitas lainnya di Indonesia. Berikut beberapa tulisan ilmiah yang memiliki kaitan dengan kata kunci kritik ideologi dan ateisme, antara lain : a. Tulisan ilmiah yang berkaitan dengan ateisme : 1. Samsul Ma’arif. 2001. Evolusionisme Ateistik menurut Richard Dawkins. Laporan Penelitian. Fakultas Filsafat. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Ini adalah tulisan ilmiah dari penelitian yang dilakukan oleh seseorang dosen dari UGM. Tulisan ini berisi tentang pandangan seorang ateis modern berkebangsaan Amerika yang bernama
Richard
Dawkins
mengenai
teori
evolusionisme.
Evolusionisme adalah teori tentang asal mula kehidupan yang menentang teori kreasionisme. 2. Nuril Hidayati. 2003. Kebertuhanan Manusia Dalam Filsafata Eksistensialisme Ateis F. Nietzsche dan J.P. Sartre. Skripsi. Fakultas Ushuludin.
Institut
Agama
Islam
Negeri
Sunan
Kalijaga.
Yogyakarta. Skripsi ini membahas tentang salah satu bentuk ateisme yaitu eksistensialisme ateis. Disini eksistensialisme ateis menjadi objek formal dalam mengkaji konsep kebertuhanan manusia.
4
3. Ricky Sulistiadi. 2009. Gambaran Makna Hidup Pada Penganut Ateis. Skripsi. Fakultas Psikologi. Universitas Gunadarma. Jakarta. Ini adalah skripsi dengan bentuk penelitian berupa studi kasus dengan menggunakan data dari pustaka dan metode wawancara. Skripsi ini membahas tentang cara pandang dan pemaknaan atas kehidupan para penganut ateisme di Indonesia. 4. Masykur Arif. 2010. Kritik Atas Ateisme (Kajian Filsafat Ketuhanan Franz Magnis-Suseno). Skripsi. Fakultas Ushuludin.Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta. Skripsi ini berupa studi literatur dari beberapa buku karya Franz Magnis-Suseno yang berisikan kritik rasional atas ateisme. 5. Joi Yakim Jeri. 2014. Studi Kasus Mengenai Gambaran Makna Hidup pada Mahasiswa Ateis di Universitas “X” Bandung. Skripsi. Fakultas Psikologi. Uniiversitas Kristen Maranatha. Bandung. Skripsi ini juga membahas cara pandang dan makna hidup penganut ateis. Hanya saja ruang lingkupnya pada Mahasiswa di sebuah universitas di Bandung. 6. Muhammad Burhanudin. 2014. Sejarah dan Perkembangan komunitas Indonesian Atheist tahun 2008-2013 (Studi Kasus Keberadaan Komunitas Ateis pada Media Internet). Skripsi. Fakultas Agama Islam. Universitas Muhammadiyah. Surakarta. 2014. Skripsi ini membahas tentang sebuah komunitas para penganut ateis yang berbasis di media sosial. Komunitas yang didirikan oleh
5
Karl Karnadi ini adalah salah satu komunitas terbesar di Indonesia dan komunitas ateis pertama yang berani mendeklarasikan diri secara terbuka di Indonesia. 7. Tulisan ilmiah yang penulis temukan banyak sekali berisi terkait tentang novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja. Meski memiliki kata kunci yang sama tetapi karya-karya tulis tersebut tidak cukup relevan dengan obyek ateisme dalam tulisan ini.
b. Tulisan ilmiah yang berkaitan dengan kritik ideologi : 1. Dr. Supartiningsih. 2009. Politik Pencitraan Dalam Telaah Teori Fantasi Sosial Slavoj Zizek : Sebuah Kritik Ideologi Atas Politik Pencitraan
Susilo Bambang Yudhoyono. Laporan Penelitian.
Fakultas Filsafat. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2. Muhammad Abduh El Mubarok. 2010. Kritik Ideologi Borjuis : Studi Pemikiran Karl Marx. Thesis. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta. Thesis ini membahas tentang bagaimana kritik Karl Marx atas ideologis kaum Borjuis. 3. Tangguh Era Lesmana. 2011. Kritik Ideologi Korban Lumpur lapindo (Analisa Kritis Teori Kritis Mengenai Fenomena Lumpur Lapindo). Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya. Skripsi ini membahas tentang adanya manipulasi ideologis yang dilakukan pemerintah terhadap korban lumpur lapindo.
6
4. Muhammad Saleh. 2015. Kritik ideologi Marxisme Dalam Film Tai Chi Zero dan Tai Chi Hero (Analisis Semiotik Roland Barthes). Skripsi. Fakultas Ilmu Komunikasi. Universitas Mercu Buana. Jakarta. Kritik ideologi dalam skripsi ini menjadi objek materi bukan objek formal. Dari berbagai tema penelitian tentang agama dan ateisme yang telah disebutkan di atas, peneliti belum menemukan tulisan ataupun laporan penelitian yang mengkaji kritik ateisme atas agama. Penelitian ini akan menjadikan kritik ateisme atas agama sebagai objek material dan kritik ideologi sebagai objek formal.
4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan faedah baik secara langsung maupun tidak langsung. Faedah yang diharapkan dari penelitian ini adalah : a. Bagi perkembangan ilmu dan filsafat 1. Menambah khasanah pemikiran ilmiah tentang ateisme yang tak hanya selalu sebagai sebuah kajian agama dan spiritual tetapi juga sebagai kajian ideologis dan kritis. 2. Menguji dan menunjukkan bahwa kritik ideologi merupakan instrumen penting dalam filsafat dalam mengkaji perkembangan ideologi dan konstruksi agama. 3. Memberikan perspektif yang berbeda terhadap pemahaman atas ateisme dan agama-agama dewasa ini.
7
b. Bagi perkembangan masyarakat 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu pemahaman mengenai bagaimana jalan berpikir ateisme telah membangun perkembangan agama dalam kehidupan sosial masyarakat. 2. Penelitian ini diharapkan juga dapat membuat masyarakat untuk lebih memahami permasalahan yang dihadapi oleh agama dan solusinya. 3. Penelitian ini juga diharapkan sanggup merubah cara pandang terhadap ateisme yang tak lagi berhubungan dengan ideologi politik komunisme tetapi sebagai sebuah kajian ilmiah tentang ideologi sosial politik tentang kebenaran dan moral. c. Bagi penulis Melalui penelitian ini diharapkan penulis menjadi lebih tercerahkan.
B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian tentang tinjauan ateisme sebagai kritik ideologi atas agama sesuai dengan perumusan masalah diatas, antara lain: 1. Menganalisa paradigma pemikiran ateisme sebagai sebuah ideologi pembebasan atas keberadaan Tuhan. 2. Memaparkan macam-macam bentuk kritik ateisme terhadap agama. 3. Menganalisis peran ateisme dalam menggantikan kegagalan mandat agama dalam membantu keberlangsungan hidup manusia.
8
C. Tinjauan Pustaka Memahami Ateisme harus dimulai dengan memperbaiki makna kata ateis yang sering salah kaprah. Dalam KBBI ateis diartikan sebagai orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Di internet jika ditelusuri melalui google, akan banyak ditemukan istilah ateis dengan pemaknaan yang demikian. Makna ini jauh dari hakikat makna kata ateis yang sebenarnya. Bila merujuk dari kamus bahasa inggris Oxford, ateis dimaknai sebagai orang yang percaya bahwa Tuhan tidak ada. Arti ini memiliki makna yang interpretasinya akan berbeda jika dibandingkan makna dalam KBBI. Karena, secara teologis ateisme bukan berfokus pada permasalahan percaya atau tidak percaya. Tetapi lebih pada persoalan ada atau tidaknya keberadaan Tuhan. Dengan demikian, tak hanya agama ateisme memiliki dasar pemikiran yang merujuk pada konsep sebuah keimanan juga. Yang membedakan adalah bagaimana keimanan menjawab kebaradaan Tuhan dan bagaimana keimanan tersebut akan dipertanggungjawabkan. Secara teologis dapat disimpulkan bahwa keimanan memiliki ranah otonomi sendiri yang tak dapat dipengaruhi oleh orang lain. Dengan kata lain keimanan seseorang yang bertuhan dengan yang tak bertuhan memiliki sejarah berpikir yang sama. Keimanan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dalam dua arti : secara teologis dan secara filosofis. Secara teologis iman dipertanggungjawabkan apabila dapat ditunjuk bahwa apa yang diimani, serta kehidupan yang dijalani berdasarkan iman itu, adalah sesuai dengan sumber iman itu. Jadi teologi berdasarkan wahyu agama yang bersangkutan. Wahyu itulah sumber kebenaran. Karena setiap agama mempunyai wahyu atas dasarnya sendiri, setiap agama mempunyai teologinya sendiri juga. Pertanggungjawaban iman secara teologis terjadi dalam rangka refleksi dan diskursus iman di dalam umat agama yang bersangkutan. Orang dari luar tidak dapat masuk karena tidak mengakui
9
wahyu agama itu sebagai sumber kebenaran. (Magnis-Suseno, 2006:2122).
Setiap manusia terlahir dengan keadaan keimanan yang sama, mereka sama-sama tak memiliki keputusan untuk apa yang akan mereka percayai. Oleh karena itu tempat waktu dan keadaan sosial manusia, sangat erat mempengaruhi manusia mendapatkan keimanan mereka. Ini adalah tahapan teologis, tahapan awal dari perkembangan keimanan manusia. Tahapan ini, setiap manusia sama sekali tak memiliki kemampuan untuk menentukan keimanan mereka, baik itu untuk dirinya sendiri ataupun kepada orang lain. Keimanan teologis adalah keimanan yang tak dapat di diperdebatkan ataupun diverifikasi. Ini adalah keimanan yang sifatnya personal. Keimanan teologis adalah keimanan yang sering dikatakan banyak orang sebagai suatu keadaan dimana setiap orang tak memiliki kemampuan untuk memiliki pilihan dimana, kapan dan dengan siapa mereka dilahirkan. Seseorang dapat terlahir sebagai anak seorang yahudi, kristen, muslim, hindu bahkan ateis. Seiring perkembangan rasio dan pola berpikir, manusia mulai memiliki kemampuan untuk mengobservasi dan memikirkan tentang kebenaran. Ini saatnya manusia untuk memverifikasi keimanan mereka. Tahapan ini disebut sebagai tahapan filosofis, keimanan akan dipertanggungjawabkan secara filosofis dengan menggunakan nalar. Nalar dapat memeriksa suatu keyakinan atau ajaran agama dari berbagai sudut Baik itu dari sudut pengetahuan alam, dari sudut pandang sosial-politik, etika, psikologis atau bahkan dari sudut pandang pengalaman batin. Dalam tahapan ini keimanan akan mudah untuk di perdebatkan dan ditemukan
10
kebenarannya. Manusia harus menghadapi tahapan ini agar menemukan kebenaran yang hakiki. Pertanggungjawaban filosofis iman adalah berbeda. Di situ yang mau ditunjukkan rasionalitas iman itu. Dan itu dilakukan dengan memakai nalar. Nalar dapat memeriksa suatu keyakinan atau ajaran agama dari berbagai sudut. Misalnya dari sudut konsistensi logis : Apakah ada pertentangan di antara ajaran-ajaran agama itu. Lalu, dari sudut pengetahuan tentang dunia dan masyarakat : Misalnya apakah ajaran tentang penciptaan dunia dapat dipertanggungjawabkan dari sudut pengetahuan ilmu-ilmu alam tentang alam raya, perkembangan hayat di bumi, dlsb. (Magnis-Suseno, 2006:22).
Ateisme dan agama memiliki dasar yang sama yaitu keimanan. Oleh karena itu pada tahapan teologis keduanya tak akan pernah berhenti untuk saling membenarkan. Dan perdebatan tersebut tak akan berujung. Tantangan terbesar agama adalah saat mereka harus mempertanggungjawabkan keimanan mereka dalam tahapan filosofis. Kemajuan ilmu pengetahuan dan berkembangnya teknologi selalu ditakutkan dengan tumbuhnya skeptisisme modern. Skeptisisme modern akan menghasilkan ideologi ateisme dan humanisme, yang nantinya merubah paradigma teosentris menjadi antroposentris. Agama memandang ideologi yang berkembang ini menjadi suatu ideologi jahat yang berusaha menghancurkan dirinya dan yang mengenyahkan tuhan sebagai pusat alam semesta. Agama merasa kehadiran ateisme dapat menjadi sumber masalah atas eksistensi Tuhan yang telah dikeramatkan oleh agama. Ini yang menurut Marx (1977:64) sebagai kegagalan agama menyadari bahwa manusialah yang menciptakan agama, bukan agama yang menciptakan manusia. Agama telah lupa diri atas peran sertanya di dunia bahkan sejarah asal-asul keberadaannya.
11
Ateisme kedekatannya sering dikaitkan dengan empirisme, materialisme bahkan rasionalisme. Empirisme menuntut agar segala pengetahuan mendasarkan diri pada pengalaman inderawi. Materialisme mengembalikan semua fenomena dan bentuk kehidupan di dunia ini pada hasil interaksi material. Dengan kata lain, materialisme berpendapat bahwa satu-satunya substansi dunia ini adalah materi. Sedangkan rasionalisme, yang berabad-abad dalam sejarah pemikiran dunia menjadi salah satu jalan manusia untuk mencari kebenaran. Ateisme dan agama memang berangkat dari sejarah keimanan yang sama. Bahkan ateisme muncul sebagai bentuk bipolar dari agama. Hanya saja metode metode atau paradigma berpikir satu sama lain berbeda. Kecenderungan agama adalah pada paradigma teosentris yang menjadikan wahyu sebagai pusat kebenaran. Sedangkan ateisme kecenderungannya pada paradigma antroposentris. Perbedaan ini menjadikan satu sama lain saling memiliki pembenaran. Permasalahan ini disimpulkan secara apik oleh David Mclelland. Menurut Mclelland secara prinsipil pemilihan metode tidak penting, asal metode yang dipilih dipertanggungjawabkan dan terbuka bagi kritik. Agama seperti sebuah keyakinan tradisional, karena ia memang tradisional, cenderung statis dan bertumpu pada entitas yang koheren, terbatas dan terstruktur secara hierarkis. Mitos tidak mendapatkan saingannya. Di lain pihak, ideologi merupakan hasil dari semakin meningkatnya pluralitas masyarakat dan berhubungan dengan kelompokkelompok yang bersaing, di mana kepentingan bagian-bagiannya dilayani oleh ideologi tersebut. Sementara agama tradisional berkonsentrasi pada hubungan antara kehidupan sehari-hari individu dengan kesakralan dimensi dunia yang lain, maka semesta ideologi yang sekuler berhubungan dengan persoalan publik tentang bagaimana mentransformasikan dunia ini yang akan dilegitimasi dengan seruan kepada sains dan rasio yang dengan kentara menjustifikasi dirinya. Mitos masyarakat lampau yang tertata apik mewariskan dan membentuk sebuah kerangka yang mentransendenkan dunia sosial, sementara ideologi adalah hasil ciptaan kita yang khas, yang
12
dihasilkan dari penyelidikan seksama atas masyarakat kita sendiri. (Mclelland, 2005:4) Dengan cara inilah ideologi, dalam pengertian terbatas, pertama kali muncul. Ideologi menggantikan legitimasi tradisional terhadap kekuasaan melalui kemunculannya dalam sains moderen dan mencari justifikasinya dari kritik ideologi. Oleh karena itu, ateisme menjadi salah satu pendekatan ideologis yang tepat. Ateisme menjadi kritik ideologis atas eksistensi agama. Lanjut dia (Mclelland,2005:5) di era kebebasan, kesatuan dan kesetaraan, satu-satunya pendekatan yang bahkan bisa mengilhami adanya penerimaan yang universal adalah pendekatan yang didasarkan pada gagasan tentang rasio dan sains yang jelas universal. Dia (Mclelland,2005:7) melanjutkan bahwa kunci untuk melakukan reformasi sosial terdapat pada akal dan alam. Sebagaimana ditulis oleh Baron d’Holbach (1723-1789) -filsuf dari perancis pertama yang menyebut dirinya ateis- dalam bukunya The System of Nature. Sumber ketidakbahagiaan manusia adalah karena mereka mengacuhkan alam. Maka tugas kita yang paling penting adalah menciptakan perangkat yang bisa digunakan untuk menghancurkan ilusi, yang tidak pernah bias melakukan apa-apa selain menyesatkan kita. Obat bagi penyakit ini harus dicari dalam alam itu sendiri, hanya dalam sumber dayanya yang sangat banyak kita bisa secara rasional berharap menemukan obat bagi kekeliruan yang ditimpakan kepada kita oleh petunjuk yang salah dan oleh antusiasme yang kelewat batas.. Untuk tujuan ini akal harus dikembalikan pada posisinya yang tepat..Ia tidak boleh lagi ditekan oleh serangkaian prasangka yang massif. (Mclelland, 2005:8)
13
D. Landasan Teori Kritik adalah Konsep kunci untuk memahami Teori Kritik Ideologi. Kritik juga merupakan suatu program untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris atas kebudayaan dan masyarakat modern. Kritik mereka diarahkan pada berbagai bidang kehidupan masyarakat modern, seperti seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan. (Hardiman,2014:51) Kritik berakar pada tradisi filsafat. Menurut Magnis (2013:21) filsafat adalah seni kritik. Dalam artian bahwa, filsafat tidak pernah puas diri, tidak pernah membiarkan sesuatu sebagai sudah selesai, tidak pernah memotong perbincangan, selalu bersedia, bahkan senang, untuk membuka kembali perdebatan, selalu dan secara hakiki bersifat dialektis dalam arti bahwa setiap kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran tesis. Sifat kritis inilah yang membuat filsafat menjadi sarana kritik ideologi par excellence. Objek kritis pertama kritik ideologi filsafat adalah filsafat itu sendiri. Maka terhadap segala bentuk kritik ideologi filsafat merupakan ilmu yang tidak sopan, yang tidak mau menunjukkan rasa hormat. Filsafat sering difitnah sebagai sekularistik, ateis dan anarkis karena suka menyobek selubung-selubung ideologis berbagai kepentingan duniawi yang dengan demikian ditelanjangi sebagai dewadewa bikinan manusia atau karena membuka penyelewengan ideologis agama (Magnis,2013:21-22). Habermas melukiskan teori kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Teori kritis hendak menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan
14
kondisi yang bersifat transedental yang melampaui data empiris. Dengan kutub ilmu pengetahuan dimaksudkan bahwa teori kritis juga bersifat historis dan tidak meninggalkan data yang diberikan oleh pengalaman konstektual. Dengan demikian, Teori Kritis tidak jatuh pada metafisika yang melayang-layang. Teori Kritis merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transedental dan yang bersifat empiris (Hardiman,2014:33). Karena sifat dialektis itu, lanjut Hardiman (2014:33) Teori Kritis dimungkinkan untuk melakukan dua macam kritik. Disatu pihak, Teori Kritis melakukan
kritik
transedental
dengan
menemukan
syarat-syarat
yang
memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek. Di lain pihak, ia melakukan kritik imanen dengan menemukan kondisi sosiohistoris dalam konteks tertentu yang mempengaruhi pengetahuan manusia. Dengan kata lain, Teori kritis merupakan Ideologiekritik (Kritik Ideologi), yaitu suatu refleksi diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah satu kutub, entah transedental atau empiris Dengan demikian kritik ideologi justru menjauhkan dari cara berpikir yang menjangkiti kesadaran masyarakat modern yaitu positivisme. Hardiman menyebutkan bahwa Teori Kritis mengarahkan diri pada dua taraf yang berkaitan secara dialektis. Pertama adalah taraf teori pengetahuan, Kritik Ideologi berusaha mengatasi saintisme dan positivisme. Kedua pada taraf teori sosial, kritik tersebut dibidikkan pada berbagai bentuk penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif. Situasi ideologis itulah Kritik Ideologi membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju
15
masyarakat yang lebih rasional melalui refleksi diri. Di sini teori mendorong praktek hidup politis manusia melalui kesadaran sosial. Ada satu pemikiran sederhana yang menjadi pokok permasalahan besar para pengkaji ideologi. Bahwa, semua hal tentang pemikiran atau ide-ide adalah ideologis. Pemikiran ini menjadikan kajian akan ideologis menemui beberapa kesulitan. Yang pertama, pemikiran ini menjadi sebuah absurditas logis. Ini sama saja seorang dari negara A mengatakan bahwa semua orang di negara A adalah pembohong. Yang kedua, jika sudah demikian maka akan adanya absurditas makna. Semua yang disampaikan tentang hal-hal yang ideologis akan menjadi tidak bermakna. Maka untuk menghindarinya secara sederhana, dengan mengambil jarak dan paradigma subyek-obyek secara intelektual maupun nyata. Dengan menunjukkan bahwa sebagian pemikiran dan ide-ide tersebut lebih ideologis dari yang lain. Dengan demikian, hal penting yang harus diperhatikan dalam mengkaji tentang ideologi adalah adanya kesadaran sosial. Kesadaran kritis bahwa segala sesuatunya tidak bebas nilai. Horkheimer dan Adorno menegaskan bahwa teori itu kritis bukan dalam arti sebuah teori yang asal mengkritik berbagai ketidakberesan dalam masyarakat. Kritis pertama-tama berarti sadar akan pengandaian-pengandaian dan fungsi sosial teori-teori, termasuk teorinya sendiri (Magnis,2013:180). Agama memiliki tiga struktur bagian, menurut Durkheim (2011:10) agama berbeda dari keyakinan pribadi, dalam hal ini adalah "suatu bentuk sosial/masyarakat yang nyata". Agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.
16
Berdasarkan pendapat Durkheim, dapat disimpulkan tiga struktur agama itu adalah, pertama, agama adalah sebuah institusi sosial, yang tujuannya mengatur masyarakat. Kedua agama memiliki struktur keimanan/ kepercayaan atau teologi, berkenaan dengan hal-hal yang transenden. Dan yang ketiga praktik atau ritual. Ketiga kategori ini akan menjadi ruang lingkup dari kritik ideologis ateisme pada agama, karena mewakili dua bentuk kritik utama yaitu yang transedental dan yang empiris. Kenapa ateisme harus repot-repot berperan menjadi kritik ideologi atas agama? Bukankah agama sebagai sebuah ideologi mampu menjawab tantangan mereka sendiri. Karena agama telah berkembang ribuan tahun hanya untuk mempertahankan posisinya menjadi bentuk ideologis yang tak lagi kritis terhadap dirinya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan makna kritis ideologis. Menurut Thompson (2014:12) Ideologi adalah berpikir tentang yang lain, berpikir tentang orang lain selain dirinya sendiri. Untuk menilai satu pandangan bersifat ideologis berarti seseorang harus siap mengkritisinya. Studi ideologi merupakan sesuatu yang kontroversial, aktivitas yang bermuatan konflik. Suatu aktivitas yang melibatkan analisa ke dalam satu realisasi klaim dan counter klaim, dugaan dan bantahan. Ia juga aktivitas yang memfokuskan pada pokok persoalan yang berisi dunia penelitian sosial dan hubungannya dengan aturan penelitian. Oleh karena itu ateisme menjadi jalan bagi rasionalisme untuk kembali masuk ke dalam wilayah sangkar emas agama yang kian tertutup. Ateisme adalah bala bantuan dimana saat agama tak lagi sanggup menjawab tantangan jaman. Agama harus terus selalu berkembang bahkan jika itu harus dengan meniadakan dirinya sendiri.
17
E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, adapun langkah-langkah pembuatan sebagai berikut : 1.
Materi dan Bahan Penelitian Penelitian sederhana ini sepenuhnya merupakan penelitian yang berbasis pada studi kepustakaan, baik itu pustaka buku maupun elektronik yang didapat dari internet. Berikut ini beberapa bahan pustaka utama terkait ateisme : Lewis, Joseph., 1958, An Atheist Manifesto, The Freethought Press Association, New York. Dawkins, Richard., 2013, God Delusion, Terjemahan : Zaim Rofiqi, Banana, Jakarta. Leahy SJ, Louis., 1980, Aliran-Aliran Besar Ateisme, Kanisius, Yogyakarta. Lacroix, Jean., 1965, The Meaning of Modern Atheism, Terjemahan : Garret Barden, The Macmillan Company, New York. Sementara pustaka primer berkaitan dengan Kritik ideologi : Hardiman, F. Budi., 2009, Kritik Ideologi, Kanisius, Yogyakarta. Larrain, Jorge., 1997, Konsep Ideologi, Terjemahan : Ryadi Gunawan, LKPSM, Yogyakarta. Mclellan, David., 2005, Ideologi Tanpa Akhir, Terjemahan : Muhammad Syukri. Kreasi Wacana, Yogyakarta
18
Thompson, John B., 2014, Analisis Ideologi Dunia, Terjemahan : Haqqul Yaqin, IRCiSoD, Yogyakarta. Thompson, John B., 2014, Kritik Ideologi Global. Terjemahan : Haqqul Yaqin, IRCiSoD, Yogyakarta. Selain itu, penulis juga akan memanfaatkan banyak artikel ilmiah di internet sebagai bahan tambahan yang terdapat dalam situs web, yang diantaranya lebih berkaitan tentang ateisme dan agama seperti jurnal, dan resensi. 2. Jalan Penelitian Adapun langkah-langkah pokok yang akan ditempuh dalam penelitian ini antara lain ialah: mengumpulkan kepustakaan teori-teori ideologi dan agama dari sumber utama dan buku-buku referensi serta artikel terkait yang kemudian ditelaah sesuai dengan yang akan diteliti. Penulis juga akan mengumpulkan data terkait dengan ateisme dan kritik ideologi baik dari buku-buku primer maupun dari literatur lainnya seperti jurnal dan artikel ilmiah. Semua bahan mentah ini kemudian perlu dianalisis hasilnya, yang menjadi bagian dari metode penelitian berikutnya.
3. Teknik Pengolahan Data Penulisan ini menggunakan metode hermeunetika kefilsafatan. Dengan demikian data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan perangkat metode kefilsafatan sebagai berikut:
19
a. Interpretasi Metode interpretasi digunakan untuk memahami dan menelaah secara mendalam, untuk dapat menangkap makna dan pemikiran ateisme dan agama. b. Induksi dan Deduksi Hal ini digunakan untuk memahami fondasi yang menjadi sumber persoalan agama dan kemunculan ateisme. Oleh sebab itu, metode ini diperlukan untuk megetahui factor-faktor terjadinya reduksi agama. c. Koherensi Intern Dari beberapa pemikiran ateisme akan dikaji dan dilihat keruntutan atas kritik pada agama sehingga konsistensi, logika dan sistematika kritik ateisme lebih bersifat ideologis dan tepat sasaran. d. Holistika Memahami agama secara keseluruhan yang berkaitan dengan peran agama dalam sejarah keberlangsungan hidup manusia, kemudian menelaah persoalan-persoalan agama dari sudut pandang ateisme. e. Kesinambungan Historis Usaha memahami garis perkembangan sejarah dari kemunculan agama hingga munculnya ateisme, sehingga akan didapatkan keterkaitan diantara keduanya.
20
I. Hasil Yang Dicapai Dari penulisan skripsi ini diharapkan tercapai hasil sebagai berikut: 1. Menemukan hakikat kritik ideologi dalam pemikiran ateisme. 2. Mendapatkan pemahaman mengenai kritik ideologi ateisme atas agama dan pengaruhnya dalam mengkaji agama. 3. Menemukan cara bagaimana agama berkembang mengikuti jaman yang penuh dengan individu-individu yang mulai kritis atas agama. Dan keberlangsungan peran ateisme dalam membantu manusia memecahkan persoalan-persoalan agama.
J. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan naskah yang berjudul “Ateisme sebagai Kritik Ideologi atas Agama”, ini terdiri dari lima bab dengan rincian sebagai berikut : Bab I
Berupa pendahuluan, menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, kegunaan dan tujuan penelitian, serta tinjauan pustaka dan kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian serta metode yang akan digunakan sebagai jalan penelitian. Bab ini merupakan persiapan dan rancangan atas keseluruhan penelitian.
Bab II
Penulis akan mendeskripsikan pengertian dan ruang lingkup ateisme, kemudian memberikan uraian berkaitan dengan perkembangan dan sejarah teoti kritis, dan terakhir memberikan penjelasan yang berkaitan
21