! !
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Peran tenaga kefarmasian telah mengalami perubahan yang cukup besar sejak tahun 1960-an. Hal ini terjadi sebagai bentuk respon ketidakpuasan terhadap norma praktik kesehatan terdahulu ditambah dorongan kebutuhan kepada tenaga profesional kesehatan untuk menguasai pengetahuan mengenai terapi obat-obatan secara komprehensif. Oleh karena itu, muncul suatu konsep baru yang disebut farmasi klinik dengan lebih menitikberatkan pendekatan langsung pada pasien (Miller, 1981). Konsep farmasi klinik ini kemudian didukung oleh Hepler & Strand
(1990)
dengan
memperkenalkan
Pharmaceutical
Care
(asuhan
kefarmasian) yang merupakan tanggung jawab langsung dari pelayanan kesehatan terkait untuk meraih luaran terbaik serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Kebutuhan terhadap fungsi farmasi di dalam asuhan kefarmasian ini telah berkembang seiring dengan semakin dikenalnya potensi komplikasi dalam terapi obat, seperti interaksi obat, permasalahan administrasi obat, kepatuhan, edukasi pasien, dan efek samping obat (Hudson et al., 2007). Peran apoteker sudah sangat akrab dengan obat-obatan yang digunakan secara khusus, sehingga apoteker dapat fokus secara profesional terhadap kemungkinan risiko yang terjadi di area klinis. Pengawasan atas peresepan pada bangsal oleh apoteker ternyata dapat mengidentifikasi kesalahan resep sebesar 1,5% dari total peresepan di Inggris
1 !
2
(Dean et al., 2002). Oleh karena itu, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan sebagainya, apoteker telah dilibatkan dalam berbagai spesialisasi medis melalui jadwal pengecekan bangsal dan turut serta dalam pertemuan-pertemuan maupun rapat klinis bersama tenaga medis lainnya (Hudson et al., 2007). Di Indonesia, pelayanan kesehatan di rumah sakit dan standar pelayanan medis sudah dicantumkan dalam SK Menkes No. 436/MenKes/SK/VI/1993. Keputusan inilah yang mendasari perlu dilaksanakannya farmasi klinik dalam pelayanan kesehatan rumah sakit di Indonesia (Anonim, 1993). Selain itu, Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, juga mencantumkan hukum yang menjadi landasan asuhan kefarmasian mengarah kepada farmasi klinik (Anonim, 2009). Peran apoteker telah dianggap sebagai pemegang kunci penting dalam proses peresepan bahkan sebagai pendukung pasien untuk mengoptimalkan penggunaan dan pengawasan obat (Hepler & Strand, 1990; Anonim, 1992; Posey, 1997). Namun demikian penerapannya di Indonesia masih sangat terbatas. Menurut Hughes & McCann (2003) perlu dilakukan pelayanan kefarmasian yang terintegrasi dengan layanan kesehatan berdasarkan hubungan kerja bersama tenaga medis. Kondisi demikian telah disadari oleh pemerintah Inggris dan tercantum di dalam laporan Crown yang membahas mengenai peresepan, suplai, dan administrasi pengobatan. Laporan ini merekomendasikan adanya perluasan wewenang dalam sistem peresepan kepada tenaga kesehatan profesional, termasuk apoteker (Anonim, 1992).
3
Oleh sebab itu, agar fungsi apoteker dan tenaga kesehatan lain dapat bekerja sama dengan baik, perlu adanya pengenalan peranan farmasi yang lebih luas. Pengukuran persepsi dari tenaga kesehatan mengenai peran apoteker dalam pelayanan farmasi klinik ditujukan untuk melihat bagaimana respon dari para tenaga kesehatan terhadap perkembangan peran tersebut. Menurut konsepnya, persepsi merupakan sebuah proses memaknai atau menafsirkan pola stimulus dari luar (lingkungan) berdasarkan pengalaman dan petunjuk inderawi yang telah dirasakan (Ruch, 1967; Gibson, 1986; Atkinson & Hilgard, 1991). Persepsi atas peran apoteker dapat menjadi salah satu pendekatan untuk melihat seberapa jauh pemahaman tenaga kesehatan dalam sistem pelayanan farmasi klinik. Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten (RSST Klaten) merupakan rumah sakit pendidikan kelas B dengan dukungan tenaga kesehatan yang cukup besar. Pihak manajemen RSST menyatakan besarnya usaha dan upaya untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu bagi masyarakat sesuai dengan visi dan misi rumah sakit (Anonim, 2013). Salah satu peningkatan pelayanan tersebut ialah dengan dimulainya pelaksanaan farmasi klinik oleh apoteker pada sebagian bangsal rawat inap. Sebelum mengembangkan penerapan farmasi klinik yang lebih luas ke bagian lain, perlu dilakukan studi terlebih dahulu kepada para tenaga kesehatan mengenai persepsi dasar mereka atas peran apoteker dalam farmasi klinik agar diketahui strategi sosialisasi yang tepat. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang persepsi tenaga kesehatan terhadap peran apoteker dalam pelayanan farmasi klinik di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Penelitian ini diharapkan dapat
4
memberikan manfaat dan masukan bagi pihak rumah sakit sehingga dapat menginisiasi perkembangan pelayanan farmasi klinik di rumah sakit yang lebih baik. B. Perumusan Masalah 1.
Bagaimana persepsi tenaga kesehatan terhadap peran apoteker dalam pelayanan farmasi klinik di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?
2.
Seberapa jauh karakteristik tenaga kesehatan mempengaruhi persepsi terhadap peran apoteker dalam pelayanan farmasi klinik di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten? C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui persepsi tenaga kesehatan terhadap peran apoteker dalam pelayanan farmasi klinik di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
2.
Untuk
mengetahui
seberapa
jauh
karakteristik
tenaga
kesehatan
mempengaruhi persepsi terhadap peran apoteker dalam pelayanan farmasi klinik di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. D. Manfaat Penelitian 1.
Bagi pihak rumah sakit: penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai persepsi tenaga kesehatan terhadap fungsi serta peran yang dimiliki apoteker dalam implementasi pelayanan farmasi klinik sehingga berguna untuk pengembangan sistem farmasi klinik kedepannya.
5
2.
Bagi apoteker: diharapkan dapat meningkatkan peran apoteker dalam keterlibatan pada layanan asuhan kefarmasian di rumah sakit.
3.
Bagi masyarakat: diharapkan dapat mengembangkan sistem pelayanan kesehatan yang akan diterima masyarakat hingga menghasilkan peningkatan terhadap kualitas hidup pasien menjadi lebih baik.
4.
Bagi peneliti: diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuan peneliti serta menjadi bahan acuan dan inspirasi untuk peneliti selanjutnya. E. Tinjauan Pustaka
1. Farmasi Klinik Menurut American College of Clinical Pharmacy (2008), farmasi klinik telah didefinisikan sebagai suatu bentuk cakupan area baru yang memperhatikan sains dan praktik dari penggunaan obat rasional. Dalam pemahaman yang lebih mendalam, farmasi klinis dianggap sebagai disiplin ilmu kesehatan dimana apoteker diharapkan dapat memberikan pelayanan pada pasien dengan tujuan mengoptimalkan terapi pengobatan serta promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Praktik farmasi klinik merupakan salah satu wujud dari pemikiran Pharmaceutical Care (asuhan kefarmasian) dengan menggabungkan orientasi pelayanan dan kemampuan khusus yang meliputi pengetahuan, pengalaman, serta pengamatan untuk tujuan hasil luaran pasien yang baik. Sebagai salah satu disiplin ilmu kesehatan, farmasi klinik juga memiliki kewajiban untuk berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan sehingga dapat memajukan kesehatan dan kualitas hidup masyarakat (American College of Clinical Pharmacy, 2008).
6
Apoteker pengobatan
dan
memiliki terintegrasi
pengetahuan dengan
yang
mendalam
pemahaman
konsep
mengenai biomedis,
pharmaceutical, sociobehavioral, dan sains klinik. Untuk meraih tujuan terapi yang diinginkan, apoteker tidak hanya menerapkan panduan terapi berdasarkan bukti, tetapi juga memasukkan unsur lain seperti sains yang terus berkembang, teknologi, bahkan hingga hukum, etika, sosial, budaya, ekonomi, dan prinsip profesional (American College of Clinical Pharmacy, 2008). 2. Pharmaceutical Care (Asuhan Kefarmasian) Secara leksikogarafi (ilmu yang mempelajari tentang pemaknaan bahasa), kata care diantaranya bermakna merawat, memberi perhatian, dan peduli. Pharmaceutical merupakan bentuk kata sifat (adjective) dari kata pharmacy yang memiliki padanan kata dalam Bahasa Indonesia yaitu farmasi. Dalam penerjemahan berlaku ketentuan pemaknaan kata dasarnya secara konsisten atau pemaknaan berdasarkan hakikat. Oleh karena itu, dalam Bahasa Indonesia pharmaceutical care dapat bermakna kepedulian atau tanggung jawab profesi dalam hal farmakoterapi dengan tujuan untuk mencapai hasil yang dapat meningkatkan atau menjaga kualitas hidup pasien. Dalam hal ini seorang apoteker mempunyai kewajiban mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan obat dan kesehatan (Rantucci, 1997). Konsep asuhan kefarmasian menjadi penting karena meningkatnya biaya kesehatan dan adverse drug reactions dari obat-obat yang diresepkan.
7
Obat menjadi lebih mahal, penggunaanya meningkat, biaya kesalahan penggunaan obat (drug misuse) meningkat, dan efek samping obat. Asuhan kefarmasian adalah konsep yang melibatkan tanggung jawab apoteker yang dapat menjamin terapi optimal terhadap pasien secara individu sehingga pasien membaik dan kualitas hidupnya meningkat. Peran apoteker dalam asuhan kefarmasian di awal proses terapi adalah menilai kebutuhan pasien. Di tengah proses terapi, mereka memeriksa kembali semua informasi dan memilih solusi terbaik bagi DRP (drug related problem) pasien. Diakhir proses terapi, mereka menilai hasil intervensi apoteker sehingga didapatkan hasil optimal dan kualitas hidup meningkat serta hasilnya memuaskan. Fungsi utama dari asuhan kefarmasian berdasarkan teori dasarnya adalah (Hepler & Strand, 1990; Strand et al., 1991): a.
Identifikasi aktual dan potensial masalah yang berhubungan dengan obat.
b.
Menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan obat.
c.
Mencegah terjadinya masalah yang berhubungan dangan obat.
Manfaat pelayanan kefarmasian, antara lain (Brien & Simioni, 1996): a.
Mendapat pengalaman yang lebih efisien memantau terapi obat.
b.
Memperbaiki komunikasi dan interaksi antara apoteker dengan profesi kesehatan lainnya.
c.
Membuat dokumentasi kaitan dengan terapi obat.
d.
Identifikasi, penyelesaian dan pencegahan masalah yang berkaitan dengan obat.
8
e.
Justifikasi layanan farmasi dan assessment kontribusi farmasi terhadap layanan pasien dan hasilnya bagi pasien.
3.
f.
Memperbaiki produktivitas apoteker.
g.
Jaminan mutu dalam layanan farmasi secara keseluruhan.
Peran Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan promotif, pencegahan penyakit preventif, penyembuhan penyakit kuratif, dan pemulihan kesehatan rehabilitatif,
yang
dilaksanakan
secara
menyeluruh,
terpadu,
dan
berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini menjadi pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas kesehatan di Indonesia termasuk rumah sakit. Rumah sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan, merupakan
rujukan
pelayanan
kesehatan
dengan
fungsi
utama
menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien (Anonim, 2004). Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas
dalam
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Nomor
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi
9
kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat (Anonim, 2004). 4. Tenaga Kesehatan Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Pasal 1 ayat (1) Nomor 32 tahun 1996, tenaga kesehatan didefinisikan sebagai orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Anonim, 1996). Kemudian diperjelas kembali dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu ”Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. ”Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/ atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/ atau masyarakat” (Anonim, 2009). Ada delapan kategori tenaga kesehatan menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, yaitu (Anonim, 1996): a. Tenaga kesehatan terdiri dari : 1) Tenaga medis.
10
2) Tenaga keperawatan. 3) Tenaga farmasi. 4) Tenaga kesehatan masyarakat. 5) Tenaga gizi. 6) Tenaga keterapian fisik. 7) Tenaga keteknisian medis. b. Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi. c. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan. d. Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi, dan asisten apoteker. e. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiologi kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian. f. Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien. g. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, akupasiterapis dan terapis wicara. h. Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis, optisien, otorik prostetik, teknisi tranfusi, dan perekam medis. Dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan bahwa “Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan”, Ayat (2) ”Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana
11
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan keahlian yang dimiliki”. Pasal 24 ayat (1) ”Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional”. Ayat (3) ”Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri”. Dan sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pada Pasal 4 ayat (1), bahwa ”Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang bersangkutan memiliki izin dari menteri”. 5. Persepsi Menurut Jalaludin (1998), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Gibson et al. (1994) menyatakan persepsi sebagai proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Didukung pula oleh Atkinson & Hilgard (1991) yang mengartikan bahwa persepsi adalah sebuah proses penafsiran dan mengorganisasikan pola stimulus oleh manusia dalam lingkungan. Menurut Ruch (1967), persepsi ialah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada situasi tertentu. Persepsi berkaitan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus mengenai kejadian pada saat tertentu. Oleh karena itu, persepsi bisa terjadi
12
kapan saja saat stimulus menggerakkan indera. Dalam hal ini persepsi lebih diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera (Chaplin, 1989). Sebagai salah satu bentuk cara pandang, persepsi dapat timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus kompleks yang diterima seseorang masuk ke dalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson & Hilgard,
1991).
Persepsi
mencakup
penerimaan
stimulus
(input),
pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986). 6. Profil Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Soeradji Tirtonegoro a.
Sejarah dan Perkembangan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Soeradji Tirtonegoro didirikan pada tanggal 20 Desember 1927 secara bersama-sama oleh perkebunan-perkebunan milik Pemerintahan Belanda, dengan nama Dr. Scheurer Hospital. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, rumah sakit diambil alih Pemerintah Republik Indonesia. Karena letak rumah sakit ini berada di Desa Tegalyoso, maka kemudian nama rumah sakit diganti menjadi Rumah Sakit Umum Tegalyoso Klaten (Anonim, 2013). Mulai tahun 1954 RSU Tegalyoso Klaten dikelola secara penuh oleh Departemen Kesehatan RI dan disebut sebagai Rumah Sakit Umum
13
Pusat (RSUP) Tegalyoso. Berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI No. 1442A/Menkes/SK/XII/1997 tertanggal 20 Desember 1997 nama RSUP Tegalyoso berganti nama menjadi RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro (RSST) sampai sekarang. Pada tanggal 27 Desember 2002 rumah sakit ini ditetapkan sebagai rumah sakit kelas B pendidikan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 159A/Menkes/SK/2002 (Anonim, 2013). b.
Visi, Misi, Motto, dan Maklumat 1) Visi Menjadi rumah sakit yang berkualitas dan mandiri dalam pelayanan, pendidikan, dan penelitian di bidang kesehatan tingkat nasional, 2) Misi a) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna, berkualitas, dan terjangkau, b) Menyelenggarakan
pendidikan
pelatihan,
penelitian,
dan
pengembangan ilmu bidang kesehatan dengan standar mutu yang tinggi, c) Mewujudkan kepuasan pelanggan untuk mencapai kemandirian rumah sakit, d) Meningkatkan kesejahteraan karyawan, 3) Motto Bersih, Nyaman, dan Akurat,
14
4) Maklumat RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro menyatakan akan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku berdasarkan motto: Bersih, Nyaman, dan Akurat, (Anonim, 2013). c.
Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia (SDM) di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro per Desember 2012 berjumlah 1071 orang, dimana yang termasuk pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 718 orang dan bukan PNS 353 orang. Total tenaga medis dan paramedis ada 651 yang tersebar di berbagai peran, termasuk dokter, perawat, apoteker, bidan, ahli gizi, fisioterapi, dan lain-lain. Sementara untuk tenaga nonkesehatan berjumlah 420 orang (Anonim, 2013). F. Kerangka Konsep
! !
Persepsi Kelompok Dokter
!
Peran Apoteker dalam ! Farmasi Klinik
!
1. Gambaran persepsi per item pernyataan 2. Analisis tingkat persepsi ratarata per item pernyataan dan secara keseluruhan
Persepsi Kelompok Perawat
! Basic skills in Clinical !Pharmacy Practice (American Society of ! Hospital Pharmacists, 1983) Gambar 1. Kerangka Konsep
3. Analisis pengaruh karakteristik terhadap persepsi
15
G. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan tingkat persepsi tenaga kesehatan terhadap peran apoteker dalam pelayanan farmasi klinik ditinjau dari penilaian responden. Kemudian dari nilai tersebut dirata-rata untuk melihat persepsi umum, baik untuk per item pernyataan maupun secara keseluruhan. Hasil persepsi juga dikelompokkan dan dibandingkan antar karakteristik pasien untuk melihat pengaruhnya terhadap persepsi responden. ! !