BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Sejak dulu, kosmetika sudah menjadi kebutuhan primer wanita yang dapat membantunya tampil lebih menarik. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, beragam sediaan dan jenis kosmetik muncul di pasaran. Sayangnya, tidak semua kosmetik itu memenuhi kaidah farmasetika yaitu aman, berkhasiat, dan berkualitas. Melalui siaran pers No : KH.00.01.3352 Tanggal : 7 September 2006, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan peringatan kepada masyarakat tentang kosmetik yang mengandung bahan dan zat warna yang dilarang. Dalam siaran pers tersebut BPOM menyebutkan bahwa dari hasil pengawasan Badan POM RI pada tahun 2005 dan 2006 di beberapa provinsi, ditemukan 27 (dua puluh tujuh) merek kosmetik yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kosmetik yaitu : Merkuri (Hg), Hidroquinon > 2 %, zat warna Rhodamin B, dan Merah K.3 (Anonim, 2006). Lipstik merupakan salah satu contoh kosmetika dekoratif yang berfungsi untuk memberikan warna pada bibir, sehingga dapat memberikan efek mempercerah wajah dan sekaligus untuk melembabkan serta melindungi bibir dari radiasi sinar ultraviolet (Mitsui, 1997). Zat warna merupakan senyawa aktif dari formula lipstik. Seiring dengan berkembangnya industri kosmetika dan persaingan pasar, memacu penyalahgunaan senyawa warna yang terkandung dalam lipstik ini dengan menggunakan pewarna sintetis yang berbahaya bagi kesehatan. 1
2
Untuk itu diperlukan pencarian alternatif pewarna alami seperti antosianin (Hanum, 2000). Antosianin merupakan pewarna alami yang tersebar luas dalam tumbuhan (bunga, buah-buahan, sayuran, dan ubi-ubian). Antosianin sebagai pewarna alami dapat diaplikasikan pada sediaan kosmetik, makanan, maupun minuman (Delgrado-Vargaz & Paredes-Lopez, 2003). Dewasa ini antosianin sudah menjadi perhatian ilmuwan untuk digunakan sebagai pewarna, karena sifatnya yang alami dan sehat, sedangkan pewarna sintesis dan pewarna yang disari dari serangga telah terbukti memberikan kerugian bagi kesehatan. Contohnya, sebuah penelitian melaporkan bahwa pewarna karmin yang didapatkan dari ekstrak serangga Dactylopius coccus sebagai pewarna merah yang digunakan dalam makanan dapat menginduksi alergi sedang seperti asma dan pembengkakakan wajah (Yamakawa, dkk., 2009). Penelitian lain menyebutkan bahwa penggunaan pewarna sintesis sebanyak empat kali lipat, dalam 50 tahun terakhir dapat menyebabkan hiperaktifitas pada beberapa populasi anak-anak (Arnold, dkk., 2012). Oleh karena itu, pengembangan antosianin sebagai pewarna alami dapat mengurangi penggunaan pewarna sintesis. Antosianin salah satunya terdapat pada ekstrak ubi jalar dengan warna ungu yang berasal dari bagian umbinya. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa antosianin dalam umbi ubi ungu ini memiliki kestabilan yang cukup tinggi dibandingkan dengan antosianin pada tumbuhan lain (Odake et al, 1992 cit Andarwulan & Faradilla, 2012). Contoh sederhana yang membuktikan bahwa antosianin dalam umbi ubi jalar ungu memiliki kestabilan yang tinggi adalah ketika potongan umbi ubi jalar ungu digoreng maka warnanya tetap ungu. Kestabilan
3
antosianin umbi ubi jalar ungu ini telah diteliti karena dipengaruhi salah satunya karena tersedia dalam bentuk asilasi yang dapat memicu adanya kopigmentasi. Fenomena kopigmentasi merupakan fenomena pigmen berasosiasi dengan komponen lain sehingga akan melindungi cincin flavilium. Antosianin dari umbi ubi jalar ungu terdiri atas 12 komponen yaitu 7 komponen derivat sianidin dan 5 komponen peonidin yang tersedia dalam bentuk baik mono- maupun di-asilasi (Xu, 2013). Ketersediaan ubi jalar dengan warna ungu yang melimpah di Indonesia menyebabkan umbi ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai zat warna pada sediaan lipstik. Di dalam membuat sediaan lipstik yang baik tidak hanya zat pewarna saja yang perlu diperhatikan. Bentuk fisik dari sediaan juga memegang peranan penting untuk menarik konsumen. Komponen yang sangat mempengaruhi bentuk dan stabilitas fisik lipstik adalah basis wax. Pemilihan dan perbandingan jumlah basis wax yang digunakan sangat mempengaruhi pada kekerasan, kehalusan, dan mengkilapnya lipstik saat pengaplikasian. Beberapa jenis basis wax yang sering digunakan dalam pembuatan sediaan lipstik adalah carnauba wax, paraffin wax, beeswax, candelilla wax, dan spermaceti (Jellinek, 1970). Paraffin wax merupakan komponen utama dalam pembuatan sediaan lipstik. Paraffin wax dapat membuat sediaan lipstik menjadi rapuh dan lemah pada jumlah yang besar, namun pada jumlah yang sedikit dapat meningkatkan kehalusan dan kekilapan dari lipstik saat penggunaan (Lauffer, 1972). Oleh sebab itu, paraffin wax harus dikombinasikan dengan basis wax lain untuk memperbaiki sifatnya. Contoh basis yang dapat dikombinasikan dengan paraffin wax adalah carnauba
4
wax. Dalam jumlah tertentu, carnauba wax dapat meningkatkan kelembutan dan kekuatan sehingga sediaan lipstik tidak menjadi mudah patah dan rapuh, juga dapat meningkatkan titik leleh dan memudahkan saat pencetakkan. Carnauba wax merupakan salah satu lilin alami dari sayuran yang terkeras, memiliki titik leleh tinggi yaitu 85oC (Lauffer, 1972). Kombinasi terbaik dari basis paraffin wax dan carnauba wax dalam sediaan lipstik dapat diperoleh dengan menggunakan metode Simplex Lattice Design. Metode tersebut dapat digunakan untuk optimasi formula pada berbagai jumlah komposisi bahan yang berbeda sehingga menghasilkan formula optimum yang memiliki sifat-sifat fisik yang diharapkan. Metode ini cepat dan praktis karena dapat menghindarkan penentuan formula secara coba-coba (trial and error) (Amstrong & James, 1996; Bolton, 1997). Formula optimum kemudian dilakukan pengujian fisik, meliputi organoleptis, daya kekerasan, daya lekat, titik leleh, uji hedonik, dan pengujian pH. Dalam tahap awal formulasi, pengujian sifat fisik lebih didahulukan dibandingkan uji secara kimiawi (Lauffer, 1972).
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Berapakah komposisi kombinasi carnauba wax dan paraffin wax yang dapat menghasilkan formula optimum sediaan lipstik ekstrak etanolik umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) berdasarkan metode Simplex Lattice Design ?
5
2. Bagaimana hasil dari sifat fisik formula optimum sediaan lipstik ekstrak etanolik umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) ?
C. Pentingnya Penelitian Dilakukan Penelitian ini diusulkan untuk mengeksplorasi bahan alam yang berpotensi dalam usaha meningkatkan keamanan penggunaan kosmetika yang kemudian dapat diformulasikan menjadi sediaan lipstik dengan kombinasi basis tertentu yang dapat menghasilkan sifat fisik lipstik yang diharapkan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memantik kreativitas mahasiswa untuk berkreasi dan berinovasi khususnya dalam bidang kesehatan. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk menambah data ilmiah yang valid sehingga dapat dipublikasikan menjadi sebuah artikel dalam jurnal ilmiah serta menjadi sumber data yang bermanfaat bagi pengembangan penelitian selanjutnya.
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui komposisi basis carnauba wax dan paraffin wax yang dapat menghasilkan formula optimum sediaan lipstik ekstrak etanolik umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.), berdasarkan metode Simplex Lattice Design. 2. Mengetahui sifat fisik formula optimum sediaan lipstik ekstrak etanolik umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.).
6
E. Tinjauan Pustaka 1. Ubi jalar ungu a. Klasifikasi tumbuhan Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Solanales
Suku
: Convolvulaceae
Marga
: Ipomoea
Jenis
: Ipomoea batatas L. (Hutapea, 1991).
b. Nama daerah Ketelo (Minangkabau), Setilo (Lampung), Eba (Enggano), Gadong (Aceh), Gadong (Gayo), Gadong enjolor (Batak), Hui bolet (Sunda), Ketela rambat (Jawa Tengah), Telo (Madura), Kaselo (Bali), Katila (Dayak), Katabang (Sumbawa), Uwi (Bima), Wui tutu (Buol), Lame jawa (Makassar), Lame jawa (Bugis), Kaetela (Seram Timur), Patatas (Ambon), Mangat (Buru), Daso (Halmahera), Ima (Ternate) , Daso (Tidore) ( Hutapea, 1991).
c. Morfologi Merupakan tanaman semusim dengan panjang ±5m. Batang bulat, bercabang, lunak, bergetah, beruas, tiap buku bisa tumbuh akar, membentuk umbi. Daunnya tunggal, bertangkai, bulat, ujung runcing, tepi rata, pangkal
7
rompang, pertulangan menyirip, panjang 4 – 14 cm, lebar 4 – 11 cm. Bunga majemuk, bentuk terompet, di ketiak daun, kelopak bentuk lonceng, bertaju lima, hijau, mahkota bentuk corong, panjang 3 – 4,5 cm, putih, benang sari lima, melekat pada mahkota, putik bentuk benang, kepala putik kecil, putih. Buahnya berbentuk bulat telur, beruang dua sampai empat, masih muda hijau setelah tua hitam. Biji kecil, diameter ± 1 mm, putih kotor. Akar tunggang, berwarna putih (Hutapea, 1991).
d. Kandungan Daun dan akar Ipomoea batatas mengandung saponin, flavonoida dan polifenol (Hutapea, 1991). Sedangkan pada umbi ubi jalar ungu mengandung beberapa karbohidrat, yang meliputi : pati 46,2% , gula 22,4%, hemiselulosa 3,6% , selulosa 2,7 %, pektin 0,47% (Meyer, dkk., 1982). Komposisi zat gizi dari varietas ubi jalar yang berbeda (putih, kuning, dan ungu) hampir sama, tetapi pada varietas ubi jalar ungu lebih kaya akan kandungan vitamin A yang mencapai 7.700 mg per 100 g. Setiap 100 g ubi jalar ungu mengandung energi 123 kkal, protein 1,8 g, lemak 0,7 g, karbohidrat 27,9 g, kalsium 30 mg, fosfor 49 mg, besi 0,7 mg, vitamin C 22 mg dan vitamin B1 0,009 mg. Ubi jalar dengan warna daging ungu juga mengandung 12 komponen antosianin yaitu 7 komponen derivat sianidin dan 5 komponen peonidin yang tersedia dalam bentuk baik mono- maupun di-asilasi. (Xu, 2013). Asilasi dengan berbagai asam organik membuat antosianin dalam umbi ubi jalar ungu unik dan memberikan keuntungan yaitu lebih stabil dalam pH, proses pemanasan, dan cahaya. Secara umum,
8
asilasi ini meningkatkan kestabilan dibandingkan antosianin dari tumbuhan lain. Umbi ubi jalar ungu sebagai sumber antosianin terasilasi telah menunjukkan kemampuannya dalam pewarnaan, pada suasana asam hingga netral yang memberikan warna mirip dengan pewarna sintetis FD&C red#40 (Suda et al, 2003). Di Jepang, umbi ubi jalar ungu ini sudah biasa digunakan sebagai bahan tambahan pewarna alami pada industri makanan (Dyrby, dkk., 2001; Giusti & Wrolstad, 2003; Suda et al, 2003). Dalam penggunaannya sebagai bahan tambahan, umbi ubi jalar ungu mengalami proses preparasi dapat berupa pemanasan, penyerbukan, atau proses yang lainnya. Proses ini dapat memicu adanya degradasi pigmen dikarenakan paparan panas dan oksigen. Oleh karena itu, kestabilan dari antosianin merupakan kunci dari kualitas antsosianin secara keseluruhan. Xu (2013) membandingkan beberapa proses preparasi khususnya pada preparasi yang melibatkan panas. Sumber antosianin yang digunakan adalah antosianin dari umbi ubi jalar ungu jenis p40, yang merupakan jenis budidaya umbi ubi jalar ungu John C. Pair Horticulture Research Center yang memiliki kandungan antosianin melimpah. Adapun perlakukan yang dilakukan tercantum dalam tabel I berikut ini.
9
Tabel I. Preparasi dan Metode yang digunakan untuk menguji kestabilan antosianin ekstrak Ipomoea batatas L. (Xu, 2013)
Metode Pemanasan
Kondisi*
Instrumen yang digunakan
Pemanggangan konvensional Pengukusan
205oC, 50 menit Oven Konvensional
Pemanasan dengan tekanan tinggi Pemanggangan dengan microwave Penggorengan
121oC, 15 psi, Cuisinart Pressure Cooker 17 menit Kekuatan Microwave konvensional 850 W 100%, 5 menit 177oC, 5 menit Penggorengan konvensional
100oC, 20 menit Hamilton Beach rice cooker
*Kondisi berdasarkan pada penelitian terdahulu yang sudah ditentukan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengukusan, pemanasan dengan
tekanan
tinggi,
pemanggangan
dengan
microwave,
dan
penggorengan menunjukkan penurunan kadar antosianin total sebanyak 17,4%; 35,0%; 27,2%; dan 21,7%. Pemanggangan konvensional merupakan perlakuan yang tidak menyebabkan penurunan kadar antosianin total secara signifikan.
2. Antosianin Antosianin merupakan flavonoid larut air yang dapat memberikan warna merah tua sampai biru pada bunga, buah, ataupun daun tanaman tingkat tinggi. Pada bunga, antosianin terletak dalam vakuola pada sel epidermis. Antosianin terdiri dari antosianidin dan gula.
Gambar 1. Struktur dasar antosianin (Brouillard, 1982)
10
Tabel II. Gugus pada struktur dasar antosianin yang sering dijumpai (Francis, 1989; Andersen, 2002; & Devia et al, 2002)
Antosianidin
Substitusi pada atom C nomor
Warna
3
5
6
7
3’
4’
5’
Apigenin
H
OH
H
OH
H
OH
H
Orange
Luteolin
H
OH
H
OH
OH
OH
H
Orange
Tricetinidin
H
OH
H
OH
OH
OH
OH
Merah
Pelargonidin
OH OH
H
OH
H
OH
H
Orange
Aurantidin
OH OH
OH OH
H
OH
H
Orange
Cyanidin
OH OH
H
OH
OH
OH
H
Merah Keunguan
Peonidin
OH OH
H
OH
OCH3 OH
H
Merah
Rosinidin
OH OH
H
OCH3 OCH3 OH
H
Merah
Delfinidin
OH OH
H
OH
OH
OH
OH
Merah Lembayung
Petunidin
OH OH
H
OH
OCH3 OH
OH
Merah Lembayung
Malvidin
OH OH
H
OH
OCH3 OH
OCH3 Merah Lembayung
Pulchellidin
OH OCH3 H
OH
OH
OH
OH
Merah Lembayung
Eupinidin
OH OCH3 H
OH
OCH3 OH
OH
Merah Lembayung
Capensinidin
OH OCH3 H
OH
OCH3 OH
OCH3 Merah Lembayung
Tabel II yang mengacu pada Gambar 1 menunjukkan bahwa perbedaan gugus pada struktur dasar antosianin menyebabkan keragaman jenis antosianin yang dapat menghasilkan warna yang berbeda. (DelgradoVargaz & Paredes-Lopez, 2003). Terdapat 21 jenis antosianidin yang terdapat dalam tanaman dan hanya ada 6 jenis yang ketersediaannya melimpah di alam, yaitu sianidin (30%), delfinidin (22%), pelargonidin
11
(18%), peonidin (7,5%), malvidin (7,5%), dan petunidin (5%) (Andersen & Markham, 2010; Escribano-Bailón, dkk., 2004).
Pelargonidin
Delfinidin
Peonidin
Sianidin
Malvidin
Petunidin
Gambar 2. Jenis antosianin yang sering ditemui (Rein, 2005)
Menurut Delgrado-Vargaz & Paredez-Lopez (2003), Lydia, dkk., (2001), stabilitas antosianin dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : Tabel III. Faktor yang mempengaruhi stabilitas antosianin
Faktor pH Temperatur/Suhu Asam Askorbat Cahaya Asilasi dan Kopigmentasi
Keterangan pH asam menyebabkan sebagian besar antosianin dalam kondisi paling berwarna Kenaikan suhu menyebabkan antosianin semakin tidak berwarna Dapat mengoksidasi antosianin menjadi tidak berwarna Cahaya matahari dan lampu dapat mendegradasi antosianin menjadi tidak berwarna Adanya gugus terasilasi dapat membuat mekanisme kopigmentasi yang dapat membuat cincin flavilium lebih terproteksi
Pada tabel III menyebutkan bahwa dalam kondisi tertentu dapat mempengaruhi kestabilan antosianin.
12
a. Nilai pH Telah diketahui sejak lama bahwa nilai pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin. Peristiwa ini ditunjukkan dengan berubahnya warna antosianin dalam berbagai nilai pH. Faktanya dahulu antosianin digunakan sebagai indikator pH pada awal mula perkembangan ilmu sains (Foster, 1978). Kation flavilium akan tersedia lebih dominan apabila nilai pH kurang dari atau sama dengan 3 yang mengakibatkan warnanya kemerahan, dengan membawa muatan positif pada oksigen. Deprotonasi oksigen dan kerangka hidroksil secara cepat terjadi ketika nilai pH meningkat dalam rentang 3,1-5 yang mengakibatkan warna merah pekat menjadi berubah agak kebiruan menjadi merah lembayung atau merah keunguan (Wrolstad, dkk., 2005). Dalam suasana basa, maka basa kuinodal lebih lanjut akan mengalami deprotonasi membentuk suatu anion kuinoda yang akan membentuk antosianin menjadi karbinol pseudobasa dan kemudian kalkon melalui reaksi hidrasi pada atom C nomor 2, yang menyebabkan pemudaran warna. Reaksi pembentukan karbinol pseudobasa dari bentuk flavilium merupakan reaksi reversibel (Brouillard & Delaporte, 1977). b. Temperatur/Suhu Antosianin merupakan senyawa yang tidak stabil terhadap suhu yang tinggi. Proses pemanasan berperan penting dalam mempercepat pembentukan kalkon dan dekomposisi antosianin menjadi turunan asam benzoat,
yang mengakibatkan
pemudaran
warna.
Secara
umum,
13
penyimpanan dalam lemari pendingin dalam kondisi pH asam merupakan titik kritis dalam meningkatkan kestabilan antosianin. Dalam sebuah penelitian menggunakan ekstrak buah stroberi sebagai sumber antosianin yang mengandung pelargonidin-3-glikosida, melaporkan bahwa setengah bagian dari jumlah total antosianin menjadi rusak ketika dilakukan pemanasan pada suhu 95oC dengan pH 1. Mayoritas pelargonidin-3-glikosida rusak menjadi pelargonidin dan lebih lanjut mengalami konversi menjadi bentuk yang tidak berwarna (Sadilova, dkk., 2006). Salah satu mekanisme meningkatkan kestabilan antosianin terhadap suhu tinggi ini adalah dengan adanya suatu gugus asilasi yang dapat mencegah pembentukan kalkon melalui kopigmentasi. Ekstrak umbi ubi jalar ungu merupakan sumber antosianin di-asilasi yang mana telah dilaporkan memiliki kestabilan yang baik (Steed & Truong, 2008). Mekanisme peningkatan kestabilannya melalui reaksi intramolekuler kopigmentasi dengan gugus asil. c. Kopigmentasi Peningkatan stabilitas dari antosianin dapat tercapai melalui kopigmentasi, suatu fenomena di mana pigmen berikatan dengan komponen lain (kopigmen) yang mengakibatkan pigmen akan terproteksi dengan memblok kromofor dari reaksi hidrasi (Dangles, dkk., 1993; Davies & Mazza, 2002). Fenomena kopigmentasi telah diteliti sejak lama, yaitu pada
14
awal tahun 1915 di mana antosianin malvidin-3-glikosida meningkat kestabilannya dengan penambahan tannin (Boulton, 2001). Mekanisme kopigmentasi ini terbentuk dalam jalur yang berbeda bergantung dari kopigmen yang terkandung. Formasi intermolekuler dan intramolekuler diketahui berpengaruh dalam kestabilan antosianin. Contoh kopigmen yang ada di alam adalah senyawa asam fenolik dan flavonoid dengan mekanisme proteksi membentuk ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik, yang kemudian dapat melindungi atom C nomor 2 dari serangan nukleofilik dari air, sehingga akan mengurangi kemungkinan terbentuknya karbinol pseudobasa. Kompleks yang terbentuk antara antosianin dan molekul kopigmen merupakan suatu kopigmentasi intermolekuler (Castañeda-Ovando, dkk., 2009; Malien-Aubert, dkk., 2001) Antosianin terasilasi juga dapat mengalami kopigmentasi dengan membentuk suatu ikatan kovalen dengan antosianin. Residu aromatik dari gugus asil akan melipat dan memposisikan pada kerangka antosianin, sehingga akan memberikan suatu proteksi pada kromofor cincin flavilium secara intramolekuler. Pada
penelitian
Broillard
(1981),
antosianin
ter-di-asilasi
memberikan pengaruh peningkatan kestabilan antosianin lebih tinggi dibandingkan antosianin mono-asilasi. Kedua gugus asil pada antosianin ter-di-asilasi akan mengalami overlap pada kedua sisi kerangka antosianin, sehingga akan memberikan daya proteksi lebih kuat dibandingkan antosianin mono-asilasi.
15
d. Cahaya Adanya energi pada cahaya akan menstimulasi fotokimia (fotooksidasi) yang dapat mengakibatkan pembukaan cincin aglikon pada antosianin yang diawali oleh cincin C pada atom karbon nomor 2 membentuk senyawa kalkon. Senyawa ini merupakan indikator bahwa antosianin telah terdegradasi (Wijaya et al, 2001). e. Asam Askorbat Penambahan asam askorbat akan meningkatkan warna, dengan terbentuknya kation flavilium (Nikkhah et al, 2008) karena akan membuat kondisi lingkungan menjadi asam, sehingga kaya akan kation flavilium. Tetapi asam askorbat mudah teroksidasi selama fotooksidasi. Oksidasi asam askorbat dapat mengakibatkan terbukanya cincin pirilium, kemudian secara fisik akan mengalami dekolorisasi (Markakis, 1982).
Antosianin hampir terdapat umum dalam tumbuhan berpembuluh (antosianin telah dideteksi dalam beberapa lumut, dalam daun muda paku, begitu pula dalam angiospermae dan gymnospermae), tetapi dalam salah satu ordo tumbuhan tinggi, yaitu Centrospermae, antosianin digantikan oleh segolongan pigmen yang secara sepintas tampaknya serupa, yaitu betasianin. Perbedaan antosianin dan betasianin ialah pada betasianin mudah rusak oleh hidrolisis asam, profil kromatografi, dan perilaku elektroforesisnya berlainan. Selain itu, apabila betasianin masuk ke saluran pencernaan, pada 14% populasi manusia, pigmen ini
16
tidak mengalami metabolisme dan warnanya tidak berubah dalam air seni, keadaan tersebut dikenal sebagai bituria (Harborne, 1996). Keberadaan antosianin dalam suatu ekstrak tanaman dapat diketahui melalui tabel IV di bawah ini. Tabel IV. Uji untuk membedakan antosianin dan betasianin
No. Perlakuan 1. 2.
3. 4. 5. 6.
Dipanaskan dengan HCl 2 M selama 5 menit pada 100oC Ditambahkan NaOH 2 M tetes demi tetes
Kromatografi dengan pengembang HCl 1% Kromatografi Lapis Tipis dengan BAA Spektrum tampak dalam MeOH-HCl Elektroforesis pada pH 2 – 4
Karakteristik Antosianin Warna merah tidak pudar Warna merah berubah menjadi hijau biru dan memudar perlahan – lahan hRf rendah sampai pertengahan hRf sedang (1040) λ maksimum 505– 535 Bergerak ke arah katode
Karakteristik Betasianin Warna merah pudar Warna merah berubah menjadi kuning
hRf tinggi hRf sangat rendah λ maksimum 532– 554 Bergerak ke arah anode (Harborne, 1996)
3. Ekstraksi Ekstraksi merupakan sebuah proses pemisahan berdasarkan perbedaan kelarutan bahan dengan tujuan untuk mengambil zat pokok yang diinginkan dari sebuah campuran dan menghilangkan zat-zat yang tidak diinginkan. Untuk melakukan ekstraksi dibutuhkan solvent (pelarut) yang dapat melarutkan dan memisahkan solute (zat terlarut) dari zat-zat lain yang memiliki kelarutan lebih rendah dibandingkan dengan pelarutnya (Berk, 2009). Solvent yang polar akan melarutkan solute yang polar dan solvent yang non-polar akan melarutkan solute yang non-polar. Hasil dari proses ekstraksi dinamakan ekstrak, sedangkan
17
pelarutnya disebut penyari, sedangkan sisa-sisa yang tidak ikut tersari disebut ampas (Harborne, 1996). Senyawa antosianin yang ingin didapatkan dari umbi ubi jalar ungu dapat diekstraksi dengan metode maserasi. Proses maserasi ini dapat dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam solvent yang sesuai selama tiga hari pada temperatur kamar dan terlindung cahaya. Solvent yang digunakan umumnya menggunakan larutan pengekstrak HCl dalam etanol. Adanya HCl akan mendenaturasi membran sel dan kemudian akan mendesak antosianin untuk keluar dari sel. Pigmen antosianin akan larut dalam etanol karena keduanya polar dan juga terdapat perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan setiap hari selama 5 hari, sedangkan cairan penyari diganti pada hari ke-3 sebagai proses remaserasi. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Brouillard & Oliver, 1994).
4. Lipstik Lipstik merupakan sediaan kosmetik bentuk batang, yang digunakan untuk memberikan warna yang menarik pada bibir (Anonim, 1978). Lipstik termasuk dalam kosmetik dekoratif. Pemakaian kosmetik dekoratif lebih untuk alasan psikologis daripada kesehatan kulit, sehingga peran zat warna dan pewangi sangat besar dalam sediaan ini (Tranggono & Latifah, 2007).
18
a. Persyaratan Sediaan lipstik dikatakan baik, jika : 1). Tidak menyebabkan iritasi pada bibir, serta tidak berbahaya jika ditelan. 2). Memberikan warna yang menarik, merata, dan stabil. 3). Melapisi bibir dan memberikan permukaan yang halus. 4). Cukup melekat pada bibir tetapi tidak sampai lengket. 5). Melekat dalam jangka waktu yang lama, namun dapat dihapus jika diinginkan. 6). Melembutkan bibir, tidak menyebabkan bibir kering, tetapi juga tidak boleh terlalu berminyak. 7). Tidak memiliki rasa dan bau yang tidak enak. 8). Mudah diaplikasikan tanpa tekanan yang terlalu besar. 9). Tidak terlalu keras, terlalu rapuh, atau terlalu lembek. 10). Tidak berubah bentuk atau konsistensi selama penyimpanan pada suhu ruang. 11). Bebas dari cacat seperti goresan, kerutan, serta permukaan kasar karena berkristal dan keluarnya minyak. (Anonim, 1978; Mitsui, 1997; Jellinek, 1970) Selain persyaratan tersebut di atas, sediaan lipstik juga harus memenuhi persyaratan parameter fisik lainnya, yaitu : 1). Kekerasan Tidak ada persyaratan untuk nilai kekerasan lipstik yang baik, apabila ingin membuktikan bahwa lipstik memiliki sifat kekerasan yang
19
baik dapat dibandingkan dengan lipstik yang sudah beredar di pasaran (Dhamastri, 2014). 2). Daya lekat Tidak ada persyaratan daya lekat lipstik yang baik, tetapi semakin tinggi daya lekat maka lipstik akan semakin baik. 3). Titik leleh lipstik Sediaan lipstik yang baik seharusnya memiliki titik leleh lebih dari / sama dengan 50oC (Vishmakarma, dkk., 2011), sehingga tidak meleleh pada suhu ruang dan tetap dapat mempertahankan bentuknya selama proses distribusi, penyimpanan, dan pemakaian. b. Komposisi lipstik 1). Zat warna Warna yang ada pada lipstik biasanya merah, tetapi memungkinkan kuning-jingga, dan ungu-biru (Anonim, 1978). Menurut Harry (1982), zat warna dapat memberikan warna pada bibir melalui 2 cara, yaitu : a). Mewarnai kulit dengan berpenetrasi pada kulit bagian luar. Contohnya soluble dye seperti water soluble eosin. b). Melapisi bibir dengan lapisan berwarna, sehingga dapat memberi tampilan permukaan yang halus. Contoh : insoluble dye dan pigmen (inorganic pigment, organic pigment, dan metallic lake).
20
2). Basis Basis akan menentukan rheologi campuran pada pembuatan, penyimpanan, dan penggunaan. Pada suhu pembuatan, basis harus dapat mendispersikan zat warna secara merata selama pencampuran, penuangan, dan pencetakan (Harry, 1982). Tidak ada basis tunggal yang memiliki sifat yang diinginkan, sehingga perlu dikombinasikan dengan basis lain (Lauffer, 1972). Jellinek (1970) membagi basis lipstik dalam 3 kategori, yaitu : a). Lilin
: Carnauba wax, Beeswax, Candelila wax, Ozokerite
b). Lemak
: Lanolin, Setil alkohol, Cocoa butter
c). Minyak
: Minyak jarak, Minyak paraffin, Isopropil miristat
3). Surfaktan Surfaktan diperlukan pada zat warna yang tidak larut dalam minyak untuk meningkatkan pembasahan dan dispers pigmen, tetapi penambahan surfaktan juga dapat merubah konsistensi lipstik (Jellinek, 1970). 4). Antioksidan Pada lipstik, lemak yang teroksidasi dapat menyebabkan munculnya bau tengik. Maka diperlukan antioksidan supaya lipstik bisa awet untuk penggunaan jangka panjang. Contoh antioksidan yang banyak digunakan dalam lipstik antara lain butyled hydroxyanisole, butylated hydroxytoluene, dan propil galat (Lauffer, 1972). Yang perlu
21
diperhatikan adalah beberapa antioksidan dapat mempengaruhi rasa dan kompatibilitas dengan kulit (Jellinek, 1970). 5). Parfum Parfum harus bisa menutupi bau dan rasa yang tidak menyenangkan dari basis, sebisa mungkin memberi bau dan rasa yang enak untuk memberikan nilai tambah pada lipstik. Parfum yang digunakan tidak boleh mengiritasi bibir, harus stabil, dan harus dapat bercampur dengan komponen lain pada lipstik. Jumlah parfum yang digunakan pada lipstik adalah antara 2-4 % bobot total lipstik. Parfum yang biasa digunakan adalah minyak esensial mawar, lemon, cinnamon, atau jeruk (Anonim, 1978; Jellinek, 1970). c. Pembuatan lipstik Menurut Lauffer (1972) dan Harry (1982), pembuatan lipstik meliputi proses : 1). Color-grinding Grinding dengan roller mill atau colloid mill membantu proses pembasahan serbuk pigmen oleh minyak atau lanolin supaya pigmen dapat terdispersi merata dan tidak menggumpal dalam basis. 2). Mixing Proses pencampuran dilakukan pada saat massa lipstik berbentuk
cair
setelah
pelelehan
untuk
mempermudah
homogenisasinya. Pencampuran dilakukan pada tempat yang inert, seperti wadah yang terbuat dari gelas (kaca), alumunium yang
22
dilapisi email, atau stainless steel. Wadah dapat berupa steamjacketed untuk menjaga massa lipstik tidak mengeras saat pencampuran. Dalam proses mixing, pengadukan terlalu cepat harus dihindari untuk mencegah masuknya udara ke dalam campuran. Setelah massa tercampur, parfum ditambahkan dan terakhir disaring dengan saringan kawat. 3). Molding Pencetakkan dilakukan selagi campuran masih panas, karena campuran yang panas memiliki tekstur yang lebih cair sehingga mudah dituang dalam cetakan dan dapat memenuhi ruang cetakan dengan baik. Jika hasil mixing sudah tidak terlalu panas, dapat dilakukan pemanasan kembali. Sebelum dicetak, dipastikan udara yang ada di dalam campuran sudah naik ke permukaan dengan mengaduk massa secara perlahan. Gelembung udara sangat dihindari dalam proses pencetakan karena dapat menyebabkan permukaan lipstik berongga. Setelah massa dituang dalam cetakan, dilakukan pendinginan sampai massa kira – kira dapat diambil dari cetakan. 4). Flamming Lipstik dilewatkan secara cepat pada nyala gas kecil guna melelehkan permukaan sehingga bisa menghilangkan goresan atau lubang dan menjadikan permukaan yang halus dan berkilau.
23
5. Monografi bahan a. Malam Karnauba / Carnauba Wax Diperoleh dari daun Copernicia cerifera Mart. (Fam. Palmae). Pemerian Serbuk agak kasar atau serpihan warna coklat muda hingga kuning pucat; bau khas lemah, tidak tengik. Kelarutan Praktis tidak larut dalam air; sukar larut dalam etanol (95%) P mendidih; larut dalam kloroform P hangat dan dalam toluena P; mudah larut dalam benzena P hangat. Jarak Lebur 81o-86o C Kegunaan Menaikkan titik leleh, mengeraskan Lipstik, memberi kilau (Jellinek, 1970). b. Minyak Jarak / Castor Oil / Oleum Ricini Minyak lemak yang diperoleh dari pemerasan biji Ricinus communis Linne (Fam. Euphorbiaceae), yang telah dikupas. Pemerian Cairan kental, jernih; hampir tidak berwarna atau kuning pucat, bau lemah, bebas dari bau asing, dan tengik; rasa tawar khas.
24
Kelarutan Larut dalam etanol (95%) P; dapat bercampur dengan etanol mutlak P, dengan asam asetat glasial P, dengan kloroform P dan dengan eter P. (Anonim, 1986b). Kegunaan Untuk membuat lapisan lipstik tertinggal pada bibir, mencegah pengendapan pigmen (Jellinek, 1970), serta memberi kilau dan sebagai emolien (Harry, 1982). c. Lanolin / Hydrous Wool Fat / Adeps Lanae Hydrosus Zat seperti lemak dari bulu domba Ovis aries L. (Fam. Bovidae) yang telah dimurnikan. Pemerian Massa seperti salep, warna putih kekuningan, bau lemah khas. Kelarutan Praktis tidak larut dalam air, larut dalam kloroform P, dan dalam eter P, dengan pemisahan air (Anonim, 1980). Kegunaan Meningkatkan dispers warna (Lauffer, 1972), sebagai emolien (Jellinek, 1970), mencegah sweetening dan cracking, serta meningkatkan kilau (Harry, 1982).
25
d. Minyak Mawar / Oleum Rosae Pemerian Cairan, tidak berwarna atau kuning, bau menyerupai bunga mawar, rasa khas. Jika didinginkan perlahan-lahan berubah menjadi massa hablur kuning. Kelarutan Larut dalam 1 bagian kloroform P, larutan jernih (Anonim, 1979). e. Parafin Padat / Paraffin Wax / Paraffinum Solidum Campuran hidrokarbon padat yang diperoleh dari minyak mineral. Pemerian Padat, sering menunjukkan struktur hablur; warna putih atau tidak berwarna; tidak berbau juga bila baru dipotong; tidak berasa; bila dipegang agak berlemak. Terbakar dengan nyala terang. Jika dileburkan, menghasilkan cairan yang tidak berfluoresensi pada sinar matahari. Kelarutan Parktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%) P; larut dalam kloroform P dan dalam eter P (Anonim, 1986b). Jarak lebur 50o – 57oC Kegunaan Meningkatkan kilau lipstik (Lauffer, 1972).
26
f. Polisorbat 80 / Polysorbate 80 Campuran ester parsial oleat dari sorbitol dan anhidrida sorbitol yang dikondensasi dengan 20 molekul etilenoksida (C2H4O) untuk tiap molekul sorbitol, mono-, dan anhidridanya. Pemerian Cairan kental, jernih; warna kuning; bau khas asam lemak. Kelarutan Dapat bercampur dengan air, dengan etanol (95%) P, dengan etilasetat P, dan dengan metanol P; sukar larut dalam minyak biji kapas dan dalam paraffin cair P (Anonim, 1986b). Kegunaan Agen pendispers, agen pengemulsi, surfaktan non - ionik, agen pelarut, suspending agent, dan wetting agent (Rowe et al., 2009) . g. Propilen Glikol / 1,2-propandiol Pemerian Cairan kental, jernih; tidak berwarna; praktis tidak berbau; rasa khas lemah; higroskopik. Kelarutan Dapat bercampur dengan air, dengan aseton P dan dengan kloroform P; larut dalam eter P dan dapat melarutkan berbagai minyak atsiri; tidak dapat bercampur dengan minyak lemak (Anonim, 1986b).
27
Kegunaan Propilen glikol berfungsi sebagai pelembab, dan dapat membantu melarutkan ekstrak agar dapat bercampur dengan basis lainnya (Rowe et al, 2009). h. Propil Paraben / Propylis Parabenum Mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 101,0% C10H12O3. Pemerian Serbuk hablur, warna putih; tidak berbau; tidak berasa. Kelarutan Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam etanol (95%) P dan dalam aseton P; sangat sukar larut dalam gliserol P; agak sukar larut dalam minyak lemak; mudah larut dalam larutan alkali hidroksida. Jarak lebur 95oC sampai 98oC. Kegunaan Pengawet (Anonim, 1986a). i. Setil Alkohol / Cetyl Alcohol Campuran alkohol padat, terdiri terutama dari setil alkohol. Pemerian Berbentuk sisik; butiran, kubus atau lempengan yang licin; warna putih; bau khas lemah; rasa tawar.
28
Kelarutan Praktis tidak larut dalam air; larut dalam etanol (95%) P dan dalam eter P, kelarutan bertambah dengan kenaikan suhu. Jarak lebur 450C sampai 500C (Anonim, 1986a). Kegunaan Memberikan efek melembabkan dan dapat meningkatkan dispersi dari pigmen (Jellinek, 1970). j. Talk / Talcum Magnesium silikat hidrat alam, kadang-kadang mengandung sedikit aluminium silikat. Pemerian Serbuk hablur, sangat halus, licin, mudah melekat pada kulit, bebas dari butiran; warna putih atau putih kelabu. Kelarutan Tidak larut dalam hampir semua pelarut. Kegunaan Zat tambahan (Anonim, 1986a).
6. Simplex Lattice Design (SLD) Optimasi merupakan desain eksperimental untuk memudahkan penyusunan interpelasi data secara matematis. Simplex Lattice Design merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk memprediksi profil respon campuran bahan. Optimasi formula dilakukan dengan memasukkan
29
perbedaan jumlah komposisi bahan yang akan diuji, dimana total akhir perbandingannya adalah sama dengan satu. Profil tersebut digunakan untuk memprediksi perbandingan komposisi campuran bahan yang memberi respon optimum. Dalam menerapkan simplex lattice design yang harus disiapkan pertama kali adalah membuat variasi formula yang mengandung kombinasi berbeda dari variasi bahan. Kombinasi disiapkan dengan suatu cara yang mudah dan efisien sehingga data percobaan dapat digunakan untuk memprediksi respon yang berbeda dalam ruang simpleks (simplex space). Hasil eksperimen digunakan untuk membuat suatu persamaan polynomial (simplex) dimana persamaan ini dapat untuk memprediksi profil respon (Bolton & Bon, 2004). Simplex lattice design paling sederhana terdiri dari 2 macam kombinasi bahan yang memerlukan 3 macam percobaan pada rancangannya, yaitu : a. Percobaan yang menggunakan bahan A saja (A = bagian = 100%) b. Percobaan yang menggunakan bahan B saja (B = bagian = 100%) c. Percobaan yang menggunakan bahan campuran 50% bahan A dan 50% bahan B (A = ½ bagian dan B = ½ bagian) Prinsip dasar Simplex Lattice Design adalah untuk mengetahui profil efek campuran terhadap suatu parameter. Dasar dari metode ini adalah adanya dua variabel bebas A dan B. Rancangan ini dibuat dengan memilih tiga kombinasi dari campuran dua variabel tersebut dan dari setiap kombinasi diamati respon yang didapat. Respon yang diharapkan haruslah yang paling mendekati tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya baik maksimum atau
30
minimum. Hubungan antara respon dan komponen dapat dijelaskan dengan rumus : Y = a [A] + b [B] + ab [A][B] Keterangan : Y
= respon yang diharapkan
a, b, ab
= koefisien yang didapat dari percobaan
[A][B]
= fraksi (bagian) komponen dengan persyaratan : 0 ≤ [A] ≤ 1, 0 ≤ [B] ≤ 1
Nilai respon yang didapat dari hasil percobaan disubstitusikan ke dalam persamaan di atas, maka akan dihitung nilai koefisien a, b, dan ab. Jika nilai-nilai koefisien ini telah diketahui, maka dapat dihitung nilai Y (respon) pada setiap variasi campuran A dan B sehingga didapatkan gambaran profilnya (Amstrong & James, 1996).
F. Landasan Teori Umbi ubi jalar ungu mengandung antosianin sebanyak 12 komponen yaitu 7 komponen derivat sianidin dan 5 komponen peonidin yang tersedia dalam bentuk baik mono- maupun di-asilasi. Kestabilan antosianin umbi ubi jalar ungu ini telah diteliti karena dipengaruhi salah satunya karena tersedia dalam bentuk asilasi yang dapat memicu adanya kopigmentasi (Xu, 2013). Warna merah antosianin paling tinggi intensitasnya pada pH 1-3 dan stabil selama penyimpanan 28 hari (Reyes & Zevallos, 2007). Oleh karena itu secara teori umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami sediaan lipstik.
31
Basis atau pembawa dalam formulasi lipstik adalah komponen yang penting karena akan menentukan sifat fisik dan stabilitas Lipstik. Paraffin wax dan carnauba wax merupakan basis wax yang sering digunakan dalam sediaan lipstik. Paraffin wax memiliki sifat memberikan efek glossy pada lipstik sehingga terlihat lebih menarik dan juga memiliki titik leleh yang cukup baik yaitu antara 50oC. Carnauba wax merupakan wax alami terkeras yang pernah ada yang meleleh pada suhu 80oC, umumnya carnauba wax digunakan untuk meningkatkan titik leleh dan kekerasan lipstik.
G. Hipotesis 1. Kombinasi basis carnauba wax dan paraffin wax dalam sediaan lipstik ekstrak etanolik umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) dapat memberikan perbedaan respon terhadap sifat fisik sediaan lipstik yaitu daya kekerasan, daya lekat, titik leleh, tingkat kesukaan, dan nilai pH. 2. Lipstik ekstrak etanolik umbi ubi jalar ungu dengan variasi tertentu dari carnauba wax dan paraffin wax dapat memberikan hasil sediaan lipstik yang optimum dengan sifat fisik yang diharapkan.